39
1 BAB I PENDAHULUAN Partus prematurus adalah dimulainya kontraksi uterus yang disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu. Persalinan premature dapat meningkatkan kematian perinatal sekitar 65-67 %, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah. Partus prematurus imminens (PPI) merupakan salah satu penyebab terjadinya mortalitas dan morbiditas perinatal diseluruh dunia, angka kejadian PPI sekitar 6 % sampai 15 % dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, PPI menyebabkan 75 % kematian neonatal dan 50 % terjadi gangguan neurologis jangka panjang pada anak. Angka kejadian PPI di Indonesia sekitar 19 % dan merupakan penyebab utama kejadian perinatal. Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang (lebih dari satu episode). Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh obat anti epilepsi terhadap janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin.

Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

epilepsi dan ppi

Citation preview

Page 1: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

1

BAB I

PENDAHULUAN

Partus prematurus adalah dimulainya kontraksi uterus yang disertai dengan

perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala bayi pada wanita hamil yang

lama kehamilannya kurang dari 37 minggu. Persalinan premature dapat

meningkatkan kematian perinatal sekitar 65-67 %, umumnya berkaitan dengan

berat badan lahir rendah.

Partus prematurus imminens (PPI) merupakan salah satu penyebab terjadinya

mortalitas dan morbiditas perinatal diseluruh dunia, angka kejadian PPI sekitar 6 %

sampai 15 % dari seluruh persalinan. Di Amerika Serikat, PPI menyebabkan 75 %

kematian neonatal dan 50 % terjadi gangguan neurologis jangka panjang pada anak.

Angka kejadian PPI di Indonesia sekitar 19 % dan merupakan penyebab utama

kejadian perinatal.

Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang (lebih

dari satu episode). Kehamilan pada wanita penyandang epilepsi sampai saat ini

masih dianggap sebagai kehamilan resiko tinggi, dikarenakan adanya pengaruh

yang kurang baik dari epilepsi terhadap kehamilan dan sebaliknya serta pengaruh

obat anti epilepsi terhadap janin. Sekitar 25%-33,3% serangan epilepsi akan

meningkat selama hamil, dengan beberapa kemungkinan komplikasi-komplikasi

pada saat kehamilan, persalinan dan pada janin.

Page 2: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

2

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

a. Nama : Ny. Atikah Febriana

b. Usia : 21 tahun

c. Alamat : Rejasari RT ¼ Purwokerto Barat

d. Waktu datang : 2 Juni 2015 (pukul 20.10)

2.2 ANAMNESIS

a. Keluhan utama

Kenceng-kenceng sejak pukul 17.00 (2 Juni 2015).

b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang sendiri ke VK IGD RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo

Purwokerto dengan kenceng-kenceng jarang sejak pukul 17.00 (2 Juni

2015), lendir/darah (-), pengeluaran air (-), HPHT 06/10/14, HPL 13/7/15,

usia kehamilan 34 minggu, riwayat ANC rutin di bidan, riwayat haid teratur

(6 hari), riwayat nikah 1x selama 8 bulan, riwayat KB (-), riwayat obstetri

G1POA0.

c. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat hipertensi : disangkal

2. Riwayat asma : disangkal

3. Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat kencing manis : disangkal

5. Riwayat penyakit jantung : disangkal

6. Riwayat penyakit paru : disangkal

7. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

8. Riwayat penyakit lain : Epilepsi sejak 6 tahun yang lalu,

rutin berobat di RSMS dengan penitoin tablet, terakhir kambuh 9 bulan

yang lalu, selama hamil tidak kambuh

Page 3: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

3

d. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat hipertensi : disangkal

2. Riwayat asma : disangkal

3. Riwayat kencing manis : disangkal

4. Riwayat penyakit jantung : disangkal

5. Riwayat penyakit ginjal : disangkal

6. Riwayat penyakit kandungan : disangkal

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum : Compos Mentis

b. Vital sign

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 96x/menit

Respiratory Rate : 20x/menit

Suhu : 36,50C

c. Pemeriksaan kepala

Mata : Ca (-/-) Si (-/-)

Hidung : disch (-/-) nch (-/-)

Mulut : Sian (-)

d. Pemeriksaan leher

Thyroid : tak ada kelainan

e. Pemeriksaan dada

Cor : S1>S2, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : Suara Dasar Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)

Dinding dada : Simetris

f. Pemeriksaan abdomen

Dinding perut : cembung gravid

Hepar/lien : tak ada kelainan

Usus : Bising Usus (+) Normal

g. Pemeriksaan punggung : tak ada kelainan

h. Pemeriksaan coxae : tak ada kelainan

Page 4: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

4

i. Pemeriksaan genitalia eksterna : tak ada kelainan

j. Pemeriksaan ekstremitas :

Edema

k. Pemeriksaan limphonodi: tak ada kelainan

l. Pemeriksaan reflek : tak ada kelainan

m. Pemeriksaan turgor kulit: cpc < 2 detik

n. Pemeriksaan akral : hangat

2.4 PEMERIKSAAN LOKAL

a. Status lokalis abdomen

1. Inspeksi : cembung gravid

2. Auskultasi : BU (+) Normal ; DJJ 146x/menit

3. Perkusi : pekak janin

4. Palpasi :

a) TFU : 26 cm

b) L1 : bokong

c) L2 : punggung kanan

d) L3 : kepala

e) L4 : konvergen

b. Status Genitalia Eksterna

Perdarahan Per Vaginam (-)

Fluor Albus (-)

2.5 PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Tabel 1. Pemeriksaan Darah dan Urin

PEMERIKSAAN DARAH HASIL NILAI NORMAL SATUAN

Darah Lengkap

Hemoglobin 10,9 12,0-16,0 g/dL

Leukosit 13680 4800-10800 U/L

Hematokrit 30 37-47 δ

Eritrosit 3,4 4,2-8,4 10^6/Ul

Page 5: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

5

Trombosit 306.000 150.000-450.000 /uL

MCV 88,7 79,0-99,0 fL

MCH 32,3 27,0-31,0 pg

MCHC 36,5 33,0-37,0 δ

RDW 12,4 11,5-14,5 δ

MPV 8,7 7,2-11,1 fL

Hitung Jenis

Basofil 0,4 0.0-1,0 %

Eosinofil 0,9 2,0-4,0 %

Batang 1,7 2,0-5,0 %

Segmen 71,4 40,0-70,0 %

Limfosit 16,5 25,0-40,0 %

Monosit 9,1 2,0-8,0 %

PT 8,5 9,9-11,4 detik

APTT 28,7 29,0-40,2 detik

2.6 DIAGNOSA KLINIK DI VK IGD

G1P0A0 usia 21 tahun Hamil 34 minggu dengan Partus Prematorus

Imminens (PPI) dan riwayat epilepsi dalam pengobatan

2.7 TINDAKAN DAN TERAPI

a. Instruksi dr Adityono, Sp.OG (tanggal 2 Juni 2015 pukul 21.30)

1) Injeksi Dexamethason 2 x 1 Ampul (diberikan tanggal 3 Juni 2015

pukul 09.00)

2) Provenid sup

3) Dilanjut Nifedipine 3 x 10 mg (diberi tanggal 3 Juni 2015 pukul 05.00)

4) Konsul saraf jam kerja

b. Instruksi dr Yuanita, Sp.S ( tanggal 3 Juni 2015 pukul 14.30)

1) Fenitoin 2 x 100 mg

2) Bila saat inpartu kejang

Bolus diazepam 2 amp habis dalam 2 menit tunggu 5 menit

masih kejang bolus diazepam 10 mg 2 amp dalam 2 menit tunggu

5 menit masih kejang drip phenitoin 1000 mg (tanpa diencerkan)

dalam syring pump kecepatan 40 mg/mnt tunggu 5 menit

dilanjutkan 1x masih kejang rawat ICU (beri midazolam)

Page 6: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

6

c. Instruksi residen (tanggal 4 Juni 2015 pukul 17.30)

Pasien dikirim ke radiologi untuk USG

2.8 FOLLOW UP BANGSAL FLAMBOYAN

Tabel 2. Catatan Perkembangan Pasien di Bangsal Flamboyan

Tanggal S O A P

3/6/2015

- KU/ Kes: cemas/

compos mentis

TD: 110/70

N: 80x/mnt

RR: 20x/mnt

S: 36,5 Celcius

Status Generalis

Mata: CA +/+ SI -/-

Thoraks:

P/ SD ves +/+, ST -/-

C/ S1>S2, reg, ST –

Status Lok. Abd.

I: cembung gravid

A : BU (+) Normal

Per: pekak janin

Pal: supel

TFU = 26cm

Status GE:

PPV (-)

FA (-)

Status Vegetatif : BAB

(+) BAK (-) FL (-)

G1P0A0 usia 21

tahun Hamil 34+1

minggu dengan

Partus

Prematorus

Imminens dan

riwayat epilepsi

dalam

pengobatan

USG

Injeksi

Deksametason 2x1

ampul

4/6/2015 kenceng-

kenceng

KU/Kes : baik/compos

mentis

TD: 110/70

N: 80x/mnt

RR: 20x/mnt

S: 36,5 Celcius

Status Generalis

Mata: CA +/+ SI -/-

Thoraks:

P/ SD ves +/+, ST -/-

C/ S1>S2, reg, ST –

Status Lok. Abd.

