1
MINGGU, 16 SEPTEMBER 2018 A RSITEK Liem Bwan Tjie tak banyak dibicarakan, termasuk di kalangan arsitek negeri ini hingga pengujung abad ke-20. Di Semarang, kota tempat ia dilahirkan, dibesarkan, dan berpraktik pada awal kariera, arsitek dan mahasiswa sekolah arsitektur tak banyak mengenal dia. Buku “andalan” arsitektur kolonial kalangan pencinta sejarah, Architectuur en Stedebouw in Indonesiё 1870- 1970 yang ditulis Huib Akihary dan terbit 1988 mencan- tumkan nama Liem Bwan Tjie. Namun hanya menye- butkan dua karyanya. Terbitan dua tahun berikutnya, setelah revisi, baru membeberkan jauh lebih banyak karyanya yang masih tersebar di Kota Semarang. Liem arsitek penting. Tak hanya bagi Semarang, tetapi juga Indonesia. Ia arsitek pembaru yang mem- bawa modernisme ke Indonesia (Hindia Belanda) akhir dasawarsa ketiga abad ke-20. Dilahirkan 6 September 1891 di keluarga saudagar tekstil di Gang Warung, Liem menempuh pendidikan di Ambachtsschool (seko- lah teknik, STM Jalan dr Cipto Semarang). Pada 1911 ia berangkat ke Belanda untuk studi lanjut. Hubungan baik antara keluarganya dengan mitra dagang Belanda membuka akses bagi Liem muda melanjutkan ke Hoogere Burgereschool (HBS) Haarlem dan MTS Utrecht sebagai persiapan memasuki sekolah tinggi. Keputusan mencari pengalaman dengan bekerja di biro arsitek di Amsterdam terbukti berpengaruh besar dalam kariernya. Sekitar empat tahun Liem magang di kantor arsitek besar di Amsterdam, yaitu BJ Ouёndag (perancang Lawang Sewu), Michel de Klerk (pelopor Amsterdam School), dan Ed Cuypers (pemilik biro arsitek terbesar di Hindia Belanda yang merancang bangunan Javasche Bank, termasuk Semarang). Tak pelak, pengaruh Amsterdam School yang berpegang teguh pada keindahan ekspresionistik dan utopia sebagai prinsip yang mengarahkan ke karya Liem, dari rumah, kantor, sampai bangunan umum skala lebih besar. Usai mencari pengalaman dan menghadapi tanta- ngan, Liem berbekal dua ijazah sekolah menengah, jurusan bouwkunde (bangunan) dan waterbouwkunde (bangunan air), melanjutkan ke TU Delft. Sebagai mahasiswa, Liem aktif mempelajari seni dan budaya Barat. Juga mengikuti kegiatan organisasi peranakan Tionghoa, Chung Hua Hui. Berbagai diskusi di perkumpulan itu mengasah kepekaan dan daya pikir Liem. Selalu tertarik mencari pengalaman dan tantangan baru, Liem pindah ke Paris, meneruskan ke Ecole Des Beaux Art, sekolah seni dan arsitektur Kerajaan Prancis yang sangat bergengsi. Pergaulan intelektu- al, interaksi sosial, dan diskusi dengan kawan-kawan seperantauan di kafe-kafe di Paris mematangkan Liem. Dia menjadi bagian tak ter- pisahkan dari dinamika perubahan di Eropa saat itu. Dari Paris mele- wati Siberia, Liem melanjutkan pengembaraan intelektu- al ke Tiongkok dan singgah di Universitas Yenching Beijing untuk melanjutkan belajar dan mengajar. Serbuan militer Jepang ke Tiongkok membu- at keluarganya meminta Liem segera kembali ke Semarang pada 1929. Babak Semarang Liem, arsitek non-Belanda pertama yang terdidik di Eropa, memulai karier sebagai arsitek di NV Volkhuisvesting di bawah Gemeente (Kota Praja) Semarang. Dia merancang bangunan, terutama rumah. Pelanggan pertama para saudagar/pengusaha Tionghoa peranakan Semarang dan sekitarnya. Dia makin dikenal. Liem makin menunjukkan peran sebagai arsitek pembaru. Dia pembawa modernisme di Jawa dan menyebarkannya di Semarang. Kesempatan emas ketika ia diminta merancang