39
Triger: Mbah Kung dan Eyang Uti sudah menikah selama 47 tahun, keduanya berusia 66 tahun. Kedua anaknya sudah menikah dan tinggal terpisah. Selama 9 bulan terakhir, Eyang Uti tidak bisa mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon mereka. Kesehariannya, sebagian besar aktifitas di rumah dibantu oleh Mbah Kung, bahkan untuk memilih bajunya pun tidak bisa. Untuk berpakaian, Eyang Uti dibantu oleh Mbah Kung. Suatu sore, Mbah Kung meminta Eyang Uti untuk membelikan roti di warung, namun setelah ditunggu 1 jam, Eyang Uti tidak kunjung pulang. Tetangga mereka menemukan Eyang Uti terlihat gemetar, bingung dan berjalan tanpa tujuan yang jelas. Saat diperiksa oleh perawat, kesadaran baik, afebril, skor MMSE 20/30, mempunyai riwayat DM tipe 2, TD 160/100mmHg, N=80x/mnt, RR=18x/mnt, S=37,5oC, penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal. Mbah Kung mengatakan kesulitan merawat Eyang Uti dengan kondisi seperti ini. Dokter menginstruksikan pemberian anti kholinesterase, anti hipertensi. SLO: a) Definisi Alzheimer b) Epidemiologi Alzheimer c) Patofisiologi Alzheimer d) Faktor resiko Alzheimer e) Manifestasi klinis Alzheimer f) Pemeriksaan diagnosis Alzheimer g) Penatalaksanaan medis Alzheimer h) Asuhan keperawatan Alzheimer

Laporan Pjbl 2 Alzheimer

Embed Size (px)

DESCRIPTION

alzheimer

Citation preview

Triger:

Mbah Kung dan Eyang Uti sudah menikah selama 47 tahun, keduanya berusia 66

tahun. Kedua anaknya sudah menikah dan tinggal terpisah. Selama 9 bulan terakhir,

Eyang Uti tidak bisa mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon mereka.

Kesehariannya, sebagian besar aktifitas di rumah dibantu oleh Mbah Kung, bahkan

untuk memilih bajunya pun tidak bisa. Untuk berpakaian, Eyang Uti dibantu oleh Mbah

Kung. Suatu sore, Mbah Kung meminta Eyang Uti untuk membelikan roti di warung,

namun setelah ditunggu 1 jam, Eyang Uti tidak kunjung pulang. Tetangga mereka

menemukan Eyang Uti terlihat gemetar, bingung dan berjalan tanpa tujuan yang jelas.

Saat diperiksa oleh perawat, kesadaran baik, afebril, skor MMSE 20/30, mempunyai

riwayat DM tipe 2, TD 160/100mmHg, N=80x/mnt, RR=18x/mnt, S=37,5oC, penampilan

tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal. Mbah Kung mengatakan kesulitan

merawat Eyang Uti dengan kondisi seperti ini. Dokter menginstruksikan pemberian anti

kholinesterase, anti hipertensi.

SLO:

a) Definisi Alzheimer

b) Epidemiologi Alzheimer

c) Patofisiologi Alzheimer

d) Faktor resiko Alzheimer

e) Manifestasi klinis Alzheimer

f) Pemeriksaan diagnosis

Alzheimer

g) Penatalaksanaan medis

Alzheimer

h) Asuhan keperawatan Alzheimer

Analisis:

a) Definisi Alzheimer

Penyakit Alzheimer adalah suatu sindrom demensia yang ditandai dengan

penurunan ingatan dan kemampuan kognitif pasien secara progresif.

Penyakit Alzheimer adalah suatu gangguan otak progresif yang tidak dapat

dibalik, yang dicirikan dengan kemerosotan secara perlahan dari ingatan,

penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock, 1995).

Penyakit Alzheimer adalah penyakit syaraf yang sifatnya irreversible akibat

penyakit ini berupa kerusakan ingatan, penilaian, pengambilan keputusan,

orientasi fisik secara keseluruhan dan pada cara berbicara.

Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan

kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun ke atas.

Penyakit Alzheimer adalah penyakit yang dapat dimulai dengan hilangnya sedikit

ingatan dan kebingungan, tetapi pada akhirnya akan menyebabkan pelemahan

mental yang tidak dapat diubah dan menghancurkan kemampuan seseorang

dalam mengingat, berfikir , belajar dan berimajinasi.

