Upload
vitriana-gamayanti
View
396
Download
40
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Vitiligo merupakan gangguan pada kulit dan selaput mukosa yang ditandai
dengan makula depigmentasi atau patch yang terjadi kerusakan selektif
melanocytes sekunder. Vitiligo dapat muncul pada usia berapapun. Dilaporkan
dapat muncul sekitar 0,5% sampai 1% dari populasi, dan 50% muncul sebelum
usia 20 tahun. Prevalensi penyakit ini sama antara laki-laki maupun perempuan,
dan tidak ada perbedaan tingkat kejadian berdasarkan jenis kulit atau ras. Vitiligo
dapat menjadi penyakit psikologis yang merusak, terutama pada individu berkulit
gelap.1,2
Vitiligo dapat ditransmisikan secara genetik. Patogenesis penyakit ini masih
dalam perdebatan dan telah dikaitkan dengan penyebab autoimun, stres oksidatif,
dan/ atau gangguan simpatik neurogenik. Berdasarkan laporan, didapatkan lebih
dari30% dari penderita vitiligomempunyai penyakit yang sama pada orangtua,
saudara, atau anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi
pada kembar identik.3,4 Vitiligo dapat dibagi menjadi dua klasifikasi:
nonsegmental (NSV) dan segmental (SV). 1,3
Tidak adanya melanosit pada lapisan kulit, merupakan tanda khas penyakit
ini. Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula depigmentasi baik lokal hingga
universal. Untuk menegakkan diagnosis vitiligo, diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan klinis, pemeriksaan woodlamp dan pemeriksaan laboratorium
histopatologi.1,2,3
Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya
dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan
mudahserta dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya.
Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk vitiligo.1,3
Pada kesempatan ini penulis akan menguraikan secara ringkas tentang
Vitiligo disertai dengan pembahasan mengenai satu kasus Vitiligo di RS Indera.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Vitiligo adalah gangguan depigmentasi idiopatik didapat yang ditandai dengan
gambaran makula putih tidak bersisik, hasil dari hancurnya melanosit kulit
secara selektif. Gambaran histologi pada lesi vitiligo, berupa bercak-bercak
putih, memperlihatkan akan hilangnya melanosit dan melanin dari lapisan
kulit. 1,2
Gambar 2.1. Melanosit pada histologi jaringan kulit normal.2
2.2 Epidemiologi
Vitiligo terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi mencapai 1%3. Survey
epidemiologi pada kepulauan Bornholm di Denmark menemukan prevalensi
vitiligo mencapai 0,38%. Kemungkinan bahwa angka ini juga berlaku untuk
negara-negara lain di utara-barat Eropa. 1,2
Vitiligo pada umumnya dimulai pada masa anak-anak atau usia dewasa
muda, dengan puncak onsetnya (50% kasus) pada usia 10-30 tahun, tetapi
kelainan ini dapat terjadi pada semua usia.Tidak dipengaruhi oleh ras, dengan
perbandingan laki-laki sama dengan perempuan. Pernah dilaporkan bahwa
vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki-laki, tetapi
2
perbedaan ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan
oleh karena masalah kosmetik. 3,4
2.3 Etiopatogenesis
Penyebab vitiligo yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Namun, diduga
ini adalah suatu penyakit herediter yang diturunkan secarapoligenikatau secara
autosomal dominan.Berdasarkan laporan, didapatkan lebih dari30% dari
penderita vitiligomempunyai penyakit yang sama pada orangtua, saudara, atau
anak mereka. Pernah dilaporkan juga kasus vitiligo yang terjadi pada kembar
identik3,4.
Walaupun penyebab pasti vitiligo belum diketahui sepenuhnya. Namun,
beberapa faktor diduga dapat menjadi pencetus timbulnya vitiligo pada
seseorang : 1,2
1. Faktor mekanis. Pada 10-70% penderita vitiligo timbul lesi setelah trauma
fisik, misalnya setelah tindakan bedah atau pada tempat bekas trauma fisik dan
kimiawi.
2. Faktor sinar matahari atau penyinaran ultra violet A. Pada 7-15% penderita
vitiligo timbul lesi setelah terpajan sinar matahari atau UVA dan ternyata 70%
lesi pertama kali timbul pada bagian kulit yang terpajan.
