Upload
kelompok14rssa
View
49
Download
0
Embed Size (px)
LAPORAN PENDAHULUAN
“PNEUMONIA”
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Ners Departemen Pedatrik
di Ruang HCU Rumah Sakit Saiful Anwar Malang
Disusun Oleh:
DEWI FARIDA VIVTYASARI
140070300011096
PSIK A UB
KELOMPOK 14
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
1. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah proses inflamasi parenkim paru yang terdapat
konsolidasi dan terjadi pengisian alveoli oleh eksudat yang disebabkan
oleh bakteri, virus, dan benda-benda asing (Muttaqin, 2008).
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang
mengenai parenkim paru. Menurut anatomis pneumonia pada anak
dibedakan menjadi 3 yaitu pneumonia lobaris, pneumonia lobularis
(bronchopneumonia), Pneumonia interstisialis (Mansjoer, 2000).
Pneumonia merupakan penyakit dari paru-paru dan sistem pernapasan
dimana alveoli( mikroskopik udara mengisi kantong dari paru yang
bertanggung jawab untuk menyerap oksigen dari atmosfer) menjadi
radang dan dengan penimbunan cairan. Pneumonia disebabkan oleh
berbagai macam sebab,meliputi infeksi karena bakteri,virus,jamur
atau parasit (Reevers, 2000).
2. Etiologi Pneumonia
Bakteri
Pneumonia bakteri biasanya didapatkan pada usia lanjut.
Organisme gram posifif seperti : Steptococcus pneumonia, S.
aerous, dan streptococcus pyogenesis. Bakteri gram negatif seperti
Haemophilus influenza, klebsiella pneumonia dan P. Aeruginosa.
Virus
Disebabkan oleh virus influensa yang menyebar melalui transmisi
droplet. Cytomegalovirus dalam hal ini dikenal sebagai penyebab
utama pneumonia virus.
Jamur
Infeksi yang disebabkan jamur seperti histoplasmosis menyebar
melalui penghirupan udara yang mengandung spora dan biasanya
ditemukan pada kotoran burung, tanah serta kompos. Contoh jamur
yang dapat menjadi penyebab antara lain Candida, Histoplasma,
Aspergilus
Protozoa
Menimbulkan terjadinya Pneumocystis carinii pneumonia (CPC).
Biasanya menjangkiti pasien yang mengalami immunosupresi.
Bahan kimia
Minyak tanah, bensin
Aspirasi (cairan amnion, makanan, cairan lambung, susu) (Reevers,
2000; Sectish, 2003).
3. Faktor resiko Pneumonia
Faktor-faktor risiko kesakitan (morbiditas) pneumonia adalah antara
lain umur, jenis kelamin, gizi kurang, riwayat BBLR, pemberian ASI yang
kurang memadai, defisiensi vitamin A, status imunisasi, polusi udara,
kepadatan rumah tangga, ventilasi rumah, dan pemberian makanan yang
terlalu dini (Depkes RI, 2004). Selain itu, dari sebuah hasil penelitian
diketahui faktor-faktor risiko lain yang dapat meningkatkan insidens
pneumonia yaitu perilaku ibu dalam pengobatan, lamanya waktu anak
berada di dapur, riwayat ke Posyandu dalam 3 bulan terakhir, serta
pendapatan rumah tangga. Jika diklasifikasikan, maka faktor-faktor risiko
pneumonia dapat dibedakan atas faktor anak, faktor orang tua, dan faktor
lingkungan.
Faktor Anak
a. Umur
Umur merupakan salah satu faktor risiko utama pada
beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena umur dapat
memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang
berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia
dibandingkan anak-anak yang berumur di atas 2 tahun. Hal ini
disebabkan imunitas yang belum sempurna dan lubang pernapasan
yang masih relatif sempit (Depkes RI dalam Tantry, 2008). Umur
yang sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan menderita
pneumonia yang lebih berat (Ewig dalam Machmud, 2006 ).
Penelitian Tuparsi di Filipina telah membuktikan bahwa morbiditas
pneumonia berhubungan dengan status sosial ekonomi yang rendah
serta umur balita yang kurang dari 1 tahun. Hasil surveilans pada
tahun 1998/1999 juga memperlihatkan bahwa proporsi pneumonia
pada bayi 14,1% lebih tinggi daripada pada balita (Herman, 2002).
Balita juga rentan terhadap risiko kematian akibat pneumonia.
