Upload
sekar-inggar-r
View
144
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN
PERENCANAAN BANGUNAN AIR BUANGAN
SUSPENDED GROWTH REACTOR
Disusun oleh:
Indra Sanjaya 1009035001Syarifah Auliya Firda 1009035007Nuri Irianti 1009035009Gidion Putra Tamtama 1009035021Destya Norsitasari 1009035026Sekar Inggar Rengganis 1009035048Muhammad Yusuf 1009035055Nur Azizah 1009035060Melinda Anggraini 1009035065
JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah sakit adalah merupakan fasilitas sosial yang tak mungkin dapat dipisahkan
dengan masyarakat, dan keberadaannya sangat diharapkan oleh masyarakat, karena
sebagai manusia atau masyarakat tentu menginginkan agar keseahatan tetap terjaga.
Oleh karena itu rumah sakit mempunyai kaitan yang erat dengan keberadaan kumpulan
manusia atau masyarakat tersebut. Di masa lalu, suatu rumah sakit dibangun di suatu
wilayah yang jaraknya cukup jauh dari dareah pemukiman, dan biasanya dekat dengan
sungai dengan pertimbangan agar pengelolaan limbah baik padat maupun cair tidak
berdampak negatip terhadap penduduk, atau bila ada dampak negatip maka dampak
tersebut dapat diperkecil.
Sejalan dengan perkembangan penduduk yang sangat pesat, lokasi rumah sakit yang
dulunya jauh dari daerah pemukiman penduduk tersebut sekarang umumnya telah
berubah dan berada di tengah pemukiman penduduk yang cukup padat, sehingga
masalah pencemaran akibat limbah rumah sakit baik limbah padat atau limbah cair
sering menjadi pencetus konflik antara pihak rumah sakit dengan masyarakat yang ada
di sekitarnya.
Dengan pertimbangan alasan tersebut, maka rumah sakit yang dibangun setelah tahun
1980 an telah diwajibkan menyediakan sarana limbah padat maupun limbah cair.
Namun dengan semakin mahalnya harga tanah, serta besarnya tuntutan masyarakat akan
kebutuhan peningkatan sarana penunjang pelayanan kesehatan yang baik, dan di lain
pihak peraturan pemerintah tentang pelestarian lingkungan juga semakin ketat, maka
pihak rumah sakit umumnya menempatkan sarana pengolah limbah pada skala prioritas
yang rendah. Akibatnya, sering terjadi benturan perbedaan kepentingan antar pihak
rumah sakit dengan masyarakat atau pemerintah. Dengan adanya kebijakan legal yang
mengharuskan pihak rumah sakit agar menyediakan fasilitas pengolahan limbah yang
dihasilkan, mengakibatkan biaya investasi maupun biaya operasional menjadi lebih
besar.
Air limbah yang berasal dari limbah rumah sakit merupakan salah satu sumber
pencemaran air yang sangat potensial. Hal ini disebabkan karena air limbah rumah sakit
mengandung senyawa organik yang cukup tinggi juga kemungkinan mengandung
senyawa-senyawa kimia lain serta mikro-organisme patogen yang dapat menyebabkan
penyakit terhadap masyarakat di sekitarnya. Oleh karena potensi dampak air limbah
rumah sakit terhadap kesehatan masyarakat sangat besar, maka setiap rumah sakit
diharuskan mengolah air limbahnya sampai memenuhi persyaratan standar yang
berlaku.
Dengan adanya peraturan yang mengharuskan bahwa setiap rumah sakit harus
mengolah air limbah sampai standar yang diijinkan, maka kebutuhan akan teknologi
pengolahan air limbah rumah sakit khususnya yang murah dan hasilnya baik perlu
dikembangkan. Hal ini mengingat bahwa kendala yang paling banyak dijumpai yakni
teknologi yang ada saat ini masih cukup mahal, sedangkan di lain pihak dana yang
tersedia untuk membangun unit alat pengolah air limbah tersebut sangat terbatas sekali.
Untuk rumah sakit dengan kapasitas yang besar umumnya dapat membangun unit alat
pengolah air limbahnya sendiri karena mereka mempunyai dana yang cukup. Tetapi
untuk rumah sakit tipe kecil sampai dengan tipe sedang umumnya sampai saat ini masih
membuang air limbahnya ke saluran umum tanpa pengolahan sama sekali.
Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu dikembangkan teknologi pengolahan air
limbah rumah sakit yang murah, mudah operasinya serta harganya terjangkau,
khususnya untuk rumah sakit dengan kapasitas kecil sampai sedang. Untuk mencapai
tujuan tersebut, terdapat kedala yang cukup besar yakni kurangnya tersedianya
teknologi pengolahan yang baik dan harganya murah. Masalah ini menjadi kendala
yang cukup besar terutama untuk rumah sakit kecil, yang mana pihak rumah sakit
tidak/belum mampu untuk membangun unit alat pengilahan air limbah sendiri, sehingga
sampai saat ini masih banyak sekali rumah sakit yang membuang air limbahnya ke
saluran umum.
Untuk pengolahan air limbah rumah sakit dengan kapasitas yang besar, umumnya
menggunakan teknlogi pengolahan air limbah "Lumpur Aktif" atau Activated Sludge
Process, tetapi untuk kapasitas kecil cara tersebut kurang ekonmis karena biaya
operasinya cukup besar. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu menyebarluaskan
informasi teknologi khususya teknologi pengolahan air limbah rumah sakit berserta
aspek pemilihan teknologi serta keunggulan dan kekurangannya. Dengan adanya
informasi yang jelas, maka pihak pengelola rumah sakit dapat memilih teknologi
pengolahan limbah yang sesuai dengan kodisi maupun jumlah air limbah yang akan
diolah, yang layak secara teknis, ekonomis dan memenuhi standar lingkungan.
1.2. Tujuan Dan Sasaran
Tujuan kegiatan ini yakni mengkaji dan mengembangkan teknologi pengolahan air
limbah rumah sakit, khususnya untuk rumah sakit tipe besar yang sesuai dengan kondisi
di Indonesia misalnya dengan proses Activated Sludge. Unit alat pengolah air limbah
tersebut dapat di dalam bentuk paket sehingga pembangunan atau operasinya mahal dan
rumit. Selain itu, dapat menghilangkan limbah organik sederhana yang mudah terurai
dan limbah organik kompleks dan menghilangkan logam berat.