I: cembung gravid

A : BU (+) Normal

Per: pekak janin

Pal: supel

G1P0A0 usia 21

tahun Hamil 34+2

minggu dengan

Partus

Prematorus

Imminens dan

riwayat epilepsi

dalam

pengobatan

Residen:

Phenitoin tab

100mg/12 jam

Asam folat 1 tab

Inj dexamethasone

2 x 1 gr (IV)

USG

Page 7: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

7

TFU : 26cm

Status GE:

PPV (-)

FA (-)

5/6/2015 Kenceng-

kenceng

KU: sedang

Kes: compos mentis

TD: 100/60

N: 84x/mnt

RR: 20x/mnt

S: 36,4 Celcius

Status Generalis

Mata: CA +/+ SI -/-

Thoraks:

P/ SD ves +/+, ST -/-

C/ S1>S2, reg, ST –

Status Lok. Abd.

I: cembung gravid

A : BU (+) Normal

Per: pekak janin

Pal: supel

TFU : 26cm

Status GE:

PPV (-)

FA (-)

G1P0A0 usia 21

tahun Hamil 34+3

minggu dengan

Partus

Prematorus

Imminens dan

riwayat epilepsi

dalam

pengobatan Boleh pulang jika

masalah teratasi

Fenitoin tab 2x100

Asam Folat 1x1

2.9 DIAGNOSA AKHIR

G1P0A0 usia 21 tahun Hamil 34+3 minggu dengan Partus Prematorus Imminens

(PPI) dan riwayat epilepsi dalam pengobatan

2.10 PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam

Ad sanationam : ad bonam

Ad functionam : ad bonam

Page 8: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

8

BAB III

MASALAH DAN PEMBAHASAN

Diagnosis awal kasus saat di VK IGD adalah Gravida 1 Para 0 Abortus 0

usia 21 tahun Hamil 34 minggu dengan Partus Prematorus Imminens dan riwayat

epilepsi dalam pengobatan., datang karena merasakan kenceng-kenceng sejak

pukul 17.00 (2 Juni 2015). Beberapa hal yang perlu dibahas berkaitan dengan

diagnosis ini antara lain :

a. Riwayat obstetri G1P0A0 : Primigravida, seorang wanita yang hamil untuk

pertama kali (Cunningham et al, 2012).

b. Pasien berusia 21 tahun

Ancaman terkait kehamilan pada wanita dengan epilepsi adalah

meningkatnya frekuensi kejang dan risiko malformasi kongenital pada janin.

Meningkatnya frekuensi kejang sering berkaitan dengan kadar obat anti

konvulsan subterapetik, penurunan ambang kejang, atau keduanya. Rata-rata

7% anak dari wanita pengidap epilepsi menderita malformasi kongenital mayor

dibandingkan dengan 3% pada populasi umum. Sebagian dari gangguan kejang

bersifat herediter, dan hampir 10% anak mengalami gangguan kejang pada

tahap kehidupan selanjutnya (Cunningham et al, 2012).

c. Partus Prematorus Imminens

Partus Prematorus Imminens (PPI) merupakan suatu ancaman persalinan

dimana bayi yang lahir hidup dengan berat badan 2500 gram atau kurang dan

usia gestasi 37 minggu atau kurang (Cunningham et al, 2012).

d. Epilepsi

Epilepsi adalah suatu gangguan kronik yang ditandai dengan adanya

bangkitan epileptik berulang sebagai akibat gangguan fungsi otak secara

intermiten yang terjadi oleh lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara

paroksismal, akibat berbagai etiologi. Hal ini disebabkan oleh hiperaktivitas

listrik sekelompok sel saraf di otak yang disebabkan bukan karena penyakit otak

akut (Dyatmoko, 2014).

Page 9: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

9

e. Follow up saat di bangsal

Keadaan umum pasien tampak cemas, tetapi tanda-tanda vital pasien dalam

batas normal. Pasien mengeluh kenceng-kenceng kembali pada tanggal 4 Juni

2015 sehingga pasien diberikan phenitoin 100mg/12 jam secara oral, asam folat

1 tablet, dan injeksi deksamethasone 2 x 1 gram secara intravena, serta

dilakukan USG untuk melakukan pemantauan terhadap janin. Hari berikutnya

(5 Juni 2015) pasien mengeluhkan kenceng-kenceng sudah mulai berkurang dan

keadaan umum mulai membaik sehingga pasien dipersiapkan untuk pulang,

tetapi harus tetap kontrol ke poli kandungan dan poli saraf.

Page 10: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

10

BAB IV

TINJAUAN PUSTAKA

4.1 EPILEPSI

a. Definisi

Epilepsi, didefinisikan sebagai kejang berulang tanpa alasan,

mempengaruhi 1-2% dari populasi seluruh dunia dan peringkat kedua di

seluruh dunia di antara semua gangguan neurologis (Rakhade dan Jensen,

2009). Gangguan kognitif, terutama gangguan memori, adalah komplikasi

utama epilepsi. Epilepsy juga dapat mempengaruhi fungsi sensorik,

motorik, atau fungsi otonom (Berg et al, 2010).

b. Epidemiologi

Epilepsi maternal berhubungan dengan meningkatnya resiko

malformasi janin, yang semakin meningkat jika ibu mengkonsumsi obat

antiepilepsi. Pada pasien wanita hamil dengan epilepsi sangat sulit

menduga terjadinya kejang berulang. Terjadinya suatu bangkitan sangat

berbahaya baik untuk ibu maupun fetus yang akan berdampak pada detak

jantung janin selama proses persalinan.

Frekuensi kejang selama kehamilan meningkat pada 35 %,

berkurang pada 15 %, dan tidak berubah pada 50 % wanita. Meningkatnya

frekuensi kejang sering berkaitan dengan kadar antikonvulsan yang

subterapeutik, penurunan ambang kejang atau keduanya. Kadar

subterapeutik disebabkan oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan

adaptasi ibu terhadap kehamilan. Perubahan normal pada kehamilan ini

sedikit banyak diimbangi dengan menurunnya pengikatan protein

meningkatkan kadar obat bebas. Ambang kejang juga dapat dipengaruhi

oelh keadaan kurang tidur dan hiperventilasi selama persalinan. Wanita

dengan epilepsi berat lebih rentan terhadap peningkatan frekuensi kejang

selama kehamilan.

Page 11: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

11

c. Faktor resiko

Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat

epilepsi, dapat terjadi pada saat :

1. Pre Natal

a) Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35

tahun)

b) Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi

c) Kehamilan primipara atau multipara

d) Pemakaian bahan toksik

2. Natal

a) Asfiksia

b) Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)

c) Kelahiran prematur atau postmatur

d) Partus lama

3. Post Natal

a) Kejang demam

b) Trauma kepala

c) Infeksi SSP

d) Gangguan metabolik

d. Epigenetik

Epigenetik adalah perubahan ekspresi gen pada suatu individu tanpa

perubahan sekuens atau urutan DNA (Gehring et al, 2004). Epigenetik

dipengaruhi oleh lingkungan dan memiliki peran dalam semua aspek fungsi

saraf, dari embriogenesis dan perkembangan otak awal untuk ekspresi gen

spesifik jaringan. Disregulasi epigenetik akan memiliki peran penting

dalam gangguan neuropsikiatri seperti stroke iskemik dan epilepsi (Graff

et al, 2011).

Genom manusia mempunyai lebih dari 3 miliar pasang basa DNA

yang berisi kurang lebih 24000 gen pengkode protein. Pada manusia 50%

DNA genom ditranskripsikan menjadi RNA messenger (mRNA).

Sebanyak 2% mRNA ditranslasikan menjadi protein, dan sisanya 98%

Page 12: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

12

menjadi ncRNAs. Mayoritas transkripsi RNA pada manusia bukan coding

protein RNA, melainkan non coding RNA (ncRNAs) (98%), hal ini yang

menjadi dasar pada epigenetik.

Gambar 1. Transkripsi DNA

Epigenetik didefinisikan sebagai sebuah perubahan pada sifat gen

yang dapat diturunkan tanpa perubahan pada rangkaian DNA itu sendiri

dan termasuk metilasi DNA, modifikasi histon, reposisi nukleosom, dan

pasca transkripsi regulasi gen oleh mikro RNA (miRNAs). Saat ini

ditemukan bahwa metilasi DNA dan modifikasi histon sangat erat

kaitannya. Keseluruhan keadaan epigenetik (misalnya, metilasi DNA,

modifikasi histon, dan sifat miRNA) sesuai dengan sel fenotipe tertentu

yang sekarang disebut sebagai epigenom.

Metilasi DNA merupakan alat kunci sinyal epigenetik yang

digunakan oleh sel untuk mengunci gen dalam posisi 'off '. Metilasi DNA

sangat penting untuk perkembangan normal otak dan fungsi normal dari

organisme dewasa. Metilasi DNA memberikan tanda pengindeksan stabil

yang lebih memperluas domain kromosom yang panjang, sehingga

menimbulkan 'hafal' negara ekspresi gen yang dapat diwariskan dari satu

generasi ke generasi berikutnya sel.