Semakin muda umur seorang balita penderita ISPA/pneumonia,
maka semakin besar risiko untuk meninggal daripada usia yang
lebih tua (Sutrisna dalam Tantry, 2008 ).
b. Jenis Kelamin
Di dalam buku pedoman P2 ISPA, disebutkan bahwa laki-
laki adalah faktor risiko yang mempengaruhi kesakitan pneumonia
(Depkes RI, 2004). Penelitian di Srilanka memperlihatkan bahwa
balita dengan jenis kelamin laki-laki mempunyai risiko 2,19 kali
lebih tinggi dibandingkan perempuan (Dharmage et al dalam
Herman, 2002 ). Penelitian di Uruguay juga menunjukkan bahwa
pada tahun 1997-1998, 56% penderita pneumonia yang dirawat di
rumah sakit adalah laki- laki (Pirez dalam Machmud: 2006 ).
c. Riwayat BBLR
BBLR atau bayi berat lahir rendah adalah bayi (neonatus)
yang lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. Bayi dan balita
dengan BBLR umumnya lebih berisiko terhadap kematian, bahkan
sejak masa-masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan karena zat
anti kekebalan di dalam tubuhnya belum sempurna (Molyneux
dalam Tantry, 2008). Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa
bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih
besar untuk menderita pneumonia (Abdullah dalam Tantry, 2008).
d. Pemberian ASI
ASI (Air Susu Ibu) adalah air susu yang alami diproduksi
oleh ibu dan merupakan sumber gizi yang sangat ideal dan
berkomposisi seimbang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan
bayi, sehingga dapat dikatakan ASI adalah makanan yang paling
sempurna bagi bayi, baik kuantitas maupun kualitasnya (Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan, 2000). ASI mengandung nutrisi
dan zat-zat penting yang berguna terhadap kekebalan tubuh bayi.
Zat-zat yang bersifat protektif tersebut dapat melindungi bayi dari
berbagai penyakit infeksi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi bayi
untuk segera diberikan ASI sejak lahir karena pada saat itu bayi
belum dapat memproduksi zat kekebalannya sendiri.
Pemberian ASI ternyata dapat menurunkan risiko pneumonia
pada bayi dan balita. Penelitian Widiawati di Klapa Nunggal,
Bogor menunjukkan bahwa balita yang tidak mendapatkan ASI
lebih berisiko 4,59 kali menderita pneumonia dibandingkan yang
telah mendapatkan ASI (Tantry, 2008). Penelitian di Rwanda juga
melaporkan hal yang sama. Bayi yang dirawat di rumah sakit
karena pneumonia lebih berisiko meninggal dengan Case Fatality
Ratenya dua kali lebih besar pada bayi yang tidak memperoleh ASI
(Victora dalam Machmud, 2006).
e. Status Gizi
Status gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan
derajat kesehatan, khususnya kesehatan anak. Status gizi pada anak
dapat dinilai dari pengukuran rasio berat badan dan tinggi
(panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh dari asupan
gizi yang tentu saja cukup dan seimbang. Kekurangan gizi
(malnutrisi) dapat terjadi pada bayi dan anak dan akan
menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang
apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa.
Usia 0-24 bulan merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan
yang pesat, sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas
sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila
pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi yang sesuai
untuk tumbuh kembang optimal (Depkes RI, 2006).
f. Status Imunisasi
Pada dasarnya beberapa penyakit-penyakit infeksi yang
terjadi pada anak-anak dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I),
yaitu antara lain difteri, pertusis, tetanus, hepatitis, tuberkulosis,
campak dan polio. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa
pneumonia juga merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui
pemberian imunisasi, yaitu dengan imunisasi campak dan pertusis
(Kanra dalam Machmud, 2006). Penyakit pertusis berat dapat
menyebabkan infeksi saluran napas berat seperti pneumonia. Oleh
karena itu, pemberian imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, dan
Tetanus) dapat mencegah pneumonia.
Akan tetapi, kini telah berkembang di dunia sebuah vaksin
yang penggunaannya dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi
pneumokokus (IPD) pada bayi dan anak-anak. Pemberian vaksin
ini merupakan tindakan pencegahan yang dipercaya sebagai
langkah protektif setelah diketahui bahwa saat ini resistensi kuman
terhadap antibiotik semakin meningkat. Setelah divaksinasi, bayi
dan anak-anak akan memperoleh Herd Immunity atau kekebalan
populasi. WHO telah merekomendasikan penggunaan vaksin
pneumokokus konjugasi (PCV-7) ini di setiap negara dalam
program imunisasi nasional, khususnya pada negara dengan
mortalitas anak usia <5 tahun mencapai lebih dari 50 kematian per
1000 kelahiran atau mencapai lebih dari 50.000 kematian per
tahunnya (WHO dalam Weekly Epid, 2006). Meskipun telah
memperoleh izin edar dari Badan POM, Menteri Kesehatan RI
menyebutkan bahwa vaksin pneumokokus konjugasi belum
ditetapkan sebagai Program Imunisasi Nasional di Indonesia (Pusat
Komunikasi Publik, Depkes RI, 2009).
g. Defisiensi Vitamin A
Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan adanya
hubungan antara kejadian pneumonia dengan pemberian vitamin A.