1.3. Manfaat
Teknologi pengolahan air limbah dengan sistem Activated Sludge sangat cocok
digunakan untuk mengolah air limbah dengan skala besar, tahan terhadap perubahan
beban hidrolik maupun beban organik, dan biaya opersinya sangat mahal. Selain itu,
untuk menurunkan SS, BOD, COD, Fe, dan NH3.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Limbah Cair
2.1.1 Pengertian Limbah
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah sakit
dalam bentuk padat, cair dan gas. Limbah cair rumah sakit adalah semua air buangan
termasuk tinja yang berasal dari kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung
mikroorganisme, bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi keseshatan
(Kepmenkes RI No. 1204/Menkes/SK/X/2004).
2.1.2 Sumber Limbah Cair
Menurut jenisnya limbah cair dapat dibagi menjadi tiga golongan. Adapun sumber
limbah dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Sumber Limbah menurut Jenisnya
Golongan Contoh
Gologan ekskresi manusia
Golongan tindakan pelayanan
Golongan penunjang pelayanan
Dahak, air seni, tinja, darah
Sisa kumur, limbah cair pembersih alat
medis
Limbah cair dari instalasi gizi,limbah cair
dari kendaraan,limbah cair dari laundry
Sumber : Sakti A. Siregar, 2005
2.2. Komponen Primer Air Limbah
Elemen biologis dalam sistem perairan berkaitan erat dengan komponen-komponen
kimia. Pengetahuan mengenai komponen primer sangat penting untuk menganalisis
elemen biologis dan menganalisis efek dari perubahan kualitas air. Komponen-
komponen dalam perairan dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok yang disebut zat-
zat organik yang terdiri dari senyawa organik alam dan senyawa organik sintetis, bahan-
bahan anorganik dan gas. Komponen dasar dari senyawa organik adalah karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen, fosfor dan sulfur. Tiga dari kelompok senyawa organik
adalah protein, karbohidrat dan lipida. Protein merupakan bahan dasar dari sel-sel
binatang, yakni sekitar 40-60%. Karakteristik yang diketahui dari protein adalah
kandungan nitrogren didalamnya. Karbohidrat merupakan bahan penyusun utama dalam
sel tumbuhan dan meliputi selulosa, serat kayu, gula dan tepung. Lipida tidak terlarut
dalam air dan meliputi lemak, minyak, dan lilin. Zat-zat organik di dalam air dalam
kadar yang rendah dan hanya sebagian kecil dari seluruh jumlah padatan yang ada.
Keberadaan senyawa organik di dalam air akan menimbulkan berbagai masalah, antara
lain masalah rasa dan bau. Keberadaaan senyawa organik juga menyebabkan air
memerlukan proses pengolahan air bersih yang lebih kompleks, menurunkan kandungan
oksigen, serta menyebabkan terbentuknya substansi beracun (Sakti A. Siregar,2005 :
15).
2.3 Karakter Air Limbah
Karakteristik limbah cair dapat diketahui menurut sifat dan karakteristik kimia, biologis
dan fisika. Studi karakteristik limbah perlu dilakukan agar dapat dipahami sifat-sifat
tersebut serta konsentrasinya dan sejauh mana tingkat pencemaran dapat ditimbulkan
limbah terhadap lingkungan (Perdana Ginting, 2007 : 45). Dalam menentukan
karakteristik limbah maka ada tiga jenis sifat yang harus diketahui yaitu:
2.3.1 Sifat Fisik
a) Padatan
Dalam limbah ditemukan zat padat yang secara umum diklasifikasikan kedalam dua
kelompok besar yaitu padatan terlarut dan padatan tersuspensi Padatan tersuspensi
terdiri dari partikel koloid dan partikel biasa. Jenis partikel dapat dibedakan berdasarkan
diameternya. Jenis padatan terlarut maupun tersuspensi dapat bersifat organis dan
anorganis tergantung dari mana sumber limbah. Disamping kedua jenis padatan ini
adalagi padatan terendap karena mempunyai diameter yang lebih besar dan dalam
keadaan tenang dalam beberapa waktu akan mengendap sendiri karena beratnya. Zat
padat tersuspensi yang mengandung zat-zat organik pada umumnya terdiri dari protein,
ganggang dan
bakteri.
b) Kekeruhan
Sifat keruh air dapat dilihat dengan mata secara langsung karena ada partikel koloidal
yang terdiri dari tanah liat, sisa bahan-bahan, protein dan ganggang yang terdapat dalam
limbah. Kekeruhan merupakan sifat optis larutan. Sifat keruh membuat hilang nilai
estetikanya.
c) Bau
Sifat bau limbah disebabkan karena zat-zat organik yang telah berurai dalam limbah
mengeluarkan gas-gas seperti sulfida atau amoniak yang menimbulkan penciuman tidak
enak yang disebabkan adanya campuran dari nitrogen, sulfur dan fosfor yang berasal
dari pembusukan protein yang dikandung limbah. Timbulnya bau yang diakibatkan
limbah merupakan suatu indikator bahwa terjadi proses alamiah.
d) Temperatur
Limbah yang mempunyai temperatur panas akan mengganggu pertumbuhan biota
tertentu. Temperatur yang dikeluarkan suatu limbah cair harus merupakan temperatur
alami. Suhu berfungsi memperlihatkan aktivitas kimiawi dan biologis. Pada suhu tinggi
pengentalan cairan berkurang dan mengurangi sedimentasi. Tingkat zat oksidasi lebih
besar daripada suhu tiggi dan pembusukan jarang terjadi pada suhu rendah.
e) Warna
Warna dalam air disebabkan adanya ion-ion logam besi dan mangan (secara alami),
humus, plankton, tanaman air dan buangan. Warna berkaitan dengan kekeruhan dan
dengan menghilangkan kekeruhan kelihatan warna nyata. Demikian pula warna dapat
disebabkan oleh zat-zat terlarut dan zat tersuspensi. Warna menimbulkan pemandangan
yang jelek dalam air limbah meskipun warna tidak menimbulkan racun.
