34
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Fisiologis Ibu Hamil Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi, kardiovaskular, ventilasi, metabolik, hematologi dan gastrointestinal (Santos,et.al., 2006). 2.1.1. Perubahan Kardiovaskular Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sekitar 30% sampai 50%, peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 20%, peningkatan cardiac output sampai 50%. Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional anemia of pregnancy. 12

lapsus koas anestesi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan kasus naestesi

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perubahan Fisiologis Ibu Hamil

Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua

sistem organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi

hormon dari korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran

uterus dan kompresi dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting

pada trimester kedua dan ketiga. Perubahan fisiologis seperti ini memiliki

implikasi yang relevan bagi dokter anestesi untuk memberikan perawatan

bagi pasien hamil. Perubahan yang relevan meliputi perubahan fungsi,

kardiovaskular, ventilasi, metabolik, hematologi dan gastrointestinal

(Santos,et.al., 2006).

2.1.1. Perubahan Kardiovaskular

Peningkatan isi sekuncup / stroke volume sekitar 30% sampai 50%,

peningkatan frekuensi denyut jantung sampai 20%,

peningkatan cardiac output sampai 50%.

Volume plasma meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit

meningkat hanya sampai 25%, menyebabkan terjadinya dilutional

anemia of pregnancy.

Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan /

kompresi vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat

menyebabkan terjadinya supine hypertension syndrome. Jika tidak

segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi penurunan vaskularisasi

uterus sampai asfiksia janin.

Pada persalinan, kontraksi uterus/his menyebabkan terjadinya

autotransfusi dari plasenta sebesar 300-500 cc selama kontraksi.

Beban jantung meningkat, curah jantung meningkat, sampai 80%.

Perdarahan yang terjadi pada partus pervaginam normal bervariasi,

dapat sampai 400-600 cc. Pada sectio cesarea, dapat terjadi perdarahan

sampai 1000 cc. Meskipun demikian jarang diperlukan transfusi. Hal itu

12

karena selama kehamilan normal terjadi juga peningkatan faktor

pembekuan VII, VIII, X, XII dan fibrinogen sehingga darah berada

dalam hypercoagulable state.

2.1.2.Perubahan Sistem Respirasi

Perubahan pada fungsi pulmonal, ventilasi dan pertukaran gas.

Functional residual capacity menurun sampai 15-20 %, cadangan

oksigen juga berkurang.

Pada saat persalinan, kebutuhan oksigen (oxygen demand) meningkat

sampai 100%.

Menjelang atau dalam persalinan dapat terjadi gangguan / sumbatan

jalan napas pada 30% kasus, menyebabkan penurunan PaO2 yang cepat

pada waktu dilakukan induksi anestesi.

Ventilasi per menit meningkat sampai 50%, memungkinkan

dilakukannya induksi anestesi yang cepat pada wanita hamil.

2.1.3.Perubahan Sistem Renal

Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus meningkat sampai 150%

pada trimester pertama, namun menurun sampai 60% di atas

nonpregnant state pada saat kehamilan aterm. Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh aktifitas hormon progesteron.

Kadar kreatinin, urea dan asam urat dalam darah mungkin menurun

namun hal ini dianggap normal.

Pasien dengan preeklampsia mungkin berada dalam proses menuju

kegagalan fungsi ginjal meskipun pemeriksaan laboratorium mungkin

menunjukkan nilai “normal”.

2.1.4.Perubahan pada Sistem Gastrointestinal

Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan

perubahan sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan

kemungkinan terjadinya regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung.

13

Sementara itu terjadi juga peningkatan sekresi asam lambung,

penurunan tonus sfingter esophagus bawah serta perlambatan

pengosongan lambung.

Enzim-enzim hati pada kehamilan normal sedikit meningkat.

Kadar kolinesterase plasma menurun sampai sekitar 28%, mungkin

akibat hemodilusi dan penurunan sintesis.

2.1.5. Perubahan Metabolik

Laju metabolisme basal pada wanita hamil meningkat sekitar 15 %

selama mendekati masa akhir dari kehamilan, sebagai akibat dari

peningkatan sekresi dari berbagai macam hormon selama masa

kehamilan , termasuk tiroksin, adrenokortikal dan hormon seks.

Sebagai hasil dari peningkatan laju metabolisme basal tersebut, maka

wanita hamil sering mengalami sensasi rasa panas yang berlebihan.

Selain itu,karena adanya beban tambahan, maka pengeluaran energi

untuk aktivitas otot lebih besar daripada normal (Guyton, 2006).

2.1.6.Perubahan hematologi

Volume darah maternal mulai meningkat pada awal masa kehamilan

sebagai akibat dari perubahan osmoregulasi dan sistem renin-

angiotensin, menyebabkan terjadinya retensi sodium dan peningkatan

dari total body water menjadi 8,5 L.

