40
BAB I PENDAHULUAN Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772, walaupun sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai dengan onset edema setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan terbakar yang disebabkan oleh bermacam-macam sebab. 1,2 Urtikaria juga kadang dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran, kaligata. 2,3 Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25% populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik. Urtikaria akut adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari pengobatan di unit gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit paling umum yang dirawat di UGD. Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat mengganggu kualitas hidup seseorang. 1,3 Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun, ketika urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter yang merawat. Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil seperti yang diharapkan. Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan menjadi first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy. 2,3,4 1

Lapsus Urtikaria-jepe (2)

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

Urtikaria pertama kali digambarkan dalam sastra Inggris pada tahun 1772, walaupun

sebenarnya penyakit telah diakui sepanjang sejarah. Urtikaria ditandai dengan onset edema

setempat pada kulit yang berhubungan dengan rasa gatal dan terbakar yang disebabkan oleh

bermacam-macam sebab.1,2 Urtikaria juga kadang dikenal sebagai hives, nettle rash, biduran,

kaligata.2,3

Urtikaria merupakan penyakit kulit yang sering dijumpai dan mengenai 15-25%

populasi semasa hidupnya. Urtikaria dapat terjadi secara akut maupun kronik. Urtikaria akut

adalah gangguan umum yang sering mendorong pasien untuk mencari pengobatan di unit

gawat darurat (UGD). Bahkan, urtikaria akut adalah penyakit kulit paling umum yang dirawat

di UGD. Urtikaria kronik yang terjadi setiap hari selama lebih dari 6 minggu dapat

mengganggu kualitas hidup seseorang.1,3

Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun, ketika

urtikaria menjadi kronik, maka akan menjadi masalah bagi pasien atau dokter yang merawat.

Walaupun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata

pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberi hasil seperti yang diharapkan.

Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau

menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan

menjadi first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.2,3,4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1

2.1 Definisi

Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab, biasanya

ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang perlahan-lahan,

berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya dapat

dikelilingi halo.2

2.2 Epidemiologi

Data epidemiologi urtikaria secara internasional menunjukkan bahwa urtikaria (kronis,

akut, atau keduanya) terjadi pada 15-25% populasi pada suatu waktu dalam hidup

mereka. Chronic idiopatic urticaria (CIU) terjadi hingga 0,5-1,5% populasi semasa

hidupnya. Insiden urtikaria akut lebih tinggi pada orang dengan atopi. Insiden urticaria

kronis tidak meningkat pada orang dengan atopi. Data epidemiologi urtikaria

berdasarkan usia menunjukkan bahwa urtikaria akut paling sering terjadi pada anak dan

dewasa muda, sedangkan CIU lebih sering terjadi pada dewasa dan wanita setengah

baya.3,4

Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat

perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan (0.48%)

daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada

perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis,

atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan

penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara

signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari

500.000.5,6,7,8

2.3 Etiologi

Pada penyelidikan ternyata hampir 80% tidak diketahui penyebabnya. Diduga

penyebab urtikaria bermacam-macam, antara lain: 2

1. Obat

Bermacam-macam obat dapat menimbulkan urtikaria, baik secara imunologik

maupun non-imunologik. Obat sistemik (penisilin, sepalosporin, dan diuretik)

menimbulkan urtikaria secara imunologik tipe I atau II. Sedangkan obat yang secara

non-imunologik langsung merangsang sel mast untuk melepaskan histamin,

misalnya opium dan zat kontras.2

2. Makanan

2

Peranan makanan ternyata lebih penting pada urtikaria akut, umumnya akibat reaksi

imunologik. Makanan yang sering menimbulkan urtikaria adalah telur, ikan, kacang,

udang, coklat, tomat, arbei, babi, keju, bawang, dan semangka.2

3. Gigitan atau sengatan serangga

Gigitan atau sengatan serangga dapat menimbulkan urtika setempat, hal ini lebih

banyak diperantarai oleh IgE ( tipe I ) dan tipe seluler ( tipe IV ).2

4. Bahan fotosenzitiser

Bahan semacam ini, misalnya griseofulvin, fenotiazin, sulfonamid, bahan kosmetik,

dan sabun germisid sering menimbulkan urtikaria.2

5. Inhalan

Inhalan berupa serbuk sari bunga (polen), spora jamur, debu, asap, bulu binatang,

dan aerosol, umumnya lebih mudah menimbulkan urtikaria alergik (tipe I).2

6. Kontaktan

Kontaktan yang sering menimbulkan urtikaria ialah kutu binatang, serbuk tekstil, air

liur binatang, tumbuh-tumbuhan, buah-buahan, bahan kimia, misalnya insect

repellent (penangkis serangga), dan bahan kosmetik.2

7. Trauma Fisik

Trauma fisik dapat diakibatkan oleh faktor dingin, faktor panas, faktor tekanan, dan

emosi menyebabkan urtikaria fisik, baik secara imunologik maupun non imunologik.

Dapat timbul urtika setelah goresan dengan benda tumpul beberapa menit sampai

beberapa jam kemudian. Fenomena ini disebut dermografisme atau fenomena

Darier.2

8. Infeksi dan infestasi

Bermacam-macam infeksi dapat menimbulkan urtikaria, misalnya infeksi bakteri,

virus, jamur, maupun infestasi parasit.2

9. Psikis

Tekanan jiwa dapat memacu sel mast atau langsung menyebabkan peningkatan

permeabilitas dan vasodilatasi kapiler .2

10. Genetik

Faktor genetik juga berperan penting pada urtikaria, walaupun jarang menunjukkan

penurunan autosomal dominant.