Penyakit Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum dan terdapat

pada 50% sampai 70% dari semua kasus demensia. Ini adalah penyakit menurunnya

fungsi otak secara berangsur-angsur. Dengan mengecil atau menghilangnya sel-sel

otak, bahan-bahan abnormal bertimbun membentuk “kekusutan” di tengah sel otak,

dan sebagian “lapisan” di luar sel otak. Sel-sel abnormal itu mengganggu jalannya

pesan-pesan di dalam otak dan merusak hubungan antar sel otak. Sel otak pada

akhirnya mati dan ini berarti informasi tidak dapat diterima atau dicerna. Karena

penyakit Alzhaimer berefek pada setiap area di otak, fungsi-fungsi atau kemampuan-

kemampuan tertentu hilang.

b) Epidemiologi Alzheimer

Tahun 2000 : Kurang lebih 4 juta orang Amerika menderita Alzhaimer.

Tahun 2050 : Diperkirakan 7,4 – 14 juta orang mengidap Alzhaimer.

Biasanya terjadi di atas usia 60 tahun dan meningkat dengan bertambahnya

usia.

Kejadian pada wanita dua kali lebih banyak daripada kejadian pada pria.

3% wanita atau pria berumur 65 – 74 tahun mengalami Alzhaimer.

Presentase menjadi meningkat 50% pada usia 85 tahun ke atas.

Survival rate: 3 – 20 tahun.

Penyakit Alzhaimer dapat muncul pada semua umur, 96% dijumpai pada usia 40

tahun ke atas. Schoenburg dan Coleangus (1987) melaporkan insidensi berdasarkan

umur: 4,4/1000.000 pada usia 30-50 tahun, 95,8/100.000 pada usia > 80 tahun.

Angka prevalensi penyakit ini per 100.000 populasi sekitar 300 pada kelompok usia

60-69 tahun, 3200 pada kelompok usia 70-79 tahun, dan 10.800 pada usia 80

tahun. Diperkirakan pada tahun 2000 terdapat 2 juta penduduk penderita penyakit

alzheimer. Sedangkan di Indonesia diperkirakan jumlah usia lanjt berkisar, 18,5 juta

orang dengan angka insidensi dan prevalensi penyakit alzheimer belum diketahui

dengan pasti.

Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan

laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama

dibandingkan laki-laki. Dari beberapa penelitian tidak ada perbedaan terhadap jenis

kelamin.

c) Patofisiologi Alzheimer

Keterangan: Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa serabut

neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan tentang adanya

kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal

Keterangan: Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal

d) Faktor resiko

Usia

Meskipun rata-rata umur serangan pikun kira-kira 80 tahun, onset penyakit

menggambarkan bahwa hal ini sebenarnya telah terjadi pada usia 60-65 tahun, ini

dapat terjadi akan tetapi jarang. Suatu komunitas di Perancis telah diteliti bahwa

serangan terjadi pada usia sebelum 61 tahun dengan prevalensi 41 pasien tiap

100.000.

Faktor Genetik

Beberapa peneliti mengungkapkan 50% prevalensi kasus alzheimer ini diturunkan

melalui gen autosomal dominant. Individu keturunan garis pertama pada keluarga

penderita alzheimer mempunyai resiko menderita demensia 6 kali lebih besar

dibandingkan kelompok kontrol normal

Pemeriksaan genetika DNA pada penderita alzheimer dengan familial early onset

terdapat kelainan lokus pada kromosom 21 diregio proximal log arm, sedangkan pada

familial late onset didapatkan kelainan lokus pada kromosom 19. Begitu pula pada

penderita down syndrome mempunyai kelainan gen kromosom 21, setelah berumur 40

tahun terdapat neurofibrillary tangles (NFT), senile plaque dan penurunan Marker

kolinergik pada jaringan otaknya yang menggambarkan kelainan

histopatologi pada penderita alzheimer.

Hasil penelitian penyakit alzheimer terhadap anak kembar menunjukkan 40-50% adalah

monozygote dan 50% adalah dizygote. Keadaan ini mendukung bahwa faktor genetik

berperan dalam penyaki

alzheimer. Pada sporadik non familial (50-70%), beberapa penderitanya ditemukan

kelainan lokus kromosom 6, keadaan ini menunjukkan bahwa kemungkinan faktor

lingkungan menentukan ekspresi genetika pada alzheimer.

Faktor Infeksi

Ada hipotesa menunjukkan penyebab infeksi virus pada keluarga penderita alzheimer

yang dilakukan secara immuno blot analisis, ternyata diketemukan adanya antibodi

reaktif. Infeksi virus tersebut menyebabkan infeksi pada susunan saraf pusat yang

bersipat lambat, kronik dan remisi. Beberapa penyakit infeksi seperti Creutzfeldt-Jacob

disease dan kuru, diduga berhubungan dengan penyakit alzheimer. Hipotesa tersebut

mempunyai beberapa persamaan antara lain:

Manifestasi klinis yang sama.

Tidak adanya respons imun yang spesifik.

Adanya plak amyloid pada susunan syaraf pusat.