Volume darah meningkat sampai 45 % dimana volume sel darah merah

hanya meningkat sampai 30%. Perbedaan peningkatan ini dapat

menyebabkan terjadinya ”anemia fisiologis” dalam kehamilan dengan

hemoglobin rata rata 11.6 g/dl dan hematokrit 35.5%.

Konsentrasi fibrinogen dan faktor VII,VIII, IX,X,XII meningkat, hanya

faktor XI yang mungkin mengalami penurunan.

Karena kebutuhan fetus, anemia defisiensi folat dan zat besi mungkin

saja terjadi jika suplementasi dari zat gizi ini tidak terpenuhi.

Imunitas sel ditandai mengalami penurunan dan meningkatkan

kemungkinan terjadinya infeksi viral (Morgan, 2006).

14

2.1.7. Sistem Syaraf Pusat dan Perifer

Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil,

konsentrasi obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai

anestesia; kebutuhan halotan menurun sampai 25%, isofluran 40%,

metoksifluran 32%.

Pada anestesi epidural atau intratekal (spinal), konsentrasi anestetik

lokal yang diperlukan untuk mencapai anestesi juga lebih rendah.

wanita hamil membutuhkan lebih sedikit anestesi lokal Minimum local

analgesic concentration (MLAC) daripada wanita yang tidak hamil

untuk mencapai level dermatom sensorik yang diberikan, Hal ini karena

pelebaran vena-vena epidural pada kehamilan menyebabkan ruang

subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih sempit.3

Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf

akibat meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada

lokasi membran reseptor (enhanced diffusion). (Morgan, 2006).

2.1.8. Sirkulasi Utero-Plasental

Sirkulasi uteroplasental normal sangat dibutuhkan dalam perkembangan

dan perawatan untuk fetus yang sehat.

Aliran darah uterin meningkat secara progresif selama kehamilan dan

mencapai nilai rata rata antara 500ml sampai 700ml di masa aterm.

aliran arteri uterin sangat bergantung pada tekanan darah maternal dan

curah jantung. Hasilnya, faktor yang mempengaruhi perubahan aliran

darah melalui uterus dapat memberikan efek berbahaya pada suplai

darah fetus.

Aliran darah uterin menurun selama periode hipotensi maternal, dimana

hal tersebut terjadi dikarenakan hipovolemia, perdarahan, dan kompresi

aortocaval, dan blokade simpatis.

Hal serupa, kontraksi uterus (kondisi yang meningkatkan frekuensi atau

durasi kontraksi uterus) dan perubahan tonus vaskular uterus yang dapat

15

terlihat dalam status hipertensi mengakibatkan gangguan pada aliran

darah (Birnbach,et.al., 2009).

2.2 Plasenta previa

Plasenta previa merupakan plasenta yang letaknya abnormal yaitu pada

segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan

jalan lahir (ostium uteri internum). Klasifikasi plasenta previa berdasarkan

terabanya jaringan plasenta melalui pembukaan jalan lahir pada waktu

tertentu :

1. Plasenta previa totalis : bila seluruh pembukaan jalan lahir tertutup

oleh plasenta.

2. Plasenta previa lateralis : bila hanya sebagian pembukaan jalan lahir

tertutup oleh plasenta.

3. Plasenta previa marginalis : bila pinggir plasenta berada tepat pada

pinggir pembukaan jalan lahir.

4. Plasenta previa letak rendah : bila plasenta berada 3-4 cm diatas

pinggir pembukaan jalan lahir.

Penegakan diagnosis plasenta previa, diantaranya yaitu

1. Anamnesis : adanya perdarahan per vaginam pada kehamilan lebih 20

minggu dan berlangsung tanpa sebab.

2. Pemeriksaan luar : sering ditemukan kelainan letak. Bila letak kepala

maka kepala belum masuk pintu atas panggul.

3. Inspekulo : adanya darah dari ostium uteri eksternum.

4. USG untuk menentukan letak plasenta.

5. Penentuan letak plasenta secara langsung dengan perabaan langsung

melalui kanalis servikalis tetapi pemeriksaan ini sangat berbahaya

karena dapat menyebabkan perdarahan yang banyak. Oleh karena itu

cara ini hanya dilakukan diatas meja operasi.

Plasenta previa dilakukan tindakan seksio sesarea pada keadaan,

diantaranya plasenta previa totalis, perdarahan banyak tanpa henti,

16

presentase abnormal, panggul sempit, keadaan serviks tidak

menguntungkan (belum matang), gawat janin.

