109
DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR ...................................... i DAFTAR ISI ..........................................iii DAFTAR TABEL ........................................vii DAFTAR GAMBAR .......................................viii DAFTAR LAMPIRAN......................................ix BAB I PENDAHULUAN................................1 1.1 Latar Belakang...................................1 1.2 Tujuan...........................................2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..........................3 2.1 APOTEK 2.1.1............................................D efinisi Apotek ..............................3

laporan PKPA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan

Citation preview

DAFTAR ISI HalKATA PENGANTAR . iDAFTAR ISI iiiDAFTAR TABEL viiDAFTAR GAMBAR viiiDAFTAR LAMPIRANixBAB I PENDAHULUAN1 1.1 Latar Belakang11.2 Tujuan2BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 2.1 APOTEK2.1.1 Definisi Apotek 32.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek 32.1.3 Landasan Hukum Apotek42.1.4 Syarat dan Tata Cara Perizinan Apotek252.1.5 Perubahan Surat Izin Apotek262.1.6 Pencabutan Surat Izin Apotek272.1.7 Pelanggaran Apotek3

2.2 PENYELENGGARAAN APOTEKA. Sumber Daya ManusiaB. Sarana dan Prasarana2.3 PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA DI APOTEKA. Struktur Organisasi ApotekB. Sumber Daya Manusia di Apotek2.4 PENGELOLAAN APOTEK2.4.1 Pengelolaan Sarana dan Prasarana Apotek2.4.2 Pengadaan Sediaan Farmasi Oleh Apotek2.4.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi di ApotekA. PerencanaanB. PengadaanC. PenerimaanD. PenyimpananE. PemusnahanF. PengendalianG. Pencatatan dan pelaporan2.4.4 Pelayanan Farmasi Klinik di ApotekA. Pengkajian ResepB. DispensingC. Pelayanan Informasi Obat(PIO) D. KonselingE. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care) F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)G. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)2.4.5 Pengelolaan Resep dan Salinan Resep2.4.6 Pengendalian Sediaan Farmasi di Apotek2.4.7 Pengelolaan Obat wajib Apotek (OWA) 2.4.8 Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika2.4.9 Perpajakan Apotek2.5 Permodalan Apotek2.6 Strategi Pengembangan Apotek2.7 Evaluasi Mutu Pelayanan Kefarmasian di ApotekA. Mutu ManajerialB. Mutu Evaluasi MutuBAB III TINJAUAN KHUSUS51 3.1 PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. .................51 3.1.1 Sejarah Singkat PT. Kimi Farma51 3.1.2 Visi dan Misi PT. Kimia Farma523.1.3 Struktur Organisasi PT. Kimia Farma 533.1.4 Logo PT. Kimia Farma543.1.5 Bidang Usaha PT. Kimia Farma56 3.1.6 PT. Kimia Farma Apotek563.1.6.1 Visi dan Misi PT. Kimia Farma Apotek583.1.6.2 Struktur Organisasi PT. Kimia Farma Apotek3.1.6.3 Bisnis Manager (BM) Cilegon593.2 TINJAUAN APOTEK KIMIA FARMA NO. 268593.2.1 Lokasi dan Tata Ruang603.2.1.1 Lokasi603.2.1.2 Tata Ruang603.2.2 Struktur Organisasi dan Personalia623.2.2.1 Struktur dan Organisasi623.2.2.2 Tugas dan Tanggung Jawab Personil623.2.3 Kegiatan Apotek643.2.3.1 Administrasi653.2.3.2 Pengelolaan Resep dan Salinan Resep653.2.3.3 Pengelolaan Perbekalan Farmasi66A. Perencanaan dan PengadaanB. PenyimpananC. PenjualanD. Pengendalian 3.2.3.4 Pengelolaan Narkotika dan Psikotropika733.2.3.5 Analisa Keuangan763.2.3.6 Perpajakan773.2.3.7 Evaluasi Mutu Pelayanan di Apotek78BAB IV PEMBAHASAN79BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 93V.1 Kesimpulan110V.2 Saran111DAFTAR PUSTAKA 112LAMPIRAN 115

DAFTAR TABELTabel 2.1. Keterangan Tanda Peringatan Pada Obat Bebas TerbatasTabel 2.2. Kategori analisis VENTabel 2.3. Analisis VEN ABC dalam MatrikTabel 2.4. PTKPTabel 2.5. Tarif pajak PPh badan

DAFTAR GAMBARGambar 2.1. Skema Perizinan Pendirian ApotekGambar 2.2. Penandaan Obat BebasGambar 2.3. Penandaan Obat Bebas TerbatasGambar 2.4. Macam Tanda Peringatan Pada Obat Bebas TerbatasGambar 2.5. Penandaan Obat KerasGambar 2.6. Penandaan Narkotika.Gambar 2.7 Penandaan JamuGambar 2.8 Penandaan Obat Herbal TerstandarGambar 2.9 Penandaan Fitofarmaka

DAFTAR LAMPIRAN

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangKesehatan merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum yang harus diwujudkan melalui pembangunan yang berkesinambungan. Sebagai salah satu wujud pembangunan nasional, maka pemerintah berupaya dalam meningkatkan pembangunan kesehatan yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal, salah satunya adalah sarana kesehatan.Salah satu sarana kesehatan yaitu apotek, apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker. Apotek tidak hanya meliputi pembuatan, pengolahan, peracikan dan pencampuran obat, tetapi juga termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, penyimpanan obat, distribusi obat, pengolahan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pelayanan swamedikasi (upaya pengobatan sendiri) baik oleh apoteker maupun tenaga teknis kefarmasianatau oleh petugas apotek lainnya terutama yang berada di front liner dalam proses pelayanan yang mana akan terjadi interaksi antara petugas apotek dan para pelanggannya.Standar pelayanan kefarmasian merupakan tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian yaitu suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. Apotek perlu dipimpin oleh seorang yang profesional dibidangnya yaitu Apoteker Pengelola Apotek (APA) yang kompeten dan handal. APA bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan, baik untuk obat bebas maupun resep dengan memberikan informasi mengenai cara pakai obat, kemungkinan reaksi efek samping, stabilitas, toksisitas serta dosis obat dan bila ada keraguan dapat berkonsultasi ke dokter penulis resep. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pelayanan kefarmasian telah mengalami pergeseran orientasi. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula berorientasi dari pelayanan obat (drug oriented) menjadi pelayanan pasien (patient oriented) yang mengacu pada pharmaceutical care dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebagai konsekuensi perubahan tersebut, seorang apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan berkomunikasi agar dapat berinteraksi langsung dengan pasien sehingga kemungkinan kesalahan pengobatan (medication error) dapat dihindari. Sehubungan dengan hal diatas, maka Program Studi Profesi Apoteker Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Sains dan Teknologi Nasional bekerjasama dengan PT. Kimia Farma Apotek memberi kesempatan kepada mahasiswa profesi apoteker untuk melaksanakan Praktik Kerja Profesi Apoteker (PKPA) yang dilaksanakan di Apotek Kimia Farma No. 268 PCI Cilegon, periode 06-30 November 2014.1.2. TujuanProgram PKPA di apotek bertujuan agar para calon apoteker dapat belajar mengenal tugas seorang apoteker melalui pengalaman kerja langsung mengenai kegiatan-kegiatan yang ada di apotek, diantaranya adalah: Memahami manajemen PT. Kimia Farma Apotek Memaharni peran, fungsi dan tanggung jawab seorang apoteker dalam pelayanan kefarmasian di apotek

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 APOTEK2.1.1 Definisi ApotekPeraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek pada pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker.. Peraturan umum tentang perapotekan yang terbaru dan berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 tahun 2014, dengan ketentuan umum sebagai berikut:1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh Apoteker. 2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. 3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. 4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. 5. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. 6. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. 7. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. 8. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan. 9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker. 10. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker. 11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab di bidang kefarmasian dan alat kesehatan.

