Upload
lalu-sabardi
View
34
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
SUMBER DANA BOMPTN
PELATIHAN PENGELOLAAN POTENSI DESA DAN PENYUSUNAN PROGRAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA GUNUNG RAJAK KABUPATEN LOMBOK TIMUR
OLEH
DR.H.LALU SABARDI.SH.,MS (0004035508)H.SUPARDAN MANSYUR.SH.,MH (0031125718)
DRS. USMAN. M.Si (0012085608)MUZAKIR SALAT.SH.,MH (0023097904)
KELOMPOK BIDANG ILMUHUKUM ADAT
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MATARAM2014
HALAMAN PENGESAHAN
1 Judul PPM : PELATIHAN PENGELOLAAN POTENSI DESA DAN PENYUSUNAN PROGRAM PEMBANGUNAN DESA DI DESA GUNUNG RAJAK KABUPATEN LOMBOK TIMUR
2 Ketua PengusulNama :NIP :Jabatan/ Golongan :Jurusan/ Fakultas :Perguruan Tinggi :Bidang Keahlian :Alamat Rumah/Tlp/E-mil :
Dr. H. Lalu Sabardi.SH.MS195503041984031002Lektor Kepala/IVbHukum Masyarakat/Fakultas HukumUniversitas MataramHukum AdatJln. Serayu III/4 Mataram/[email protected]
3 Jumlah Anggota TimAnggota 1 :Anggota 2 :Anggota 3 :
H.SUPARDAN MANSYUR.SH.,MH (0031125718)DRS. USMAN. M.Si (0012085608)MUZAKIR SALAT.SH.,MH (0023097904)
4. Lokasi KegiatanDesa :Kabupaten :Provinsi :
Gunung RajakLombok TimurNusa Tenggara Barat
5 Luaran Yang dihasilkan : Tersusunnya Program Desa6 Jangka Waktu Pelaksanaan
kegiatan :
5 (lima) minggu
7 Biaya Total Rp. 2.500.000,- (Dua Juta Lima ratus Ribu Rupiah)
Mataram, Agustus 2014
MengetahuiFakultas Hukum Universitas
Mataram
Prof. Dr.H.M.Galang Asmara. SH.M.Hum
NIP. 195907031989031002
Ketua Tim
Dr. H.Lalu Sabardi.SH.MSNIP.195503041984031002
Mengetahui LPM UNRAMKetua,
DRS. EDDY ACHMAD.MSNIP195512121985021001
ABSTRAK
Penyelenggaraan pembangunan desa yang diselenggarakan saat ini seringkali tidak
bertumpu pada potensi yang desa, tetapi sering bertumpu pada harapan pembagian
dana dari APBN, sehingga pembangunan desa yang demikian sering kali menyebabkan
Desa yang bersangkutan kesulitan dalam menyusun program pembangunan Desa.
Dalam masa otonomi daerah sekarang ini dana pembangunan desa semakin
diperbesar baik melalui APBN maupun APBD. Untuk maksud tersebut perlu dilakukan
pelatihan perencanaan pembangunan Desa, agar penggunaan anggaran yang ada
dapat efektif dan memenuhi sasaran. Pelaksanaan perencanaan pembangunan Desa di
Desa Gunung Rajak, belum mengacu RKP (Rencana Kerja Pembangunan) dan
RENSRTA Desa, sehingga tidak diketahui dengan jelas manfaat dari perencanaan.
RINGKASAN
Adanya alokasi anggaran dari APBN untuk pembangunan desa, merupakan
kebijakan Pemerintah yang telah dituangkan dalam Pasal 71 UU tentang
Pemrintahan Desa. Setiap desa akan mendapatkan alokasi dana dari APBN
sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota,
dalam APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK). Nilainya
disesuaikan dengan kondisi geografis desa, jumlah penduduk dan angka
kemiskinan. Selama ini pendapatan asli desa bersumber dari pendapatan asli
desa yang terdiri dari : hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong,
dan lain-lain pendapatan asli desa, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi
daerah kabupaten/kota, alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dana
perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah Kabupaten/kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga;
danlain-lain pendapatan desa yang sah. Adanya pendapatan yang bersumber dari
alokasi dana APBN tentu saja merupakan kebijakan baru yang positif dan merupakan
poin penting bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Desa
menghadapi banyak masalah, antara lain kemiskinan, derajat kesehatan masyarakat
yang memprihatinkan, tingkat pendidikan yang rendah, angka pengangguran yang
cukup tinggi, rendahnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa, kerusakan
lingkungan alam, kerusakan infrastruktur dll. Dengan adanya tambahan pendapatan
desa yang signifikan maka persoalan-persoalan tersebut akan terus ditangani dan
dicarikan solusinya sesuai dengan prioritas dan kewenangan desa. Apalagi
perencaaan, alokasi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban penggunaan dana
dilaksanakan oleh desa itu sendiri, tentu saja ini merupakan aksi yang nyata
untuk pemberdayaan masyarakat. Namun konsekwensi dari penyerahan dan
pendelegasian pengelolaan keuangan ini harus diikuti dengan peningkatan kapasitas
pengelola melalui pelatihan, pembinaan penatausahaan keuangan desa disertai
dengan pengawasan yang kontinyu agar dana dapat dikelola secara akuntabel,
transparan, tepat waktu, tepat mutu, tepat administrasi dan tepat sasaran.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, Penyuluhan Hukum yang berjudul :
PELATIHAN PENGELOLAAN POTENSI DESA DAN PENYUSUNAN PROGRAM
PEMBANGUNAN DESA DI DESA GUNUNG RAJAK KABUPATEN LOMBOK TIMUR,
telah selesai dilaksanakan.
Sambutan antusias aparatur Desa tentang topik penyuluhan ini menyebabkan
pelaksanaan penyuluhan ini menjadi lancar. Namun demikian secara administratif harus
disampaikan terima kasih kepada :
1. Ketua LPPM Universitas Mataram atas proses administrasinya sehingga
penyuluhan ini dapat diselenggarakan.
2. Dekan Fakultas Hukum Universitas Mataram yang kemudian merealisasikan
program penyuluhan ini dengan menerbitkan Surat Tugas dan Surat
Pengantar yang ditujukan kepada Kepala Desa Sakra.
3. Kepala Desa Gunung Rajak atas penerimaannnya yang baik sehingga
program ini dapat dilaksanakan dengan baik.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu-persatu juga atas bantuannya
yang tak ternilai, seperti sekreratis Desa Sakra yang telah dengan seksama
menyiapkan kebutuhan penyuluhan ini.
Semoga bantuan-bantuan tersebut tercatat sebagai amal jariah yang diberikan ganjaran
yang setimpal oleh Allah,SWT.
Mataram, Juli 2014
TIM PENYULUH
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ABESTRAK.............................................................................................................iRINGKASAN..........................................................................................................iiKATA PENGANTAR..............................................................................................iiiDAFTAR ISI...........................................................................................................iv
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Analisis Situasi.........................................................................................................1B. Perumusan Masalah................................................................................................2
TUJUAN DAN MANFAAT.................................................................................................3A. Tujuan......................................................................................................................3B. Manfaat....................................................................................................................3
KERANGKA PEMECAHAM MASALAH...........................................................................3
PELAKSANAAN KEGIATAN............................................................................................4
A. Realisasi Pemecahan Masalah................................................................................4B. Halayak Sasaran......................................................................................................4C. Metode yang digunakan...........................................................................................4
HASIL KEGIATAN............................................................................................................4
A. Analisis Evaluasi......................................................................................................5B. Faktor Pendorong....................................................................................................5C. Faktor Penghambat.................................................................................................5
KESIMPULAN DAN SARAN.............................................................................................6
A. Simpulan.................................................................................................................6B. Saran.......................................................................................................................6
.....DAFTAR PUSTAKALAMPIRAN
1. Proposal Pengabdian2. Kontrak Pelaksanaan Pengabdian Masyarakat3. Foto Pelaksanaan Kegiatan
I. PENDAHULUAN
A. Analisis Situasi
Tugas pokok pemerintah desa adalah melaksanakan urusan rumah tangga desa,
urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat serta
menjalankan tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan atau
pemerintah kabupaten.