2.3.2 Sifat Kimia
Karakteristik kimia air limbah ditentukan oleh Biological Oxygen Demand (BOD),
Chemical Oxygen Demand (COD) dan logam-logam berat yang terkandung dalam air
limbah. Tes BOD dalam air limbah merupakan salah satu metode yang paling banyak
digunakan sampai saat ini. Metode pengukuran limbah dengan cara ini sebenarnya
merupakan pengukuran tidak langsung dari bahan organik. Pengujian dilakukan pada
temperatur 200 C selama 5 hari. Kalau disesuaikan dengan temperatur alami Indonesia
maka seharusya pengukuran dapat dilakukan pada lebih kurang 300°C. Pengukuran
dengan COD lebih singkat tetapi tidak mampu mengukur limbah yang dioksidasi secara
biologis. Nilai-nilai COD selalu lebih tinggi dari nilai BOD.
a) Biological Oxygen Demand (BOD)
Pemeriksaan BOD dalam limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat-zat organis dengan
oksigen dalam air dimana proses tersebut dapat berlangsung karena ada sejumlah
bakteri. Diperhitungkan selama dua hari reaksi lebih dari sebagian reaksi telah tercapai.
BOD adalah kebutuhan oksigen bagi sejumlah bakteri untuk menguraikan semua zat-zat
organik yang terlarut maupun sebagian tersuspensi dalam air menjadi bahan organik
yang lebih sederhana. Nilai ini hanya merupakan jumlah bahan organik yang
dikonsumsi bakteri. Penguraian zat-zat organis ini terjadi secara alami. Dengan
habisnya oksigen terkonsumsi membuat biota lainnya yang membutuhkan oksigen
menjadi kekurangan dan akibatnya biota yang memerlukan oksigen ini tidak dapat
hidup. Semakin tinggi angka BOD semakin sulit bagi makhluk air yang membutuhkan
oksigen untuk bertahan hidup.
b) Chemical Oxygen Demand (COD)
Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran kebutuhan
oksigen dalam air limbah. Metode ini lebih singkat waktuya dibandingkan dengan
analisis BOD. Pengukuran ini menekankan kebutuhan oksigen akan kimia dimana
senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dipecah secara biokimia.
Adanya racun atau logam tertentu dalam limbah pertumbuhan bakteri akan terhalang
dan pengukuran BOD menjadi tidak realistis. Untuk mengatasinya lebih tepat
meggunakan analisis COD. COD adalah sejumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
mengoksidasi zat-zat anorganis dan organis sebagaimana pada BOD. Angka COD
merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat anorganik. Semakin dekat nilai BOD
terhadap COD menunjukkan bahwa semakin sedikit bahan anorganik yang dapat
dioksidasi dengan bahan kima. Pada limbah yang mengandung logam-logam
pemeriksaan terhadap BOD tidak memberi manfaat karena tidak ada bahan organik
dioksida. Hal ini bisa jadi karena logam merupakan racun bagi bakteri. Pemeriksaan
COD lebih cepat dan sesatannya lebih mudah mengantisipasinya. Perbandingan BOD
dengan COD pada umumnya bervariasi untuk berbagai jenis limbah. Adapun
perbandingan antara BOD dengan COD dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perbandingan BOD dengan COD
Jenis air buangan BOD5/COD
Dari rumah tangga
Air sungai
Buangan organik
Buangan anorganik
0,4-0,6
0,1
0,5-0,65
0,2
Sumber : Perdana Ginting, 2007
c) Metan
Gas metan terbentuk akibat penguraian zat-zat organik dalam kondisi anaerob pada air
limbah. Gas ini dihasilkan oleh lumpur yang membusuk pada dasar kolam, tidak
berdebu, tidak berwarna dan mudah terbakar. Metan juga dapat ditemukan pada rawa-
rawa dan sawah. Suatu kolam limbah yang menghasilkan gas metan akan sedikit sekali
menghasilkan lumpur, sebab lumpur telah habis terolah menjadi gas metan dan air serta
CO2.
d) Keasaman Air
Keasaman air diukur dengan pH meter. Keasaman ditetapkan berdasarkan tinggi
rendahnya konsentrasi ion hidrogen dalam air. Air buangan yang mempunyai pH tinggi
atau rendah menjadikan air steril dan sebagai akibatnya membunuh mikroorganisme air
yang diperlukan untuk keperluan biota tertentu. Demikian juga makhluk-makhluk lain
tidak dapat hidup seperti ikan. Air yang mempunyai pH rendah membuat air korosif
terhadap bahan-bahan konstruksi besi dengan kontak air.
e) Alkalinitas
Tinggi rendahnya alkalinitas air ditentukan air senyawa karbonat, garam-garam
hidroksida, kalsium, magnesium, dan natrium dalam air. Tingginya 10 kandungan zat-
zat tersebut mengakibatkan kesadahan dalam air. Semakin tinggi kesadahan suatu air
semakin sulit air berbuih. Untuk menurunkan kesadahan air dilakukan pelunakan air.
Pengukuran alkalinitas air adalah pegukuran kandungan ion CaCO3, ion Mg bikarbonat
dan lain-lain.
f) Lemak dan minyak
Kandungan lemak dan minyak yang terkandung dalam limbah bersumber dari instalasi
yang mengolah bahan baku mengandung minyak. Lemak dan minyak merupakan bahan
organis bersifat tetap dan sukar diuraikan bakteri. Limbah ini membuat lapisan pada
permukaan air sehingga membentuk selaput.
g) Oksigen terlarut
Keadaan oksigen terlarut berlawanan dengan keadaan BOD. Semakin tinggi BOD
semakin rendah oksigen terlarut. Keadaan oksigen terlarut dalam air dapat menunjukkan
tanda-tanda kehidupan ikan dan biota dalam perairan. Kemampuan air untuk
mengadakan pemulihan secara alami banyak tergantung pada tersedianya oksigen
terlarut. Angka oksigen yang tinggi menunjukkan keadaan air semakin baik. Pada
temperatur dan tekanan udara alami kandungan oksigen dalam air alami bisa mencapai
8 mg/liter. Aerator salah satu alat yang berfungsi meningkatkan kandungan oksigen
dalam air. Lumut dan sejenis ganggang menjadi sumber oksigen karena proses
fotosintesis melalui bantuan sinar matahari. Semakin banyak ganggang semakin basar
kandungan oksigennya.
h) Klorida
Klorida merupakan zat terlarut dan tidak menyerap. Sebagai klor beba berfungsi
desinfektan tetapi dalam bentuk ion yang bersenyawa dengan ion natrium menyebabkan
air menjadi asin dan dapat merusak pipa-pipa instalasi.
i) Phospat
Kandungan phospat yang tinggi menyebabkan suburnya algae dan organisme lainnya
yang dikenal dengan eutrophikasi. Ini terdapat pada ketel uap yang berfungsi untuk
mencegah kesadahan. Pengukuran kandungan phospat dalam air limbah berfungsi untuk
mencegah tingginya kadar phospat sehingga tumbuh-tumbuhan dalam air berkurang
jenisnya dan pada gilirannya tidak merangsang pertumbuhan tanaman air. Kesuburan
tanaman ini akan menghalangi kelancaran arus air. Pada danau suburnya tumbuh-
tumbuhan air akan mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut.
