28
1 Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI PADA SISWA SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN KARANGASEM Oleh : Richard P. Simbolon PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otitis media efusi (OME) adalah peradangan telinga tengah yang ditandai dengan adanya cairan di rongga telinga tengah dengan membran timpani intak tanpa disertai dengan tanda-tanda infeksi akut. OME termasuk dalam golongan otitis media non supuratif. Terdapat banyak sinonim dari OME ini. Tetapi yang paling banyak diterima berdasarkan terminologi adalah otitis media efusi. 1 Adanya cairan didalam telinga tengah mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran. Orang tua mengeluhkan anak-anaknya mendengarkan suara televisi dengan volume terlalu keras, sering menanyakan ulang atas jawaban yang diberikan orang tuanya dan tidak segera mengacuhkan bila di panggil. Beberapa anak mungkin tidak didapatkan keluhan. Cairan dalam telinga tengah pada anak-anak bisa berbulan-bulan dan baru diketahui ketika diadakan pemeriksaan rutin. 2 Anak-anak memerlukan kemampuan mendengar untuk belajar berbicara. Adanya gangguan pendengaran karena cairan di telinga tengah mengakibatkan terjadinya kelambatan bicara. Diagnosis dan penatalaksanaan dini dapat mencegah hambatan pendengaran anak akibat OME. 1,2 Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai distribusi penderita OME pada anak, yaitu siswa sekolah dasar yang dilakukan pada SD di Kabupaten Karangasem, khususnya yang terletak di daerah perkotaan dan pedesaan.

Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

1

Laporan Penelitian

DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI PADA SISWA

SEKOLAH DASAR DI KABUPATEN KARANGASEM

Oleh :

Richard P. Simbolon

PPDS I Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Otitis media efusi (OME) adalah peradangan telinga tengah yang ditandai

dengan adanya cairan di rongga telinga tengah dengan membran timpani intak tanpa

disertai dengan tanda-tanda infeksi akut. OME termasuk dalam golongan otitis

media non supuratif. Terdapat banyak sinonim dari OME ini. Tetapi yang paling

banyak diterima berdasarkan terminologi adalah otitis media efusi.1

Adanya cairan didalam telinga tengah mengakibatkan terjadinya gangguan

pendengaran. Orang tua mengeluhkan anak-anaknya mendengarkan suara televisi

dengan volume terlalu keras, sering menanyakan ulang atas jawaban yang diberikan

orang tuanya dan tidak segera mengacuhkan bila di panggil. Beberapa anak

mungkin tidak didapatkan keluhan. Cairan dalam telinga tengah pada anak-anak

bisa berbulan-bulan dan baru diketahui ketika diadakan pemeriksaan rutin.2

Anak-anak memerlukan kemampuan mendengar untuk belajar berbicara.

Adanya gangguan pendengaran karena cairan di telinga tengah mengakibatkan

terjadinya kelambatan bicara. Diagnosis dan penatalaksanaan dini dapat mencegah

hambatan pendengaran anak akibat OME.1,2

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian mengenai distribusi penderita OME pada anak, yaitu siswa sekolah dasar

yang dilakukan pada SD di Kabupaten Karangasem, khususnya yang terletak di

daerah perkotaan dan pedesaan.

Page 2: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

2

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan jenis kelamin.

b. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan umur.

c. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan status ekonomi.

d. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan riwayat mendapatkan ASI.

e. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan adanya ISPA.

f. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan adanya hipertropi adenoid.

g. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan status gizi.

h. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan paparan asap rokok.

i. Mengetahui distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten

Karangasem berdasarkan gangguan pendengaran.

Page 3: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

3

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi mengenai distribusi penderita OME pada Siswa SD di

Kabupaten Karangasem.

2. Memberikan informasi tambahan sebagai bahan acuan untuk penelitian

selanjutnya mengenai penderita OME pada anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Telinga dibagi menjadi 3 bagian, yaitu telinga luar, tengah dan dalam.

Telinga tengah terdiri dari membran timpani, otot tensor timpani, otot stapedius dan

3 tulang kecil yaitu maleus, inkus dan stapes.3 Membran timpani berbentuk oval

dan merupakan selaput tipis pada ujung liang telinga. Bagian atas membran timpani

disebut pars flaksida dan bagian bawah dari membran timpani disebut pars tensa.

Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran, yaitu bagian anterosuperior,

posterosuperior, anteroinferior dan posteroinferior.3,4

Kavum timpani merupakan rongga yang disebelah lateral dibatasi oleh

membran timpani, sebelah medial oleh promontorium, superior oleh tegmen

timpani dan inferior oleh bulbus jugularis dan n. fasialis. Kavum timpani terutama

berisi udara yang mempunyai ventilasi ke nasofaring melalui tuba Eustachius.5

Tuba Eustachius merupakan bagian dari sistem yang paling berhubungan

termasuk hidung, nasofaring, telinga tengah dan rongga mastoid.5 Tuba Eustachius

tidak hanya berupa tabung melainkan sebuah organ yang mengandung lumen

dengan mukosa, kartilago, dikelilingi jaringan lunak, muskulus peritubular seperti

veli palatine, levator veli palatini, salpingofaringeus dan tensor timpani dan di

bagian superior didukung tulang. Perbedaan tuba Eustachius pada anak dan dewasa

yang menyebabkan meningkatnya insiden otitis media pada anak-anak.5,6

Panjang tuba pada anak setengah dari panjang tuba dewasa, sehingga sekret

nasofaring lebih mudah refluks ke dalam telinga tengah melalui tuba yang pendek.

Arah tuba bervariasi pada anak, sudut antara tuba dengan bidang horizontal adalah

10o. Sedangkan pada dewasa 45o. Sudut antara tensor veli palatine dengan kartilago

bervariasi pada anak-anak tetapi relatif stabil pada dewasa. Perbedaan ini dapat

Page 4: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

4

membantu menjelaskan pembukaan lumen tuba (kontraksi tensor veli palatini) yang

tidak efisien pada anak-anak. Masa kartilago bertambah dari bayi sampai dewasa.