Dalam kaitannya dengan tugas pembangunan, pemerintgahan desa sekarang ini
memperoleh dana melalui APBN disamping dana untuk melaksanakan tugas
pembantuan yang diperoleh melalui Kabupaten, oleh karena itu dana pembangunan
tersebut akan melimpah masuk desa. Agar pembangunan desa tersebut mencapai
sasaran yang optimal diperlukan kegiatan pendampingan, utamanya dalam hal
penyusunan Rentra untuk pembangunan desa, mengingat tidak semua desa tercukupi
sumber daya manusia untuk mengenal dan mendayagunakan potensi desanya dengan
maksimal.
Kegiatan ini tidak sekedar membantu untuk menyusun program dan mengenal
serta memanfaatkan potensi desanya dengan maksimal, tetapi lebih jauh dari itu adalah
untuk mempercepat pelaksanaan otonomi desa. Otonomi desa adalah otonomi asli
yang ada sejak desa itu terbentuk (tumbuh di dalam masyarakat) dan bersumber dari
hukum adat yang mencakup kehidupan lahir dan batin penduduk desa. Otonomi desa
bukan berasal dari pemberian pemerintah dan bukan sebagai akibat dari pelaksanaan
asas desentralisasi tetapi diperoleh secara tradisional. Sedangkan otonomi daerah
adalah pemberian dari pemerintah dan sebagai akibat dari pelaksanaan asas
desentralisasi (sebagai pendistribusian kewenangan dari pemerintah di atasnya).
Otonomi daerah diperoleh secara formal dan pelaksanaannya diatur dengan peraturan
perundang-undangan.
Sekalipun otonomi desa tersebut diakui aturan perundang-undangan sebagai
otonomi asli, namun dalam perkembangannya sekarang ini telah ditata melalui
perundang-undangan yang berubah-ubah, seingga otonomi tersebut tidak pernah
berkembang dari otonomi asli tersebut, bahkan adat-istiadat yang dihajatkan menjadi
sumber otonomi tersebut, sekarang ini sudah tiak terbina dengan baik, bahkan lebih
dari itu sudah banyak yang ditinggalkan, karena itulah melalui kegiatan pengabdian
masyarakat dari perguruan Tinggi, sedikit demi sedikit jika dibina secara terus menerus
hajat unang-undang yang mengatur tentang desa berangsur-angsur akan dapat dituju
dan membuahkan hasil.
Organisasi desa terdiri dari unsur pelaksana sebagai pembantu kepala desa
untuk melaksanakan urusan teknis di lapangan seperti: pamong tani desa, urusan
pengairan, urusan keamanan, urusan keagamaan, kebersihan, kesehatan dan
pungutan desa. Unsur pelaksana mempunyai tugas memimpin dan melaksanakan
kegiatan teknis lapangan dalam bidang tugasnya.
B. Perumusan Masalah
Unsur Desa yaitu unsur pembantu kepala desa di wilayah bagian desa yang
disebut kepala dusun. Tugas Kepala Dusun adalah membantu melaksanakan tugas-
tugas operasional kepala desa di dalam wilayah kerjanya sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan,
Unsur Pelaksana dan Unsur Wilayah wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi
dan sinkronisasi, baik di lingkungan masing-masing maupun antarsatuan organisasi
desa sesuai dengan tugasnya masing-masing.
Badan Perwakilan Desa (BPD) adalah badan perwakilan yang merupakan
wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila dan berkedudukan
sejajar serta menjadi mitra dari pemerintah desa. BPD berfungsi mengayomi adat
istiadat, membuat peraturan desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat,
serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa.
Lembaga kemasyarakatan adalah lembaga-lembaga yang dibentuk atas prakarsa
masyarakat desa yang merupakan mitra pemerintah desa.
Lembaga adat adalah lembaga yang berkedudukan sebagai wadah organisasi
permusyawaratan/permufakatan kepala adat/tetua adat dan pemimpin/pemuka adat
lainnya yang berada di luar susunan organisasi pemerintah di kabupaten. Tugas
lembaga adat adalah memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat istiadat
dan lembaga adat yang ada didesa.
Di dalam menangani kewenangan yang dimiliki oleh desa berdasarkan asal-
usulnya serta tugas pembantuan yang dibebankan kepada desa, maka pemerintah
desa dapat melakukan kerja sama antar desa. Kerja sama antar desa dapat dilakukan
oleh dua desa atau lebih dalam rangka mengelola kepentingan bersama dengan prinsip
saling menguntungkan. Kerja sama antardesa pada hakikatnya dapat berperan sebagai
salah satu faktor penunjang terhadap kelancaran pembangunan pada desa-desa yang
terlibat dalam kerja sama.
Dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan di desa, dapat saja terjadi perselisihan antara suatu desa dengan desa
lainnya. Pada dasarnya perselisihan dapat diupayakan penyelesaiannya dengan prinsip
yang saling menguntungkan, diputuskan oleh pejabat yang berwenang serta keputusan
itu bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang berselisih. Sementara itu pemerintah,
pemerintah propinsi atau pemerintah kabupaten dapat bertindak sebagai fasilitator
dalam upaya penyelesaian perselisihan antardesa Dari pelaksanaan tugas serta
pertanggungjawaban Kepala Desa inilah sering muncul permasalahan di
lapangan, hal ini dikarenakan Kepala Desa memiliki wewenang yang semula
belum ada dan sekarang relatif besar. Selain itu seorang Kepala Desa tidak lagi
“bertuan” kepada Camat, sehingga sangat mudah bagi seorang Kepala Desa untuk
tidak menghiraukan keberadaan Camat selaku koordinator administrasi di wilayah
Kecamatan. Selain itu, konsep pertanggung jawaban Kepala Desa terhadap BPD
sangatlah baru bagi seorang kepala Desa, sehingga seringkali dijumpai bukannya
mekanisme pertanggung jawaban yang terjadi melainkan proses saling menjatuhkan
antara dua lembaga yaitu BPD dan Kepala Desa. Keberadaan BPD yang juga
baru dan didukung dengan sumber daya manusia yang “cukup” mendorong
demokratisasi sekaligus ajang euphori bagi sebagian masyarakat yang selama
ini merasa kurang puas dengan keberadaan Pemerintah Desa. Oleh karena
itu sangat menarik untuk mendapatkan gambaran tentang pelaksanaan tugas
dan pertanggungjawaban Kepala Desa ini sekaligus mengevaluasi dampaknya
terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa. Namun demikian,
pembangunan juga merupakan proses “bertahap” untuk menuju kondisi yang ideal.
Karena itu,masyarakat yangingin melakukan pembangunan perlu melakukan tahapan
yangsesuai dengan sumber dayayangdimilikinya dengan mempertimbangkan segala be
ntuk persoalan yang tengah dihadapinya.
Besarnya disparitas antara desa maju dengan desa tertinggal banyak disebab
kan terbatasanketersediaan sumber daya manusia yangprofesional;belum tersusunnya
kelembagaan sosialekonomi yangmampu berperan secara epektif dan produktif
sebagai unsur yangmenjadi program pemerintahan desa.
Pembangunan desabelum sepenuhnya partisipatif dengan melibatkan berbagai
unsur; pembengunen pedesaan belum terintegrasi dan belum konferhensif, belum focus
dan belum tepat sasaran. Kenyataan tersebut mengkhawatirkan, mengapa desa yang
memiliki kekayaan yang melimpah dan sumber daya alam yang tak
terhitung justru mengalami ketertinggalan. Oleh karena itu solusinya harus dilakukan
pelatihan agar terbentuk sensifitas perangkat desa terhadap potensi dan sumber daya
desa.
