Upload
rahmayuni-fitrianti
View
28
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tropis
Citation preview
1. Apa hubungan pekerjaan sebagai laboran di RS dengan keluhan pasien?
Pekerjaan yang mungkin berkontak langsung dengan jaringan-jaringan yang mengandung M. Tuberculosis seperti pekerja laboratorium.
Sumber : Atlas berwarna Saripati Penyakit Kulit – Prof. Dr. R. S. Siregar, Sp.KK(K) – Edisi 21.
2. Mengapa ditemukan penebalan dan permukaan kasar sejak 6 bulan lalu di punggung tangan?
Sumber : Harahap, Marwali. Tuberkulosis Kutis. Ilmu Penyakit Kulit. Indonesia. Jakarta :
Hipokrates: 2000. P: 273-5.
Cara infeksi dari kuman M. Tuberculosis ini ada 6 macam yaitu penjalaran langsung ke
kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya
skrofuloderma, inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis, penjalaran secara hematogen, misalnya
tuberkulosis kutis miliaris, penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris, penjalaran
langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris,
atau bisa juga kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika
ada kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
Hal-hal yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik adalah sifat kuman, respon imun
tubuh saat kuman ini masuk kedalam tubuh ataupun saat kuman ini sudah berada didalam
tubuh serta jumlah dari kuman tersebut.Respon imun yang berperan pada infeksi M.
tuberculosis adalah respon imunitas selular.Sedangkan peran antibodi tidak jelas
atau tidak memberikan imunitas.
Bila terjadi infeksi oleh kuman M. Tuberculosisini, maka kuman ini akan masuk jaringan
dan mengadakan multiplikasi intraseluler. Hal ini akan memicu terjadinya reaksi jaringan yang
ditandai dengan datang dan berkumpulnya sel-sel leukosit dan dan sel-sel mononuklear serta
terbentuknya granuloma epiteloid disertai dengan adanya nekrosis kaseasi ditengahnya.
Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi paru disebut ghonfocus dan bersamaan
kelenjar getah bening disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre. Bila kelenjar getah
bening pecah timbul skrofuloderma.
Sumber :Wolff, Klaus; et al. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. In:
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th Edition. New York; McGraw-Hill, 2008: 1769-
78
Cara infeksi ada 6 macam :
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis,
misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi lokalnya telah
menurun, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
Sumber :
Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005.
Pages: 64-72
IMUNITAS SELULAR
Sistem imun selular melibatkan sel T dengan limfokinnya. Sel T meliputi 80-90% jumlahlimfosit darah tepi dari 90% jumlah limfosit timus.
Sel T hanya mempunyai sedikit imunoglobulin pada permukaannya dibandingkan dengan sel B sehingga apabila dilakukan inkubasi dengan antiimunoglobulin manusia dan diperiksa dengan mikroskop imunofluoresensi tidak akan terjadi fluoresensi. Namun sel T mempunyai reseptor pada permukann
selnya yang dapat berikatan dengan sel darah merah kambing. Apabila sel T diinkubasi dengan sel darah merah kambing akan terbentuk roset yang terdiri atas beberapa sel darah merah mengelilingi sel T.
Sebelum sel T dapat bereaksi terhadap antigen, maka antigen tersebut harus diproses serta disajikan kepada sel T oleh makrofag atau sel langerhans. Setelah terjadi interaksi antara makrofag, antigen, dan sel T, maka sel tersebut akan mengalami transformasi blastogenesis sehingga terjadi peningkatan aktivitas metabolik. Selama mengalami proses transformasi tersebut sel T akan mengeluarkan zat yang disebut sebagailimfokinyang mampu merangsang dan mempengaruhi reaksi peradangan selular, antara lain faktor penghambat migrasi makrofag (Macrophage Inhibitory Factor), (MIF); faktor aktivasi makrofag (Macrophage Activating Factor), (MAF); faktor kemotaktik makrofag; faktor penghambat leukosit (Leucocyte Inhibitory Factor), (LF); Inteferon dan limfotoksin. Mediator-mediator tersebut mampu mempengaruhi makrofag, PMN, limfosit, dan sel-sel lain sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas lambat (tipe IV). Contoh dalam bidang penyakit kulit ialah dermatitis kontak alergik.