Densitas elastin pada kartilago lebih sedikit pada bayi tetapi densitas kartilago lebih

besar. Ostmann fat pad lebih kecil volumenya pada bayi. Pada anak-anak banyak

lipatan mukosa di lumen tuba Eustachius, hal ini dapat menjelaskan peningkatan

compliance tuba pada anak-anak.2,3

Gambar 1. Anatomi telinga.3

2.2. Epidemiologi

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya OME yaitu umur,

jenis kelamin, ras, genetik, lingkungan dan lain-lain. OME merupakan penyakit

yang sering di derita oleh bayi dan anak-anak. Tidak ada dominasi jenis kelamin

yang menderita OME. Diagnosis OME paling sering pada anak-anak yang lebih

muda dari 15 tahun yang diperiksa di praktek dokter. Diluar negeri, khususnya di

negara yang mempunyai 4 musim penyakit ini ditemukan dengan angka insiden dan

prevalensi yang tinggi. Anak-anak dengan otitis media akut (OMA), sebanyak 30-

45% memiliki peluang menjadi OME setelah 30 hari, sedangkan 10% lainnya

menjadi OME setelah 3 bulan. Statisik menunjukkan 80-90% anak prasekolah

pernah mengalami OME. Kasus OME berulang (rekuren) pun menunjukkan

prevalensi cukup tinggi terutama pada usia prasekolah, sekitar 28-38%.4,7

Page 5: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

5

Dari beberapa kepustakaan dapat disimpulkan rata-rata insiden OME

sebesar 14-62%, sedang peneliti lain ada yang melaporkan angka rata-rata

prevelensi OME sebesar 2-52%.7 Di Indonesia masih jarang ditemukan

kepustakaan yang melaporkan angka kejadian penyakit ini, hal ini di sebabkan

kerena belum ada penelitian yang khusus mengenai penyakit ini atau tidak

terdeteksi karena minimalnya keluhan pada anak yang menderita OME.2

2.3. Etiopatogenesis

Etiologi dan patogenesis OME bersifat multifaktorial antara lain infeksi

virus atau bakteri, gangguan fungsi tuba Eustachius, status imunologi, alergi, faktor

lingkungan dan sosial. Walaupun demikian, tekanan telinga tengah yang negatif,

abnormalitas imunologi atau kombinasi dari kedua faktor tersebut diperkirakan

menjadi faktor utama dalam patogenesis OME. Faktor penyebab lainnya termasuk

hipertropi adenoid, adenoiditis kronis, palatoskisis, tumor nasofaring, barotrauma,

terapi radiasi dan radang penyerta seperti sinusitis atau rinitis. Merokok dapat

menginduksi hiperplasi limfoid nasofaring dan hipertropi adenoid yang juga

merupakan patogenesis timbulnya OME.1,2

Gangguan fungsi tuba menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga

tengah terganggu, drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring terganggu dan

gangguan mekanisme proteksi rongga telinga tengah terhadap refluks dari rongga

nasofaring. Akibat gangguan tersebut rongga telinga tengah akan mengalami

tekanan negatif. Tekanan negatif di telinga tengah menyebabkan peningkatan

permaebilitas kapiler dan selanjutnya terjadi transudasi. Selain itu terjadi infiltrasi

populasi sel-sel inflamasi dan sekresi kelenjar. Akibatnya terdapat akumulasi sekret

di rongga telinga tengah. Inflamasi kronis di telinga tengah akan menyebabkan

terbentuknya jaringan granulasi, fibrosis dan destruksi tulang.5,6

Obstruksi tuba Eustachius ytang menimbulkan terjadinya tekanan negatif di

telinga tengah yang diikuti retraksi membran timpani. Orang dewasa biasanya

mengeluh adanya rasa tak nyaman, rasa penuh atau rasa tertekan dan akibatnya

timbul gangguan pendengaran ringan dan tinnitus. Anak-anak mungkin tidak

muncul gejala seperti ini. Jika keadaan ini berlangsung dalam jangka waktu lama

Page 6: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

6

cairan akan tertarik keluar dari membran mukosa telinga tengah, menimbulkan

keadaan yang kita sebut dengan otitis media serosa. Kejadian ini sering timbul pada

anak-anak berhubungan dengan infeksi saluran nafas atas dan sejumlah gangguan

pendengaran mengikutinya.8

Infeksi bakteri merupakan faktor penting dalam patogenesis terjadinya

OME sejak dilaporkan adanya bakteri di telinga tengah. Streptococcus Pneumonia,

Haemophilus Influenzae, Moraxella Catarrhalis dikenal sebagai bakteri pathogen

terbanyak ditemukan dalam telinga tengah.2,9 Meskipun hasil yang didapat dari

kultur lebih rendah yang diduga karena penggunaan antibiotik jangka lama sebelum

pemakaian ventilation tube akan mengurangi proliferasi bakteri patogen, sekresi

immunoglobulin dan lisosim dalam efusi telinga tengah akan menghambat

proliferasi patogen, bakteri dalam efusi telinga tengah berlaku sebagai biofilm.

Selain bakteri, infeksi virus di saluran pernafasan atas dapat menginvasi telinga

tengah dan merangsang produksi sekret.1,6

Faktor imunologis yang cukup berperan dalam OME adalah sekresi Ig A.

Imunoglobulin ini diproduksi oleh kelenjar di dalam mukosa kavum timpani.

Sekretori Ig A terutama ditemukan pada efusi mukoid dan dikenal sebagai suatu

imunoglobulin yang aktif bekerja di permukaan mukosa respiratorik. Kerjanya

yaitu menghadang kuman agar tidak kontak langsung dengan permukaan epitel,

dengan cara membentuk ikatan komplek. Kontak langsung dengan dinding sel

epitel adalah tahap pertama dari penetrasi kuman untuk infeksi jaringan. Dengan

demikian Ig A aktif mencegah infeksi kuman.9

Selain beberapa faktor yang telah dijelaskan diatas, faktor alergi juga

berperan dalam terjadinya OME meskipun masih belum jelas bagaimana

mekanismenya. Akan tetapi dari gambaran klinis dipercaya bahwa alergi

memegang peranan. Dasar pemikirannya adalah analogi embriologik, dimana

mukosa timpani berasal sama dengan mukosa hidung. Setidak-tidaknya manifestasi

alergi pada tuba Eustachius merupakan penyebab oklusi kronis dan selanjutnya

menyebabkan efusi. Namun demikian dari penelitian kadar Ig E yang menjadi

kriteria alergi atopik, baik kadarnya dalam efusi maupun dalam serum tidak

menunjang sepenuhnya alergi sebagai penyebab.10

Page 7: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

7

Etiologi dan patogenesis otitis media oleh karena alergi mungkin

disebabkan oleh satu atau lebih dari beberapa mekanisme, antara lain mukosa

telinga tengah sebagai target organ, pembengkakan oleh karena proses inflamasi

pada mukosa tuba Eustachius, obstruksi nasofaring karena proses inflamasi dan

aspirasi bakteri nasofaring yang terdapat pada sekret alergi ke dalam ruang telinga

tengah.5,9

2.4. Gejala Klinis

Penderita OME jarang memberikan gejala sehingga pada anak-anak sering

terlambat diketahui. Gejala OME ditandai dengan rasa penuh dalam telinga,

terdengar bunyi berdengung yang hilang timbul atau terus menerus, gangguan

pendengaran dan rasa nyeri yang ringan. Vertigo juga dirasakan penderita-penderita