Penelitian Herman (2002) menunjukkan bahwa balita yang tidak
mendapat vitamin A dosis tinggi secara lengkap 4,1 kali berisiko
terhadap kejadian pneumonia.
Akan tetapi, hasil penelitian memperlihatkan bahwa
pemberian vitamin A berguna dalam mengurangi beratnya penyakit
dan mencegah terjadinya kematian akibat pneumonia. Pemberian
vitamin A dikhususkan pada balita berumur 6 bulan sampai 2 tahun
yang dirawat di rumah sakit karena campak dan komplikasi
pneumonia (Kanra dalam Machmud, 2006). Oleh karena itu, jika
anak menderita pneumonia tetapi telah memperoleh vitamin A
sebelumnya dalam jangka waktu tertentu, maka anak tersebut tidak
akan menderita pneumonia berat dan dapat mencegah mortalitas.
Penelitian Sutrisna pada tahun 1993 menunjukkan balita yang tidak
memperoleh suplementasi vitamin A berisiko 14,8 kali untuk
meninggal dibandingkan dengan yang telah disuplementasi
(Herman, 2002).
h. Pemberian Makanan Terlalu Dini
Pemberian makanan terlalu dini kepada bayi dapat
mengakibatkan bayi terkena pneumonia (Depkes RI, 2004). Pada
bulan-bulan pertama kehidupannya, belum mampu menerima
makanan. Hal ini disebabkan karena saluran pencernaannya yang
belum sempurna. Kekebalan tubuh pada bayi juga belum
sepenuhnya terbentuk. Oleh karena itu diperlukan asupan dari ibu
yang diberikan kepada bayi melalui ASI. Pada dasarnya, makanan
mulai diperkenalkan ketika bayi sudah mencapai usia 6 bulan.
Makanan juga sangat rentan untuk tercemar oleh kuman.Pemberian
makanan terlalu dini berpotensi menimbulkan infeksi pada bayi
karena bayi belum mampu mencernanya dengan baik sehingga jika
ada kuman yang masuk melalui makanan, bayi akan mudah
terinfeksi penyakit.
Faktor Orang Tua
a. Pendidikan Ibu
Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh
melalui jenjang pendidikan. Di negara-negara berkembang,
terdapat petunjuk yang jelas tentang adanya perbedaan tingkat
kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu
(Ware dalam Machmud, 2006). Pendidikan ibu adalah salah satu
faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian
pneumonia pada bayi dan balita (Sukar dalam Tantry, 2008).
b. Pengetahuan Ibu
Tingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian
pneumonia balita. Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam
memberikan makanan yang memadai dan bergizi kepada anaknya
serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Pengetahuan lebih
jauh tentang penyakit pneumonia dan praktek pelayanan yang
benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan
angka kesakitan dan kematian pneumonia (Machmud, 2006).
c. Sosial Ekonomi
Faktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor
utama dalam penyakit pernapasan. Terdapat hubungan korelasi
negatif antara status sosial ekonomi dengan morbiditas infeksi
saluran napas (Purwana dalam Machmud, 2006). Pada umumnya,
status ekonomi yang berhubungan dengan insidens pneumonia
diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan
banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Foster dalam
Machmud, 2006). Masyarakat miskin juga identik dengan
ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Balita
yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah
cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup sehingga
lebih rentan terkena penyakit.
Sosial ekonomi yang rendah dapat mempengaruhi upaya pencarian
pengobatan. Salah satu program yang telah dilakukan oleh Amerika
Serikat dalam upaya menurunkan kematian akibat pneumonia
balita tahun 1972 adalah dengan meningkatkan akses penduduk
miskin ke fasilitas pelayanan kesehatan (Dowell dalam Machmud,
2006).