Reaksi peradangan yang dipacu oleh limfokin dimulai dengan aktivasi limfosit oleh adanya kontak dengan antigen spesifik yang mampu mengeluarkan faktor kemotaktik limfokin yang akan membawa sel radang ke tempat kontak. Sel-sel tersebut akan ditahan di tempat aktivasi limfosit oleh faktor penghambat migrasi makrofag dan faktor penghambat leukosit. Kemudian makrofag akan diaktivasi oleh faktor aktivasi makrofag menjadi sel pemusnah (killer cell) yang mengakibatkan kerusakan jaringan.Terjadi jalinan amplifikasi yang melibatkan faktor mitogenik limfosit, akan menyebabkan limfosit lain berperan serta pada respons hipersensitivitas lambat ini. Makrofag juga dapat berperan dalam respons imun dengan jalan mengeluarkan monokin, misalnya interleukin 1 yang melibatkan limfosit untuk berperan serta dalam reaksi peradangan tersebut. Mengikuti terikatnya antigen spesifik dengan permukaan sel T, sel T akan mengalami proliferasi klonal untuk memproduksi turunan limfosit yang secara genetik diprogramkan untuk bereaksi dengan antigen spesifik yang telah mengaktivasi sel pendahulunya. Proliferasi klonal biasanya terjadi di jaringan limfois. Sistem imun selular akan diatur oleh subset sel T, disebut sebagai sel T penekan dan sel T penolong yang akan menambah atau menekan respins imun dan mengatur sintesis antibodi, sehingga kedua sel tersebut di atas merupakan penghubung antara sistem imun selular dan sistem imun humoral.
Sumber : Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 48-49
3. Apa yang menyebabkan timbul retak dan keluar cairan keruh seperti nanah?
Ketika terpapar, lesi kulit pada penampakan luar akan menjadi verruca atau borok, hal ini akan dibingungkan oleh jenis veruka lainnya. Lesi ini akan berubah menjadi plak anular berwarna
merah kecoklatan seiring waktu, dengan central healing dan ekspansi bertahap ke arah perifer, dimana pada fase ini akan dipusingkan dengan infeksi jamur seperti blastomycosis dan chromoblastomycosis. Akan tetapi pada area tengah lesi tuberculosis veruca verrucosa akan mengeras dan menjadi fisura, dimana pus dan bahan keratin dapat keluar dari fusura ini. Lasi biasanya soliter, dan nodul regional tidak terpengaruh kecuali terdapat infeksi sekunder bakteri. Lesi dapat berkembang dan menetap dalam beberapa tahun. Penyebuhan spontan dapat terjadi dengan bekas parut (Goldman, 2002).
4. Apa hubungan riwayat tb dengan keluhan pasien?Dokter curiga kuman tb untuk menyingkirkan etiologi dari penyakit tersebut.Ada kelainan kulit yang punya etiologi kuman tb.
5. Apakah pada skenario ini keluhan pasien tidak ada nyeri / gatal disebabkan o/ adanya kerusakan saraf atau sebaliknya?Adanya antigen yang merusak selnya , bakteri yg merusak sel schwann. Biasanya mycobacteriom leprae.Jika di lepra, granuloma mendesak jaringan atau saraf atau granuloma merusak saraf.Jika pada tb kutis tidak ada nyeri dan tidak ada gejala sistemik.
6. Mengapa dokter melakukan pemeriksaan tes mantoux?
Cara Pemberian dan Pembacaan
Uji tuberkulin dilakukan dengan injeksi 0,1 ml PPD secara intradermal (dengan metode Mantoux) di volar / permukaan belakang lengan bawah.Injeksi tuberkulin menggunakan jarum gauge 27 dan spuit tuberkulin, saat melakukan injeksi harus membentuk sudut 30° antara kulit dan jarum.
Penyuntikan dianggap berhasil jika pada saat menyuntikkan didapatkan indurasi diameter 6-10 mm. Uji ini dibaca dalam waktu 48-72 jam setelah suntikan. Hasil uji tuberkulin dicatat sebagai diameter indurasi bukan kemerahan dengan cara palpasi. Standarisasi digunakan diameter indurasi diukur secara transversal dari panjang axis lengan bawah dicatat dalam milimeter.2,11-12
Interpretasi Uji Tuberkulin
Untuk menginterpretasikan uji tuberkulin dengan tepat, harus mengetahui sensitiviti dan spesivisiti juga uji ramal positif dan uji ramal negatif. Seperti pada uji diagnostik lain, uji tuberkulin mempunyai sensitiviti 100% dan spesivisiti 100%. Uji tuberkulin dilaporkan mempunyai uji ramal positif dan negatif 10-25% seperti tampak pada tabel 2.