2.1.2 Tugas dan Fungsi ApotekTugas dan fungsi apotek menutur Peraturan Pemerintah RI no.51 tentang Pekerjaan Kefarmasian adalah sebagai berikut:1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan.2. Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi antara lain: obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

2.1.3 Landasan Hukum Apotek1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika4. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan6. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian 7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian 9. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.10. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek 13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi

2.1.4 Syarat dan Tata Cara Perizinan ApotekKetentuan dan Cara Pemberian Izin Apotek, persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu apotek yaitu :1. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker baik yang sendiri maupun yang apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.2. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.3. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.Dalam mendirikan Apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA) yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal Apotek untuk mendirikan Apotek di suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes Kabupaten/Kota). Selanjutnya Kepala Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin dan pencabutan izin Apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan dan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan wajib melaporkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan.Menurut pasal 7 Kepmenkes no.1332 tahun 2002 tentang perubahan atas Permenkes No. 922 tahun 1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Perizinan Apotek, Prosedur perolehan izin apotek yaitu : (1) Permohonan Izin Apotik diajukan kepada Kepala Dinas KesehatanKabupaten/Kota dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-1;(2) Dengan menggunakan Formulir APT-2 Kepala Dinas KesehatanKabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 (enam ) hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotik untuk melakukan kegiatan;(3) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambatlambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh Formulir APT-3;(4) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-4;(5) Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3), atau pernyataan dimaksud ayat (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotik dengan menggunakan contoh Formulir Model APT- 5;(6) Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12(dua belas) hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT.6;(7) Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), Apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambatlambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal Surat Penundaan.Bila apoteker menggunakan sarana milik pihak lain, yaitu mengadakan kerjasama dengan Pemilik Modal, maka harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:1 Pengguna sarana yang dimaksud, wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara Apoteker dan Pemilik Modal. 2 Pemilik Sarana yang dimaksud, harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat Pernyataan yang bersangkutan.ApotekerJika Pemeriksaan tidak dilakukanMembuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan (Formulir APT-4)Tembusan Kepala Dinas ProvinsiMengajukan permohonan izin apotekKepala Dinas Kesehatan Kab/Kota (Form APT-1)Dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan setempatMelaporkan hasil pemeriksaan menggunakan Form APT-3Surat Penundaan (Form APT-6)Surat Izin Apotek (SIA)Surat Penolakan (Form APT-7)Selambat-lambatnya 6 hari kerjaMemenuhi syaratBelum memenuhi syaratTidak memenuhi syaratSelambat-lambatnya 6 hari kerjaJangka waktu 12 hari kerja

Gambar 2.1. Skema Perizinan Pendirian Apotek

2.1.5 Perubahan Surat Izin ApotekPerubahan Surat Izin Apotek (SIA) diperlukan apabila :1 Terjadi penggantian nama apotek.2 Terjadi perubahan nama jalan dan nomor bangunan pada alamat apotek tanpa pemindahan lokasi apotek.3 Surat Izin Apotek (SIA) rusak atau hilang.4 Terjadi penggantian Apoteker Pengelola Apotek (APA).5 Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) APA dicabut dalam hal APA bukan sebagai Pemilik modal.6 Terjadi pemindahan lokasi apotek.7 Apoteker Pengelola Apotek (APA) meninggal dunia.

2.1.6 Pencabutan Surat Izin ApotekKepala Dinas Kesehatan dapat mencabut Surat Izin Kerja (SIA), apabila :1. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Apoteker Pengelola Apotek.2. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan terjamin keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan (pasal 12) dan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat paten (pasal 15 ayat 2) dan atau,3. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus-menerus.4. Terjadi Pelanggaran terhadap Undang-undang No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-undang Obat Keras St 11 1937 No. 5419, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang terjadi di apotek dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Adapun Undang-Undang tentang Kesehatan, Psikotropika dan Narkotika telah dirubah ke Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Surat Izin Praktik Apoteker Pengelola Apotek dicabut.1. Pemilik modal terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan pada persyaratan apotek.2. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilakukan setelah dikeluarkan:1. Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing dua bulan dengan menggunakan contoh formulir model APT-12. 2. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya enam bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan di apotek dengan menggunakan formulir model APT-13. 3. Pembekuan Izin apotek sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf (b), dapat dicairkan kembali apabila Apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-14. 4. Pencairan Izin Apotek dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.Keputusan pencabutan Surat Izin Apotek dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota kepada Apoteker Pengelola Apotek dengan menggunakan contoh formulir Model APT-15, dan tembusan disampaikan kepada Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat serta Kepala Balai Besar POM setempat. Apabila Surat Izin Apotek dicabut, Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilakukan setelah dikeluarkan peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan. Pembekuan izin apotek ditetapkan untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkan penetapan pembekuan kegiatan apotek. Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat.Apabila Surat Izin Apotek dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasinya. Pengamanan dilakukan dengan cara sebagai berikut :1. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di apotek.2. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.3. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau petugas yang diberi wewenang tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud di atas.2.1.7 Pelanggaran ApotekBerdasarkan berat dan ringannya pelanggaran, maka pelanggaran di Apotek dapat dikategorikan dalam dua macam. Kegiatan yang termasuk pelanggaran berat Apotek meliputi:1. Melakukan kegiatan tanpa ada tenaga teknis farmasi. 2. Terlibat dalam penyaluran atau penyimpangan obat palsu atau gelap. 3. Pindah alamat Apotek tanpa izin. 4. Menjual narkotika tanpa resep dokter.5. Kerjasama dengan PBF dalam menyalurkan obat kepada pihak yang tidak berhak dalam jumlah besar.6. Tidak menunjuk apoteker pendamping atau apoteker pengganti pada waktu APA keluar daerah.Kegiatan yang termasuk pelanggaran ringan Apotek meliputi:1. Tidak menunjuk Apoteker Pendamping pada waktu APA tidak bisa hadir pada jam buka Apotek (Apotek yang buka 24 jam).2. Mengubah denah Apotek tanpa izin.3. Menjual obat daftar G kepada yang tidak berhak.4. Melayani resep yang tidak jelas dokternya.5. Menyimpan obat rusak, tidak mempunyai penandaan atau belum dimusnahkan.6. Obat dalam kartu stok tidak sesuai dengan jumlah yang ada.7. Salinan resep yang tidak ditandatangani oleh apoteker.8. Melayani salinan resep narkotika dari Apotek lain.9. Lemari narkotika tidak memenuhi syarat.10. Resep narkotika tidak dipisahkan.11. Buku narkotika tidak diisi atau tidak bisa dilihat atau diperiksa.12. Tidak mempunyai atau mengisi kartu stok hingga tidak dapat diketahui dengan jelas asal usul obat tersebut. Setiap pelanggaran Apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan adalah :1. Peringatan secara tertulis kepada APA secara 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan.2. Pembekuan izin Apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin Apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Menteri Kesehatan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.3. Pembekuan izin Apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila Apotek tersebut dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran terhadap:1. UndangUndang Obat Keras (St.1937 No.541).2. UndangUndang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.3. UndangUndang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.2.2 PENYELENGGARAAN APOTEKPeraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 pasal 4 menyebutkan bahwa:(1) Penyelenggaraan Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek harus didukung oleh ketersediaan sumber daya kefarmasian yang berorientasi kepada keselamatan pasien. (2) Sumber daya kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: A. Sumber Daya Manusia Pelayanan Kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin Praktik atau Surat Izin Kerja.Dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian apoteker harus memenuhi kriteria: 1. Persyaratan administrasia. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) 2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal. 3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang berkesinambungan. 4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan atau mandiri. 5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan perundang undangan, sumpah apoteker, standar profesi (standar pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang berlaku.