Faktor Lingkungan
a. Polusi Udara di dalam Rumah
Polusi udara dapat terjadi baik di dalam rumah maupun di
luar rumah. Polusi udara di dalam rumah dihasilkan dari
pembuangan asap seperti asap rokok dan asap pembakaran kompor
tungku atau kayu bakar. Asap tersebut berpotensi besar
menimbulkan pajanan partikulat seperti PM10 (Partikulat Matter
10 Mikron). Jika terhirup, asap tersebut dapat mengganggu
pernapasan. Pemajanan oleh partikulat lebih berpotensial terjadi
jika dapur berada dekat dengan kamar tidur atau kamar tamu.
Anak-anak yang lebih sering berada di dapur atau kamar tidur yang
berdekatan dengan dapur lebih berisiko untuk mengalami gangguan
pernapasan.
Sementara itu, adanya perokok di dalam rumah dapat
meningkatkan pajanan asap rokok kepada anggota keluarga
lainnya. Konsumsi perokok di dalam rumah merupakan faktor
risiko gangguan pernapasan pada anak balita (Purwana dalam
Machmud, 2006).
b. Kepadatan Hunian
Kepadatan hunian untuk rumah sederhana adalah minimal 10
m2/orang. Jika suatu rumah memiliki kepadatan hunian yang tinggi
maka akan mempengaruhi pertukaran udara di dalam rumah. Foster
menjelaskan bahwa kepadatan orang dalam rumah berhubungan
dengan kejadian pneumonia pada balita (Machmud, 2006). Herman
(2002) juga mendapatkan hubungan yang bermakna antara
kepadatan hunian dengan insidens pneumonia.
c. Ventilasi Rumah
Ventilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan
pengeluaran udara ke dan atau dari suatu ruang secara alamiah
maupun mekanis. Pertukaran udara secara mekanis dilakukan
melalui penyediaan lubang ventilasi di dalam rumah. Pada
dasarnya luas lubang tersebut minimal 5% dari luas lantai. Akan
tetapi, jika ditambah dengan lubang udara lain seperti celah pintu
atau jendela, maka luas minimal lubang ventilasi menjadi 10% dari
luas lantai.
Pada penelitian Herman (2002), diketahui bahwa balita yang
tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki
risiko 4,2 kali lebih besar untuk terkena pneumonia dibandingkan
yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat.
d. Kondisi Fisik Rumah
Rumah yang sehat adalah bangunan rumah tinggal yang telah
memenuhi syarat kesehatan dengan beberapa kriterianya antara lain
memenuhi kebutuhan fisik (suhu, iluminasi dan ventilasi),
memenuhi kebutuhan kejiwaan (privasi dan hubungan antar
anggota keluarga), memenuhi kriteria keselamatan (bangunan yang
kokoh dan terhindar dari gas beracun), serta mampu melindungi
penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit (Budiarti,
2006). Oleh sebab itu, sangatlah penting memikirkan hal-hal
tersebut di atas agar seluruh anggota keluarga dapat merasa sehat
dan nyaman berada di rumah.
Rumah yang tidak sehat dapat memudahkan penularan
penyakit, terutama penyakit pernapasan. Contohnya saja jika
ventilasi udara dan pencahayaan di rumah yang tidak baik. Kuman-
kuman akan cepat berkembang biak jika rumah dibiarkan lembab
dan tidak terawat. Penelitian Yulianti menemukan ada pengaruh
antara dinding rumah dan jenis lantai dengan kejadian pneumonia
(Tantry 2008).
Selain faktor- faktor risiko di atas juga ada faktor risiko lainnya, antara lain:
Pasien stroke
Pasien dengan keadaan yang tidak sadarkan diri atau mengalami
kelumpuhan misalnya stroke, pneumonia sering terjadi dalam 42-72
jam pertama pasca stroke iskemik dan mengakibatkan sekitar 15-25%
kematian terkait stroke. Pneumonia pasca stroke merupakan akibat
dari aspirasi yang disebabkan oleh deficit neurologis seperti
penurunan kesadaran, gangguan reflek protektif atau disfagia.
Orang-oarang yang memiliki daya tahan tubuh lemah
Seperti penderita HIV/AIDS, para penderita penyakit kronik sperti
sakit jantung, DM. Begitu pula bagi mereka yang pernah/rutin
menjalani chemoterapi dan meminum obat golongan
immunosupresant dalam waktu lama dimana pada umumnya memiliki
daya tahan tubuh yang lemah.