2.3 Seksio Sesarea

2.3.1 Definisi

Seksio sesarea merupakan lahirnya janin melalui insisi dinding abdomen

(laparotomi) dan dinding uterus (histerektomi). Definisi ini tidak mencakup

pengeluaran janin pada kasus ruptur uteri atau pada kasus kehamilan

abdomen (Cunningham, 2010)

2.3.2 Indikasi Seksio Sesarea

2.3.2.1 Indikasi Absolut Menurut Norwitz (2008),

indikasi absolut seksio sesarea dibagi atas

a. Berasal dari ibu

i. Induksi persalinan yang gagal

ii.Proses persalinan tidak maju (distosia persalinan)

iii. Disproporsi sefalopelvik

b. Uteroplasenta

i.Bedah uterus sebelumnya (sesar klasik)

ii.Riwayat ruptur uterus

iii. Obstruksi jalan lahir (fibroid)

iv. Plasenta previa, abruptio plasenta berukuran besar

c. Janin

i. Gawat janin/ hasil pemeriksaan janin tidak meyakinkan

ii. Prolaps tali pusat

iii. Malpresentasi janin

2.3.2.2 Indikasi relatif dalam seksio sesarea terbagi atas (Norwitz, 2008):

a. riwayat ibu

17

i. bedah sesar elektif berulang

ii. penyakit ibu

b. uteroplasenta

i. riwayat bedah uterus sebelumnya

ii. presentasi funik pada saat persalinan

c. janin

i. malpresentasi janin

ii. makrosomia

iii. kelainan janin

2.3.2.3 Kontraindikasi Seksio Sesarea

Menurut Pernoll (2009), kontraindikasi tindakan seksio sesarea meliputi infeksi

piogenik dinding abdomen, janin abnormal yang tidak dapat hidup, janin mati

(kecuali untuk menyelamatkan nyawa ibu) dan kurangnya fasilitas, perlengkapan

atau tenaga yang sesuai.

2.3.3 Komplikasi Seksio Sesarea Pernoll (2009) menyatakan beberapa

komplikasi yang dapat terjadi pada kasus seksio sesarea.

a. Kematian Ibu. Angka kematian ibu pada seksio sesarea adalah 40-80/100.000,

meningkat sebanyak 25 kali angka kematian ibu pada persalinan per vaginam.

b. Kesakitan Ibu selama Operasi. Komplikasi pembedahan selama seksio sesarea

berkisar di atas 11% (kira-kira 80% minor dan 20% mayor). Komplikasi mayor

meliputi trauma pada kandung kemih, laserasi sampai serviks atau vagina, laserasi

korpus uteri, laserasi melalui ismus ke ligamentum latum, laserasi pada kedua

arteri uterina, trauma usus dan trauma pada bayi dengan sekuele. Komplikasi

minor meliputi transfusi darah, trauma pada bayi tanpa sekuele, laserasi minor

pada isus dan kesulitan melahirkan.

c. Kesakitan Ibu Pascaoperasi Kesakitan pasca seksio sesarea kira-kira sebesar 15

% dan sekitar 90% di antaranya disebabkan oleh infeksi (endometitis, infeksi

18

saluran kemih, sepsis karena luka). Komplikasi lebih banyak terjadi pada kasus

seksio darurat kira kira 25% sedangkan pada kasus elektif hanya 5%. Predisposisi

terjadi kesakitan pasca operasi adalah lamanya pecah selaput ketuban sebelum

operasi, lama persalinan sebelum operasi, anemia dan obesitas. Komplikasi non

infeksi pasca bedah yang lazin (< 10% total komplikasi) meliputi ileus paralitik,

perdarahan intraabdominal, paresis kandung kemih, trombosis dan gangguan paru.

2.4. REGIONAL ANESTESI 2.4.1. Definisi

Anesthesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh

sementara, dengan hambat impuls syaraf sensorik. Fungsi motorik saraf dapat

terpengaruh baik sebagian maupun seluruhnya. Neuroaksial blok (spinal dan

epidural anestesi ) akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan

blok motoris tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume obat anestesi

lokal. Terdapat perbedaan fisiologis dan farmakologis bermakna antara

anestesi spinal dan epidural, yaitu :

Efek fisiologis yang diberikan blok neuroaksial:

1. Efek Kardiovaskuler 

Akibat dari blok simpatis, terjadi penurunan tekanan darah.

Efek simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal : 2-6 dermatom

diatas level blok sensoris, sedangkan pada epidural: pada level yang sama.

Pencegahan efek hipotensi adalah dengan pemberian cairan (pre-loading)

untuk mengurangi hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum

dilakukan spinal/epidural anestesi. Selain pemberian cairan, obat-obatan

vasopressor (efedrin) juga dapat diberikan. Bila terjadi high spinal (blok

pada cardio accelerator fiber di T1-T4) dapat terjadi bradikardi sampai cardiac

arrest.