Hasil uji tuberkulin negatif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut tidak terinfeksi dengan basil
TB. Selain itu dapat juga oleh karena terjadi pada saat kurang dari 10 minggu sebelum imunologi
seseorang terhadap basil TB terbentuk. Jika terjadi hasil yang negatif maka uji tuberkulin dapat diulang 3 bulan setelah suntikan pertama.
Hasil uji tuberkulin yang positif dapat diartikan sebagai seseorang tersebut sedang terinfeksi basil TB.Terpenting disini adalah jika seseorang sedang terinfeksi M.tb apakah sedang terinfeksi atau sakit TB.Sehingga guideline ACHA menyebutkan jika hasil uji tuberkulin positif maka harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan dahak. Jika hasil foto toraks tersebut normal maka dapat dilakukan pemberian terapi TB laten, tetapi jika hasil foto toraks terjadi kelainan dan menunjukkan ke arah TB maka dapat dimasukkan dalam M.tb aktif.
Spesivisiti uji tuberkulin dapat berubah menjadi 95-99% tergantung dari prevalensi infeksi bukan TB pada suatu populasi. Jika spesivisiti turun akan meningkatkan resiko cross-reaction. Curley mendapatkan spesivisiti uji tuberkulin meningkat dengan meningkatnya cut off point dengan 15 mm. Manuhutu mendapatkan cut off point antara reactor dan non-reactor 12 mm.
Pembacaan uji tuberkulin dilakukan dalam waktu 48-72 jam, tetapi dianjurkan untuk 72 jam. Hasil
yang dilaporkan adalah indurasi lokal (bukan kemerahan) dengan palpasi, diameter transversal dan dicatat dalam millimeter. Interpretasi ukuran diameter uji tuberkulin seperti pada tabel 2,11-15,22
Dengan dasar sensitiviti dan spesivisiti, prevalensi TB masing-masing kelompok dapat dibedakan.
Terdapat 3 cut-off point yang direkomendasikan untuk mengartikan reaksi uji tuberkulin seperti
tampak pada tabel 4.7,23
Tabel 4. Interpretasi ukuran diameter reaksi uji tuberkulin.
Indurasi ≥ 5 mm
a. Close contac dgn individu yang diketahui/suspek TB dalam waktu 2 tahun.
b. Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis.
c. Terinfeksi HIV.
d. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB.
e. Close contac dgn individu yang diketahui/ suspek TB dalam waktu 2 tahun.
f. Suspek TB aktif dengan bukti dari klinis dan radiologis.
g. Terinfeksi HIV.
h. Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotik, tanda TB.
i. Individu yang transplantasi organ dan imuncompromised.
Indurasi ≥ 10 mm
a. Datang dari daerah dengan prevalensi tinggi TB.
b. Individu dengan HIV negatip tetapi pengguna napza.
c. Konversi uji tuberkulin menjadi 10 mm dalam 2 tahun
d. Individu dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB :
• DM
• Malabsorbsi
• CRF
• Tumor di leher dan kepala
• Leukemia, lymphoma
• Penurunan BB > 10%
• Silikosis
Indurasi ≥15 mm
a. Bukan resiko tinggi tertular TB
b. Konversi uji tuberkulin menjadi > 15 mm setelah 2 tahun
Sumber :The tuberkulin (Mantoux) skin test. Available at http://www.nt.gov.au/health/cdc/fact_sheets /tb_skintest_factsheet.pdf. Acessed December 18 2005
Siapkan 0,1 ml PPD ke dalam disposable spuit ukuran 1 ml (3/8 inch 26-27 gauge)
2. Bersihkan permukaan lengan volar lengan bawah menggunakan alcohol pada daerah 2-3 inch di bawah lipatan siku dan biarkan mengering
3. Suntikkan PPD secara intrakutan dengan lubang jarum mengarah ke atas. Suntikan yang benar akan menghasilkan benjolan pucat, pori-pori tampak jelas seperti kulit jeruk, berdiameter 6-10 mm
4. Apabila penyuntikan tidak berhasil (terlalu dalam atau cairan terbuang keluar) ulangi suntikan pada tempat lain di permukaan volar dengan jarak minimal 4 cm dari suntikan pertama.