OME. Gejala kadang bersifat asimptomatik sehingga adanya OME diketahui oleh

orang yang dekat dengan anak misalnya orang tua atau guru.2,9

Anak-anak dengan OME juga kadang-kadang sering terlihat menarik-narik

telinga mereka atau merasa seperti telinganya tersumbat. Pada kasus yang lanjut

sering ditemukan adanya gangguan bicara dan perkembangan berbahasa. Kadang-

kadang juga ditemui keadaan kesulitan dalam berkomunikasi dan keterbelakangan

dalam pelajaran.11

2.5. Diagnosis

Dalam mendiagnosis OME diperlukan kejelian dari pemeriksa. Ini

disebabkan keluhan yang tidak khas terutama pada anak-anak. Diagnosis

ditegakkan dengan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang yang tepat. Dari anamnesis biasanya orang tua mengeluh adanya

gangguan pendengaran pada anaknya, guru melaporkan bahwa anak mempunyai

gangguan pendengaran, kemunduran dalam pelajaran di sekolah, bahkan dalam

gangguan wicara dan bahasa. Sering kali OME ditemukan secara tidak sengaja pada

saat skrining pemeriksaan telinga dan pendengaran di sekolah-sekolah.9,12

Pada anak-anak dengan OME dari anamnesis keluhan yang paling sering

adalah penurunan pendengaran dan kadang merasa telinga merasa penuh sampai

Page 8: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

8

dengan merasa nyeri telinga. Dan pada anak-anak penderita OME biasanya mereka

juga sering didapati dengan riwayat batuk pilek dan nyeri tenggorokan berulang.

Pada anak-anak yang lebih besar biasanya mereka mengeluhkan kesulitan

mendengarkan pelajaran di sekolah atau harus membesarkan volume saat menonton

televisi di rumah. Orang tua juga sering mendengarkan keluhan telinga anaknya

terasa tidak nyaman atau sering melihat anaknya menarik-narik daun

telinganya.12,13

Untuk mendiagnosis OME pada pemeriksaan fisik perlu dilakukan

pemeriksaan otoskopi, timpanometri, audiometri dan kadang diperlukan tindakan

miringotomi untuk memastikan adanya cairan dalam telinga tengah. Pemeriksaan

otoskopi dilakukan untuk menilai kondisi, warna dan translusensi membran

tempani. Pada pemeriksaan otoskopi menunjuk kecurigaan adanya OME apabila

ditemukan beberapa tanda seperti tidak didapatkannya tanda-tanda radang akut,

terdapat perubahan warna membran timpani akibat refleksi dari adanya cairan

didalam kavum timpani, membran timpani tampak lebih menonjol, membran

timpani retraksi atau atelektasis, didapatkan air fluid levels atau buble atau

mobilitas membran berkurang atau fikasi. Atelektasis biasanya ditunjukkan dengan

membran timpani yang agak tipis, atropi dan mungkin menempel pada inkus, stapes

dan promontium, khususnya pada kasus-kasus yang sudah lanjut, biasanya kasus

yang seperti ini karena disfungsi tuba Eustachius dan OME yang sudah lama.

Membran timpani dengan sikatrik, suram sampai retraksi berat disertai bagian yang

atropi didapatkan pada otitis media adesiva oleh karena terjadi jaringan fibrosis di

telinga tengah sebagai akibat proses peradangan yang berlangsung lama.5,6

Pemeriksaan dengan otoskop pneumatik juga dapat dilakukan untuk

menunjang diagnosis OME. Otoskop pneumatik diperkenalkan pertama kali oleh

Siegle, bentuknya relatif tidak berubah sejak pertama diperkenalkan pada tahun

1864. Pemeriksaan otoskopi pneumatik selain bisa melihat jenis perforasi, jaringan

patologi dan untuk membran timpani yang masih utuh bisa juga dilihat gerakannya

(mobilitas) dengan jalan memberi tekanan positif maka membran timpani akan

bergerak ke medial dan bila diberi tekanan negatif maka membran timpani akan

Page 9: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

9

bergerak ke leteral. Pemeriksaan otoskopi pneumatik merupakan standar fisik

diagnostik pada OME.1,6

Untuk mengetahui kondisi dari sistem telinga tengah dapat dilakukan

pemeriksaan dengan suatu alat timpanometer. Pengukuran ini memberikan

gambaran tentang mobilitas membran timpani, keadaan persediaan tulang

pendengaran, keadaan dalam telinga tengah termasuk tekanan udara didalamnya,

jadi berguna dalam mengetahui gangguan konduksi dan fungsi tuba Eustachius.

Grafik hasil pengukuran timpanometeri atau timpanogram dapat untuk mengetahui

gambaran kelainan di telinga tengah. Meskipun ditemukan banyak variasi bentuk

timpanogram akan tetapi pada prinsipnya hanya ada tiga tipe, yakni tipe A, tipe B

dan tipe C. Pada penderita OME gambaran timpanogram yang sering didapati

adalah tipe B. Tipe B bentuknya relatif datar, hal ini menunjukan gerakan membran

timpani terbatas karena adanya cairan atau pelekatan dalam kavum timpani. Grafik

yang sangat datar dapat terjadi akibat perforasi membran timpani, serumen yang

banyak pada liang telinga luar atau kesalahan pada alat yaitu saluran buntu.

Pemerikasaan timpanometri dapat memperkirakan adanya cairan didalam kavum

timpani yang lebih baik dibanding dengan pemeriksaan otoskopi saja.14

Gambar 2. Gendang telinga dengan gambaran OME.5

Page 10: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

10

Dari pemeriksaan audiometrik nada murni didapatkan nilai ambang tulang

dan hantaran udara. Gangguan pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien

OME dengan cairan yang kental (glue ear). Meskipun demikian beberapa studi

mengatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara cairan serous dan kental

terhadap gangguan pendengaran, sedangkan volume cairan yang ditemukan di

dalam telinga tengah adalah lebih berpengaruh. Pasien dengan OME ditemukan

gangguan pendengaran dengan tuli konduksi ringan sampai sedang sehingga tidak

begitu berpengaruh dengan kehidupan sehari-hari. Tuli bilateral persisten lebih dari

25 dB dapat mengganggu perkembangan intelektual dan kemampuan berbicara

anak. Bila hal ini dibiarkan, bisa saja ketulian akan bertambah berat yang dapat

berakibat buruk bagi pasien. Akibat buruk ini dapat berupa gangguan lokal pada

telinga maupun gangguan yang lebih umum, seperti gangguan perkembangan

bahasa dan kemunduran dalam pelajaran sekolah. Pasien dengan tuli konduksi yang

lebih berat mungkin sudah didapatkan fiksasi atau putusnya rantai osikel.15

Pemeriksaan audiometrik direkomendasikan pada pasien dengan OME

selama 3 bulan atau lebih, kelambatan berbahasa, gangguan belajar atau dicurigai

terdapat penurunan pendengaran bermakna. Berdasarkan beberapa penelitian, tuli

konduksi sering berhubungan dengan OME dan berpengaruh pada proses

mendengar kedua telinga, lokalisasi suara, persepsi bicara dalam kebisingan.