B. Sarana dan Prasarana Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian. Sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi sarana yang memiliki fungsi:1. Ruang penerimaan Resep Ruang penerimaan Resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat penerimaan Resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set komputer. Ruang penerimaan Resep ditempatkan pada bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.2. Ruang pelayanan Resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas) Ruang pelayanan Resep dan peracikan atau produksi sediaan secara terbatas meliputi rak Obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan, timbangan Obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok Obat, bahan pengemas Obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko salinan Resep, etiket dan label Obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air conditioner).3. Ruang penyerahan Obat Ruang penyerahan Obat berupa konter penyerahan Obat yang dapat digabungkan dengan ruang penerimaan Resep.4. Ruang konseling Ruang konseling sekurang-kurangnya memiliki satu set meja dan kursi konseling, lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling, buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur, kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin, lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari penyimpanan Obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.6. Ruang arsip Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan dengan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta Pelayanan Kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

2.3 PENGELOLAAN SUMBER DAYA MANUSIA DI APOTEKA. Struktur Organisasi ApotekStruktur organisasi didefinisakan sebagai mekanisme-mekanisme formal dengan nama organisasi dikelola. Struktur organisasi menunjukkan kerangka dan susunan perwujudan pola tetap hubungan-hubungan diantara fungsi-fungsi, bagian-bagian, maupun orang-orang yang menunjukkan kedudukan, tugas, dan tanggung jawab yang berada dalam suatu organisasi. Pelaksanaan proses pengorganisasian yang skses akan membuat suatu organisasi mencapai tujuannya. Proses ini akan tercermin pada sturktur organisasi, yang mencakup aspek-aspek penting organisai dan proses pengorganisasian (Handoko, 2011)B. Sumber Daya Manusia di Apotek1. ApotekerBagi apoteker yang baru lulus pendidikan profesi, dapat memperoleh sertifikat kompetensi profesi secara langsung setelah melakukan registrasi. Setiap tenaga kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi. Bagi apoteker berupa STRA (Surat Tanda Registrasi Apoteker) yang dikeluarkan oleh Menteri dan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit harus memiliki surat izin yang disebut Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA). Untuk memperoleh STRA, apoteker harus memenuhi persyaratan: 1. Memiliki Ijazah Apoteker.1. Memiliki sertifikat kompetensi profesi.1. Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker.1. Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik.1. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Dalam Peraturan menteri Kesehatan RI no. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, dalam melakukan Pelayanan Kefarmasian seorang apoteker harus menjalankan peran yaitu: a. Pemberi layanan Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien. apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan. b. Pengambil keputusan Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien. c. Komunikator Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.d. Pemimpin Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin. Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. e. Pengelola Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran dan informasi secara efektif. apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi tentang Obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan Obat. f. Pembelajar seumur hidup Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD) g. Peneliti Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian.Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, memiliki wewenang sebagai berikut:1. Mengangkat seorang Apoteker Pendamping yang memiliki SIPA;2. Mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien; dan3. Menyerahkan obat keras, Narkotika dan Psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di Apotek, Apoteker dapat bertugas sebagai:a. Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Setiap satu apotek harus ada 1 APA dan seorang apoteker hanya bisa menjadi APA disatu apotek saja.Tugas dan fungsi Apoteker Pengelola Apotek, sebagai berikut :1. Memimpin, mengatur, melaksanakan dan mengawasi seluruh kegiatan apotek sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Menyusun rencana kerja, menentukan target yang akan dicapai, personalia dan anggaran dana yang dibutuhkan sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan perusahaan.3. Mempunyai tugas sebagai pemberi informasi obat kepada masyarakat, karyawan dan tenaga kesehatan lainnya.4. Mempunyai kemampuan untuk memimpin, berkomunikasi dan mendorong prestasi kerja karyawannya.5. Meningkatkan pelayanan apotek dengan menjaring langganan baru, membina karyawan dan membuat pembaharuan dalam pelayanannya.

b. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan/ atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Menurut Kepmenkes no. 1332 tahun 2002 pasal 19, Apabila APA berhalangan hadir pada jam buka apotek, maka harus menunjuk apoteker pendamping. c. Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan Apoteker Pengelola Apotik selama Apoteker Pengelal Apotik tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 (tiga bulan) secara terus-menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola Apotik di Apotik lain.

2. Tenaga Teknis KefarmasianMenurut Peratutan Menteri kesehatan RI no. 889/MENKES/PER/V/2011 , Tenaga Teknis Kefarmasian merupakan tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/Tenaga teknis kefarmasian(AA). Pada pasal 50 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI no. 51 tahun 2009 tentang Kesehatan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK mempunyai wewenang untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian dibawah bimbingan dan pengawasan Apoteker yang telah memiliki STRA sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang dimilikinya. Tugas dan fungsi Tenaga teknis kefarmasian, sebagai berikut :1) Mengatur penyimpanan dan penyusunan obat di ruang racikan.2) Memberikan harga pada setiap resep yang masuk dan memeriksa kelengkapan resep.3) Menghitung dosis obat untuk racikan sesuai dengan resep, menimbang, menyiapkan obat, mengemas dan membuat etiket.4) Menyerahkan obat kepada pasien setelah diperiksa oleh supervisor peracikan.5) Mencatat obat masuk dan keluar pada kartu stok barang.6) Membuat salinan resep dan kuitansi bila diperlukan.

3. Pemilik Sarana Apotek (PSA)Tidak harus ada. Apoteker Pengelola Apotek dapat sekaligus menjadi pemilik sarana apotek. APA dapat bekerjasama dengan PSA apabila diperlukan saja, misalnya karena APA belum mempunyai cukup modal untuk pengadaan sarana apotek.

4. Juru resep (reseptir), kasir, akuntan, petugas kebersihan dan karyawan lain tidak diatur dalam peratuuran perundang-undangan. Tidak harus ada, sesuai dengan kebutuhan apotek saja. (Yustina, 2007)

2.4 PENGELOLAAN APOTEKYang dimaksud pengelolaan apotek menurut Kepmenkes no. 1332 tahun 2002 Pasal 10 adalah: a. Pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat dan bahan obat.b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyeraahan perbekalan farmasi lainnya.c. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi.

2.4.1 Pengelolaan Sarana dan Prasarana ApotekKomoditas di apotek berupa sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai. Yang dimaksud sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tardisional, dan kosmetik; alat kesehatan adalah bahan, instrumen apparatus, mesin, implant yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah,mendiagnosis, menyembuhkan dan meringkan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan dan atau untuk membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh; sedang bahan medis habis pakai adalah alat kesehatan yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai (single use) yang daftar produknya diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Permenkes RI no. 35 tahun 2015: Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana Apotek dapat menjamin mutu Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai serta kelancaran praktik Pelayanan Kefarmasian.