Timbulnya gejala mioklonus.

Adanya gambaran spongioform.

Abnormalitas pada gen ApolipoproteinE (ApoE) terutama pada ras Kaukasian.

Faktor Lingkungan

Ekmann (1988), mengatakan bahwa faktor lingkungan juga dapat berperan dalam

penyakit alzheimer. Faktor lingkungan antar alain, aluminium, silicon, mercury, zinc.

Aluminium merupakan neurotoksik potensial pada susunan saraf pusat yang ditemukan

neurofibrillary tangles (NFT) dan senile plaque (SPINALIS). Hal tersebut diatas belum

dapat dijelaskan secara pasti, apakah keberadaan aluminum adalah penyebab

degenerasi neurosal primer atau sesuatu hal yang tumpang tindih. Pada penderita

alzheimer, juga ditemukan keadan ketidakseimbangan merkuri, nitrogen, fosfor, sodium,

dengan patogenesa yang belum jelas.

Ada dugaan bahwa asam amino glutamat akan menyebabkan depolarisasi melalui

reseptor N-methy D-aspartat sehingga kalsium akan masuk ke intraseluler (Cairan-

influks) danmenyebabkan kerusakan

metabolisma energi seluler dengan akibat kerusakan dan kematian neuron.

Faktor Imunologis

Behan dan Felman (1970) melaporkan 60% pasien yang menderita alzheimer didapatkan

kelainan serum protein seperti penurunan albumin dan peningkatan alpha protein, anti

trypsin alphamarcoglobuli dan haptoglobuli.

Heyman (1984), melaporkan terdapat hubungan bermakna dan meningkat dari

penderita alzheimer dengan penderita tiroid. Tiroid Hashimoto merupakan penyakit

inflamasi kronik yang sering didapatkan pada wanita muda karena peranan faktor

immunitas

Faktor Trauma

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan penyakit alzheimer dengan trauma

kepala. Hal ini dihubungkan dengan petinju yang menderita demensia pugilistik, dimana

pada otopsinya ditemukan banyak neurofibrillary tangles.

Faktor Neurotransmiter

Perubahan neurotransmitter pada jaringan otak penderita alzheimer mempunyai

peranan yang sangat penting seperti:

Asetilkolin

Barties et al (1982) mengadakan penelitian terhadap aktivitas spesifik neurotransmiter

dengan cara biopsi sterotaktik dan otopsi jaringan otak pada penderita alzheimer

didapatkan penurunan aktivitas kolinasetil transferase, asetikolinesterase dan transport

kolin serta penurunan biosintesa asetilkolin. Adanya defisit presinaptik dan postsynaptik

kolinergik ini bersifat simetris pada korteks frontalis, temporallis superior, nukleus

basalis, hipokampus. Kelainan neurottansmiter asetilkoline merupakan kelainan yang

selalu ada dibandingkan jenis neurottansmiter lainnyapd penyakit alzheimer, dimana

pada jaringan otak/biopsinya selalu didapatkan kehilangan cholinergik Marker. Pada

penelitian dengan pemberian scopolamin pada orang normal, akan menyebabkan

berkurang atau hilangnya daya ingat. Hal ini sangat mendukung hipotesa kolinergik

sebagai patogenesa penyakit alzheimer

Noradrenalin

Kadar metabolisma norepinefrin dan dopimin didapatkan menurun pada jaringan otak

penderita alzheimer. Hilangnya neuron bagian dorsal lokus seruleus yang merupakan

tempat yang utama noradrenalin pada korteks serebri, berkorelasi dengan defisit

kortikal noradrenergik. Bowen et al(1988), melaporkan hasil biopsi dan otopsi jaringan

otak penderita alzheimer menunjukkan adanya defisit noradrenalin pada presinaptik

neokorteks. Palmer et al(1987), Reinikanen (1988), melaporkan konsentrasi

noradrenalin menurun baik pada post dan ante-mortem penderita alzheimer.

Dopamin

Sparks et al (1988), melakukan pengukuran terhadap aktivitas neurottansmiter regio

hipothalamus, dimana tidak adanya gangguan perubahan aktivitas dopamin pada

penderita alzheimer. Hasil ini masih kontroversial, kemungkinan disebabkan karena

potongan histopatologi regio hipothalamus setia penelitian berbeda-beda.

Serotonin

Didapatkan penurunan kadar serotonin dan hasil metabolisme 5 hidroxi-indolacetil acid

pada biopsi korteks serebri penderita alzheimer. Penurunan juga didapatkan pada

nukleus basalis dari meynert.