2.3.3 Sifat Biologi
Mikroorganisme ditemukan dalam jenis yang sangat bervariasi hampir dalam semua
bentuk air limbah, biasanya dengan konsentrasi 105-108 organisme/ml. Kebanyakan
merupakan sel tunggal yang bebas ataupun berkelompok dan mampu melakukan
proses-proses kehidupan (tumbuh, metabolisme, dan reproduksi). Secara tradisional
mikroorganisme dibedakan menjadi binatang dan tumbuhan. Namun, keduanya sulit
dibedakan. Oleh karena itu, mikroorganisme kemudian dimasukkan kedalam kategori
protista, status yang sama dengan binatang ataupun tumbuhan. Virus diklasifikasikan
secara terpisah. Keberadaan bakteri dalam unit pengolahan air limbah merupakan kunci
efisiensi proses biologis. Bakteri juga berperan penting dalam mengevaluasi kualitas air
(Perdana Ginting, 2007 : 50-57).
2.4 Activated Sludge
Seluruh air limbah yang dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit yakni yang berasal dari
limbah domestik maupun kegiatan klinis rumah sakit dikumpulkan melalui saluran pipa
pengumpul, selanjutnya dialirkan ke bak kontrol. Fungsi dari bak kontrol adalah
mencegah limbah padat misalnya ; plastik, kaleng, kayu dsb. agar tidak masuk ke dalam
unit pengolahan limbah. Dari bak kontrol, air limbah dialirkan ke bak pengurai anaerob
yang dibagi menjadi tiga buah ruangan yaitu ; bak pengendapan, bak pengurai awal
biofilter anaerob, serta bak stabilisasi. Selanjutnya dari bak stabilisasi, air limbah
dialirkan ke unit pengolahan lanjut.
IPAL yang ada pada umumnya merupakan gabungan dari ketiga proses pengolahan air
limbah baik secara fisik-mekanik, biologis maupun kimia. Pengolahan secara fisik-
mekanik dan kimia pada dasarnya sama dengan pengolahan air limbah untuk
mendapatkan air bersih. Pengolahan air limbah secara biologis yang banyak dijumpai
adalah proses lumpur aktif. Proses lumpur aktif adalah salah satu bentuk pengolahan air
limbah secara biologis. Sekitar tahun 1880, telah dikenal bahwa air limbah yang
diaerasi dapat mereduksi bau dan menurunkan kadar polusi serta menghasilkan lumpur
(Veenstra S & Polpraset C. 1995).
Diagram Alir Activated Sludge
Desinfeksi
Daur Lumpur Aktif
Desinfeksi
Limbah Lumpur
Lumpur yang dihasilkan dirangsang agar dapat menguraikan air limbah secara biologis.
Lumpur inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan lumpur aktif. Fenomena lumpur
yang dapat menguraikan air limbah menjadi bersih ini, kemudian dikembangkan
menjadi metode pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif. Proses lumpur aktif
pertama kali dikembangkan di Inggris pada tahun 1914, oleh Ardern dan Lockett
(Metcalf & Eddy, 1979). Pengolahan air limbah dengan proses lumpur aktif adalah
sistem pengolahan air limbah dengan menggunakan bakteri aerobik yang dibiakkan
dalam tangki aerasi. Tujuannya adalah untuk menurunkan karbon atau organik nitrogen.
Dalam menurunkan organik karbon, bakteri yang berperan adalah bakteri heterotrophic.
Sumber energi berasal dari oksidasi senyawa organik dan sumber karbon adalah organik
karbon. Organik karbon biasanya diukur dengan besarnya BOD dan COD. Selanjutnya
BOD dan COD ini, dalam lingkup pengolahan biologis disebut sebagai substrat.
Grit Chamber
Screen Bak Aerasi Bak Pengendap Akhir
Bak Khlorinasi
Blower Udara Khlorine
Bak Pengering Lumpur
Air Olahan
Bahan organik dalam air limbah akan diuraikan oleh jasad renik/mikroorganisme
menjadi karbon dioksida, amonia dan sel baru serta hasil lain berupa lumpur (sludge).
Bakteri juga perlu respirasi dan melakukan sintesa untuk kelangsungan hidupnya. Pada
reaksi respirasi terlihat bahwa ultimate BOD untuk sel sebesar 1,42 kali konsentrasi sel.
Dengan kata lain 1 unit biomassa yang dioksidasi, membutuhkan 1,42 unit O2 (Benefild
L.D. & Randal CW, 1980).
Proses lumpur aktif intinya terdiri dari dua tangki, yakni bak aerasi dan bak pengendap
(clarifier). Pada bak aerasi terjadi penguraian zat organik secara biokimia oleh jasad
renik aerob dengan suplai oksigen yang cukup. Bak pengendap berfungsi untuk
memisahkan lumpur aktif (biomassa) yang berasal dari bak aerasi. Lumpur aktif yang
mengendap sebagian dikembalikan lagi ke bak aerasi dan sebagian lain di buang.
Modifikasi pada proses lumpur aktif, terutama dilakukan dengan merubah konfigurasi
sistem inlet, merubah konfigurasi sistem aerator, merubah parameter F/M unsur lumpur,
merubah suplai udara dengan oksigen murni. Proses lumpur aktif yang sudah
dimodifikasi antara lain: Step aerasi, Tapered Aeration, Contact stabilisasi, Pure
oxygen, Oxydation ditch, Hight rate aeration, dan extended aeration.
Pada prakteknya proses lumpur aktif adalah merupakan suatu pengolahan air limbah,
dimana air limbah bersama lumpur aktif masuk ke bak aerasi, kemudian di aerasi terus
menerus. Air limbah (zat organik) akan dioksidasi oleh jasad renik menjadi gas karbon
dioksida dan sel baru. Banyaknya gas dan sel baru yang terbentuk mengikuti persamaan
reaksi oksidasi dan sintesis sel sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Jumlah sel
baru dalam tangki aerasi akan terus bertambah. Disisi lain sel-sel tua akan mati, namun
demikian jumlah sel baru yang terbentuk harus jauh lebih banyak dari sel yang mati.