2.4.2 Pengadaan Sediaan Farmasi Oleh ApotekPermenkes RI no. 1332 tahun 2002 menyebutkan tentang Persyaratan apotik dalam pasal 6 yakni:(1)Untuk mendapatkan izin Apotik, Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.

Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.Pengadaan sediaan farmasi apotek termasuk didalamnya golongan obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, Psikotropika dan Narkotika dapat berasal langsung dari Pabrik Farmasi, Pedagang Besar Farmasi maupun ke apotek lain. Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah menggolongkan obat menjadi beberapa bagian. Penggolongan Obat menurut Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI) Tahun 2008 obat dapat digolongkan menjadi : 1) Obat BebasObat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter atau sering disebut juga dengan OTC (Over The Counter) Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contohnya : Sanmol.

Gambar 2.2. Penandaan Obat Bebas

2) Obat Bebas TerbatasObat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa dengan resep dokter, atau sering disebut juga dengan OTC (Over The Counter) tapi disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam. Contohnya : obat flu. Gambar 2.3. Penandaan Obat Bebas Terbatas

Khusus untuk obat bebas terbatas, selain terdapat tanda khusus lingkaran biru, diberi pula tanda peringatan untuk aturan pakai obat, karena hanya dengan takaran dan kemasan tertentu, obat ini aman dipergunakan untuk pengobatan sendiri.Tanda peringatan berupa empat persegi panjang dengan huruf putih pada dasar hitam yang terdiri dari 6 macam.P.No.2Awas! Obat KerasHanya Untuk Kumur Jangan Ditelan

P.No.1Awas! Obat KerasBaca Aturan Pakai

P.No. 3Awas! Obat KerasHanya Untuk Bagian Luar Badan

P. No. 4Awas! Obat KerasHanya untuk di Bakar

P. No. 6Awas! Obat KerasObat Wasir, Jangan DitelanP. No. 5Awas! Obat KerasTidak Boleh ditelan

Gambar 2.4. Macam Tanda Peringatan Pada Obat Bebas TerbatasTabel 2.1. Keterangan Tanda Peringatan Pada Obat Bebas TerbatasNo.Tanda PeringatanContoh Sediaan

1.P No.1Actifed syrup, tabletWoods expektoran; syrup

2.P No.2Sanorine kumurBetadin kumur

3.P No.3Cinolon - N creamBaycuten cream

4.P No.4Asma sigaret (R)

5.P No.5Flagistatyn suppositoriaDulcolax suppositoria

6.P No.6Boraginol S suppositoriaBoraginol N suppositoria

3) Obat KerasObat keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter, atau sering disebut juga dengan ethical, ciri-cirinya adalah bertanda lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah dengan menyentuh garis tepi. Obat ini hanya boleh dijual di apotek dan harus dengan resep dokter pada saat membelinya. Gambar 2.5. Penandaan Obat Keras

4) Obat PsikotropikaMenurut UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Penggolongan dari psikotropika adalah sebagai berikut:1. Psikotropika golongan IPsikotropika golongan I adalah Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.2. Psikotropika golongan IIPsikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.Contoh: metilfenidat dan sekobarbital.

3. Psikotropika golongan IIIPsikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.Contoh: amobarbital, pentobarbital, fenobarbital, siklobarbital.4. Psikotropika golongan IVPsikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan.Contoh: diazepam, estazolam, alprazolam.

5) Obat NarkotikaMenurut UU No. 35 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan.

Gambar 2.6. Penandaan Narkotika

Narkotika dibedakan ke dalam 3 golongan yaitu: 1. Narkotika golongan I, adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi yang sangat tinggi dalam mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium, heroin, desomorfina, ganja, metilfenidat, sekobarbital, MDMA, katinon, amfetamin, metamfetamin, Deksamfetamin, dan Meklokualon2. Narkotika golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi untuk menimbulkan ketergantungan. Contoh: alfasetilmetadol, betametadol, diampromida, morfin, benzilmorfin, difenoksin, petidin, normetadona, metadona, tebaina, tebakon, difenoksin, dan fentanil 3. Narkotika golongan III, adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan, banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan untuk menimbulkan ketergantungan contoh: kodein, asetildihidrokodein, norkodein, etilmorfin, polkadin, dan propiram.

Berdasarkan Keputusan Kepala BPOM RI tanggal 17 Mei 2004 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan alam Indonesia dan Peraturan kepala BPOM RI tanggal 2 maret 2005 tentang kritena dan tata laksana pendaftaran obat tradsional, obat herbal terstandar dan fitofamaka. Obat bahan alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dan bahan tersebut, yang secara turun-temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.Berdasarkan cara pembuatan serta jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam Indonesia dikelompokkan menjadi : a. Jamu Jamu adalah obat tradisional Indonesia. Logo berupa ranting daun terletak dalam lingkaran dengan wama hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dan wadah/pembungkus/brosur yang dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 2.7. Contoh: Tolak Angin (PT. Sido Muncul), Pil Binari (PT. Tenaga Tani Farma), Curmaxan dan Diacinn (Lansida Herbal).

Gambar 2.7 Penandaan Jamu

b. Obat Herbal Terstandar Obat herbal terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi. Logo berupa jari-jari daun (3 pasang) terletak dalam lingkaran dengan wama hijau di atas dasar warna putih atau warna lain yang menyolok kontras dengan warna logo, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kin dan wadah/pembungkus/brosur yang dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 2.8. Contoh: Diapet (PT Soho Indonesia), Kiranti (PT Ultra Prima Abadi), Psidii (PJ Tradimun), Diabmeneer (PT Nyonya Meneer), dll.

OBAT HERBAL TERSTANDARGambar 2.8 Penandaan Obat Herbal Terstandar

c. Fitofarmaka Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. Logo berupa jari-jari daun (yang kemudian membentuk bintang) terletak dalam lingkaran, dengan warna hijau di atas dasar putih atau wama lain yang menyolok kontras dengan warna logo dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dan wadah/pembungkus/brosur yang dapat dilihat dengan lebih jelas pada Gambar 2.9. Contoh: Nodiar (PT. Kimia Farma), Stimuno (PT. Dexa Medica), Rheumaneer (PT. Nyonya Meneer), Tensigard dan X-Gra (PT. Phapros).

Gambar 2.9 Penandaan Fitofarmaka

2.4.3 Pengelolaan Sediaan Farmasi di ApotekMenurut Permenkes RI no. 35 tahun 2014, Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.1. Perencanaan Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat. 2. PengadaanUntuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. PenerimaanPenerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

4. Penyimpanan1) Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa. 2) Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya. 3) Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis. 4) Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan FIFO (First In First Out). 5. Pemusnahan1) Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis danbentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja.2) Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. 6. PengendalianPengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa persediaan.7. Pencatatan dan PelaporanPencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok), penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.

2.4.4 Pelayanan Farmasi Klinik di ApotekPelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi:A. Pengkajian ResepKegiatan pengkajian Resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Kajian administratif meliputi: 1. nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan; 2. nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan paraf; dan 3. tanggal penulisan Resep. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi: 1. bentuk dan kekuatan sediaan; 2. stabilitas; dan 3. kompatibilitas (ketercampuran Obat).