5. Jangan lupa mencatat lokasi suntikan yang berhasil tersebut pada rekam medis agar tidak tertukar saat pembacaan. Tidak perlu melingkari benjolan dengan pulpen/spidol karena dapat mengganggu hasil pembacaan.
Catatan
a. Perhatikan cara penyimpanan PPD sesuai petunjuk pada kemasan
b. PPD aman bagi bayi berapapun usianya bahkan aman pula bagi wanita hamil
c. Tes Mantoux bukan merupakan kontra indikasi bagi:
· Pasien yang pernah diimunisasi BCG
· Pasien yang pernah dilakukan tes Mantoux sebelumnya dan hasilnya positif (dalam hal ini pengulangan diperlukan karena hasil tes Mantoux sebelumnya tidak tercatat dengan baik)
· Pasien sedang dalam kondisi demam, sakit, maupun pasien dengan imunokompromais
d. Adanya parut yang besar pada bekas tes Mantoux sebelumnya merupakan petunjuk hasil positif pada tes terdahulu dan tidak perlu diulang. Namun perlu ditekankan bahwa tes Mantoux menggunakan PPD dan bukan vaksin BCG.
Pembacaan
1. Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih diutamakan pada 72 jam
· Minta pasien control kembali jika indurasi muncul setelah pembacaan
· Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih dianggap valid
· Bila pasien tidak control dalam 96 jam dan hasilnya negative maka tes Mantoux harus diulang.
2. Tentukan indurasi (bukan eritem) dengan cara palpasi
3. Ukur diameter transversal terhadap sumbu panjang lengan dan catat sebagai pengukuran tunggal
4. Catat hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10 mm, 16 mm) serta catat pula tanggal pembacaan dan bubuhkan nama dan tandatangan pembaca
5. Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas suntikan dapat dilakukan kompres dingin atau pemberian steroid topikal
Catatan:
Reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulin yang munculnya cepat (immediate hypersensitivity reactions) dapat timbul segera setelah suntikan dan biasanya menghilang dalam 24 jam. Hal ini tidak mempunyai arti dan bukan menunjukkan hasil yang positif.
G. INTERPRETASI TEST MANTOUX
Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi > 10 mm. Kemungkinan yang perlu dipikirkan pada anak dengan hasil tersebut:
a. Terinfeksi tuberkulosis secara alamiah
b. Infeksi TB mencakup infeksi TB laten, sakit TB aktif, atau pasca terapiTB.
c. Pernah mendapat imunisasi BCG (pada anak dengan usia kurang dari 5 tahun)
d. Pada pasien usia kurang dari 5 tahun dengan riwayat vaksinasi BCG kecurigaan ke arah infeksi alamiah TB bila hasil uji Mantoux > 15 mm.
e. Infeksi mikobakterium atipik
Meskipun demikian, hasil uji Mantoux > 5 mm dapat dipertimbangkan positif pada pasien tertentu seperti :
a. Pasien dengan infeksi HIV
b. Pasien dengan transplantasi organ atau mendapat imunosupresan jangka panjang seperti pasien keganasan atau sindrom nefrotik
False Negative
Pasien-pasien tertentu yang terinfeksi tuberkulosis mungkin dapat menunjukkan hasil tes Mantoux yang negatif.Kondisi demikian disebut dengan anergi. Anergi kemungkinan terjadi pada pasien:
a. Pasien dengan status malnutrisi berat
b. Pasien dengan infeksi berat seperti campak, cacar air, pertusis, difteri, tifoid
c. Pasien dengan status imunokompromasi atau pasien menggunakan imunosupresan jangka panjang seperti pasien HIV, keganasan, sindrom nefrotik dan lainnya
d. Pasien dengan sakit TB berat seperti TB milier, meningitis TB
Mengingat masa yang diperlukan untuk terbentuknya cellular mediated immunity sejak masuknya kuman TB adalah 2-12 minggu maka hasil negatif pada pasien dengan kontak erat penderita TB dewasa masih mungkin pasien sedang dalam masa inkubasi.
7. Apa gambaran histopatologi PA dari keluhan pasien?Pemeriksaan histologi menunjukkan gambaran pseudoepitheliomatous hyperplasia dengan hyperkeratosis dan infiltrasi neutrofil dan limfosit. Gambaran abses didapatkan pada epidermis dan dermis bagian atas. Dapat ditemukan epithelioid giant cells, tuberkel dan BTA jarang ditemukan. Pada kultur dari lesi tuberculosis kutis verukosa akan didapatkan mikobakterium. PCR digunakan untuk mengidentifikasi DNA M. tuberculosis dalam specimen jaringan. Skin test pada tuberkulosa kutis veerukosa akan memberikan hasil positif.
