of 164 /164
LEGALITAS PENGAJUAN PAILIT PT WIRANA NUSANTARA ENERGY YANG DIDASARKAN ATAS CESSIE SEBAGIAN PIUTANG PT TANGKUBAN PERAHU GEOTHERMAL POWER (STUDI PUTUSAN No. 09/PDT.SUS-PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : DEVI ANNISYAH HASIBUAN NIM : 1113048000047 K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2017 M

LEGALITAS PENGAJUAN PAILIT PT WIRANA NUSANTARA …

  • Author
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of LEGALITAS PENGAJUAN PAILIT PT WIRANA NUSANTARA …

TANGKUBAN PERAHU GEOTHERMAL POWER
(STUDI PUTUSAN No. 09/PDT.SUS-PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST)
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
NIM : 1113048000047
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
PAILIT PT WIRANA NUSANTARA ENERGY YANG DIDASARKAN ATAS
CESSIE SEBAGIAN PIUTANG PT TANGKUBAN PERAHU GEOTHERMAL
POWER (STUDI PUTUSAN No. 09/PDT.SUS-PAILIT/2015/PN/NIAGA/JKT.
PST)”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2017 M. Ix
+74 Halaman + halaman daftar pustaka + halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan legalitas pengajuan pailit dari PT
Wirana Nusantara Energy yang didasarkan atas cessie sebagian piutang PT
Tangkuban Perahu Geothermal Power dan dasar pertimbangan Majelis Hakim
Pengadilan Niaga memutus pailit PT Tangkuban Perahu Geothermal Power dalam
perkara Nomor 09/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst. Penelitian ini menggunakan
jenis penelitian yuridis normatif dan studi kepustakaan (library research) dengan
melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, dan buku-buku yang
berkaitan dengan judul skripsi ini.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan Pengadilan Niaga memutus
pailit PT Tangkuban Perahu Geothermal Power telah salah menerapkan hukum yaitu
telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dikarenakan eksistensi
utang yang dimaksud masih diperdebatkan kedua belah pihak sehingga tidak bisa
dibuktikan dengan sederhana demikian juga terhadap legalitas pengajuan pailit oleh
PT Wirana Nusantara Energy yang didasarkan atas cessie sebagian piutang PT
Tangkuban Perahu Geothermal Power telah tidak memenuhi unsur-unsur kepailitan
yaitu pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
PKPU karena diketahui legalitas cessie yang dilakukan oleh PT Wirana Nusantara
Energy dengan pihak lain yaitu PT Tridaya Sakti Mandiri telah melanggar hukum
karena pelaksanaan perjanjian cessie tersebut didasarkan atas itikad tidak baik dan
telah merugikan pihak ketiga yaitu PT Tangkuban Perahu Geothermal Power
sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap ketertiban umum dimana
status kepailitan yang diterima PT Tangkuban Perahu Geothermal Power
menyebabkan kehilangan haknya dalam bidang harta kekayaan.
Kata Kunci : Cessie atas sebagian piutang, kepailitan, utang, itikad tidak baik
Pembimbing : Dr.Djawahir Hejazziey, S.H., M.A., M.H.,
Daftar Pustaka : Tahun 1979 sampai Tahun 2015
v

Segala puji dan syukur kita panjatkan untuk kehadirat Allah Swt, karena
berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “LEGALITAS PENGAJUAN PAILIT PT WIRANA
NUSANTARA ENERGY YANG DIDASARKAN ATAS CESSIE SEBAGIAN
PIUTANG PT TANGKUBAN PERAHU GEOTHERMAL POWER (STUDI
PUTUSAN No. 09/PDT.SUS-PAILIT/2015/PN.NIAGA.JKT.PST)”. Salawat serta
salam kita sampaikan kepada junjungan alam semesta Nabi Muhammad Saw, yang
telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang
benderang ini. Dalam penelitian skripsi ini, peneliti banyak mendapatkan bimbingan,
arahan, serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini peneliti
mengucapkan terima kasih yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan dan Para Wakil Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat,SH.,MH., Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan
Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan skripsi
ini.
3. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, MA., M.H., Dosen Pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
membimbing, sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini
dengan tepat waktu.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
vi
pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga Allah Swt senantiasa membalas
jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal jariyah untuk
beliau semua.
5. Kepala dan Staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala dan Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah menyediakan fasilitas yang memadai untuk
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orangtua tercinta yaitu ayahanda Samsir Hasibuan dan ibunda Yusna Sari
Harahap, serta Bouku tercinta Hj. Rosmawati Hasibuan yang telah tulus dan
sabar mendoakan agar peneliti dapat menyelesaikan pendidikan dari sekolah
dasar hingga Perguruan Tinggi dan telah memberikan semangat dan dukungan
dari segi materiil maupun moril agar skripsi ini dapat berjalan dengan lancar
hingga selesai.
7. Semua pihak yang telah memberikan semangat dan dukungan kepada peneliti
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
peneliti dan umumnya bagi pembaca. Sekian terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………… 6
C. Tujuan Penelitian …………….………...………………………... 7
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………. 7
F. Metode Penelitian………………………………………………... 9
G. Sistematika Penulisan ………..………………………………….. 11
A. Kepailitan 13
1. Pengertian …………………..………………………………… 13
2. Syarat-Syarat …………………..……………………………... 15
4. Akibat Hukum ………………………………………………... 21
6. Pembuktian Sederhana ……………………………………….. 26
3. Mekanisme Pelaksanaan ……….……………………………… 35
B. PT Wirana Nusantara Energy……………………………………. 42
C. PT Tridaya Sakti Mandiri ……………………………………….. 43
D. Permasalahan Hukum …………………………………………… 44
A. Legalitas Pengajuan Pailit PT Wirana Nusantara Energy Yang
Didasarkan Atas Cessie Sebagian Piutang PT Tangkuban Perahu
Geothermal Power ……………………………………………… 54
Nomor 09/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst………...……… 65
D.
Berbicara tentang utang piutang bukan hal yang asing ditelinga semua
orang, karena setiap saat selalu ada permasalahan yang terkait dengan utang
piutang. Utang piutang merupakan perjanjian antara para pihak yang satu dengan
pihak lainnya dan objek yang diperjanjikan biasanya adalah uang. Kedudukan
pihak yang satu sebagai pihak yang memberi pinjaman biasanya disebut kreditor,
dan pihak yang menerima pinjaman disebut debitor, dan biasanya uang yang
dipinjam disebuut tagihan yang akan dikembalikan dalam jangka waktu tertentu
sesuai dengan yang diperjanjikan si debitor dan kreditor. 1
Di dalam suatu tagihan selalu terlibat dua pihak, yaitu pihak kreditor (si
berpiutang) dan debitor (si berutang). Tetapi praktek perdagangan pada masa kini
membutuhkan sekali adanya kemungkinan penggantian kreditor pada tagihan-
tagihan. Kemungkinan peralihan seperti itu (cessie pada tagihan atas nama) atau
memang diperjanjikan antara para pihak (kreditor dengan debitor dengan cara
menuangkan dalam suatu bentuk tertentu yang diakui dan diatur oleh undang-
undang. 2
Tagihan pada masa sekarang tidak terbatas pada pinjam meminjam uang
yang dituangkan dalam suatu akta, namun tagihan sekarang bisa saja terjadi
ketika dua pihak melakukan kerjasama bisnis dimana satu pihak memberikan
jasanya kepada pihak yang lainnya sesuai yang diperjanjikan, tetapi adakalanya
salah satu pihak tidak membayar jasa yang dilakukan oleh salah satu pihak
sehingga menyebabkan adanya suatu tagihan yang harus dibayar dari salah satu
1 Gatot Supramono, Perjanjian Utang Piutang, (Jakarta : Kencana, 2013), h., 51
2 J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie, & Pencampuran Hutang , (Bandung:
Alumni, 1999), h., 2
2
pihak kepada pihak lain, dengan demikian pihak yang membayar disebut dengan
kreditor dan pihak yang mendapat pembayaran disebut dengan kreditor.
Setelah salah satu pihak menjadi kreditor adakalanya ia akan mengalihkan
piutang yang dimilikinya kepada pihak lain dengan alasan karena membutuhkan
dana untuk menunjang jalannya perusahaan, pengalihan piutang yang banyak
digunakan adalah cessie atas pengalihan piutang.
Dalam dunia usaha, perusahaan dalam menjalankan kegiatan usahanya
tidak mampu membayar utang-utangnya kepada pihak kreditor dalam keadaan
seperti ini disebut insovable sedangkan perusahaan yang masih bisa dan mampu
membayar utang-utangnya kepada pihak kreditor disebut solvable. Dalam hal
perusahaan yang sudah tidak mampu membayar utang- utangnya yang telah jatuh
tempo dengan kata lain berada dalam keadaan berhenti membayar dapat saja
menjadi cikal bakal munculnya kepailitan.
Kepailitan merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang kreditornya.
Kepailitan mengakibatkan debitor yang dinyatakan pailit kehilangan hak segala
perdata untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan yang telah dimasukkan
ke dalam harta pailit. Pembekuan hak perdata ini diberlakukan oleh pasal 22
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2004 tentang kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang terhitung sejak saat keputusan
pernyataan pailit diucapkan. 3
Failissementsverordening kemudian diubah dengan Peraturan pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang- undang
tentang kepailitan. Peraturan pengganti Undang-Undang ini kemudian ditetapkan
sebagai Undang- undang, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998.
Sehubungan dengan banyaknya putusan Pengadilan Niaga yang kontroversial,
3 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002, Cet. Ketiga), h., 5
3
tanggal 18 Oktober 2004, lahirlah Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
tentang Kepaillitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang
selanjutnya disebut UU Kepailitan. Pada prinsipnya, pengaturan masalah
kepailitan merupakan suatu perwujudan dari Pasal 1131 dan Pasal 1132 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. 4
harus dipenuhi terlebih dahulu apabila seseorang atau suatu badan hukum
bermaksud mengajukan permohonan pernyataan pailit melalui pengadilan niaga.
Sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang bahwa debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan
tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya.