Page 13: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

13

Gambar 2. Metilasi DNA, modifikasi histon, dan transkripsi

mRNA

Metilasi DNA

Metilasi DNA mamalia dikatalisis oleh methyltransferases DNA

(DNMTs), protein kromatin memodifikasi dan memelihara pola metilasi

DNA yang unik dalam sel yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Tiga

anggota aktif dari DNMT (DNMT1, DNMT3a, dan DNMT3b). Meskipun

DNMT1 memastikan pemeliharaan metilasi DNA, DNMT3a dan

DNMT3b penting untuk de novo DNA metilasi. Sementara itu, metilasi

DNA pada promotor gen biasanya terkait dengan transkripsi represi,

metilasi DNA pada tubuh gen biasanya terkait dengan transkripsi gen aktif.

Metilasi DNA terlibat dalam berbagai penyakit manusia, termasuk

kanker, penyakit ketidakstabilan neurobehavioral seperti sindrom Fragile

X, penyakit saraf degeneratif seperti penyakit Alzheimer, penyakit

Parkinson, dan gangguan seperti stroke iskemik dan epilepsy.

Modifikasi Histon dan transkipsi regulasi

Setiap histone memiliki domain pusat dan tidak terstruktur dari

beberapa potensi terjadinya modifikasi pasca translasi termasuk asetilasi,

metilasi, fosforilasi, ubiquitination, SUMOylation, dan ribosylation ADP.

Page 14: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

14

Tanda-tanda ini ditambahkan atau dihapus oleh serangkaian kromatin

tertentu untuk memodifikasi enzim. Berbeda dengan modifikasi histon yang

bertindak secara berurutan atau dalam kombinasi untuk membentuk 'kode

histon' oleh protein lainyang pada gilirannya memediasi transkripsi gen

aktif atau represi.

Histon Acetyltransferase memberi gugus asetil ke lisin dan arginin

residu di protein histon inti. Asetilasi struktur kromatin memungkinkan

transkripsi untuk mengakses sinyal awal dari transkripsi. Histon

Acetyltransferase tidak hanya memodifikasi histon, tetapi juga sebagai

substrat lain seperti faktor transkripsi dan karena itu juga disebut sebagai

lisin acetyltransferases untuk mencerminkan susunan target. Meskipun

Histon acetyltransferase dapat mempengaruhi ekspresi gen global dengan

acetylating pada daerah kromatin, termasuk coding dan daerah non

promotor, mereka juga dapat bertindak dengan cara tertentu gen oleh

acetylating histon inti di promotor gen tertentu.

Asetilasi histon memiliki peran penting dalam memori dan fungsi

sinaps serta disregulasi yang terkait dengan penyakit saraf. Misalnya, mutasi

pada gen yang mengkode salah satu dari dua histon acetyltransferase

terkenal, CBP dan p300.

Kontrol histon asetilasi tergantung pada keseimbangan antara dua

set kromatin memodifikasi enzim, histon acetyltransferase dan deacetylases

histon (HDAC). The HDAC terdiri dari empat kelas (kelas I, II, III, IV),

dengan kelas I dan II yang paling dipelajari dengan ekspresi yang menonjol

di otak. HDAC menghapus kelompok asetil dari protein inti histon,

sehingga kondensasi kromatin dan menekan transkripsi. HDAC juga

menghapus gugus asetil dari protein lain seperti faktor transkripsi dan

dengan demikian mengubah fungsi selular. HDAC tidak mengikat DNA

secara langsung, melainkan berfungsi sebagai bagian dari kompleks multi

protein untuk mengenali faktor-faktor lain seperti aktivator transkripsi dan

represi, yang mengarahkan mereka untuk target gen mereka.

Page 15: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

15

Metilasi terjadi tidak hanya pada sitosin pada DNA, tetapi juga pada

lisin dan arginin residu di histon protein. Dampak dari tanda metilasi

ditentukan secara spesifik dan dengan jumlah tanda metilasi yang diberikan

pada residu tertentu. Dampak metilasi spesifik, karena dapat

mempromosikan aktivasi gen baik atau represi gen, tergantung pada lisin

yang tepat atau arginin yang ditandai. Aktivasi ditandai dengan metilasi

lysines 4, 36, dan 79 pada histon 3 (H3K4, H3K36, H3K79) dan represi

ditandai dengan metilasi lysines 9 dan 27 pada histon 3 dan lisin 20 pada

histon 4 (H3K9, H3K27, H4K20) Tanda metilasi yang reversibel dihapus

oleh demethylases histone seperti lisin-spesifik demethylase 1 (LSD1)

daripada mengubah struktur kromatin langsung, fungsi utama metilasi

adalah untuk menarik protein yang dapat memodifikasi kromatin. Metilasi

juga penting dalam fungsi kognitif dan cacat intelektual Selain itu,

demethylases histone yang terlibat dalam penyakit seperti kanker, autisme,

keterbelakangan mental dan skizofrenia (Hwang et al., 2013).

e. Epigenetik dan epilepsi

1. Regulasi Transkripsional oleh REST pada Epilepsi

Hasil penelitian oleh Timmusk et al. terkait kejang dengan

remodeling epigenetik pada protein sinaptik menunjukkan bahwa

kejang menginduksi kainate pada tikus, dan pada model hewan dengan

SE, menginduksi ekspresi mRNA REST secara cepat (<3 jam setelah

onset kejang)pada hippocampal CA3. Sebuah studi lanjut oleh

Dingledine et al. menggunakan model hewan dengan status SE,

menunjukkan bahwa kejang menyebabkan deasetilasi inti histon

protein H4 (penanda represi gen) di lokasi RE1 dari promotr gria2

(pengkodean gen AMPAR subunit GluA2), sementara pada promotor

Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF) terjadi peningkatan

asetilasi H4 (tanda kromatin terbika dan transkripsi gen aktif).

Meskipun ekspresi GluA2 menurun, menyebabkan peningkatan pada

GluA2-lacking, Ca2+-permeable AMPARs pada sinaps CA3 dan

kematian neuronal diCA3, ekspresi BDNF meningkat. Perubahan

Page 16: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

16

ekspresi protein ini berkontribusi pada patofisiologi kejang berulang.

HDAC menghambat TSA pada tikus sebelum induksi kejang dicegah

dan dibalikan secara cepat dengan terjadinya peningkatan deasetilasi

histon pada promotor gria2 dan downregulation of GluA2. Penemuan

ini menghubungkan remodeling epigenetic dengan kejang diinduksi

silencing GluA2 dan secara tidaklangsung kejang diinduksikematian

neuronal.karena gria2 adalah targer REST, temuan ini juga

berimplikasi pada remodeling epigenetic tergantung REST pada

GluA2 dalam respon kejang (Gambar 3) (Hwang et al., 2013).

Gambar 3. Gambaran remodeling epigenetic bergantung

REST pada promotor gria2 dalam respon kejang. REST berikatan

dengan elemen RE1 dalam promotor gen target gria2 dan merekrut

mSin3A dan CoREST, HDACs-1/2, G9a dan MeCP2. REST-

corepressor complex mempromosikan remodeling epigenetik pada

core histone proteins di promotor gria2. Pada gilirannya,

merepresikan ekspresi GluA2, yang mengarah ke pembentukan

GluA2-lacking, Ca2+-permeable AMPARs (Hwang et al., 2013).

Target REST lain yang terlibat dalam epilepsy adalah

hiperpolarisasi diaktifkan cyclic adenosine monophosphate-gated

channel type 1 (HCN1). Pada otak normal, HCN 1 memediasi l(h) saat

ini dan menjaga rangsangan intrinsic dendrit sel pyramidal pada

Page 17: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

17

korteks enthorinal dan hippocampus. Dengan demikian, HCN1

menunjukkan peningkatan rangsangan dendritic dan kerentanan

terhadap kejang pada model epilepsy lobus temporal. Penelitian baru

menunjukkan bahwa kejang mempromosikan peningkatan ekspresi

REST, pengayaan REST di promotr HCN1, dimetilasi lisin 9 pada core

histone protein H3 (H3K9), sebuah penanda epigenetic represi gen,

dan silencing gen HCN1. Dengan demikian, remodeling epigenetic

bergantung REST merepresi ekspresi HCN1 dan l(h) saat ini,

menyebabkan peningkatan rangsangan dendritic dan aktivitas

epileptiform. Gangguan REST mengikat promotor HCN1 dengan cara

oligodeoxynucleotides dicegah oleh represi HCN1 dan dikembalikan

kemampuannya untuk mempertahankan tingkatnormal rangsangan

dendritic. Secara kolektif, penelitian tersebut menunjukkan bahwa

REST sebagai penyebab yang berkaitan dengan represi HCN1,

penurunan rangsang dendritik, dan peningkatan aktivitas epileptiform

pada lapisan korteks III neuron pyramidal (Gambar 3) (Hwang et al.,

2013).