Pasien yang berada di dalam ruang perawatan intensive (ICU/ICCU)
Pasien yang dilakukan tindakan ventilator “endotrakeal tube” sangat
berisiko terkena pneumonia. Disaat mereka batuk akan mengeluarkan
tekanan balik isi lambung kea rah kerongkongan, bila hal itu
mengandung bakteri dan berpindah ke rongga nafas (ventilator) maka
akan berpotensialtinggi terkena pneumonia
Pasien yang lama mengalami tirah baring
Pasien yang mengalami operasi besar sehingga menyebabkan
bermasalah dalam hal mobilisasi, dan merupakan salah satu risiko
tinggi terkena penyakit pneumonia dimana dengan tidur berbaring
statis memungkinkan mucus berkumpul di rongga paru dan menjadi
media berkembangnya bakteri (Soeparman, 2002).
4. Epidemiologi Pneumonia
Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas
yang terbanyak di dapatkan dan sering merupakan penyebab kematian
hampir diseluruh dunia. Di AS pneumonia mencapai 13% darisemua
penyakit infeksi pada anak dibawah 2 tahun. Berdasarkan hasil penelitian
insiden pada pneumonia didapat 4 kasus dari 100 anak prasekolah, 2 kasus
dari 100 anak umur 5-9 tahun,dan 1 kasus ditemukan dari 100 anak umur
9-15 tahun. Di United States, insidensi untuk penyakit ini mencapai 12
kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang
dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup
tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002). Di negara
berkembang sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan di rumah
sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi, yaitu sekitar
30-40% (Sajinadiyasa, 2011).
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, menunjukkan; prevalensi nasional ISPA: 25,5% (16 provinsi
di atas angka nasional), angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada
Bayi: 2.2 %, Balita: 3%, angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8%, dan
Balita 15,5%. Pneumonia pada dapat terjadi pada orang tanpa kelainan
imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang
menderita pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang
mengganggu daya tahan tubuh. Frekuensirelative terhadap
mikroorganisme petogen paru bervariasi menurut lingkungan ketika
infeksi tersebut didapat. Selain itu factor iklim dan letak geografik
mempengaruhi peningkatan frekuensi infeksi penyakit ini (Kartasasmita,
2010).
5. Klasifikasi Pneumonia
Menurut buku Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia yang
dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003, menyebutkan 3
klaisfikasi pneumonia, yaitu:
Berdasarkan klinis dan epidemiologi
a. Pneumonia komuniti ( Community-Acquired Pneumonia/ CAP)
Pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi
di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48
jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah
dirawat di rumah sakit selama > 14 hari.
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial)
pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah
masuk rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di
rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang
dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam
perawatannya. Demikian pula halnya dengan penderita yang
dirawat di ICU, lebih dari 60% akan menderita pneumonia.
c. Pneumonia aspirasi
Infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob lain setelah aspirasi
orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa
didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun
pasien dengan gangguan refleks menelan. Stroke, penyakit
Parkinson, kesulitan menelan, dapat menyebabkan aspiration
pneumonia.
d. Pneumonia pada penderita immunocompromised/ oportunistik
Pneumonia jenis ini menyerang mereka yang lemah sistem
kekebalan tubuhnya. Misalnya penderita AIDS atau yang pernah
melakukan transplantasi organ tertentu. Kemoterapi dan
penanganan corticosteroid juga dapat memicu penyakit ini.
Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia bakterial / tipikal.
Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa bakteri mempunyai
tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya Klebsiella
pada penderita alkoholik, Staphyllococcus pada penderita pasca
infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal
Disebabkan Mycoplasma, Legionella dan Chlamydia
c. Pneumonia virus
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza (bedakan
dengan bakteri hemofilus influenza yang bukan penyebab
penyakit influenza, tetapi bias menyebabkan pneumonia juga).
Gejala wala dari pneumonia akibat virus sama seperti gejala
influenza, yaitu demam, batuk kering, sakit kepala, nyeri otot, dan
kelemahan. Dalam 12-36 jam penderita menjadi sesak, batuk
lebih parah, dan sedikit berlendir. Terdapat panas tinggi yang
disertai membirunya bibir.
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder.
Predileksi terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised).
Berdasarkan predileksi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan bsar dari
pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
b. Pneumonia bronkopneumonia
Pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi pada berbagai
tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus
atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang tua.
6. Patofisiologi Pneumonia
Etiologi (virus, bakteri, jamur)
Droplet terhirup
Masuk pada alveoli
Reaksi peradangan
PMN (leukosit & makrofag meningkat)
Mengaktifasi cytokine
Ekstravasasi cairan ke alveoli
transportasi O2 terganggu
HR meningkat, kelelahan, kelemahan
MK: intoleransi aktivitas
Merangsang IL-1
Merangsang IL-1
Zat endogen pyrogen
prostaglandin
Berdistribusi ke hipotalamus
Menggeser setpoint anterior
Suhu tubuh meningkat
Konsolidasi-penumpukkan eksudat di alveoli
Gangguan difusi O2
BGA abnormal
Konfusi, iritabilitas, sianosis, dispneu, pernafasan cuping hidung
MK: gangguan pertukaran gas
Obstuksi saluran nafas
Sesak, ronkhi
MK: ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Kurang pengetahuan, informasi
MK: defisiensi pengetahuan
(Mansjoer, 2000; Price, 2003).