8. Dari gambaran ukk , termasuk dalam penyakit apa?
9. Adakah penyakit lain yang terjadi adanya penyebaran serpiginosa?Tb kutis verukosa
10. Apakah ada hubungan hipersensitivitas dgn keluhan pasien?Mekanisme selular yang menghasilkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat terutama melibatkan sel T dan makrofag. Pertama, respon imun dan inflamasi lokal pada tempat antigen asing up-mengatur adhesi sel ekspresi molekul endotel, mempromosikan akumulasi leukosit di situs jaringan. Antigen tersebut ditelan oleh makrofag dan monosit dan diproses dan disajikan kepada sel T yang memiliki reseptor khusus untuk antigen yang diproses. Makrofag mensekresi interleukin (IL) -1, IL-2, IL-6, dan limfokin lain. T sitotoksik sel juga dapat diaktifkan. Makrofag direkrut dapat membentuk sel-sel raksasa. Munculnya histologis karakteristik dari macrophage-sel T-menyusup adalah granuloma. Jenis menyusup dalam jaringan disebut peradangan granulomatosa.Beberapa varian dari DTH ada, dan mekanisme yang tepat mereka pathophysiologic akan sedikit berbeda. Sebagai contoh, pada reaksi hipersensitivitas kontak, epidermis yang terlibat, dalam TB paru (TBC), jaringan paru-paru yang terlibat.
11. DD?
TB kutis verukosaLepra/kustaFrambusia stadium 2
12. Bagaimana patogenesis dari diagnosis?
Cara infeksi ada 6 macam :
1. Penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang telah dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya skrofuloderma.
2. Inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.
3. Penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis kutis miliaris.
4. Penjalaran secara limfogen, misalnya lupus vulgaris.
5. Penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah diserang penyakit tuberkulosis,
misalnya lupus vulgaris.
6. Kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi lokalnya telah menurun atau jika ada
kerusakan kulit, contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
Ketika terpapar, lesi kulit pada penampakan luar akan menjadi verruca atau borok, hal ini akan
dibingungkan oleh jenis veruka lainnya. Lesi ini akan berubah menjadi plak anular berwarna merah
kecoklatan seiring waktu, dengan central healing dan ekspansi bertahap ke arah perifer, dimana
pada fase ini akan dipusingkan dengan infeksi jamur seperti blastomycosis dan
chromoblastomycosis. Akan tetapi pada area tengah lesi tuberculosis veruca verrucosa akan
mengeras dan menjadi fisura, dimana pus dan bahan keratin dapat keluar dari fusura ini. Lasi
biasanya soliter, dan nodul regional tidak terpengaruh kecuali terdapat infeksi sekunder bakteri. Lesi
dapat berkembang dan menetap dalam beberapa tahun. Penyebuhan spontan dapat terjadi dengan
bekas parut (Goldman, 2002).
13. Penatalaksanaan?
Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan tuberkulosis kutis sama dengan tuberkulosis paru. Untuk mencapai
hasil yang baik hendaknya diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus dilakukan secara
teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi resistensi dan pengobatan harus dalam kombinasi
2.11.1 Terapi Medikamenstosa
1. Terapi dengan obat antituberkulosis
Prinsip Pengobatan dan tuberkulosis kutis sama dengan pengobatan tuberkulosis paru. Untuk
mencapai hasil yang baik hendakknya diperhatikan syarat sebagai berikut :
a. Pengobatan harus dilakukan secara teratur tanpa terputus agar tidak terjadi resistensi.
b. Pengobatan harus dalam kombinasi, dan dalam kombinasi, dan dalam kombinasi tersebut
disertakan INH karena obat tersebut bersifat bakterisidal.
c. Keadaan umum diperbaiki.
Obat antituberkulosis ada 2 macam, bersifat bakterisidal dan bakteriostatik. Obat yang
bakterisidal adalah INH, rifampisin, pirazinamid, dan streptomisin, sedangkan lainnya bersifat
bakteriostatik. Rifampisin dan isoniazid disebut bersifat bakterisidal lengkap karena obat tersebut
dapat memasuki seluruh populasi kuman, sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat
memasuki seluruh populasi kuman, sedangkan pirazinamid dan streptomisin hanya dapat bekerja
dalam lingkungan tertentu, pirazinamid bekerja dalam lingkungan asam sedangkan streptomisin
hanya bekerja dalam lingkungan basa.