11. Penyakit sistemik

Beberapa penyakit kolagen dan keganasan dapat menimbulkan urtikaria, reaksi

lebih sering disebabkan reaksi kompleks antigen-antibodi.2

3

2.4 Klasifikasi

Klasifikasi urtikaria paling sering didasarkan pada karakteristik klinis daripada etiologi

karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan

banyak kasus karena idiopatik. Terdapat bermacam-macam klasifikasi urtikaria,

berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik. Selain

itu ada pula yang membuat pembagian berdasarkan morfologi klinis dan berdasarkan

penyebab dan mekanisme terjadinya urtikaria. 2,3

A. Berdasarkan Lamanya Serangan Berlangsung

1. Urtikaria Akut

Urtikaria akut terjadi bila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau

berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari.2 Lesi individu biasanya

hilang dalam <24 jam, terjadi lebih sering pada anak-anak, dan sering dikaitkan

dengan atopi. Sekitar 20%-30% pasien dengan urtikaria akut berkembang menjadi

kronis atau rekuren.3

2. Urtikaria Kronik

Urtikaria kronik terjadi bila serangan berlangsung lebih dari 6 minggu2,

pengembangan urtika kulit terjadi secara teratur (biasanya harian) selama lebih dari

6 minggu dengan setiap lesi berlangsung 4-36 jam. Gejalanya mungkin parah dan

dapat mengganggu kesehatan terkait dengan kualitas hidup.3

B. Berdasarkan Penyebab dan Mekanisme Terjadinya

1. Urtikaria atas dasar reaksi imunologis

a. Bergantung pada IgE (reaksi alergi tipe 1)

-pada atopi

-antigen spesifik(polen, obat,venom)

b. Ikut sertanya komplemen

-pada reaksi sitotoksi (reaksi alergi tipe II)

-pada reaksi komplek imun(reaksi alergi tipe III)

-defisiensi C1 esterase inhibitor (genetik)

c. Reaksi alergi tipe IV (urtikaria kontak)

2. Urtikaria atas dasar reaksi non imunologis

a. Langsung memacu sel mas, sehingga terjadi pelepasan mediator (obat golongan

opiat dan bahan kontras)

4

b. Bahan yang menyebabkan perubahan pada metabolisme asam arakidonat

(aspirin, obat anti inflamasi non steroid)

c. Trauma fisik (demografisme, rangsangan dingin, panas, sinar bahan kolinergik)

Urtikaria berdasarkan trauma fisik dapat dibedakan menjadi :

a. Dermographism

Dermographism merupakan bentuk paling sering dari urtikaria fisik dan merupakan

suatu edema setempat berbatas tegas yang biasanya berbentuk linier yang tepinya

eritem yang muncul beberapa detik setelah kulit digores.9,10 Dermographism tampak

sebagai garis biduran (linear wheal). Transient wheal atau biduran yang sementara

muncul secara cepat dan biasanya memudar dalam 30 menit; akan tetapi, kulit

biasanya mengalami pruritus sehingga bekas garukan dapat muncul.9

b. Delayed dermographism

Delayed dermographism terjadi 3-6 jam setelah stimulasi, baik dengan atau tanpa

immediate reaction, dan berlangsung sampai 24-48 jam. Erupsi terdiri dari nodul

eritema linier. Kondisi ini mungkin berhubungan dengan delayed pressure

urticaria.9

c. Delayed pressure urticaria

Delayed pressure urticaria tampak sebagai lesi erythematous, edema lokal, sering

disertai nyeri, yang timbul dalam 0,5-6 jam setelah terjadi tekanan terhadap kulit.

Episode spontan terjadi setelah duduk pada kursi yang keras, di bawah sabuk

pengaman, pada kaki setelah berlari, dan pada tangan setelah mengerjakan pekerjaan

dengan tangan.9

d. Vibratory angioedema

5

Gambar 1. Dermographisme. Tampak urtikaria dengan linear wheal.9

Gambar 2. Delayed Pressure Urticaria pada Kaki.11

Vibratory angioedema dapat terjadi sebagai kelainan idiopatik didapat, dapat

berhubungan dengan cholinergic urticaria, atau setelah beberapa tahun karena

paparan vibrasi okupasional seperti pada pekerja-pekerja di pengasahan logam

karena getaran-getaran gerinda. Urtikaria ini dapat sebagai kelainan autosomal

dominan yang diturunkan dalam keluarga. Bentuk keturunan sering disertai dengan

flushing pada wajah. 9,10

e. Cold urticaria

Pada cold urticaria terdapat bentuk didapat (acquired) dan diturunkan (herediter).