3. Faktor emosi / psikis. Dikatakan bahwa kira-kira 20% penderita vitiligo
berkembang setelah mendapat gangguan emosi, trauma atau stres psikis yang
berat.
4. Faktor hormonal. Diduga vitiligo memburuk selama kehamilan atau pada
penggunaan kontrasepsi oral. Tetapi pendapat tersebut masih diragukan.
Masih sedikit yang diketahui tentang patogenesis vitiligo, sehingga
patofisiologi penyakit ini masih menjadi teka-teki. Sampai saat ini terdapat 3
hipotesis utama tentang mekanismepenghancuranmelanositpadavitiligo, yang
masing-masing mempunyai kekuatan dan kelemahan, yaitu: 1,2,3
1. Hipotesis autoimun, menyatakan bahwa melanosit yang terpilih
dihancurkan oleh limfosit tertentu yang telah diaktifkan. Namun, mekanisme
pengaktifan limfosit tersebut belum diketahui secara pasti. Teori ini juga
berdasarkan adanya temuan klinis terhadap hubungan antara vitiligo terhadap
3
gangguan autoimun. Autoantibodi organ spesifik untukt iroid, sel parietal
lambung, dan jaringan adrenal lebih sering ditemukan pada serum dengan
vitiligo dibandingkan dengan populasi umum. Antibodi terhadap melanosit
orang normal dapat dideteksi dengan menggunakan tes immunoprecipitation
spesifik yang memiliki pengaruh sitolisis. Didapati profil sel-T yang abnormal
pada pasien vitiligo dengan penurunan sel T-helper.
2. Hipotesis neurogenik, didasarkan pada interaksi dari melanosit dan sel
saraf. Hipotesis ini menyatakan bahwa adanya pelepasan mediator kimiawi
tertentu yang berasal dari akhiran saraf yang akan menyebabkan menurunnya
produksi melanin. Namun, studi baru pada penanda neuropeptida dan saraf
pada vitiligo menunjukkan bahwa neuropeptida Y mungkin memiliki peran
dalam proses terjadinya vitiligo.
3. Hipotesis neurogenik, menyatakan bahwa melanosit dihancurkan oleh zat-
zat beracun yang dibentuk sebagai bagian dari biosintesis melanin yang alami.
Penghancuran ini merupakan mekanisme proteksi alami untuk menyingkirkan
prekursor melanin yang beracun. Hipotesis ini berdasarkan temuan klinis dari
vitiligo dan penelitan eksperimen terhadap depigmentasi kulit oleh senyawa
kimia yang memilik efek mematikan pada fungsi melanosit. Senyawa ini juga
dapat menghasilkan leukoderma yang dibedakan dengan vitiligo idiopatik.
Sementara itu, mekanisme langsung terjadinya makula putih disebabkan
penghancuran melanosit yang progresif oleh sel-T sitotoksi, lainnya ditentukan
secara genetis melalui perubahan sitobiologika dan sitokin yang terlibat.
2.4 Gambaran Klinis
Vitiligo merupakan anomali pigmentasi kulit didapat. Kulit vitiligo
menunjukan gejala depigmentasi dengan bercak putih yang dibatasi oleh warna
kulit normal atau oleh hiperpigmentasi. Pada vitiligo, ditemukan makula
dengan gambaran putih pucat dengan tepi yang tajam. 4,5
Progres dari penyakit ini bisa merupakan suatu pengembangan bertahap
dari makula lama atau pengembangan dari makula baru. Trichrome vitiligo
(tiga warna: putih,coklat muda,coklat tua) mewakili tahapan yang berbeda
dalam evolusi vitiligo3,6.
4
Tangan, pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah sekitar lubang
(misalnya mulut) merupakan daerah-daerah yang sering ditemukan vitiligo5,6.
Kadang dapat juga ditemukan gambaran rambut yang memutih atau uban
prematur. Gambaran rambut putih pada vitiligo, dianalogikan dengan makula
putih, disebut dengan poliosis3,7,8.