Hal ini untuk memungkinkan terjadinya positivenet growth (sel terus bertambah).
Prinsip pengolahan biologis adalah memanfaatkan aktivitas mikroorganisme pada fase
pertumbuhan sebagaimana dimaksud di atas. Nutrien yang berupa bahan-bahan organik
dapat tereduksi dengan cepat untuk keperluan pertumbuhan sel yang bersifat
eksponensial. Akibatnya nutrien (bahan organik) akan cepat habis, dan selanjutnya sel
akan mengalami kematian. Agar dapat berlangsung dengan sukses pada fase
pertumbuhan (dalam pengolahan air limbah), perlu optimalisasi fase lag. Optimalisasi
fase lag adalah dengan menciptakan kondisi luar yang mendukung kehidupan
mikroorganisme, misalnya: dengan cara pengendalian pH, temperatur dan suplai
oksigen yang mencukupi. Oleh karena itu pemantauan pH, temperatur dan DO pada
tangki aerasi sangat penting untuk dilakukan (Muslimin, L.W, 1995).
Pengolahan limbah dengan memanfaatkan teknologi pengolahan dapat dilakukan
dengan cara fisika, kimia dan biologi atau gabungan dari ketiga sistem pengolahan
tersebut. Pengolahan limbah secara biologis dapat digolongkan menjadi pengolahan
cara aerob dan pegolahan limbah dengan cara anaerob. Berdasarkan sistem unit
operasinya teknologi pengolahan limbah dibagi menjadi unit operasi phisik, unit operasi
kimia dan unit operasi biologi. Sedangkan bila dilihat dari tigkatan perlakuan
pengolahan maka sistem perlakuan limbah diklasifikasikan menjadi: pretreatment,
primary treatment system, secondary treatment system dan tertiary treatment system
(Perdana Ginting, 2007 : 63).
Untuk pengolahan air limbah rumah sakit dengan kapasitas besar umumnya
menggunakan teknologi pengolahan air limbah lumpur aktif atau Active Sludge Procces.
Untuk kapasitas kecil cara tersebut kurang ekonomis karena biaya operasional cukup
mahal. Air limbah rumah sakit yang berasal dari limbah domestik maupun buangan
limbah cair klinis umumnya mengandung senyawa polutan organik yang cukup tinggi
dan dapat diolah dengan proses pengolahan secara biologis. Sedangkan untuk air limbah
rumah sakit yang berasal dari laboratorium biasanya banyak mengandung logam berat.
Kalau limbah ini dialirkan ke dalam proses pengolahan air limbah secara biologis,
logam berat tersebut dapat mengganggu proses pengolahanmya. Oleh karena itu, limbah
dari laboratorium dipisahkan dan ditampung, kemudian diolah secara khusus dengan
cara kimia-fisika selanjutnya air hasil olahannya dialirkan bersama-sama dengan air
limbah lainnya kemudian diolah secara biologis.
2.4.1 Proses Pengolahan Fisika
Terdapat 3 jenis proses yang dapat dilakukan untuk mengolah air limbah yaitu
fisik,biologis dan kimia. Proses fisik, dilakukan dengan cara memberikan perlakuan
fisik pada air limbah seperti menyaring, mengendapkan atau mengatur suhu. Proses
fisik dilakukan dengan menggunakan alat screening, grit chamber, settling tank/settling
pond, dan lain-lain.
a) Screening
Screening merupakan tahap awal pada proses pengolahan air limbah. Proses ini
bertujuan untuk memisahkan potongan-potongan kayu, plastik, dan sebagainya. Screen
terdiri atas batangan-batangan besi yang berbentuk lurus atau melengkung dan dipasang
dengan tingkat kemirigan 750-900 terhadap horisontal.
b) Grit Chamber
Bertujuan untuk menghilangkan kerikil, pasir, dan partikel-partikel lain yang dapat
mengendap di dalam saluran dan pipa-pipa serta untuk melindungi pompa-pompa dan
peralatan lain dari penyumbatan.
c) Equalisasi
Equalisasi laju alir digunakan untuk menangani variasi laju alir dan memperbaiki proses
berikutnya. Di samping itu, equalisasi juga bermanfaat untuk mengurangi ukuran dan
biaya proses berikutnya. Adapun keuntungan yang diperoleh dari peggunaan equalisasi
sebagai berikut:
1. Pada pegolahan biologi, perubahan beban secara mendadak dapat dihindari
dan pH dapat diatur supaya konstan.
2. Pengaturan bahan-bahan kimia lebih dapat terkontrol.
3. Pencucian filter lebih dapat teratur.
4. Performance filter dapat diperbaiki.
Lokasi equalisasi harus dipertimbangkan pada saat pembuatan diagram alir
pengolahan limbah. Lokasi equalisasi yang optimal dan sangat bervariasi menurut
tipe pengolahan limbah yang dilakukan, karakteristik sistem pegumpulan, dan jenis
air limbah. Pada beberapa kasus, equalisasi dapat ditempatkan setelah pengolahan
primer dan sebelum pengolahan biologis. Equalisasi yang diletakkkan setelah
pengolahan primer biasanya disebabkan oleh masalah-masalah ynag ditimbulkan
oleh lumpur dan buih. Dalam pelaksanaan equalisasi dibutuhkan pengadukan untuk
mencegah pegendapan dan aerasi untuk menghilangkan bau. Equalisasi biasanya
dilaksanakan bersamaan dengan netralisasi.
d) Sedimentasi
Sedimentasi adalah pemisahan partikel dari air dengan memanfaatkan gaya gravitasi.
Proses ini bertujuan untuk memperoleh air buangan yang jernih dan mempermudah
proses penanganan lumpur. Dalam proses sedimentasi hanya partikel-partikel yang
lebih berat dari air yang dapat terpisah misalnhya, kerikil dan pasir. Bagian terpenting
dalam perencanaan unit sedimentasi adalah mengetahui kecepatan pengendapan dari
partikel-partikel yang akan dipindahkan. Kecepatan pegendapan ditentukan oleh ukuran,
densitas larutan, viskositas cairan, dan temperatur.
e) Floatasi
Floatasi atau pengapungan digunakan untuk memisahkan padatan dari air. Unit floatasi
digunakan jika densitas partikel lebih kecil dibandingkan dengan densitas air sehingga
cenderung megapung. Floatasi antara lain digunakan dalam proses pemisahan lemak
dan minyak serta pengentalan lumpur.
