Upload
nasha-tueez
View
30
Download
3
Embed Size (px)
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN STROKE
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2011
A. KONSEP DASAR PENYAKIT1. Pengertian
Stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan
fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam
atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain
vaskuler. (Hendro Susilo, 2000)
Stroke atau cedera serebrovaskular (CVA), adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke otak. (KMB, vol.3, 2131)
Stroke hemoragik adalah disfungsi neurologi fokal yang akut dan disebabkan oleh
perdarahan primer substansi otak yang terjadi secara spontan bukan oleh karena
trauma kapitis, disebabkan oleh karena pecahnya pembuluh arteri, vena dan kapiler.
(Djoenaidi Widjaja et. al, 1994)
Stroke adalah suatu kondisi yang terjadi ketika pasokan darah ke suatu bagian otak
tiba-tiba terganggu. Dalam jaringan otak, kurangnya aliran darah menyebabkan
serangkaian reaksi bio-kimia, yang dapat merusakkan atau mematikan sel-sel otak.
Kematian jaringan otak dapat menyebabkan hilangnya fungsi yang dikendalikan oleh
jaringan itu. Stroke adalah penyebab kematian yang ketiga di Amerika Serikat dan
banyak negara industri di Eropa (Jauch, 2005).
Stroke adalah sindroma serebrovaskular yang mengacu kepada setiap gangguan
neurologic mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah
melalui system suplai arteri otak. (Sylvia A. Price dan Wilson, 2006)
Stroke adalah deficit neurologist akut yang disebabkan oleh gangguan aliran darah yang
timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah fokal otak yang
terkena (WHO, 1989).
Stroke secara umum merupakan defisit neurologis yang mempunyai serangan
mendadak dan berlangsung 24 jam sebagai akibat dari terganggunya pembuluh darah
otak (hudak dan Gallo, 1997)
2. Epidemiologi
Stroke merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga dan penyebab kecacatan pada
orang dewasa di Amerika Serikat. Insidensi dan prevalensi stroke yang tinggi
memiliki dampak yang besar pada masyarakat. Setelah awal masa rawat inap dan
rehabilitas stroke, 80% dari penderita stroke yang bertahan hidup kembali ke kembali
ke komunitas. Hal ini bergantung pada emosi anggota keluarga, informasi dan
bantuan peralatan untuk hidup sehari‐hari. Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami serangan stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar
antara 30%‐43% dalam waktu 5 tahun. Setelah serangan otak sepintas, 20% pasien
mengalami stroke dalam waktu 90 hari, dan 50% diantaranya mengalami serangan
stroke ulang dalam waktu 24‐72 jam. Tekanan darah yang tinggi (tekanan darah
sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg) akan meningkatkan
risiko terjadinya stroke ulang. Hipertensi merupakan masalah yang umum dijumpai
pada pasien stroke, dan menetap setelah serangan stroke. Penelitian Lamassa, dkk,
pada 4462 pasien stroke memperlihatkan bahwa hipertensi dijumpai pada 48,6%
kasus. Angka kematian akibat stroke berkisar antara 20% sampai dengan 30%. Hal ini
berarti ada potensi subyek sebesar 70%‐80% untuk tindakan prevensi sekunder.
Pengendalian tekanan darah harus dilakukan untuk pencegahan stroke sekunder.
Tekanan darah target adalah dibawah 140 mmHg untuk tekanan darah sistolik, dan
dibawah 85 mmHg untuk tekanan darah diastolic. Data hasil penelitian epidemiologi
memperlihatkan bahwa hipertensi dijumpai pada 50%‐70% pasien stroke, angka
fatalitas berkisar antara 20%‐30% di banyak negara. Kematian akan jauh meningkat
(peningkatan sebesar 47%) pada serangan stroke ulang (WHO fact sheet, 2005).
Angka kejadian stroke meningkat secara dramatis seiring usia. Setiap penambahan
usia 10 tahun sejak usia 35 tahun, risiko stroke meningkat dua kali lipat. Sekitar lima
persen orang berusia di atas 65 tahun pernah mengalami setidaknya satu kali stroke.
Berdasarkan data, prevalensi hipertensi sebagai faktor risiko utama yang tidak
terkendali di Indonesia adalah sekitar 95 %, maka para ahli epidemiologi meramalkan
bahwa saat ini dan masa yang akan datang sekitar 12 juta penduduk Indonesia yang
berumur diatas 35 tahun mempunyai potensi terkena serangan stroke.
3. Etiologi/Penyebab
Penyebab stroke dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a) Trombosis serebral (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau
leher)
Arteriosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyebab
utama trombosis serebral dimana trombosis ini merupakan penyebab paling
utama dari stroke. Trombus serebral ini berkaitan erat dengan lesi aterosklerotik
yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteri karotis interna, di pangkal
arteria serebri media atau ditaut arteria vertebralis dan basilaris. Tidak seperti trombosis pada arteri koronaria yang oklusi pembuluhnya cenderung terjadi
mendadak dan total, trombosis pembuluh otak cenderung memiliki awitan
bertahap, bahkan berkembang dalam beberapa hari. Beberapa pasien dapat
mengalami pusing, perubahan kognitif atau kejang dan beberapa mengalami
awitan yang tidak dapat dibedakan dari hemoragi intraserebral atau embolisme
serebral.
b) Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke
otak dari bagian tubuh yang lain).
Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti endokarditis infektif, penyakit
jantung reumatik, dan infark miokard serta infeksi pulmonal adalah tempat-
tempat sebagai sumber emboli. Embolus berasal dari bahan trombotik yang
terbentuk di dinding rongga jantung dan katup mitralis. Embolus biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya dan merusak sirkulasi
serebral. Embolisme serebral ini dapat menimbulkan stroke dengan defisit
neurologik yang mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit.
Embolus dari jantung dapat mencapai otak melalui arteri karotis interna dan
arteria vertebralis. Awitan hemiparesis atau hemiplegia tiba-tiba dengan atau
tanpa afasia atau kehilangan kesadaran pada pasien dengan penyakit jantung atau
pulmonal adalah karakteristik dari embolisme serebral.
c) Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak)
Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena kontriksi
ateroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.
d) Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah ke dalam jaringan otak
atau ruang sekitar otak).
Hemoragi dapat terjadi diluar duramater (hemoragi ekstradural atau epidural), di
bawah duramater (hemoragi subdural), hemoragi subaracnoid dan hemoragi
intraserebral. Hemoragi ekstradural (epidural) adalah kedaruratan bedah neuro
yang memerlukan perawatan segera. Ini biasanya mengikuti fraktur tengkorak
dengan robekan arteri tengah atau arteri meninges lain. Pasien harus diatasi dalam
beberapa jam setelah cidera untuk mempertahankan hidup. Sedangkan untuk
hemoragi subdural, pada dasarnya sama dengan hemoragi epidural kecuali bahwa
hematoma subdural biasanya karena jembatan vena robek. Oleh karenanya,
periode pembentukan hematoma lebih lama (interval jelas lebih lama) dan
menyebabkan tekanan pada otak. Untuk hemoragi diruang subarakhnoid (hemoragi subaraknoid), dapat terjadi sebagai akibat atau hipertensi, tetapi
penyebab paling sering adalah kebocoran aneurisme pada area sirkulus Willisi
dan malformasi arteri vena kongenital pada otak. Arteri dalam otak dapat menjadi
tempat aneurisme. Sedangkan untuk pendarahan yang terjadi pada substansi otak
(hemoragi intraserebral) merupakan hemoragi atau perdarahan disubstansi dalam
otak paling umum pada pasien dengan hipertensi dan arterosklerosis serebral,
karena perubahan degeneratif karena penyakit ini biasanya menyebabkan ruptur
pembuluh darah.