kantor pusat perusa- haan raksasa Oei Tiong Ham Concern di Kota Lama yang dia ker- jakan pada 1930- 1931. Dia memperli- hatkan kapasitas sebagai wong Semarang pembawa perubahan dalam menampilkan karya untuk mengako- modasi modernisasi di perusahaan rak- sasa itu. Rancangan kan- tor pusat OTH meru- pakan penjabaran konsep modernisme yang menyeluruh dalam memecahkan masalah lingkungan iklim tropis (sebagaimana dilakukan para arsitek Belanda pendahulunya) di Nusantara, mengolah perpaduan budaya Barat dan Timur secara matang, dengan memanfaatkan teknologi dan ketukangan Eropa yang dia kuasai. Karya sangat cer- das berupa rancangan bangunan di kawasan padat — bangunan tersusun berderet rapat — adalah peman- faatan kearifan berupa penerapan sumur langit ( cim ce) seperti di rumah-rumah Pecinan untuk penerangan dan sirkulasi udara dalam bangunan. Itu didukung sirkulasi udara yang dilewatkan kisi-kisi jendela di kedua muka bangunan. Bangunan yang kini jadi kantor RNI itu hasil pemaduan budaya berprinsip modern, tidak dangkal, dan meyakinkan. Itu pemecahan masalah yang melampaui zaman, mendukung spirit pemilik yang menyimpan obsesi: tak mau kalah dari Javasche Bank di jalan utama Kota Lama. Kehebatan Liem menjabarkan konsep desain bangunan tropis dan perpaduan Timur-Barat tampak dalam rancangan modern lain, termasuk rumah tinggal Dr Han Tiauw Tjong di Candi Baru, rumah di Jalan dr Wahidin, dan Gemeentelijk zwembad atau Kolam Re- nang Kota Semarang di Jalan Ki Mangunsarkoro. Ba- bak Semarang beringsut ke babak berikutnya, setelah proklamasi kemerdekaan RI, ketika Liem memutuskan pindah ke Ibu Kota untuk melayani kalangan lebih luas. Rancangan perdana babak itu termasuk rumah tinggal Presiden, yang sayang belum sempat terbangun. Liem penting bagi Semarang dan Indonesia karena sedikitnya tiga hal. Pertama, ia arsitek pertama Indonesia berpendidikan Bouwkunst Eropa. Kedua, ia arsitek pembaru yang membawa modernisme ke Nusantara. Ketriga, ia bersama 17 arsitek lain LBT adalah pendiri Ikatan Arsitek Indonesia pada 1959. Karya Liem di Semarang kebanyakan dari periode awal karier yang gemilang. Itu antara lain pabrik kopi Margoredjo (Kebon Karang), Wotgandul Barat (1930) dan kantor pusat Oei Tiong Ham Concern Jalan Kepodang, Kota Lama, Semarang (1930-1931). - Ir Widya Wijayanti MPH MURP, arsitek anggota Dewan Kehormatan IAI Provinsi Jawa Tengah, tim ahli Cagar Budaya Kota Semarang S aat pertama penulis mengenal Lasem, ter- bersit pertanyaan, bangunan dengan arsitektur Tionghoa yang mencolok ini apakah tidak menimbulkan sentimen dari pemerintah orde baru saat itu, ataupun dengan penduduk sekitarnya. Pertanyaan itu selalu terbesit, manakala penulis mengunjungi Lasem. Saat penulis mengadakan penelitian tahun 2014- 2015 dengan judul ”Konsep Tata Ruang dan Sistem Bangunan Arsitektur Tionghoa di Pecinan Lasem, sebuah Telaah Terhadap Proses Akulturasi Budaya”, pertanyaan tersebut baru terjawab. Lasem selain sebagai kota unik dengan arsitektur Tionghoa yang mencolok, namun patut juga dijuluki kota dengan tingkat toleransi yang tinggi. Konflik antarpenduduk di Lasem hampir tidak pernah terjadi. Setiap penduduknya dari tua maupun muda memahami betul pentingnya menja- ga kota Lasem dari segala kekacauan yang berujung merugikan diri sendiri. Setiap konflik akan dimusyawarahkan di klenteng Gie Yong Bio. Karena di dalam klenteng ini terdapat tokoh dan catatan sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda. Pada tahun 1743-1745, Lasem dipimpin oleh Adipati dengan nama Raden Ngabehi Widyadiningrat, yang merupakan seorang Tionghoa muslim dan sekaligus Mayor Belanda. Nama asli dari Adipati ini adalah Oey Ing Kiat. Adipati Raden Ngabehi Widyadiningrat berteman dengan putra Adipati Lasem sebelumnya (Tejakusuma V. 1714- 1727), yaitu Raden Panji Margono yang merupakan orang pribumi. Selain itu juga berteman dengan seorang pendekar kungfu bernama Tan Kee Wie. Ketiganya saling mengangkat saudara dan berjuang melawan Belanda. Mereka bersama Kiai Ali Badawi, seorang ulama besar di Lasem bahu mem- bahu melawan VOC terkait dengan pembantaian orang Tionghoa di Batavia yang terkenal dengan Perang Kuning. Pada pemberontakan melawan VOC ini ketiganya gugur. Jasa mereka dikenang dan dihormati di klenteng Gie Yong Bio, di daerah Babagan. Orang Lasem percaya, bahwa leluhur mereka pernah bersatu dan berhasil memperta- hankan Lasem dari serbuan musuh dan menjaga kota menjadi damai. Antar Generasi Kisah ini selalu diceritakan dan dipahami antar generasi. Dan setiap konflik yang terjadi, akan ditan- gani secara dini dan selalu diingatkan tentang sejarah Lasem tersebut. Kawasan Lasem memi- liki tampilan Arsitektur Tionghoa dimulai dari pagar depan yang terdapat gapura nan cantik. Gapura terse- but memiliki bentuk yang bervariasi yang mencer- minkan karakter dari penghuninya. Selain berar- sitektur Tionghoa, terdapat pula pagar dan rumah dengan arsitektur kolonial Belanda. Namun uniknya tata ruang dalamnya tetap mempertahankan tata ruang rumah Tionghoa dan terdapat percampuran dengan tata ruang dalam rumah tradisional Jawa. Kekhasan dan keindahan bangunan Lasem selain pada tata ruangnya juga terletak pada detail ornamen pada atap. Penyelesaian ujung wuwungan atap dibuat lancip menjulang ke atas mirip dengan ekor burung walet. Dalam wuwungan ini juga terda- pat ornamen rooster keramik yang telah berumur ratusan tahun. Penghuni bangunan di kota Lasem terutama pada bangunan berarsitektur Tionghoa telah banyak ditinggalkan penghuninya. Anak dari penghuni banyak yang belajar di kota Jakarta Bandung, Surabaya dan Semarang yang selan- jutnya bekerja di kota itu juga. Akibatnya penghuni di kota Lasem kebanyakan orang tua ataupun rumah tersebut ditinggalkan dan dibiarkan kosong karena penghuninya mengikuti anaknya pindah di kota lain. Karena banyak bangunan yang kosong, maka rumah-rumah tersebut menjadi mer- ana. Ada yang rusak karena tidak terawat, namun yang paling ironis adalah banyak rumah yang diubah fungsi menjadi garasi bus/truk atau menjadi gudang. Bangunan aslinya dijual ke kota-kota besar. Konstruksi, bahan bangunan dan semua komponen bangunan ìdicabutî dan bahkan ada informasi dijual ke luar negeri sebagai benda antik. Lasem saat ini butuh perhatian dan penanganan serius untuk diselamatkan.(53) Lem Bwan Tjie , Salah Satu Pendiri IAI Oleh Widya Wijayanti Lasem, Kota Berarsitektur Tionghoa Nan Merana Oleh L.M.F. Purwanto Profesor Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata Mengamati Lasem sudah penulis lakukan sejak tahun 1990. Mengumpulkan data untuk tugas kuliah sampai penelitian dengan dana dari Ristek Dikti telah dilakukan dengan beberapa catatan penting. Lasem, sebuah kota khas yang unik. Mengapa dikatakan unik, karena kawasan ini terdapat satu kawasan dengan arsitektur Tionghoa yang kental.