Gambar 5.1. gambaran vitiligo pada wajah 9
2.5 Klasifikasi
Bermacam-macam klasifikasi dikemukakan oleh beberapa ahli. Koga membagi
vitiligo dalam 2 golongan yaitu7:
1. Vitiligo dengan distribusi sesuai dermatom.
2. Vitiligo dengan distribusi tidak sesuai dermatom.
Gambar 6.1. gambaran vitiligo bentuk fokal pada daerah lutut3.
Berdasarkan lokalisasi dan distribusinya, Nordlund membagi menjadi7:
1. Tipe lokalisata, yang terdiri atas:
5
a) Bentuk fokal : terdapat satu atau lebih makula pada satu daerah dan tidak
segmental.
b) Bentuk segmental : terdapat satu atau lebih makula dalam satu atau lebih
daerah dermatom dan selalu unilateral.
c) Bentuk mukosal : lesi hanya terdapat pada selaput lendir (genital dan
mulut).
2. Tipe generalisata, yang terdiri atas:
a) Bentuk akrofasial : lesi terdàpat pada bagian distal ekstremitas dan muka.
b) Bentuk vulgaris : lesi tersebar tanpa pola khusus.
c) Bentuk mixed : lesi campuran segmental dan vulgaris atau akrofasial
3. Bentuk universalis : lesi yang luas meliputi seluruh atau hampir seluruh
tubuh.10
Gambar 6.2. Gambaran vitiligo universalis3
Gambar 6.3. Gambaran lokasi predileksi vitiligo3
6
2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis,
serta ditunjang oleh pemeriksaan histopatologik serta pemeriksaan dengan lampu
Wood. Biasanya, diagnosis vitiligo dapat dibuat dengan mudah pada pemeriksaan
klinis pasien, dengan ditemukannya gambaran bercak “kapur putih”, bilateral
(biasanya simetris), makula berbatas tajam pada lokasi yang khas. Pada
pemeriksaan dengan lampu wood, lesi vitiligo tampak putih berkilau dan hal ini
berbeda dengan kelainan hipopigmentasi lainnya. 11
Dalam kasus-kasus tertentu, pemeriksaan histopatologik diperlukan untuk
melihat ada tidaknya melanosit dan granul melanin di epidermis3. Kelainan kulit
pada vitiligo juga dapat kita temukan pada pemeriksaan dengan mikroskop
elektron. Pada pemeriksaan ini terlihat hilangnya melanosit, dan melanosom pada
keratinosit, juga terdapat perubahan dalam keratinosit: spongiosis, eksositosis,
basilar vacuopathy, dan apoptosis. Beberapa penulis menjumpai infiltrat
limfositik di epidermis3.
Gambar 7.1.Perbandingan melanosit normal (A) dan melanosit vitiligo(B)
menggunakan immunocytochemistry. (C) analisis Western blot menegaskan
bahwa ekspresi Bcl-2 berkurang dalam dua baris melanosit vitiligo dibandingkan
dengan empat baris melanosit kontrol6.
2.7 Diagnosis Banding
Diagnosis vitiligo sering dikaburkan dengan beberapa penyakit, seperti:11
7
1. Pityriasis alba (berukuran kecil, tepi yang tidak berbatas tegas, dan warna
yang tidak terlalu putih )
2. Pityriasis versicolor (sisik halus dengan warna fluoresensi kuning –
kehijauan di bawah lampu Wood, KOH positif)
3. Hipopigmentasi Pasca Inflamasi (makula tidak terlalu putih, biasanya
riwayat psoriasis atau eksim pada yang sama daerah makula)
4. Nevus anemikus (tidak ada perubahan dengan wood lamp, tidak ada eritema
setelah digosok).
5. Piebaldisme (kongenital, putih, stabil, garis berpigmen pada punggung, pola
khas dengan makula hiperpigmentasi besar ditengah daerah hypomelanotik).
2.8 Penatalaksanaan
Ada banyak pilihan terapi yang bisa dilakukan pada pasien dengan vitiligo.
Hampir semua terapi bertujuan untuk mengembalikan pigmen pada kulit.