Penurunan pendengaran yang disebabkan oleh OME akan menghalangi

kemampuan awal berbahasa.15,16

Pemeriksaan radiologi foto mastoid dahulu efektif digunakan untuk skrining

OME, tetapi sekarang jarang dikerjakan. Anamnesis riwayat penyakit dan

pemeriksaan fisik banyak membantu diagnosis penyakit ini.17 CT Scan sangat

sensitif namun tidak diperlukan untuk diagnosis. Meskipun CT scan penting untuk

menyingkirkan adanya komplikasi dari otitis media seperti mastoiditis, trombosis

sinus sigmoid ataupun adanya kolesteatoma. CT scan penting khususnya pada

pasien dengan OME unilateral yang bertujuan untuk menyingkirkan kemungkinan

adanya massa di nasofaring.9,17

Page 11: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

11

2.6. Penatalaksanaan

Diagnosis dan pengobatan sedini mungkin memegang peranan penting.

Keberhasilan dari penatalaksanaan ditentukan dengan mencari faktor penyebab dan

mengatasinya guna mencegah akibat lanjut penyakit tersebut. Sumbatan tuba dan

infeksi saluran nafas atas yang kronis serta berulang merupakan salah satu faktor

yang penting diperhatikan.18

Namun penatalaksanaan OME sendiri masih menjadi perdebatan, ini

disebabkan oleh karena baik pengobatan yang bersifat konservatif maupun tindakan

operatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengobatan OME

secara konservatif ada yang belum terbukti menyembuhkan penderita dengan

OME, namun pada pokoknya dapat mengurangi morbiditas ketika terapi

konservatif dianggap gagal atau tidak memuaskan.19

Pengobatan pada OME meliputi pengobatan konservatif dan tindakan

operatif. Pengobatan konservatif secara lokal (obat tetes hidung atau semprot

hidung) dan sistemik antara lain antibiotika spektrum luas, antihistamin,

dekongestan, dengan atau tanpa kortikosteroid. Pengobatan dan kontrol terhadap

alergi dapat mengurangi atau menyembuhkan OME.19,20

Pengobatan secara operatif dilakukan pada kasus dimana setelah dilakukan

pengobatan konservatif selam lebih dari 3 bulan tidak sembuh. Untuk memberikan

hasil yang baik terhadap drainase dilakukan miringotomi dan pemasangan pipa

ventilasi. Pipa ventilasi dipasang pada daerah kuadran antero inferior atau postero

inferior. Pipa ventilasi akan dipertahankan sampai fungsi tuba ini paten.

Penatalaksanaan secara operatif meliputi mirigotomi dengan atau tanpa

pemasangan pipa ventilasi dan adenoidektomi dengan atau tanpa tonsilektomi.21,22

Tujuan pemasangan pipa ventilasi adalah menghilangkan cairan pada

telinga tengah, mengatasi gangguan pendengaran yang terjadi, mencegah

kekambuhan, mencegah gangguan perkembangan kognitif, bicara, bahasa dan

psikososial.22

Page 12: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

12

2.7. Komplikasi

Akibat lanjut OME dapat mengakibatkan hilangnya fungsi pendengaran

sehingga akan mempengaruhi perkembangan bicara dan intelektual. Perubahan

yang terjadi pada telinga tengah dapat mengakibatkan penyakit berlanjut menjadi

atelektasis dan otitis media adesif.21,23

Atelektasis dan otitis media adesif biasanya terjadi bersamaan dengan

OME, meski OME dapat mengalami resolusi sehingga memungkinkan aerasi atik

dan mastoid, namun tidak semua pasien dengan OME kronik berkembang menjadi

atelektasis. Kerusakan yang menetap akibat OME dapat menyebabkan kehilangan

pendengaran parsial ataupun total.23

III. KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Konsep

Faktor penjamu (host):

Umur

Jenis kelamin

Riwayat ASI

ISPA

Hipertropi adenoid

Status gizi

Faktor sosiodemografi:

Status ekonomi/pendapatan

Gangguan

Fungsi Tuba

Faktor lingkungan:

Paparan asap rokok

Efusi cairan di telinga tengah

Membran timpani intak

Otitis media efusi (OME) Gangguan

pendengaran

Kronik

Page 13: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

13

3.2. Kerangka Kerja

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan

potong lintang (cross sectional).

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2

Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Penelitian

dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2016 dan 20 Agustus 2016.

4.3. Subjek dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi dan sampel

Populasi penelitian adalah semua siswa/siswi SD yang terdiagnosis OME.

Sampel penelitian adalah seluruh penderita OME dari 4 SD di Kabupaten

Karangasem (dari kelas 1 sampai kelas 6) yang dilakukan pemeriksaan kesehatan

THT-KL yang datang pada saat pelaksanaan bakti sosial.

Populasi (SD)

Kuisoner

Anamnesis

Pemeriksaan THT

Sampel

Timpanometri

Audiometri

Kriteria

inklusi/eksklusi

Page 14: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

14

4.3.2. Teknik pemilihan sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu

setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam

sampel penelitian.

4.3.3. Kriteria sampel

Kriteria inklusi yaitu penderita yang didiagnosis dengan OME berdasarkan

pemeriksaan telinga dan timpanometri. Kriteria eksklusi yaitu penderita dengan

catatan kuisioner tidak lengkap yang meliputi informasi tentang semua variabel

yang diteliti.