Untuk penyebab peninggian tekanan intrakranial adalah sebagai berikut:
Faktor Peningkatan volume intrakranial:
1. Tumor primer atau metastasis
2. Hemoragia otak
3. Hematoma subdural
4. Abses otak
5. Hidrosefalus akut
6. Nekrosis otak yang diinduksi oleh radiasi
Faktor pembuluh darah:
Meningginya tekanan vena karena kegagalan jantung atau karena obstruksi
mediastinal superior, tidak hanya terjadi peninggian volume darah vena di
piameter dan sinus duramater, tetapi juga terjadi gangguan absorpsi cairan
serebrospinalis. Obstruksi pada aliran dan pada absorpsi dari cairan
serebrospinalis maka dapat terjadi hidrosefalus.
4. Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-arteri
yang membentuk sirkulus Willisi : arteria karotis interna dan sistem vertebrobasilar
atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke jaringan otak
terputus selama 15-20 menit maka akan terjadi infark atau kematian jaringan. Akan
tetapi dalam hal ini tidak semua oklusi di suatu arteri menyebabkan infark di daerah
otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa mungkin terdapat
sirkulasi kolateral yang memadai di daerah tersebut. Proses patologik yang paling
mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa: keadaan penyakit pada
pembuluh darah itu sendiri seperti aterosklerosis dan trombosis atau robeknya dinding
pembuluh darah dan terjadi peradangan, berkurangnya perfusi akibat gangguan status
aliran darah misalnya syok atau hiperviskositas darah, gangguan aliran darah akibat
bekuan atau infeksi pembuluh ektrakranium dan ruptur vaskular dalam jaringan otak.
(Sylvia A. Price dan Wilson, 2006)
5. Klasifikasi
Sistem klasifikasi lama biasanya membagi stroke menjadi tiga kategori berdasarkan
penyebab yaitu trombosis, embolik dan hemoragik. Katagori ini sering didiagnosa
berdasarkan riwayat perkembangan dan evolusi gejala. Dengan teknik-teknik
pencitraan yang lebih baru seperti CT scan dan MRI, didapatkan diagnosis
pendarahan subaracnoid dan intraserebrum dengan tingkat kepastian yang tinggi.
Perbedaan trombus dan embolus sebagai penyebab suatu stroke iskemia masih belum
tegas sehingga saat ini keduanya digolongkan ke dalam kelompok yang sama- “stroke
iskemik”. Dengan demikian, dua katagori dasar gangguan sirkulasi yang
menyebabkan stroke adalah iskemia-infark dan pendarahan intrakranium, yang
masing-masing menyebabkan 80%-85% dan 15%-25% dari semua kasus stroke.
(Sylvia A. Price dan Wilson, 2006)
Klasifikasi utama stroke :
1. Stroke Iskemia (nonhemoragi)
Stroke Iskemia ini terdiri dari beberapa kategori besar yaitu:
Stroke Lakunar
Infark lakunar terjadi karena penyakit pembuluh halus hipertensif dan
menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam
atau kadang-kadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark yang
terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin-lipid salah satu dari
cabang penetrans sirkulus wilisi (Smith et al., 2001)
Stroke Trombotik Pembuluh Besar
Trombosis pembuluh besar dengan aliran lambat adalah subtipe stroke
iskemik dimana sebagian besar stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini sering
berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyumbat arteri otak.
Stroke Embolik
Stroke embolik diklasifikasikan berdasarkan arteri yang terlibat sebagai
sumber embolus. Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau
jantung.
Stroke Kriptogenik
Stroke ini memiliki sumber penyebab yang “tersembunyi” bahkan setelah
dilakukan pemeriksaan diagnostik dan evaluasi klinis yang intensif.
Transient Ischemic Attack (TIA) adalah defisitneurologik fokal akut yang
timbul akibat iskemia otak sepintas dan menghilang lagi tanpa sisa
dengan cepat dalam waktu yang tidak lebih dari 24 jam.
RIND (Reversible Ishemic Neurologic Deficit) adalah defisit neurologik
fokal akut yang timbul karena iskemia otak yang berlangsung lebih dari
24 jam dan menghilang tanpa sisa dalam waktu 1 minggu atau 3 minggu.
Complete Stroke
Adalah defisit neurologik fokal akut yang timbul karena oklusi atau
gangguan peredaran darah otak yang secara cepat menjadi stabil tanpa
pemburukan lagi.
2. Pendarahan intrakranium
Stroke hemoragi terjadi karena lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur
sehingga terjadi pendarahan ke dalam ruang subaracnoid atau pada jaringan otak.
Sebagian dari lesi intraserebrum yang dapat menyebabkan pendarahan
subaracnoid adalah aneurisma sakular (Berry) dan malformasi arterovena.
Pendarahan intraserebral adalah defisit neurologik fokal yang sangan
akut sampai bilateral dengan kaku deserbasi sedang aktif/ melakukan
aktivitas, didahului atau disertai muntah dan nyeri kepala hebat, wajah
merah, kesadaran menurun sampai koma nafas berat dan sering kejang fokal.
Pendarahan subaracnoid
6. Gejala KlinisStoke menyebabkan defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah
mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat dan jumlah aliran
darah kolateral. Stroke akan meninggalkan gejala sisa karena fungsi otak tidak akan
membaik sepenuhnya.
Berikut gejala dari stroke :
a) Kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (hemiparese atau hemiplegia)
b) Lumpuh pada salah satu sisi wajah “Bell’s Palsy”
c) Tonus otot lemah atau kaku
d) Menurun atau hilangnya rasa
e) Gangguan lapang pandang “Homonimus Hemianopsia”
f) Gangguan bahasa (Disatria: kesulitan dalam membentuk kata; afhasia
atau disfasia: bicara defeksif/kehilangan bicara)
g) Gangguan persepsi
h) Gangguan status mental
Gejala yang ditimbulkan dapat pula diklasifikasikan berdasarkan sistem peredaran
darah yang terkena.
1. Sistem Karotis
Gejalanya :
Unilateral headache
Disartria
Afasia, bilamana mengenai hemisfer dominan
Amourosis fugaks (transient monocular blindness) ipsilateral menetap
Hemiparesis/paralisis kontralateral
Hemiparestesia/anestesia kontralateral
Brancio-Facial atau defisit ekstremitas bawah kontralateral
Deviasi konjugue ke arah lesi
2. Sistem vertebro-basilaris
Nistagmus
Diplopia
Gangguan penglihatan/pergerakan bola mata
Vornitus
Parestesia sirkumoral Vertigo
Tinitus
Amnesia
Disartria
Disfagia
Drop attack
Hemihipestesia
Ataksia serebeller ipsilateral
Sindrom horner ipsilateral
Oftalmoplegia internuklearis
Tanda dan gejala yang muncul sangat tergantung pada daerah dan luasnya daerah otak
yang terkena:
1. Pengaruh terhadap status mental
Tidak sadar : 30% – 40%
Konfuse : 45% dari pasien biasanya sadar
2. Daerah arteri serebri media, arteri karotis interna akan menimbulkan:
Hemiplegia kontralateral yang disertai hemianesthesia (30%-80%)
Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35%-50%)
Apraksia bila mengenai hemisfer non dominant(30%)
3. Daerah arteri serebri anterior akan menimbulkan gejala:
Hemiplegia dan hemianesthesia kontralateral terutama tungkai (30%-
80%)
Inkontinensia urin, afasia, atau apraksia tergantung hemisfer mana yang
terkena
4. Daerah arteri serebri posterior
Nyeri spontan pada kepala
Afasia bila mengenai hemisfer dominant (35-50%)
5. Daerah vertebra basiler akan menimbulkan:
Sering fatal karena mengenai pusat-pusat vital di batang otak
Hemiplegia alternans atau tetraplegia Kelumpuhan pseudobulbar (kelumpuhan otot mata, kesulitan menelan,
emosi labil)
Apabila dilihat bagian hemisfer mana yang terkena, gejala dapat berupa:
1. Stroke hemisfer kanan
Hemiparese sebelah kiri tubuh
Penilaian buruk
Mempunyai kerentanan terhadap sisi kontralateral sebagai kemungkinan
terjatuh ke sisi yang berlawanan
2. stroke hemisfer kiri
Mengalami hemiparese kanan
Perilaku lambat dan sangat berhati-hati
Kelainan bidang pandang sebelah kanan
Disfagia global
Afasia
Mudah frustasi
Tanda dan gejala TIK
Manifestasi klinik peningkatan tekanan intrakranial banyak dan bervariasi. Perubahan
tingkat kesadaran penderita merupakan indikator yang paling sensitif dari semua
tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Trias klasik peningkatan tekanan intrakranial adalah ;