Apabila permohonan pernyataan pailit tidak memenuhi syarat-syarat
tersebut, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh pengadilan
niaga. 5 Oleh karena seiring perkembangan zaman dan ketatnya persaingan usaha
seringkali kreditor memakai cara-cara yang tidak baik dalam mempailitkan
debitornya, seperti melakukan pengalihan piutang secara cessie yang terdapat
dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata oleh kreditor lama
kepada kreditor baru.
Dalam hal pengalihan piutang secara cessie ini terhadap seluruh piutang
kreditor maka tidak menjadi permasalahan, akan tetapi yang terjadi biasanya
4 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.Ketiga), h.,2
5 Sutan Remi Sjahdeini, Hukum Kepailitan : Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan, ( Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), h., 52
4
pengalihan piutang ini pihak kreditor baru maupun kreditor lama tidak
memberitahukan dan tidak mengkonfirmasi atau meminta persetujuan dari
debitor terhadap pengalihan piutang tersebut, padahal didalam Pasal 613 ayat (2)
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mensyaratkan harus ada pemberitahuan
dan persetujuan atau pengakuan dari debitor kemudian baru cessie itu dianggap
sah.
Dalam hal telah ada pengalihan piutang sebagian oleh kreditor, biasanya
kreditor yang ingin mempailitkan debitor tersebut telah memenuhi syarat-syarat
dalam kepailitan karena dalam mengajukan kepailitan harus mempunyai
setidaknya dua kreditor hal ini telah terpenuhi sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam sejarah anglo saxon, cessie
atas sebagian piutang yang disebut sebagai cessie parsial ini pernah tidak
diperbolehkan, tetapi perkembangan dewasa ini, larangan cessie sudah banyak
ditinggalkan karena memang tidak mempunyai dasar yang kuat untuk
melarangnya. 6
hanya mempunyai satu kreditor, tetapi dengan dilakukannya cessie atas sebagian
piutang kreditor atas debitor tersebut maka menyebabkan debitor itu memiliki
dua kreditor yang masing- masing memiliki hak yang sama yaitu menagih
piutang debitor. Oleh karena sebab itulah apabila suatu kreditor ingin
mempailitkan debitornya maka sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang telah memenuhi syarat.
Sebagaimana tercantum dalam kasus yang diangkat penulis dan telah
diputus dalam Putusan No. 09/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst, awalnya
6 Munir Fuady, Hukum Kontrak : dari sudut pandang hukum bisnis, (bandung: PT citra
Aditya bakti, 2003, Cet. Pertama), h., 153
5
konsesi untuk pengembangan panas bumi di gunung Tangkuban Perahu dari
Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian termohon mengalihkan proyek itu
kepada pemohon PT Wirana Nusantara Energy yang dituangkan dalam
kerjasama dengan termohon di bidang pemboran panas bumi di daerah Kancah,
Jawa Barat untuk tiga titik lokasi pemboran dengan target pengeboran kedalaman
sampai dengan 1500 meter, yang kemudian pada pengeboran sekitar kedalaman
612 meter alat pengeboran (rig) terjepit, oleh karena terjepit dan rignya rusak
maka atas kesepakatan kontrak keduanya dilakukan amandemen terhadap
perjanjian kerjasama keduanya.
pembayaran atas tagihan yang sudah dikerjakannya dari termohon pailit, yang
kemudian mengalihan sebagian tagihan-tagihan itu secara cessie kepada PT
Tridaya Sakti Mandiri, namun tagihan-tagihan tersebut dibantah oleh termohon
karena menurut termohon, pemohonlah yang melakukan wanprestasi terhadap
perjanjian kerjasama keduanya.
termohon, yang pada akhirnya pemohon mengajukan pailit atas termohon pada
Pengadilan Niaga dengan nomor perkara 09/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt
Pst. dan majelis hakim pengadilan niaga menjatuhkan pailit kepada termohon,
selanjutnya termohon tidak terima dan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung
pada putusan Nomor 489 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 dan telah diputus yang
menyatakan membatalkan putusan pengadilan niaga sehingga PT Tangkuban
Perahu Geothermal Power gagal dipailitkan.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Legalitas pengajuan pailit PT
Wirana Nusantara Energy yang didasarkan atas cessie sebagian piutang PT
Tangkuban Perahu Geothermal Power” (Studi Putusan No. 09/Pdt.Sus-
Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst)”.
6
1. Identifikasi Masalah
adalah terpenuhinya dua persayaratan, pertama harus ada hutang yang belum
dibayar dan telah jatuh tempo, kedua adanya dua kreditor atau lebih, jika telah
terpenuhi kedua-duanya maka telah terpenuhi syarat untuk mempailitkan
suatu debitor.
menggunakan cara-cara yang tidak baik, salah satunya adalah dengan
melakukan pengalihan piutang sebagian secara cessie kepada pihak ketiga
(kreditor baru) sehingga untuk mempailitkan debitor telah memenuhi syarat
Undang-Undang Kepailitan, seperti pada putusan Nomor 09/Pdt.Sus-
Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst pada Pengadilan Niaga debitor telah dinyatakan
pailit, sedangkan pada tingkat kasasi debitor dibebaskan dari pailit.
Berdasarkan uraian diatas maka identifikasi masalah dari penelitian ini
adalah :
a. Legalitas pengajuan pailit PT Wirana Nusantara Energy yang didasarkan
atas cessie sebagian piutang PT Tangkuban Perahu Geothermal Power.
b. Perlindungan hukum terhadap debitor berkenaan dengan cessie atas
piutang oleh kreditor yang beritikad buruk.
c. Untuk mempailitkan debitor perlu sekali memperhatikan solvable suatu
perusahaan.
d. Dasar pertimbangan majelis hakim pengadilan niaga memutus pailit PT
Tangkuban Perahu Geothermal Power dalam perkara Nomor 09/Pdt.Sus-
Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.
maka pokok pembahasan skripsi ini hanya menyangkut pada “Legalitas
7
pengajuan pailit PT Wirana Nusantara Energy yang didasarkan atas cessie
sebagian piutang PT Tangkuban Perahu Geothermal Power ( studi putusan
Nomor 09/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst)”.
maka perlu untuk dibuat perumusan masalah terlebih dahulu. Berdasarkan
uraian latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini meliputi :
a. Bagaimana legalitas pengajuan pailit PT Wirana Nusantara Energy yang
didasarkan atas cessie sebagian piutang PT Tangkuban Perahu Geothermal
Power?
09/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst?
1. Untuk mengetahui legalitas pengajuan pailit PT Wirana Nusantara Energy
yang didasarkan atas cessie sebagian piutang PT Tangkuban Perahu
Geothermal Power.
Nomor 09/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Jkt.Pst.
pengajuan pailit yang didasarkan atas cessie sebagian piutang yang sah
secara hukum kepada Mahasiswa/I Syariah dan Hukum pada khususnya dan
kepada instansi terkait atau masyarakat luas pada umumnya.
8
bidang hukum kepailitan.
Sejauh ini sudah ada penelitian yang berhubungan dalam bentuk:
1. Membahas penelitian dengan judul “Analisis Penolakan Permohonan
Pernyataan Pailit Perusahaan Asuransi Prisma Indonesia yang telah dicabut
izin usahanya (studi putusan mahkamah agung republic Indonesia nomor 388
K/Pdt.Sus/2010)”, yang ditulis oleh Putri Hilaliatul Badria Hakim pada tahun
2016. Penelitian ini memiliki pembahasan yang sama dengan tema yang saya
angkat, hanya saja skripsi ini fokus pada penelitian pada penolakan
pernyataan pailit PT Asuransi Prima Indonesia setelah dicabut izin usahanya
oleh menteri keuangan. Sedangkan penulis membahas legalitas pengajuan
pailit yang dilakukan oleh kreditor terhadap debitor berkenaan dengan cessie
atas sebagian piutang.
2. Membahas penelitian dengan judul “Pembatalan Status Pailit PT Cipta
Televisi Pendidikan Indonesia (studi Putusan Mahkamah Agung No.834
K/Pdt.Sus/2009)”, yang ditulis oleh Anandyta Nur Khoirunnisa pada tahun
2016. Penelitian ini memiliki pembahasan yang sama dengan tema yang saya
angkat, skripsi ini membahas mengenai pembatalan status pailit oleh hakim
mahkamah agung terhadap putusan pengadilan niaga. Sedangkan penulis
membahas mengenai pembatalan status pailit juga tetapi penulis lebih
menitikberatkan pada pertimbangan hukum yang berkenaan dengan cessie
atas sebagian piutang.
3. Membahas penelitian dengan judul “Penjelasan Hukum tentang Cessie”, yang
ditulis oleh Rachmad Setiawan, J. Satrio pada tahun 2010. Penelitian ini
memiliki pembahasan yang sama dengan tema yang saya angkat, buku ini
9
literatur dan Peraturan Perundang-Undangan dan Cessie dan menurut Putusan
Pengadilan. Sedangkan Penulis membahas mengenai cessie secara spesifik
yaitu legalitas cessie atas sebagian piutang.
4. Membahas penelitian dengan judul “Aspek hukum pengalihan piutang atas
nama (cessie) karena wanprestasi PT. Bank Sri Partha kepada PT. Sri Partha
Pusaka Denpasar”, yang ditulis oleh Ida Bagus Gede Partha Suwirya, I Gst.
Ayu Puspawati, Dewa Gde Rudy pada tahun 2013. Penelitian ini memiliki
pembahasan yang sama dengan tema yang saya angkat, jurnal ini membahas
mengenai akibat hukum pengalihan piutang atas nama (cessie) karena
wanprestasi. Sedangkan Penulis membahas mengenai legalitas pengajuan
pailit yang didasarkan atas cessie sebagian piutang.
F. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat memenuhi
kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan skripsi ini.
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode
pengumpulan data sebagai berikut:
metode pendekatan yuridis normatif (Law in book). Penelitian yuridis
normatif adalah penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang
terdapat pada peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta
norma-norma yang berlaku di masyarakat atau juga yang menyangkut
kebiasaan yang berlaku dimasyarakat. 7
Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal
(doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik
7
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Peranan dan Penggunaan Kepustakaan didalam
Penelitian Hukum, (Jakarta:Pusat Dokumen Universitas Indonesia, 1979), h., 18
10
yang tertulis didalam buku (Law as it is written in the book), maupun hukum
yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (Law it is decided by
the judge through judicial process) 8 . Penelitian hukum normatif dalam
penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-
langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif. 9
2. Pendekatan Masalah
kepustakaan (library research) dengan menggunakan pendekatan
Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), dan pendekatan
konseptual (Conceptual Approach). 10
undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang- undangan, dan putusan- putusan hakim. Dalam penelitian
ini, bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah:
a) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b) Undang-Undang RI Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pailit/2015.