2. Metilasi DNA pada Epilepsi

Penelitian terbaru memberikan bukti bahwa penyimpangan metilasi

DNA berperan pada patofisiologi epilepsy. Pada otak manusia dewasa

protein matriks selular Reelin penting bagi plastisitas sinaptik normal,

morfologi dendritic, dan fungsi kognitif. Pada perkembangan otak,

Reelin membantu mempertahankan struktur laminar sel granul di

dentate gyrus (DG). Specimen otak manusia terdiagnosis epilepsy

lobus temporal sering menunjukkan penyebaran sel granula, sebuat ciri

anatomi epilepsy, dan defisiensi ekspresi Reelin (Hwang et al., 2013).

Studi terbaru mengungkapkan bahwa hipermetilasi di promotor

Reelin, menunjukkan bahwa penyimpangan metilasi DNA berkaitan

dengan rendahnya tingkat Reelin pada DG dan berhubungan dengan

patofisiologi epilepsy pada manusia. Studi terbaru lain berupa studi

genomewide berisi metilasi DNA pada sampel jaringan dari CA3

Page 18: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

18

sebagai control, toleransi epilepsy dan SE pada tikus. Tolerasi epilepsy

merupakan sebuah bentuk evolusi pengembangan platisitas otak

dimana periode singkat kejang “epileptic preconditioning” terjadi

toleransi sementara untuk terjadi kejang berikutnya. Sebanyak 321 gen

menunjukan metilasi DNA berubah pada hewan yang mengalami SE

atau epileptic preconditioning. Dari jumlah tersebut 293 gen

menunjukkan penurunan metilasi DNA (hipometilasi). Hanya 15 gen

yang terkait dengan fungsi nuclear seperti pengikatan DNA dan

regulasi transkripsional yang menjadihipermetilasi. Hal terpenting

yaitu pada studi tersebut mengungkapkan bahwa adanya peningkatan

regulasi gen baru, yang sebelumnya tidak terkait dengan epilepsy,

seperti kelompok protein polycomb. Protein polycomb bertindak

melalui mekanisme epigenetik untuk mendiamkan mediator yang

potensial dalam kematian neuronal yang memungkinkan neuron

dewasa bertahan dari kerusakan (Hwang et al., 2013).

3. Modifikasi Histon dan Regulasi Transkripsional pada Epilepsi

Penyimpangan modifikasi histon dan perubahan ekspreksi gen

merupakan ciri khas dari hewan dengan SE dan manusia dengan

epilepsy lobus temporal. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa SE

pada tikus mempromosikan hiperasetilasi dari H4 dan fosforilasi H3

(tanda transkripsi aktif) pada c-fos, c-jun, dan promotor CBP dan

meningkatkan c-fos, c0jun, dan ekspresi CBP. C-fos dan c-jun adalah

gen awal yang diaktifkan secara cepat dan sementara dalam

menanggapi rangsan selular dan mempromosikan pertumbuhan sel,

pembelahan, dan kelangsungan hidup neuron. CBP adalah Histone

acetyltransferase (HAT) koaktivator penting dari transkripsi

prosurvival faktor CREB. Pra terapi tikus dengan curcumin, komponen

aktif dari kunyit dengan antioksidan, antiinflamasi, dan

neuroprotektiv, dan sebuah penghambat HAT, modifikasihiston

dilemahkan, ekspresi gen awal c-fos dan c-jun, dan keparahan SE. Data

ini menunjukkan bahwa modifikasi histon seperti asetilasi dan

Page 19: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

19

fosfolirasi memiliki peran penting dalam regulasi gen yang terlibat

dalam kelangsungan hidup neuronal (Hwang et al., 2013).

Studi lain menunjukkan bahwa HDAC2 terlibat dalam

perkembangan otak, yang diregulasi pada manusia dengan epilepsy

lobus temporal dan pada model hewan dengan SE. hal ini penting bagi

HDAC2 yang merupakan regulator negative dari fungsi kognitif.

Dengan demikian, HDAC2 merepresi gen yang terkait dengan

plastisitas sinaps dan pembentukan memori (erg1, creb1, bdnf, NMDA

receptor subunits, grin1, grin2a, grin2b, dan c-fos). Temuan ini

melibatkan peningkatan regulasi dari HDAC2 pada gangguan kognitif

yang berhubungan dengan epilepsy lobus temporal (Hwang et al.,

2013).

Metilasi residu lisin dalam N-terminal histone tail diatur secara

dinamis dengan tindakan yang berlawanan dari methyltransferase

seperti G9a dan histone demethylase seperti LSD 1 danKDM5C

(SMCX). KDM5C menghilangkan tanda di dan trimetil dari lisin 4 H3

dan merepresi transkripsi gen. Mutasi pada histone demethylase

KDM5C terkait dengan keterbelakangan mental dan epilepsi. Efek

KDM5C pada remodeling epigenetik dan penonaktifan gen dengan

menyusun transkripsional represor REST dan korepresornya

(CoREST, HDAC1 dan -2, dan G9a). KDMC5 mempromosikan

represi bergantung REST darisubset gen target seperti BDNF fan

sodium channel tipe 2A (SCN2A). Gen-gen ini menyebabkan

peningkatan aktivitas mereka yang terlibat dalam patofisiologi

epilepsy. Menonaktifkan mutasi pada KDM5C merusak penonaktifan

REST dependent dari gen neuronal seperti BDNF dan SCN2A,

sehingga mengintensifkan kejang dan berkontribusi terhadap

keterbelakangan mental (Hwang et al., 2013).

f. Peran microRNAs pada Epilepsi

Kemampuan SE untuk mengubah profil ekspresi pada hippocampus

CA3 yang selektif dievaluasi dengan analisis microRNA, pendekatan

Page 20: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

20

epigenome-wide digunakan untuk mendeteksi perubahan pada ekspresi

microRNA. Pada penelitian tersebut, miR-123 yang terlihat diregulasi di

CA3 hippocampal setelah SE. miR-24, miR-29a, miR-99a, mir-134 dan

miR-357 meningkat, microRNA diatur dalam respon kejang (Hwang et al.,

2013).

Perubahan ekspresi microRNAs diindetifikasi dalam array analysis

(miR-132, miR-let-7, miR-23a/b, miR-34a, miR-22, miR-125a, miR-21)

telah divalidasi. miR-123 terbukti meningkat di CA3 pada hewan dengan

SE. Peran fungsional miR-132 sebagai anti inflamasi telah diidentifikasi.

Sejak inflamasi dan pembukaan sawar darah otak yang terlibat dalam

epileptogenesis, diperkirakan bahwa peningkatan miR-132 berperan pada

epileptogenesis. Selain itu, miR-146, pada proses peradangan lain yang

berhubungan dengan microRNA, meningkat pada astrosit reaktif. Micro-

RNAs tidak hanya terlibat dalam pengaturan di saraf, tetapi juga pada

astroglia (Hwang et al., 2013).

Studi pada model hewan epilepsi menunjukkan bahwa microRNA

tertentu dapat berfungi sebagai biomarker potensial untuk terjadinya

gangguan neurologis ini. Profil ekspresi microRNA pada hippocampus dan

darah hewan 24 jam setelah mengalami SE yang diinduksi asam kainic

menunjukkan bahwa pada microRNA tertentu berubah setidaknya dua kali

lipat dalam merespon kerusakan neuronal. Setelah epilepsi terdapat empat

microRNA yang menurunkan regulasi pada darah dan otak, yaitu miR-29c,

miR-34b-3p, miR-98, miR-122. Data ini mendukung kemungkinan bahwa

microRNA berguna sebagai biomarker dalam darah yang berkorelasi

dengan tingkat perlukaan hippocampus (Hwang et al., 2013; Roopra et al.,

2012).

g. Peran REST pada Epilepsi

Kejang yang berkepanjangan pada status epilepticus (SE) di manusia

dan hewan pengerat memicu serangkaian proses molecular dan selular yang

akhirnya memuncak menjadi kejang spontan, yaitu epilepsy. Peristiwa ini

meliputi degenerasi neuronal selektif, reaksi inflamasi yang melibatkan

Page 21: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

21

reaktif mikroglia dan astroglia, pertumbuhan aksonal selektif dengan

pembentukan sinaps baru, neurogenesis, dan perubahan efikasi sinaptik di

hippocampus. Luasnya konsekuensi fenotipik pada SE meningkatkan

kemungkinan satu atau lebih regulator ekspresi gen dapat berperan banyak

dari konsekuensi ini (Roopra et al., 2012).

Gambar 4. Tranksripsi

Gambar 5. Peran REST dalam Modifikasi Histon

Seperti dijelaskan pada gambar 5, REST adalah sebuah reseptor

transkripsi yang merekrut histone deacetylase, demethylase, dan

methyltransferase yang menyebabkan remodeling epigenetik pada susunan

kromatin sekitar gen target REST. Modifikasi terjadi pada H3K4 dan H3K9

(Gambar 4) (Roopra et al., 2012).

Page 22: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

22

REST sangat kuat diinduksi dalam piramidal hippocampal dan neuron

granula dentate setelah SE disebabkan oleh kainate atau pilokarpin. Lebih

dari 1.300 gen atau sekitar 5% dari protein encoding genome telah

dikonfirmasi sebagai target REST, termasuk gen yang diketahui terlibat

dalam eksitabilitas neuronal, membuat REST menjadi faktor transkripsi

yang bagus untuk memediasi kejang yang disebabkan perubahan luas

dalam ekspreksi gen (Roopra et al., 2012).