Penurunan serotonin pada subregio hipotalamus sangat bervariasi, pengurangan

maksimal pada anterior hipotalamus sedangkan pada posterior peraventrikuler

hipotalamus berkurang sangat minimal. Perubahan kortikal serotonergik ini

berhubungan dengan hilangnya neuron-neuron dan diisi oleh formasi NFT pada nukleus

rephe dorsalis.

MAO (Monoamine Oksidase)

Enzim mitokondria MAO akan mengoksidasi transmitter mono amine. Aktivitas normal

MAO terbagi 2 kelompok yaitu MAO A untuk deaminasi serotonin, norepineprin dan

sebagian kecil dopamin,

sedangkan MAO B untuk deaminasi terutama dopamin. Pada penderita alzheimer,

didapatkan peningkatan MAO A pada hipothalamus dan frontais sedangkan MAO B

meningkat pada daerah temporal dan menurun pada nukleus basalis dari meynert.

Gen E4 multipel

Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit

Alzheimer. Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan

tiga kali lebih besar daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu

yang memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar

daripada yang tidak memiliki gen tersebut. Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini

tidak direkomendasikan untuk saat ini, karena gen tersebut ditemukan juga pada

individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada seluruh penderita

demensia.

e) Manifestasi klinis Alzheimer

Penyakit ini menyebabkan penurunan kemampuan intelektual penderita secara

progresif yang mempengaruhi fungsi sosialnya, meliputi:

Penurunan ingatan jangka pendek atau kemampuan belajar atau menyimpan informasi.

Penurunan kemampuan berbahasa : kesulitan menemukan kata atau kesulitan

memahami pernyataan atau petunjuk.

Ketidakmampuan menggambar atau mengenal gambar dua-tiga dimensi, dll.

Defisit Kognitif Gejala psikiatrik non-kognitif

Memori loss: susah mengingat, agnosia,

kehilangan barang

Depresi

Dysphasia: Anomia (susah mengingat

nama benda atau orang), aphasia

Gejala psikotik: halusinasi, delusi, curiga

Dispraxia/apraxia Gangguan non-psikotik yang merusak:

Agresif (fisik maupun verbal),

hiperreaktif, tidak kooperatif,

menentang, melakukan kegiatan

berulang-ulang

Disorientation: waktu, tempat, tidak

mengenal keluarga, teman, diri sendiri

Tidak bisa menghitung

Impaired judgmen & problem solving skills

Terdapat beberapa stadium perkembangan penyakit Alzheimer yaitu:

Stadium I (Lama penyakit 1 – 3 tahun)

Memory : new learning defective, remote recall mildly impaired

Visuospatial skills : topographic disorientation, poor complex contructions

Language : poor woordlist generation, anomia

Personality : indifference,occasional irritability

Psychiatry feature : sadness, or delution in some

Motor system : normal

EEG : normal

CT/MRI : normal

PET/SPECT : bilateral posterior hypometabolism/hyperfusion

Stadium II (lama penyakit 3 – 10 tahun)

Memory : recent and remote recall more severely impaired

Visuospatial skills : spatial disorientation, poor contructions

Language : fluent aphasia

Calculation : acalculation

Personality : indifference, irritability

Psychiatry feature : delution in some

Motor system : restlessness, pacing

EEG : slow background rhythm

CT/MRI : normal or ventricular and sulcal enlargeent

PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

Stadium III (lama penyakit 8 – 12 tahun)

Intelectual function : severely deteriorated

Motor system : limb rigidity and flexion poeture

Sphincter control : urinary and fecal

EEG : diffusely slow

CT/MRI : ventricular and sulcal enlargeent

PET/SPECT : bilateral parietal and frontal hypometabolism/hyperfusion

Tahapan penurunan kognitif menurut GDS

Stage Level Deskripsi

Stage 1 normal Tidak ada perubahan fungsi kognitif

Stage 2 pelupa Mengeluh kehilangan sesuatu atau lupa nama teman,

tetapi tidak mempengaruhi pekerjaan dab fungsi sosial.

Umumnya merupakan bagian dari proses penuaan yang

normal

Stage 3 Early

confusion

Adanya penurunan kognisi yang menyebabkan gangguan

fungsi sosial dan kerja. Anomia, kesulitan mengingat kata

yang tepat dalam percakapan, dan sulit mengingat. Pasien

mulai sering bingung/anxiety

Stage 4 Late confusion

(Early AD)

Pasien tidak bisa lagi mengatur keuangan atau aktivitas

rumah tangga, sulit mengingat peristiwa yang baru terjadi,

mulai meninggalkan tugas yang sulit, tetapi biasanya

masih menyangkal mempunyai masalah memori

Stage 5 Early

dementia

(moderate

AD)

Pasien tidak bisa lagi bertahan tanpa bantuan orang lain.