8 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana,
2006), h., 118
9 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2003), h., 3
10 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2006
Cet. Kedua), h., 93
Jkt.Pst.
dari literatur hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer
dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan
hukum primer. Bahan hukum yang paling banyak digunakan dalam
penelitian ini adalah teori atau pendapat sarjana hukum, hasil karya
dari kalangan ahli hukum, skripsi, tesis, disertasi, artikel ilmiah, jurnal,
majalah, surat kabar, makalah, penelusuran internet dan sebagainya
3) Bahan non hukum (tersier)
Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
atau bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus besar Bahasa
Indonesia (KBBI), ensiklopedia, dan lain- lain.
b. Metode pengumpulan data dan bahan hukum
Pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif yakni
memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis
rujukan dalam setiap literatur dan bahan hukum yang disebutkan diatas. 11
c. Metode Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017".
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dan terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri
atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan
permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing bab
serta pokok pembahasannya sebagai berikut:
11
12
BAB I: Bab ini merupakan bab Pendahuluan yang isinya antara lain
memuat, latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan umum
kepailitan, dan tinjauan umum tentang cessie
BAB III: Dalam bab ini akan dibahas mengenai profil para pihak dalam
kepailitan dan permasalahan hukum antara para pihak
BAB IV: Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan atau analisis
yuridis penulis mengenai legalitas pengajuan pailit PT Wirana Nusantara Energy
yang didasarkan atas cessie sebagian piutang dan juga analisis penulis mengenai
dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara mengenai kesesuaian antara
putusan pengadilan niaga dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB V: Dalam bab ini akan berisi kesimpulan-kesimpulan yang
diperoleh dari hasil penelitian dan dilengkapi juga dengan saran-saran.
13
berbau tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum atas subjek
hukum, oleh karena itu kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa
mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang
disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam menjalankan usahanya
sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu,
kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau
penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor. 1
Secara etimologi, istilah pailit berasal dari kata Belanda failliet, yang
mempunyai arti rangkap, yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata sifat.
Kata failliet sendiri berasal dari kata Perancis, faillite, yang berarti
pemogokan/kemacetan pembayaran, sedangkan orang yang mogok/macet
membayar dalam Bahasa Perancis disebut le failli. Kata kerja faillir berarti
gagal. Juga dalam Bahasa Inggris dikenal kata to fail dengan arti yang sama.
Demikian pula kata kerja fallire dalam Bahasa Latin. Di negara-negara yang
berbahasa Inggris, untuk pengertian yang sama dipergunakan istilah-istilah
bankrupt atau bankruptcy. 2
dari kata pailit yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa
keadaan berhenti membayar utang-utang debitor yang telah jatuh tempo. Si
1 M.Hadi subhan, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2008) h., 2
2 Bernard Nainggolan, Perlindungan Hukum Seimbang, Debitor, Kreditor, dan Pihak-pihak
Berkepentingan dalam Kepailitan, (Bandung: PT Alumni, 2011), h., 48
14
pailit adalah debitor yang mempunyai dua orang atau lebih kreditor dan tidak
mampu membayar satu atau lebih hutangnya yang telah jatuh tempo dan dapat
ditagih. 3
Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt” adalah “the state
or condition of a person (individual, partnership, corporation, municipality)
who is unable to pay its debt as they are, or become due”. The term includes a
person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed
a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt.”
Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary di atas,
pengertian pailit dapat dihubungkan dengan ketidakmampuan membayar dari
seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan
tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik
yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan
pihak ketiga suatu permohonan pernyataan pailit ke pengadilan. Permohonan
pengajuan ini adalah bentuk dari asas publisitas dari keadaan debitor yang
tidak mampu membayar. 4
Jika dilihat dari segi Undang-Undang Kepailitan, Pengertian kepailitan
menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagai berikut :
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang
ini.
kepailitan mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
3 Zainie Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, (Jakarta: Erlangga,
2012), h., 213
4 Ahmad Yani dan Gunawawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, (Jakarta:
PT.RajaGrafindo, 2002, Cet.Kedua), h., 11
15
b. Ketidakmampuan tersebut harus diajukan secara nyata ke pengadilan
c. Adanya putusan pengadilan yang menyatakan pailit
d. Dilakukan penyitaan umum atas harta debitor oleh pengadilan untuk
pengembalian utang-utangnya kepada kreditor.
Syarat-syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor dapat
dilihat pada pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang antara lain :
Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar
lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu
atau lebih kreditornya.
ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan. Bahwa hukum
kepailitan merupakan realisasi dari pasal 1132 KUH Perdata. Dengan
adanya pranata hukum kepailitan, diharapkan pelunasan utang-utang
debitor kepada kreditor-kreditor dapat dilakukan secara seimbang dan
adil. Setiap kreditor mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan
pelunasan dari harta kekayaan debitor.
Jika debitor hanya mempunyai satu kreditor, maka seluruh harta
kekayaan debitor otomatis menjadi jaminan atas pelunasan utang debitor
tersebut dan tidak diperlukan pembagian secara pro rata dan pari passu.
16
Dengan demikian, jelas bahwa debitor tidak dapat dituntut pailit, jika
debitor tersebut hanya mempunyai satu kreditor.
b. Harus ada utang
pailit ialah harus adanya utang. Dalam proses acara kepailitan konsep
utang sangatlah menentukan, karena tanpa adanya utang tidaklah
mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Tanpa adanya utang
tersebut maka esensi kepailitan menjadi tidak ada karena kepailitan
adalah merupakan pranata hukum untuk melakukan likuidasi aset debitor
untuk membayar utang-utangnya terhadap para kreditornya. Dengan
demikian utang adalah alasan dari suatu kepailitan.
Undang-undang No.4 tahun 1998 tidak memberikan definisi sama
sekali mengenai utang. Oleh karena itu, telah menimbulkan penafsiran
yang beraneka ragam dan para hakim juga menafsirkan utang dalam
pengertian yang berbeda-beda (baik secara sempit maupun luas). Apakah
pengertian utang hanya terbatas pada utang yang lahir dari perjanjian
utang piutang atau perjanjian pinjam meminjam ataukah pengertian utang
merupakan suatu prestasi/kewajiban yang tidak hanya lahir dari perjanjian
utang piutang saja.
dalam pasal 1 butir 6 UU Kepailitan dan PKPU yaitu:
Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam
jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang
asing baik secara langsung maupun yag akan timbul di kemudian hari
atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan
yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak
kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan
debitor.
Dari definisi utang yang diberikan oleh UU Kepailitan dan PKPU,
jelaslah bahwa definisi utang harus ditafsirkan secara luas, tidak hanya
17
pinjam-meminjam, tetapi juga utang yang timbul karena undang-undang
atau perjanjian yang dapat dinilai dengan sejumlah uang. 5
Sebenarnya dalam KUH Perdata maupun rezim hukum keperdataan
tidak dikenal utang dalam arti sempit maupun utang dalam arti luas dan
tidak ada utang dalam arti sempit. Utang adalah utang sebagaimana yang
tersurat antara lain dalam pasal 1233 KUH Perdata. Undang undang
kepailitan merupakan penjabaran lebih khusus dari KUH Perdata, maka
utang dalam UU Kepailitan dan PKPU adalah prestasi sebagaimana diatur
dalam KUH Perdata. 6
Menurut pasal 1233 KUH Perdata, kewajiban atau utang dapat timbul
dari perjanjian atau dari Undang-Undang. Ada kewajiban untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
Beberapa contoh kewajiban yang timbul dari perjanjian adalah sebagai
berikut:
1) Kewajiban debitor untuk membayar bunga dan utang pokok kepada
pihak yang meminjamkan;
tersebut;
kepada pembeli rumah;
kembali pinjaman debitor kepada kreditor
Bagi debitor, kewajiban tersebut adalah utang yang memberikan hak
menagih kepada kreditor (tagihan/piutang). Kegagalan debitor (yaitu
5 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet. Ketiga), h.,11
6 M.Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Kencana, 2008) , h., 89
18
kewajiban sebagaimana mestinya dapat menjadi dasar suatu permohonan
kepailitan atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang
(PKPU). 7
Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU,
dimana utang didefinisikan dalama arti luas yang berarti telah paralel
dengan konsep KUH Perdata, akan tetapi perubahan konsep utang ini
menjadi terdistorsi ketika dikaitkan dengan hakikat kepailitan dalam UU
Kepailitan yang hanya bertujuan untuk mempermudah mempailitkan
subjek hukum dimana syarat kepailitan hanya memiliki dua variabel,
yakni adanya utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih kembali
serta memiliki setidak-tidaknya dua kreditor. Sehingga kemudahan
mempailitkan subjek hukum seakan dipermudah lagi dengan konsep
utang dalam arti luas tersebut, dan kelemahan undang-undang ini sering
disalahgunakan, dimana kepailitan bukan sebagai instrumen hukum untuk
melakukan distribusi aset debitor akan tetapi digunakan sebagai alat
untuk menagih utang atau bahkan untuk mengancam subjek hukum
kendatipun tidak berkaitan dengan utang.
c. Syarat cukup satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih
Syarat bahwa utang harus telah jatuh waktu dan dapat ditagih
menunjukkan bahwa kreditor sudah mempunyai hak untuk menuntut
debitor untuk memenuhi prestasinya. Menurut Jono SH, syarat ini
menunjukkan bahwa utang harus lahir dari perikatan sempurna ( adanya
schuld dan hafting). Dengan demikian, jelas bahwa utang yang lahir dari
7 Imran Nating, Peranan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan
Harta Pailit, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004), h., 25
19
untuk permohonan pernyataan pailit. Misalnya utang yang yang lahir dari
perjudian. Meskipun utang yang lahir dari perjudian telah jatuh waktu, hal
ini tidak melahirkan hak kepada kreditor untuk menagih utang tersebut. 8
Dengan demikian, meskipun debitor mempunyai kewajiban untuk
melunasi utang itu, kreditor tidak mempunyai alas hak untuk menuntut
pemenuhan utang tersebut. Dengan demikian, kreditor tidak berhak
memajukan permohonan pailit atas utang yang lahir dari perjudian.
3. Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan
Seorang debitor hanya dapat dikatakan pailit apabila telah diputuskan oleh
pengadilan niaga. Adapun yang berhak mengajukan permohonan pernyataan
pailit adalah sebagai berikut:
Dalam setiap hal disyaratkan bahwa debitor mempunyai lebih dari satu
orang kreditor, karena merasa tidak mampu atau sudah tidak dapat
membayar hutang-hutangnya, dapat mengajukan permohonan pailit.
Debitor harus membuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih kreditor
serta utangnya telah jatuh tempo dan sudah dapat ditagih.
b. Atas permintaan seorang atau lebih kreditornya
Seorang kreditor atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun secara
bersama-sama dapat mengajukan permohonan pailit selama memenuhi
syarat yang telah ditentukan oleh Undang-undang Kepailitan. Kreditor
yang mengajukan permohoan kepailitan untuk debitor harus memenuhi
syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau pembuktian
mengenai hak kreditor untuk menagih juga dilakukan secara sederhana. 9
8 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.ketiga), h., 11
9 Imran Nating, Peranan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan Pemberesan Harta
Pailit, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2004), h., 37
20
permohonan pailit, UU Kepailitan dan PKPU dalam penjelasan pasal 2
ayat (2) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “kepentingan umum”
adalah kepentingan bangsa, dan negara dan/atau kepentingan masyarakat
luas, misalnya:
3) Debitor mempunyai utang kepada Badan Usaha Milik Negara atau
badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;
4) Debitor mempunyai utang yang berasal dari dana dari masyarakat luas;
5) Debitor tidak beritikad baik, atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau
6) Dalam hal lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan
umum. 10
permohonan pailit jika debitornya adalah suatu bank. Hal demikian berarti
nasabah bank tidak dapat mengajukan permohonan kepailitan bagi
banknya yang dalam keadaan berhenti membayar utangnya.
e. Badan Pengawas Pasar Modal
Dalam hal menyangkut debitor yang merupakan Perusahaan Efek,
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh
Badan Pengawas Pasar Modal.
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (P.T.Alumni:Bandung, 2010, Cet.kedua), h., 92
21
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik. 11
4. Akibat Hukum
melakukan semua tindakan hukum yang berkenaan dengan harta kekayaannya
harus dihormati. Tentunya dengan memperhatikan hak-hak kontraktual serta
kewajiban debitor menurut peraturan perundang-undangan.
Semenjak pengadilan mengucapkan putusan pailit dalam sidang yang
terbuka untuk umum terhadap debitor, maka hak dan kewajiban si pailit
beralih kepada kurator untuk mengurus dan menguasai boedelnya. Kepailitan
mengakibatkan seluruh harta kekayaan debitor serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan berada dalam sitaan umum sejak saat putusan
pernyataan pailit diucapkan, kecuali :
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang
dipergunakan untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang
dipergunakan oleh debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30
hari bagi debitlur dan keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pension, uang
tunggu atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh hakim
pengawas; atau
c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.
Ahmad Yani dan Gunawawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, (Jakarta:
PT.RajaGrafindo, 2002, Cet. Ketiga), h., 12
22
mengurus harta kekayaannya. Timbul pertanyaan, apakah debitor menjadi
tidak cakap melakukan perbuatan hukum? Mengenai hal tersebut, harus
diperhatikan bahwa debitor pailit tetap cakap dan berwenang untuk perbuatan
hukum sepanjang perbuatan hukum tersebut tidak berkaitan baik langsung
ataupun tidak langsung dengan harta kekayaannya. Dalam arti, debitor hanya
kehilangan haknya dalam lapangan hukum harta kekayaan. Seperti debitor
pailit masih cakap untuk melakukan perbuatan hukum lain sepanjang tidak
menyentuh harta kekayaannya, karena harta kekayaannya sudah berada
dibawah sitaan umum. 12
hukum apabila dengan perbuatan hukum tersebut akan menambah harta
kekayaannya. Apabila ternyata di kemudian hari, perbuatan hukum itu
merugikan kekayaan pailit, curator/Balai Harta Peninggalan dapat
mengemukakan pembatalan perbuatan hukum tersebut. Pasal 36 UU
Kepailitan dan PKPU menentukan sebagai berikut:
1) Dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan dan terdapat
perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak
yang mengadakan perjanjian dengan debitor dapat meminta kepada
kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan
perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh curator dan
pihak tersebut. Dalam hal kesepakatan mengenai jangka waktu
sebagaimana dimaksud tidak tercapai, maka hakim pengawas menetapkan
jangka waktu tersebut. Apabila dalam jangka waktu ditentukan kemudian
12
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet. ketiga), h., 107
23
dinyatakan berakhir dan sebagai kreditor dapat menuntut ganti rugi dan
akan diperlakukan sebagai kreditor konkuren. 13
2) Dalam hal debitor telah menyewa suatu benda, baik curator maupun
pihak yang menyewakan barang/benda dapat menghentikan perjanjian
sewa, dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum
berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat istiadat setempat dalam jangka
waktu paling singkat Sembilan puluh hari. Jika pembayaran uang sewa
telah dilakukan, pemberhentian perjanjian sewa tidak bisa dilakukan
sebelum habisnya jangka waktu pembayaran sewa tersebut. Sejak
diputuskannya keadaan pailit, maka uang sewa dinyatakan sebagai boedel
pailit.
kerja atau curator dapat menghentikan hubungan kerja dengan
mengindahkan perjanjian kerja dan peraturan yang berlaku, dengan
pengertian bahwa hubungan kerja tersebut dapat diputuskan dengan
pemberitahuan paling singkat 45 hari sebelumnya. Sejak tanggal putusan
pailit ditetapkan, upah pekerja/buruh yang terutang sebelum maupun
sesudah pernyataan pailit dinyatakan sebagai utang boedel pailit.
4) Pembayaran suatu utang yang sudah jatuh tempo hanya dapat dibatalkan
apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui bahwa
permohonan pernyataan pailit debitor sudah didaftarkan atau dalam hal
pembayaran utang tersebut merupakan akibat dari persekongkolan antara
debitor dengan kreditor dengan maksud menguntungkan kreditor
melebihi kreditor lainnya. Jika pembayaran yang sudah diterima oleh
13
Zainal asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang di
Indonesia, (Pustaka Reka Cipta: Bandung, 2013), h., 58
24
pemegang surat pengganti atau surat atas tunjuk karena memang sudah
jatuh tempo, pembayaran tersebut tidak dapat diambil kembali. 14
5) Kemungkinan selama kepaillitan, debitor memperoleh warisan. Mengenai
hal tersebut pasal 40 UU Kepailitan dan PKPU mengaturnya dan
menyebutkan bahwa warisan yang jatuh kepada debitor selama kepailitan,
oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila harta warisan tersebut
menguntungkan harta pailit. Untuk tidak menerima warisan tersebut,
kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. 15
5. Pengadilan Niaga dan Yuridiksinya
Dalam rumusan ketentuan pasal 3 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU
dapat diketahui bahwa setiap permohonan pernyataan pailit harus diajukan ke
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum
debitor, dengan ketentuan bahwa :
pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum
terakhir dari debitor;
b. Dalam hal debitor adalah persero atau suatu firma, pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut;
c. Dalam hal debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik
Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah
Republik Indonesia, maka diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kedudukan hukum kantor debitor menjalankan profesi
atau usahanya.
Zaini Asyhadie dan Budi Sutrisno, Hukum Perusahaan dan Kepailitan, (Jakarta: Erlangga,
2012), h., 26
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, (PT Alumni: Bandung, 2010, Cet.kedua), h., 118
25
d. Dalam hal debitor merupakan badan hukum, pengadilan dimana badan
hukum tersebut memiliki kedudukan hukumnya sebagaimana dimaksud
dalam anggaran dasarnya. 16
peradilan umum.
memberi putusan terhadap perkara kepailitan dan penundaan kewajiban dan
pembayaran utang (PKPU). Pengadilan Niaga juga berwenang menangani
sengketa-sengketa komersial lainnya seperti sengketa di bidang hak kekayaan
intelektual (HKI) dan sengketa dalam proses likuidasi bank yang
dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). 17
Dalam memeriksa dan memutus perkara kepailitan atau PKPU pada
pengadilan niaga tingkat pertama hanya bisa dilakukan oleh hakim majelis,
sedangkan hal yang menyangkut perkara lain di bidang perniagaan, Ketua
Mahkamah Agung dapat menetapkan jenis dan nilai perkara yang pada tingkat
pertama diperiksa dan diputus oleh hakim tunggal.
Pengadilan niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat yang mana Pengadilan Niaga tersebut berwenang untuk menerima
permohonan kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup di seluruh wilayah
Indonesia. Dalam pasal 281 ayat (2) Perpu No.1 Tahun 1998 jo. UU No.1
16
Ahmad Yani dan Gunawawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, (Jakarta:
PT.RajaGrafindo, 2002, Cet. ketiga), h., 16
17
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan secara bertahap dengan
Keputusan Presiden, dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber
daya yang diperlukan. Kemudian dengan Keputusan Presiden No.97 Tahun
1999, pemerintah membentuk pengadilan niaga pada empat wilayah
Pengadilan Negeri lainnya, yaitu di Pengadilan Negeri Ujung Pandang,
Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Surabaya, dan Pengadilan Semarang.
Dengan dibentuknya empat pengadilan niaga tersebut, pembagian
wilayah yuridiksi relatif bagi perkara yang diajukan kepada pengadilan niaga
menjadi sebagai berikut: 18
a. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang
meliputi wilayah provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, dan Irian Jaya.
b. Daerah hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi
provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan
Daerah Istimewa Aceh.
meliputi provinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimanta Tengah,
Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,
Timor Timur.
meliputi provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.