II. TUJUAN DAN MANFAAT
a. Tujuan
Tujuan Pengabdian ini adalah :
Memberikan wawasan kepada perangkat Desa untuk membimbing kreatifitas
masyarakat dengan melihat potensi desa,
Mempertegas tugas masing-masing urusan untuk mempercepat tugas-tugas
pelayanan.
b. Manfaat
Membentuk sensifitas perangkat desa untuk mengembangkan potensi desa
Mempercepat proses terentunya otonomi desa untuk kepentingan
masyarakat desa.
III. KERANGKA PEMECAHAN MASAHKerangka Pemecahan masalah dilakukan melalui pendekatan :
1. Penyuluhan terhadap aparatur Desa yang meliputi,Perangkat Desa, Pemuka
Masyarakat,Kelembagaan BPD, Pemuda dan Wanita.
2. Kalangan profesional yang dapat membantu pelaksanaan perencanaan
pembangunan Desa, seperti Kepala Sekolah Dasar dilingkungan Desa yang
bersangkutan
IV. PELAKSANAAN KEGIATANA. Realisasi Pemecahan Masalah
Berdasarkan pengamatan sudah seharusnya pendekataan pembangunan
pedesaan mulai diarahkan secara integral dengan mempertimbangkan
kekhasan daerah baik dilihat dari sisi kondisi, potensi dan prospek dari
masing-masing daerah. Namun di dalam penyusunan kebijakan
pembangunan pedesaan secara umum dapat dilihat dalam tiga kelompok,
yaitu :
1. Kebijakan secara tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi
yang menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan pedesaan
yang mendukung kegiatan sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana
dan prasarana pendukung (pasar, pendidikan, kesehatan, jalan, dan
lain sebagainya), penguatan kelembagaan, dan perlindungan terhadap
aktivitas sosial ekonomi masyarakat melalui undang- undang.
2. Kebijakan yang langsung diarahkan pada peningkatan kegiatan
ekonomi masyarakat pedesaan.
3. Kebijakan khusus menjangkau masyarakat melalui upaya khusus,
seperti penjaminan hukum melalui perundang-undangan dan
penjaminan terhadap keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Di samping itu kebijakan pembangunan pedesaan harus dilaksanakan melalui
pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu
dimulai dengan pernyataan yang mengkut sektor apa yang perlu dikembangkan untuk
mencapai tujuan pembangunan. Berbeda dengan pendekatan sektoral, pendekatan
regional lebih menitik beratkan pada daerah mana yang perlu mendapat prioritas untuk
dikembangkan, baru kemudian sektor apa yang sesuai untuk dikembangkan di masing-
masing daerah. Di dalam kenyataan, pendekatan regional sering diambil tidak dalam
kerangka totalitas, melainkan hanya untuk beberapa daerah tertentu, seperti daerah
terbelakang, daerah perbatasan, atau daerah yang diharapkan mempunyai posisi
trategis dalam arti ekonomi-politis. Oleh karena arah yang dituju adalah gabungan
antara pendekatan sektoral dan regional, maka pembangunan daerah perlu selalu
dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial.
B. Khalayak Sasaran
1. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, desa selama ini lebih
ditempatkan sebagai obyek daripada subyek. Sudah sejak jaman dahulu, desa
dijadikan sebagai : bahan kajian, pilot projectkebijakan, sumber dukungan
politik, sumber legitimasi para penguasa dan eksploitasi para pengusaha.
2. Desa yang pada mulanya mampu berkembang dengan segala piranti dan
kelembagaan asli sesuai kekhasan masing-masing yang dimiliki dan diciptakan
sendiri baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan
keamanan, mulai kehilangan otonominya ketika diintervensi oleh otoritas yang
lebih besar. Pada jaman kerajaan, desa diminta mengakui, patuh dan tunduk
terhadap otoritas kerajaan sambil menjalankan otonomi asli. Memasuki era
kemerdekaan, terutama era orde baru, otonomi desa direnggut dan
penyelenggaraan pemerintahan desa “diseragamkan” melalui implementasi
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sejak saat
itu, desa kehilangan kekhasan dan keasliannya, pemerintahan desa diformat
sesuai main stream kekuasaan dan selera penguasa pada saat itu.
C. Metode yang digunakan, kegiatan ini dilaksanakan dengan medode ceramah, dan
sedianya dilakukan praktek yaitu metode bimbingan setelah dilakukan diskusi
pocus group kemudian dilakukan pelatihan pengenalan potensi desa dan
penyusunan Renstra desa dan pendampingan, tetapi karena keterbatasan biaya
hanya disampaikan contoh-contoh perencanaan yang dapat digunakan sebagai
pedoman dalam membuat perencanaan.
V. HASIL KEGIATANA. Analisis Evaluasi
Dengan demikian pembangunan idealnya dipahami sebagai suatu proses yang
berdimensi jamak, yang melibatkan masalah pengorganisasian dan peninjauan kembali
keseluruhan sistem ekonomi dan sosial. Berdimensi jamak dalam hal ini artinya
membahas komponen-komponen ekonomi maupun non ekonomi, Todaro (1998)
menambahkan bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan kembali dengan dasar
mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran dalam
kontenks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yang sedang berkembang.
Rostow (1971) juga menyatakan bahwa pengertian pembangunan tidak hanya pada
lebih banyak output yang dihasilkan tetapi juga lebih banyak output daripada yang
diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-
tahapan : masyarakat tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas, gerakan
menuju kematangan dan masa konsumsi besar-besaran. Kunci diantara tahapan ini
adalah tahap lepas landas yang didorong oleh satu atau lebihsektor. Pesatnya
pertumbuhan sektor utama ini telah menarik bersamanya
Menurut Hanafiah (1892) pengertian pembangunan mengalami perubahan karena
pengalaman pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an menunjukkan bahwa
pembangunan yang berorientasi pada kenaikan pendapatan nasional tidak bisa
memecahkan masalah pembangunan. Hal ini terlihat dari taraf hidup sebagian besar
masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan pendapatan
nasional per tahun meningkat. Dengan kata lain, ada tanda-tanda kesalahan besar
dalam mengartikan istilah pembangunan secara sempit.
Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya
sekedar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu
tidak bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.
Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah pembangunan pedesaan.
Menurut Haeruman ( 1997 ), ada dua sisi pandang untuk menelaah pedesaan, yaitu:
1. Pembangunan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang
bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu
sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga
perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.
2. Sisi yang lain memandang bahwa pembangunan pedesaan sebagai suatu
interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakt desa dan dorongan dari luar
untuk mempercepat pemabangunan pedesaan.
Pembangunan desa adalah proses kegiatan pembangunan yang berlangsung didesa
yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menurut
peraturan Pemerintah Republik Indonesia no : 72 tahun 2005 tentang desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bahwa perencanaan pembangunan desa disusun
secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya dan
menurut ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa wajib
melibatkan lembaga kemasyarakatan desa.
B. Faktor-faktor Pendorong
Keberadaan Desa menarik minat berbagai kalangan untuk membahas, mengkaji
dan “memanfaatkannya”. Para pakar banyak yang telah melaksanakan penelitian
tentang desa, penguasa telah “memproyekkan” desa, para politisi telah
mempolitisir desa dan para pengusaha telah mengksploitasi desa. Desa,
penduduk desa, sistem sosial dan kekerabatan, dinamika politik dan
penyelenggaran pemerintahannya telah menjadi obyek bahasan dalam berbagai
seminar dan forum-forum ilmiah lainnya
C. Faktor-faktor Penghambat
1. Wajah perencanaan Desa yang mampu mengungkit peningkatan
kesejahteraan Desa, dimandatkan kepada Kepala Desa bersama
perangkatnya. Permasalahannya adalah masih banyak Desa yang belum
terlatih menyusun dokumen perencanaan pembangunan Desa.