Various pharmaceutical tuberculosis treatments and their actions
Pemilihan obat tergantung pada keadaan ekonomi penderita, berat ringannya penyakit
dan adanya kontraindikasi.
Tabel dosis pengobatan pada orang dewasa.
Obat
Dosis Harian
(mg/kgBB/
hari)
Dosis Max
(mg/hari)Efek Samping
Isoniazin 5 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna orange kemerahan
Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hepar, atralghia,
gastrointestinal.
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal
Streptomisin 15-40 1000 Ototoksik, nefrotoksik
Ket : Bila INH dikombinasikan dengan Rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10
mg/kgbb/hari. Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailibilitas rifampisin.
Tabel Dosis pengobatan pada anak.
Tiap Hari Intermitten
Isoniazid (H) 5mg/kg 15mg/kg
Rifampisin (R) 10/kg 10mg/kg
Pirazinamid (Z) 20mg/kg Max 900mg
Tiasetason (Tbl) 2,5mg/kg 3 kali/minggu 50 mg/kg
Pada pengobatan tuberkoulosis terdapat 2 tahapan yaitu tahapan awal (intensif) dan
tahapan lanjutan. Tujuan tahapan awal adalah untuk membunuh kuman yang aktif membelah
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang bersifat bakterisidal. Tahapan
lanjutan adalah melalui kegiatan sterilisasai membunuh kuman yang tumbuh lambat.
Selama fase intensif biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi pengurangan jumlah kuman
disertai perbaikan klinis. Pasien yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.
Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek
sterilisasi obat untuk membersikan sisa-sisa kuman dan kekambuhan. Pada pasien dengan
sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan 4 obat selama fase awal
dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif karena
jumlah bakteri dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan awal dengan 3 obat dan fase lanjutan
dengan 2 obat untuk fase lanjutan biasanya sudah memadai. Pada pasien yang sudah diobati ada
resiko terjadinya reistensi. Panduan pengobatan ulang terdiri dari 5 obat untuk fase awal dan 3
obat untuk fase lanjutan. Selama fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan
haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid
dapat diberikan pada wanita hamil dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin
tidak boleh diberikan.
Pada TBC ekstra paru dapat diberikan pengobatan TBC kategori 1 yaitu (2
HRZE/4 HR). Fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH 5 mg/kgBB, Rifampisin
10mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB dan etambutol 15mg/kgBB. Diikuti fase lanjutan selama
4 bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan ektra paru. Etambutol dapat
diberikan pada pasien dengan tuberkulosis paru dan ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada
pasien dengan resistensi terhadap INH.
Beberapa regimen lain dapat diberikan misalnya kombinasi 3 obat INH, Rifampisin dan
pirazinamid. Setelah 2 bulan pirazinamid dihentikan dan obat lain diteruskan, regimen ini sangat
poten. Karena ketiga obat tersebut bersifat hepatotoksik, maka sebelum pengobatan dimulai
diperiksa dulu fungsi hepar (SGOT,SGPT, dan fosfatase alkali). Dua minggu sesudah terapi
diulangi, biasanya meninggi. Bila tetap atau menurun pengobatan dilanjutkan. Akan tetapi jika
meningkat, pirazinamid dihentikan dan rifampisin diberikan selama 2 kali dengan dosis 600mg
setiap kali pemberian. Regimen lain adalah kombinasi antara INH dan rifampisin dan etambutol
yang diberikan selama 2 bulan, dilanjutkan dengan INH dan rifampisin. Untuk mikobakterium
atipikal seperti M.Scofuloceum, selain obat-obatan yang telah disebutkan dapat diberikan
inosiklin 2x100mg, tetrasiklin atau eritromisin 4 atau 3 kali 500mg. Doksisiklin 2x100mg,
kotrimoksasol dan rifampisin digabung dengan INH serta amikasin.
Pengobatan pada anak dapat dibedakan berdasarkan kelompok klinis. Pada anak dari
segala usia yang tidak menunjukkan gejala penyakit dan diketahui telah mempunyai infeksi
tuberkulosis primer, tujuan pengobatan adalah menyingkirkan penyebaran lesi dan membunuh
kuman pada fokus primer serta kelenjar getah bening yang terkait dengan kompleks primer.