Serangan terjadi dalam hitungan menit setelah paparan yang meliputi perubahan

dalam temperatur lingkungan dan kontak langsung dengan objek dingin. Jarak antara

paparan dingin dan onset munculnya gejala adalah kurang lebih 2,5 jam, dan rata-

rata durasi episode adalah 12 jam.9

f.Cholinergic urticaria

Cholinergic urticaria terjadi setelah peningkatan suhu inti tubuh. Cholinergic

urticaria terjadi karena aksi asetilkolin terhadap sel mast. Erupsi tampak dengan

biduran bentuk papular, bulat, ukuran kecil kira-kira 2-4 mm yang dikelilingi oleh

flare eritema sedikit atau luas merupakan gambaran khas dari urtikaria jenis ini.9,10

g. Local heat urticaria

Local heat urticaria adalah bentuk yang jarang dimana biduran terjadi dalam

beberapa menit setelah paparan dengan panas secara lokal, biasanya muncul 5 menit

6

Gambar 3. Cold Urticaria. 9

Gambar 4. Cold Urticaria. 9

Gambar 5. Local Heat Urticaria. 12

setelah kulit terpapar panas diatas 43°C. Area yang terekspos menjadi seperti

terbakar, tersengat, dan menjadi merah, bengkak dan indurasi. 9,10

h. Solar urticaria

Solar urticaria timbul sebagai biduran eritema dengan pruritus, dan kadang-kadang

angioedema dapat terjadi dalam beberapa menit setelah paparan dengan sinar

matahari atau sumber cahaya buatan. Histamin dan faktor kemotaktik untuk

eosinofil dan neutrofil dapat ditemukan dalam darah setelah paparan dengan sinar

ultraviolet A (UVA), UVB, dan sinar atau cahaya yang terlihat.9

i.Exercise-induced anaphylaxis

Exercise-induced anaphylaxis adalah gejala klinis yang kompleks terdiri dari

pruritus, urtikaria, angioedema (kutaneus, laringeal, dan intestinal), dan sinkop yang

berbeda dari cholinergic urticaria. Exercise-induced anaphylaxis memerlukan

olahraga/exercise sebagai stimulusnya. 9

j.Adrenergic urticaria

Adrenergic urticaria timbul sebagai biduran yang dikelilingi oleh white halo yang

terjadi selama stress emosional. Adrenergic urticaria terjadi karena peran

7

Gambar 6. Solar Urticaria. 13

Gambar 7. Exercise-induced anaphylaxis.14

norepinefrin. Biasanya muncul 10-15 menit setelah rangsangan faktor pencetus

seperti emosional (rasa sedih), kopi, dan coklat.9,10

k. Aquagenic urticaria and aquagenic pruritus

Kontak kulit dengan air pada temperatur berapapun dapat menghasilkan urtikaria

dan atau pruritus. Air menyebabkan urtikaria karena bertindak sebagai pembawa

antigen-antigen epidermal yang larut air. Erupsi terdiri dari biduran-biduran kecil

yang mirip dengan cholinergic urticaria.9,10

3. Urtikaria yang tidak jelas penyebab dan mekanismenya (idiopatik)

2.5 Patogenesis

Urtikaria terjadi karena vasodilatasi disertai permeabilitas kapiler yang meningkat,

sehingga terjadi transudasi cairan yang mengakibatkan pengumpulan cairan setempat.

Sehingga secara klinis tampak edema setempat disertai kemerahan. Vasodilatasi dan

peningkatan permeabilitas kapiler dapat terjadi akibat pelepasan mediator-mediator

misalnya histamine, kinin, serotonin, slow reacting substance of anaphylaxis (SRSA),

dan prostaglandin oleh sel mast dan atau basofil.2,3,4

Baik faktor imunologik, maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast

atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut (gambar 10). Pada yang

nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang

peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin

dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa

antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan

oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung.

Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat

langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan

alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas.2,3,4

Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik;

biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya

reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi

sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I

(anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan,

aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan

8

anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya

tampak akibat venom atau toksin bakteri.2,3

Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan

kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat

kontak dapat juga terjadi misalnya setelah pemakaian bahan penangkis serangga, bahan

kosmetik, dan sefalosporin. Kekurangan C1 esterase inhibitor secara genetik

menyebabkan edema angioneurotik yang herediter.2,3

2.6 Manifestasi Klinis

a. Gejala

Gejala urtikaria adalah sebagai berikut: 2,4

Gatal, rasa terbakar, atau tertusuk.

Biduran berwarna merah muda sampai merah.

Lesi dapat menghilang dalam 24 jam atau lebih, tapi lesi baru dapat mucul

seterusnya.

Serangan berat sering disertai gangguan sistemik seperti nyeri perut diare, muntah

dan nyeri kepala.

b. Tanda

Tanda urtikatria adalah sebagai berikut: 2,4

Klinis tampak eritema dan edema setempat berbatas tegas dan kadang-kadang

bagian tengah tampak lebih pucat.

Bentuknya dapat papular, lentikular, numular, dan plakat.

Jika ada reaksi anafilaksis, perlu diperhatikan adanya gejala hipotensi, respiratory

distress, stridor, dan gastrointestinal distress.

Jika ada lesi yang gatal, dapat dipalpasi, namun tidak memutih jika ditekan, maka

merupakan lesi dari urticarial vasculitis yang dapat meninggalkan perubahan

pigmentasi.

Pemeriksaan untuk dermographism dengan cara kulit digores dengan objek

tumpul dan diamati pembentukan wheal dengan eritema dalam 5-15 menit.

Edema jaringan kulit yang lebih dalam atau submukosa pada angioedema.