2. Aktifitas masyarakat dan perangkat Desa masih sangat lamban dalam
mengatasi persoalan, demikian juga terhadap disiplin terhadap waktu.
VI. SIMPUL DAN REKOMEDASIA. SIMPUL
1. Kebijakan perencanaan pembangunan desa merupakan suatu pedoman-
pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam
perencanaan pelaksanakan (menagement) pembangunan di desa yang
mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga
dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
2. Pembangunan Masyarakat Desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk
mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang
dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga
masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek
mental (jiwa), fisik (raga), intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran
bermasyarakat dan bernegara.
3. Untuk maksud tersebut memerlukan sumberdaya m,anusia yang memadai
untuk membantu perencanaan dan operasional perencanaannya.
B. REKOMENDASI
Untuk perencanaan dan Pelaksanaan program, di tingkat Kecamatan perlu
dibentuk tim Pendamping (Konsultan) untuk membantu perencanaan Desa.
Daftar Pustaka.
A.W. Widjaja, Prof. Drs.Pemerintahan Desa & Administrasi Desa /RAJ Penerbit Rajawali Press, PT Rajagrafindo Persada Cet 1: 1993
TIM Penerbit DEPDAGRI, Pemerintahan Desa dan Kelurahan (Buku Kesatu) Penerbit Fokusmedia 2011
DR. ALI HANAPIAH MUHI, MP PERENCANAAN PEMBANGUNAN DESA, Penerbit Alqa Prisma Interdelta (Alqa Print), Jatinangor. Cetakan ke-1 Tahun 2011
LAMPIRAN 1 :
ARTI PENTING PERENCANAAN DALAM PEMBANGUNAN DESA
Oleh : Lalu Sabardi
A.Pengertian
Kebijakan adalah pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih
dalam melaksanakan (memanage) suatu program untuk mencapai tujuan tertentu.
Perencanaan adalah semua kegiatan (planning) yang dilakukan sebelum melakukan
suatu kegiatan, dari suatu program proyek, yakni menentukan tujuan objective, tujuan
antara, kebijakan, prosedur dan program.
Sukirno (1985) mengemukakan pendapatnya tentang konsep pembangunan,
mempunyai 3 sifat penting, yaitu : proses terjadinya perubahan secara terus menerus,
adanya usaha untuk menaikkan pendapatan perkapita masyarakat dan kenaikan
pendapatan masyarakat yang terjadi dalam jangka waktu yang,panjang.
Menurut Todaro (1998) pembangunan bukan hanya fenomena semata, namun pada
akhirnya pembangunan tersebut harus melampaui sisi materi dan keuangan dari
kehidupan manusia. Dengan demikian pembangunan idealnya dipahami sebagai suatu
proses yang berdimensi jamak, yang melibatkan masalah pengorganisasian dan
peninjauan kembali keseluruhan sistem ekonomi dan sosial. Berdimensi jamak dalam
hal ini artinya membahas komponen-komponen ekonomi maupun non ekonomi, Todaro
(1998) menambahkan bahwa pembangunan ekonomi telah digariskan kembali dengan
dasar mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran
dalam kontenks pertumbuhan ekonomi atau ekonomi negara yang sedang
berkembang.
Rostow (1971) juga menyatakan bahwa pengertian pembangunan tidak hanya pada
lebih banyak output yang dihasilkan tetapi juga lebih banyak output daripada yang
diproduksi sebelumnya. Dalam perkembangannya, pembangunan melalui tahapan-
tahapan : masyarakat tradisional, pra kondisi lepas landas, lepas landas, gerakan
menuju kematangan dan masa konsumsi besar-besaran. Kunci diantara tahapan ini
adalah tahap lepas landas yang didorong oleh satu atau lebihsektor. Pesatnya
pertumbuhan sektor utama ini telah menarik bersamanya
Menurut Hanafiah (1892) pengertian pembangunan mengalami perubahan karena
pengalaman pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an menunjukkan bahwa
pembangunan yang berorientasi pada kenaikan pendapatan nasional tidak bisa
memecahkan masalah pembangunan. Hal ini terlihat dari taraf hidup sebagian besar
masyarakat tidak mengalami perbaikan kendatipun target kenaikan pendapatan
nasional per tahun meningkat. Dengan kata lain, ada tanda-tanda kesalahan besar
dalam mengartikan istilah pembangunan secara sempit.
Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya
sekedar bagaimana menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu
tidak bisa diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.
Berbagai sudut pandang dapat digunakan untuk menelaah pembangunan pedesaan.
Menurut Haeruman ( 1997 ), ada dua sisi pandang untuk menelaah pedesaan, yaitu:
1. Pembangunan pedesaan dipandang sebagai suatu proses alamiah yang
bertumpu pada potensi yang dimiliki dan kemampuan masyarakat desa itu
sendiri. Pendekatan ini meminimalkan campur tangan dari luar sehingga
perubahan yang diharapkan berlangsung dalam rentang waktu yang panjang.
3. Sisi yang lain memandang bahwa pembangunan pedesaan sebagai suatu
interaksi antar potensi yang dimiliki oleh masyarakt desa dan dorongan dari luar
untuk mempercepat pemabangunan pedesaan.
Pembangunan desa adalah proses kegiatan pembangunan yang berlangsung didesa
yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Menurut
peraturan Pemerintah Republik Indonesia no : 72 tahun 2005 tentang desa
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bahwa perencanaan pembangunan desa disusun
secara partisipatif oleh pemerintahan desa sesuai dengan kewenangannya dan
menurut ayat (3) bahwa dalam menyusun perencanaan pembangunan desa wajib
melibatkan lembaga kemasyarakatan desa.
Tujuan Perencanaan Pembangunan sebagai berikut:
1. Mengkoordinasikan antar pelaku pembangunan.
2. Menjamin sinkronisasi dan sinergi dengan pelaksanaan Pembangunan Daerah.
3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara Perencanaan,Penganggaran,
Pelaksanaan dan Pengawasan.
4. Mengoptimalkan Partisipasi Masyarakat
5. Menjamin tercapainya penggunaan Sumber Daya Desa secara efisien, efektif,
berkeadilan dan berkelanjutan.
Kebijakan perencanaan pembangunan desa merupakan suatu pedoman-pedoman dan
ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam perencanaan pelaksanakan
(memanage) pembangunan di desa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan
ipenghidupan masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat,
seperti :
o Produktivitas kegiatan ekonomi, seperti pertanian, peternakan mengalami
peningkatan,
o Proses produksi sedang mengalami perubahan cukup berat, melalui adopsi
teknologi
o Komersialisasi sudah cukup tinggi, pasar digunakan untuk menjual hasil dan
membeli input produksi,
o Penggunaan tenaga kerja luar dan adanya pasar upah tenaga kerja mulai
berkembang memanfaatkan teknologi baru,
o Produksi berorientasi pasar. Sebagian besar dijual untuk pasar sehingga,
o jenis komoditi yang diproduksi selalu disesuaikan dengan keadaan harga pasar.
Tujuan produksi adalah untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Mulai menerapkan sistem Agribisnis Paradigma Pertanian berubah menjadi
Agribisnis dan Agroindustri dan perdagangan berkembang.
Masyarakat sangat menghargai pedidikan, bersedia melakukan human
investment.
Masyarakat sudah mengadopsi kehidupan di kota. Perbedaannya kegiatan
Ekonominya adalah berbasis pedesaan seperti pertanian, industri desa.
Masalah-Masalah Dalam Pembangunan
Masalah yang dikemukakan oleh Chayanov dan boeke, terutama didasarkan atas
sistem sosial atau kebudayaan yang berakar dalam yang membuat Teori Ekonomi
Modern seolah-olah tidak dapat diterapkan di desa-desa atau masyarakat seperti ini.