6. Pembuktian Sederhana
menggunakan istilah dengan dua kata yaitu: proof dan evidence. Adapun
dalam hukum Belanda disebut “bewijs”. Arti membuktikan itu sendiri banyak
18
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, Cet.ketiga), h., 83
27
sekali, dan karena itu, untuk memahami pengertian hukum pembuktian itu
sendiri tentu terlebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau
membuktikan itu sendiri. 19
kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Pada
dasarnya, esensi pembuktian adalah untuk menentukan hubungan hukum yang
sebenarnya antara pihak yang berperkara, meliputi kejadian atau peristiwa
serta suatu hak yang didalilkan oleh para pihak, dan menjadi objek
perselisihan. Pasal 163 HIR menyatakan:
Barangsiapa yang menyatakan mempunyai barang sesuatu hak, atau
menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk
membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya
hak itu atau kejadian itu.
Dalam hukum acara pada pengadilan niaga beban pembuktian dan alat-
alat bukti tidak datur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo Perpu
Nomor 1 Tahun 1998) kecuali dalam hal gugatan Actio Pauliana. Pembuktian
sederhana adalah pembuktian yang lazim disebut pembuktian secara sumir
merupakan syarat yang diatur dalam pasal 8 ayat (4) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 jo pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 jo
Perpu Nomor 1998, yang menyatakan:
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk
dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) telah
dipenuhi.
Terkait yang dimaksud dengan fakta atau keadaan yang terbukti secara
sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditor dan fakta utang yang
telah jatuh waktu dan tidak dapat dibayar. Perbedaan besarnya jumlah utang
19
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Asas-asas hukum pembuktian perdata, (Jakarta:
Kencana, 2015, cet. ketiga), h., 15
28
dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Jika kita perhatikan ketentuan yang diatur dalam pasal 8 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tersebut diatas, maka jelas bahwa yang
dimaksudkan dengan pembuktian sederhana adalah pembuktian mengenai:
a. Eksistensi dari satu utang debitor yang dimohonkan kepailitan yang telah
jatuh tempo; dan
b. Eksistensi dari dua atau lebih kreditor dari debitor yang dimohonkan
kepailitan. 20
Dalam hal adanya fakta atau keadaan bahwa debitor telah tidak
membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih pemohon harus
bisa membuktikan keadaan tersebut, jikalau pemohon tidak melakukan
pembuktian fakta atau keadaan yang diajukan itu, maka hakim terpaksa akan
menyatakan bahwa fakta atau keadaan tidak terbukti. Alasan yang layak bagi
pasal 8 ayat (4) adalah siapa yang mengemukakan fakta atau keadaan maka
harus membuktikan.
Hakim akan menentukan apa yang harus dibuktikan dan pihak mana yang
harus memberikan bukti, artinya hakim menentukan pihak mana yang akan
memikul resiko tentang pembuktian . Risiko dalam pembuktian ini tidak
boleh berat sebelah, dalam hal ini hakim harus bertindak adil dan
memperhatikan segala keadaan konkrit. Hendaknya tidak selalu satu pihak
saja yang diwajibkan memberi bukti, melainkan menurut keadaan yang
konkrit pembuktian terhadap suatu hal hendaknya itu diwajibkan kepada
pihak yang palling sedikit diberatkan.
20
PT RajaGrafindo Persada, 2003), h., 141
29
Istilah Cessie berasal dari kata “Cedere” yang artinya melepaskan suatu
hak dan menyerahkannya pada orang lain. KUH Perdata tidak mengenal
istilah Cessie, tetapi di dalam pasal 613 ayat (1) KUH Perdata disebutkan
bahwa :
a. penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh
lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau akta di
bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan
kepada orang lain.
b. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibat, melainkan
setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis
disetujui dan diakui.
menyerahkan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat-surat
tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosmen.
Dari pasal 613 ayat (1) KUH Perdata di atas dapat dilihat dua hal bahwa
disana disebutkan dua jenis penyerahan tagihan yaitu tagihan atas nama dan
penyerahan tagihan atas nama.
istilah yang diciptakan oleh doktrin, untuk menunjukkan kepada tindakan
penyerahan tagihan atas nama, sebagaimana diatur oleh pasal 613 KUH
Perdata penyerahannya dilakukan dengan membuat akta penyerahan tagihan
piutang atas nama yang disebut akta cessie. 21
21
J. Satrio, Rachmad Setiawan, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: PT Gramedia,
2010), h., 1
Cessie adalah suatu perjanjian di mana kreditur mengalihkan piutangnya (atas
nama) kepada pihak lain. Cessie merupakan perjanjian kebendaan yang
didahului suatu “titel” yang merupakan perjanjian obligatoir. Ada hal
menarik, sementara dalam Pasal 613 ayat (2) KUH Perdata mewajibkan
adanya pemberitahuan pada debitur/ cessus, tetapi Prof. Mariam Daruz
menyebutkan tidak perlu pemberitahuan pada debitur/cessus.
Ahli hukum lainnya prof. Subekti, mengatakan Cessie adalah pemindahan
hak piutang, yang sebetulnya merupakan penggantian orang berpiutang lama,
yang dalam hal ini dinamakan cedent, dengan seseorang berpiutang baru, yang
dalam hubungan ini dinamakan cessionaris. Yang mana hubungan hukum
utang piutang tersebut tidak hapus satu detik pun, tetapi keseluruhannya
dipindahkan kepada kreditor baru, jadi tidak pada waktu akta itu
diberitahukan pada si berutang. 22
Berdasarkan beberapa pengertian Cessie di atas dapat di simpulkan
bahwa Cessie merupakan suatu cara untuk mengalihkan piutang atas nama
dari kreditur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris) yang mana
harus dilakukan dengan memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam pasal 613
KUH Perdata. Selain itu, dari beberapa pengertian tentang Cessie di atas dapat
pula diketahui unsur-unsur dalam peristiwa Cessie. Unsur-unsur tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Adanya pihak cedent (pihak yang mengalihkan piutangnya atau biasa
disebut sebagai kreditur lama) dan pihak cessionaris (pihak penerima
pengalihan piutang dari cedent biasa disebut sebagai kreditur baru), serta
22
31
pihak cessus (pihak yang berutang kepada kreditur lama (cedent) dan di
alihkan oleh cedent kepada cessionaris);
b. Adanya piutang atau tagihan dengan titel yang sah;
c. Adanya pengalihan pituang atau tagihan;
d. Adanya akta Cessie yang otentik atau akta di bawah tangan;
e. Adanya pemberitahuan (betekening) kepada cessus (debitur);
f. Adanya persetujuan dan pengakuan tertulis dari cessus (debitur).
2. Cessie Sebagai Perjanjian Kebendaan
Cessie termasuk bagian dari hukum kebendaan karena cessie merupakan
tagihan dan merupakan benda yang disamakan dengan benda tidak berwujud
yang merupakan tagihan, selain itu cessie juga memiliki hubungan dengan
hukum perjanjian, sebab keberadaan cessie didasari oleh adanya perjanjian
antara kreditor dengan debitor dan juga perjanjian antara kreditor dan
penerima cessie (jika cessie didasari dengan peristiwa perdata berupa
perjanjian). 23
cessie juga tunduk terhadap ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai
perjanjian.
Pasal 613 KUH Perdata hanya mengatur cara melakukan cessie agar
cessie tersebut sah menurut hukum dan mempunyai akibat hukum. Pasal
tersebut tidak memberikan pengaturan mengenai jenis-jenis cessie maupun
apakah ada atau tidak cessie yang dilarang. Hal ini mengharuskan kita untuk
melihat pengaturan mengenai perjanjian dalam buku III KUH Perdata. Dalam
membuat suatu perjanjian, setiap orang bebas membuat perjanjian dengan
siapapun. Apapun isinya dan apapun bentuknya, sepanjang memenuhi syarat
sah perjanjian yang ditentukan dalam pasal 1230 KUH Perdata :
a. Kesepakatan
J. Satrio, Rachmad Setiawan, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: PT Gramedia,
2010), h., 55
merupakan cerminan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya.
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak ini, para pihak yang mengadakan
perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan membuat kesepakatan atau
perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja selama dan sepanjang prestasi
yang wajib dilakukan tersebut bukanlah suatu yang dilarang. Hal ini didukung
dengan pasal 1336 KUH Perdata yang berbunyi:
jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak terlarang
atau jika ada sebab selain dari pada yang dinyatakan itu, perjanjian itu
adalah sah.
Dari rumusan pasal tersebut jelas dapat kita lihat bahwa memang pada
dasarnya Undang-Undang tidak mempersoalkan apa yang terjadi atau dasar
dibentuknya perjanjian tertentu yang ada diantara para pihak. Undang-Undang
hanya menentukan apakah prestasi yang disebutkan dalam perjanjian tersebut
merupakan prestasi yang tidak dilarang oleh hukum sehingga dapat
dipaksakan keberlakuannya oleh para pihak.
Kemudian pada pasal 1337 KUH Perdata memberikan pengertian yang
limitatif mengenai sebab yang halal menjadi sebab yang tidak terlarang, yaitu:
suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undang-undang, atau
apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.
33
perjanjian dapat dibuat setiap orang, asal tidak melanggar undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. 24
Mengenai hal yang bertentangan dengan kesusilaan menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai perihal susila yang berkaitan
dengan adab dan sopan santun. 25
Adab dan sopan santun di setiap masyarakat
berbeda, sehingga tidak dapat dijadikan tolak ukur yang baku, melainkan
dikembalikan kepada persepsi masayarakatnya.
terinjak-injak atau tidak oleh suatu persetujuan. 26
Hal ini dapat diperoleh
tolak ukurnya adanya ketertiban umum.
Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa cessie tidak boleh melanggar
ketentuan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum. selain itu
cessie juga harus dilandaskan dengan asas-asas yang terkandung dalam
perjanjian, agar kelak cessie yang dilakukan oleh cedent dengan cessionaris
sah menurut hukum.
diadopsi oleh doktrin, jadi untuk mencari ketentuan mengenai cessie sebagian,
kita harus mencari pendapat dari ahli hukum. Sayangnya, ahli hukum yang
membahas cessie sebagian sangat jarang. Salah satu ahli hukum yang
membahas tentang cessie sebagian adalah Munir Fuady.