Seluruh pendekatan memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing, dan
tidak semua terapi dapat sesuai dengan masing-masing penderita. 1,3,5
Tabir surya
Sunscreen atau tabir surya mencegah paparan sinar matahari berlebih pada
kulit dan hal ini dapat mengurangi kerusakan akibat sinar matahari dan dapat
mencegah terjadinya fenomena Koebner. Selain itu sunscreen juga dapat
mengurangi tanning dari kulit yang sehat dan dengan demikian mengurangi
kekontrasan antara kulit yang sehat dengan kulit yang terkena vitiligo3.
Kosmetik
Banyak penderita vitiligo, terutama jenis vitiligo fokal menggunakan
covermask kosmetik sebagai pilihan terapi. Area dengan lesi leukoderma,
khususnya pada wajah, leher, atau tangan dapat ditutup dengan make-up
konvensional, produk-produk self tanning, atau pengecatan topikal lain. Pilihan
untuk menggunakan kosmetik cukup menguntungkan pasien dikarenakan
biayanya yang murah, efek samping yang kecil, dan mudah digunakan3,9.
Repigmentasi
1. Glukokortikoid topikal, sebagai awal pengobatan diberikan secara
intermiten (4 minggu pemakaian, 2 minggu tidak) glukokortikoid topikal kelas
8
I cukup praktis, sederhana, dan aman untuk pemberian pada makula tunggal
atau multipel. Jika dalam 2 bulan tidak ada respon, mungkin saja terapi tidak
berjalan efektif. Perlu dilakukan pemantauan tanda-tanda awal atrofi akibat
penggunaan kortikostreoid3. Pada beberapa penderita vitiligo, terapi dengan
kortikosteroid poten tinggi, misalnya betametason valerat 0,1% atau klobetasol
propionat 0,05% efektif menimbulkan pigmen1.
2. Topikal inhibitor Kalsineurin. Tacrolimus dan pimecrolimus efektif untuk
repigmentasi vitiligo tetapi hanya didaerah yang terpapar sinar matahari. Obat
ini dilaporkan paling efektif bila dikombinasikan dengan UVB atau terapi
laserexcimer3. Terdapat juga hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
pimecrolimus 1% topikal sama efektifnya dengan klobetasol propionat dalam
memulihkan kulit akibat vitiligo10.
3. Topikal fotokemoterapi. Menggunakan topikal 8-methoxypsoralen (8-
MOP) dan UVA. Prosedur ini diindikasikan untuk makula berukuran kecil dan
hanya dilakukan oleh dokter yang berpengalaman. Hampir sama dengan
psoralen oral, mungkin diperlukan ≥15 kali terapi untuk inisiasi respon dan ≥
100 kali terapi untuk menyelesaikannya3.
4. Foto kemoterapi sistemik. PUVA oral lebih praktis digunakan untuk
vitiligo yang luas. PUVA oral dapat dilakukan bersamaan menggunakan sinar
matahari (di musim panas atau di daerah yang sepanjang tahun disinari oleh
matahari) dan 5-methoxypsoralen (5-MOP) (tersedia di Eropa) atau sinar UVA
buatandengan 5-MOP atau 8-MOP. Adanya respon baik dari terapi dengan
PUVA ini ditandai oleh munculnya folikuler kecil yang berpigmen diatas lesi
vitiligo. Foto kemoterapi PUVA oral dengan 8-MOP atau 5-MOP
keefektifannya mencapai 85% untuk>70% pasien dengan vitiligo dikepala,
leher, lengan atas, kaki, dan di badan.3
5. UVB Narrow-band (311nm). Efektivitas terapi ini hampir sama dengan
PUVA, namun tidak memerlukan psoralen. UVB adalah terapi pilihan untuk
anak <6 tahun3.
6. Laser Excimer (308nm). Terapi ini cukup efektif. Namun, sama seperti
pada PUVA, proses repigmentasi tergolong lambat. Terapi jenis ini sangat
efektif untuk vitiligo yang terdapat di wajah3.
9
Gambar 9.1. Gambar repigmentasi vitiligo. Tampak pola repigmentasi folikular
setelah diberikan terapi PUVA3.
7. Immunomudulator sistemik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa pada
anak-anak dengan vitiligo, betamethason telah diganti dengan oral
methylprednisolon dan dikombinasikan dengan topikal ointment fluticasone
pada lesi vitiligo. Tingkat keberhasilannya pada > 90% orang dewasa dan >
65% anak-anak dengan vitiligo adalah dari tingkatan baik sampai sangat baik11.