4.4. Definisi Operasional Variabel

a. OME adalah peradangan telinga tengah yang ditandai dengan adanya cairan

efusi di rongga telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa disertai

dengan tanda-tanda infeksi akut.

b. Jenis kelamin adalah karakteristik baik secara biologi maupun fisiologi yang

dikategorikan sebagai laki-laki atau perempuan.

c. Umur adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran.

d. Status ekonomi adalah miskin atau tidak miskin dimana kategori miskin jika

penghasilan orang tua Rp 1.800.000,- dan tidak miskin jika penghasilan

orang tua > Rp. 1.800.000,-, sesuai dengan standar upah minimum provinsi

Bali (Rp. 1.800.000,-).

e. Riwayat ASI adalah anak yang mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya

selama minimal 6 bulan.

f. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas) adalah kejadian infeksi akut berupa

batuk pilek dengan onset < 2 minggu atau berulang (kronik eksaserbasi

akut), > 4 kali dalam 3 bulan atau > 6 bulan dalam 1 tahun dengan

menunjukkan tanda-tanda akut.

g. Hipertropi adenoid adalah pembesaran multiplikasi jaringan folikel adenoid

yang disebabkan oleh proses alaergi atau infeksi.

Page 15: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

15

h. Status gizi adalah keadaan gizi yang diperiksa dengan menggunakan indeks

massa tubuh (IMT). Status gizi kurang jika IMT < 18,5; baik jika IMT 18,5-

25 ; lebih jika IMT 25,1-27 dan obese jika IMT > 27.

i. Paparan asap rokok adalah risiko timbulnya suatu penyakit pada individu

akibat menghirup asap rokok yang berasal dari lingkungan asap rokok

tembakau dapat berupa perokok pasif atau aktif.

j. Gangguan pendengaran adalah penurunan ambang dengar seseorang

berdasarkan audiometri nada murni sesuai dengan derajat ketulian yang

diderita. Pembagian derajat ketulian: 0-25 dB: normal; > 25-40 dB:

gangguan pendengaran ringan; > 40-55 dB: sedang; > 55-70 dB: sedang

berat; > 70-90 dB: berat; dan > 90 dB: sangat berat.

4.5. Cara Pengumpulan Data

Data diambil dari kuisioner dan pemeriksaan kesehatan THT-KL yang

dilakukan oleh tenaga kesehatan dan dokter saat pelaksanaan bakti sosial di 4 SD

di Kabupaten Karangasem. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar pengumpulan

data untuk selanjutnya akan dilakukan analisis data.

4.6. Pengolahan Data

Hasil penelitian dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel

dan narasi.

V. HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2

Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Penelitiaan

dilaksanakan pada tanggal 23 Juli 2016 dan 20 Agustus 2016. Dari total 1217 siswa

dari keempat SD tersebut didapatkan sampel yang memenuhi kriteria inklusi

sebanyak 23 siswa (1,89%), dimana dari SDN 2 Abang didapatkan sebanyak 5 dari

235 siswa, SDN 3 Bunutan: 6 dari 155 siswa, SDN 1 Pertima: 9 dari 423 siswa dan

SDN 4 Subagan: 3 dari 404 siswa.

Page 16: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

16

Berdasarkan jenis kelamin (Tabel 5.1), dari 23 siswa penderita OME

didapatkan 14 siswa laki-laki (60,87%) dan 9 siswa perempuan (39,13%).

Tabel 5.1. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan jenis kelamin.

Jenis kelamin n %

Laki-laki 14 60,87

Perempuan 9 39,13

Jumlah 23 100

Berdasarkan umur (Tabel 5.2), dari 23 siswa penderita OME didapatkan 4

siswa berumur 6 tahun (17,39%), 7 siswa berumur 7 tahun (30,43%), 6 siswa

berumur 8 tahun (26,09%), 3 siswa berumur 9 tahun (13,04%), 2 siswa beumur 10

tahun (8,70%) dan 1 siswa berumur 11 tahun (4,35%).

Tabel 5.2. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan umur.

Umur n %

6 4 17,39

7 7 30,43

8 6 26,09

9 3 13,04

10 2 8,70

11 1 4,35

Jumlah 23 100

Berdasarkan status ekonomi (Tabel 5.3), dari 23 siswa penderita OME

didapatkan 16 siswa dengan status ekonomi miskin (69,57%) dan 7 siswa dengan

status ekonomi tidak miskin (30,43%).

Page 17: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

17

Tabel 5.3. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan status ekonomi.

Status ekonomi n %

Miskin 16 69,57

Tidak miskin 7 30,43

Jumlah 23 100

Berdasarkan riwayat mendapatkan ASI (Tabel 5.4), dari 23 siswa penderita

OME didapatkan 21 siswa yang mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya selama

minimal 6 bulan (91,30%) dan 2 siswa yang tidak (8,70%).

Tabel 5.4. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan riwayat mendapatkan ASI.

Riwayat ASI n %

Ya 21 91,30

Tidak 2 8,70

Jumlah 23 100

Berdasarkan adanya ISPA (Tabel 5.5), dari 23 siswa penderita OME

didapatkan 6 siswa yang mengalami ISPA (26,09%) dan 17 siswa yang tidak

(73,91%).

Tabel 5.5. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan adanya ISPA.

ISPA n %

Ya 6 26,09

Tidak 17 73,91

Jumlah 23 100

Page 18: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

18

Berdasarkan adanya hipertropi adenoid (Tabel 5.6), dari 23 siswa penderita

OME didapatkan 15 siswa yang mengalami hipertropi adenoid (65,22%) dan 8

siswa yang tidak (34,78%).

Tabel 5.6. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan adanya hipertropi adenoid.

Hipertropi adenoid n %

Ya 15 65,22

Tidak 8 34,78

Jumlah 23 100

Berdasarkan status gizi (Tabel 5.7), dari 23 siswa penderita OME

didapatkan 5 siswa dengan status gizi kurang (21,74%), 15 siswa dengan status gizi

baik (65,22%) dan 3 siswa dengan status gizi lebih (13,04%). Tidak ada siswa

dengan status gizi obese.

Tabel 5.7. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan adanya status gizi.

Status gizi n %

Kurang 5 21,74

Baik 15 65,22

Lebih 3 13,04

Obese - 0

Jumlah 23 100

Berdasarkan adanya paparan asap rokok (Tabel 5.8), dari 23 siswa penderita

OME didapatkan 15 siswa yang mengalami paparan asap rokok (65,22%) dan 8

siswa yang tidak (34,78%).

Page 19: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

19

Tabel 5.8. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan paparan asap rokok.

Paparan asap rokok n %

Ya 15 65,22

Tidak 8 34,78

Jumlah 23 100

Berdasarkan gangguan pendengaran (Tabel 5.9), dari 23 siswa penderita

OME didapatkan 7 siswa dengan tuli derajat ringan kiri (30,43%), 2 siswa dengan

tuli derajat ringan kanan (8,70%), 12 siswa dengan tuli derajat ringan kanan dan

kiri (52,17%), 1 siswa dengan tuli derajat ringan kanan / derajat sedang kiri (4,35%)

dan 1 siswa dengan tuli derajat sedang kanan / derajat ringan kiri (4,35%).