2. Efek Respirasi

Bila terjadi spinal tinggi (blok lebih dari dermatom T5) dapat terjadi

hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak sehingga dapat terjadi

respiratory arrest. Kemudian efek respirasi bisa juga terjadi jika

blok mengenai nervus phrenicus sehingga menganggu gerakan diafragma

dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.

19

3. Efek Gastrointestinal

Mual muntah dapat terjadi akibat blok neuroaksial sebesar 20%, yaitu

hiperperistaltik GI oleh aktivitas parasimpatis vagal yang disebabkan oleh

simpatis yang terblok. Mual muntah juga bisa diakibatkan oleh efek hipotensi yaitu

menyebabkan hipoksia otak yang merangsang pusat muntah di CTZ

(dasar ventrikel ke IV).

Pembagian anestesi regional yaitu :

1. Blok Sentral (blok neuroaksial) yaitu meliputi blok spinal, epidural, dan

kaudal. Tindakan ini sering digunakan.

2. Blok Perifer (blok saraf), misalnya blok pleksus brakialis, aksiler,

analgesia regional intravena, dan lain-lain.

2.4.2. Anatomi

1. Tulang punggung (kolumna vertebralis)

Terdiri dari :

7 vertebra servikal

12 vertebra torakal

5 vertebra lumbal

5 vertebra sacral menyatu pada dewasa

4-5 vertebra koksigeal menyatu pada dewasa

Prosesus spinosus C2 teraba langsung dibawah oksipital. Prosesus

spinosus C7 menonjol dan disebut vertebra prominens.

Garis lurus yang menghubungkan kedua Krista iliaka tertinggi akan

memotong prosesus spinosus vertebra L4 atau antara L4-L5.

2. Vertebra Lumbal

3. Peredaran darah

Medulla spinalis diperdarahi oleh a. spinalis anterior dan a. spinalis

posterior.

4. Lapisan jaringan punggung.

Untuk mencapai cairan serebrospinalis, maka jarum suntik akan

menembus : kulit -> subkutis -> lig. Suoraspinosum -> lig.

Interspinosum -> lig. Flavum -> ruang epidural

-> durameter -> ruang sub araknoid.

20

5. Medulla spinalis (korda spinalis, the spinal cord)

Berada dalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinalis,

dibungkus meningen (durameter, lemak, dan pleksus venosus). Pada

dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3 dan sakus

duralis berakhir setinggi S2.

6. Cairan serebrospinalis

Cairan serebrospinalis merupakan ultrafiltrasi dari plasma yang berasal

dari pleksus arteria koroidalis yang terletak di vertebra 3-4 dan lateral.

Cairan ini jernih tak berwarna mengisi ruang subaraknoid dengan jumlah

total 100-150 ml, sedangkan yang di punggung sekitar 25-45 ml.

7. Ketinggian segmental anatomic

C3-C4 Clavicula

T2 Ruang interkostal kedua

T4-5 Garis putting susu

T7-9 Arcus subcostalis

T10 Umbilikalis

L1 Daerah inguinal

S1-4 Perineum

8. Ketinggian segmental reflex spinal

T7-8 Epigastrik

T9-12 Abdominal

L1-2 Kremaster

L2-4 Lutut

S1-2 Plantar, pergelangan kaki

S4-5 Sfingter anus, reflex kejut

2.4.3. Persiapan Anesthesia Regional

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan anestesi umum yaitu

untuk mengantisipasi terjadinya reaksi toksik sistemik yang bisa berakibat fatal

dan memerlukan persiapan resusitasi, misalnya pada kasus obat anestesi

spinal/epidural masuk ke pembuluh darah dan kemudian menyebabkan kolaps

kardiovaskular hingga henti jantung. Selain itu persiapan juga

21

untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan sehingga operasi dapat dilanjutkan

dengan anestesi umum. Persiapan lain yang perlu diperhatikan adalah:

a. Pemberian informasi tentang tindakan ini (informed concernt), yaitu pentingnya

tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi. 

b. Dilakukan pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit

tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti

infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium

yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT)

dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat

gangguan pembekuan darah.

2.4.4. Anestesi Spinal

Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) adalah

pemberian obat anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anesthesia spinal

diperoleh dengan cara menyuntikan anestesi lokal ke dalam ruang subaraknoid.

Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.