8. Topikal analog Vitamin D. Analog vitamin D, khususnya Calcipotriol,
telah digunakan untuk terapi tunggal atau dikombinasikan dengan topikal
steroid pada managemen vitiligo. Efek Vitamn D3 ini mampu menumbuhkan
dan mendiferensiasikan melanosit dan keratinosit kembali. Ini telah dibuktikan
pada suatu demonstrasi mengenai reseptor untuk 1-alpha dihydroxyvitamin D3
pada melanosit. Dipercaya bahwa reseptor ini mengatur stimulasi dari
melanogenesis. Analog vitamin ini juga biasa dikombinasikan dengan sinar
UV (termasuk NB-UVB) dan topikal steroid11.
9. Topikal 5-Fluorouracil. Topikal 5-Fluorouracil digunakan untuk
menginduksi repigmentasi pada lesi dengan vitiligo dengan memperbesar
stimulasi migrasi dari folicular melanosit ke epidermis selama proses
epitelisasi. Bentuk topikal terapi ini bisa dikombinasikan dengan titik
dermabrasi dari lesi vitiligo untuk meningkatkan respon dari repigmentasi.
Didapatkan respon repigmentasi mencapai 73,3% dengan menggunakan
kombinasi ini setelah terapi selama 6 bulan12.11
Minigrafting
Teknik pembedahan dengan metode Minigrafting (Autolog Thin
Thierschgrafting, Suction Blister grafts,autologous minipunch grafts,
10
transplantation of cultured autologous melanocytes)cukup efektif untuk
mengatasi vitiligo dengan makula segmental yang stabil dan sulit diatasi3.
Depigmentasi
Tujuan dari depigmentasi adalah "kesatuan" warna kulit pada pasien dengan
vitiligo yang luas atau pasien dengan terapi PUVA yang gagal, yang tidak
dapat menggunakan PUVA, atau pasien yang menolak pilihan terapi PUVA3.
Bleaching, Pemutihan kulit normal dengan krimmonobenzyl ether dari
hydroquinone (MBEH) 20% ini bersifat permanen, artinya proses bleaching
(pemutihan) ini tidak reversible. Tingkat keberhasilan terapi ini >90%. Tahap
Akhir warna depigmentasi dengan MBEH adalah chalkwhite (kapur putih),
seperti pada makula vitiligo3. Monobenzon tersedia dalam bentuk cream 20%,
dioleskan 2 kali sehari selama 2 sampai 3 bulan pada daerah kulit yang masih
berpigmen. Terapi biasanya dianggap selesai setelah 10 bulan pemberian9.
Gambar 9.2. Algoritma penatalaksanaan vitiligo11.
2.10 Prognosis
Vitiligo bukan penyakit yang membahayakan kehidupan, tetapi prognosisnya
masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran dan kepatuhan
penderita terhadap pengobatan yang diberikan2.
11
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : I Made Astika
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 43 tahun
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Tohpati
Tanggal pemeriksaan : 18 November 2013
3.2 Anamnesis (Autoanamnesis)
Keluhan utama : Perubahan warna kulit pada wajah, ujung kedua tangan dan
kaki
Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke RS Indera dengan keluhan perubahan warna kulit pada wajah,
ujung kedua tangan dan kaki sejak 7 tahun yang lalu dan menjalani pengobatan di
RS Indera sejak 1 tahun terakhir. Awalnya perubahan warna kulit muncul pertama
kali di ujung jari tangan kanan berupa titik putih dengan ukuran kurang lebih 1 cm
x 1 cm yang lama kelamaan meluas keseluruh ujung-ujung jari kedua tangan dan
kaki. Sejak 4 tahun yang lalu muncul perubahan warna kulit pada sekitar mulut.
Keluhan gatal, sakit, perih disangkal oleh pasien.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien mengalami keluhan ini sejak tahun 2006 dan membaik dengan pengobatan.
Pasien tidak memiliki riwayat rhinitis alergi ataupun asma. Riwayat anemia,
diabetes mellitus, kerontokan rambut, hipertensi, alergi makanan dan alergi lain
disangkal pasien.