Tabel 5.9. Distribusi penderita OME pada Siswa SD di Kabupaten Karangasem

berdasarkan gangguan pendengaran.

Gangguan pendengaran n %

Kanan Kiri

normal ringan 7 30,43

ringan normal 2 8,70

ringan ringan 12 52,17

ringan sedang 1 4,35

sedang ringan 1 4,35

Jumlah 23 100

VI. PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan

potong lintang yang dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2

Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Pengisian kuisoner,

anamnesis dan pemeriksaan THT dilakukan pada seluruh siswa untuk mengetahui

adanya OME yang dilanjutkan dengan pemeriksaan audiometri.

Page 20: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

20

Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 23 siswa penderita OME dari

keempat SD yang dilakukan pemeriksaan. Dari 23 siswa tersebut, penderita OME

lebih banyak dialami oleh siswa laki-laki yaitu 14 siswa atau 60,87%, sedangkan

siswa perempuan sebanyak 9 siswa atau 39,13%. Rasio penderita laki-laki dengan

perempuan adalah 1,6 : 1. Menurut beberapa literatur, tidak ada perbedaan yang

signifikan mengenai jenis kelamin yang paling banyak menderita OME, tetapi

insiden paling banyak biasanya pada anak laki-laki.4,14

Pada hasil penelitian ini didapatkan penderita OME paling banyak pada

siswa laki-laki yaitu 60,87%. Karena belum ditemukan adanya faktor yang

mempengaruhi perbedaan jenis kelamin pada OME, kemungkinan pengaruh

populasi dalam suatu penduduk dapat dikaitkan dengan dominasi jenis kelamin

tertentu terhadap kejadian OME.

Penderita OME paling banyak dari 23 siswa SD adalah berusia 7 tahun yaitu

sebanyak 7 siswa atau 30,43%, sedangkan yang paling sedikit adalah 11 tahun yaitu

1 siswa saja atau 4,35%. Diagnosis OME paling sering pada anak-anak yang lebih

muda dari 15 tahun, terutama usia sekolah dan prasekolah. Sebuah penelitian di

Malaysia menyebutkan prevalensi usia penderita OME paling banyak adalah antara

6-7 tahun, sedangkan di Inggris setidaknya 25% anak mengalami minimal 1 episode

OME sebelum usia 10 tahun dimana insiden tertinggi (50%) terjadi pada usia 5-7

tahun.4,7,24

Dari 23 siswa penderita OME antara usia 6-11 tahun pada penelitian ini,

didapatkan yang terbanyak yaitu 30,43% merupakan penderita OME dengan usia 7

tahun, dengan jumlah paling sedikit adalah usia 11 tahun yaitu 4,35%. Hal ini sesuai

dengan beberapa studi dan literatur yang menyebutkan bahwa usia penderita OME

antara 5-7 tahun.

Berdasarkan status ekonomi, dari 23 siswa SD penderita OME sebanyak 16

siswa atau 69,57% berasal dari keluarga dengan status ekonomi miskin, sedangkan

7 siswa lainnya atau 30,43% berasal dari keluarga status ekonomi tidak miskin.

Leach AL, dkk menyebutkan bahwa faktor sosio-ekonomi berpengaruh terhadap

kejadian OME pada anak, hal ini dikaitkan dengan kondisi kemampuan ekonomi

orangtua untuk membawa anak yang menderita OME berobat.7,14

Page 21: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

21

Sebanyak 69,57% penderita OME dari 23 siswa yang diteliti merupakan

anak dengan status ekonomi orangtua yang miskin. Keadaan sosio-ekonomi

terutama kemiskinan dapat mempengaruhi terjadinya infeksi telinga, salah satunya

adalah OME. Status ekonomi yang rendah akan mempengaruhi pola hidup sehari-

hari, selain itu keadaan lingkungan tempat tinggal, higienitas yang tidak

mendukung akan mempengaruhi faktor penjamu (host) sebagai penyebab gangguan

fungsi tuba yang akan menyebabkan OME.

Dari 23 siswa SD penderita OME didapatkan 21 siswa atau 91,30% yang

mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya selama minimal 6 bulan, sedangkan hanya

2 siswa atau 8,70% yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya selama

minimal 6 bulan. Sebuah penelitian oleh Uhari M, dkk menyebutkan anak yang

mendapatkan ASI eksklusif selama minimal 6 bulan akan mengurangi sebanyak

13% insiden terjadinya OME.14,24

Penderita OME yang mendapatkan ASI eksklusif pada penelitian ini adalah

sebanyak 91,30%, jumlah ini cukup banyak mengingat kesadaran ibu untuk

menyusui anaknya selama minimal 6 bulan. Bila jumlah anak yang tidak

mendapatkan ASI jumlahnya lebih banyak, kemungkan penderita OME akan lebih

banyak pula.

Penderita OME dari 23 siswa SD terdapat 6 siswa atau 26,09% yang sedang

mengalami ISPA, sedangkan 17 siswa lain atau 73,91% tidak sedang mengalami

ISPA. Infeksi saluran nafas bagian atas merupakan penyakit yang cukup banyak

diderita anak-anak usia sekolah, hal ini dapat berkaitan dengan terjadinya OME

pada anak. Proses infeksi bakteri pada ISPA merupakan faktor penting dalam

patogenesis terjadinya OME. Selain bakteri, infeksi virus di saluran nafas atas juga

dapat menginvasi telinga tengah dan merangsang produksi sekret dan menyebabkan

pembengkakan oleh karena proses inflamasi pada mukosa tuba Eustachius yang

akan menyebabkan OME.1,6,25

Pada penelitian ini, didapatkan 26,09% siswa penderita OME yang sedang

mengalami ISPA. Jumlah ini cukup sedikit dibandingkan dengan yang tidak

mengalami ISPA, kemungkinan disebabkan karena proses infeksi saluran nafas

yang sudah membaik dan hanya memberikan akibat berupa OME pada penderita.

Page 22: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

22

Penderita OME dari 23 siswa SD terdapat 15 siswa atau 65,22% yang

mengalami hipertropi adenoid, sedangkan 8 siswa atau 34,78% tidak mengalami

hipertropi adenoid. Hipertropi adenoid merupakan salah satu penyebab gangguan

fungsi tuba yang dapat menyebabkan mekanisme aerasi ke rongga telinga tengah

terganggu serta drainase dari rongga telinga ke rongga nasofaring juga terganggu.