1. Nyeri kepala karena regangan duramater dan pembuluh darah.
2. Papiledema yang disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus.
3. Muntah sering proyektil.
Tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial lainnya;
1. Hipertermia.
2. Perubahan motorik dan sensorik.
3. Perubahan berbicara.4. Kejang.
7. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
Kesadaran : umumnya mengalami penurunan kesadaran.
Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang
tidak bisa bicara.
Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
b) Pemeriksaan integumen
Kulit : jika klien kekurangan oksigen, kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Di
samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama
pada daerah yang menonjol karena klien stroke hemoragik
harus bed rest 2-3 minggu.
Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis.
Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
c) Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : bentuk normocephalik.
Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
Leher : kaku kuduk jarang terjadi. (Satyanegara, 1998)
d) Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing
ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks
batuk dan menelan.
e) Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang
terdapat kembung.
f) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g) Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
h) Pemeriksaan neurologiPemeriksaan nervus cranialis : Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis
VII dan XII central.
Pemeriksaan motorik : Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
Pemeriksaan sensorik : Dapat terjadi hemihipestesi.
Pemeriksaan refleks : Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan
refleks patologis.(Jusuf Misbach, 1999)
8. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan radiologi
CT scan : Didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
(Linardi Widjaja, 1993)
MRI : Untuk menunjukkan area yang mengalami
hemoragik. (Marilynn E. Doenges, 2000)
Angiografi serebral : Untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara,
1998)
Pemeriksaan foto thorax : Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan
salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita
stroke. (Jusuf Misbach, 1999).
b) Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal : Pemeriksaan likuor yang merah biasanya
dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya warna likuor
masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari
pertama. (Satyanegara, 1998)
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan kimia darah : Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
(Jusuf Misbach, 1999)
Pemeriksaan darah lengkap : Untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
(Linardi Widjaja, 1993)
9. Therapi/Tindakan Penanganan
Terapi Stroke diantara:
a) Lakukan penatalaksanaan jalan napas yang agresif. Pertimbangkan pra-terapi
dengan pemberian lidokain 1-2 mg/kg secara intravena jika diintubasi
diindikasikan untuk menjaga adanya peningkatan TIK.
b) Lakukan hiperventilasi untuk mengurangi PaCo2 sampai 25-30 mmHg.
c) Pertimbangkan pemberian manitol 1-2 mg/kg IV.
d) Pertimbangkan deksametason 200-100mg IV : mulai timbulnya efek lebih lambat
dari pada tindakan intubasi atau manitol.
e) Pemantauan tekanan intrakranial secara noninvasif seperti MRI, CT scan,
tomografi emisi positron, single-photon emission computed tomografi, evoked
potential, dan oksimetri.
f) Dekompresi secara bedah berdasarkan temuan CT scan mungkin diperlukan.
Terapi umum:
Untuk merawat keadaan akut perlu diperhatikan faktor – faktor kritis sebagai berikut :
1. Menstabilkan tanda – tanda vital
• Mempertahankan saluran nafas (sering melakukan penghisapan yang
dalam, trakeotomi, pasang alat bantu pernafasan bila batang otak terkena)
• Kendalikan tekanan darah sesuai dengan keadaan masing – masing
individu; termasuk usaha untuk memperbaiki hipotensi maupun hipertensi.
2. Deteksi dan memperbaiki aritmia jantung
3. Merawat kandung kemih. Sedapat mungkin jangan memasang kateter
tinggal; cara ini telah diganti dengan kateterisasi “keluar – masuk” setiap 4 sampai
6 jam.
4. Menempatkan posisi penderita dengan baik secepat mungkin :
• Penderita harus dibalik setiap jam dan latihan gerakan pasif setiap 2
jam• Dalam beberapa hari dianjurkan untuk dilakukan gerakan pasif penuh
sebanyak 50 kali per hari; tindakan ini perlu untuk mencegah tekanan pada
daerah tertentu dan untuk mencegah kontraktur (terutama pada bahu, siku dan
mata kaki)
Terapi khusus:
Ditujukan untuk stroke pada therapeutic window dengan obat anti agregasi dan
neuroprotektan. Obat anti agregasi: golongan pentoxifilin, tielopidin, low heparin,
TPA.
1. Pentoxifilin:
Mempunyai 3 cara kerja:
• Sebagai anti agregasi → menghancurkan thrombus
• Meningkatkan deformalitas eritrosit
• Memperbaiki sirkulasi intraselebral
2. Neuroprotektan:
Piracetam: menstabilkan membrane sel neuron. Contohnya neotropil
Cara kerja dengan menaikkan cAMP ATP dan meningkatkan sintesis glikogen
Terapi Medis
1. Neuroproteksi
Berfungsi untuk mempertahankan fungsi jaringan. Cara kerja metode ini adalah
menurunkan aktifitas metabolisme dan kebutuhan sel-sel neuron.
2. Antikoagulasi
Diperlukan antikoagulasi dengan derajat yang lebih tinggi (INR 3,0 – 4,0) untuk
pasien stroke yang memiliki katup prostetik mekanik. Bagi pasien yang bukan
merupakan kandidat untuk terapi warvarin (coumadin), maka dapat digunakan
aspirin tersendiri atau dalam kombinasi dengan dipiridamol sebagai terapi anti
trombotik awal untuk profilaksis stroke.
3. Trombolisis Intravena
Satu-satunya obat yang telah disetujui oleh US Food and Drug Administration
(FDA) untuk terapi stroke iskemik akut adalah aktivator plasminogen jaringan
(TPA) bentuk rekombinan. Terapi dengan TPA intravena tetap sebagai standar
perawatan untuk stroke akut dalam 3 jam pertama setelah awitan gejala. Risiko
terbesar menggunakan terapi trombolitik adalah perdarahan intraserebrum.4. Trombolisis Intraarteri
Pemakaian trombolisis intraarteri pada pasien stroke iskemik akut sedang dalam
penelitian, walaupun saat ini belum disetujui oleh FDA. Pasien yang beresiko
besar mengalami perdarahan akibat terapi ini adalah yang skor National Institute
of Health Stroke Scale (NIHSS)-nya tinggi, memerlukan waktu lebih lama untuk
rekanalisasi pembuluh, kadar glukosa darah yang lebih tinggi, dan hitung
trombosit yang rendah.
Terapi Perfusi
Untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus vasospasme saat pemulihan dari
perdarahan subarakhnoid.
Pengendalian Oedema dan Terapi Medis Umum
Oedema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark kasus serebrum iskemik,
terutama pada keterlibatan pada pembuluh besar di daerah arteria serebri media.
Terapi konservatif dengan membuat pasien sedikit dehidrasi, dengan natrium serum
normal atau sedikit meningkat.