Repressor element 1-silencing transcription factor (REST) merupakan

sebuah reseptor transkripsional yang berfungsi membatasi transkripsi dari

gen target. REST berikatan dengan elemen 17-33 bp yang disebut RE1

(Repressor Element-1) site atau juga disebut NRSE (Neuron Restrictive

Silencing Element) melalui pengikatan DNA. Setelah mengikat RE1 site,

REST mengambil sejumlah corepressor complexes yang tidak dapat

berikatan dengan DNA secara langsung dan tidak memiliki urutan

spesifitas. Corepressor complexes terdiri dari sejumlah protein dan enzim

yang mengkatalisis modifikasi posttranslasional dari histon serta mobilisasi

seluruh nukleosom. REST memiliki tiga domain represi yang memediasi

pengambilan corepressor, yaitu N-terminal domain (NTD), C-terminal

domain (CTD), dan DNA binding domain (DBD), yang juga berfungsi

sebagai represi domain (Gambar 5) (Roopra et al., 2012).

Kerjasama antara beberapa enzim modifikasi histon yang direkrut oleh

REST menunjukkan bahwa efek utama pada transkripsi dapat bergantung

pada sel. Sebagai contoh, meskipun REST dikenal sebagai represor

transkripsi, dalam beberapa kasus ada bukti kredibel bahwa REST4,

mungkin bertindak sebagai penggerak ekspresi gen. Hal demikian muncul

dari REST protein complexes bekerja sama untuk menentukan sel yang

spesifik dan aktivitas yang bergantung profil ekspresi gen, pada gilirannya,

mendorong beragam proses biologis. REST merekrut setidaknya tiga kelas

enzim pengubah epigenetik (Gbr. 4), beberapa di antaranya mungkin

memiliki efek mempromosikan dan yang lainnya menentang

epileptogenesis. Saat ini, efek REST dimediasi perubahan dalam ekspresi

Page 23: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

23

gen mempromosikan atau menentang epileptogenesis masih kontroversial

(Roopra et al., 2012).

Beberapa ion channel genes yang keduanya diatur secara epigenetic

dan ditekan setelah kejang termasuk Gria2, yang mengkode GluA2, dan

HCN1. HCN1 (hyperpolarization-activated cyclic nucleotide-regulated

cation channel) berfungsi untuk meredam rangsangan pada neuron

kortikal. HCN1 down-regulation menyebabkan beberapa kejang yang

berkontribusi pada perkembangan penyakit. McClelland et al (2011)

menunjukkan bahwa REST mengikat unsur Re1 di promotor HCN1 di

hippocampus dan pemberian intraventrikular dari oligodeoxynucleotides

ditargetkan untuk HCN1-Re1 keduanya dapat mengganggu ikatan REST

ke promotor HCN1 dan mencegah down-regulasi protein HCN1 (Roopra

et al., 2012).

Peran ekspresi REST pada neuronal di epilepsi menunjukkan bahwa

REST dapat berfungsi untuk menentang epileptogenesis. Sebuah peran

potensial REST dalam terapi diet ketogenik untuk epilepsi telah dilaporkan.

Garriga-Canut et al. (2006) beralasan bahwa, karena diet ketogenik adalah

diet tinggi lemak dan karbohidrat rendah, penghambatan glikolitik

disebabkan 2-deoxyglucose (2-DG) mungkin meniru efek antikonvulsan

diet. Mereka menguji hipotesis ini dan menemukan bahwa pemberian

secara sistemik dari 2-DG dapat menghambat perkembangan intensitas

kejang. Selain itu, mereka menemukan bahwa pengobatan 2-DG

menyebabkan penurunan ekspresi brain-derived neurotrophic factor

(BDNF) dan tirosin reseptor kinase B (TrkB). Hasil ini sesuai dengan

pengamatan bahwa knockout dari TrkB atau BDNF menunjukkan

penurunan atau tidak terjadinya epileptogenesis pada epilepsy lobus

temporal. Penurunan BDNF dan TrkB didampingi deasetilasi dan metilasi

lisin 9 pada H3 terkait dengan unsur BDNF Re1 yang merupakan tempat

pengikatan untuk REST. Transcriptional corepressor CtBP (Gbr. 5), yang

diatur oleh NADH, ditunjukkan untuk memediasi pembentukan lingkungan

kromatin represif di pengobatan 2-DG pada hewan. Setelah penelitian ini,

Page 24: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

24

efek antiepilepsi dari 2-DG, menunjukkan bahwa ekspresi REST di neuron

glutamatergic pada otak depan diperlukan untuk efek antiepilepsi 2-DG.

Yang menarik, efek antiepilepsi dari diet ketogenik sendiri, menunjuk

manfaat dari diet tinggi lemak yang tidak bergantung pada penghambatan

glikolitik (Roopra et al., 2012).

h. Hubungan Kejang dengan Neurogenesis dan Peran REST

Selain segudang perubahan seluler yang memicu terjadinya SE,

aktivitas kejang secara cepat dan potent meningkatkan produksi neuron

baru, baik pada zona hippocampal subgranular (SGZ) dan ventrikel lateral

zona subventricular (SVZ). Dalam beberapa hari pertama setelah SE ada

kematian sel di daerah hilus dan lapisan molekul hippocampus. Ini diikuti

dengan proliferasi kuat transit-amplifying progenitors (type 2 cells) dan

peningkatan aktivitas proliferasi doublecortin-positive cells dalam SGZ di

1 minggu setelah SE. Antara 7 dan 21 hari setelah SE, kejang disebabkan

penyimpangan neurogenesis, seperti mossy fiber sprouting, dendrit basal

hilar, dan sel-sel granula ektopik, yang dapat berkontribusi terhadap

kejadian kejang berulang spontan. Karena neuron granul dewasa yang

dihasilkan penting untuk memori dan kontrol suasana hati, ada

kemungkinan bahwa kejang yang disebabkan neurogenesis berkontribusi

menyebabkan defisit kognitif dalam pembelajaran dan memori yang

berhubungan dengan SE (Roopra et al., 2012).

Sejauh mana neuron diubah jika berada dalam lingkungan patologis

dan berkontribusi pada pengembangan epilepsi belum diketahui.

Pengetahuan ini diperlukan untuk mengevaluasi kesesuaian strategi

penggantian sel setelah apakah neuron baru berkontribusi pada pemulihan

fungsional di otak terluka. Untuk memahami peran kejang diinduksi neuron

pada epileptogenesis, sangat penting untuk memahami kaskade regulasi

pengendalian neural stem cells (NSCs) (Roopra et al., 2012).

Transkrip REST diinduksi cepat dalam hippocampus setelah kejang.

Selain perannya dalam neuron dewasa, REST juga memainkan peran kunci

dalam kompartemen sel induk atau progenitor. Dalam perkembangannya,

Page 25: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

25

mekanisme ganda pengaturan REST, pada tingkat mRNA dan protein,

penting dalam hal transisi antara embryonic stem (ES) cells dan neural

progenitors. Gen REST ditranskripsikan aktif dalam ES dan sel-sel saraf

progenitor. Namun, ketika sel-sel ES keluar dari siklus sel dan

berdiferensiasi menjadi neuron dewasa, REST ditekan oleh unliganded

retinoic acid receptor (RAR). REST juga terdegradasi pascatranslasi ketika

ES sel transisi menjadi sel progenitor saraf. Selama neurogenesis kortikal,

pelepasan REST dan kompleks corepressor dari kromatin neuron

berhubungan dengan diferensiasi progenitor menjadi neuron kortikal, dan

Re1 yang mengandung gen target menjadi aktif, sesuai dengan REST

menjadi represor transkripsional (Roopra et al., 2012).

Sebuah penelitian menunjukkan peran penting REST pada

neurogenesis hippocampal dewasa (Gao et al., 2011). Penghapusan

bersyarat REST dalam nestin-expressing stem cells (type 1 cells) dan

keturunan mereka mengakibatkan peningkatan sementara neurogenesis

hippocampal dewasa, diikuti oleh deplesi perkembangan tipe 1 sel dari

waktu ke waktu. REST dan ko-represor CoREST dan mSin3A diambil

untuk mengendalikan ekspresi gen neuronal tahap tertentu seperti Ascl1

dan NeuroD1, yang menahan program neurogenik. Hasil ini menunjukkan

bahwa REST tidak hanya penting dalam mencegah diferensiasi neuron

dewasa sebelum waktunya, tetapi juga diperlukan untuk menjaga populasi

NSCs dewasa, yang memiliki implikasi potensial dalam perbaikan otak

setelah cedera atau selama penuaan (Roopra et al., 2012).