2.4.2 Proses Pengolahan Kimia
a) Netralisasi
Netralisasi adalah reaksi antara asam dan basa yang menghasilkan air dan garam. Dalam
pengolahan air limbah pH diatur antara 6,0-9,5. Di luar kisaran pH tersebut, air limbah
akan bersifat racun bagi kehidupan air termasuk bakteri. Jenis bahan kimia yang dapat
ditambahkan tergantung pada jenis dan jumlah air limbah serta kondisi lingkungan
setempat. Netralisasi air limbah yang bersifat asam dapat dilakukan dengan
penambahan NaOH (natrium hidroksida); sedangkan netralisasi air limbah yang bersifat
basa dapat dilakukan dengan penambahan H2SO4 (asam sulfat).
b) Koagulasi dan flokulasi
Proses koagulasi dan flokulasi adalah konversi dari polutan-polutan yangtersuspensi
koloid yang sangat halus di dalam air limbah, menjadi gumpalan-gumpalan yang dapat
diendapkan, disaring atau diapungkan. Berikut gambaran mengenai ukuran benda-benda
dan waktu yang diperlukan untuk pengendapan dengan jarak satu meter yang dapat
dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Waktu yang Diperlukan oleh Partikel untuk Mengendap dengan
Jarak Satu Meter
Diameter pertikel
(mm)
Material Waktu penegendapan per 1
m
10 Kerikil 1 detik
1 Pasir 10 detik
0,1 Pasir Halus 2 menit
0,01 Tanah Liat 2 jam
0,001 Bakteri 8 hari
0,0001 Partikel Koloid 2 tahun
0,00001 Partikel Koloid 20 tahun
Sumber : Sakti A. Siregar 2005
Dari Tabel 3 terlihat bahwa partikel koloid sangat sulit mengendap dan merupakan
bagian yang besar dalam polutan, serta menyebabkan kekeruhan. Untuk
memisahkannya koloid harus diubah menjadi partikel yang berukuran lebih besar
melalui proses koagulasi dan flokulasi.
2.4.3 Proses Pengolahan Biologi
Secara umum proses pengolahan biologi menjadikan pengolahan air limbah secara
modern lebih terstruktur, tergantung pada syarat-syarat air yang harus dijaga atau jenis
air limbah yang harus dikelola. Pengolahan air limbah secara biologi bertujuan untuk
membersihka zat-zat organik atau mengubah bentuk zat-zat organik menjadi bentuk-
bentuk yang kurang berbahaya. Proses pengolahan secara biologi juga bertujuan untuk
meggunakan kembali zat-zat organik yang terdapat dalam air limbah.
Secara garis besar alat pengolahan air limbah ini terdiri dari bak pengurai anaerob dan
unit pengolahan dengan sistem biofilter anaerob-aerob. Bak pengurai anaerob dibuat
dari bahan beton cor atai dari bahan fiber glass (FRB), disesuaikan dengan kondisi yang
ada. Ukuran bak ini yaitu: Panjang = 160 cm, Lebar = 160 cm dan kedalaman efektif
sekitar 200 cm. Dengan waktu tinggal sekitar 8 jam.
Unit pengolah lanjut dibuat dari bahan fiber glass (FRP) dan dibuat dalam bentuk yang
kompak dan langsung dapat dipasang dengan ukuran ” Panjang = 310 cm, Lebar = 100
cm, dan tinggi 190 cm. Ruangan di dalam alat ini terbagi menjadi beberapa zone yaitu :
ruang pengendapan awal, zone biofilter anaerob, zone biofilter aerob dan ruangan
pengendapan akhir. Untuk lebih jelasnya dapat diligat pada Gambar Diagram Proses
Pengolahan Air Limbah Rumah Sakit berikut ini.
Bakteri atau jasad renik yang ada dalam lumpur aktif termasuk gram negatif dari
berbagai genus (Metcalf & Eddy, 1979) yaitu antara lain: Pseudomonas, Zoagloea,
Achromobacter, Flvobacterium, Nocardia, Bdellovibrio, Mycobacterium dan dua
bakteri nitrifikasi yakni: Nitrosomonas dan Nitrobacter. Terdapat pula beberapa
organism filamentous antara lain seperti : Sphaerotilus, Beggiatoa, Thiothrix,
Lecicathrix, Geotrichum, Lyngbya dan lain-lain. Pada daerah dekat effluent terdapat
beberapa jenis protozoa yang berfungsi sebagai pembersih (polisher). Protozoa makan
bakteri yang tak menggumpal dan tersebar dalam air, sedangkan rotifera memakan flok
biologis berukuran kecil yang tidak mengendap. Disamping berfungsi sebagai
polisher/pembersih, protozoa juga dapat berfungsi sebagai indikator/penunjuk dalam
proses lumpur aktif.
Dalam bak aerasi terdapat berbagai organisme, salah satu diantaranya adalah protozoa.
Menurut K. Mudrack & S. Kunst (1981). Beberapa protozoa yang terdapat dalam bak
aerasi yang dapat digunakan sebagai indikator proses lumpur aktif, antara lain adalah:
Zooflagellates, Amoebae, Cilliates (antara lain : Colpidium campylum, parameciun
caudatun, Apisdisca costata, Euplotes affinis, Vorticella spp, carchesium polypinum,
Opercularia coartata), dan Suctoria. Disamping protozoa, dalam lumpur aktif sering
juga terdapat jasad multiseluler antara lain Rotifera, larva serangga, Nematoda dan
bangsa udang (Crustacean), Zooflagellates dari klas Nasthiophorae, terutama Bodo spp,
dan Trigonomonas, apabila hadir dalam bak aerasi dalam jumlah yang mendominasi,
hal tersebut menunjukkan suatu kondisi an-aerobik. Dengan demikian hal tersebut
menunjukkan bahwa sistem aerasi berjalan tidak sesuai dengan kriteria yang
diharapkan. Amoeba biasanya hadir pada fase star up atau pada kondisi beban yang
berat (over loading). Sebaliknya spesies Testate amoeba selalu hadir pada kondisi beban
organik yang sangat kecil/ringan.
Keberadaan Cilliates dapat menunjukkan kondisi sock loading karena adanya unsur
toksik, atau kondisi over loading atau defisiensi oksigen. Pada kondisi optimal jumlah
Cilliates berkisar antara 2.000–100.000 sel/ml. Bila kondisi mendadak menurun secara
drastis, menunjukkan adanya unsur toksik dalam air limbah. Berbagai spesies Cilliates
dapat merupakan indikator spesifik terhadap kondisi sistem aerasi pada suatu bak aerasi.