Pertimbangan klinis meliputi: 1. ketepatan indikasi dan dosis Obat; 2. aturan, cara dan lama penggunaan Obat; 3. duplikasi dan/atau polifarmasi; 4. reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi klinis lain); 5. kontra indikasi; dan 6. interaksi.Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis Resep. B. DispensingDispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi Obat. Setelah melakukan pengkajian Resep dilakukan hal sebagai berikut: 1. Menyiapkan Obat sesuai dengan permintaan Resep: menghitung kebutuhan jumlah Obat sesuai dengan Resep; mengambil Obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanandengan memperhatikan nama Obat, tanggal kadaluwarsadan keadaan fisik Obat.2. Melakukan peracikan Obat bila diperlukan 3. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi: warna putih untuk Obat dalam/oral; warna biru untuk Obat luar dan suntik; menempelkan label kocok dahulu pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi. 4. Memasukkan Obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk Obat yang berbeda untuk menjaga mutu Obat dan menghindari penggunaan yang salah. Setelah penyiapan Obat dilakukan hal sebagai berikut: 1. Sebelum Obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembalimengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah Obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep); 2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien; 3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien; 4. Menyerahkan Obat yang disertai pemberian informasi Obat;5. Memberikan informasi cara penggunaan Obat dan hal-hal yang terkait dengan Obat antara lain manfaat Obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan Obat dan lain-lain; 6. Penyerahan Obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil; 7. Memastikan bahwa yang menerima Obat adalah pasien atau keluarganya; 8. Membuat salinan Resep sesuai dengan Resep asli dan diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan); 9. Menyimpan Resep pada tempatnya; 10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.

Apoteker di Apotek juga dapat melayani Obat non Resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan Obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai.Pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep harus dilakukan sebelum obat diserahkan kepada pasien. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.C. Pelayanan Informasi Obat(PIO)Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai Obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan Obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai Obat termasuk Obat Resep, Obat bebas dan herbal.Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain. Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di Apotek meliputi: 1. menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan; 2. membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);3. memberikan informasi dan edukasi kepada pasien; 4. memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;5. melakukan penelitian penggunaan Obat;6. membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah;7. melakukan program jaminan mutu. Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk membantu penelusurankembali dalam waktu yang relatif singkat.Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan Informasi Obat : 1. Topik Pertanyaan;2. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat diberikan;3. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis, lewat telepon);4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data laboratorium);5. Uraian pertanyaan;6. Jawaban pertanyaan;7. Referensi;8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, per telepon) dan data Apoteker yang memberikan Pelayanan Informasi Obat.

D. KonselingApoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling: 1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau ginjal, ibuhamil dan menyusui).2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi). 3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off). 4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin). 5. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa Obat untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu Obat untuk penyakit yang diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis Obat. 6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah. Tahap kegiatan konseling: 1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien 2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three Prime Questions, yaitu: Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda? Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat Anda? Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan setelah Anda menerima terapi Obat tersebut? 3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan Obat 4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah penggunaan Obat 5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang diberikan.

E. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (home pharmacy care)Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis Pelayanan Kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh Apoteker, meliputi:1. Penilaian/pencarian (assessment) masalah yang berhubungan dengan pengobatan2. Identifikasi kepatuhan pasien 3. Pendampingan pengelolaan Obat dan/atau alat kesehatan di rumah, misalnya cara pemakaian Obat asma, penyimpanan insulin4. Konsultasi masalah Obat atau kesehatan secara umum 5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan Obat berdasarkan catatan pengobatan pasien 6. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah dengan menggunakan Formulir 8 sebagaimana terlampir.

F. Pemantauan Terapi Obat (PTO)Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria pasien: a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui. b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis. c. Adanya multidiagnosis. d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati. e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit. f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang merugikan. Kegiatan: a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria. b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan Obat dan riwayat alergi; melalui wawancara dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain c. Melakukan identifikasi masalah terkait Obat. Masalah terkait Obat antara lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian Obat tanpa indikasi, pemilihan Obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi Obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi Obat d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki f. Hasil identifikasi masalah terkait Obat dan rekomendasi yang telah dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi. g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi.

G. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap Obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan: a. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi mengalami efek samping Obat. b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO) c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional Faktor yang perlu diperhatikan: a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain. b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

2.4.5 Pengelolaan Resep dan Salinan ResepResep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan Berita Acara Pemusnahan Resep. Dan selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota. (PERMENKES No. 35/MENKES/PER/2014).Salinan resep adalah salinan yang dibuat apotek. selain memuat semua keterangan yang terdapat dalam resep asli, salinan resep juga harus memuat keterangan-keterangan berikut:1. Nama dan alamat apotek2. Nama dan nomor izin APA3. Nama, umur, pasien4. Nama dokter penulis resep5. Tanggal penulisan resep6. Tanggal dan nomor urut pembuatan7. Tanda R/8. Tanda det atau deteur untuk obat yang sudah diserahkan ne det atau ne deteur untuk obat yang belum diserahkan9. Tuliskan p.c.c (pro copy conform) menandakan bahwa salinan resep telah ditulis sesuai dengan aslinya.

2.4.6 Pengendalian Sediaan Farmasi di ApotekPengelolaan persediaan dikelompokkan menjadi tiga fungsi dasar, yaitu seleksi penyediaan, distribusi dan pemakaian. Hal ini sebenarnya sederhana tetapi tanpa sistem manajemen persediaan yang baik, sistem distribusi atau penyaluran obat tidak akan dapat berjalan dengan baik. Pengaturan persediaan obat dilakukan melalui pemesanan, penerimaan dan penyimpanan. Pengelolaan dan pengendalian persediaan obat di apotek berfungsi untuk :1. Memastikan pasien memperoleh obat yang dibutuhkan.2. Menyiapkan bahan baku/obat yang berhubungan dengan penyakit musiman dan mewabah.3. Mencegah resiko kualitas barang yang dipesan tidak baik sehingga harus dikembalikan.4. Mendapatkan keuntungan dari pembelian dengan memilih distribusi obat yang memberi harga obat bersaing, pengiriman cepat dan kualitas obat yang baik.Pengendalian dan pengawasan barang dapat dilakukan dengan cara membandingkan jumlah pembelian dengan penjualan tiap bulan. Menggunakan kartu gudang untuk mencatat mutasi obat. Tiap obat mempunyai kartu tersendiri untuk mencatat setiap penambahan atas pengurangan stock dan diletakkan di gudang.Pengelolaan persediaan di apotek yang memiliki banyak item obat memerlukan teknik pengelolaan yang tidak mudah. Metode pengendalian persediaan dapat dilakukan dengan cara menyusun prioritas berdasarkan analisis VEN dan PARETO:1. Analisis VENUmumnya disusun dengan memperhatikan kepentingan dan vitalitas persediaan farmasi yang harus selalu tersedia untuk melayani permintaan untuk pengobatan. Tabel 2.2. Kategori analisis VENNo.KategoriKeterangan

1.V (Vital)Persediaan yang harus selalu tersedia untuk melayani permintaan guna pengobatan atau penyelamatan hidup manusia, atau untuk pengobatan karena penyakit yang menyebabkan kematian.

2.E (Essensial)Perbekalan yang banyak diminta untuk digunakan dalam tindakan atau pengobatan penyakit yang ada dalam suatu daerah.

3.N (Non Essensial)Perbekalan pelengkap agar tindakan atau pengobatanmenjadi lebih baik.