2.7 Diagnosis

Anamnesis

9

Informasi mengenai riwayat urtikaria sebelumnya, durasi rash/ruam, dan gatal dapat

bermanfaat untuk mengkategorikan urtikaria sebagai akut, rekuren, atau kronik. 9

Beberapa pertanyaan untuk menentukan penyebab alergi atau non-alergi adalah

sebagai berikut: 4

Apakah biduran berhubungan dengan makanan? Apakah ada makanan baru yang

ditambahkan dalam menu makanan?

Apakah pasien sedang menjalani pengobatan rutin atau menggunakan obat baru?

Jika iya, apakah jenis obat tersebut?

Apakah pasien mempunyai penyakit kronik atau riwayat penyakit kronik?

Apakah biduran disebabkan oleh stimulus fisik seperti panas, dingin, tekanan,

vibrasi?

Apakah biduran berhubungan dengan senyawa yang dihirup atau kontak dengan

kulit yang mungkin timbul pada tempat kerja?

Apakah biduran berhubungan dengan gigitan atau sengatan serangga?

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan kulit pada urtikaria, meliputi: 2, 9,11

Lokalisasi: badan, ekstremitas, kepala, dan leher.

Efloresensi: eritema dan edema setempat berbatas tegas dengan elevasi kulit,

kadang-kadang bagian tengah tampak pucat.

Ukuran: beberapa milimeter hingga sentimeter.

Bentuk: papular, lentikular, numular, dan plakat.

Dermographism.

2.8 Diagnosis Banding

1. Angioedema

Angioedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh meningkatnya

permeabilitas vaskular pada jaringan subkutan kulit, lapisan mukosa, dan lapisan

submukosa yang terjadi pada saluran napas dan saluran cerna. Angioedema dapat

disebabkan oleh mekanisme patologi yang sama dengan urtikaria, namun pada

angioedema mengenai lapisan dermis yang lebih dalam dan jaringan subkutaneus.

Karakteristik dari angioedema meliputi vasodilatasi dan eksudasi plasma ke jaringan

yang lebih dalam daripada yang tampak pada urtikaria, pembengkakan yang

nonpitting dan nonpruritic dan biasanya terjadi pada permukaan mukosa dari saluran

10

nafas dan saluran cerna (pembengkakan usus menyebabkan nyeri abdomen berat),

serta suara serak yang merupakan tanda paling awal dari edema laring.9

2. Pitiriasis rosea

Pitiriasis rosea adalah erupsi papuloskuamosa akut yang agak sering dijumpai.

Morfologi khas berupa makula eritematosa lonjong dengan diameter terpanjang

sesuai dengan lipatan kulit serta ditutupi oleh skuama halus. Lokalisasinya dapat

tersebar di seluruh tubuh, terutama pada tempat yang tertutup pakaian. Efloresensi

berupa makula eritroskuamosa anular dan solitar, bentuk lonjong dengan tepi hampir

tidak nyata meninggi dan bagian sentral bersisik, agak berkeringat. Sumbu panjang

lesi sesuai dengan garis lipat kulit dan kadang-kadang menyerupai gambaran pohon

cemara. Lesi inisial (herald patch = medallion) biasanya solitary, bentuk oval,

anular, berdiameter 2-6 cm. Jarang terdapat lebih dari 1 herald patch.7

3. Urtikaria pigmentosa

Urtikaria pigmentosa adalah suatu erupsi pada kulit berupa hiperpigmentasi yang

berlangsung sementara, kadang-kadang disertai pembengkakan dan rasa gatal.

Penyebabnya adalah infiltrasi mastosit pada kulit. Lokalisasi terutama pada badan,

tapi dapat juga mengenai ekstrimitas, kepala, dan leher. Efloresensi berupa makula

coklat-kemerahan atau papula-papula kehitaman tersebar pada seluruh tubuh, dapat

juga berupa nodula-nodula atau bahkan vesikel.7

4. Dermatitis atopik

Dermatitis atopik adalah dermatitis yang timbul pada individu dengan riwayat atopi

pada dirinya sendiri ataupun keluarganya, yaitu riwayat asma bronchial, rhinitis

alergika, dan reaksi alergi terhadap serbuk-serbuk tanaman. Penyebab yang pasti

belum diketahui, tetapi faktor turunan merupakan dasar pertama untuk timbulnya

penyakit. Gejala utama dermatitis atopik adalah pruritus, dapat hilang timbul

sepanjang hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Akibatnya penderita

akan menggaruk sehingga timbul papul, likenifikasi, eritema, erosi, ekskoriasi,

eksudasi, dan krusta. Diagnosis dermatitis atopi harus mempunyai tiga kriteria

mayor dan tiga kriteria minor dari Hanifin dan Rajka. 2,7,9

2.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah, urin, dan feses rutin untuk menilai ada tidaknya infeksi yang

tersembunyi atau kelainan pada alat dalam.2 Pemeriksaan darah rutin bisa

11

bermanfaat untuk mengetahui kemungkinan adanya penyakit penyerta. Pemeriksaan-

pemeriksaan seperti komplemen, autoantibodi, elektrofloresis serum, faal ginjal, faal

hati, faal hati, dan urinalisis akan membantu konfirmasi urtikaria vaskulitis.

Pemeriksaan C1 inhibitor dan C4 komplemen sangat penting pada kasus angioedema

berulang tanpa urtikaria.11 Cryoglubulin dan cold hemolysin perlu diperiksa pada

urtikaria dingin.2

2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorok, serta usapan vagina.