Tetapi selain masalah yang berasal dari sistem sosial atau kebudayaan, sebenarnya
banyak masalah lain yang menyebabkan timbulnya masalah pembangunan desa
masalah-masalah tersebut terutama adalah:
1. Masalah pertumbuhan penduduk penduduk yang berat, sehingga
pemilikan tanah semakin berkurang, terutama pada wilayah yang terbatas
lahannya (Sumber Daya Alam)
2. Tingkat Pendidikan rendah yang menyebabkan adopsi teknologi rendah
dan stagnansi produk juga masalah lain yang bisa timbul dengan serius
seperti masalah kesehatan, rendahnya produktivitas kerja dan masalah
kepemimpinan desa
Pemerintah Kabupaten harus memberikan kemudahan dalam pembangunan prasarana
seperti irigasi, drainase, dalam pemasaran hasil-hasil pertanian, pengadaan modal
untuk pembaharuan usaha-usaha pertanian (perkreditan dan akumulasi modal)
Masalah ini perlu dimengerti keadaannya, agar kebijakan dan perencanaan
pembangunan desa dapat dibuat dengan lebih baik.
Pemerintahan Desa dalam menyelenggarakan kewenangannya dibidang pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan untuk mewujudkan kemandirian serta
kesejahteraan masyarakat belum dapat optimal karena terdapat berbagai
permasalahan, seperti;
1. Terlalu cepatnya perubahan berbagai peraturan perundang-undangan sehingga
menimbulkan kebingungan ditingkat pelaksana dan terkadang peraturan
perundang-undangan yang dibutuhkan kurang lengkap dan memadai;
2. fasilitasi oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah masih sering terlambat;
3. terbatasnya tingkat kesejahteraan para penyelenggaran pemerintahan desa;
4. sebagian kualitas aparat pemerintahan desa masih terbatas dalam menggalang
partisipasi masyarakat, menumbuhkan keswadayaan dan kemandirian dalam
membangun, memanfaatkan, memelihara serta mengembangkan hasil-hasil
pembangunan;
5. Sangat terbatasnya sarana dan prasarana pemerintahan desa
6. Belum terdapat kepastian mengenai kewenangan dan sumber pendapatan
7. Kebijakan Pembangunan Desa
Bertolak dari permasalahan diatas, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan untuk
memberdayakan, memantapkan, menguatkan Pemerintahan Desa. Kebijakan
dimaksud antara lain:
(a) Pemantapan kerangka aturan
(b) Penataan kewenangan dan standar pelayanan minimal Desa;
(c) Pemantapan kelembagaan;
(d) Pemantapan administrasi dan keuangan Desa;
(e) Peningkatan sumber daya manusia penyelenggara pemerintahan desa dan
(f) peningkatan kesejahteraan para penyelenggara pemerintahan desa.
Untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana diurai diatas, program prioritas yang akan
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
1. Pemantapan kerangka aturan: Lingkup kegiatannya yaitu; mempercepat
penyelesaian Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Desa,
Peraturan Kepala Desa dan Tata Tertib Badan Permusyawaratan Desa yang
sesuai dengan prinsip keanekaragaman, demokratisasi, otonomi, partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat.
2. Penataan organisasi dan kewenangan: Lingkup kegiatannya yaitu; penataan
organisasi Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan
Lembaga Kemasyarakatan Desa beserta kewenangan yang harus dimilikinya;
3. Pemantapan sumber pendapatan dan kekayaan desa: Lingkup kegiatannya
yaitu; penataan manajemen perimbangan keuangan antara Kabupaten/Kota
dengan Desa terutama mengenai alokasi dana desa, upaya peningkatan
pendapatan asli desa, upaya penga-daan bantuan dari pemerintah dan
pemerintah provinsi kepada desa, pembentukan badan usaha milik desa serta
peningkatan dayaguna dan hasil guna aset yang dimiliki maupun yang dikelola
oleh desa.
4. Penataan sistem informasi dan administrasi pemerintahan desa yang mudah,
cepat, dan murah terutama yang berkaitan dengan kebutuhan dasar.
5. Pemantapan dan pengembangan kapasitas: Lingkup kegiatannya yaitu;
meningkatkan kapasitas Kepala Desa, Perangkat Desa, anggota Badan
Permusyawaratan Desa agar lebih mampu menyelenggarakan pelayanan
kepada masyarakat secara demokratis, transparan dan akuntabel berdasarkan
nilai-nilai sosial budaya setempat.
6. Pengadaan sarana dan prasarana: Lingkup kegiatannya yaitu; penyediaan
sarana dan prasarana pemerintahan desa yang memadai dalam rangka
melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat yang terdepan.
Beberapa program-program pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan,
misalnya program bidang pangan, program Inpres Desa Tertinggal, merupakan salah
satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan pedesaan dalam mengejar
ketertinggalannya dari perkotaan. Selain itu guna menyokong program pangan,
pemerintah menyediakan bantuan Kredit Usaha Tani ( KUT ) bagi para petani untuk
modal dalam pengelolaan lahannya.
Akan tetapi program-program tersebut belum mampu meningkatkan kesejahteraan
petani karena harga beras lokal masih relative lebih tinggi dibandingkan dengan harga
beras impor. Sedangkan dana pengembalian KUT sampai saat ini banyak yang
menunggak karena petani tidak mampu membayar cicilan tersebut. Adapun program
IDT lebih cenderung pada pembangunan fisik saja sehingga penekanan terhadap
pembangunan masyarakat umum kurang tersentuh. Padahal berbagai persoalan yang
membutuhkan penanganan pembangunan masyarakat desa sesungguhnya sangat
mendesak, seperti ketertinggalaan desa dari kota hampIr di segala bidang, tidak
terakomodasinya keinginan dan kebutuhan masyarakat dalam program-program
pemerintah, dan kualiatas pendidikan dan kesejahteraan masih rendah.
Berdasarkan pengalaman tersebut sudah seharusnya pendekataan pembangunan
pedesaan mulai diarahkan secara integral dengan mempertimbangkan kekhasan
daerah baik dilihat dari sisi kondisi, potensi dan prospek dari masing-masing daerah.
Namun di dalam penyusunan kebijakan pembangunan pedesaan secara umum dapat
dilihat dalam tiga kelompok (Haeruman, 1997), yaitu :
1. Kebijakan secara tidak langsung diarahkan pada penciptaan kondisi yang
menjamin kelangsungan setiap upaya pembangunan pedesaan yang
mendukung kegiatan sosial ekonomi, seperti penyediaan sarana dan prasarana
pendukung (pasar, pendidikan, kesehatan, jalan, dan lain sebagainya),
penguatan kelembagaan, dan perlindungan terhadap aktivitas sosial ekonomi
masyarakat melalui undang- undang.
2. Kebijakan yang langsung diarahkan pada peningkatan kegiatan ekonomi
masyarakat pedesaan.
3. Kebijakan khusus menjangkau masyarakat melalui upaya khusus, seperti
penjaminan hukum melalui perundang-undangan dan penjaminan terhadap
keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Di samping itu kebijakan pembangunan pedesaan harus dilaksanakan melalui
pendekatan sektoral dan regional. Pendekatan sektoral dalam perencanaan selalu
dimulai dengan pernyataan yang mengkut sektor apa yang perlu dikembangkan untuk
mencapai tujuan pembangunan. Berbeda dengan pendekatan sektoral, pendekatan
regional lebih menitik beratkan pada daerah mana yang perlu mendapat prioritas untuk
dikembangkan, baru kemudian sektor apa yang sesuai untuk dikembangkan di masing-
masing daerah. Di dalam kenyataan, pendekatan regional sering diambil tidak dalam
kerangka totalitas, melainkan hanya untuk beberapa daerah tertentu, seperti daerah
terbelakang, daerah perbatasan, atau daerah yang diharapkan mempunyai posisi
trategis dalam arti ekonomi-politis. Oleh karena arah yang dituju adalah gabungan
antara pendekatan sektoral dan regional, maka pembangunan daerah perlu selalu
dikaitkan dimensi sektoral dengan dimensi spasial.