Riwayat keluarga
Menurut pasien tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama
seperti pasien.
12
Riwayat sosial
Pasien bekerja sebagai buruh pabrik pemintalan benang. Pasien mengatakan
bahwa dia sehari-hari tidak menggunakan sarung tangan dan alas kaki saat
bekerja.
3.3. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan umum : Baik
Status general
Kepala : Normochepali
Mata : anemia (-/-), ikterus (-/-)
THT : kesan tenang
Thorax : dalam batas normal
Abd : dalam batas normal
Extremitas : sesuai dengan status dermatologis
Status dermatologis
Lokasi : Dorsum manus et pedis dextra et sinistra, Nasolabialis
Effloresensi : Makula depigmentasi, bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran
bervariasi, batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris.
Gambar 3. Vitiligo pada pasien
3.4 Diagnosis Banding
1. Hipomelanositosis
2. Nevus depigmentosa
13
3.5 Diagnosis Kerja
1. Vitiligo Akrofasial
3.6 Resume
Pasien laki-laki, usia 43 tahun, datang ke RS Indera dengan keluhan perubahan
warna kulit pada wajah, ujung kedua tangan dan kaki sejak 7 tahun yang lalu dan
menjalani pengobatan di RS Indera sejak 1 tahun terakhir. Awalnya perubahan
warna kulit muncul pertama kali di ujung jari tangan kanan berupa titik putih yang
meluas keseluruh ujung-ujung jari kedua tangan dan kaki. Sejak 4 tahun yang lalu
muncul perubahan warna kulit pada sekitar mulut.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan status vital dan status generalis dalam
batas normal. Dari pemeriksaan status dermatologisnya dimana lokasinya pada
kedua punggung kaki dan tangan serta wajah didapatkan efloresensi berupa
Makula depigmentasi, bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran bervariasi,
batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris. Beberapa tampak erosi,
ditutupi krusta kecoklatan.
3.7 Penatalaksanaan
Fototerapi dengan psoralen + Narrow band UVB
KIE
1. Menghindari bahan-bahan yang mungkin dapat menyebabkan timbulnya
keluhan tersebut.
2. Memberikan pengertian kepada keluarga penderita tentang penyakitnya,
jenis penyakitnya, penyebab penyakitnya dan prognosis
3. Mengikuti pengobatan oleh dokter dengan tepat
4. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar
5. Menyarankan untuk kontrol kembali ke poliklinik kulit dan kelamin 2 kali
dalam seminggu untuk fototerapi.
14
BAB IV
PEMBAHASAN
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan adanya makula
putih yang meluas, mengenai seluruh tubuh yang mengandung sel melanosit.
Angka kejadian vitiligo antara 0,1-8,8% di dunia, terbanyak mengenai umur
sebelum 20 tahun. Adanya pengaruh faktor genetik ditandai dengan angka insiden
5% dari anak dengan vitiligo salah satu dari orang tua nya menderita vitiligo,
sedangkan riwayat keluarga bervariasi antara 20-40%.1,2 Pada kasus ditemukan
adanya makula depigmentasi, bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran
bervariasi, batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris, hal ini sesuai
dengan gambaran vitiligo. Riwayat keluarga pasien tidak dijumpai adanya
anggota keluarga yang menderita vitiligo. Pasien ini mulai muncul bercak putih
pertama kali umur 36 tahun, hal ini tidak sesuai dengan data epidemiologi
kejadian vitiligo.
Penyebab vitiligo sampai saat ini belum dapat diketahui secara pasti.
Beberapa faktor yang diduga sebagai pencetusnya adalah krisis emosi dan trauma
fisik.1,3 Pada pasien ini melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan
adanya trauma fisik. Pasien merupakan seorang buruh pemintal benang dengan
penghasilan yang kurang mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari, hal ini dapat
menjadi faktor pemicu krisis emosi.