7. Manifestasi klinis Pneumonia
Pada dasarnya gejala klinisnya dapat dikelompokkan atas :
Gejala umum infeksi : demam, sakit kepala, lesu, dll.gejala umum
penyakit saluran pernapasan bawah : seperti takipneu, dispneu,
retraksi atau napas cuping hidung, sianosis.
Tanda pneumonia : perkusi pekak pada pneumonia lobaris, ronki
basah halus nyaring pada bronkopneumonia dan bronkofoni positif.
Batuk disertai dengan napas cepat (usia < 2 bulan > 60 x/menit, 2
bulan – 1 tahun > 50 x/menit, 1-5 tahun > 40 x/menit)
Batuk yang mungkin kering atau berdahak mukopurulen, purulen,
bahkan mungkin berdarah.
Tanda di ekstrapulmonal
Leukositosis jelas pada pneumonia bakteri dan pada sputum dapat
dibiak kuman penyebabnya (Muttaqin, 2008).
Demam, berkeringat
Cairan tubuh <<
Respon batuk
Penggunaan otot bantu abdomen
Refluk fagal
Mual, muntah
Peningkatan pemecahan cadangan makanan
MK: ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
MK: resiko tinggi kekurangan volume cairan
8. Pemeriksaan Diagnostik Pneumonia
Sinar X
Mengidentifikasi distribusi structural (mis, lobar, bronkial); dapat
juga menyatakan abses luas/ infiltrate, ampiema (stapilococcus);
infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran/
perluasan infiltrate nodul (lebih sering virus).
GDA/ nadi oksimentari
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang
terlibat dan penyakit paru yang ada.
Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Diambil dengan biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopi
fiberoptik, atau biopsi pembukaan baru untuk mengatasi organisme
penyebab. Lebih dari 1 tipe organisme ada: bakteri yang umum
meliputi Diplococcus pneumonia, stpilococcus aereus, A-
hemolitik strepcoccus, Haemopilus influenza; CMV. Catatan:
Kultur sputum dapat tak mengidentifikasi semua organism yang
ada. Kultur darah dapat menunjukkan baktremia sementara.
JDL
Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi
pada infeksi virus, kondisi tekanan imun seperti AIDS,
memungkinkan berkembangnya pneumonia bacterial
LED: meningkat
Pemeriksaan fungsi paru
Volume mungkin menurun (kogesti dan kolaps alveolar): tekanan
jalan nafas mungkin meningkat dan complain menurun. Mungkin
terjadi pembebasan (hipoksemia).
Elektrolit: Natrium dan kalorida mungkin rendah
Bilirubin: mungkin meningkat
Aspirasi perkutan/ biopsy jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intranuklear tipikal dan keterlibatan sitoplasmik
(CMV); karaktristik sel raksasa (rubeolla) (Misnadiarly, 2008).
9. Penatalaksanaan Pneumonia
Penatalaksanaan pneumonia dilakukan berdasarkan penentuan klasifikasi
pada anak, yaitu :
Pneumonia Barat
Tanda : tarikan dinidng dada ke dalam
Penderita pneumonia berat juga mungkin disertaii tanda lain, seperti :
- Nafas cuping hidung
- Suara rintihan
- Sianosis
Tindakan : cepat dirujuk ke rumah sakit ( diberikan satu kali dosis
antibiotika dan kalau ada demam atau wheezing diobati
lebih dahulu)
Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, disertai nafas cepat
Tindakan :
1. Nasehati ibunya untuk tindakan perawatan di rumah
2. Beri antibiotik selama 5 hari
3. Anjurkan ibu untuk kontrol 2 hari atau lebih cepat apabila keadaan
memburuk
4. Bila demam, obati
5. Bila ada wheezing , obati
WHO menganjurkan penggunaan antibiotika untuk pengobatan
pneumonia yakni dalam bentuk tablet atau sirup ( kortimoksazol,
amoksisilin, ampisilisn ) atau dalam bentuk suntikan intra muskuler
( prokain penisilin )
Bukan Pneumonia
Tanda : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, tidak ada nafas cepat
Tindakan :
1. Bila batuk > 30 hari, rujuk
2. Obati penyakit lain bila ada
3. Nasehati ibunya untuk perawatan di rumah
4. Bila demam, obati
5. Bila ada wheezing , obati
Selain penatalaksanaan diatas ada beberapa penatalaksaan pada penderita
pneumonia, diantaranya:
Oksigen 1-2L/menit
Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100mmhg atau saturasi 95-96%
berdasarkan pemeriksaan AGD
Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak
Fisioterapi dada untuk mengeluarkan dahak , khususnya dengan
clapping dan vibrasi
Pemberian kortikosteroid , diberikan pada fase sepsis
Ventilasi mekananis , indikasi intubasi dan pemasangan ventilator
dilakukan bila terjadi hipoksemia persisten, gagal nafas yang disertai
peningkatan respiratory distress dan respiratory arrest
IVFD Dextrose 10% : NaCl 0,9%=3:1,+KCl 10 mEq/500 ml cairan.