Akibat gangguan tersebut rongga telinga tengah akan mengalami tekanan negatif.

Tekanan negatif di telinga tengah menyebabkan peningkatan permaebilitas kapiler

dan selanjutnya terjadi transudasi. Selain itu terjadi infiltrasi populasi sel-sel

inflamasi dan sekresi kelenjar. Akibatnya terdapat akumulasi sekret di rongga

telinga tengah dan menyebabkan OME.5,6,11

Dari 23 siswa penderita OME, sebanyak 65,22% mengalami hipertropi

adenoid. Jumlah ini cukup signifikan mengingat hipertropi adenoid merupakan

salah satu faktor penyebab terjadinya OME akibat gangguan fungsi tuba.

Berdasarkan status gizi, dari 23 siswa SD penderita OME rata-rata memiliki

status gizi yang baik yaitu sebanyak 15 siswa atau 65,22%, sedangkan hanya 5

siswa atau 21,74% dengan status gizi kurang dan 3 siswa atau 13,04% dengan status

gizi lebih. Gizi yang buruk atau kurang juga merupakan salah satu faktor yang dapat

meningkatkan angka kejadian OME. Dengan status gizi yang kurang maka

menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan mempermudah terjadinya infeksi di

saluran nafas yang mengakibatkan terjadinya OME.5,25

Pada penelitian ini didapatkan mayoritas siswa dengan gizi yang baik, hanya

21,74% penderita OME dengan status gizi kurang. OME disebabkan oleh adanya

gangguan fungsi tuba yang dapat disebabkan oleh proses infeksi dari bakteri

maupun virus. Kekurangan zat gizi dari makanan dapat mempengaruhi daya tahan

tubuh terutama terhadap penyakit akibat infeksi tersebut.

Dari 23 siswa SD penderita OME didapatkan 15 siswa atau 65,22% yang

mengalami paparan asap rokok di lingkungan tempat tinggalnya, sedangkan 8

lainnya atau 34,78% yang tidak terpapar asap rokok. Paparan asap rokok

merupakan faktor penting yang mempengaruhi terjadinya OME, hal ini disebabkan

karena paparan asap rokok dapat menyebabkan kerusakan silia dan sistem

mukosiliar saluran nafas. Gangguan ini akan menyebabkan gangguan fungsi tuba

Page 23: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

23

yang berperan penting dalam patogenesis OME. Iversen E, dkk dalam penelitiannya

mendapatkan bahwa 60% anak-anak dengan OME berada dalam lingkungan

perokok, dimana sepertiganya merupakan penderita OME yang berusia 6-7 tahun.

Sebuah penelitian menyebutkan, perokok pasif pada anak-anak berusia 0-14 tahun

sebesar 58,8% dan prevalensi perokok pasif di lingkungan rumah bersama orangtua

yang merokok adalah 40,5%. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa paparan

asap rokok merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi prevalensi

terjadinya OME.6,14,24

Sebanyak 65,22% penderita OME dari 23 siswa yang diteliti terpapar asap

rokok dari lingkungan tempat tinggalnya, paparan asap rokok ini bisa didapatkan

dari orangtua maupun anggota keluarga lain dalam satu rumah. Jumlah yang cukup

banyak ini sangat sesuai dengan beberapa penelitian lain, sehingga dapat

disimpulkan bahwa kemungkinan salah satu faktor risiko terjadinya OME pada

penelitian ini adalah karena paparan asap rokok.

Berdasarkan adanya gangguan pendengaran, dari 23 siswa SD penderita

OME paling banyak mengalami tuli derajat ringan bilateral (kanan dan kiri) yaitu

sebanyak 12 siswa atau 52,17%, sedangkan yang paling sedikit adalah tuli derajat

ringan dan sedang kanan atau kiri yaitu masing-masing sebanyak 1 siswa atau

4,35%. Anak-anak dengan OME biasanya datang berobat bersama orang tua

dengan keluhan adanya gangguan penurunan pendengaran, selain itu dikeluhkan

juga telinga kadang terasa penuh dan nyeri. Di sekolah guru biasanya melaporkan

bahwa anak dengan OME mempunyai gangguan pendengaran dan mengalami

kemunduran dalam pelajaran di sekolah. Menurut Timmerman AA, dkk gangguan

pendengaran lebih sering ditemukan pada pasien OME dengan cairan yang kental

(glue ear). Menurut Pang KP, dkk penurunan pendengaran yang terjadi rata-rata

gangguan pendengaran yang terjadi pada penderita OME adalah 30 dB. Dari

beberapa penelitian, tuli konduksi sering berhubungan dengan OME dan

berpengaruh pada proses mendengar kedua telinga, lokalisasi suara, persepsi bicara

dalam kebisingan. Penurunan pendengaran yang disebabkan oleh OME akan

menghalangi kemampuan awal berbahasa.9,12,15,16

Page 24: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

24

Pada penelitian ini, gangguan atau penurunan pendengaran yang paling

banyak didapatkan dari 23 siswa penderita OME adalah tuli derajat ringan kanan

dan kiri yaitu 52,17%. Beberapa literatur mengatakan bahwa rata-rata penderita

OME mengalami tuli konduktif derajat ringan (25-40 dB). Penurunan pendengaran

merupakan komplikasi OME yang paling awal terjadi terutama tuli konduktif, hal

ini seringkali tidak terdeteksi karena anak-anak belum dapat menympaikan

keluhannya. Untuk menghidari komplikasi tersebut, diperlukan deteksi dini berupa

pemeriksaan pendengaran sederhana pada anak-anak.

VII. KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif menggunakan rancangan

potong lintang yang dilakukan di 4 SD di Kabupaten Karangasem yaitu: SDN 2

Abang, SDN 3 Bunutan, SDN 1 Pertima dan SDN 4 Subagan. Dari hasil penelitian

didapatkan sebanyak 23 siswa penderita OME dari keempat SD yang dilakukan

pemeriksaan. Karakteristik penderita yang diteliti antara lain: jenis kelamin, umur,

status ekonomi, riwayat mendapatkan ASI, adanya ISPA, adanya hipertropi

adenoid, status gizi, paparan asap rokok dan gangguan pendengaran.