Sering terjadi disorientasi (waktu, tempat), sulit memilih

pakaian, lupa kejadian masa lalu. Tetapi pasien pada

umumnya masih menyangkal punya masalah, hanya

biasanya jadi curigaan atau mudah depresi

Stage 6 Middle

dementia

(moderately

severe AD)

Pasien butuh bantuan untuk kegiatan sehari-hari(mandi,

berpakaian, toileting), lupa nama keluarga, sulit

menghitung mundur dari angka 10. Mulai muncul gejala

agitasi, paranoid, dan delusion

Stage 7 Late dementia Pasien tidak bisa bicara dengan jelas (mungkin cuma

bergumam atau teriak), tidak bisa jalan, atau makan

sendiri. Inkontinensi urin dan feses. Kesadaran bisa

berkurang dan akhirnya koma.

f) Pemeriksaan diagnosis Alzheimer

Terdapat beberapa kriteria untukdiagnosa klinis penyakit alzheimer yaitu:

Kriteria diagnosis tersangka penyakit Alzheimer terdiri dari:

Demensia ditegakkan dengan pemeriksaan klinik dan pemeriksaan status mini

mental

atau beberapa pemeriksaan serupa, serta dikonfirmasikan dengan test

neuropsikologik

Didapatkan gangguan defisit fungsi kognisi >2

Tidak ada gangguan tingkat kesadaran

Awitan antara umur 40-90 tahun, atau sering >65 tahun

Tidak ada kelainan sistematik atau penyakit otak lainnya

Diagnosa tersangka penyakit Alzheimer ditunjang oleh:

Perburukan progresif fungsi kognisi spesifik seperti berbahasa, ketrampilan

motorik, dan persepsi

ADL terganggu dan perubahan pola tingkah laku

Adanya riwayat keluarga, khususnya kalau dikonfirmasikan dengan

neuropatologi

Pada gambaran EEG memberikan gambaran normal atau perubahan non spesifik

seperti peningkatan aktivitas gelombang lambat

Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan atropu serebri

Scales used in the Management of Alzheimer’s Disease

mm

Menurut Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003: beberapa langkah praktis yang dapat

dilakukan antara lain :

Riwayat medik umum

Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan medik yang dapat

menyebabkan demensia seperti hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit

jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan

arteriosklerosis perifer mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara biasanya

pada penderita demensia sering menoleh yang disebut head turning sign.

Riwayat neurologi umum

Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk mengetahui kondisi-kondisi khusus

penyebab demensia seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi susunan saraf

pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak karena tumor atau hidrosefalus. Gejala

penyerta demensia seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan, nyeri kepala

saat awitan demesia lebih mengindikasikan kelainan struktural dari pada sebab

degeneratif.

Riwayat neurobehavioral

Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk diagnosis demensia atau tidaknya

seseorang. Ini meliputi komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka

panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa, fungsi eksekutif, kemampuan

mengenal wajah orang, bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.

Riwayat psikiatrik

Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah penyandang pernah mengalami

gangguan psikiatrik sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat depresi,

psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran

paranoid. Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif, hal ini disebut

pseudodemensia.

Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan

Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan ensefalopati toksik dan gangguan

kognitif walaupun laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi, alkoholism

kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak spesifik untuk demensia Alzheimer.

Perlu diketahui bahwa anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik dapat

menurunkan fungsi kognitif.

Riwayat keluarga

Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden demensia di keluarga, terutama

hubungan keluarga langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.

Pemeriksaan objektif

Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan fisik umum,

pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis, pemeriksaan status fungsional

dan pemeriksaan psikiatrik.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin

Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia ditegakkan

untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada demensia reversible,

walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia Alzheimer dengan hasil

laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan

laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis,

elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat.

Imaging

Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) telah menjadi

pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih

dipertanyakan.Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat

kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita alzheimer antemortem.

Pemeriksaan ini berperan dalam menyingkirkan kemungkinan adanya penyebab

demensia lainnya selain alzheimer seperti multiinfark dan tumor serebri. Atropi kortikal

menyeluruh danpembesaran ventrikel keduanya merupakan gambaran marker dominan

yang sangat spesifik pada penyakit ini. Tetapi gambaran ini juga didapatkan pada

demensia lainnya seperti multiinfark, parkinson, binswanger sehingga kita sukar untuk

membedakan dengan penyakit alzheimer.

Penipisan substansia alba serebri dan pembesaran ventrikel berkorelasi dengan

beratnya gejala klinik danhasil pemeriksaan status mini mental. Pada MRI ditemukan

peningkatan intensitas pada daerah kortikal dan periventrikuler (Capping anterior horn

pada ventrikel lateral). Capping ini merupakan predileksi untuk demensia awal. Selain

didapatkan kelainan di kortikal, gambaran atropi juga terlihat pada daerah subkortikal

seperti adanya atropi hipokampus, amigdala, serta pembesaran sisterna basalis dan

fissura sylvii. Seab et al, menyatakan MRI lebih sensitif untuk membedakan demensia

dari penyakit alzheimer dengan penyebab lain, dengan memperhatikan ukuran (atropi)

dari hipokampus.