Jumlah cairan sesuai BB, kenaikan suhu, dan status hidrasi.
Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat di mulai makanan enteral bertahap
melalui selang nasogastrik dengan feeding drip.
Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport mukosilier.
Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit
Antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :
Untuk kasus pneumonia Community base :
- Ampisilin 100mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
- Kloramfenikol 75mg/Kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
Untuk kasus pneumonia Hospital base :
- Sefotaksim 100mg/Kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
- Amikasin 10-15mg/Kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
Tabel Pemilihan Antibiotika berdasarkan Etiologi
Mikroorganisme Antibiotika
Streptokokus dan Penisilin G 50.000 unit/hari IV atau
Stafilokokus Penisilin Prokain 600.000U/kali/hari IM atau
Ampisilin 100mg/Kg BB/hari atau
Seftriakson 75-200 mg/Kg BB/hari
M.Pnemoniae Eritromisin 15mg/Kg BB/hari atau derivatnya
H.Influenzae Kloramfenikol 100mg/Kg BB/hari atau
Klebsiella Sefalosforin
(Misnadiarly, 2008; Effendy, 2001).
10. Pencegahan Pneumonia
Pencegahan primer
Tujuannya adalah untuk mencegah terjadinya pneumonia, antara lain:
a. Perawatan selama masa kehamilan
Untuk mencegah risiko bayi dengan berta badan lahir rendah, perlu
gizi ibu selama kehamilan dengan mengkonsumsi zat-zat bergizi
yang cukup bagi kesehatan ibu dan pertumbuhan janin dalam
kandungan serta pencegahan terhadap hal-hal yang memungkinkan
terkenanya infeksi selama kehamilan.
b. Perbaikan gizi balita
Untuk mencegah risiko pneumonia pada balita yang disebabkan
karena malnutrisi, sebaiknya dilakukan dengan pemberian ASI
pada bayi neonatal sampai umur 2 tahun. Karena ASI terjamin
kebersihannya, tidak terkontaminasi serta mengandung faktor-
faktor antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan dan
ketahanan terhadap infeksi virus dan bakteri. Oleh karena itu, balita
yang mendapat ASI secara ekslusif lebih tahan infeksi dibanding
balita yang tidak mendapatkannya.
c. Memberikan imunisasi lengkap pada anak
Untuk mencegah pneumonia dapat dilakukan dengan pemberian
imunisasi yang memadai, yaitu imunisasi anak campak pada anak
umur 9 bulan, imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak
3 kali yaitu pada umur 2 bulan, 3 bulan dan 4 bulan.
d. Memeriksakan anak sedini mungkin apabila terserang batuk.
Balita yang menderita batuk harus segera diberi pengobatan yang
sesuai untuk mencegah terjadinya penyakit batuk pilek biasa
menjadi batuk yang disertai dengan napas cepat/sesak napas.
Pencegahan sekunder
Tujuannya adalah untuk menyembuhkan orang yang sudah menderita
pneumonia, pencegahan sekunder antara lain:
a. Pneumonia berat: dibawa ke rumah sakit dan diberi antibiotik
b. Pneumonia: diberi antibiotic kortimoksasol oral dan ampisilin
c. Bukian pneumonia:bisa perawatan di rumah, tidak diberikan
antibiotic. Cukup diberikan paracetamol jika panas, bila pilek
diberikan kapas yang ditetesi air garam, bila nyeri tenggorokan beri
penicillin dan dipantau selama 10 hari
Pencegahan tersier
Tujuannya adalah untuk mencegah munculnya komplikasi/keadaan
yang semakin parah
a. Beri antibiotic selama 5 hari dan jika semakin parah konsul ke
dokter (Soeparman, 2002).