Salah satu pertanyaan kunci adalah peran REST dalam kejang

diinduksi neurogenesis, seperti dalam neurogenesis basal. Selain itu, apa

yang membedakan kejang yang disebabkan neurogenesis dari neurogenesis

fisiologis? Untuk menguji ini, sebelumnya dilaporkan bahwa asam valproik

antiepilepsi (VPA) memblokir kejang yang disebabkan penyimpangan

neurogenesis, yang tampaknya dimediasi dengan menghambat histone

deacetylases (HDAC) dan REST mengatur ekspresi gen secara normal

dalam gyrus dentata epilepsi. Selain itu, pengobatan VPA melindungi tikus

Page 26: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

26

epilepsi dari penurunan kognitif bergantung hippocampus setelah kejang

diinduksi asam kainic (Roopra et al., 2012).

i. MeCP2 dan CREB Kontrol BDNF

Aktivitas neuron (melalui influks Ca2+) memicu transkripsi dan

perubahan epigenetik, yang merupakan aspek penting dalam

pengembangan dan fungsi sistem saraf. Meskipun, aktivitas neuron yang

disebabkan oleh kejang juga menyebabkan ekspresi cepat kegiatan

diinduksi gen, seperti BDNF. BDNF adalah suatu neurotropin yang

berperan dalam perkembangan sinap, plastisitas sinap dan fungsi kognitif.

Pada masa perkembangan otak, BDNF memiliki peran meregulasi cell

survival dan proses apoptosis. BDNF berperan pada fungsi fisiologis SSP

dan perkembangan maturasi korteks dan plastisitas sinaps (Widyanto & TJ,

2013). BDNF mensekresi protein yang mengikat reseptor TrkB dan P75.

Ekspresi BDNF mRNA spasial dan temporal dikendalikan oleh aktivitas

neuron. Salah satu regulator BDNF adalah represor transkripsi metil-CpG

berikatan dengan protein 2 (MECP2) yang, ketika bermutasi, menyebabkan

sindrom Rett, gangguan neurologis autisme spektrum utama (Roopra et al.,

2012).

Regulasi dinamis MECP2 oleh influx Ca2+ memainkan peran

penting dalam mengatur program khusus dari kegiatan yang bergantung

pada transkripsi gen yang penting untuk fungsi sistem saraf. Kejang yang

disebabkan oleh asam kainic atau metrazole adalah mediator ampuh dari

fosforilasi selektif MECP2 dalam otak. Gangguan program gen diatur oleh

aktivitas neuron mungkin mendasari patologi sindrom Rett dan epilepsi

(Roopra et al., 2012).

Membran depolarisasi neuron menyebabkan produksi migrasi

lambat, bentuk terfosforilasi dari MECP2, mengurangi ikatan ke

methylated DNA dan berkorelasi dengan induksi transkripsi dari kegiatan

yang diatur gen. Dalam sebuah penelitian, aktivitas neuron dilaporkan

menginduksi fosforilasi MECP2 di S421, yang diduga mengendalikan

kegiatan yang bergantung ekspresi gen dan pematangan saraf spinal. Selain

Page 27: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

27

fosforilasi pada S421 (dan S424), aktivitas neuron dipicu defosforilasi di

S80 dari MECP2 pada otak normal dan epilepsy (Roopra et al., 2012).

Li et al. (2011) mengungkapkan bahwa hilangnya aktivitas yang

diinduksi fosforilasi MECP2 meningkatkan rangsang synaptogenesis,

potensiasi hippocampal jangka panjang, dan memori spasial. Pentingnya

fosforilasi MECP2 sebagai saklar molekuler untuk mengatur transkripsi

gen BDNF dan aktivitas gen lainnya (Roopra et al., 2012).

Selain MECP2, beberapa regulator lainnya Ca2+ tergantung regulasi

promotor BDNF IV telah diidentifikasi, termasuk studi klasik yang

menggambarkan cAMP response element binding protein (CREB)

berikatan dengan cAMP/ Ca2+ response element (CRE). Mutasi salah satu

CREB-response elements CaRE3/CRE (CREm) di endogen BDNF

promotor IV mengakibatkan aktivitas neuronal yang bergantung pada

komponen transkripsi BDNF di korteks terganggu. CREm knock

mengakibatkan pengurangan jumlah penghambatan sinaps dari neuron

kortikal in vitro dan in vivo. Secara keseluruhan, Pentingnya kegiatan

neuronal sebagai media mekanisme epigenetic dalam mengatur

perkembangan penghambatan, yang mungkin penting untuk keseimbangan

rangsangan dan hambatan untuk fisiologi dan fungsi otak normal (Roopra

et al., 2012).

j. Penatalaksanaan

1. Penyuluhan Prekonsepsi

Wanita epilepsi yang hamil harus diberitahu tentang resiko hamil

yang berhubungan dengan penggunaan obat anti epilepsy dan serangan

epileptik dapat membahayakan kandungan dan diri sendiri. Namun

demikian, mereka harus mengetahui bahwa resiko dapat diperkecil

dengan tindakan pencegahan. Terapi yang dianjurkan ialah

penggunaan monoterapi dengan dosis serendah mungkin pada tahap

pertama kehamilan. Dosis dapat dinaikkan pada trisemester ketiga

kehamilan. Pada tahap lanjut dapat diberikan juga vitamin K

(20mg/hari) untuk mencegah perdarahan neonatal

Page 28: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

28

2. Perawatan Prenatal

Tujuan utama penatalaksanaan kehamilan adalah menjaga agar

wanita yang bersangkutan bebas dari kejang. Pemeriksaan ultrasound

pada pertengahan kehamilan dapat mendeteksi anomali janin.

Pemeriksaan ini diindikasikan jika terjadi gangguan pertumbuhan

janin, kejang yang kurang terkendali, atau kondisi ibu dengan penyakit

penyerta.

3. Perawatan Pasca Partum

Pemberian bersama kontrasepsi oral dan antikonvulsan seperti

fenobarbital, primidon, fenitoin, dan karbamazepin dapat

menyebabkan perdarahan diantaranya masa menstruasi dan kegagalan

kontrasepsi karena obat antikejang menginduksi system enzim

mikrosom hati P450 yang dapat meningkatkan metabolism estrogen.

4. Penggunaan Obat Anti Epilepsi Pada Kehamilan

Pemilihan obat antiepilepsi untuk wanita hamil dengan epilepsi

membutuhkan penilaian keseimbangan antara risiko teratogenitas

dengan pengontrolan kejang. Selama kehamilan, risiko utama pada ibu

dan anak adalah oleh tidak terkontrolnya kejang di satu sisi, dan

peningkatan risiko malformasi kongenital yang berhubungan dengan

obat antiepilepsi di sisi lain. Kebanyakan kehamilan pada wanita

dengan epilepsi memiliki luaran yang baik, dan tidak seharusnya tidak

didukung untuk hamil.

Pedoman terbaru American Academy of Neurology dan American

Epilepsy Society menyebutkan bahwa wanita dengan epilepsi relatif

aman untuk hamil, tetapi harus waspada dan hati-hati, termasuk

menghindari obat epilepsi tertentu yang dapat menyebabkan cacat

kongenital. Untuk kebanyakan wanita hamil dengan epilepsi,

penghentian OAE tidak beralasan atau bukan pilihan aman karena

kejang atau kejadian yang terkait dengan serangan dapat menyebabkan

ibu dan janin terpajan perlukaan fisik. Jika memungkinkan, obat

antiepilepsi pada wanita usia subur diganti dengan yang kurang

Page 29: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

29

teratogenik. Asam valproat, meskipun efektif, merupakan obat

antiepilepsi yang tercatat paling berhubungan dengan risiko

malformasi pada pajanan in utero. Mengganti asam valproat dengan

obat antiepilepsi lain seharusnya dilakukan sebelum kehamilan untuk

memastikan bahwa terapi yang baru dapat mencegah serangan secara

adekuat. Mengganti obat antiepilepsi selama kehamilan menimbulkan

risiko alergi, reaksi efek samping serius lain, dan pajanan terhadap

politerapi. Mengganti asam valproat dalam beberapa minggu umur

kehamilan tidak akan menghindari risiko malformasi karena

malformasi berkembang sangat awal pada kehamilan.

Terdapat bukti cukup kuat bahwa valproat berhubungan dengan

peningkatan risiko malformasi fetal dan mengurangi kemampuan

berpikir anak-anak, baik digunakan sendiri maupun bersama obat lain.

Karena itu, jika masih dapat diganti dengan karbamazepin (Level A).

Pajanan karbamazepin mungkin kurang menyebabkan gangguan

kognitif maupun malformasi pada keturunan wanita dengan epilepsy.

Alternatif untuk pasien dengan epilepsy umum lebih terbatas karena

valproat lebih efektif dibanding lamotrigin atau topiramat. Lamotrigin

sulit digunakan pada kehamilan karena perubahan farmakokinetik dan

risiko kambuh. Keamanan topiramat, levetirasetam, dan obat

antiepilepsi generasi baru lain belum cukup dinilai sehingga belum

digunakan selama kehamilan. Valproat dosis rendah masih merupakan

pilihan jika kejang tidak dapat dikontrol dengan obat lain. Dosis di

bawah 800 mg per hari mungkin tidak berhubungan dengan risiko fetal

yang lebih besar dibandingkan dengan risiko yang berhubungan

dengan penggunaan obat antiepilepsi lain (Indrawati, 2012).

Page 30: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

30

4.2 PARTUS PREMATORUS IMMINENS (PPI)

a. Definisi

Partus prematorus merupakan proses dimulainya kontraksi uterus

yang disertai dengan perdarahan dan dilatasi serviks serta turunnya kepala

bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu

(Oxorn, 2003).

b. Epidemiologi

Persalinan prematur berpotensi meningkatkan kematian perinatal

sekitar 65-67%, umumnya berkaitan dengan berat badan lahir rendah.