KESIMPULAN
Kebijakan perencanaan pembangunan desa merupakan suatu pedoman-pedoman dan
ketentuan-ketentuan yang dianut atau dipilih dalam perencanaan pelaksanakan
(menagement) pembangunan di desa yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan
penghidupan masyarakat sehingga dapat mencapai kesejahteraan bagi masyarakat.
Pembangunan Masyarakat Desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai
suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan untuk jangka panjang dan sifat
peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu
pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental (jiwa), fisik (raga),
intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Akan tetapi
pencapaian objektif dan target pembangunan desa pada dasarnya banyak ditentukan
oleh mekanisme dan struktur yang dipakai sebagai sistem pembangunan
desa.Pengertian pembangunan itu sangat luas bukan hanya sekedar bagaimana
menaikkan pendapatan nasional saja. Pembangunan ekonomi itu tidak bisa diartikan
sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan negara untuk mengembangkan kegiatan
ekonomi dan taraf hidup masyarakatnya.
Beberapa program-program pembangunan pedesaan yang pernah dilaksanakan,
misalnya program bidang pangan, program Inpres Desa Tertinggal, merupakan salah
satu upaya pemerintah dalam rangka mengembangkan pedesaan dalam mengejar
ketertinggalannya dari perkotaan. Guna mendorong peningkatan pangan, Selain itu
guna menyokong program pangan, pemerintah menyediakan bantuan Kredit Usaha
Tani ( KUT )serta KUR ( kredit usaha rakyat ) bagi para petani serta pengusaha kecil
dalam memberikan permodalan dalam pengelolaan lahannya memperbesar usahanya.
SARAN
Dengan adanya sebuah kebijakan dalam perencanaan diperlukan sebuah sistem yang
mampu dalam mengolah pembangunan desa sesuai dengan karakteristik dimana hal
itu menyangkut sumber daya manusia dalam hal ini paling utama penyelenggara
pemerintahan desa ,masyaarakat dan sumber daya alam .
OTONOMI DESA DAN PERENCANAAN
Oleh
Supardan MansyurUsman
PENDAHULUAN
Setelah melalui perjuangan panjang yang melelahkan melalui demonstrasi yang hiruk pikuk memenuhi ruang-ruang publik serta diwarnai dengan ancaman boikot terhadap pelaksanaan program-program strategis pemerintahan, pemerintah dan DPRRI akhirnya mengabulkan tuntutan para kades dan perangkat desa dengan mengesahkan berlakunya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa), menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa yang tidak memuaskan bagi para Kepala Desa dan aparatur desa.
Pertimbangan disahkannya UU Desa adalah : Pertama, bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kedua, bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam berbagai bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalammelaksanakanpemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Ketiga, bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang.
EKSISTENSI DESA
Keberadaan desa menarik minat berbagai kalangan untuk membahas, mengkaji dan “memanfaatkannya”. Para pakar banyak yang telah melaksanakan penelitian tentang desa, penguasa telah “memproyekkan” desa, para politisi telah mempolitisir desa dan para pengusaha telah mengksploitasi desa. Desa, penduduk desa, sistem sosial dan kekerabatan, dinamika politik dan penyelenggaran pemerintahannya telah menjadi obyek bahasan dalam berbagai seminar dan forum-forum ilmiah lainnya. Namun ironis, itu semua belum mampu memberikan solusi yang manjur untuk perkembangan dan kemajuan desa. Desa tetap saja masih harus bergelut dengan masalah-masalah mendasar, baik itu masalah sosial, ekonomi, pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan masalah infrastruktur. Padahal desa memiliki segalanya : sumber daya manusia, sumber daya alam, semangat kegotong-royongan, sistem sosial yang penuh kekerabatan dan toleransi.
Demikian juga dengan kelembagaan pemerintahan desa, ternyata masih terbatas kapasitasnya untuk melaksanakan pelayanan publik, membangkitkan potensi dan memberdayakan masyarakat. Banyak faktor yang menjadi penyebab itu semua, baik faktor internal maupun eksternal, namun ternyata faktor posisioning terhadap desa yang belum tepat merupakan faktor dominan yang menjadi penyebabnya.
Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, desa selama ini lebih ditempatkan sebagai obyek daripada subyek. Sudah sejak jaman dahulu, desa dijadikan sebagai : bahan kajian, pilot projectkebijakan, sumber dukungan politik, sumber legitimasi para penguasa dan eksploitasi para pengusaha.
Desa yang pada mulanya mampu berkembang dengan segala piranti dan kelembagaan asli sesuai kekhasan masing-masing yang dimiliki dan diciptakan sendiri baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan keamanan, mulai kehilangan otonominya ketika diintervensi oleh otoritas yang lebih besar. Pada jaman kerajaan, desa diminta mengakui, patuh dan tunduk terhadap otoritas kerajaan sambil menjalankan otonomi asli. Memasuki era kemerdekaan, terutama era orde baru, otonomi desa direnggut dan penyelenggaraan pemerintahan desa “diseragamkan” melalui implementasi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Sejak saat itu, desa kehilangan kekhasan dan keasliannya, pemerintahan desa diformat sesuai main stream kekuasaan dan selera penguasa pada saat itu.
MENGEMBALIKAN OTONOMI DESA
Walaupun masih saja menjadi obyek eksploitasi politik dan ekonomi, desa yang telah tumbuh dalam sejarah yang sangat panjang berabad-abad lalu, terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang dinamis. Karena pertumbuhan dan perkembangannya itulah maka desa tetap eksis sampai hari ini. Menyadari akan eksistensi desa yang perlu terus dijaga dan diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang, perlahan-lahan orientasi kebijakan tentang desa juga mengalami perubahan. Pemerintah mulai mencoba “mengembalikan” kedaulatan desa, dengan mencabut UU 5 Tahun 1979 dan menggantinya dengan peraturan perundangan yang baru. Namun sayang, di era reformasi, pengaturan tentang desa justru “turun tahta”, karena pengaturan tentang pemerintahan desa diatur dalam peraturan teknis di bawah undang-undang, undang-undang sebagai induknya, yaitu Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebutkan pemerintahan desa dalam pasal-pasal yang singkat.
Namun UU 22/1999 dan UU 32/2004 mengakui desa sebagai kesatuan masyarakat hukum adat dengan hak-hak asal-usul dan adat-istiadatnya. Oleh karena itu, desa bisa disebut dengan nama lain yang sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat. Namun sayang, kewenangan desa dalam UU 32/2004 menjadi tidak mempunyai arti apa-apa karena urusan berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat tidak diidentifikasi dan dikategorisasi dengan jelas. Demikian pula urusan yang berasal dari kabupaten/kota, ternyata banyak yang belum didelegasikan.