Sistem VEN ini memprioritaskan suatu pembelian ketika tidak cukup dana untuk semua jenis yang dikehendaki. Sistem ini juga menentukan jenis obat yang akan dipertahankan dalam sediaan dan jenis obat yang hanya akan dipesan ketika dibutuhkan.

2. Analisis PARETO (ABC)Analisis ini disusun berdasarkan atas penggolongan persediaan yang mempunyai nilai harga yang paling banyak. Analisis ini memerlukan perhitungan matematika sederhana dan penyusunan urutan berdasarkan persentase harga atau biaya yang harus dibayar satu item yang dibeli atau dipakai dengan urutan nilai tersebut dapat diperoleh kontribusi tertentu terhadap total anggaran atau harga perbekalan.1) Kelas A : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai persediaan, meskipun jumlahnya hanya sekitar 20% dari seluruh item. Mewakili dampak biaya yang tinggi.2) Kelas B : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang menengah. Kelas ini mewakili sekitar 15-20% dari total nilai persediaan dan jumlahnya sekitar 30% dari seluruh item. 3) Kelas C : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang rendah. Kelas ini mewakili sekitar 5-10% dari total nilai persediaan dan jumlahnya sekitar 50% dari seluruh item.

3. Analisis VEN ABCAnalisis VEN ABC mengkategorikan item berdasarkan volume dan nilai penggunaanya selama periode waktu tertentu, biasanya satu tahun. Analisis VEN ABC menggabungkan analisis PARETO dan VEN dalam suatu matrik sehingga menjadi lebih tajam.

Tabel 2.3. Analisis VEN ABC dalam MatrikVEN

AVAEANA

BVBEBNB

CVCECNC

Matrik di atas dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas dalam rangka penyesuaian anggaran tahunan perhatian dalam pengelolaan persediaan. Jenis barang yang bersifat vital (VA,VB,VC) merupakan pilihan utama untuk dibeli atau memerlukan perhatian khusus. Sebaliknya barang yang non essensial tetapi menyerap banyak anggaran (NA) dijadikan prioritas untuk dikeluarkan dari daftar belanja. Parameter-parameter dalam pengendalian persediaan, sebagai berikut :1. Konsumsi rata-rataKonsumsi rata-rata sering juga disebut sebagai permintaan (demand) yang diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan variabel kunci yang menentukan beberapa banyak stock barang yang harus dipesan. Walaupun banyaknya permintaan sudah dapat diprediksi barang yang stock mati bisa juga terjadi apabila salah memperkirakan lead time barang tersebut.2. Lead time (Waktu tenggang)Lead time merupakan waktu tenggang yang dibutuhkan mulai dari pemesanan sampai dengan penerimaan barang di gudang dari pemasok yang telah ditentukan.3. Buffer stock (safety stock/obat dapar pengaman)Merupakan persediaan barang yang harus ada untuk menghadapi suatu keadaan yang diakibatkan karena perubahan pada permintaan, misalkan karena adanya permintaan barang yang meningkat secara tiba-tiba (karena adanya wabah penyakit) atau untuk mengatasi pemesanan barang yang terlambat datang.4. Persediaan minimumMerupakan jumlah persediaan terendah yang masih tersedia. Apabila penjualan telah mencapai nilai persediaan minimum ini, maka langsung dilakukan pemesanan agar kontinuitas usaha dapat berlanjut.5. Persediaan maksimumMerupakan jumlah persediaan terbesar yang telah tersedia. Jika telah mencapai nilai persediaan maksimum ini maka tidak perlu lagi melakukan pemesanan untuk menghindari terjadinya stock mati yang dapat menyebab kerugian.6. Reorder point (ROP/titik pemesanan)Merupakan suatu titik dimana dilakukan pemesanan lagi sehingga penerimaan barang yang dipesan tepat pada waktunya. Dengan demikian, waktu datangnya barang yang telah dipesan tidak melewati waktu pesan, sehingga tidak akan melanggar buffer stock yang telah ditentukan.2.4.7 Pengelolaan Oba Wajib Apotek (OWA)Obat Wajib Apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter, namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan penggunaan obat DOWA harus dengan bimbingan apoteker.Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat Wajib Apotek diwajibkan :1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang disebutkan dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan.2. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.3. Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/Menkes/Per/X/1993, obat wajib Apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan pada pasien tanpa resep dokter dengan mengikuti peraturan dan Menteni Kesehatan. Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria: 1. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun. 2. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit 3. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan 4. Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di indonesia 5. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggung jawabkan untuk pengobatan sendiri.Peraturan mengenai DOWA yaitu:1. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 374/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek No. 1.Contoh: a. Oral kontrasepsi tunggal : Linestrenol b. Obat saluran cerna : Antispasmodik : Papaverin, Atropin sulfat Anti mual : Metoklorpamid HCI Laksansia : Bisakodil Suppositoria c. Obat saluran nafas: Obat asma: Ketotifen, Salbutamol Sekretolitik : Bromhexin, Asetilsistein d. Obat mulut dan tenggorokan : Hexetidin,Triamsonolon acetonide e. Obat mempengaruhi sistem neuromuscular : Analgetik-Antipiretik : Metampiron, Asam Mefenamat Antihistamin : Oksomemazin, Asetamizol, Mebhidrolin f. Antiparasit (obat cacing) : Mebendazol g. Obat kulit/topical : Antibiotik : Tetra/Oksitetrasiklin, Kloramfenikol, Neomisin Sulfat,Gentamisin Sulfat Kortikosteroid : Hidrokortison, Triamsinolon, Betanietason Antiseptik Lokal : Heksaklorofen Antifungi : Mikonazol Nitrat, Nistatin Anestesi lokal : Lidokain HCl Enzim anti radang : Heparin Na dengan Hialuronidase Ester Nikotinattopikal kombinasi. 2. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 924/Menkes/PER/X/1993 tentang OWA No. 2, contoh : Albendazol, Basitrasin, Klindamisin, Deksametason, Dikiofenak, Ibuprofen, Ketokonazol. 3. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/SK/X/1999 tentang OWA No. 3, contoh : Saluran cema dan metabolisme, contoh : Famotidin, dan Ranitidin Obat kulit, contoh : Asam Fusidat, Motretinida, Tolsikiat Sistem Muskoloskietal, contoh Allupurinol, Dikiofenak, Piroksikam Sistern Saluran Nafas, contoh : Kiemastin, Orsiprenalin, dan Cetirizine Organ-organ sensorik, contoh : Gentamisin, Kioramfenikol.

2.4.8 Pengelolaan Narkotika dan PsikotropikaBerbeda dengan OWA, tujuan diadakannya pengelolaan narkotika dan psikotropika adalah untuk mencegah penyalahgunaan obat narkotika dan psikotropika. Oleh karena itu obat-obat narkotika dan psikotropika harus ditangani secara khusus.Peraturan Mnteri Kesehatan RI No. 3 tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan, dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi mengatur tentang:1. PENYALURANDisebutkan dalam Pasal 9: (1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan berdasarkan:

a. surat pesanan; atau b. Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari Puskesmas. (2) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat berlaku untuk masing-masing Narkotika, Psikotropika, atau Prekursor Farmasi. (3) Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis Narkotika. (4) Surat pesanan Psikotropika atau Prekursor Farmasi hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau beberapa jenis Psikotropika atau Prekursor Farmasi. (5) Surat pesanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) harus terpisah dari pesanan barang lain.