24
Kartini Muljadi, dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2008), h., 56
25
pada 20 Agustus 2017
h., 38
Menurut Munir Fuady, bahwa disamping cessie untuk seluruh tagihan
yang ada atau cessie dengan akibat hukum yang penuh, tedapat juga cessie
dengan akibat hukum terbatas (cessie parsial). Cessie dengan akibat hukum
terbatas dapat dilakukan untuk sebagian dari tagihan yang ada dari suatu
kontrak. Beliau mendasarkan bahwa cessie parsial ini tidak dilarang karena
memang tidak ada dasar yang kuat untuk melarangnya.
Terkait dengan cessie yang dilarang. Munir Fuady menyatakan bahwa
tidak selamanya cessie dibenarkan oleh hukum. Cessie yang tidak dibenarkan
yaitu: 27
b. Cessie yang bertentangan dengan ketertiban umum
c. Cessie yang bertentangan dengan kesusilaan
d. Cessie yang secara signifikan dapat mengubah kewajiban dari pihak
debitor
e. Cessie yang dilarang dalam perjanjian yang menimbulkan hak yang
dialihkan.
Jadi, terlihat bahwa cessie yang tidak diperbolehkan tersebut tidak dapat
dibenarkan oleh hukum karena substansi dari objek cessienya, jadi bahwa
cessie sebagian tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori cessie yang tidak
diperbolehkan. Hal ini dikarenakan cessie sebagian hanyalah suatu istilah
untuk prosedur cessie, bukan substansi dari objek cessie tersebut.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perbuatan cessie sebagian yang
memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1230 KUH
Perdata haruslah dianggap sah dan memiliki akibat hukum yang mengikat
bagi para pihak, sepanjang pelaksanaanya tidak melanggar undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.
27
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2007), h., 160
35
Pada dasarnya mekanisme pelaksanaan cessie atas seluruh piutang atau
sebagian piutang adalah sama. Cessie diatur dalam buku II, pasal 613 ayat (1)
KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa penyerahan piutang atas nama dan
kebendaan tak bertubuh lainnya dilakukan dengan membuat akta otentik atau
akta dibawah tangan, dengan mana hak-hak kebendaan tersebut dilimpahkan
kepada orang lain. Selanjutnya pada pasal 613 ayat (2) KUH Perdata
disebutkan bahwa supaya penyerahan piutang dari kreditor lama kepada
kreditor baru mempunyai akibat hukum kepada debitor, maka penyerahan
tersebut harus diberitahukan kepada debitor, atau debitor secara tertulis telah
menyetujuinya atau mengakuinya. 28
terlebih dahulu adalah mengenai adanya hubungan hukum yang menimbulkan
utang piutang tersebut, yaitu hubungan antara kreditor dengan debitor. Dalam
hal ini bisa di contohkan dengan perjanjian antara pemberi kerja dengan
penerima kerja dalam hal pemboran sumur panas bumi, yang mana penerima
kerja belum mambayar upah penerima kerja, sehingga inilah yang menjadi
hak milik dari penerima kerja berupa utang piutang, yang nantinya akan di
cessie kan oleh penerima kerja.
Adapun setelah kreditor memiliki piutang, jika ia ingin mengalihkan
piutangnya tersebut melalui cessie, maka tahapan pelaksanaannya adalah
sebagai berikut:
Seperti yang dibahas di atas, apabila hak milik kreditor berupa
piutang telah ada, maka selanjutnya kita harus melihat peristiwa perdata
untuk memindahkan hak milik dari kreditor hal ini dapat ditemukan
dalam pasal 584 KUH Perdata yaitu:
28
Suharnoko, dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi, dan Cessie, (Jakarta: Kencana,
2008), h., 102
memindahkan hak milik, dilakukan oleh seorang yang berhak
berbuat bebas terhadap kebendaan itu.
Peristiwa perdata (rechtstitel) adalah hubungan hukum obligatoir
yang menimbulkan kewajiban untuk menyerahkan (ke dalam pemilikan
oang lain, 29
diantara dua pihak, dimana pihak yang satu berkedudukan sebagai
kreditor, dan pihak lainnya berkedudukan sebagai debitor. Rechtstitel bisa
timbul dari undang-undang, seperti kewajiban mengganti rugi atas
tindakan melawan hukum (pasal 1365 KUH Perdata), atau berdasarkan
perjanjian, seperti jual beli tagihan. 30
Disini rechstitel berperan sebagai
Dari pengertian rehcstitel diatas, dapat ditarik pemahaman bahwa
sebelum melakukan pengalihan, para pihak harus memiliki perikatan,
yang mana bisa diwujudkan dengan membuat perjanjian jual beli piutang
dimana kreditor menjual piutangnya atas debitor kepada pihak lain.
Perjanjian jual beli piutang ini dilakukan antara kreditor dengan
calon kreditor baru merupakan bentuk perjanjian obligatoirnya, dimana
hanya menimbulkan hak dan kewajiban para pihak, yaitu kreditor
berkewajiban menyerahkan hak milik atas piutangnya kepada pembeli
piutang dan berhak atas pembayaran atas piutang yang diperjanjikan,
sedangkan pembeli piutang berkewajiban untuk membayar harga piutang
yang diperjanjikan dan mendapatkan hak milik atas piutang tersebut.
Namun untuk mendapatkan hak milik atas piutang, pembeli piutang dan
kreditor harus membuat akta pengalihan piutang seperti yang disyaratkan
29
Wawan Iriawan, Cessie: Piutang Kredit, hak dan Perlindungan bagi Kreditur Baru,
(Jakarta: Djambatan, 2005), h., 33
30
J.Satrio, dan Rachmad Setiawan, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: PT
Gramedia, 2010), h., 10
dalam pasal 613 KUH Perdata agar memiliki akibat hukum antara
kreditor lama, kreditor baru dan debitor.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa peristiwa perdata yang mendasari
terjadinya cessie adalah berupa perikatan yang didasarkan perjanjian,
maka harus tunduk pada Buku III KUH Perdata tentang perikatan, seperti
harus tunduk pada syarat sah perjanjian, asas-asas perjanjian, dan lain-
lain, sehingga tidak ada yang dirugikan dalam perjanjian tersebut berikut
juga dengan nantinya cessie yang dilakukan para pihak.
b. Dituangkan dalam suatu akta otentik atau di bawah tangan
Dalam Pasal 613 KUH Perdata disebutkan bahwa cessie harus
dilakukan dengan membuat suatu akta yaitu :
Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tak
bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta
otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan
itu dilimpahkan kepada orang lain.
Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa untuk cessie ditentukan suatu
bentuk tertulis, walaupun untuk hubungan obligatoir yang menjadi dasar
cessie tidak disyaratkan suatu bentuk tertentu, jadi bisa lisan maupun
tertulis. Cessie dapat dituangkan dalam suatu akta di bawah tangan
maupun akta otentik, asal di dalamnya tegas-tegas disebutkan bahwa
kreditur lama dengan itu telah menyerahkan hak tagihnya kepada kreditur
baru. Jika cessie tidak dituangkan dalam bentuk akta, maka cessie batal
demi hukum karena melanggar ketentuan perundang-undangan.
Akta otentik adalah suatu akta yang bentuknya ditentukan undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk
itu di tempat mana akta dibuatnya . sedangkan akta dibawah tangan
adalah akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
38
Akta cessie
yang dibuat dalam bentuk akta otentik maupun akta dibawah tangan
adalah sah karena pasal 613 ayat (1) KUH Perdata tidak mensyaratkan
akta cessie dibuat dalam bentuk tertentu.
c. Keharusan adanya pemberitahuan kepada debitor (cessus)
Bahwa cessie harus diberitahukan kepada debitor (cessus) agar
mempunyai akibat hukum kepadanya sebagaiman dimaksud dalam pasal
613 ayat (2) KUH Perdata yaitu sebagai berikut:
Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tiada akibatnya,
melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau
secara tertulis disetujui atau diakuinya.
Dari ketentuan di atas, yang perlu diperhatikan terlebih dahulu
adalah maksud dari kata “disetujui atau diakuinya”. Jadi, maksud dari
penggalan pasal tersebut adalah alternatif, bukan kumulatif. Pernyataan
diatas didukung oleh pendapat Munir Fuady, yang menganggap ketentuan
ayat tersebut bersifat alternatif. Hal ini berdasarkan pernyataan beliau
berikut:
bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta (otentik atau di
bawah tangan), yang disebut akta cessie yang melimpahkan hak-hak
atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan itu tidak akan
ada akibatnya bagi berhutang sebelum penyerahan itu diberitahukan
kepadanya, atau disetujuinya secara tertulis, atau diakuinya. 32
Dilihat dari isinya, pasal 613 KUH Perdata tersebut
mengindikasikan cessie tidak mempunyai akibat hukum kepada cessus
31
h.,465.
32
Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiyaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), h., 73
39
dan diakui oleh cessus secara tertulis.
Perlu diperhatikan bahwa akibat hukum yang dikatakan dalam ayat
tersebut adalah yang berkaitan dengan hubungan hukum antara cessus
dengan cessionaris. Disisi lain, cessie merupakan hubungan hukum
langsung antara cedent dengan cessionaris. Tidak adanya akibat hukum
antara cessus tidak berarti membatalkan cessie yang dilakukan oleh
cedent dengan cessionaris. Pemahaman diatas didukung dengan
pernyataan dari J. Satrio yaitu bahwa dengan selesainya akta cessie, maka
hak milik sudah berpindah dari cedent kepada cessionaris. 33
Jadi, pasal 613 ayat (2) KUH Perdata tidak mengatur hubungan
hukum antara cedent dengan cessionaris sehingga pemberitahuan atau
persetujuan cessus bukan merupakan syarat sah dari cessie. Hal ini berarti
cessus dapat menolak untuk membayar utangnya kepada cessionaris.
Akan tetapi, penolakan tersebut tidak menghilangkan kewajiban cessus
sebagai debitor untuk membayar utangnya kepada cedent selaku kreditor
yang diakuinya.