Terapi Bedah
Dekompresi bedah adalah suatu intervensi drastis yang masih menjalani uji klinis
yang dicadangkan untuk stroke yang paling massif.
10. Komplikasi
Komplikasi pada stroke antara lain :
• Hipoksia serebral
• Aliran darah serebral
• Embolisme serebral
11. Prognosis
Prognosis stroke ditentukan oleh banyak parameter dan prediktor klinis. Penelitian
Wardlaw, dkk (1998) pada 993 pasien stroke memperlihatkan bahwa infark yang
terlihat pada gambaran CT Scan kepala akan meningkatkan risiko kematian sebesar
4,5 kali (95% CI: 2,7-7,5), dan ketergantungan hidup sebesar 2,5 kali (95% CI 1,9-3,3). Penelitian de Jong, dkk (2002) pada 333 pasien memperlihatkan bahwa pasien
stroke dengan lebih dari 1 infark lakuner memiliki prognosis yang lebih buruk
daripada pasien dengan 1 infark lakuner. Angka moralitas yang lebih tinggi (33% VS
21%), angka rekurensi stroke yang lebih tinggi (21% VS 11%), dan nilai status
fungsional yang lebih rendah dihubungkan dengan infark lakuner yang lebih dari satu.
Pada kasus stroke perdarahan, angka mortalitas relatif lebih tinggi. Penelitian Larsen,
dkk (1984) pada 53 pasien stroke perdarahan menunjukkan bahwa angka mortalitas
akut adalah 27%. Faktor prognosis yang utama adalah tingkat kesadaran dan volume
hematoma. Penelitian Fieschi, dkk (1988) pada 104 pasien stroke menunjukkan angka
kematian pada bulan pertama adalah 30%. Faktor prognosis yang paling signifikan
adalah usia, tingkat kesadaran saat masuk RS, dan ukuran hematoma. Penelitian
Kiyohara, dkk (2003) pada 1621 pasien stroke di Jepang memperlihatkan hasil
serupa, angka kematian pada perdarahan serebral di 30 hari pertama adalah 63,3%
dibanding infark serebral sebesar 9%. Faktor demografik, penyakit penyerta, dan
keparahan gejala stroke berkontribusi terhadap luaran stroke. Penelitian kohort
Kernan, dkk (2000) memperlihatkan prognosis stroke dipengaruhi oleh usia,
komorbiditas gagal jantung, riwayat stroke sebelumnya, diabetes, hipertensi, dan
penyakit jantung koroner. Adanya komorbiditas, usia tua, riwayat stroke sebelumnya
akan memberikan prognosis yang lebih buruk.B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboraturium untuk memperoleh
informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana
asuhan keperawatan klien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS dan respon verbal klien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji
tekanan nadi, dan kondisi patologis.
Pulse rate meningkat/menurun tergantung dari mekanisme kompensasi,
sistem konduksi jantung & pengaruh sistem saraf otonom.
Respiratory rate
Suhu
c. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum
Kesadaran : umumnya mengalami penurunan kesadaran.
Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang
tidak bisa bicara.
Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi.
b) Pemeriksaan integumen
Kulit : jika klien kekurangan oksigen, kulit akan tampak pucat dan
jika kekurangan cairan maka turgor kulit akan buruk. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama
pada daerah yang menonjol karena klien stroke hemoragik
harus bed rest 2-3 minggu.
Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis.
Rambut : umumnya tidak ada kelainan.
c) Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : bentuk normocephalik.
Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi.
Leher : kaku kuduk jarang terjadi. (Satyanegara, 1998)
d) Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing
ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks
batuk dan menelan.
e) Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang
terdapat kembung.
f) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine.
g) Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
h) Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan nervus cranialis : Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis
VII dan XII central.
Pemeriksaan motorik : Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan
pada salah satu sisi tubuh.
Pemeriksaan sensorik : Dapat terjadi hemihipestesi.
Pemeriksaan refleks : Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks
fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan
refleks patologis.(Jusuf Misbach, 1999)
d. Pemeriksaan Diagnostik
a) Pemeriksaan radiologiCT scan : Didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
(Linardi Widjaja, 1993)
MRI : Untuk menunjukkan area yang mengalami
hemoragik. (Marilynn E. Doenges, 2000)
Angiografi serebral : Untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara,
1998)
Pemeriksaan foto thorax : Dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah
terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan
salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita
stroke. (Jusuf Misbach, 1999).
b) Pemeriksaan laboratorium
Pungsi lumbal : Pemeriksaan likuor yang merah biasanya
dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan
perdarahan yang kecil biasanya warna likuor
masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari
pertama. (Satyanegara, 1998)
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan kimia darah : Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia.
Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum
dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
(Jusuf Misbach, 1999)
Pemeriksaan darah lengkap : Untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
(Linardi Widjaja, 1993)
Pengkajian menurut Dongoes
1. Pengkajian Primer
Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat
kelemahan reflek batuk
Breathing
Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit
dan atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasiCirculation
TD dapat normal atau meningkat , hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi
jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin,
sianosis pada tahap lanjut
2. Pengkajian Sekunder
• Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
Kesulitan dalam beraktivitas ; kelemahan, kehilangan sensasi atau paralysis
Mudah lelah, kesulitan istirahat ( nyeri atau kejang otot).
Data obyektif:
Perubahan tingkat kesadaran.
Perubahan tonus otot ( flaksid atau spastic), paraliysis ( hemiplegia ),
kelemahan umum.
• Sirkulasi
Data Subyektif:
Riwayat penyakit jantung ( penyakit katup jantung, disritmia, gagal
jantung, endokarditis bacterial )
Polisitemia.
Data obyektif:
Hipertensi arterial
Disritmia, perubahan EKG
Pulsasi : kemungkinan bervariasi
Denyut karotis, femoral dan arteri iliaka atau aorta abdominal
• Integritas ego
Data Subyektif:
Perasaan tidak berdaya, hilang harapan
Data obyektif:
Emosi yang labil dan marah yang tidak tepat, kesediahan ,
kegembiraan kesulitan berekspresi diri• Eliminasi
Data Subyektif
Inkontinensia
Anuria
Distensi abdomen (kandung kemih sangat penuh)
Tidak adanya suara usus (ileus paralitik)
• Makan/ minum
Data Subyektif:
Nafsu makan hilang
Nausea / vomitus menandakan adanya PTIK, kehilangan sensasi lidah , pipi ,
tenggorokan, disfagia.
Riwayat DM, Peningkatan lemak dalam darah.
Data obyektif:
Problem dalam mengunyah ( menurunnya reflek palatum dan faring )
Obesitas ( factor resiko)
• Sensori neural
Data Subyektif:
Pusing / syncope ( sebelum CVA / sementara selama TIA )
Nyeri kepala : pada perdarahan intra serebral atau perdarahan sub arachnoid.
Kelemahan, kesemutan/kebas, sisi yang terkena terlihat seperti lumpuh/mati
Penglihatan berkurang
Sentuhan : kehilangan sensor pada sisi kolateral pada ekstremitas dan pada
muka ipsilateral ( sisi yang sama )
Gangguan rasa pengecapan dan penciuman
Data obyektif:
Status mental ; koma biasanya menandai stadium perdarahan , gangguan
tingkah laku (seperti: letergi, apatis, menyerang) dan gangguan fungsi kognitif
Ekstremitas : kelemahan / paraliysis ( kontralateral pada semua jenis stroke,
genggaman tangan tidak imbang, berkurangnya reflek tendon dalam
( kontralateral )
Wajah: paralisis / parese ( ipsilateral ) Afasia ( kerusakan atau kehilangan fungsi bahasa, kemungkinan ekspresif/
kesulitan berkata kata, reseptif / kesulitan berkata kata komprehensif, global /
kombinasi dari keduanya.