Pemeriksaan ini untuk menyingkirkan dugaan adanya infeksi fokal.2

3. Tes Alergi

Adanya kecurigaan terhadap alergi dapat dilakukan konfirmasi dengan melakukan

tes kulit invivo (skin prick test) dan pemeriksaan IgE spesifik (radio-allergosorbent

test-RASTs). Tes injeksi intradermal menggunakan serum pasien sendiri

(autologous serum skin test-ASST) dapat dipakai sebagai tes penyaring yang cukup

sederhana untuk mengetahui adanya faktor vasoaktif seperti histamine-releasing

autoantibodies. 11

4. Tes Provokasi

Tes provokasi akan sangat membantu diagnosa urtikaria fisik, bila tes-tes alergi

memberi hasil yang meragukan atau negatif. Namun demikian, tes provokasi ini

dipertimbangkan secara hati-hati untuk menjamin keamanannya.111,1

a. Tes eleminasi makanan

Tes ini dilakukan dengan cara menghentikan semua makanan yang dicurigai untuk

beberapa waktu, lalu mencobanya kembali satu demi satu.2

b. Tes foto tempel

Tes foto tempel dapat dilakukan pada urtikaria fisik akibat sinar.11

c. Suntikan mecholyl intradermal

Suntikan mecholyl intradermal dapat digunakan pada diagnosa urtikaria

kolinergik.2

d. Tes fisik

Tes fisik ini bisa dengan es (ice cube test) atau air hangat apabila dicurigai adanya

alergi pada suhu tertentu. 2

5. Pemeriksaan histopatologik

Pemeriksaan ini tidak selalu diperlukan, tetapi dapat membantu diagnosis.2 Pada

urtikaria perubahan histopatologis tidak terlalu dramatis. Tidak terdapat perubahan

epidermis. Pada dermis mungkin menunjukkan peningkatan jarak antara serabut-

12

serabut kolagen karena dipisahkan oleh edema dermis. Selain itu terdapat dilatasi

pembuluh darah kapiler di papilla dermis dan pembuluh limfe pada kulit yang

berkaitan. Selain itu terdapat suatu infiltrat limfositik perivaskuler dan mungkin

sejumlah eosinofil. Sel mast meningkat jumlahnya pada kulit yang bersangkutan.10

Infiltrasi limfosit sering ditemukan di lesi urtikaria tipe akut dan kronik.

Beberapa lesi urtikaria mempunyai campuran infiltrat seluler, yaitu campuran

limfosit, polymorphonuclear leukocyte (PMN), dan sel-sel inflamasi lainnya.

Infiltrasi seluler campuran tersebut mirip dengan histopatologi dari respon alergi

fase akhir. Beberapa pasien dengan urtikaris yang sangat parah atau urtikaria atipikal

memiliki vaskulitis pada biopsi kulit. Spektrum histopatologi berhubungan derajat

keparahan penyakit, mulai dari limfositik (ringan) sampai ke vaskulitik (parah).4

2.10 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, second-line

therapy, dan third-line therapy.3

1. First-line therapy

First-line therapy terdiri dari: 3,4

a. Edukasi kepada pasien:

Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak

mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika

penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.

b. Langkah non medis secara umum, meliputi:

Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol,

dan agen fisik.

Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria.

Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.

c. Antagonis reseptor histamin

Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap.

Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja

antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada

reseptor-reseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan

angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1

namun efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik

13

yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang

berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini

disebut sebagai antihistamin nonklasik.2

Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin,

aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih

cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat

dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan

aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung

lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif

21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal

sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non

klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar

darah otak.2

Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada

beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2.

Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang

minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine,

ranitidine, nizatidine, dan famotidine.3

2. Second-line therapy

Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, second-line therapy

harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan non-farmakologi.

a. Photochemotherapy

Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy, psoralen plus UVA

(PUVA) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan

peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak

untuk urtikaria kronis.

2. Antidepresan

Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H1

dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi

daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat

sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan

depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150

mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis.

Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan pada reseptor

14

H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan untuk membantu dalam

beberapa kasus urtikaria fisik dan delayed-pressure urticaria pada dosis 30

mg/hari.3

3. Kortikosteroid

Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal,

bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin terdapat masalah efek samping. Dalam

situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya berrespon dengan menggunakan

kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses

penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga

dapat digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan

antihistamin. Kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan

atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika

digunakan untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin.

Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan

urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia,

osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi.3,4

Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone,

methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi

prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan dengan dosis dewasa 40-

60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2

mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi

permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali

sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari

PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat membalikkan

peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari

PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4

dosis.4

4. Leukotriene Receptor Antagonist

Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai

respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada

individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast,

zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan

plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria kronik.3

5. Antagonis saluran kalsium

15

Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada

pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan

antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium

ke dalam sel mast kutaneus.3

3. Third-line therapy

Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon

terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen

immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate,

cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG).

Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun

dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine,

dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine,

hydroxychloroquine, dan warfarin.3

a. Immunomudulatory Agents

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati

pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5

mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria

kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-

µg/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroid-dependent

urticaria.3

Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen

pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang

terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-

idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG endogen untuk reseptor H1 dan

memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen.3

b. Plasmapheresis

Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria

autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah

akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki

dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy.3

c. Obat lainnya

Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola

urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin

paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah

16

menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik

idiopatik; dan telah dikaitkan dengan respon yang baik pada

hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun ß2-adrenoceptor agonist

terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya

umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia

yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien.3

Pada urtikaria akut, identifikasi dan menghilangkan penyebab adalah ideal,

namun sayang sekali bahwa hal ini tidak dilakukan pada beberapa kasus. Meskipun

demikian, faktor pendorong yang pasti dapat dikurangi atau dihilangkan. Kami

menganjurkan bahwa pasien dengan urtikaria akut ringan seharusnya memulai

pengobatan dengan antihistamin H1 non sedatif. Pada pasien dengan urtikaria akut

sedang-berat, antihistamin H1 non sedatif seharusnya juga menjadi terapi pilihan utama.

Jika keadaan akut tidak dapat dikendalikan secara adekuat, pemberian kortikosteroid

oral jangka pendek seharusnya ditambahkan. Pada pasien yang menunjukkan urtikaria

akut yang berat dengan gejala distress pernapasan, asma, atau edema laring, pengobatan

yang mungkin diberikan berupa epinefrin subkutan, kortikosteroid sistemik (oral atau

intravena), dan antihistamin H1 intramuskuler.11

2.11 Prognosis

Urtikaria akut prognosisnya lebih baik karena penyebabnya cepat dapat diatasi,

sedangkan urtikaria kronik lebih sulit diatasi karena penyebabnya sulit dicari.2

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : Mimin Amin

Umur : 52 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Suku : Bali

17

Bangsa : Indonesia

Agama : Islam

Status Perkawinan : Kawin

Alamat : Desa Bulian

Tanggal Pemeriksaan : 28 Mei 2012

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Timbul bentol – bentol merah.

Perjalananan Penyakit :

Pasien datang dengan keluhan timbul bentol – bentol merah di tangan kanan dan kiri

pasien sejak 4 hari yang lalu. Bentol – bentol dikatakan timbul mendadak. Pada

awalnya bentol – bentol muncul di tangan sebelah kanan sebanyak 1 buah, bentolan

tersebut dikatakan sebesar biji jagung, namun semakin hari bentol – bentol merah

tersebut dirasakan semakin banyak dan muncul juga dipergelangan tangan kiri. Keluhan

ini dirasakan tidak membaik, walaupun penderita sudah mencoba mengoleskan minyak

pada bercak merah tersebut. Keluhan ini juga disertai rasa gatal yang dirasakan hilang

timbul. Gatal tidak dirasakan berkurang dengan obat ataupun dengan kompres hangat.

Selain itu pasien juga merasakan kadang – kadang terasa panas pada bentol – bentol

tersebut.

Keluhan panas badan disangkal , riwayat digigit serangga juga disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Terdahulu :

Keluhan yang sama sebelumnya disangkal oleh pasien. Riwayat alergi atau disangkal

oleh pasien. Riwayat menderita penyakit infeksi seperti infeksi saluran nafas disangkal.

Pasien memiliki riwayat gigi berlubang pada gigi atas dan bawah sudah sejak lama,

namun sejak 2 minggu terakhir ini gigi pasien dirasakan semakin sakit dan pasien

belum pernah memeriksakannya ke dokter.

Riwayat Pengobatan :

Sebelum berobat ke RS, pasien belum pernah memeriksakan sakitnya ke pelayanan

kesehatan lainnya. .

Riwayat Penyakit dalam keluarga /Lingkungan :

18

Penderita dan keluarganya mengatakan tidak ada anggota keluarga yang menderita

keluhan seperti ini baik sekarang maupun yang dahulu ataupun memiliki riwayat alergi.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present

Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)

Keadaan Umum : Baik

Nadi : 81 kali per menit

Tensi : tidak dievaluasi

Respirasi : 18 kali permenit

Temperatur aksila : Tidak dievaluasi

Status General

Kepala : Normocephali

Mata : anemia -/-, ikt-/-

THT : kesan tenang

Thorax : Tidak dievaluasi

Abdomen : Tidak dievaluasi

Ekstremitas : dalam batas normal.

Status Dermatologi

Lokasi : Tangan kanan dan pergelangan tangan kiri

Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga

plakat, ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm,

distribusi diskret.

19

Gambar 11. Urtikaria pada tangan kanan dan pergelangan tangan kiri pasien

3.4 Resume

Pasien perempuan, umur 52 tahun, mengeluh timbul bentol - bentol merah di tangan

kanan dan dipergelangan tangan kirinya, sejak 4 hari sebelum pemeriksaan. Pada

awalnya bentol – bentol muncul di tangan sebelah kanan sebanyak 1 buah, bentolan

tersebut dikatakan sebesar biji jagung, namun semakin hari bentol – bentol merah

tersebut dirasakan semakin banyak dan muncul juga dipergelangan tangan kiri.

Keluhan ini juga disertai rasa gatal yang dirasakan hilang timbul. Gatal tidak dirasakan

berkurang dengan obat ataupun dengan kompres hangat. Selain itu pasien juga

merasakan kadang – kadang terasa panas pada bentol – bentol tersebut.

20

Pasien memiliki riwayat gigi berlubang pada gigi atas dan bawah sudah sejak lama,

namun sejak 2 minggu terakhir ini gigi pasien dirasakan semakin sakit dan pasien

belum pernah memeriksakannya ke dokter.