Pasal 613 KUH Perdata ayat (2) KUH Perdata tidak mengatur siapa
yang harus memberitahukan bahwa telah terjadi pengalihan hak secara
cessie kepada cessus. Dengan demikian siapa saja baik cedent maupun
cessionaris bahkan pihak ketiga diluar perjanjian cessie pun dapat
memberitahukannya kepada cessus.
pemberitahuan harus melalui exploit juru sita. Hal ini disebabkan karena
dalam redaksi aslinya Burgerlijk Wetboek (BW) pemberitahuan itu harus
melalui betekening, yang maksudnya adalah pemberitahuan resmi melalui
exploit juru sita. Namun dengan semakin berkembangnya zaman dimana
33
J. Satrio, Cessie Tagihan Atas Nama, (Jakarta: Yayasan DNC, 2012), h., 31
40
tugas juru sita pengadilan yang semakin sibuk sehingga untuk dimintakan
memberitahukan telah dilakukannya cessie (dan juga masalah biaya),
maka dalam praktiknya sekarang ini, pemberitahuan telah berubah
menjadi pemberitahuan secara tertulis saja kepada cessus, yang penting
adalah adanya bukti bahwa pemberitahuan itu telah sampai pada cessus. 34
Jika sudah dilakukan pemberitahuan secara tertulis terkait telah
adanya cessie, maka cessie sudah mempunyai akibat hukum yang
mengikat seluruh pihak, yaitu cessus, cessionaris, dan cedent. Sehingga,
cessus melunasi utangnya dengan pembayaran kepada cessionaris.
Dalam cessie sebagian, prosesnya hampir sama dengan cessie pada
umumnya. Hanya saja, pada cessie sebagian, cedent hanya mengalihkan
sebagian saja dari piutangnya kepada cessionaris. Hal ini berarti bahwa
cedent masih memiliki hak tagi atas piutang terhadap cessus. Jadi cessus
harus melunasi piutangnya yang telah dibagi dua, sebagian dibayarnya
kepada cedent dan sebagian lagi dibayarnya kepada cessionaris sesuai
dengan yang diperjanjikan dalam akta cessie.
Dengan telah dilakukannya cessie berasal dari suatu kontrak atau
dari perikatan lainnya bedasarkan undang-undang yang bukan perbuatan
melawan hukum, maka akibat hukumnya adalah sebagai berikut: 35
1) Piutang beralih dari cedent ke cessionaris
2) Setelah terjadi cessie, kedudukan cessionaris menggantikan
kedudukan cedent, yang berarti segala hak yan dimiliki oleh cedent
terhadap cessus dapat digunakan oleh cessionaris sepenuhnya.
Sejak berlaku efektifnya suatu pengalihan piutang, kreditor awal
(cedent) tidak berhak lagi untuk menerima pembayaran atau pelunasan
34
J.Satrio Cessie Tagihan Atas Nama, (Jakarta: Yayasan DNC, 2012), h., 23
35
J. Satrio,dan Rachmad Setiawan, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: PT
Gramedia, 2010), h., 55
utang debitor merupakan hak kreditor baru (cessionaris) dan dibayarkan
oleh debitor kepada kreditor baru.
Untuk mencegah terjadinya kemungkinan khilaf maupun adanya
itikad tidak baik dari para pihak yang terlibat dalam cessie, diwajibkan
adanya pemberitahuan kepada debitor bahwa telah dilakukan cessie
tersebut. 36
melunasi utangnya kepada siapa (kreditor baru) dan tidak melakukan
kesalahan membayar atau melunasi utangnya kepada kreditor awalnya.
Pemberitahuan ini juga bertujuan melindungi kepentingan kreditor baru
karena ia dapat menagih piutangnya kepada debitor tidak dapat menagih
piutangnya kepada debitor dan debitor tidak dapat mengelak atau
menghindari kewajibannya karena ia sudah diberitahu mengenai adanya
cessie tersebut.
maka akibat hukum yang timbul pasti berbeda dengan cessie pada
umumnya. Hal ini dikarenakan piutang yang dialihkan hanya sebagian
saja, sehingga sebagian piutang masih tetap dimiliki oleh kreditor awal
(cedent). Akibatnya, cedent masih berhak menagih sebagian
piutangnyaterhadap cessus yang belum dialihkan kepada cessionaris.
Perbuatan hukum cessie sebagian ini mengakibatkan debitor
(cessus) memiliki dua kreditor yaitu cedent dan cessionaris yang masing-
masing memiliki hak yang sama dalam melakukan penagihan kepada
cessus. Hal ini berarti bahwa debitor (cessus) harus membayar atau
melunasi utangnya kepada cedent dan juga cessionaris dikarenakan
keduanya memiliki piutang terhadap cedent.
36
J. satrio, dan Rachmad Setiawan, Penjelasan Hukum Tentang Cessie, (Jakarta: PT
Gramedia, 2010), h., 41
PT Tangkuban Parahu Geothermal Power (TPGP) dalam perkara kepailitan
ini bertindak sebagai termohon pailit adalah sebuah perseroan terbatas yang
didirikan pada tanggal 1 Oktober 2009 berdasarkan Akta No. 2 Notaris Humberg
Lie, SH dengan kepemilikan saham Indonesia Power sebesar 50% dan Raser
Technology Inc sebesar 50%. Raser Technology Inc selanjutnya berganti nama
menjadi Cyrq Energy Inc berdasarkan Akta No. 2 Notaris Erni Rohaini, SH
tanggal 3 April 2012.
PT tangkuban Perahu Geothermal Power ini dibentuk karena PT Indonesia
Power memperoleh konsesi untuk pengembangan panas bumi di Gunung
Tangkuban Perahu berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat No.
540/Kep.1679-Adm.rek/2009 tanggal 26 Nopember 2009 menerima Izin Usaha
Pertambangan (IUP) panas bumi di WKP Panas Bumi G.Tangkuban Parahu.
PT Tangkuban Perahu Geothermal Power adalah sebuah perusahaan energi
panas bumi yang mengolah wilayah kerja pertambangan panas bumi tangkuban
perahu yang memiliki visi “Menjadi perusahaan energi terpercaya yang tumbuh
berkelanjutan, dan misi “Menyelenggarakan bisnis pembangkitan tenaga listrik
dan jasa terkait yang bersahabat dengan lingkungan.” 1
B. PT Wirana Nusantara Energy
PT Wirana Nusantara Energy dalam perkara kepailitan ini bertindak sebagai
pemohon pailit untuk PT Tangkuban Perahu Geothermal Power adalah suatu
Perseroan Terbatas yang didirikan berdasarkan hukum negara Republik
Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT
Wirana Nusantara Energy No.14 tanggal 22 Desember 2010 yang dibuat
1 Profil PT Tangkuban Perahu, http://www.indonesiapower.co.id/id/profil/Pages/Sekilas-
Indonesia-Power.aspx artikel diakses pada 19 September 2017.
dihadapan Notaris Sjaaf De Carya Siregar,S.H, di Tangerang dan sebagaimana
terakhir diubah dalam akta No.1 tanggal 25 Juli 2014 yang dibuat dihadapan
Notaris Yurdhanita Bachtiar S.H, di Tangerang.
PT Wirana Nusantara Energy adalah perusahaan yang memiliki keahlian non
konstruksi dalam bidang jasa operasi sumur pemboran, kerja ulang sumur
(Workover), pemboran inti (Core Drilling), pemboran darat/onshore drilling,
survei non seismik, dan pengujian atas dan lapisan bawah tanah/ Drill Stem Test. 2
PT Wirana Nusantara Energy tergabung ke dalam BSA Group, suatu grup
perusahaan yang berbasis di Indonesia. Grup ini bergerak dalam jasa
pertambangan, energi, dan lingkungan. BSA Group memiliki motto “one stop
approach”,yaitu dengan perusahaan- perusahaan yang tergabung di dalam grup
ini, maka tersedia layanan terpadu yang meliputi kegiatan pertambangan dari
awal perencanaan pertambangan sampai akhir, yaitu rekonstruksi lingkungan
setelah kegiatan pertambangan 3 .
PT Tridya Sakti Mandiri bertindak sebagai pihak ketiga dalam perkara
kepailitan antara PT Tangkuban Perahu Geothermal Power dengan PT Wirana
Nusantara Energy , PT Tridaya Sakti Mandiri (TSM) didirikan pada tahun 2012
dengan nomor akta pendirian Nomor 01 tanggal 11 Desember 2012 yang telah
mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia No.
AHU-06178.AH.01.01.Tahun 2013 tanggal 14 Februari 2013 tentang pengeshaan
badan hukum Perseroan Terbatas PT Tridaya Sakti Mandiri, yang
mengkhususkan diri dalam bidang environmental dredging.
Sama halnya dengan PT Wirana Nusantara Energy, PT Tridaya Sakti
Mandiri juga tergabung ke dalam BSA Group, suatu grup perusahaan yang
2 Profil PT Wirana Nusantara Energy, http://migas.esdm.go.id/apdn/uploads/Wirana%
20Nusantara %20Energy,%20PT2014.pdf, artikel diakses pada 15 Agustus 2017.
3 Profil PT Tridaya Sakti Mandiri, http://www.tsmdredging.com/aboutbsagroup.php, artikel
berbasis di Indonesia. Grup ini bergerak dalam jasa pertambangan, energi, dan
lingkungan. BSA Group memiliki motto “one stop approach”,yaitu dengan
perusahaan- perusahaan yang tergabung di dalam grup ini, maka tersedia layanan
terpadu yang meliputi kegiatan pertambangan dari awal perencanaan
pertambangan sampai akhir, yaitu rekonstruksi lingkungan setelah kegiatan
pertambangan
Adapun Kegiatan usaha PT Tridaya Sakti Mandiri adalah reklamasi, yaitu
kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata,
memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat
berfungsi kembali sesuai peruntukannya termasuk dalam hal ini adalah
memindahkan tanah atau sedimen yang terkena polusi. 4 Pelayanan perusahaan ini
mencakup berbagai pasar, termasuk rekonstruksi lingkungan, pengerukan, supply
industry, fasilitas umum, urban development, water treatment dan lain
sebagainya. 5
D. Permasalahan Hukum
Para pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan dengan nomor putusan 489
K/Pdt.Sus-Pailit/2015 adalah sebagai berikut:
1. PT Wirana Nusantara Energy, berkedudukan di Graha Adi Media Lantai
1, Jalan Deplu Raya Nomor 6, Kelurahan Bintaro, Kecamatan
Pesanggrahan, Jakarta Selatan.-12330;
2. PT Tangkuban Perahu Geothermal Power, berkedudukan di gedung PT
Indonesia Power lantai 7, Jalan Jendral Gatot Subroto Kav.18, Jakarta
12950;
Agustus 2017.