Indonesia memiliki angka kejadian partus prematorus sekitar 19% dan

merupakan penyebab utama kematyian perinatal (Manuaba, 2007).

c. Etiologi

Beberapa penyebab partus prematorus adalah diantaranya

(Cunningham, et al., 2012):

1. Komplikasi medis dan obstetri

Kelahiran preterm diindikasikan disebabkan oleh preeklamsia,

gawat janin, pertumbuhan janin terhambat, ablasio plasenta, kematian

janin, persalinan preterm spontan dengan atau tanpa pecah ketuban.

2. Faktor gaya hidup

Perilaku seperti merokok, gizi buruk dan pnambahan berat badan

yang kurang baik selama kehamilan, serta penggunaan obat seperti

kokain atau alkohol mempunyai peranan penting pada kejadian

persalinan prematur. Ditemukan pula mengenai hubungan langsung

antara stress psikologis pada minggu gestasi ke 30 dan pelahiran

sebelum usia gestasi 37 minggu.

3. Faktor genetik

Persalinan prematur merupakan suatu kondisi yang terjadi secara

familial.

4. Infeksi cairan amnion dan korioamnion

Page 31: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

31

Infeksi korioamnion yang disebabkan oleh berbagai

mikroorganisme telah muncul kemungkinan yang menjelaskan

berbagai kasus pecah ketuban

d. Diagnosis

Kriteria untuk mengetahui persalinan preterm pada usia gestasi

antara 20 dan 37 minggu adalah kontraksi yang terjadi dengan frekuensi

empat kali dalam 20 menit atau delapan kali dalam 60 menit plus perubahan

progresif pada serviks. Kedua adalah dilatasi serviks lebih dari 1 cm dan

yang ketiga adalah pendataran serviks sebesar 80 persen atau lebih

(Cunningham, et al., 2012)

e. Epigenetik dan PPI

Partus prematurus iminens (<37 minggu kehamilan) dikaitkan

dengan meningkatnya risiko kematian dan morbiditas dari lahir sampai

dewasa. Pola epigenetik yang berlangsung selama perkembangan fetus

dapat mempengaruhi ekspresi gen seumur hidup dan meningkatkan tingkat

kerentanan terhadap penyakit kronis. Konsekuensi dari kelahiran prematur

mempengaruhi seluruh pertumbuhan. Misalnya, anak yang lahir prematur

memiliki tingkat yang lebih tinggi kecacatan perkembangan saraf dan

peningkatan risiko masalah perilaku seperti Attention Deficit Hyperactivity

Disorder (Parets et al, 2014).

Kelahiran prematur juga meningkatkan risiko untuk

mengembangkan penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes tipe 2,

penyakit jantung, obesitas dan gangguan kejiwaan. Secara kolektif, hal ini

mendukung hipotesis perkembangan kesehatan dan penyakit, yang secara

konseptual menghubungkan lingkungan postnatal prenatal dan

perkembangan awal untuk penyakit kronis (Parets et al, 2014). Selain itu,

lingkungan mempunyai pengaruh yang relevan terhadap terjadinya partus

prematurus, seperti nutrisi, perubahan temperatur, dan toksin (Crulckshank

et al, 2013).

Terdapat beberapa hipotesis mengenai mekanisme yang

menyebabkaan terjadinya PPI. Masa kehamilan rentan dengan keadaan

Page 32: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

32

strees, selama hipotalamus pituitary adrenal (HPA) axis mengalami

perubahan secara luas. Corticotropin-releasing hormon (CRH) merupakan

pengatur utama pengeluaran adrenokortikotropik hormon (ACTH).

Sehingga ACTH menstimulasi pengeluaran glukokortikoid dari korteks

adrenal. Glukokortikoid mengirimn feedback negative ke HPA aksis dan

menginhibisi kadar hipotalamic dan pituitari (Parets et al, 2014).

Selama masa kehamilan, produksi glukokortikoid menstimulasi

pengeluaran CRH plasenta. CRH plasenta kemudian akan menstimulasi

HPA aksis maternal, sehingga meningkatkan kortisol total dan bebas

selama kehamilan. Selain itu HPA aksis juga mengatur aliran darah

placenta dan mempengaruhi proses kelahiran. CRH menstimulasi

pengeluaran ACTH baik yang berasal dari pituitary fetal dan plasenta

dimana dapat menyebabkan pengeluaran kortisol dari glandula adrenal

fetal. Aktivasi yang progresif ddari HP aaksis fetal merupakan hal yaang

penting untuk maturisasi dari organ-organ seperti paru (Parets et al, 2014).

Sistem neuroendokrin berperan penting dalam ketepatan waktu

partus. Oleh karena itu, regulasi yang tidak tepat dalam sistem

neuroendokrin dapat menyebabkan terjadinya PPI. Stress fisik dan

psikologi dapat mengaktifkan HPA aksis maternal dan fetal, dimana dapat

menyebabkan meningkatnya produksi CRH plasenta, hormon penting yang

berfungsi untuk maturasi fetal (Parets et al, 2014).

Kebanyakan penelitian tentang kelahiran prematur yang meneliti

metilasi DNA menggunakan darah karena aksesibilitasnya. Sebagai

contoh, sebuah studi menggunakan darah meneliti hubungan antara

metilasi DNA dari gen tercetak dan kedua kelahiran prematur dan status

infeksi. Evaluasi menyeluruh di Afrika dan Amerika oleh Parets dan

rekannya mengidentifikasi ribuan situs CpG seluruh genom yang

berhubungan dengan PTB dengan gen terkait. Penelitian yang dilakukan

oleh Parets dkk juga mengidentifikasi banyak situs CpG yang berkaitan

dengan PTB dan dengan usia kehamilan kelahiran. Replikasi

mengidentifikasikan perbedaan yang paling kuat dan penting yang dapat

Page 33: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

33

ditargetkan untuk terapi. Sedangkan sebuah studi yang dilakukan oleh

Burris dan koleganya menguji metilasi LINE-1 dan menemukan bahwa

ternyata lebih termetilasi di dalam darah ibu pada awal kehamilan (Burris

et al, 2012). Mereka juga melaporkan bahwa LINE-1 yang lebih rendah

tingkat metilasi pada awal kehamilan dikaitkan dengan peningkatan risiko

PPI (Parets et al, 2014).

Analisis serum proteomik, yang terdiri dari pemisahan kromatografi

diikuti oleh massa spektrometri untuk mengidentifikasi peptida dan massa

protein, dapat memberikan inventarisasi luas peptida dan atau protein hadir

pada waktu tertentu. Penggunaan analisis proteomik untuk

mengidentifikasi karakteristik molekuler fenotip wanita yang mengalami

partus prematur iminens atau infeksi telah dicoba di sekresi cairan dan

serviks ketuban (Esplin, 2011). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Esplin dkk (2011), perbedaan proteomik terdapat di serum ibu beberapa

minggu sebelum timbulnya gejala klinis pada wanita sebelum terjadinya

PPI (Esplin, 2011)..

f. Pencegahan

Upaya menghindari persalinan ketika terjadi pecah ketuban preterm

adalah (Cunningham, et al., 2012):

1. Penatalaksanaan menunggu

2. Pemberian kortikosteroid dengan atau tanpa agen tokolitik untuk

menghentikan persalinan preterm supaya kortikosteroid mempunyai

cukup waktu untuk menginduksi pematangan janin

g. Penatalaksanaan

Pada kehamilan dengan penyulit ketuban pecah preterm ditangani

sebagai berikut (Cunningham, et al., 2012):

1. Pada wanita dengan kemungkinan pecah ketuban dilakukan

pemeriksaan dengan spekulum steril untuk menemukan cairan yang

berasal dari serviks atau yang mengenang di vagina. Cairan

menunjukkan pecah ketuban dan biasanya diikuti dengan pemeriksaan

ultrasonografi untuk mengidentifikasi oligiohidramnion

Page 34: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

34

2. Jika usia gestasi kurang dari 34 minggu dan tidak ada indikasi ibu dan

janin untuk melakukan persalinan, maka ibu diawasi ketat.

Pemantauan denyut jantung janin kontinyu utnuk mencari bukti

kompresi tali pusat

3. Observasi ketat tanda-tanda persalinan, infeksi, atau bahaya pada janin

4. Jika usia gestasi di atas 34 minggu lengkap dan bila persalinan belum

mulai setelah pemeriksaan secukupnya, persalinan diinduksi dengan

oksitosin intravena bila tidak ada kontraindikasi. Jika induksi gagal,

dilakukan seksio sesarea.