Kehilangan kemampuan mengenal atau melihat, pendengaran, stimuli taktil
Apraksia : kehilangan kemampuan menggunakan motorik
Reaksi dan ukuran pupil : tidak sama dilatasi dan tak bereaksi pada sisi ipsi
lateral
• Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Sakit kepala yang bervariasi intensitasnya
Data obyektif:
Tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan otot / fasial
• Respirasi
Data Subyektif:
Perokok (factor resiko)
• Keamanan
Data obyektif:
Motorik/sensorik : masalah dengan penglihatan
Perubahan persepsi terhadap tubuh, kesulitan untuk melihat objek, hilang
kewasadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
Tidak mampu mengenali objek, warna, kata, dan wajah yang pernah dikenali
Gangguan berespon terhadap panas, dan dingin/gangguan regulasi suhu tubuh
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan,
berkurang kesadaran diri
• Interaksi social
Data obyektif:
Problem berbicara, ketidakmampuan berkomunikasi
(Doenges E, Marilynn,2000 hal 292).2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah :
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran ditandai
dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret dan stasis secret.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial ditandai dengan
sakit kepala.
3. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan aliran darah
sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial ditandai dengan gangguan aliran
darah ke otak, penurunan tekanan darah (arteri), pengisian kapiler kurang dari 3 detik
dan terjadi perubahan dalam fungsi sensorik dan motorik.
4. Gangguan persepsi sensori : visual berhubungan dengan kesalahan interpretasi
sekunder akibat cedera serebrovaskuler ditandai dengan diplopia, homonimus
hemianopsia, kehilangan penglihatan perifer.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis parsial atau total dari
ekstremitas ditandai dengan keterbatasan dalam rentang gerak, hemiparesis, ataksia,
hemiplagia.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan deficit verbal ditandai dengan
afasia.
7. Perubahan proses pikir berhubungan dengan deficit kognitif ditandai dengan
kehilangan memori jangka pendek atau jangka panjang, penurunan lapang perhatian
dan konsentrasi.
8. Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan deficit motorik ditandai dengan
perubahan kemampuan merawat diri (afraksia).
9. Risiko cidera berhubungan dengan perubahan mobilitas sekunder akibat parastesia.
10.Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia sekunder
akibat paralisis serebral.
11.Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan darah dan nutrisi ke
jaringan sekunder akibat tirah baring yang lama.
12. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan deficit emosional ditandai
dengan kehilangan control diri, emosional labil, depresi.
3. PERENCANAAN
A. Penyusunan Prioritas1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan kesadaran
ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret dan stasis secret.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan sakit kepala.
3. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan gangguan aliran
darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial ditandai dengan
gangguan aliran darah ke otak, penurunan tekanan darah (arteri), pengisian
kapiler kurang dari 3 detik dan terjadi perubahan dalam fungsi sensorik dan
motorik.
4. Gangguan persepsi sensori : visual berhubungan dengan kesalahan interpretasi
sekunder akibat cedera serebrovaskuler ditandai dengan diplopia, homonimus
hemianopsia, kehilangan penglihatan perifer.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis parsial atau total dari
ekstremitas ditandai dengan keterbatasan dalam rentang gerak, hemiparesis,
ataksia, hemiplagia.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan deficit verbal ditandai
dengan afasia.
7. Perubahan proses pikir berhubungan dengan deficit kognitif ditandai dengan
kehilangan memori jangka pendek atau jangka panjang, penurunan lapang
perhatian dan konsentrasi.
8. Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan deficit motorik ditandai
dengan perubahan kemampuan merawat diri (afraksia).
9. Risiko cidera berhubungan dengan perubahan mobilitas sekunder akibat
parastesia.
10.Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan disfagia
sekunder akibat paralisis serebral.
11. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan darah dan
nutrisi ke jaringan sekunder akibat tirah baring yang lama.
12. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan deficit emosional
ditandai dengan kehilangan control diri, emosional labil, depresi.
B. Intervensi1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan
kesadaran ditandai dengan ketidakmampuan mengeluarkan secret dan stasis
secret.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama …x 24 jam, diharapkan tercapainya keefektifan
bersihan jalan nafas dengan criteria hasil :
- Klien mampu batuk dan mengeluarkan sputum dengan efektif.
- Bunyi napas klien normal, tidak ada ronchi dan tidak ada wheezing.
- Frekuensi, irama, dan kedalaman pernapasan normal dengan RR=12-20
x/menit.
Mandiri :
a. Auskultasi suara napas klien
Rasional : Mengetahui suara napas klien, untuk tindakan keperawatan
selanjutnya.
b. Kaji status pernafasan meliputi respiratory rate, penggunaan otot bantu
nafas, warna kulit.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal, dan gerakan otot dada tidak
simetris sering terjadi karena ketidak nyamanan gerakan dinding
dada.
c. Berikan cairan (khususnya yang hangat) sedikitnya 2500 ml/hari.
Rasional : Cairan (khususnya yang hangat) dapat memobilisasi dan
mencairkan sekret.
d. Lakukan suction jika terdapat sekret di jalan nafas
Rasional : Merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik
pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak efektif
atau penurunan tingkat kesadaran.
e. Posisikan kepala lebih tinggiRasional : Posisi kepala yang lebih tinggi memungkinkan upaya nafas lebih
dalam dan lebih kuat. Tindakan ini meningkatkan inspirasi
maksimal, meningkatkan pengeluaran secret untuk memperbaiki
ventilasi.
f. Bantu pasien mempelajari melakukan batuk yang efektif, misalnya
menekan dada dan batuk efektif sementara posisi duduk tinggi.
Rasional : Nafas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru. Batuk
adalah pembersihan jalan nafas alami, membantu silia untuk
mempertahankan jalan nafas paten. Penekanan menurunkan
ketidaknyamanan dada dan posisi duduk memungkinkan upaya
nafas lebih dalam dan lebih kuat.
g. Penghisapan sesuai indikasi
Rasional : Merangsang batuk atau pembersihan jalan nafas secara mekanik
pada pasien yang tak mampu melakukan karena batuk tak efektif.
Kolaborasi:
a. Kolaborasi dengan fisiotherapist untuk melakukan fisiotherapi dada
Rasional : Memudahkan pengenceran dan pembuangan sekret. Koordinasi
pengobatan/jadwal dan masukan oral menurunkan muntah karena
batuk, pengeluaran sputum.
b. Berikan obat sesuai indikasi : mukolitik, ekspektoran, bronkodilator,
analgesik.
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme broncus dengan mobilisasi sekret.
Analgesik diberikan untuk memperbaiki batuk dengan
menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus digunakan secara hati-
hati, karena dapat menekan upaya pernafasan.
2. Nyeri akut berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial ditandai dengan sakit kepala
TujuanSetelah diberikan asuhan keperawatan …x 24 jam diharapkan klien melaporkan
nyeri berkurang/dapat terkontrol dengan criteria hasil : menunjukkan postur rileks
dan mampu tidur/istirahat dengan tepat, TTV dalam rentang normal (nadi = 60-
100 x/menit, RR=12-20 x/menit, Tekanan darah 120/80 mmHg)
Mandiri:
1. Ukur tanda-tanda vital
Rasional : Tanda-tanda vital dalam rentang normal dapat mengindikasikan
bahwa nyeri berkurang.
2. Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan reaksi terhadap stimuli dari luar atau sensitivitas pada
cahaya dan meningkatkan istirahat atau relaksasi.
3. Tingkatkan tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang
penting.
Rasional : Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri.
4. Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata.
Rasional : Meningkatkan vasokontriksi penumpulkan resepsi sensori yang
selanjutnya akan menurunkan nyeri.
5. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman, seperti kepala agak
tinggi sedikit.
Rasional : Melancarkan aliran darah dalam Kranial.
6. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot
daerah leher/bahu.
Rasional : Dapat membantu merelaksasikan ketegangan otot yang
meningkatkan reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman tersebut.
Kolaborasi:
1. Berikan analgetik seperti asetaminofen, kodein.
Rasional : Untuk menghilangkan nyeri yang berat.
3. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
gangguan aliran darah sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial
ditandai dengan gangguan aliran darah ke otak, penurunan tekanan darah
(arteri), pengisian kapiler kurang dari 3 detik dan terjadi perubahan dalam
fungsi sensorik dan motorik.Tujuan
Setelah diberikan Asuhan Keperawatan …x24 jam diharapkan gangguan perfusi
jaringan serebral dapat diatasi dengan criteria hasil tingkat kesadaran dan fungsi
motorik/sensorik membaik, tanda-tanda vital dalam rentang normal, pengisian
kapiler kurang dari 2 detik, GCS normal.
Mandiri :
1. Pertahankan tirah baring dengan posisi kepala datar dan pantau tanda
vital sesuai indikasi setelah dilakukan fungsi lumbal.
Rasional : Perubahan tekanan CSS mungkin merupakan potensi adanya resiko
herniasi batang otak yang memerlukan tindakan medis segera.
2. Pantau/catat status neurologis dengan teratur dan bandingkan dengan
keadaan normalnya, seperti GCS.
Rasional : Pengkajian adanya kecenderungan perubahan tingkat kesadaran dan
potensi peningkatan TIK adalah sangat berguna dalam menentukan
lokasi, penyebaran/luasnya dan perkembangan dari kerusakan
serebral.
3. Kaji adanya gemetar, kegelisahan yang meningkat, peka rangsang dan
adanya serangan kejang.
Rasional : Merupakan indikasi adanya iritasi/peradangan pada meningeal dan
mungkin juga terjadi dalam periode akut atau penyembuhan dari
trauma otak.
4. Pantau tanda vital seperti tekanan darah. Catat serangan dari/hipertensi
sistolik yang terus-menerus dan tekanan nadi yang melebar.
Rasional : Kerusakan vaskuler serebral meninbulkan peningkatan TIK yang di
tunjukkan oleh peningkatan tekanan darah sistemik yang bersamaan
dengan penurunan tekanan darah diastolic (tekanan nadi yang
melebar).
5. Pantau gas darah arteri. Berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan .
Rasional : Terjadi Asidosis dapat menghambat masuknya oksigen pada tingkat
sel yang memburuk/meningkatkan iskemia serebral.4. Gangguan persepsi sensori : visual berhubungan dengan
kesalahan interpretasi sekunder akibat cedera serebrovaskuler ditandai
dengan diplopia, homonimus hemianopsia, kehilangan penglihatan perifer.
Tujuan :
Setelah diberikan askep selama …x24 jam diharapkan gangguan persepsi sensori:
visual teratasi dengan kriteria hasil :
• Tidak ada diplopia
• Tidak adanya homonimus hemianopsia
• Penglihatan perifer normal
Mandiri:
a) Kurangi kebisingan atau penglihatan yang berlebihan.
Rasional : Kebisingan mengakibatkan pasien tidak nyaman. Pembatasan
penglihatan dilakukan untuk menghindari kelelahan dalam
melihat.
b) Orientasikan terhadap 3 bidang ( orang, tempat, waktu)
Rasional : Membantu pasien belajar beradaptasi dan tidak mengalami
disorientasi
c) Usahakan penjelasan sederhana tentang setiap tugas
Rasional :.Memudahkan pasien mengerti akan tugas yang diberikan.
d) Tingkatkan gerakan ke dan dari tempat tidur.
Rasional : Membantu pasien untuk melatih konsentrasi pasien dalam
menghafal gerakan yang akan dilakukan.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis parsial
atau total dari ekstremitas ditandai dengan keterbatasan dalam rentang
gerak, hemiparesis, ataksia, hemiplagia.
Tujuan:
Setelah diberikan askep ....x 24 jam diharapkan mobilisasi klien mengalami
peningkatan dan hambatan mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:
• Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh
yang terserang hemiparesis dan hemiplagia.
• Mempertahankan perilaku yang memungkinkan adanya aktivitas.
• Mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi umum• Kekuatan otot meningkat
555 555
555 555
Mandiri:
a. Kaji kemampuan secara fungsional/luasnya kerusakan awal dan dengan cara
yang teratur.
Rasional : Mengidentifikasi kekuatan/kelemahan dan dapat memberikan
informasi mengenai pemulihan. Bantu dalam pemilihan terhadap
intervensi sebab teknik yang berbeda digunakan untuk paralisis
spastik dengan flaksid.
b. Ubah posisi minimal setiap 2 jam (telentang,miring) dan sebagainya dan jika
memungkinkan bisa lebih sering jika diletakkan dalam posisi bagian yang
terganggu.
Rasional : Menurunkan risiko terjadinya trauma/iskemia jaringan. Daerah
yang terkena mengalami perburukan/sirkulasi yang lebih jelek
dan menurunkan sensasii dan lebih besar menimbulkan
kerusakan pada kulit/ dekubitus.
c. Mulailah melakukan latihan rentang gerak aktif dan pasif pada semua
ekstremitas saat masuk. Anjurkan melakukan latihan sepeti latihan
quadrisep/gluteal, meremas bola karet, melebarkan jari-jari kaki/telapak.
Rasional : Meminimalkan atrofi otot, meningkatkan sirkulasi, membantu
mencegah kontraktur. Menurunkan risiko terjadinya
hiperkalsiuria dan osteoporosis jika masalah utamanya adalah
perdarahan. Catatan: Stimulasi yang berlebihan dapat menjadi
pencetus adanya perdarahan berulang.
d. Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot
board) seelama periode paralisis flaksid. Pertahankan posisi kepala netral.
Rasional : Mencegah kontraktur/footdrop dan memfasilitasi kegunaannya
jika berfungsi kembali. Paralisis flaksid dapat mengganggu
kemampuannya untuk menyangga kepala, dilain pihak paralisis
spastik dapat meengarah pada deviasi kepala ke salah satu sisi.
e. Gunakan penyangga lengan ketika pasien berada dalam posisi tegak, sesuai
indikasi.Rasional : Selama paralisis flaksid, penggunaan penyangga dapat
menurunkan risiko terjadinya subluksasio lengan dan ”sindrom
bahu-lengan”.
f. Evaluasi penggunaan dari/kebutuhan alat bantu untuk pengaturan posisi
dan/atau pembalut selama periode paralistik spastik.
Rasional : Kontraktur fleksi dapat teerjadi akibat dari otot fleksor leih kuat
dibandingkan dengan otot ekstensor.
g. Bantu untuk mengembangkan keseimbangan duduk (seperti meninggikan
bagian kepala tempat tidur, bantu untuk duduk di sisi tempat tidur, biarkan
pasien menggunakan kekuatan tangan untuk menyokong berta badan dan kaki
yang kuat untuk memindahkan kaki yang sakit; meningkatkan waktu duduk)
dan keseimbangan dalam berdiri (seperti letakkan sepatu yang datar;sokong
bagian belakang bawah pasien dengan tangan sambil meletakkan lutut
penolong diluar lutut pasien;bantu menggunakan alat pegangan paralel dan
walker).
Rasional : Membantu dalam melatih kembali jaras saraf, meningkatkan
respon proprioseptik dan motorik.
h. Ajarkan latihan rentang gerak aktif pada anggota gerak yang sehat sedikitnya
4x sehari.
Rasional : Untuk merelaksasikan otot agar imobilitas fisik perlahan-lahan
dapat teratasi
i. Lakukan mandi air hangat.