Colpidium campylum jika hadir dalam jumlah yang banyak menunjukkan kondisi suplai
oksigen tidak baik atau kondisi over loading. Paramecium caudatum menunjukkan
bahwa pada proses lumpur aktif terjadi kondisi pembebanan di bawah normal. Asidisca
costata apabila tiba-tiba menghilang, menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut <
2 mg/l. Sebaliknya bila keberadaannya tetap, hal tesebut menunjukkan kondisi aerasi
cukup baik. Demikian juga Euplotes affinis, kehadirannya menunjukkan suplai oksigen
yang bagus.
Keberadaan Vorticella spp, khususnya Vorticella microstoma, menunjukkan kondisi
miskin oksigen atau kondisi pembebanan berat. Sedangkan kehadiran Vorticella
convallaria dan Vorticella campanulla, menunjukkan pembebanan normal dan ini
menunjukkan juga bahwa suplai oksigen cukup baik. Keberadaan Carchesium
polypinum selalu berhubungan dengan Vorticella. Opeercularia coarctata juga
merupakan Ciliata yang merupakan indikator suplai oksigen yang baik bila terdapat
dalam bak aerasi. Sedangkan keberadaan Suctoria dalam bak aerasi merupakan
indikator pembebanan sangat ringan.
Dari uraian di atas dapat dikemukakan perbedaan berdasarkan keberadaan protozoa
dalam proses lumpur aktif sebagai berikut pembebanan berat biasanya terdapat
Flagelata atau Amoeba, pembebanan normal biasanya terdapat spesies Ciliata antara
lain: Vorticella convallaria, Opercularia coarctata, Euplotes affinis dan Apisdisca
costata. Sedangkan pembebanan ringan biasanya terdapat Rotifera dan sedikit Protozoa.
2.5 Pemeriksaan Limbah Olahan
2.5.1 Chemical Oxygen Demand (COD)
Pengukuran kekuatan limbah dengan COD adalah bentuk lain pengukuran kebutuhan
oksigen dalam air limbah. Metode ini lebih singkat waktuya dibandingkan dengan
analisis BOD. Pengukuran ini menekankan kebutuhan oksigen akan kimia dimana
senyawa-senyawa yang diukur adalah bahan-bahan yang tidak dipecah secara biokimia
(Perdana Ginting, 2007 : 50).
Pemeriksaan COD, dilakukan sebagai suatu ukuran pencemaran dari air limbah. Hal
ini,untuk mengukur oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat orgaik.
Metode pemeriksaan dilakukan dengan titrasi di laboratorium (tanpa refluks) dengan
prinsip analisis sebagai berikut; pemeriksaan parameter COD ini menggunakan
oksidator potassium dikromat yang berkadar asam tinggi dan dipertahankan pada
temperature tertentu. Penambahan oksidator ini menjadikan proses oksidasi bahan
organic menjadi air dan CO2, setelah pemanasan. Perbedaan Kadar BOD, COD, TSS
maka sisa dikromat diukur. Pengukuran ini dengan jalan titrasi, oksigen yang ekifalen
dengan dikromat inilah yang menyatakan COD dalam satuan ppm (Mahida, 1994 : 32).
2.5.2 Biological Oxygen Demand (BOD)
Pemeriksaan BOD dalam limbah didasarkan atas reaksi oksidasi zat-zat organis dengan
oksigen dalam air dimana proses tersebut dapat berlangsung karena ada sejumlah
bakteri. Diperhitungkan selama dua hari reaksi lebih dari sebagian reaksi telah tercapai
(Perdana Ginting, 2007 : 50).
Pemeriksaan BOD merupakan salah satu dari pemeriksaan ujicoba-ujicoba yang paling
penting untuk menentukan daya cemar air limbah. Pemeriksaan biokimia yang
mengukur zat-zat organik yang kemungkinan akan dioksidasi oleh kegiatan-kegiatan
bakteri aerobik dalam masa 5 hari pada 20°C. Metode pemeriksaanya dengan Winkler
(Titrasi di Laboratorium), dan menggunakan prinsip analisis sebagai berikut;
Pemeriksaan parameter BOD didasarkan pada reaksi oksidasi zat organik dengan
oksigen di dalam air dan proses tersebut berlangsung karena adanya bakteri aerobik.
Untuk menguraikan zat organik memerlukan waktu ± 2 hari untuk 50% reaksi, 5 hari
untuk 75% reaksi tercapai dan 20 hari untuk 100% reaksi tercapai. Dengan kata lain tes
BOD berlaku sebagai simulasi proses biologi secara alamiah, mula-mula diukur DO nol
dan setelah mengalami inkubasi selama 5 hari pada suhu 20 °C atau 3 hari pada suhu
25°C–27°C diukur lagi DO air tersebut. Perbedaan DO air tersebut yang dianggap
sebagai konsumsi oksigen untuk proses biokimia akan selesai dalam waktu 5 hari
dipergunakan dengan anggapan segala proses biokimia akan selesai dalam waktu 5 hari,
walau sesungguhnya belum selesai (Sakti A. Siregar, 2005 : 106).
2.5.3 Total Suspended Solid (TSS)
Menurut Sakti A. Siregar (2005), TSS yaitu jumlah berat zat yang tersuspensi dalam
volume tertentu di dalam air ukurannya mg/l. Pengukuran TSS dapat dilakukan sebagai
berikut :
a) Menyiapkan kertas saring dan cawan penguapan dipanaskan dengan suhu 105°C
selama 1 jam. Kemudian diambil dan didinginkan ke dalam desikator selama ± 15
menit lalu ditimbang untuk mengetahui beratnya.
b) Mengukur air limbah batik sebanyak 1000 ml.Liter, 6 ml/L EM-4 dan 6 gram/L
starbio.
c) Mengambil air limbah sebanyak 100 ml/L, 6 ml/L EM-4 dan 100 ml/L air
limbah, 6 gram/L starbio.
d) Kemudian masing-masing sampel dicampur merata lalu amati keduanya antara air
limbah yang dicampur 6 ml/L EM-4 dan 6 gram/L starbio, terdapat endapan airnya
keruh atau tidak.