Gambar 1. Lokasi Ruang Subarachnoid

Indikasi

o Bedah ekstremitas bawah

o Bedah panggul

o Tindakan sekitar rectum perineum

o Bedah obstetric ginekologi

o Bedah urologi

o Bedah abdomen bawah

22

o Pada bedah abdomen atas dan bedah pediatric biasanya

dikombinasi dengan anestesi umum ringan

Indikasi Kontra Absolut

o Pasien menilak

o Infeksi pada tempat suntikan

o Hipovolemi berat, syok

o Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan

o Tekanan intracranial meninggi

o Fasilitas resusitasi minim

o Kurang pengalaman atau tanpa didampingi konsultan anestesi

Indikasi Kontra Relatif

o Infeksi sistemik (sepsis, bakteremi)

o Infeksi sekitar tempat suntikan

o Kelainan neurologis

o Kelainan psikis

o Bedah lama

o Penyakit jantung

o Hipovolemi ringan

o Nyeri punggung kronis

Persiapan anestesi spinal

a. Infoment conset

b. Pemeriksaan fisik

c. Pemeriksaan laboratorium

Peralatan anestesi spinal

a. Peralatan monitor

Tekanan darah, nadi, oksimetri denyut (pulse oximeter) dan EKG

b. Peralatan resusitasi / anestesi umum

c. Jarum spinal

Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, quincke-

babcock) atau jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point,

whitecare)

23

Perlengkapan

Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan

operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan

tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum

spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan

ukuran 16G sampai dengan 30G. Obat anestetik lokal yang dapat digunakan

adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik

local mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada

anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS

(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi.

Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke

atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat

penyuntikan. Perlengkapan lain yang diperlukan berupa kain kasa steril,

povidon iodine, alcohol, dan duk steril.

Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung

bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya

seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang

menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.

Teknik Anestesi Spinal

1. Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan

posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi

meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan

tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur

berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.

Panggul dan lutut difleksikan maksimal. Dada dan leher didekatkan

ke arah lutut.

2. Posisi penusukan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah

antara vertebra lumbalis (interlumbal). Perpotongan antara garis

yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang punggung,

ialah L4 – L5.

24

3. Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung

pasien.

4. Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang

medial dengan sudut 10-30° terhadap bidang horizontal ke arah

kranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum,

ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater

dan lapisan subaraknoid.

5. Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.

6. Suntikkan obat anestetik lokal yang telah dipersiapkan ke dalam

ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat

ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.

7. Tutup luka tusukan dengan kasa steril.

Dikenal 2 macam golongan analgetik lokal

a. Golongan amide : misalnya, lignokain, bupivakain

b. Golongan eter : misalnya, prokain, tetrakain.

Anestesi lokal untuk anestesi spinal

Berat jenis cairan serebrospinal (CSS) pada suhu 370C ialah 1,003

– 1,008. Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut

isobarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut

hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari CSS

disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah jenis

hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan

dekstrosa. Untuk jenis hipobarik (anestesi lokal dengan berat jenis lebih

kecil dari CSS) biasanya digunakan tetrasiklin diperoleh dengan

mencampur dengan air injeksi.

Anestesi Lokal Berat

Jenis

Sifat Dosis

Lidokain (Xylobain,

Lignokain)

2% plain

5% dalam dextrose 75%

1.006

1.033

Isobarik

Hipebarik

20-100 mg (2-5

ml)

20-50 mg (1-2

25

mg)

Bupivikain (Markain)

0.5% dalam air

0.5% dalam dextrose 8,25%

1.005

1.027

Isobarik

Hiperbarik

5-20 mg (1-4 ml)

5-15 mg (1-3 ml)

Penyebaran Anestesi Lokal Tergantung

o Faktor utama

Berat jenis anestesi lokal

Posisi pasien

Dosis dan volume anestesi lokal

o Faktor tambahan

Ketinggian suntikan

Kecepatan suntikan

Ukuran jarum

Keadaan fisik pasien

Tekanan intraabdominal

Obat-obat yang dipakai Obat anestesi lokal yang biasa dipakai untuk spinal anestesi adalah

lidokain, bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain

adalah suatu obat anestesi lokal yang poten, yang dapat memblokade

otonom, sensoris dan motoris. Lidokain berupa larutan 5% dalam 7,5%

dextrose, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2 menit dan

lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-

100mg untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah,

100-150mg untuk spinal analgesia tinggi. Lama analgesi prokain < 1

jam, lidokain ± 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.

Bupivicaine HCL

a. Komposisi

Tiap ampul Buvanest Spinal 0,5 % Heavy mengandung: Bupivacaine HCl

5 mg/mL dan Dextrose monohydrate 80 mg/mL

26

b. Farmakodinamik

Anestetik lokal menghambat pembentukan dan penjalaran impuls saraf

dengan meningkatkan ambang eksitasi elektrik dalam saraf,

memperlambat penyebaran impuls saraf, dan mengurangi kecepatan

bangkitan aksi potensial. Secara umum, terjadinya anestesia dikaitkan

dengan diameter, mielinisasi dan kecepatan konduksi serat saraf yang

dipengaruhi. Pada konsentrasi darah yang dicapai dengan dosis terapi,

terjadi perubahan konduksi jantung, eksitabilitas, refrakteritas,

kontraktilitas dan resistensi vaskuler perifer yang minimal. Konsentrasi

toksik dalam darah dapat mengakibatkan hambatan atrioventrikuler,

aritmia ventrikuler dan henti jantung, kadang-kadang berakibat fatal.