Status Dermatologi

Lokasi : Tangan kanan dan pergelangan tangan kiri

Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga

plakat, ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm,

distribusi diskret.

3.5 Diagnosis Banding

1. Urtikaria

2. Dermatitis Atopik

3. Prurigo

3.6 Usulan Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan darah lengkap

2. Pemeriksaan gigi, telinga-hidung-tenggorokan

3. Pemeriksaan kadar Ig E serum

4. Uji tusuk kulit (Skin Prick Test)

3.7 Penatalaksanaan

1. Kortikosteroid sistemik Somerol 4 mg tablet (2-1-0)

2. Antihistamin Interistin 3 x 1

3. Topikal inerson cream 15 gram + Fuson cream 10 gram

3.8 KIE

1. Menjelaskan kepada pasien mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak

mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika

penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan.

2. Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan

agen fisik.

3. Menggunakan sabun yang tidak mengandung antiseptik dan tidak iritatif.

4. Tidak menggunakan pewangi pakaian saat mencuci pakaian.

3.9 Prognosis

Dubius ad bonam

21

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan, umur 52 tahun, mengeluh timbul bentol - bentol merah di tangan

kanan dan dipergelangan tangan kirinya, sejak 4 hari sebelum pemeriksaan. Pada

awalnya bentol – bentol muncul di tangan sebelah kanan sebanyak 1 buah, bentolan

tersebut dikatakan sebesar biji jagung, namun semakin hari bentol – bentol merah

tersebut dirasakan semakin banyak dan muncul juga dipergelangan tangan kiri. Keluhan

ini dirasakan tidak membaik walaupun penderita sudah mencoba mengoleskan minyak

pada bentol merah tersebut. Pasien juga mengeluhkan adanya gatal dan panas yang

hilang timbul pada daerah bentol tersebut.

Melalui pemeriksaan fisik didapatkan status dermalogi berupa:

Lokasi : Tangan kanan dan pergelangan tangan kiri

Effloresensi : urtika eritematosa, berbatas tegas, bentuk dari bulat hingga plakat,

ukuran bervariasi dengan diameter 0,5cm hinga 3cm, distribusi

diskret.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapat mengarah ke diagnosis urtikaria.

Dimana sesuai teori, urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam

sebab, biasanya ditandai dengan edema setempat yang cepat timbul dan menghilang

perlahan-lahan, berwarna pucat dan kemerahan, meninggi di permukaan kulit, sekitarnya

dapat dikelilingi halo. Urtikaria adalah penyakit yang dengan kelainan di kulit berupa

urtika. Pada kasus telah memenuhi gejala dan tanda urtikaria yaitu adanya rasa gatal dan

rasa panas terbakar pada tempat lesi, dengan gambaran lesi berupa urtika eritematosa

yang berbatas tegas. Pada kasus ini diklasifikasikan ke dalam urtikaria akut karena

dilihat dari onset timbulnya gejala, serangan berlangsung kurang dari 6 minggu atau

berlangsung selama 4 minggu tetapi timbul setiap hari. Untuk etiologi dari urtikaria

sendiri dikatakan dapat disebabkan oleh berbagai macam anatara lain obat, makanan,

gigitan/sengatan serangga, fotosensitizer, inhalan, kontaktan, trauma fisik, infeksi dan

infestasi paracit, psikis, genetik dan penyakit sistemik. Pada pasien dari anamnesis pasien

mengakatakan tidak adanya riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu sebelum timbul

gejala, sealin itu pasien juga tidak memiliki riwayat digigit serangga, sehingga etiologi

dari urtikaria yang terjadi pada kasus masih perlu diselidiki lebih lanjut. Hal ini juga

mengingat bahwa pada teori disebutkan bahwa hampir 80% penyebabnya tidak

diketahui.

22

Diagnosis yang mungkin selain urtikaria adalah Dermatitis Atopik dan Prurigo

mitis. Pada dermatitis atopik, gejala utama adalah pruritus, dapat hilang timbul sepanjang

hari, tetapi umumnya lebih hebat pada malam hari. Untuk mendiagnosis dermatitis

atopik menggunakan kriteria dari Hanifin dan Rajka.

Dimana Kriteria mayor dari Hanifin dan Rajka meliputi

- Pruritus

- Dermatitis di muka atau ekstensor pada bayi dan anak

- Dermatitits fleksura pada dewasa.

- Dermatitis kronis dan residif

- Riwayat penderita pada penderita atau keluarganya.

Kriteria minor meliputi :

- Xerosis

- Infeksi kulit (khususnya oleh S.aureus dan virus herpes simpleks)

- Dermatitis non spesifik pada tangan atau kaki

- Iktiosis

- Pitiriasis alba

- Dermatitis di papila mamae

- White demographism dan delayed blaced respon

- Keilitis

- Lipatan infraornital Dennie Morgan

- Konjungtivitis berulang

- Keratokonus

- Katarak subkapsular anterior

- Orbita menjadi gelap

- Muka pucat dan eritema

- Gatal bila berkeringat

- Intolerans terhadap wol atau pelarut lemak

- Aksentuasi perifolikuler

- Hipersensitif terhadap makanan

- Perjalanan penyakit dipengaruhi oleh faktor lingkungna atau emosi

- Tes kilit alergi tipe dadakan positif

- Kadar IgE di dalam serum meningkat

- Awitan pada usia dini

Diagnosis dermatitis atopik harus memenuhi tiga kriteria mayor dan tiga kriteria minor.