Lasem, Kota Berarsitektur Tionghoa Nan Meranaiai-jateng.org/wp-content/uploads/2018/09/20180916_hal_14.pdf · sitektur Tionghoa, terdapat pula pagar dan rumah dengan arsitektur kolonial

Embed Size (px)

Citation preview

MINGGU, 16 SEPTEMBER 2018

ARSITEKLiem Bwan Tjie tak banyakdibicarakan, termasuk di kalangan arsiteknegeri ini hingga pengujung abad ke-20. Di

Semarang, kota tempat ia dilahirkan, dibesarkan, danberpraktik pada awal kariera, arsitek dan mahasiswasekolah arsitektur tak banyak mengenal dia. Buku“andalan” arsitektur kolonial kalangan pencinta sejarah,Architectuur en Stedebouw in Indonesiё 1870-1970yang ditulis Huib Akihary dan terbit 1988 mencan-tumkan nama Liem Bwan Tjie. Namun hanya menye-butkan dua karyanya. Terbitan dua tahun berikutnya,setelah revisi, baru membeberkan jauh lebih banyakkaryanya yang masih tersebar di Kota Semarang.

Liem arsitek penting. Tak hanya bagi Semarang,tetapi juga Indonesia. Ia arsitek pembaru yang mem-bawa modernisme ke Indonesia (Hindia Belanda) akhirdasawarsa ketiga abad ke-20. Dilahirkan 6 September1891 di keluarga saudagar tekstil di Gang Warung,Liem menempuh pendidikan di Ambachtsschool (seko-lah teknik, STM Jalan dr Cipto Semarang). Pada 1911ia berangkat ke Belanda untuk studi lanjut. Hubunganbaik antara keluarganya dengan mitra dagang Belandamembuka akses bagi Liem muda melanjutkan keHoogere Burgereschool (HBS) Haarlem dan MTSUtrecht sebagai persiapan memasuki sekolah tinggi.

Keputusan mencari pengalaman dengan bekerja dibiro arsitek di Amsterdam terbukti berpengaruh besardalam kariernya. Sekitar empat tahun Liem magang dikantor arsitek besar di Amsterdam, yaitu BJOuёndag (perancang Lawang Sewu), Michel deKlerk (pelopor Amsterdam School), dan Ed Cuypers(pemilik biro arsitek terbesar di Hindia Belanda yangmerancang bangunan Javasche Bank, termasukSemarang). Tak pelak, pengaruh Amsterdam Schoolyang berpegang teguh pada keindahan ekspresionistikdan utopia sebagai prinsip yang mengarahkan ke karyaLiem, dari rumah, kantor, sampai bangunan umum

skala lebih besar.Usai mencari pengalaman dan menghadapi tanta-

ngan, Liem berbekal dua ijazah sekolah menengah,jurusan bouwkunde (bangunan) dan waterbouwkunde(bangunan air), melanjutkan ke TU Delft. Sebagaimahasiswa, Liem aktif mempelajari seni dan budayaBarat. Juga mengikuti kegiatan organisasi peranakanTionghoa, Chung Hua Hui. Berbagai diskusi diperkumpulan itu mengasah kepekaan dan daya pikirLiem.

Selalu tertarik mencari pengalaman dantantangan baru, Liem pindah ke Paris,meneruskan ke Ecole Des BeauxArt, sekolah seni dan arsitekturKerajaan Prancis yangsangat bergengsi.Pergaulan intelektu-al, interaksi sosial,dan diskusi dengankawan-kawanseperantauan dikafe-kafe di ParismematangkanLiem. Dia menjadibagian tak ter-pisahkan daridinamika perubahandi Eropa saat itu.

Dari Paris mele-wati Siberia, Liemmelanjutkanpengembaraan intelektu-al ke Tiongkok dan singgah diUniversitas Yenching Beijing untukmelanjutkan belajar dan mengajar.Serbuan militer Jepang ke Tiongkok membu-at keluarganya meminta Liem segera kembali keSemarang pada 1929.

Babak SemarangLiem, arsitek non-Belanda pertama yang terdidik di

Eropa, memulai karier sebagai arsitek di NVVolkhuisvesting di bawah Gemeente (Kota Praja)Semarang. Dia merancang bangunan, terutamarumah. Pelanggan pertama para saudagar/pengusahaTionghoa peranakan Semarang dan sekitarnya. Diamakin dikenal.