Pemeriksaan EEG

Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada sebagian

besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran

perlambatan difus dan kompleks periodik.

Pemeriksaan cairan otak

Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut, penyandang

dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia presentasi

atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.

Pemeriksaan genetika

Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik yang memiliki

3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel mengkode bentuk APOE yang

berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer

tipe awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4

sebagai penanda semakin meningkat.

Neuropatologi

Diagnosa definitif tidak dapat ditegakkan tanpa adanya konfirmasi neuropatologi. Secara

umum didapatkan atropi yang bilateral, simetris, sering kali berat otaknya berkisar 1000

gr (850-1250gr). Beberapa penelitian mengungkapkan atropi lebih menonjol pada lobus

temporoparietal, anterior frontal, sedangkan korteks oksipital, korteks motorik primer,

sistem somatosensorik tetap utuh (Jerins 1937).

Pemeriksaan neuropsikologik

Penyakit alzheimer selalu menimbulkan gejala demensia. Fungsi pemeriksaan

neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif

umum danmengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi. Test psikologis ini juga

bertujuan untuk menilai fungsi yang ditampilkan oleh beberapa bagian otak yang

berbeda-beda seperti gangguan memori, kehilangan ekspresi, kalkulasi, perhatian dan

pengertian berbahasa. Evaluasi neuropsikologis yang sistematik mempunyai fungsi

diagnostik yang penting.

PET (Positron Emission Tomography)

Pada penderita alzheimer, hasil PET ditemukan penurunan aliran darah, metabolisma

O2, dan glukosa didaerah serebral. Up take I.123 sangat menurun pada regional parietal,

hasil ini sangat berkorelasi dengan kelainan fungsi kognisi danselalu dan sesuai dengan

hasil observasi penelitian neuropatologi.

SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)

Aktivitas I. 123 terendah pada refio parieral penderita alzheimer. Kelainan ini berkolerasi

dengan tingkat kerusakan fungsional dan defisit kogitif. Kedua pemeriksaan ini (SPECT

dan PET) tidak digunakan secara rutin.

g) Penatalaksaan medis Alzheimer

Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada

penderita dankeluarga. Pemberian obat stimulan, vitamin B, C, dan E belum mempunyai

efek yang menguntungkan.

Inhibitor kolinesterase

Beberapa tahun terakhir ini, banyak peneliti menggunakan inhibitor untuk pengobatan

simptomatik penyakit alzheimer, dimana penderita alzheimer didapatkan penurunan

kadar asetilkolin. Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti

kolinesterase yang bekerja secara sentral seperti fisostigmin, THA

(tetrahydroaminoacridine). Pemberian obat ini dikatakan dapat memperbaiki memori

dan apraksia selama pemberian berlangsung. Beberapa peneliti menatakan bahwa obat-

obatan anti kolinergik akan memperburuk penampilan intelektual pada orang normal

dan penderita alzheimer.

Thiamin

Penelitian telah membuktikan bahwa pada penderita alzheimer didapatkan penurunan

thiamin pyrophosphatase dependent enzym yaitu 2 ketoglutarate (75%) dan

transketolase (45%), hal ini disebabkan kerusakan neuronal pada nukleus basalis.

Pemberian thiamin hydrochlorida dengan dosis 3 gr/hari selama 3 bulan peroral,

menunjukkan perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo

selama periode yang sama.

Nootropik

Nootropik merupakan obat psikotropik, telah dibuktikan dapat memperbaiki fungsi

kognisi dan proses belajar pada percobaan binatang. Tetapi pemberian 4000 mg pada

penderita alzheimer tidak menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna.

Klonidin

Gangguan fungsi intelektual pada penderita alzheimer dapat disebabkan kerusakan

noradrenergik kortikal. Pemberian klonidin (catapres) yang merupakan noradrenergik

alfa 2 reseptor agonis dengan dosis maksimal 1,2 mg peroral selama 4 minggu,

didapatkan hasil yang kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif.

Haloperiodol

Pada penderita alzheimer, sering kali terjadi gangguan psikosis (delusi, halusinasi) dan

tingkah laku. Pemberian oral Haloperiod 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan

memperbaiki gejala tersebut. Bila penderita alzheimer menderita depresi sebaiknya

diberikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari).