23

Pada kasus kriteria mayor yang terpenuhi adalah pruritus yang dapat hilang timbul

sepanjang hari namun umumnya lebih hebat pada malam hari, sisanya belum

memenuhi kriteria mayor dan kriteria minor. Diagnosis banding lainnya adalah pruriga

dimana pada prurigo. Dari anamnesis pada prurigo biasanya didahului oleh adanya

riwayat gigitan serangga atau semut yang selanjutnya timbul urtikaria papular.

Kemudian timbul rasa gatal . Tempat predileksinya di ekstrimitas bagian ekstensor dan

simetrik, dapat meluas ke bokong dan perut, daerah muka juga dapat terkena.

sedangkan pada urtikaria biasanya teraba sebagai eritema yang lebar dan edema kulit.

Penatalaksanaan pasien urtikaria pada kasus menggunakan antihistamin,

kortikosteroid oral dan krim topikal. Hal ini sesuai teori yaitu pemberian anti histamin

bertujuan untuk mengurangi gatal karena pelepasan histamin. Dipilihkan penggunaan

antihistamin H1 yang nonklasik yaitu interhistin. Hal ini dikarenakan melihat

keunggulan dari AH1 non klasik dibandingkan dengan AH1 klasik yaitu AH1 non klasik

diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam dan

efektivitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1 klasik. Selain itu AH1

non klasikjuga memiliki efek sedasi yang lebih minimal dibandingkan golongan klasik

Pada kasus, juga diberikan kortikosteroid tablet karena berdasarkan penelitian dengan

pemberian kortikosteroid oral jangka pendek pada kasus urtikaria akut dikatakan dapat

membantu penyembuhan,namun kortikosteroid sistemik tidak banyak manfaatnya pada

urtikaria kronik.. Untuk terapi topikal pada kasus diberikan krim campuran inerson

cream 15 gr dan fuson cream 10 gr yang dioleskan 2kali sehari pada bagian lesi. . Inerson

cream mengandung Desoximetasone 0,25% yaitu suatu kortikosteroid yang memiliki

khasiat sebagai antifisiogistik, antipruritik. Krim ini mengandung kortikosteroid poten

grup III.

Selain terapi obat, KIE juga penting dilakukan. Pada kasus diberikan KIE berupa

menghindari agen-agen yang dapat menjadi penyebab terjadinya urtikaria seperti

makananan (telur, gandum, kacang), obat-obatan, menggunakan sabun yang tidak

mengandung antiseptik, tidak menggunakan pewangi pakaian. Namun perlu juga

dijelaskan kepada pasien bahwa hampir 80% kasus urtikaria sampai saat ini penyebabnya

belum diketahui pasti, sehingga seringkali gejala timbul berulang meskipun sudah

diterapi.

24

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Urtikaria adalah reaksi vaskuler di kulit akibat faktor imunologik dan non-

imunologik.

2. Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah

atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi.

3. Edukasi kepada pasien dan antagonis reseptor histamine H1 merupakan first-line

therapy urtikaria

5.2 Saran

1. Penatalaksanaan urtikaria sebaiknya menggunakan stratifikasi terapi yaitu first-line

therapy, second-line therapy, dan third-line therapy.

2. Pada dekade selanjutnya, diharapkan terdapat penelitian-penelitian yang meneliti

tentang penatalaksanaan urtikaria secara holistik sehingga dapat menolong

memperbaiki kualitas hidup para penderita urtikaria.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Wong, H.K. (2009). Urticaria, Acute. Emedicine, Artikel. Diakses 28 Mei 2012, dari

http://emedicine.medscape.com/article/1049858-print

2. Djuanda, A. (2010). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

3. Poonawalla, T., Kelly, B. (2009). Urticaria – a review. Am J Clin Dermatol; 10(1): 9-21.

4. Sheikh, J., Najib, U. (2009). Urticaria. Emedicine, Artikel. Diakses 28 Mei 2012, dari

http://emedicine.medscape.com/article/137362-print

5. Perdanakusuma, D.S. (2008). Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Kulit. Surabaya

Plastic Surgery, Artikel. Diakses 28 Mei 2012, dari

http://surabayaplasticsurgery.blogspot.com/2008/05/anatomi-fisiologi-kulit-dan-

penyembuhan.html

6. Gaig, P., Olona1, M., Lejarazu, D.M., et al. (2004). Epidemiology of urticaria in Spain. J

Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220.

7. Kolodziej, K. (2005). Asthma and Exercise-Induced Anaphalaxis: A Case Study. Cfkeep,

Gambar. Diakses tanggal 28 Mei 2012, dari http://www.cfkeep.org/html/phpThumb.php

%3Fsrc%3D/uploads/uticaria.jpg

8. Lipsker, D. (2004). Schnitzler Syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tabnggal 28 Mei

2012, dari http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-schnitzler.pdf

9. Grateau, G.(2005). Muckle-Wells syndrome. Orphanet, Artikel. Diakses tanggal 28 Mei

2012, http://www.orpha.net/data/patho/GB/uk-MWS.pdf

10. Siregar, R.S. (2005). Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC.

11. Baskoro A, Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. (2006). Urtikaria dan Angioedema

dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI; p.257-61.

26