Liem makin menunjukkan peran sebagai arsitekpembaru. Dia pembawa modernisme di Jawa

dan menyebarkannya di Semarang.Kesempatan emas ketika ia diminta

merancang kantor pusat perusa-haan raksasa Oei Tiong

Ham Concern di KotaLama yang dia ker-jakan pada 1930-1931. Dia memperli-hatkan kapasitassebagai wongSemarang pembawaperubahan dalammenampilkan karyauntuk mengako-modasi modernisasidi perusahaan rak-sasa itu.

Rancangan kan-tor pusat OTH meru-pakan penjabaran

konsep modernismeyang menyeluruh dalam

memecahkan masalah lingkunganiklim tropis (sebagaimana dilakukan para

arsitek Belanda pendahulunya) di Nusantara,mengolah perpaduan budaya Barat dan Timur

secara matang, dengan memanfaatkan teknologi danketukangan Eropa yang dia kuasai. Karya sangat cer-das berupa rancangan bangunan di kawasan padat —

bangunan tersusun berderet rapat — adalah peman-faatan kearifan berupa penerapan sumur langit (cim ce)seperti di rumah-rumah Pecinan untuk penerangan dansirkulasi udara dalam bangunan. Itu didukung sirkulasiudara yang dilewatkan kisi-kisi jendela di kedua mukabangunan. Bangunan yang kini jadi kantor RNI itu hasilpemaduan budaya berprinsip modern, tidak dangkal,dan meyakinkan. Itu pemecahan masalah yangmelampaui zaman, mendukung spirit pemilik yangmenyimpan obsesi: tak mau kalah dari Javasche Bankdi jalan utama Kota Lama.

Kehebatan Liem menjabarkan konsep desainbangunan tropis dan perpaduan Timur-Barat tampakdalam rancangan modern lain, termasuk rumah tinggalDr Han Tiauw Tjong di Candi Baru, rumah di Jalan drWahidin, dan Gemeentelijk zwembad atau Kolam Re-nang Kota Semarang di Jalan Ki Mangunsarkoro. Ba-bak Semarang beringsut ke babak berikutnya, setelahproklamasi kemerdekaan RI, ketika Liem memutuskanpindah ke Ibu Kota untuk melayani kalangan lebih luas.Rancangan perdana babak itu termasuk rumah tinggalPresiden, yang sayang belum sempat terbangun.

Liem penting bagi Semarang dan Indonesia karenasedikitnya tiga hal. Pertama, ia arsitek pertamaIndonesia berpendidikan Bouwkunst Eropa. Kedua, iaarsitek pembaru yang membawa modernisme keNusantara. Ketriga, ia bersama 17 arsitek lain LBTadalah pendiri Ikatan Arsitek Indonesia pada 1959.

Karya Liem di Semarang kebanyakan dari periodeawal karier yang gemilang. Itu antara lain pabrik kopiMargoredjo (Kebon Karang), Wotgandul Barat (1930)dan kantor pusat Oei Tiong Ham Concern JalanKepodang, Kota Lama, Semarang (1930-1931).

- Ir Widya Wijayanti MPH MURP, arsitek anggotaDewan Kehormatan IAI Provinsi Jawa Tengah, tim ahliCagar Budaya Kota Semarang

Saat pertama penulis mengenal Lasem, ter-bersit pertanyaan, bangunan denganarsitektur Tionghoa yang mencolok iniapakah tidak menimbulkan sentimen daripemerintah orde baru saat itu, ataupun

dengan penduduk sekitarnya. Pertanyaan itu selaluterbesit, manakala penulis mengunjungi Lasem.Saat penulis mengadakan penelitian tahun 2014-2015 dengan judul ”Konsep Tata Ruang dan SistemBangunan Arsitektur Tionghoa di Pecinan Lasem,sebuah Telaah Terhadap Proses Akulturasi Budaya”,pertanyaan tersebut baru terjawab. Lasem selainsebagai kota unik dengan arsitektur Tionghoa yangmencolok, namun patut juga dijuluki kota dengantingkat toleransi yang tinggi.