Pengobatan terdiri dari Isoniasid 5mg/kgBB 1x sehari selama minimal 6 bulan. Mungkin dapat
juga ditemukan anak tanpa tanda penyakit akan tetapi reaksi tuberkulin positif kuat kebanyakan
anak tersebut terkena infeksi primer dibawah usia 5 tahun, kebanyakan para ahli berpendapat
untuk mengobati dengan INH saja, sehingga resiko penularan melalui darah lebih kecil. Anak
dengan penyakit paru atau tuberkulosis ekstra pulmonal seperti tuberkulosis tulang atau sendi
diobati dengan memberikan regimen selama 6 bulan dengan INH, Rifampisin dan Pirazinamid
selama 2 bulan pertama. Berikan obat tersebut dalam doisi tunggal setiap hari sebelum makan.
2.11.2 Terapi Pembedahan
Pengobatan bedah pada tuberculosis kutis adalah terbatas. Lesi hyperkeratosis dan
verrukosa seperti lupus vulgaris dan tuberculosis verukosa kutis diterapi dengan electrosurgery,
cryosurgery, dan kuretase dengan electrodesiccation sebagai terapi tambahan dan terapi
farmakologi sebagai terapi primer.
Pada kasus Scrofuloderma dengan melakukan eksisi kelenjar getah bening akan tetapi
perlu dilakukan pemeriksaan yang teliti sebelumnnya untuk melihat adanya keganasan. Tindakan
eksisi pada keganasan dapat memperburuk penyakit. Tetapi pembedahan pada Scrofuloderma
diindikasikan untuk kasus-kasus :
1. terapi dengan antituberkulosa gagal.
2. penderita scrofuloderma disertai penurunan kekebalan tubuh.
3. penderita scrofuloderma berulang.
4. penderita scrofuloderma disertai dengan penyakit lain yang berat.
5. penderita scrofuloderma yang mengenai anak-anak
2.11.3 Terapi Non Medika Mentosa
Edukasi yang perlu disampaikan kepada pasien :
1. Bahwa pengobatan penyakit ini dalam jangka waktu lama, dan kemungkinan efek samping
dari pengobatan.
2. Pasien dianjurkan untuk minum obat secara teratur dan kontrol teratur setiap bulan jika obat
habis selama jangka waktu pengobatan
3. Menjaga hygene peroral.
2.12 Penatalaksanaan Tuberculosis dengan kondisi penyerta lain
2.12.1 Penyakit Hepar
Tidak terdapat perubahan dosis terapi pada pasien dengan penyakit hepar, kecuali
penyakit hepar tersebut disebabkan oleh obat-obatan tuberculosis yang diberikan. Beberapa
penulis menyarankan untuk menghindari pemakaian pirazinamid pada pasien dengan penyakir
hepar, karena pirazinamid menjadi penyebab tertinggi terhadap kejadian hepatitis yang
distimulasi obat. Beberapa penulis juga menyarankan untuk dilakukan pengetesan fungsi hepar
sebagai monitor pada penatalaksanaannya.
2.12.2 Kehamilan
Kehamilan sendiri bukan menjadi factor yang memperberat tuberculosis itu sendiri.
Rifampisin akan membuat fungsi kontrasepsi hormonal lebih rendah, jadi perlu diberitahukan
pada seseorang yang menjalani pengaturan kehamilan selama terapi obat-obatan tuberculosis.
Tuberculosis dengan kehamilan yang tidak menjalani terapi akan meningkatkan kejadian
abortus dan kejadian fetal abnormality. US guidelines merekomendasikan batasan pemakaian
pirazinamid pada terapi tuberculosis dengan kehamilan, sedangkan UK guidelines dan WHO
tidak ada perekomendasian terhadap pemakaian pirazinamid. pemakaian pirazinamisd pernah
dilaporkan mengenai kejadian toksisitasnya. Pemakaian rifampicin dengan dosis tinggi juga
dapat menyebabkan kejadian defek pada tabes neural pada hewan. Obat-obatan tersebut juga
dapat memicu kejadian hepatitis pada pasien dengan kehamilan dan pada masa nifas. Hal yang
dapat diberitahukan pada pasien adalah sebaiknya menunda kehamilan hingga terapi tuberculosis
telah komplit dilakukan.