Kontraktilitas miokardium ditekan dan terjadi vasodilatasi perifer,

mengakibatkan penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri. 

Absorpsi sistemik anestetik lokal juga dapat mengakibatkan perangsangan

dan/atau penekanan sistem saraf pusat. Rangsangan pusat biasanya berupa

gelisah, tremor dan menggigil, kejang, diikuti depresi dan koma, akhirnya

terjadi henti napas. Anestetik lokal mempunyai efek depresi terutama pada

medula dan pusat yang lebih tinggi. Fase depresi dapat terjadi tanpa fase

eksitasi sebelumnya.

c. Farmakokinetik

Kecepatan absorpsi anestetik lokal tergantung dari dosis total dan

konsentrasi obat yang diberikan, cara pemberian, dan vaskularisasi tempat

pemberian, serta ada tidaknya epinefrin dalam larutan anestetik. Setelah

injeksi bupivacaine untuk blok kaudal, epidural atau saraf perifer pada

manusia, kadar puncak bupivacaine dalam darah dicapai dalam 30-45

menit, diikuti oleh penurunan kadar sampai kadar tidak bermakna selama

3-6 jam kemudian. Tergantung dari cara pemberian, anestetik lokal

didistribusi luas ke seluruh jaringan tubuh, konsentrasi tinggi ditemukan

pada organ dengan perfusi tinggi seperti hati, paru, jantung dan otak.

Bupivacaine terutama dimetabolisme di hati melalui konjugasi dengan

asam glukuronat dan metabolit utamanya adalah 2,6 pipecoloxilidine.

Mula kerja bupivacaine cepat dan anestesia bertahan lama. Lama kerja

27

bupivacaine lebih panjang secara nyata daripada anestetik lokal yang biasa

digunakan. Juga terdapat periode analgesia yang tetap setelah kembalinya

sensasi.

d. Waktu paruh bupivacaine

Pada pasien dewasa adalah 2,7 jam dan pada neonatus 8,1 jam.

Lama kerja analgesia bupivacaine 0,5 % antara 3-5 jam pada segmen

torakal bawah dan lumbal, sedangkan dari bupivacaine 0,5 % dengan

dextrose antara 2-3 jam pada segmen T10-T12. Bupivacaine 0,5 %

menghasilkan relaksasi otot pada anggota badan bagian bawah selama 3-4

jam, sedangkan bupivacaine 0,5 % dengan dextrose 2-3 jam. Hambatan

motorik otot abdominal oleh bupivacaine 0,5 % dengan dextrose membuat

larutan tersebut cocok untuk pembedahan abdomen dengan lama 45-60

menit.

e. Indikasi

Buvanest 0,5 % diindikasikan untuk anestesia lokal atau regional dan

sebagai analgesia pada pembedahan, untuk prosedur bedah mulut,

prosedur terapi dan diagnostik, serta prosedur obstetrik. Buvanest Spinal

0,5 % Heavy diindikasikan untuk anestesia spinal pada pembedahan

abdomen, saluran kemih, dan anggota badan bagian bawah.

f. Dosis dan Cara Pemberian

Buvanest 0,5 % pada pasien dewasa :

-Blok saraf perifer   : 5 mL sampai maksimal

-Blok epidural       : 10-20 mL

-Blok kaudal       : 15-30 mL

g. Kontraindikasi

-Anestesia blok paraservikal obstetric

-Anestesia regional intravena.

-Pasien dengan hipersensitivitas terhadap bupivacaine

h. Interaksi Obat

Pemberian bersamaan dengan obat vasopresor dan obat oksitosik jenis

ergot dapat menyebabkan hipertensi persisten berat atau kejadian

serebrovaskuler.

28

i. Efek samping

Penyebab utama efek samping kelompok obat ini mungkin

berhubungan dengan kadar plasma yang tinggi, yang dapat disebabkan oleh

overdosis, injeksi intravaskuler yang tidak disengaja atau degradasi

metabolik yang lambat.

o Sistemik: Biasanya berkaitan dengan sistem saraf pusat dan

kardiovaskular seperti hipoventilasi atau apnu, hipotensi dan henti

jantung.

o SSP: Gelisah, ansietas, pusing, tinitus, dapat terjadi penglihatan

kabur atau tremor, kemungkinan mengarah pada kejang. Hal ini

dapat dengan cepat diikuti rasa mengantuk sampai tidak sadar dan

henti napas. Efek SSP lain yang mungkin timbul adalah mual,

muntah, kedinginan, dan konstriksi pupil.

o Kardiovaskuler: Depresi miokardium, penurunan curah jantung,

hambatan jantung, hipotensi, bradikardia, aritmia ventrikuler,

meliputi takikardia ventrikuler dan fibrilasi ventrikuler, serta henti

jantung.

o Alergi: Urtikaria, pruritus, eritema, edema angioneuretik (meliputi

edema laring), bersin, episode asma, dan kemungkinan gejala

anafilaktoid (meliputi hipotensi berat).