20 Agustus 2017.
berdasarkan hukum negara Republik Indonesia, berkantor di Jl.Deplu
Raya No.1, Bintaro Pesanggrahan, Jakarta Selatan-12330
Pemohon pailit PT Wirana Nunsantara Energy adalah suatu perusahaan
berbentuk perseroan terbatas yang bergerak di bidang jasa pemboran sumur
panas bumi, dan termohon pailit yaitu PT Tangkuban Perahu Geothermal Power
adalah suatu perseroan terbatas yang memperoleh konsesi untuk pengembangan
panas bumi di Gunung Tangkuban Perahu dari Pemerintah Propinsi Jawa Barat
sejak tahun 2009.
Kasus ini berawal dari PT Tangkuban Perahu mengadakan kerjasama dengan
PT Wirana Nusantara Energy untuk melakukan pengeboran sumur panas bumi di
Gunung Tangkuban Perahu, yang mana PT Tangkuban Perahu Geothermal
Power adalah pemberi kerja, sedangkan PT Wirana Nusantara Energy adalah
penerima kerja.
Sejak awal termohon pailit selalu tertarik untuk mengadakan kerjasama
dengan pemohon pailit di bidang pemboran panas bumi di daerah Kancah, Jawa
Barat untuk tiga titik lokasi pemboran, mengingat pemohon pailit dapat
menyediakan peralatan untuk pemboran panas bumi dengan RIG baru (brand
new) (yang selanjutnya disebut “Rig BSA#1”) . adapun rig tersebut telah
diperiksa kesiapannya oleh termohon pailit dan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) Republik Indonesia.
Setelah Rig BSA#1 tersebut dinyatakan layak untuk digunakan, maka pada
tanggal 15 April 2014 pemohon pailit dan termohon pailit melakukan kerjasama
untuk pemboran panas bumi dengan sampai kedalaman 1500 M yang dibuat dan
ditanda tangani keduanya dengan perjanjian Nomor 001.PJ/060/TPGP/2014
tentang pekerjaan pemboran Research Well dan Coring di WKP Tangkuban
Perahu, Jawa Barat dengan addendum tertanggal 16 Juni 2014.
46
Disamping itu pemohon pailit dan termohon pailit telah setuju bahwa
pelaksanaan pekerjaan pemboran panas bumi di Sumur Kancah 3 dikerjakan
dengan sistem semi IPM (Integrated Project Manajement), dengan pengertian
sebagian kegiatan sub kontraktor yang di tunjuk oleh pemohon pailit disediakan
dan ditanggung pembayarannya terlebih dahulu oleh pemohon pailit. Untuk
kemudian ditagihkan kepada termohon pailit, dan sebagian kegiatan sub
kontraktor lainnya yang ditunjuk oleh termohon pailit disediakan dan ditanggung
pembayarannya oleh termohon pailit.
Pekerjaan pemboran yang dimulai pada tanggal 22 April 2014 sampai
dengan tanggal 20 Mei 2014, segala dan setiap biaya untuk pekerjaan-pekerjaan
pemboran tersebut telah dibayar oleh termohon. Namun sangat disayangkan,
menurut pemohon pailit tarif harian operasi (THO) , tarif harian siaga (THS) dan
penagihan atas pekerjaan dan material yang sama pemohon pailit menolak untuk
membayar kepada termohon pailit.
Kemudian ternyata pada kedalaman 612 M (enam ratus dua belas meter) Rig
BSA#1 tersebut terjepit dan mengalami kerusakan yang menyebabkan pemboran
panas bumi terhenti, dan menurut penuturan PT Wirana Nusantara Energy ini
disebabkan karena kurangnya pasokan air yang disediakan oleh termohon pailit.
Oleh karena itu pemohon pailit dan termohon pailit sepakat untuk mengganti Rig
BSA#1 tersebut dengan yang baru, namun pemohon pailit dalam gugatannya
mengatakan bahwa akan mengenyampingkan penggantian Rig BSA#1 dan atas
persetujuan termohon pailit maka dilakukan perbaikan terhadap Rig BSA#1
tersebut, dan pekerjaan-pekerjaan yang timbul dari perbaikan Rig BSA#1 biaya
untuk perbaikannya ditanggung oleh termohon pailit.
Dilain pihak, PT Tangkuban Perahu Geothermal Power menyatakan bahwa
Rig BSA#1 yang terjepit adalah murni kesalahan PT Wirana Nusantara Energy,
dan disetujui bahwa pemohon pailit bersedia mengganti Rig BSA#1 dengan
47
drilling rig yang baru dengan seluruh biaya yang timbul akan menjadi tanggung
jawab PT Wirana Nusantara Energy, namun ternyata pemohon pailit tidak
melaksanakan kewajibannya. Dan pihak pemohon pailit telah meninggalkan
lokasi proyek dengan membawa semua peralatan pemboran dan pendukungnya,
pada kedalaman pemboran 612 mku jauh dari ketentuan dalam kontrak yaitu
1500 mku, tanpa ada upaya untuk mengganti dengan drilling rig yang rusak
dengan yang baru sesuai amandemen. Dan menurut PT Tangkuban Perahu
Geothermal Power, seluruh dalil-dalil pemohon pailit yang mengklaim seolah-
olah termohon pailit setuju dengan penggunaan rig lama yang diperbaiki adalah
dalil-dalil karangan belaka dengan maksud itikad buruk hendak melarikan diri
dari kewajiban dan tanggung jawabnya harus mengganti dengan rig baru yang
telah disetujui dan disepakati serta ditandatangani bersama dalam amandemen.
Adapun setelah diperhitungkan oleh pemohon pailit, bahwasanya termohon
pailit memiliki tagihan sebesar US$3,451,787,77 ( tiga juta empat ratus lima
puluh satu ribu tujuh ratus delapah puluh tujuh dan tujuh puluh tujuh sen dolar
Amerika Serikat) dan Rp618.926.875,00 (enam ratus delapan belas juta Sembilan
ratus dua puluh enam ribu delapan ratus tujuh puluh lima rupiah). Yang
kemudian pemohon pailit melakukan penagihan-penagihan berupa surat tagihan
(invoices) pada tanggal 26 September 2014 dan surat tagihan pada tanggal 12
November 2014 yang telah diterima oleh termohon pailit, dalam hal mana setelah
lima hari kerja termohon pailit sama sekali tidak mempermasalahkan perihal
invoices yang diterima oleh termohon pailit.
Mengingat termohon pailit tidak juga melakukan pembayaran atas tagihan-
tagihan yang telah disampaikan pemohon pailit maka pemohon pailit kembali
menyampaikan surat surat penagihan pada tanggal 11 Desember 2014 dan surat
penagihan pada tanggal 2 Januari 2015. Kemudiaan karena tak kunjung ada
pembayaran dari PT Tangkuban Perahu Geothermal Power maka pemohon pailit
melayangkan somasi kepada termohon pailit, sebanyak dua kali somasi yang
48
mana somasi kedua dilakukan pada tanggal 10 April 2015 melalui surat nomor
55/EMP-RS/IV/15.
Pada tanggal 16 April 2015, PT Wirana Nusantara Energy mengalihkan
sebagian hak tagihnya terhadap PT Tangkuban Perahu Geothermal Power
sebesar US$1,286,577.31 (satu juta dua ratus delapan puluh enam ribu lima ratus
tujuh puluh tujuh dan tiga puluh satu sen dolar Amerika Serikat) dan
Rp618.926.875,00 (enam ratus delapan belas juta Sembilan ratus dua puluh enam
ribu delapan ratus tujuh puluh lima rupiah) kepada PT Tridaya Sakti Mandiri
secara cessie, yang beralamat di Graha Adhi Media Office Park Unit 3, Lantai 2
(dua), Jalan Deplu Raya No.6 kelurahan Bintaro, kecamatan Pesanggrahan,
Jakarta Selatan 12330, berdasarkan akta jual beli piutang (hak tagih) Nomor 16
tertanggal 16 April 2015 dan akta pemindahan pengalihan sebagian hak tagih
Nomor 17 tertanggal 16 April 2015 yang kedua-duanya dibuat oleh dan
dihadapan Notaris Emmyra Fauzia Kariana, S.H., M.Kn.
Kemudian pada tanggal 30 April 2015, PT Wirana Nusantara Energy sebagai
kreditor mengajukan surat permohonan pailit terhadap PT Tangkuban Perahu
Geothermal Power sebagai debitor yang diajukan kepada Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat. Dalam permohonannya, PT Wirana Nusantara Energy (selanjutny
pemohon pailit) menyatakan bahwa PT Tangkuban Perahu Geothermal Power
mempunyai utang yang dapat ditagih dan dua kreditor.
Atas permohonan pailit yang diajukan pemohon pailit tersebut, termohon
pailit lalu memberikan jawaban yang membantah bahwa dirinya telah memenuhi
syarat dijatuhi putusan pailit sebagaimana tercantum dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Dalam jawabannya, termohon pailit banyak membantah pernyataan
pemohon pailit baik dalam eksepsinya maupun dalam jawaban pokok
perkaranya. Termohon pailit mempermasalahkan dalam hal perkara kepailitan
49
yang diajukan oleh pemohon pailit adalah kompetensi absolut, karena menurut
termohon pailit perkara ini harus diajukan ke dalam BANI (Badan Arbitrase
Nasional Indonesia) karena dalam klausul perjanjian nomor
001.PJ/060/TPGP/2014 menyebutkan bahwa apabila ada sengketa akan
diselesaikan di BANI, lagi pula menurut termohon pailit pekerjaan yang
dilakukan oleh pemohon pailit telah dibayar segala pekerjaannya sampai
pengeboran kedalaman 612 meter, karena sesudah kedalaman 612 meter,
pemohon pailit tidak melanjutkan pekerjaannya dengan alasan alat pengeboran
(Rig BSA#1) sudah tidak berfungsi, sehingga yang seharusnya diperkarakan
adalah pemohon pailit karena tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan
perjanjian dengan pengeboran keda