5. Deksametason, 5 mg intramuskular setiap 12 jam untuk 4 dosis,

diberikan untuk pematangan paru janin

6. Bila didiagnosis persalinan telah berlangsung, diberikan ampisilin 2

gram intravena setiap 6 jam sebelum persalinan untuk mencegah

infeksi streptokokus grup B pada neonatus

4.3 HUBUNGAN EPILEPSI DENGAN PARTUS PREMATORUS

IMMINENS (PPI)

Obat Anti Epilepsi (OAE) adalah terapi yang digunakan untuk pengobatan

epilepsi dan terapi berkelanjutan selama kehamilan yang penting untuk

sebagian besar wanita dengan epilepsi. OAE menembus plasenta melalui ibu

menuju fetus dan telah didokumentasikan bahwa akan terpapar pada dosis yang

berbeda untuk memicu risiko teratogenik, yang bergantung pada agen, dosis,

waktu pemaparan dan pengaruh genetik antara ibu dan fetus (Bromley, et al.,

2014). Berdasarkan penelitian kohort Bech et al (2014) dikatakan bahwa tidak

ada hubungan secara keseluruhan antara penggunaan OAE selama kehamilan

dengan kejadian abortus spontan dan stillbirth.

Klaim yang paling dipercaya adalah pengobatan menggunakan lamotrigin

dan telah direncanakan untuk mengalihkan pengobatan wanita usia subur

daripada carbamazepin, fenitoin atau natrium valproat. Tetapi pada dosis

lamotrigin lebih dari 200 mg per hari berhubungan dengan tingkat malformasi

kongenital yang signifikan pada bayi. International Lamotrigine Pregnancy

Page 35: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

35

Registry memaparkan bahwa terjadi malformasi kongenital bayi pada

penggunaan kombinasi lamotrigin dengan valproat (12,5%), penggunaan

tunggal lamotrigin (2,9%) dan lamotrigin dikombinasikan dengan OAE lainnya

(6,6%). Mayoritas ibu dengan epilepsi melakukan pengobatan OAE tunggal.

Pada 239 wanita dengan epilepsi yang tidak diobati selama kehamilan,

didapatkan malformasi kelainan kongenital bayi mereka (3,5%) yang tidak jauh

berbeda dengan janin yang terpapar OAE monoterapi (3,7%). Risiko yang lebih

besar pada malformasi kelainan kongenital didapatkan pada pemberian

polfarmasi dan efek teratogenik natrium valproat telah dikonfirmasi.

Malformasi kelainan kongenital pada wanita yang mengonsumsi valproat lebih

dari 1000 mg per hari adalah dua kali lipat lebih besar daripada pada pasien

dengan dosis yang lebih rendah (Brodie, 2015).

Page 36: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

36

BAB V

KESIMPULAN

1. Pada pasien ini didapatkan diagnosis akhir adalah G1P0A0 usia 21 tahun

Hamil 34+3 minggu dengan Partus Prematorus Imminens (PPI) dan riwayat

epilepsi dalam pengobatan.

2. Modifikasi epigenetik menghasilkan penyimpangan ekspresi gen melalui

metilasi DNA, modifikasi histon, dan regulasi gen pasca transkripsi oleh

mikro RNA (miRNAs).

3. REST menjadi faktor transkripsi untuk memediasi kejang yang disebabkan

perubahan luas dalam ekspreksi gen.

4. Salah satu regulator BDNF adalah represor transkripsi metil-CpG berikatan

dengan protein 2 (MECP2) yang, ketika bermutasi, menyebabkan sindrom

Rett dan gangguan neurologis.

5. Gangguan program gen diatur oleh aktivitas neuron mungkin mendasari

patologi sindrom Rett dan epilepsi.

6. Valproat dosis rendah masih merupakan pilihan obat anti epilepsi pada

kehamilan jika kejang tidak dapat dikontrol dengan obat lain.

7. Dosis valproat di bawah 800 mg per hari mungkin tidak berhubungan

dengan risiko fetal yang lebih besar dibandingkan dengan risiko yang

berhubungan dengan penggunaan obat antiepilepsi lain.

8. Mekanisme yang menyebabkaan terjadinya PPI yaitu adanya perubahan

pada hipotalamus pituitary adrenal (HPA) axis.

Page 37: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

37

DAFTAR PUSTAKA

Bech, B.H., Kjaersgaard, M.I., Pedersen, H.S., Howards, PP., Sorensen, M.J., et al.

2014. Use of antiepileptic drugs during pregnancy and risk of spontaneous

abortion and stillbirt: population based cohort study. Denmark: Aarhus

University Hospital.

Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, Buchhalter J, Cross JH, van Emde BW et al.

2010. Revised terminology and concepts for organization of seizures and

epilepsies: report of the ILAE commission on classification and

terminology, 2005–2009. Epilepsia, 51: 676–685.

Brodie, M.J. 2015. Major congenital malformations and antiepileptic drugs:

prospective observations. JNNP.

Bromley, R., Weston, J., Adab, N., Greenhalgh, J., Sanniti, A., et al. 2014.

Treatment for epilepsy in pregnancy: neurodevelopmental outcomes in the

child (review). The Cochrane Collaboration: John Wiley & Sons.

Burris, H.H.; Rifas-Shiman, S.L.; Baccarelli, A.; Tarantini, L.; Boeke, C.E.;

Kleinman, K.;Litonjua, A.A.; Rich-Edwards, J.W.; Gillman, M.W.

Associations of LINE-1 DNA methylation with preterm birth in a

prospective cohort study. J. Dev. Orig. Health Dis. 2012, 3, 173–181.

Cruickshank M.N., Oshlack A., Theda C., Davis P.G., Martino D., et al. 2013.

Analysis of Epigenetic Changes in Survivors of Preterm Birth Reveals The

Effect of Gestational Age and Evidence For A Long Term Legacy. Genome

Medicine 2013, 5:96. Australia: Murdoch Childrens Research Institute.

Cunningham F.G., Gant, N.F., Leveno, K.J., Gilstrap, L.C., Hauth, J.C., et al. 2012.

Obstetri Williams. Cetakan 23, EGC, Jakarta. pp.774-797.

Dyatmoko, B.S. 2014. Kuliah Epilepsi (Ayan). Purwokerto: UNSOED.

Esplin M.S., Merrel K., Goldenberg R., Lai Y., Iams J.D., et al. 2011. Proteomic

Identification of Serum Peptides Predicting Subsequent Spontaneous

Preterm Birth. Am J Obstet Gynecol 2011;204:391.e1-8. USA: National

Institute of Child Health and Human Development Maternal-Fetal Medicine

Page 38: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

38

Gao Z, Ure K, Ding P, Nashaat M, Yuan L, Ma J, Hammer RE, Hsieh J. 2011. The

master negative regulator REST/NRSF controls adult neurogenesis by

restraining the neurogenic program in quiescent stem cells. J Neurosci,

31:9772–9786.

Garriga-Canut M, Schoenike B, Qazi R, Bergendahl K, Daley TJ, Pfender RM,

Morrison JF, Ockuly J, Stafstrom C, Sutula T, Roopra A. 2006. 2-Deoxy-

D-glucose reduces epilepsy progression by NRSFCtBP-dependent

metabolic regulation of chromatin structure. Nat Neurosci, 9:1382–1387.

Graff J, Rei D, Guan JS, Wang WY, Seo J, Hennig KM et al. 2012. An epigenetic

blockade of cognitive functions in the neurodegenerating brain. Nature.

483: 222–226.

Hwang, J.-Y., Aromolaran, K.A. & Zukin, R.S. 2013. Epigenetic Mechanisms in

Stroke and Epilepsy. Neuropsychopharmacology, (38), pp.167-82.

Indrawati, Lili. 2012. Penggunaan Obat Anti Epilepsi Pada Kehamilan. CDK Vol.

39 No. 12: 346-348

Li H, Zhong X, Chau KF, Williams EC, Chang Q. (2011) Loss of activity-induced

phosphorylation of MeCP2 enhances synaptogenesis, LTP and spatial

memory. Nat Neurosci, 14:1001–1008.

Manuaba, I.B.G., I.A. Chandranita Manuaba, dan I.B.G. Fajar Manuaba. 2007.

Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

McClelland S, Flynn C, Dube C, Richichi C, Zha Q, Ghestem A, Esclapez M,

Bernard C, Baram TZ. 2011. Neuron-restrictive silencer factor-mediated

hyperpolarization-activated cyclic nucleotide gated channelopathy in

experimental temporal lobe epilepsy. Ann Neurol, 70:454–464.

Oxorn, Harry. L990. 2003. Ilmu Kebidanan. Fisiologi dan Patologi Persalinan.

Yayasan Essentia Medica: Jakarta.

Parets S.E., Bedient C.E., Menon R., Smith A.K. 2014. Preterm Birth and Its Long-

Term Effects: Methylation to Mechanisms. Biology 2014, 3, 498-513.

Rakhade SN, Jensen FE. 2009. Epileptogenesis in the immature brain: emerging

mechanisms. Nat Rev Neurol, 5: 380–391.

Page 39: Laporan Presus Epilepsi Dan Ppi

39

Roopra, A., Dingledine, R. & Hsieh, J. 2012. Epigenetics and epilepsy. Epilepsia,

pp.2-10.

Widyanto, Tony & Hermanto, TJ. 2013. Perbandingan Kadar Brain Derived

Neurotrophic Factors (BDNF) Serum Darah Tali Pusat Bayi Baru Lahir

antara Ibu Hamil yang Mendapat DHA dengan Kombinasi DHA dan 11-14

Karya Mozart Selama Hamil. Majalah Obstetri & Ginekologi. Vol. 21 No.3

: 109-114