Rasional : Mandi air hangat dapat mengurangi kekakuan tubuh pada pagi
hari dan memperbaiki mobilitas
j. Anjurkan untuk ambulasi, dengan atau tanpa alat bantu.
Rasional : Untuk melatih otot agar terbiasa untuk mobilisasi
k. Lakukan pengukuran kekuatan otot.
Rasional : Untuk mengkaji sejauhmana kemampuan otot pasien.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan deficit verbal
ditandai dengan afasia.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x 24 jam diharapkan komunikasi
verbal klien mengalami peningkatan, dengan kriteria hasil :• Menerima pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi
tertulis, bahasa isyarat, bicara dengan jelas pada telinga yang baik).
• Memperlihatkan suatu peningkatan kemampuan berkomunikasi.
• Meningkatkan kemampuan untuk mengerti.
• Mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi.
• Mampu berbicara yang koheren.
• Mampu menyusun kata – kata/ kalimat.
Mandiri:
a. Kaji tipe/derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau
mengalami kesulitan berbicara atau membuat pengertian sendiri.
Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral
yang terjadi dan kesulitan pasien dalam beberapa atau seluruh
tahap proses komunikasi. Pasien mungkin mempunyai kesulitan
memahami kata yang diucapkan, mengucapkan kata-kata dengan
benar atau mengalami kerusakan pada kedua daerah tersebut.
b. Bedakan antara afasia dengan disartria.
Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya. Afasia
adalah gangguan dalam menggunakan dan menginterpretasikan
simbol-simbol bahasa dan mungkin melibatkan komponen
sensorik dan atau motorik, seperti ketidakmampuan untuk
memahami tulisan/ucapan atau menulis kata, membuat tanda,
berbicara. Seseorang dengan disartria dapat memahami, membaca,
dan menulis bahasa tetapi mengalami kesulitan membentuk/mengucapkan kata sehubungan dengan kelemahan
dan paralisis dari otot-otot daerah oral.
c. Perhatikan kesalahan dalam komunikasi dan berikan umpan balik.
Rasional : Pasien mungkin kehilangan kemampuan untuk memantau ucapan
yang keluar dan tidak menyadari bahwa komunikasi yang
diucapkannya tidak nyata. Umpan balik membantu pasien
merealisasikan kenapa pemberi asuhan tidak mengerti/berespon
sesuai dan memberikan kesempatan untuk mengklarifikasikan
isi/makna yang terkandung dalam ucapannya.
d. Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana (seperti “buka mata,”
“tunjuk ke pintu”) ulangi dengan kata/kalimat yang sederhana.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik (afasia
sensorik)
e. Tunjukkan objek dan minta pasien untuk menyebutkan nama benda tersebut.
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan motorik (afasia
motorik), seperti pasien mungkin mengenalinya tetapi tidak dapat
menyebutkannya.
f. Mintalah pasien untuk mengucapkan suara sederhana seperti “Sh” atau “Pus”
Rasional : Mengidentifikasikan adanya disartria sesuai komponen motorik
dari bicara (seperti lidah, gerakan bibir, kontrol napas) yang dapat
mempengaruhi artikulasi dan mungkin juga tidak disertai afasia
motorik.g. Minta pasien untuk menulis nama dan/atau kalimat yang pendek. Jika tidak
dapat menulis, mintalah pasien untuk membaca kalimat yang pendek
Rasional : Menilai kemampuan menulis (agrafia) dan kekurangan dalam
membaca yang benar (aleksia) yang juga merupakan bagian dari
afasia sensorik dan afasia motorik.
h. Berikan metode komunikasi alternative, seperti menulis di papan tulis,
gambar. Berikan petunjuk visual (gerakan tangan, gambar-gambar, daftar
kebutuhan, demonstrasi).
Rasional : Memberikan komunikasi tentang kebutuhan berdasarkan
keadaan/deficit yang mendasarinya.
i. Katakan secara langsung dengan pasien, bicara perlahan, dan dengan tenang.
Gunakan pertanyaan terbuka dengan jawaban “ya/tidak,” selanjutnya
kembangkan pada pertanyaan yang lebih kompleks sesuai dengan respons
pasien.
Rasional : Menurunkan kebingungan/ansietas selama proses komunikasi dan
berespons pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu
tertentu. Sebagai proses latihan kembali untuk lebih
mengembangkan komunikasi lebih lanjut dan lebih kompleks
akan menstimulasi memori dan dapat meningkatkan asosiasi
ide/kata.
7. Perubahan proses pikir berhubungan dengan deficit kognitif
ditandai dengan kehilangan memori jangka pendek atau jangka panjang,
penurunan lapang perhatian dan konsentrasi.Tujuan
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
perkembangan gangguan proses pikir dapat dihambat dengan kiteria hasil:
• Tidak terjadi abstaksi dan pasien dapat memecahkan masalah
• Tidak terjadi konfusi/disorientasi
• Perilaku sosial pasien sesuai
Intervensi :
a. Lakukan pendekatan dengan cara tenang dan memelihara
Rasional : Membina hubungan saling percaya dengan pasien dan
supaya pasien tidak merasa curiga
b. Kenali saat individu menguji kelayakan orang lain untuk
dipercaya
Rasional : Mengetahui situasi dimana kita harus lebih membina
hubungan saling percaya dengan pasien
c. Hindari membuat janji yang tidak dapat dipenuhi
Rasional : tidak tepatnya atau tidak terpenuhinya janji membuat pasien
kehilangan kepercayaannya
d. Perjelas intepretasi anda tentang apa yang individu alami
Rasional : membuat pasien merasa kalau ada yang memperhatikan dan
memperdulikannya
e) Bantu pasien berkomunikasi secara efektif
Rasional : melatih pasien agar bisa belajar berkomunikasi dengan baik
f) Bantu pasien untuk menentukan metoda alternative koping
Rasional : membantu individu dalam menentukan batasan perilakunya.
g) Dorong dan dukung individu dalam proses pengambilan keputusan.
Rasional : memberikan kesempatan pada pasien dalam suatu
pemecahan masalah
h) Bantu individu mengenali perilaku yang merangsang penolakan
Rasional : membantu pasien dalam mengidentifikasi aktivitas yang
mengurangi ansietas interpersonal.
i) Antisipasi kesukaran dalam menyesuaikan kehidupan bermasyarakat;
diskusikan perhatian terhadap kembalinya ke masyarakat dan kumpulkan
reaksi keluarga terhadap kepulangan individu Rasional : membantu pasien untuk mulai belajar bersosialisasi lagi
baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat
8. Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan deficit
motorik ditandai dengan perubahan kemampuan merawat diri (afraksia).
Tujuan
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
klien mengalami peningkatan perawatan diri dengan kriteria hasil : pasien
mampu untuk makan sendiri, mandi sendiri dan mengenakan pakaian
sendiri,
Mandiri
a. Kaji faktor penyebab atau yang berperan
Rasional : dengan mengetahui penyebab, memudahkan untuk melakukan
intervensi yang tepat
b. Tingkatkan partisipasi optimal pasien
Rasional : Dengan partisipasi optimal diharapkan pasien dapat terlatih dalam
perawatan dirinya.
c. Evaluasi kemampuan untuk berpartisipasi dalam setiap aktivitas
perawatan.
Rasional : mengetahui sejauh mana keberhasilan pasien dalam partisipasi
yang dilakukan.
d. Dorong mengekspresikan perasaan tentang kurang perawatan diri
Rasional : Untuk menumbuhkan kesadaran pasien tentang pentingnya
perawatan diri.
e. Tingkatkan partisipasi optimal pasien
Rasional : dengan partisipasi optimal diharapkan pasien dapat terlatih dalam
perawatan dirinya.
9. Risiko cidera berhubungan dengan perubahan mobilitas sekunder
akibat parastesia.