Beberapa patogenesis yang digunakan untuk menjelaskan vitiligo
diantaranya hipotesis autoimun, hipotesis neurohumoral, autositotoksik dan
pajanan terhadap bahan kimiawi.4,5 Hipotesis autoimun diketahui dari adanya
penyakit autoimun lain yang diderita pasien melalui pemeriksaan serum antaralain
Thiroiditis Hashimoto, anemia pernisiosa dan hipoparatiroid melanosit. 4,5 Pada
pasien ini melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya tanda
dan gejala yang menjurus pada penyakit-penyakit tersebut. Hipotesis
neurohumoral menyebutkan oleh karena melanosit terbentuk dari neuralcrest,
maka diduga faktor neural mempengaruhi sehingga pada beberapa lesi ada
gngguan keringat dan pembuluh darah terhadap respon transmiter saraf. 4,5 Pada
kasus, tidak dijumpai adanya gangguan keringat. Pajanan terhadap bahan kimiawi
15
diduga sebagai patogenesis, dimana pajanan Mono Benzil Eter Hidrokinon dalam
sarung tangan atau detergen yang mengandung fenol.4,5 Oleh karena pasien
merupakan seorang buruh pemintal benang yang sering menggunakan sarung
tangan dan kontak dengan bahan kimia, hal ini dapat menjadi patogenesis
munculnya vitiligo.
Gambaran klinis pada pasien dengan vitiligo dapat dijumpai adanya
makula berwarna putih dengan diameter beberapa millimeter sampai beberapa
sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa perubahan epidermis
yang lain. Kadang-kadang terlihat makula hipomelanotik selain makula
apigmentasi. Daerah yang terkena adalah bagian ekstensor tulang terutama diatas
jari, periorifisial sekitar mata, mulut dan hidung, tibialis anterior, dan pergelangan
tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat simetris atau asimetris. Pada area yang
terkena trauma dapat muncul vitiligo. Mukosa jarang terkena, kadang-kadang
mengenai genital eksterna, putting susu, bibir dan ginggiva.7,8 Pada pasien
predileksi terjadinya sesuai dengan teori yakni pada bagian ekstensor tulang
terutama diatas jari, sekitar mulut dan hidung. Pada daerah tersebut didapatkan
makula depigmentasi, bentuk geografika, jumlah multiple, ukuran bervariasi,
batas tegas, susunan konfluens, distribusi simetris.
Ada dua bentuk vitiligo, yaitu lokalisata yang dapat dibagi fokal (satu atau
lebih makula pada satu area, tetapi tidak segmental), segmental (satu atau lebih
makula pada satu area, dengan distribusi menurut dermatom, misalnya satu
tungkai), mucosal (hanya terdapat pada membrane mukosa); dan generalisata
yang dibagi menjadi akrofasial (depigmentasi hanya terjadi di bagian distal
ekstremitas dan muka), vulgaris (makula tanpa pola tertentu di banyak tempat),
Campuran (depigmentasi terjadi menyeluruh atau hampir menyeluruh merupakan
vitiligo total).9 Pada pasien terklasifikasi sebagai vitiligo generalisata tipe
akrofasial karena pada pasien ini didapatkan suatu makula depigmentasi pada
bagian ekstensor tulang terutama diatas jari, sekitar mulut dan hidung.
Diagnosis vitiligo ditegakkan melalui anamesis, pemeriksaan fisik dan
dapat juga dilakukan pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Dari anamnesis,
faktor risiko vitiligo seperti riwayat penyakit kelainan tiroid, allopesia areata,
diabetes mellitus, dan anemia disangkal. pemeriksaan didapatkan gambaran klinis
16
yang muncul sesuai dengan vitiligo. Kemungkinan faktor pencetusnya antaralain
faktor stress dan pajanan bahan kimiawi. Riwayat inflamasi, iritasi atau ruam kulit
sebelum bercak putih disangkal. Pada pasien tidak dilakukan pemeriksaan
penunjang apapun seperti menurut teori dimana pasien dengan vitiligo dilakukan
pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan DL, UL, FL, LFT serta
pemeriksaan lain yang berhubungan dengan penyakit yang berkaitan (DM, tiroid,
penyakit autoimun dan genetik) dan lampu wood.4,5
Penatalaksanaan pasien dengan vitiligo diberikan medikamentosa topikal,
sistemik dan fototerapi. Adapun pengobatan topikal yang diberikan adalah
kortikosteroid lemah – sedang atau psoralen 1-5% (likuid atau cream) atau liquor
carbonas detergen 3 – 5 % atau kombinasi obat-obat tersebut. Dianjurkan pada
penderita untuk menggunakan kamuflase agar kelainan tersebut tertutup dengan
cover mask. Pengobatan sistemik diberikan bila lesi luas dengan psoralen 10-60
mg per hari selama 2 – 9 bulan. Fototerapi dilakukan apabila pemberian obat-obat
tersebut tidak berhasil yang menggunakan gabungan antara psoralen dengan UVA
atau narrow-band UVB.11 Sebelumnya pasien telah diberikan terapi topikal
selama 1 tahun dan tidak membaik, tetapi pasien lupa nama obatnya. Sejak 1
tahun yang lalu pasien mulai melakukan fototerapi dengan narrow-band UVB
selama 40 detik serta diberikan kortikosteroid dan asam salisilat topikal. Pada saat
ini pasien telah melakukan fototerapi yang ke 146 selama 10 menit.