Pasal 14 (1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan oleh: a. Industri Farmasi kepada PBF dan Instalasi Farmasi Pemerintah; b. PBF kepada PBF lainnya, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah dan Lembaga Ilmu Pengetahuan; c. PBF milik Negara yang memiliki Izin Khusus Impor Narkotika kepada Industri Farmasi, untuk penyaluran Narkotika; d. Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat kepada Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Instalasi Farmasi Tentara Nasional Indonesia atau Kepolisian; dan e. Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah kepada Instalasi Farmasi Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, Instalasi Farmasi Klinik milik Pemerintah Daerah, dan Puskesmas.

Pasal 16 (1) Penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi hanya dapat dilakukan berdasarkan surat pesanan dari Apoteker penanggung jawab atau Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan untuk kebutuhan penelitian dan pengembangan,

2. PENYERAHAN Pasal 18 (1) Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dapat dilakukan dalam bentuk obat jadi. (2) Dalam hal Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada pasien, harus dilaksanakan oleh Apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian. (3) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara langsung sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian. (4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyerahan Prekursor Farmasi yang termasuk golongan obat bebas terbatas di Toko Obat dilakukan oleh Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 19 (1) Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan oleh: a. Apotek; b. Puskesmas; c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit; d. Instalasi Farmasi Klinik; dan e. dokter. (2) Apotek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada: a. Apotek lainnya; b. Puskesmas; c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit; d. Instalasi Farmasi Klinik; e. dokter; dan f. pasien. (3)Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah Narkotika dan/atau Psikotropika berdasarkan resep yang telah diterima. (4) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab.(5) Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada pasien berdasarkan resep dokter.

Pasal 20 (1) Penyerahan Narkotika dan Psikotropika oleh Apotek kepada Dokter hanya dapat dilakukan dalam hal: a. dokter menjalankan praktik perorangan dengan memberikan Narkotika dan Psikotropika melalui suntikan; dan/atau b. dokter menjalankan tugas atau praktik di daerah terpencil yang tidak ada Apotek atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang ditandatangani oleh dokter yang menangani pasien

3. PENYIMPANAN

Pasal 24 Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di fasilitas produksi, fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. Pasal 25 (1) Tempat penyimpanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dapat berupa gudang, ruangan, atau lemari khusus. (2) Tempat penyimpanan Narkotika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Narkotika. (3) Tempat penyimpanan Psikotropika dilarang digunakan untuk menyimpan barang selain Psikotropika.

Pasal 26(3)Lemari khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. terbuat dari bahan yang kuat; b. tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang berbeda; c. harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk Instalasi Farmasi Pemerintah; d. diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan e. kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

4. PEMUSNAHAN Pasal 37 Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi hanya dilakukan dalam hal: a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat diolah kembali; b. telah kadaluarsa; c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa penggunaan; d. dibatalkan izin edarnya; atau e. berhubungan dengan tindak pidana.

Pasal 38 (1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a sampai dengan huruf d dilaksanakan oleh Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, Dokter atau Toko Obat. (4) Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang berhubungan dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf e dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40 Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a. penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada: 1. Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan, bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat; 2. Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah Provinsi; atau 3. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.

b. Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi. c. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b. d. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk bahan baku, produk antara, dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan pemusnahan. e. Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi harus dilakukan pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan pemusnahan.

Pasal 42 (1) Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan yang melaksanakan pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi harus membuat Berita Acara Pemusnahan. (2) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat: a. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; b. tempat pemusnahan; c. nama penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan; d. nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan/sarana tersebut; e. nama dan jumlah Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi yang dimusnahkan; f. cara pemusnahan; dan g. tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/ dokter praktik perorangan dan saksi. (3) Berita Acara Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala Badan/Kepala.

5. PENCATATAN DAN PELAPORAN

PENCATATAN Pasal 43 (1) Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek, Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik perorangan yang melakukan produksi, Penyaluran, atau Penyerahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi. (2) Toko Obat yang melakukan penyerahan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat pencatatan mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi. (3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit terdiri atas: a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi; b. jumlah persediaan; c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan d. jumlah yang diterima; e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan; f. jumlah yang disalurkan/diserahkan; g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran/penyerahan; dan h. paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.

(4)Pencatatan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dibuat sesuai dengan dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.

Pasal 44 Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat pesanan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib disimpan secara terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.

PELAPORAN

Pasal 45 (1) Industri Farmasi yang memproduksi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan produksi dan penyaluran produk jadi Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi setiap bulan kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan. (2) PBF yang melakukan penyaluran Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dengan tembusan Kepala Badan/Kepala Balai. (3) Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Direktur Jenderal dengan tembusan Kepala Badan. (4) Instalasi Farmasi Pemerintah Daerah wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyaluran Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi dalam bentuk obat jadi kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atau Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Balai setempat.

(5)Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) paling sedikit terdiri atas: a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi; b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan; c. tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan; d. jumlah yang diterima; e. tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran; f. jumlah yang disalurkan; dan g. nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau penyaluran dan persediaan awal dan akhir.

(6) Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Balai setempat. (7) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) paling sedikit terdiri atas: a. nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi; b. jumlah persediaan awal dan akhir bulan; c. jumlah yang diterima; dan d. jumlah yang diserahkan.

(8) Puskesmas wajib membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (9) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6) dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi secara elektronik. (10)Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6) disampaikan paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. (11)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan/atau Prekursor Farmasi diatur oleh Direktur Jenderal.

2.4.9 Perpajakan ApotekApotek merupakan suatu jenis bisnis eceran yang melakukan transaksi jual beli perbekalan farmasi (obat dan alat kesehatan) secara langsung kepada konsumen akhir. Mengingat dalam transaksi jual beli tersebut bertujuan untuk memperoleh laba, menggaji karyawan, menggunakan gedung, sarana trasfortasi, emmasang papan nama, maka di apotek terdapat beberapa jenis pajak yang harus disetorkan ke kas Negara. Adapun jenis pajak yang harus disetorkan kekas Negara yaitu : 1. Pajak yang dipungut oleh pusat seperti :1) PPn (pajak pertambahan nilai)2) PPh (pajak penghasilan untuk orang dan badan)3) PBB (pajak bumi dan bangunan)2. Pajak yang dipungut oleh daerah seperti :1) Pajak kendaraan roda empat/dua2) Pajak reklame

Dasar Hukum penetapan PPn dan PPh1. PPn (pajak pertambahan nilai)PPn merupakan pajak tidak langsung dimana pajak terhutang dihitung atas pertambahan nilai yang ada. Dalam metode ini, PPN dihitung dari selisih pajak pengeluaran dan pajak pemasukan. Pajak pertambahan nilai dikenakan pada saat pembelian obat dari PBF sebesar 10%. Setiap transaksi PBF menyerahkan faktur pajak kepada apotek sebagai bukti bahwa apotek telah membayar PPN. Pajak Pertambahan Nilai Pedagang Eceran (PPN PE) dibayarkan sebesar 2% dari omset jika Apotek merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan penghasilan lebih dari Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) perbulan atau lebih dari Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) pertahun.2. PPh (pajak penghasilan untuk orang)a. Pajak pribadi/peroranganPajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri. Besarnya PPh 21 dihitung berdasarkan penghasilan netto dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Penghasilan netto adalah penghasilan setelah dikurangi tunjangan jabatan sebesar 5% dari jumlah penghasilan dan maksimal Rp. 500.000,00 per bulan. Berdasarkan UU Pajak Penghasilan No. 36 tahun 2008 tentang perubahan keempat UU RI No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan pada pasal 7 menjelaskan tentang besarnya PTKP.