Konflik antarpenduduk di Lasem hampir tidakpernah terjadi. Setiap penduduknya dari tuamaupun muda memahami betul pentingnya menja-ga kota Lasem dari segala kekacauan yang berujungmerugikan diri sendiri. Setiap konflik akandimusyawarahkan di klenteng Gie Yong Bio.Karena di dalam klenteng ini terdapat tokoh dancatatan sejarah perjuangan melawan penjajahBelanda. Pada tahun 1743-1745, Lasem dipimpinoleh Adipati dengan nama Raden NgabehiWidyadiningrat, yang merupakan seorang Tionghoamuslim dan sekaligus Mayor Belanda. Nama asli

dari Adipati ini adalah Oey Ing Kiat. Adipati RadenNgabehi Widyadiningrat berteman dengan putraAdipati Lasem sebelumnya (Tejakusuma V. 1714-1727), yaitu Raden Panji Margono yang merupakanorang pribumi. Selain itu juga berteman denganseorang pendekar kungfu bernama Tan Kee Wie.Ketiganya saling mengangkat saudara dan berjuangmelawan Belanda. Mereka bersama Kiai AliBadawi, seorang ulama besar di Lasem bahu mem-bahu melawan VOC terkait dengan pembantaianorang Tionghoa di Batavia yang terkenal denganPerang Kuning. Pada pemberontakan melawanVOC ini ketiganya gugur. Jasa mereka dikenang dandihormati di klenteng Gie Yong Bio, di daerahBabagan. Orang Lasem percaya, bahwa leluhurmereka pernah bersatu dan berhasil memperta-hankan Lasem dari serbuan musuh dan menjagakota menjadi damai. Antar Generasi

Kisah ini selalu diceritakan dan dipahami antargenerasi. Dan setiap konflik yang terjadi, akan ditan-gani secara dini dan selalu diingatkantentang sejarah Lasem tersebut.

Kawasan Lasem memi-liki tampilan ArsitekturTionghoa dimulaidari pagar depanyang terdapatgapura nancantik.Gapuraterse-but

memiliki bentuk yang bervariasi yang mencer-minkan karakter dari penghuninya. Selain berar-sitektur Tionghoa, terdapat pula pagar dan rumahdengan arsitektur kolonial Belanda. Namun uniknyatata ruang dalamnya tetap mempertahankan tataruang rumah Tionghoa dan terdapat percampuran

dengan tata ruang dalam rumah tradisional Jawa.Kekhasan dan keindahan bangunan Lasem

selain pada tata ruangnya juga terletak pada detailornamen pada atap. Penyelesaian ujung wuwunganatap dibuat lancip menjulang ke atas mirip denganekor burung walet. Dalam wuwungan ini juga terda-

pat ornamen rooster keramik yang telah berumurratusan tahun.

Penghuni bangunan di kota Lasem terutamapada bangunan berarsitektur Tionghoa telah

banyak ditinggalkan penghuninya. Anak daripenghuni banyak yang belajar di kota JakartaBandung, Surabaya dan Semarang yang selan-jutnya bekerja di kota itu juga. Akibatnyapenghuni di kota Lasem kebanyakan orangtua ataupun rumah tersebut ditinggalkandan dibiarkan kosong karena penghuninyamengikuti anaknya pindah di kota lain.Karena banyak bangunan yang kosong,maka rumah-rumah tersebut menjadi mer-ana. Ada yang rusak karena tidak terawat,namun yang paling ironis adalah banyakrumah yang diubah fungsi menjadi garasibus/truk atau menjadi gudang. Bangunanaslinya dijual ke kota-kota besar.

Konstruksi, bahan bangunan dan semuakomponen bangunan ìdicabutî dan bahkan

ada informasi dijual ke luar negeri sebagaibenda antik. Lasem saat ini butuh perhatian dan

penanganan serius untuk diselamatkan.(53)

Lem Bwan Tjie , Salah Satu Pendiri IAI

Oleh Widya Wijayanti

Lasem, Kota Berarsitektur Tionghoa Nan MeranaOleh L.M.F. Purwanto

Profesor Program Studi Arsitektur Universitas Katolik Soegijapranata

Mengamati Lasem sudah penulislakukan sejak tahun 1990.Mengumpulkan data untuk tugas kuliah sampai penelitian dengandana dari Ristek Dikti telah dilakukandengan beberapa catatan penting.Lasem, sebuah kota khas yang unik.Mengapa dikatakan unik, karenakawasan ini terdapat satu kawasandengan arsitektur Tionghoa yang kental.