Acetyl L-Carnitine (ALC)

Merupakan suatu subtrate endogen yang disintesa didalam miktokomdria dengan

bantuan enzym ALC transferase. Penelitian ini menunjukkan bahwa ALC dapat

meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase. Pada pemberian

dosis 1-2 gr/hari/peroral selama 1 tahun dalam pengobatan, disimpulkan bahwa dapat

memperbaiki atau menghambat progresifitas kerusakan fungsi kognitif.

h) Asuhan keperawatan Alzheimer

Identitas Pasien:

Nama : Eyang Uti

Umur : 66 tahun

Jenis kelamin : P

Pendidikan : -

Pekerjaan : Ibu rumah tangga.

Status pernikahan : kawin

Alamat : -

Diagnosa medis : Alzheimer

Tanggal masuk : -

Tanggal pengkajian : -

Status kesehatan saat ini:

Keluhan utama: Klien tidak bisa mengingat nama anak-anaknya dan juga nomor telepon

mereka. Kesehariannya, sebagian besar aktifitas di rumah dibantu oleh suaminya,

bahkan untuk memilih bajunya pun tidak bisa.

Lama keluhan: 9 bulan terakhir.

Kualitas keluhan: - (tergantung stadium)

Faktor pencetus: Usia (66 tahun)

Keluhan saat pengkajian: bingung (mungkin juga: gemetar)

Riwayat kesehatan saat ini: Selama 9 bulan terakhir, klien tidak bisa mengingat nama

anak-anaknya dan juga nomor telepon mereka. Kesehariannya, sebagian besar aktifitas

di rumah dibantu oleh suaminya.

Riwayat kesehatan terdahulu: - (utamanya yang berhubungan dengan faktor resiko dan

gejala awal Alzheimer) riwayat DM tipe 2.

Pemeriksaan fisik:

Keadaan umum: penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal.

Kesadaran: baik

Head to toe: penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal.

Tampilan: penampilan tidak rapi, kancing baju tidak urut, rambut gimbal.

TTV: TD 160/100mmHg, N=80x/mnt, RR=18x/mnt, S=37,5oC

skor MMSE 20/30

Analisis data:

Data Etiologi Masalah

keperawatan

Kesehariannya,

sebagian besar

aktifitas di rumah

dibantu oleh suami

klien, bahkan untuk

memilih bajunya pun

tidak bias.

Berpakaina dibantu

oleh suami klien.

Tetangga mereka

menemukan klien

terlihat gemetar,

bingung dan berjalan

tanpa tujuan yang

jelas.

DO: umur 66 tahun,

kesadaran baik,

afebril, skor MMSE

20/30, mempunyai

riwayat DM tipe 2, TD

160/100mmHg,

Kemudian terjadi perubahan

kemampuan merawat diri yaitu

menurun Defisit perawat diri:

Berpakaian

Defisit perawat diri:

Berpakaian

N=80x/mnt,

RR=18x/mnt,

S=37,5oC, penampilan

tidak rapi, kancing

baju tidak urut,

rambut gimbal.

9 bulan terakhir,

klien tidak bisa

mengingat nama

anak-anaknya dan

juga nomor telepon

mereka

Kesehariannya,

sebagian besar

aktifitas di rumah

dibantu oleh suami

klien, bahkan untuk

memilih bajunya pun

tidak bias.

Berpakaina dibantu

oleh suami klien.

Tetangga mereka

menemukan klien

terlihat gemetar,

bingung dan berjalan

tanpa tujuan yang

jelas.

DO: umur 66 tahun,

kesadaran baik,

afebril, skor MMSE

20/30, mempunyai

riwayat DM tipe 2, TD

Selanjutnya tidak mampu

mengidentifikasikan bahaya dalam

lingkungan, disorientasi, bingung

resiko cidera

Resiko cidera

160/100mmHg,

N=80x/mnt,

RR=18x/mnt,

S=37,5oC, penampilan

tidak rapi, kancing

baju tidak urut,

rambut gimbal.

DS:

9 bulan terakhir,

klien tidak bisa

mengingat nama

anak-anaknya dan

juga nomor telepon

mereka

Kesehariannya,

sebagian besar

aktifitas di rumah

dibantu oleh suami

klien, bahkan untuk

memilih bajunya pun

tidak bias.

Berpakaina dibantu

oleh suami klien.

Tetangga mereka

menemukan klien

terlihat gemetar,

bingung dan berjalan

tanpa tujuan yang

jelas.

DO: umur 66 tahun,

kesadaran baik,

afebril, skor MMSE

20/30, mempunyai

riwayat DM tipe 2, TD

160/100mmHg,

N=80x/mnt,

RR=18x/mnt,

S=37,5oC, penampilan

Sehingga afasia, disfasia hambatan

komunikasi verbal

Hambatan

komunikasi verbal

tidak rapi, kancing

baju tidak urut,

rambut gimbal.