PEMBERDAYAAN DESA
Pengesahan UU Desa menjadi tonggak sejarah yang penting bagi pemerintahan desa, karena baru kali ini ada UU Desa yang menunjukkan komitmen yang nyata dan adanya political will dari negara untuk memberdayakan desa dan meningkatkan kesejahteraan seluruh perangkat desanya. Komitmen dan political will itu antara lain bisa dilihat pada :
1. Adanya alokasi anggaran dari APBN untuk pembangunan desa. Kebijakan ini dituangkan dalam Pasal 71, setiap desa akan mendapatkan alokasi dana dari APBN
sebesar sepuluh persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD setelah dikurangi dana alokasi khusus (DAK). Nilainya disesuaikan dengan kondisi geografis desa, jumlah penduduk dan angka kemiskinan. Selama ini pendapatan asli desa bersumber dari pendapatan aslidesa yang terdiri dari : hasil usaha, hasil aset, swadaya dan partisipasi, gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa, bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, alokasi danadesa yang merupakan bagian dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerahkabupaten/kota, hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketiga; danlain-lain pendapatan desa yang sah. Adanya pendapatan yang bersumber dari alokasi dana APBN tentu saja merupakan kebijakan baru yang positif dan merupakan poin penting bagi pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa. Desa menghadapi banyak masalah, antara lain kemiskinan, derajat kesehatan masyarakat yang memprihatinkan, tingkat pendidikan yang rendah, angka pengangguran yang cukup tinggi, rendahnya kapasitas penyelenggara pemerintahan desa, kerusakan lingkungan alam, kerusakan infrastruktur dll. Dengan adanya tambahan pendapatan desa yang signifikan maka persoalan-persoalan tersebut akan terus ditangani dan dicarikan solusinya sesuai dengan prioritas dan kewenangan desa. Apalagi perencaaan, alokasi, pelaksanaan dan pertanggung jawaban penggunaan dana dilaksanakan oleh desa itu sendiri, tentu saja ini merupakan aksi yang nyata untuk pemberdayaan masyarakat. Namun konsekwensi dari penyerahan dan pendelegasian pengelolaan keuangan ini harus diikuti dengan peningkatan kapasitas pengelola melalui pelatihan, pembinaan penatausahaan keuangan desa disertai dengan pengawasan yang kontinyu agar dana dapat dikelola secara akuntabel, transparan, tepat waktu, tepat mutu, tepat administrasi dan tepat sasaran.
2. Adanya penghasilan tetap, tunjangan dan pemeliharaan kesehatan untuk kepala desa dan perangkat desa.Kepala Desa dan perangkat desa pada hakekatnya adalah penyelenggara negara di tingkat desa. Keberadaannya sangat strategis dalam sistem penyelenggaraan negara, karena desa adalah muara dari semua program pemerintahan dan pembangunan, disamping itu desa adalah basis data sebagi sumber informasi dan pembuatan kebijakan nasional dan daerah, sehingga untuk kelancaran dan kesuksesan program-program pemerintahan dan pembangunan, sudah semestinya kalau desa diperkuat baik dari sisi kelembagaan, kapasitas aparatur dan kewenangannya. Hal yang sangat signifikan berpengaruh terhadap peningkatan kinerja aparatur desa adalah peningkatan kesejahteraan. Walaupun sudah ada perhatian pemerintah, secara umum tingkat pendapatan aparatur desa masih rendah, sehingga perlu terus ditingkatkan. Kebijakan yang pemberian penghasilan tetap, tunjangan dan pemberian jaminan kesehatan dari negara merupakan kebijakan penting yang akan dapat menciptakan iklim kerja yang baik dalam menjalankan tugas dan kewajiban aparatur desa.
MASA JABATAN KEPALA DESA
UU Desa merupakan UU yang bagus, namun masa jabatan Kepala Desa merupakan satu hal yang perlu dikritisi. UU Desa mengatur jabatan Kepala Desa 6 tahun dan dapat dipilih untuk tiga kali masa jabatan baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. Hal ini tentu saja berbeda apabila dibandingkan dengan UU 32/2004 yang mengatur masa jabatan Kepala Desa adalah 6 tahun dan dapat dipilih untuk dua periode masa jabatan. Pengaturan masa jabatan ini juga berbeda dengan tuntutan para Kepala Desa yang mengusulkan masa jabatan menjadi dua belas tahun dan dapat menjabat untuk dua periode masa jabatan.
Masa jabatan 6 tahun dan dapat dipilih untuk tiga periode masa jabatan menurut penulis kurang tepat, karena masa jabatan enam tahun sebenarnya belum cukup bagi Kepala Desa
untuk memaksimalkan program kerja dan visi misnya. Apalagi dengan diperbolehkan menjabat selama tiga periode, akan dapat menghambat kaderisasi kepemimipinan di tingkat desa. Disamping itu, masa jabatan yang enam tahun akan mendorong stabilitas politik desa “terguncang” kembali setiap enam tahun. Pengalaman menunjukkan bahwa Pemilihan Kepala Desa sering menorehkan luka, dendam berkepanjangan dan menimbulkan konflik horizontal/vertikal bagi para pihak terkait yang sulit dihilangkan dalam beberapa tahun. Acapkali pihak-pihak yang kalah/dirugikan “menjegal” program-program Kepala Desa terpilih, sehingga menghambat kelancaran peyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan. Apalagi sesuai UU Desa yang baru, biaya pemilihan Kepala Desa menjadi beban APBD Kabupaten/Kota, sehingga dengan periode jabatan yang singkat, biaya Pilkades akan membebani APBD. Menurut penulis masa jabatan yang ideal untuk Kepala Desa adalah sepuluh tahun dan cukup menjabat satu periode saja untuk mendorong kaderisasi kepemimpinan di tingkat desa. PERANAN CAMAT
Satu hal hal lagi yang perlu dikritisi adalah bahwa UU Desa tidak memberikan legitimasi kewenangan kepada Camat terhadap desa selaku “atasan” Kepala Desa. Padahal fakta menunjukkan bahwa pemerintahan desa sangat membutuhkan pembinaan langsung dari kecamatan, karena potret pemerintahan desa kita masih diwarnai dengan keterbatasan-keterbatasan. Desa menghadapi masalah keterbatasan kapasitas aparatur, keterbatasan sarana-prasarana dan lemahnya manajemen pemerintahan desa. Sementara hubungan kecamatan dengan desa bersifat sistemik, karena saling ketergantungan, saling mempengaruhi dan berinteraksi secara langsung dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan. Pola relasi seperti ini mestinya diatur dengan kewenangan yang jelas, karena walaupun Camat secara formal tidak ditempatkan sebagai atasan langsung Kepala Desa, namun juga tidak dapat dikatakan bahwa kedudukan Camat sejajar dengan Kepala Desa. Bahkan “atasan riil” Kepala Desa adalah Camat, karena Camat yang sehari-hari membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan desa, tempat kades dan perangkat desa berkonsultasi menyangkut pelaksanaan tugas dan kewajiban. Untuk lebih mengefektifkan tugas-tugas, mestinya UU Desa memberikan peran yang signifikan terhadap Camat.
Dari 122 pasal UU Desa, hanya dua ayat yang “memberikan kewenangan” kepada Camat (walaupun bukan kewenangan substantif), yaitu Pasal 49 ayat 3 dan Pasal 53 ayat 3 yang menyebutkan bahwa ketika Kepala Desa akan mengangkat/memberhentikan perangkat desa terlebih dahulu berkonsultasi dengan Camat An. Bupati/Walkota. Di pasal-pasal lainnya Camat disebutpun tidak, apalagi diberi kewenangan.
Namun demikian masih ada peluang bagi kewenangan Camat, yaitu pintu masuknya lewat Pasal 112 ayat 2 yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan kepada desa, Bupati/Walikota dapat mendelegasikan kepada perangkat daerah. Jadi kuncinya ada pada tangan Bupati/Walikota. Kita berharap semoga peraturan pelaskanaan UU Desa mengatur bahwa yang “ketiban sampur” pendelegasian adalah Camat, sehingga “sebagai simbol pemerintah” di garis terdepan Camat akan eksis, dapat memaksimalkan tugas dan kontribusinya bagi praktek penyelenggaran pemerintahan, tugas-tugas pembangunan, pembinanan serta pemberdayaan masyarakat.
Timbul pertanyaan sekarang, mengapa Camat perlu dilibatkan dalam pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan desa ? Pertama karena dimungkinkan atau diberi pelung oleh peraturan perundang-udangan, Kedua adalah untuk efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan, karena Camat dan jajarannya yang beriteraksi dan berhubungan langsung dengan Kepala Desa dan perangkat desa. Ketiga, dalam konteks sistem pemerintahan Republik Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku, desa disamping sebagai entitas yang mempunyai hak otonomi, desa juga diberi peran sebagai bagian dari entitas administrasi negara dengan tugas-tugas pelayanan publik dan tugas-tugas birokrasi. Desa juga
harus menatausahakan dan mempertanggung jawabkan penggunaan dana negara yang telah diterimanya, sehingga menjadi relevan kalau mendapat pembinaan dan pengawasan dari aparatur birokrasi. Satu hal lagi yang dapat memperkuat hubungan Camat dengan Kepala Desa adalah bahwa secara sejarah dan berdasarkan sistem pemerintahan adalah bahwa pola hubungan Camat dengan Kepala Desa adalah “warisan jaman” yang patut dipertahankan karena sudah menjadi mindset bersama.