Neurologik: Paralisis tungkai, hilangnya kesadaran, paralisis

pernapasan dan bradikardia (spinal tinggi), hipotensi sekunder dari

blok spinal, retensi urin, inkontinensia fekal dan urin, hilangnya

sensasi perineal dan fungsi seksual; anestesia persisten, parestesia,

kelemahan, paralisis ekstremitas bawah dan hilangnya kontrol

sfingter, sakit kepala, sakit punggung, meningitis septik,

meningismus, lambatnya persalinan, meningkatnya kejadian

persalinan dengan forcep, atau kelumpuhan saraf kranial karena

traksi saraf pada kehilangan cairan serebrospinal.

Pengaturan Level Analgesia

29

Level anestesia yang terlihat dengan spinal anestesi adalah sebagai

berikut : level segmental untuk paralisis motoris adalah 2-3 segmen di

bawah level analgesia kulit, sedangkan blokade otonom adalah 2-6

segmen sephalik dari zone sensoris. Untuk keperluan klinik, level

anestesi dibagi atas :

1. Sadle block anesthesia : zona sensoris anestesi kulit pada segmen

lumbal bawah dan sakral.

2. Low spinal anesthesia : level anestesi kulit sekitar umbilikus (T10)

dan termasuk segmen torakal bawah, lumbal dan sakral.

3. Mid spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T6 dan zona anestesi

termasuk segmen torakal, lumbal, dan sacral.

4. High spinal anesthesia : blok sensoris setinggi T4 dan zona anestesi

termasuk segmen torakal 4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor,

motoris dan hipotensi, serta respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin

terjadi.

Lama Anestesi Lokal Tergantung

a. Jenis anestesi lokal

b. Besarnya dosis

c. Ada tidaknya vasokontriktor

d. Besarnya penyebaran anestesi lokal

Keuntungan Anestesia Regional

a. Alat yang dibutuhkan minimal dan teknik yang di gunakan

relatif sederhana biaya relatif lebih murah.

b. Dipertimbangkan sebagai teknik yang relatif aman untuk pasien yang

tidak  puasa (operasi emergency, lambung penuh) karena penderita sadar 

c. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.

d. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.

e. Perawatan post operasi lebih ringan.

Kerugian Anestesia Regional.

a. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesia regional 

30

b. Membutuhkan kerjasama penderita

c. Sulit diterapkan pada anak-anak.

Komplikasi Tindakan

a. Hipotensi berat

b. Bradikardi

c. Hipoventilasi

d. Trauma pembuluh darah

e. Trauma saraf

f. Mual muntah

g. Gangguan pendengaran

h. Blok spinal tinggi atau blok total

Komplikasi paska tindakan

a. Nyeri tempat suntikan

b. Nyeri punggung

c. Nyeri kepala karena kebocoran liquor

d. Meningitis

e. Retensio urin

2.5.TERAPI CAIRAN

Terapi cairan dibutuhkan, jika tubuh tidak dapat memasukkan air,

elektrolit dan zat-zat makanan secara oral, misalnya pada keadaan pasien

harus puasa lama, karena pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak,

syok hipovolemik, anoreksia berat, mual-muntah tak berkesudahan dan lain-

lainnya.

Komposisi cairan tubuh terdiri atas :

Bayi baru lahir : 75%

Usia 1 bulan : 65%

Dewasa pria : 60%

Dewasa wanita 50%

Sisanya zat padat ( protein, lemak, karbohidrat)

31

Cairan tubuh sebanyak 60% terdiri atas cairan intraseluler 40% dan

ekstraseluler 20%. Cairan intraseluler mengandung ion-ion kalium,

magnesium dan fosfor. Sedangkan ekstraseluler (ion-ion natrium dan clorida)

terdiri atas plasma darah 5% (eritrosit, leukosit, trombosit) dan cairan

interstisiel 15%. Disamping itu, terdapat cairan antarsel (transeluler) yaitu

cairan serebrospinal, persendian, dan peritoneum.

Macam-macam cairan terdiri atas kristaloid (elektrolit) dan koloid (plasma

ekspander) yang diberikan secara intravena. Terapi cairan adalah tindakan

untuk memelihara, mengganti milieuinteriur dalam batas fisiologis. Terapi

parenteral diperlukan untuk mengganti deficit cairan saat puasa sebelum dan

sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan,

mengganti perdarah yang terjadi dan mengganti cairan pindah ke ruang ketiga

(rongga peritoneum, ke luar tubuh).