Tujuan
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
cidera tidak terjadi dengan kriteria hasil : Tidak ada luka
Pasien tidak terjatuh
Mandiri :
a) Orientasikan pasien pada kondisi di sekelilingnya.
Rasional : Mengetahui kondisi sekeliling membantu mencegah terjadinya
cidera.
b) Lakukan kewaspadaan keamanan pada pasien
Rasional : Kewaspadaan dapat menghindarkan pasien dari kemungkinan
mengalami cidera.
c) Gunakan tempat tidur rendah, dengan pagar yang terpasang
Rasional : Penggunaan tempat tidur yang rendah dengan pagar terpasang
dapat menghindari terjatuhnya pasien dari tempat tidur.
d) Gunakan matras pada lantai
Rasional :Mencegah pasien mengalami cidera dan mengantisipasi
kemungkinan pasien terjatuh ke lantai.
10. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
disfagia sekunder akibat paralisis serebral.
Tujuan:
Setelah dilaksanakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan kriteria
hasil : tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal.
Mandiri
e. Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan sesudah
makan.
Rasional : Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan
menimbulkan mual.
f. Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk mengurangi
perasaan tegang pada lambung.
Rasional : Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat mengurangi beban
saluran pencernaan. g. Atur agar mendapatkan nutrien yang berprotein/ kalori yang disajikan
pada saat individu ingin makan.
Rasional : Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat.
Kolaborasi
a. Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori harian yang
realistis dan adekuat.
Rasional : Konsultasi ini dilakukan agar klien mendapatkan nutrisi sesuai
indikasi dan kebutuhan kalorinya.
11. Risiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan
darah dan nutrisi ke jaringan sekunder akibat tirah baring yang lama.
Tujuan:
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
kerusakan integritas kulit tidak terjadi dengan kriteria hasil :
Tidak ada lesi, eritema, pruritus, abrasi ( lecet )
Tidak adanya gangguan jaringan epidermis dan dermis
Mandiri:
a. Amati adanya eritema dan kepucatan, dan lakukan palpasi untuk mengetahui
adanya area yang hangat dan jaringan seperti spon pada setiap perubahan
posisi.
Rasional : Eritema, kepucatan dapat mengindikasikan adanya kerusakan
integritas kulit.
b. Ubah posisi klien setiap 2 jam.
Rasional : Mencegah terjadinya tekanan pada area-area tertentu (dekubitus).
c. Lakukan massase dan pijatan yang lembut dengan menggunakan pelembab.
Rasional : Massase dan pijatan menjaga elastisitas kulit dan mencegah kulit
agar tidak kering.
12. Ketidakefektifan koping individu berhubungan dengan deficit
emosional ditandai dengan kehilangan control diri, emosional labil, depresi.
Tujuan:Setelah dilaksanakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
keefektifan koping individu tercapai dengan kriteria hasil:
- Pengungkapan kemampuan mengatasi masalah atau meminta bantuan.
- Prilaku konstruktif terhadap diri.
- Klien mampu mengontrol dirinya.
- Emosi klien terkontrol
- Tidak adanya depresi
Mandiri:
a. Kaji status koping individu saat ini.
Rasional : Untuk menentukan tindakan yang tepat sesuai status koping
klien.
b. Beri dukungan jika individu bebicara.
Rasional : Memberi semangat dan motivasi bagi klien.
c. Dorong untuk melakukan evaluasi diri tentang perilakunya
Rasional : Sebagai acuan bagi perawat tentang pola pikir klien saat itu.
d. Bantu klien memecahkan masalah dengan cara yang
konstruktif.
Rasional : Menuntun klien pada koping efektif.
e. Ajarkan klien teknik relaksasi
Rasional : Menenangkan klien.
f. Beri kesempatan klien untuk belajar dan menggunakan teknik
manajemen stres (mis. Jogging, Yoga dll)
Rasional : Membantu dalam memanajemen stres klien sewaktu-waktu.
3. Evaluasi
Evaluasi merupakan penilaian dari implementasi yang dilakukan.
1. Tercapainya keefektifan bersihan jalan nafas dengan criteria hasil,
klien mampu batuk dan mengeluarkan sputum dengan efektif, bunyi napas klien
normal, tidak ada ronchi dan tidak ada wheezing dan frekuensi, irama, dan
kedalaman pernapasan normal dengan RR=12-20 x/menit.2. Klien melaporkan nyeri berkurang/dapat terkontrol dengan criteria
hasil, menunjukkan postur rileks dan mampu tidur/istirahat dengan tepat, TTV
dalam rentang normal (nadi = 60-100 x/menit, RR=12-20 x/menit, Tekanan darah
120/80 mmHg)
3. Gangguan perfusi jaringan serebral dapat diatasi, tingkat kesadaran dan
fungsi motorik/sensorik membaik, tanda-tanda vital dalam rentang normal,
pengisian kapiler kurang dari 2 detik.
4. Gangguan persepsi sensori: visual teratasi, tidak ada diplopia, tidak
adanya homonimus hemianopsia dan penglihatan perifer normal.
5. Mobilisasi klien mengalami peningkatan dan hambatan mobilitas fisik
teratasi, mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian tubuh yang
terserang hemiparesis dan hemiplagia, mempertahankan perilaku yang
memungkinkan adanya aktivitas, mempertahankan/meningkatkan kekuatan dan
fungsi umum, kekuatan otot meningkat
555 555
555 555
6. Komunikasi verbal klien mengalami peningkatan, klien menerima
pesan-pesan melalui metode alternatif (mis; komunikasi tertulis, bahasa isyarat,
bicara dengan jelas pada telinga yang baik), memperlihatkan suatu peningkatan
kemampuan berkomunikasi, meningkatkan kemampuan untuk mengerti,
mengatakan penurunan frustrasi dalam berkomunikasi, mampu berbicara yang
koheren, dan mampu menyusun kata – kata/ kalimat.
7. Perkembangan gangguan proses pikir dapat dihambat, tidak terjadi abstaksi
dan pasien dapat memecahkan masalah, tidak terjadi konfusi/disorientasi dan
perilaku sosial pasien sesuai.
8. Klien mengalami peningkatan perawatan diri, pasien mampu untuk makan
sendiri, mandi sendiri dan mengenakan pakaian sendiri.
9. Cidera tidak terjadi.
10. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi, tidak terjadi
penurunan berat badan sebesar 10% dari berat awal.
11. Kerusakan integritas kulit tidak terjadi, tidak ada lesi, eritema, pruritus,
abrasi ( lecet ), dan tidak adanya gangguan jaringan epidermis dan dermis12. Keefektifan koping individu tercapai, adanya pengungkapan
kemampuan mengatasi masalah atau meminta bantuan, prilaku konstruktif terhadap
diri, klien mampu mengontrol dirinya, emosi klien terkontrol dan tidak adanya
depresi DAFTAR PUSTAKA
Suddart, & Brunner. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC
Sudoyo, Aru W. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Purnawan J. dkk, 1982.Kapita Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.
Price, Sylvia A, Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed4. Jakarta.
EGC. 1995.
Syamsuhidayat, Wim de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, Jakarta, EGC.
Price S.A., Wilson L.M., 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi
4, Buku II, EGC, Jakarta. FKUI /RSCM,UCB Pharma Indonesia, Jakarta.
Carpenito, Lynda Juall, 2000, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 8, EGC, Jakarta.
Depkes RI, 1996, Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan,
Diknakes, Jakarta.
Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C., 2000, Rencana Asuhan Keperawatan,
Edisi 3, EGC, Jakarta.
Engram, Barbara, 1998, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah, Volume 3, EGC,
Jakarta.
Harsono, 1996, Buku Ajar Neurologi Klinis, Edisi 1, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Harsono, 2000, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.