PENUTUP
Disahkannya UU Desa patut disambut dengan perasaan bangga dan gembira. UU Desa ini patut diapresiasi karena mencantumkan kebijakan-kebijakan yang progresif dan strategis bagi kemajuan dan perkembangan desa. UU ini juga menghargai eksistensi desa dan peranan aparatur desa. Hal ini karena mengingat pentingnya kedudukan dan peranan desa dalam sistem ketatanegaraan kita. Disamping itu UU Desa juga menunjukkan ketegasannya dengan adanya ancaman pemberian sanksi kepada kepala desa yang tidak menjalankan kewajibannya. Sanksinya bisa teguran tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian tetap. Ini tentu positif untuk mendorong kinerja dan disiplin pemerintah desa.
Kesimpulannya adalah UU Desa yang baru merupakan terobosan yang fenomenal dari pemerintah dan DPRRI yang akan menjadi tonggak sejarah bagi perkembangan dan kemajuan desa dan akan dicatat dengan tinta emas dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA :Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa
ARTI PENTING PERENCANAAN PADA PEMBANGUNAN DESA
MUZAKIR SALAT
Keberadaan Undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) diharapkan membawa penduduk di Desa lebih sejahtera melalui 4 (empat) aspek utama, yaitu pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan (Pasal 78 ayat 1). Untuk menunjang Pembangunan Desa tersebut, akan ada alokasi dana cukup besar yang mengalir ke Desa. Pada Pasal 72 ayat (4) ditetapkan paling sedikit 10% dari dana transfer daerah dalam Anggaran Pedapatan dan Belanja Negara (APBN) akan mengalir ke Desa. Berdasarkan simulasi anggaran, setiap Desa rata-rata akan menerima Rp 1,44 Milyar di tahun 2014.
Agar dana tersebut bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan penduduk Desa, Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO) berpendapat, perlu dibuat perencanaan yang matang untuk penggunaannya. Rencana tanpa anggaran adalah mimpi, dan anggaran tanpa rencana menciderai transparansi dan akuntabilitas serta rawan terjadi penyelewengan.Oleh karenanya, perencanaan pembangunan Desa sebagaimana dimandatkan pasal 79 dan pasal 80 menjadi faktor utama untuk dilaksanakan dengan baik, benar dan sederhana dalam prosesnya.PATTIRO melihat beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dari perencanaan pembangunan Desa. Pertama, perencanaan pembangunan Desa harus bisa memayungi program-program prioritas peningkatan kesejahteraan dalam dokumen. Dengan adanya aliran dana sedemikian besar, sudah dipastikan Desa akan menjadi sasaran menarik bagi banyak kelompok kepentingan, baik dari internal Desa itu sendiri maupun dari luar, yang dapat “menunggangi” perencanaan pembangunan Desa sehingga tujuan utama yang menjadi cita-cita dari UU Desa itu sendiri tidak tercapai. Kelompok-kelompok ini akan saling mengklaim bahwa proposal program pembangunan Desa yang mereka ajukan paling baik dan tepat untuk dilaksanakan.
Meskipun pasal 80 ayat (4) sudah menetapkan prioritas, program, dan kebutuhan Pembangunan Desa, namun jika ada upaya baru yang belum terpayungi dokumen perencanaan desa maka perlu dilakukan forum review Musyawarah perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) dalam menyusun rencana pembangunan Desa. PATTIRO menyarankan, upaya review dilakukan dengan memperhatikan faktor kerawanan yang mengancam kesejahteraan dan kerap terjadi di desa yaitu tingginya
angka kemiskinan dan pengangguran, serta rendahnya tingkat kesehatan dan pendidikan. Dengan tujuan menekan faktor kerawanan dalam perencanaan, maka efek dari perencanaan pembangunan Desa akan memberikan dampak signifikan terhadap peningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa.Hal penting berikutnya adalah, bagaimana upaya sinkronisasi rencana pembangunan Desa dengan rencana pembangunan di tingkat yang lebih tinggi, yaitu rencana pembangunan tingkat daerah dan nasional. Pasal 79 ayat (1) menegaskan perencanaan pembangunan Desa disusun dengan kewenangannya pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Adanya peran vital kabupaten/kota dalam menampung dan mencairkan dana desa setelah adanya proposal program dari Desa akan menimbulkan tantangan tersendiri. Beragamnya kapasitas kabupaten/kota dalam mendampingi Desa dapat berakibat pada pemanfaatan DAD (Dana Alokasi Daerah) di desa yang tidak sesuai dengan tujuan dan prioritas pembangunan Kabupaten/Kota.
Wajah perencanaan Desa yang mampu mengungkit peningkatan kesejahteraan Desa, dimandatkan kepada Kepala Desa bersama perangkatnya. Permasalahannya adalah masih banyak Desa yang belum terlatih menyusun dokumen perencanaan pembangunan Desa. Untuk mengatasi persoalan ini,PATTIRO melihat dibutuhkan komitmen pemerintah dalam pemberdayaan Desa dalam bentuk kebijakan pemerintah tentang perencanaan dalam kaitannya dengan transfer dana. Alternatif kebijakanyang bisa diambil pemerintah antara lain; pertama, menggunakan perencanaan sebagai aspek yang membatasi akses masyarakat desa terhadap transfer dana. Artinya desa-desa yang tidak mampu menyusun dokumen tidak akan ditransfer alokasi dana yang menjadi haknya. Kebijakan ini akan secara efektif memaksa Desa membuat perencanaan namun perlu diwaspadai munculnya “broker-broker” penyusunan dokumen perencanaan yang mungkin akan diperankan oleh kaum terdidik yang tinggal di desa atupun oknum pemerintahan pada supra desa.Alternatif kebijakan kedua adalah menugaskan pegawai yang menangani untuk melakukan pendampingan. Alternatif ini diatas kertas menampakkan komitmen pemerintah yang utuh dalam memberdayakan Desa. Namun jika sitem transparansi dan integritasnya tidak dikuatkan, maka tetap terbuka celah oknum mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Insentif secara formal bisa oknum tersebut dapatkan secara informal karena kedekatan dengan perangkat yang dibimbing. Hal ini juga akan membuka celah pencederaan integritas.Alternatif kebijakan ketiga adalah, pemerintah menyediakan konsultan secara nasional atau mengoptimalkan program yang secara nasional telah berada di desa seperti program PNPM Mandiri Pedesaan. Alternatif ini sudah beberapa tahun diterapkan, namun harus dipastikan bahwa keberadaannya tidak hanya sekedar menjalankan rezim adminitrasi undang-undang, sehingga mampu mengungkit gagasan dan praktik cerdas masyarakat dalam menemu-kenali potensi dan permasalahan desa untuk diolah menjadi rencana pembangunan yang strategis.
Perencanaan desa juga harus mampu menguatkan modal sosial yang selama ini menjadi kekuatan desa. Tentu kita semua tidak berharap masuknya transfer uang ini memindahkan dan mereproduksi permasalahan di kota terjadi di desa dimana segala sesuatunya selalu dikonversi dengan uang. Dampak dari kesalahan pikir tersebut bisa berkelanjutan yang pada akhirnya menurunkan ketahanan masyarakat desa dalam menjalani kehidupan. Karena tidak lagi saling bantu-membantu dan tolong-menolong serta bergotong-royong dalam ikatan modal sosial desa.