Dx Tujuan dan KH (NOC) Intervensi (NIC)

I Dalam kurun waktu sekian kali

24 jam, pasien mampu

menunjukkan peningkatan

perawatan diri: berpakaian

KH:

Memilih pakaian dan

mengambilanya dari lemari

atau laci baju

Menritsleting dan mengancing

pakaian

Pantau tingkat kekuatan dan toleransi terhadap

aktivitas

Pantau peningkatan atau penurunan

kemampuan untuk berpakaian dan melakukan

perawatan rambut

Pantau defisit sensori, kognitif, atau fisik yang

dapat membuat kesulitan dalam berpakaian

pada pasien

Dukung kemandirian dalam

berpakaian/berhias, bantu pasien jika

diperlukan

Berbicara denga pelan dan pertahankan arahan

yang sederhana

Beri kesempatan untuk keberhasilan kecil

Dukung pasien untuk mengatur langkahnya

sendiri saat berpakaian/merapikan diri

Bantu pasien memilih pakaian yang mudah

dipakai dan dilepas

Berikan keamanan dengan mempertahankan

lingkungan yang teratur dan pencahayaan yang

baik

Berikan pakaian pasien pada tempat yang

mudah dijangkau

Fasilitasi pasien untuk menyisir rambut, bila

memungkinkan

Pertahankan privasi saat pasien berpakaian

Bantu pasien untuk menalikan, mengancingkan,

dan merisleting pakaian, jika diperlukan

Gunakan alat bantu tambahan untuk menarik

pakaian, jika perlu

II Dalam kurun waktu sekian kali

24 jam, pasien dapat

mengendalikan resiko cidera

dengan lebih baik

KH:

Mengidentifikasikan resiko

yang meningkatkan

kerentanan terhadap cidera

Menghindari cidera fisik

Memilih berada pada

lingkungan yang aman

Identifikasi faktor yang mempengaruhi

kebutuhan utama, misalnya perubahan status

mental, defisit motorik atau sensorik

Identifikasi faktor lingkungan yang

memungkinkan resiko terjatuh

Periksa apakah pasien memakai pakaian yang

terlalu ketat, mengalami luka, luka bakar, atau

memar

Gunakan alarm untuk mengingatkan pemberi

perawat bila pasien bangun dari tempat tidur

atau meninggalkan ruangan

Bila diperlukan, gunakan restrain fisik untuk

membatasi resiko jatuh

Jauhi bahaya lingkungan

III Dalam kurun waktu sekian kali

24 jam, klien mampu mulai

mampu mengenal pesan yang

diterima

KH:

Menunjukkan ekspresi

mengerti atau paham

Mengunakan kontak mata

Kaji dan dokumentasikan :

Bahasa utama

Kemampuan berbicara, mendengar, menulis,

membaca, dan memahami

Kemampuan untuk melakukan komunikasi

dengan staf dan keluarga

Berespons terhadap sentuhanm jarak spasial,

budaya, peran pria dan wanita yang dapat

memengaruhi komunikasi

Menjelaskan kepada pasien mengapa ia tidak

dapat berbicara atau memahami jika perlu

Anjurkan kunjungan keluarga secara teratur

untuk memberi stimulasi komunikasi

Dorong pasien untuk berkomunikasi secara

perlahan dan mengulangi permintaan

Bicara perlahan, jelas, dan tenang , menghadap

pasien

Dapatkan perhatian pasien yang mengalami

penurunan pendengaran melalui sentuhan

Libatkan pasien dan keluarga dalam

mengembangkan rencana komunikasi

Berikan perawatan dengan sikap yang rileks,

tidak terburu-buru, dan tidak menghakimi

Dengarkan dengan penuh perhatian

Referensi

Nanda. (2009-2011). Panduan Diagnosa Keperawatan. Prima medika.

Price. A. Sylvia,Lorraine. M. Wilsion,2006.PATOFISIOLOGI konsep klinis proses-proses

penyakit Edisi 6 volume 2. Jakarta: EGC

Price. A. Sylvia,Lorraine. M. Wilsion,2006.PATOFISIOLOGI konsep klinis proses-proses

penyakit Edisi 4 buku 2. Jakarta: EGC

Suzanne C.Smeltzer & Brenda G.Bare.2001. KMB vol 3. Hal.2194 BAB 60 UNIT 15.

Jakarta: EGC

Wilkinson, J.M & Ahern, N.R. (2012). Buku saku Diagnosis Keperawatan edisi 9. Jakarta:

EGC

Wilson M,Lorraine,sylvia A. Price.2005. Patofisisologi. Jakarta: EGC

Laporan PJBL

ALZHEIMER

Oleh:

Irma Kurniawati

115070200111019

PSIK REG 1

ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2012