17
BAB V
KESIMPULAN
Vitiligo merupakan penyakit yang masih belum diketahui penyebabnya secara
pasti. Namun, beberapa faktor diduga bisa menjadi pencetus untuk penyakit ini.
Begitu juga, telah banyak hipotesis yang diungkapkan oleh para peneliti untuk
menyingkap misteri dibalik perjalanan penyakit ini.
Tidak adanya melanosit pada lapisan kulit, merupakan tanda khas penyakit
ini. Gambaran ruam vitiligo dapat berupa makula hipopigmentasi yang lokal
sampai universal. Daerah tangan, pergelangan tangan, lutut, leher dan daerah
sekitar lubang (misalnya mulut) adalah daerah-daerah predileksi dari vitiligo.
Setelah anamnesis dan pemeriksaan klinis, pemeriksaan woodlamp dan
pemeriksaan laboratorium histopatologi dapat menjadi penunjang untuk
menegakkan diagnosis vitiligo.
Terapi vitiligo sendiri sampai saat ini masih kurang memuaskan. Tabir surya
dan kosmetik covermask bisa menjadi pilihan terapi yang murah dan mudah serta
dapat digunakan oleh pasien sendiri dibanding dengan terapi lainnya.
Kortikosteroid topikal juga dapat menjadi terapi inisial untuk vitiligo. Tindakan
pembedahan Minirafting pada vitiligo dapat menjadi pilihan terapi apabila terapi
lain memang tidak berhasil. Khusus untuk vitiligo dengan luas permukaanya lebih
dari 50% dan pengobatan psoralen tidak berhasil, dapat dipilih terapi
depigmentasi agar seluruh kulit memiliki warna yang seragam.
Prognosis vitiligo masih meragukan dan bergantung pula pada kesabaran
dan kepatuhan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi 5. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.
296-298.
2. Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of
Clinical Dermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341.
3. Rook A, Wilkinson DS, Ebling FJG. 1998. Textbook of Dermatology. 6th ed.
Blackwell Science: Malden. 1802-1805.
4. Gawkrodger DJ. 2003. Dermatology an Ilustrated Colour Text. 3rd ed.
Churchill Livingstone: London. 70.
5. Boissy RE, Manga P. 2004. Review On the Etiology of Contact/Occupational
Vitiligo. Pigment Cell Res. 17: 208–214.
6. Moretti S. 2003. Vitiligo. Orphanet Encyclopedia.
http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-vitiligo.pdf.
7. Shimizu H. 2007. Shimizu's Textbook of Dermatology. Hokkaido University
Press: Japan. 9.
8. James WD, Berger TG, Elston DM. 2006. Andrews’ Disease of The Skin.
10th ed. Saunders Elsevier: Philadelpia. 860-862.
9. Coskun B, Saral Y, Turgut D. 2005. Topical 0.05% clobetasol propionate
versus 1% pimecrolimus ointment in vitiligo.Eur J Dermatol. 15 (2): 88-91.
21
10. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ. 2008.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. Mc Graw Hill:New
York. 616-622.
11. Majid I. 2010. Vitiligo Management : an Update. BJMP. 3(3): a332.
19