2.12.3 Penyakit Ginjal
Pasien dengan gangguan ginjal 10-30% akan meningkatkan resiko untuk mendapatkan
tuberculosis. Pasien dengan penyakit ginjal yang mendapat terapi imunosupresif atau yang akan
dilakukan transplantasi harus dipertimbangkan untuk mendapat terapi untuk tuberculosis laten.
Aminoglikosida (STM, kapreomisin dan amikasin) harus dihindari pada pasien dengan
gangguan ginjal ringan sampai berat karena meningkatkan resiko kerusakan pada ginjal. Jika
penggunaan aminoglikosida tidak bisa dihindari (misalnya pada pengobatan tb yang resisten
obat) maka kadar dalam serum harus diawasi secara ketat dan pasien diminta untuk melaporkan
setiap efek samping yang terjadi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir dan ginjal yang
tersisa sudah tidak memiliki fungsi lagi, aminoglikosida bisa digunakan tapi dengan syarat kadar
obat dapat dengan mudah dimonitor (seringkali hanya kadar amikasin yang dapat diukur)
Jika gangguan ginjal ringan, tidak ada perubahan pada dosis obat-obatan lain yang
digunakan rutin pada terapi tb. Pada insufisiensi ginjal yang berat (GFR <30), penggunaan terapi
EMb diberikan dengan dosis setengahnya (atau dihindari sekaligus). Dosis PZA 20 mg/kg/hari
(rekomendasi di Inggris) atau ¾ dosis normal (rekomendasi USA), tapi evidence yang ada tidak
banyak untuk mendukung data ini.
Apabila 2HRZ/4HR digunakan pada pasien dengan dialysis, obat harus diberikan tiap
hari selama awal high-intensity phase. Pada fase lanjutan, obat diberikan pada akhir setiap sesi
hemodialisis dan obat tidak diberikan pada hari non dialysis.
2.12.4 HIV
Pada pasien dengan HIV , terapi HIV akan ditunda hingga terapi untuk Tuberculosis
terselesaikan. Panduan penatalaksanaan berdasarkan British Association adalah :
1. Jika CD +4 lebih dari 200 : terapi HIV ditunda hingga terapi terhadap Tb terselesaikan
(6 Bulan)
2. Jika CD +4 100-200 : terapi HIV ditunda hingga 2 bulan terapi terhadap tuberculosis
terselesaikan.
3. CD +4 < 100 : pada keadaan ini menjadi tidak begitu jelas dan penatalaksanaan masih
menjadi pertanyaan besar.
Jika penatalaksanaan HIV harus segera dilakukan dan pada saat tersebut pasien masih
menjalani terapi terhadap Tuberculosis, secara umum tidak terdapat terdapat interaksi secara
signifikan antara obat untuk terapi HIV dan tuberculosis. Nevirapin sebaiknya tidak digunakan
bersama rifampisin. Efavirenz mungkin dapat digunakan, tetapi dosis harus berdasarkan berat
badan pasien (600 mg perhari jika berat badan kurang dari 50 kg ; jika berat badan > 50 kg 800
mg/hari).
Level efavirens harus di lakukan pengecekan awal akan dilakukannya terapi. Protease
inhibitor seharusnya dicegah sebisa mungkin, pasien dengan pengobatan rifampisin dan protease
inhibitor dapat meningkatkan resiko kegagalan terapi ataupun kekambuhan. WHO menghimbau
untuk tidak menggunakan Thioacetazone pada pasien HIV, karena 23% mampu meningkatkan
resiko kejadian dermatitis eksfoliata.
2.12.5 Epilepsy
Penggunaan Isoniazid dihubungkan dengan peningkatan resiko terhadap kejadian kejang.
Piridoksin 10 mg/hari harus diberikan terhadap kejadian semua epilepsy yang sedang
mendapatkan terapi isoniazid. Tidak terdapat bukti yang nyata bahwa isoniazid mampu
mengakibatkan kejadian kejang pada pasien.
Terapi terhadap tuberculosis mampu berinteraksi dengan obat-obatan anti epilepsy dan
mampu meningkatkan kadar obat dalam serum. Terdapat suatu interaksi yang serius antara
rifampisin dan carbamazepin, rifampisin dan phenitoin, dan rifampisin dengan asam valproat.
2.13 Prognosis
Pada umumnya selama pengobatan memenuhi syarat seperti yang telah disebutkan,
Prognosisnya baik.