Dari hasil penelitian didapatkan jenis kelamin yang paling banyak

menderita OME adalah laki-laki yaitu 60,87%, sedangkan siswa perempuan

39,13%. Berdasarkan umur penderita yang paling banyak adalah berusia 7 tahun

yaitu 30,43%. Dari status ekonomi, yang paling banyak adalah penderita OME

dengan status ekonomi miskin yaitu 69,57%. Berdasarkan riwayat mendapatkan

ASI, sebanyak 91,30% penderita OME mendapatkan ASI eksklusif dari ibunya

selama minimal 6 bulan. Penderita OME sebagian besar tidak sedang mengalami

ISPA yaitu 73,91%, sedangkan yang mengalami hipertropi adenoid sebanyak

65,22%. Dari status gizi, sebagian besar penderita OME dengan status gizi baik

yaitu 65,22% dan sekitar 65,22% mengalami paparan asap rokok di lingkungan

tempat tinggalnya. Berdasarkan gangguan pendengaran, dari 23 siswa penderita

OME paling banyak mengalami tuli derajat ringan kanan dan kiri yaitu 52,17%.

Page 25: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

25

7.2. Saran

Penelitian tentang distribusi penderita OME pada siswa SD ini merupakan

data dasar bagaimana distribusi kejadian OME untuk penelitian yang lebih spesifik.

Penelitian ini juga perlu dilakukan di berbagai daerah lain, baik di kabupaten-

kabupaten di propinsi Bali maupun di propinsi-propinsi lain di Indonesia. Dari

penelitian ini dapat ditindak lanjuti dengan kegiatan seperti penyuluhan dan

pengobatan agar angka kejadian OME dapat berkurang dan orangtua lebih peka

apabila ada keluhan anaknya yang berhubungan dengan OME, sehingga tidak

menimbulkan komplikasi yang lebih berat yang dapat mengganggu kualitas hidup

anak nantinya. Disinilah peran dokter spesialis THT-KL untuk mengadakan

penyuluhan dan penatalaksanaan yang tepat untuk penderita OME ini.

Page 26: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Casselbrant ML, Mandel EM. Otitis Media with Effusion. Dalam: Bailey’s

Head & Neck Surgery–Otolaryngololy. Edisi ke-5. Lippincott Williams &

Wilkins, New York; 2014. h. 1482-501

2. Munawaroh S. Insiden dan karakteristik otitis media efusi pada rinitis alergi

anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sari Pediatri.

2008;10(3):212-8.

3. Gulya AJ. Anatomy of the ear and temporal bone. Dalam: Glasscock ME,

Gulya AJ, editors. Surgery of the Ear. 5th Ed. Canada: BC Decker; 2003. h.

35-42.

4. Dhingra PL. Anatomy of Ear. Dalam: Dhinghra PL, editor. Diseases of Ear,

Nose and Throat. 4th Ed. New Delhi: Elsevier; 2007. h. 3-11.

5. Healy GB, Rosbe KW. Otitis media and middle ear effusions. Dalam:

Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-16. BC

Decker Inc. Hamilton, Ontario; 2003. h. 249-60.

6. Inglis AF. Gates GA. Acute Otitis Media With Effusion. Dalam: Cummings,

Otolaryngology Head and Neck Surgery. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier

Mosby; 2005. h. 200-1.

7. Paparella MM, Adams GL, Levine SC. Penyakit Telinga Tengah dan Mastoid.

Dalam: Boies, Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of

Otolaryngology). Edisi ke-6. EGC, Jakarta; 1997. h. 97-9.

8. Kuo CL, Wang MC, Chu CS, Shiao AS. New therapeutic strategy for treating

otitis media with effusion in postirradiated nasopharyngeal carcinoma

patients. J Chin Med Assoc. 2012;75:329-34.

9. Zakrzewski L, Lee DT. An algorithmic approach to otitis media with effusion.

J Fam Pract. 2013;62(12):700-6.

10. Gultekin E, Develiogu ON, Yener M. Prevalence and risk factors for

persistent otitis media with effusion in primary school children in Istanbul,

Turkey. Auris Nasus Larynx. 2010;37:145-9.

Page 27: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

27

11. Pang KP, Ang AHC, Tan HKK, Otitis media with effusion: an update. Med J

Malaysia. 2002;57(3):376-82.

12. Williamson IG. Otitis media with effusion. Clin Evid. 2002(7):469-76.

13. Arick DS, Silman S. Treatment of otitis media with effusion based on

politzerization with an automated device. Ear Nose Throat J. 2000;79(4):290-

6

14. Dhooge I, Desloovere C, Boudewyns A, Van Kempen M, Dachy JP.

Management of otitis media with effusion in children. B-ENT. 2005;1:3-15

15. Timmerman AA, Anteunis LJ, Meesters CM. Response shift bias and parent-

reported quality of life in children with otitis media. Arch Otolaryngol Head

and Neck Surg. 2003;129:987-91.

16. Gravel JS, Karma P, Casselbrant ML. Recent advances in otitis media:

Diagnosis and screening. Ann Otol Rhinol Laryngol Suppl. 2005;194:104-13.

17. Lieberthal AS, Carroll AE, Chonmaitree T. The diagnosis and management

of acute otitis media. Pediatrics. 2013;131:964-99.

18. Rosenfeld RM, Culpepper L, Doyle KJ. Clinical practice guideline: Otitis

media with effusion. Otolaryngol Head Neck Surg. 2004;130:95-118.

19. Bull PC, Barrow H, Davies GJ, Fonseca S, Haggard M, Hart J, dkk. Surgical

management of otitis media with effusion in children. National Collaborating

Centre for Women’s and Children’s Health. London: RCOG; 2008. h. 28-44.

20. Choung YH, Shin YR, Choi SJ, Park KH, Park HY, Lee JB, dkk. Management

for the children with otitis media with effusion in the tertiary hospital. Clin

Exp Otorhinolaryngol. 2008;1(4):201-5.

21. Berkman ND, Wallace IF, Steiner MJ, Harrison M, Greenblatt AM, Lohr KN,

dkk. Otitis media with effusion: Comparative effectiveness of treatments.

Agency for Healthcare Research and Quality. Rockville: AHRQ Publication;

2013. h. 2-11

22. Rovers MM. Grommets in otitis media with effusion: an individual patient

data meta-analysis. Arch Dis Child. 2005;90:480-5.

23. Lo PS, Tong MC, Wong EM. Parental suspicion of hearing loss in children

with otitis media with effusion. Eur J of Pediatr. 2006;165:851-7.

Page 28: Laporan Penelitian DISTRIBUSI PENDERITA OTITIS MEDIA EFUSI

28

24. Shekelle P, Takata G, Chan LS, Mangione-Smith R, Corley PM, Morphew T,

dkk. Diagnosis, natural history, and late effects of otitis media with effusion.

Evid Rep Technol Assess (Summ). 2002 Jun;(55):1-5.

25. Cohen H, Friedman EM, Lai D, Pellicer M, Duncan N, Sulek M. Balance in

children with otitis media with effusion. Int J Pediatr Otorhinolaryngol.

2007;42:107-115.