11. Komplikasi Pneumonia
Bakteremia
Bakteremia adalah suatu kondisi di mana ada sejumlah besar bakteri
hadir dalam aliran darah. Indikasi bakteri dalam darah terdeteksi oleh
pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan fisik. Bakteremia biasanya
dicurigai jika pasien menunjukkan tanda-tanda dan gejala seperti
demam tinggi, batuk lendir hijau atau kuning, kelemahan ekstrim dan
timbulnya syok septik. Bakteremia harus ditangani dengan cepat atau
infeksi dapat menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dan
menyebabkan organ utama mati.
Efusi pleura
Efusi pleura terjadi ketika penumpukan kelebihan cairan dan dahak
pada lapisan dinding dada, alveoulus dan ruang-ruang di antaranya.
Ini adalah komplikasi umum yang muncul dari pneumonia dan
mungkin salah satu tanda-tanda pertama pada X-Ray dada. Jika cairan
luas di paru-paru, thoracentesis mungkin harus dilakukan.
Endokarditis
Endokarditis adalah infeksi lapisan dalam jantung. Ini merupakan
komplikasi dari pneumonia diobati jangka panjang atau pneumonia
berulang. Karena gejala dapat mirip pneumonia itu sendiri, seperti
sesak napas, batuk atau nyeri, sering kali tidak terdeteksi. Endokarditis
yang tidak diobati dapat menyebabkan kerusakan ireversibel katup
atau gagal jantung.
Kegagalan ventilasi
Kegagalan ventilasi adalah nama lain umum untuk hiperkapnia. Otot-
otot di paru-paru, atau otot ventilator, bekerja keras untuk
memungkinkan paru-paru naik dan turun dan bekerja pada
menyelesaikan fungsi tubuh yang tepat. Dalam beberapa kasus
pneumonia, pasien mungkin tidak dapat bernapas dengan adekuat.
Sebuah ventilator harus ditempatkan pada pasien sehingga mereka
dapat bernapas dengan benar dan mengisi aliran darah dan oksigen ke
seluruh organ tubuh.
Kegagalan Pernafasan hipoksemia
Kondisi ini terjadi ketika ada peradangan parah di dinding paru-paru
menyebabkan aliran udara menutup atau menyempitkan darah dan
aliran udara. Pengobatan awal adalah untuk mengurangi peradangan.
Hal ini dilakukan dengan antibiotik untuk menghilangkan infeksi dan
thoracentesis untuk menghapus cairan untuk meringankan tekanan
udara dan aliran kembali (Price, 2003; Sectish, 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Aji, Tulus, Y, 2008.Faktor-faktor lingkungan fisik rumah yang berhubungan
dengan kejadian pneumonia pada anak balita. http://eprints
.undip.ac.id/18058/1 /tulus-aji-Yuwono.pdf. Diakses tanggal 2 Maret
2013.
Effendy, Nur. 2001. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta:
EGC.
Johnson M, Maas M, Moorhead S., Swanson, E. 2008. IOWA Outcome Project:
Nursing Outcomes Classification (NOC). 4th ed. Missouri: Mosby, Inc.
Kartasasmita, CB. 2010. Pneumonia Pembunuh Balita dalam Buletin Jendela
Epidemiologi; 3; 22-26.
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media
Aesculapius.
Mc Closkey, JC., Butcher, HK., Bulechek GM. 2008. IOWA Outcome Project:
Nursing Interventions Classification (NIC). 5h ed.Missouri: Mosby, Inc.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak, Orang
Dewasa, Usia Lanjut, Pneumonia Atipik, & Pneumonia Atypik
Mycobacterium. Jakarta: Pustaka Obor Populer.
Muttaqin, dkk. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan System
Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.
North American Nursing Diagnosis Association. 2010. Nursing Diagnoses:
Definition & Classification 2012-2014. Philadelphia.
Price, Sylvia. 2003 . Patofisiologi Volume 2. Jakarta: EGC
Reevers, Charlene J, et all. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: Salemba
Medica.
Riskianti, Annisa, 2009. Faktor-faktor yang menyebabkan pneumonia.
http://www. lontar .ui. ac .id/ file ? file = digital / 1 2 6 5 6 0-s-5 738-
faktor-faktor%20yang – literature.pdf. Diakses tanggal 3 Maret 2013.
Sectish TC, Prober CG. 2003. Pnemonia. Dalam : Behrman RE, Kleigman RM,
Jenson HB, penyunting. NelsonTextbook of Pediatrics. Edisi ke-17.
Philadelphia : WB Saunders, 1432-5.