Kebutuhan cairan basal (rutin, rumatan) adalah :

4ml/kgBB/jam untuk BB 10 kg pertama

2ml/kgBB/jam untuk BB 10 kg kedua

1ml/kgBB/jam untuk sisa berat badan

Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah keruang ketiga, keruang

peritoneum, ke luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya

pembedahan.

6-8ml/kg untuk bedah besar

4-6ml/kg untuk bedah sedang

2-4ml/kg untuk bedah kecil

Perdarahan pada pembedahan tidak selalu perlu transfuse, untuk perdarah

dibawah 20% dari volume darah total pada dewasa cukup diganti dengan

cairan infuse yang komposisi elektrolitnya kira-kira sama dengan komposisi

elektrolit serum, misalnya dengan ringer laktat atau ringer asetat.

Volume darah bayi anak 80ml/kgBB

Volume darah dewasa pria 75ml/kgBB

Volume darah dewasa wanita 65ml/kgBB

Tujuan terapi cairan yaitu untuk resusitasi dan rumatan. Resusitasi yaitu

mengganti deficit cairan kristaloid, mengganti kehilangan akut (dehidrasi,

32

syok hipovolemik), dan koloid. Sedangkan rumatan untuk kebutuhan normak

harian kristaloid dan memasok kebutuhan harian.

Terapi cairan pengganti dapat diberikan secara per oral atau intravena

secara sendiri-sendiri atau secara kombinasi, tergantung pada tempat

pelayanan dan beratnya dehidrasi. Rehidrasi oral diberikan bila defisit cairan

ringan, sekitar 1-2 liter. Pemberian oralit atau air gula garam dapat digu-

nakan sebagai rehidrasi oral. Bila defisit cairan berat atau pasien mengalami

gangguan kesadaran, cairan intravena harus diberikan. Penggantian cairan

intravena paling baik diberikan di ruang rawat akut di mana dehidrasi dapat

dipantau secara ketat. Langkah pertama dalam terapi dehidrasi hipernatremik

adalah mengkoreksi kolaps hemodinamik yang umumnya memberikan gejala

seperti hipotensi, ortostasis, dan berkurangnya jumlah urin yang keluar.

Terapi awal adalah infus cairan garam hipotonik secara cepat sampai

parameter tersebut di atas stabil. Selanjutnya sisa defisit cairan dikoreksi

dalam 2-3 hari untuk mencegah gagal jantung. Bila hemodinamik stabil,

diberikan setengah dari defisit cairan dalam 24 jam per-tama, sedang volume

sisanya diberikan dalam 24 sampai dengan 72 jam berikutnya. Cairan

pengganti terbaik adalah Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,45%. Pasien dengan

dehidrasi isotonik seyogyakan diberikan cairan NaCl isotonik sebagai cairan

pengganti. Selain mengkoreksi defisit cairan, kehilangan cairan yang masih

berlangsung harus diganti. Kehilangan cairan tersebut sekitar 2-3 liter per hari

pada usia lanjut yang sehat dan mungkin lebih besar lagi bila ada penyakit.

Pengkajian status cairan secara terus menerus harus selalu dilakukan untuk

memastikan penggantian cairan yang tepat. Hal ini meliputi pengukuran

asupan dan keluaran cairan, berat badan, tekanan darah, denyut nadi,

pemeriksaan laboratorium seperti ureum, kreatinin, elektrolit, dan osmolaritas

serum. Pencatatan jumlah cairan yang masuk dan keluar dengan teliti penting

pula untuk memastikan bahwa pasien tidak kelebihan cairan sehingga dapat

terhindar dari volume overload dan hiponatremia.

2.6. POST ANESTESI

33

Stress pasca operasi sering terjadi gangguan nafas, kardiovaskular, mual-

muntah, menggigil, kadang-kadang perdarahan. Pasca operasi berada di ruang

recovery. Di unit ini pasien dinilai tingkat pulih sadarnya.

Observasi dan monitor tanda vital (nadi, tensi, respirasi)

Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan (tekanan darah

dan  nadi  cepat) atau  karena hipoksia (tekanan darah turun dan nadi  

cepat) misal karena perdarahan (hipovolemia).

Bila kesakitan beri analgetik NSAID/Opioid.

Jika hipoksia cari sebabnya dan atasi penyebabnya (obstruksi jalan nafas)

karena secret/lender atau lidah jatuh ke hipofharing).

Oksigen via nasal kanul 3-4 liter, selama pasien belum sadar betul tetep

diberikan.

Pasien dapat dikirim kembali ke bangsal/ruangan setelah sadar, reflek

jalan nafas sudah aktif, tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal.

Pasien bisa diberi makan dan minum jika flatus sudah ada, itu bukti

peristaltik usus sudah normal.

34