Tabel 2.4. PTKP

b. PPh BadanTarif PPh badan berdasarkan UU RI. No 17 tahun 2000 yang kemudian diperbaharui dalam UU RI No. 36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan adalah sebagai berikut :Perhitungan PPh badan ada 2 cara, yaitu dengan pembukuan membuat neraca laba-rugi dan menggunakan norma jika omset kurang dari Rp. 4.800.000.000,00/tahun (menurut UU RI No.36 tahun 2008).

Tabel 2.5. Tarif pajak PPh badan

PPh Badan dilakukan dengan pembukuan (membuat neraca laba-rugi) dihitung berdasarkan keuntungan bersih dikalikan tarif pajak. Perhitungan tarif pajak PPh badan dapat dilihat pada Tabel 2.5. Menurut UU RI No. 36 tahun 2008 pasal 31E ayat (1), wajib pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto s/d Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23 mengatur pajak bagi apotek yang berbentuk badan bisnis. yaitu mengatur pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa deviden, bunga royalti, sewa, hadiah, penghargaan, dan imbalan jasa tertentu. Besarnya PPh 23 adalah deviden dikenai 15% dari keuntungan yang dibagikan.Pajak penghasilan (PPh) pasal 25 adalah pembayaran pajak yang berupa cicilan tiap bulan sebesar 1/12 dari pajak keuntungan bersih tahun sebelumnya, angsuran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sendiri dari pajak keuntungan bersih tahun sebelumnya (dihitung berdasarkan neraca rugi-laba sehingga dapat diketahui sisa hasil bisnis/SHU atau keuntungan). PPh pasal 25 ini dibayarkan dalam bentuk SPT Masa dan SSP setiap bulan.Pajak Penghasilan (PPh) pasal 28 Apabila jumlah pajak terutang lebih kecil daripada jumlah kredit pajak maka setelah dilakukanpemeriksaan kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan PPh pasal 28.Pajak Penghasilan (PPh) pasal 29 Apabila jumlah pajak terutang untuk 1 tahun pajak lebih besar dari jumlah kredit maka harus dilunasi sesuai dengan PPh pasal 29.3. PBB (pajak bumi dan bangunan)Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak atas tanah dan bangunan apotek, besarnya pajak ditentukan oleh luas tanah dan bangunan apotek.

4. Pajak kendaraan roda empat/duaPajak barang inventaris dikenakan terhadap kendaraan bermotor milik apotek. Cara menghitung, menyetorkan dan melaporkan pajak (PPh dan PPn) dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:1) Tahap I : Menghitung PPh atau PPn2) Tahap II : Memindahkan hasil perhitungan ke dalam formulir pajak3) Tahap III : Membayar (menyetorkan)nya ke bank yang ditunjuk4) Tahap IV : Melaporkan bukti pembayaran ke kantor pelayanan pajak5) Mengarsipkan5. Pajak reklamePajak reklame adalah pajak yang dibebankan pada apotek yang memasang reklame. Besar pajak reklame tergantung jenis papan reklame, ukuran, jumlah iklan, dan wilayah pemasangan reklame. Bila iklan apotek < 25% dari reklame pabrik, Apotek tidak dibebani membayar pajak reklame, Pajak ini dibayarkan satu tahun sekali.

2.5 Permodalan ApotekPertimbangan dalam menilai aspek keuangan meliputi:a. Modal minimalModal minimal adalah modal minimum yang diperlukan untuk pengadaan sarana dan prasarana sebagai syarat untuk diperolehnya izin apotek. Modal minimal digunakan untuk tujuan pengadaan aktiva tetap, aktiva lancar, biaya awal yang dibutuhkan untuk pendirian dan kas yang berupa uang kontan baik di tangan maupun di bank dalam bentuk rekening yang sewaktu-waktu dapat dipergunakan.b. Sumber modal, dapat diperoleh dari:1. Modal sendiri yaitu modal yang tidak mempunyai jangka waktu pengembalian, misalnya modal milik apoteker sendiri atau keluarga. 2. Modal kredit yaitu modal yang diperoleh dari pembeli kredit (kreditur) kepada penerima kreditur (debitur). Dalam hal ini ada hubungan kepercayaan antara kedua pihak bahwa dimasa mendatang debitur akan sanggup memenuhi segala sesuatu sesuai perjanjian. Sumber-sumber modal kredit ini antara lain adalah bank, teman sejawat, PBF yang umumnya berupa sediaan farmasi bersifat fast moving.Berdasarkan pada penggunaannya, modal dapat dibagi atas:a) Modal tetap (aktiva tetap), yaitu modal yang keadaannya relatif tetap misalnya gedung, tanah, mesin-mesin, kendaraan.b) Modal lancar (aktiva lancar) yaitu modal yang sewaktu-waktu dapat berubah misalnya uang tunai (kas/bank), piutang, barang dagangan, uang muka (Umar, 2004)

2.6 Strategi Pengembangan ApotekMerespon kondisi pasar yang semakin positif dan dampak-dampaknya, perusahaan atau badan usaha harus selalu mengubah strategi dalam pemsaran. Tidak terkecuali upaya yang dilakukan apotek. Sehubungan dengan itu, maka perlu dianalisis faktor apa saja yang mempengaruhi konsumen dalam mengambil keputusan membeli obat di apotek. Strategi pengembangan apotek:1. LokasiPemilihan lokasi dilihat dari lingkungan dimana kita akan mendirikan apotek tersebut. Hal ini terkait dengan peluang-peluang yang ada. Salah satunya di lingkungan tersebut belum banyak berdirinya apotek serta dilihat dari epidemiologi penyakit yang kemungkinan berkembang di daerah tersebut.2. SDM Pelayanansebagaiapoteker Senyum sapa Monitiring Pasien3. EvaluasiEvaluasi ini sangat penting karena dengan penilaian terhadap strategi -strategi yang telah diterapkan dapat terlihat pencapain dari strategi tersebut. Jika tujuan dari strategi tersebut tidak tercapai maka perlu strategi baru,namun jika tujuan strategi telah tercapai, tidak boleh hanya terpaku pada strategi itu saja tetapi perlu inovasi baru.4. KerjasamaApotek yang didirikan juga perlu bekerja sama dengan pelayanan kesehatan yang lainnya seperti apotek dan rumah sakit. Kerjasama dengan Apotek lain dalam hal jika obat di apotek tidak tersedia maka dapat membelinya di apotek yang lain. Begitu juga kerjasama dengan rumah sakit, rumah sakit dapat merekomendasikan kepada pasien untuk membeli obat yang tidak tersedia di apotek rumah sakit ke apotek diluar. Apotek juga bekerjasama dengan industri obat, mereka saling kerja menguntungkan. Dimana apotek langsung membeli barang dari industri dengan harga yang lebih murah dari pada membeli obat lewat PBF. Sementara industri terhadap apotek mendapatkan pelanggan tetap, serta dapat mengurangi biaya promosi yang harus dikeluarkan oleh industri, sehingga terjadi kerjasama yang saling mernguntungkan antara kedua belah pihak.2.7 Evaluasi Mutu Pelayanan Kefarmasian di ApotekA. Mutu Manajerial1. Metode Evaluasi a) Audit Audit merupakan usaha untuk menyempurnakan kualitas pelayanan dengan pengukuran kinerja bagi yang memberikan pelayanan dengan menentukan kinerja yang berkaitan dengan standar yang dikehendaki. Oleh karena itu, audit merupakan alat untuk meni