e) Menyaring masing- masing sampel dengan kertas saring yang sudah diketahui
beratnya lalu masukkan ke dalam oven dengan suhu 105°C selama 1 jam, kemudian
dinginkan dalam desikator selama ±15 menit lalu ditimbang untuk mengethaui
beratnya.
f) TSS dihitung dengan menggunakan rumus :
(B - A) Mg/1 zat padat terlarut = C x 1000
A = berat cawan dan residu sesudah pemanasan 1050 C (mg)
B = berat cawan kosong (mg)
C = M1 sampel
d. pH
pH menyatakan intensitas keasaman atau alkalinitas dari suatu cairan encer, dan
mewakili konsentrasi hidrogen ionnya. pH dapat ditentukan dengan mudah dengan
mempermudah petunjuk-petunjuk colorimetric, petunjuk-petunjuk ini memberikan
suatu ketepatan pada kira-kira 0,2 unit. Pengukuran pH adalah sesuatu yang penting dan
praktis, karena banyak reaksi-reaksi kimia dan biokimia yang penting terjadi pada
tingkat pH yang khusus atau pada lingkungan pH yang sangat sempit. Untuk
pengukuran yang lebih tepat dapat digunakan sebuah potentioner yang mengukur
kekuatan listrik yang dikeluarkan oleh ion-ion H-. Apabila hasil pengukuran
menunjukkan kadar pH melebihi baku mutu, maka dapat dilakukan upaya untuk
menurunkan kadar dengan cara penggunaan Reverse Osmosis selain dapat
menghasilkan air murni / tanpa mineral juga dapat menurunkan pH air dari 7 menjadi
6,5 hingga 5,0 (Mahida, 1994 : 37).
e. Phosphat
Keberadaan phosphat yang berlebihan di badan air menyebabkan suatu fenomena yang
disebut eutrofikasi (pengkayaan nutrien). Untuk mencegah kejadian tersebut, air limbah
yang akan dibuang harus diolah terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan phosphat
sampai pada nilai tertentu (baku mutu efluen 2 mg/l). Dalam pengolahan air limbah,
phosphat dapat disisihkan dengan proses fisika-kimia maupun biologis. Penyisihan
phosphat secara presipitasi kimiawi dapat dilakukan dalam filter teraerasi secara
biologis dengan menambahkan FeSO4.7H2O (Clark et al., 1997). Media yang
digunakan adalah plastik dengan luas permukaan spesifik 275 m2/m3 dan porositas
0,95. Penambahan presipitan pada filter biologis ini tidak mempengaruhi secara
signifikan penyisihan BOD, COD, NH4, TKN dan SS, tetapi mampu meningkatkan
efisiensi penyisihan fosfat dari 35,5 % menjadi 85,3 %. Ratio P : Fe optimum yang
didasarkan pada pertimbangan paling efisien dan ekonomis adalah 1 : 1,25. Penyisihan
fosfat dalam fluidized bed reactor (FBR) menggunakan pasir kuarsa dapat
menghasilkan kristal struvite (MgNH4PO4). Penyisihan dengan kristalisasi ini
dilakukan dengan aerasi kontinyu dan dapat mencapai efisiensi 80% dalam waktu 120 -
150 menit (Battistoni, et al., 1997).
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengoptimalkan penurunan konsentrasi
Phosphat antara lain:
1) Enhanced Biological Phosphorus Removal (EBPR) Menurut (Hammer, 1996 dalam
Strom 2006) Enhanced biological phosphorus removal (EBPR) adalah pengembangan
dari biological phosphorus removal dengan metode dan proses untuk mereduksi
konsentrasi Phosphat dari outlet pengolahan biologis konvensional. EBPR memiliki
kinerja yang sangat baik dengan menghasilkan effluent <0,1 mg/l (Strom, 2006). Untuk
menurunkan konsentrasi Phosphat ada alternatife lain yaitu EBPR yang menggunakan
proses anaerobic. Telah diketahui bahwa poly Phosphat accumulating organisms
(PAOs) dan volatile fatty acids (VFAs) digunakan oleh Bio-P bacteria pada kondisi
anaerobic sebagai sumber energy (Tanyi, 2006). EBPR menggunakan Acinetobacter
dan Microthrix parvicella karena bisa menyimpan Phosphate dalam bentuk poly
Phosphate untuk perkembangannya (Atur, 2007). Kedua bacteri tersebut dapat bertahan
dalam kondisi anaerobic karena memiliki poly-P, PAO juga memberikan keuntungan
pada kondisi anaerobic dengan menggunakan VFA dan energi dari poly-P.
2) Sequencing Anoxic/Anaerobic Membrane Bioreactor (SAM)
Untuk membandingkan proses fisik (filtrasi) antara biosand filter dengan teknologi
alternative SAM (Sequencing anoxic/anaerobic membrane bioreactor) yang merupakan
pengembangan dari Enhanced biological phosphorus removal (EBPR) dengan
menggunakan filter papper 0,4 μm dan telah diuji kemampuanya. SAM sangat stabil
dan efektif untuk menurunkan konsentrasi Phosphate hingga 93% (Hong Ahn,2003).
Sendangkan pada biosand filter Dengan ukuran media 0,25 mm, maka partikel
berukuran > 20 μm akan tertahan pada media. Koloid (0,001-1 μm) dan bakteri (1 μm)
tidak dapat disisihkan dengan mekanisme ini. Mechanical straining terjadi pada
permukaan filter sampai kedalaman 5 cm. Klasifikasi Phosphate berdasarkan sifat fisis
adalah fosfat terlarut, fosfat tersuspensi (tidak terlarut), dan fosfat total (terlarut dan
tersuspensi)(Alaerts,1984).
f. Amonia Bebas
Metode standar untuk menentukan amonia bebas dalam air dapat dilakukan dengan
prosedur Kjeldahl, namun prosedur pemeriksaan ini sangat rumit dan membutuhkan
banyak waktu, yakni sekitar enam jam. Prosedur Kjeldahl terdiri dari beberapa langkah.
Pada prosedur ini, seluruh senyawa amonia bebas diuraikan secara kimia dengan
menggunakan campuran asam sulfur, merkuri sulfat, dan potasium sulfat. Selanjutnya,
amonia dan bentukan yang baru di destilasi dengan penambahan NaOH ke dalam
larutan asam borat. Kadar amonia dapat diketahui dengan cara titrasi menggunakan
asam sulfur 0,02 N (Sakti A. Siregar, 2005 : 108).
g. Suhu
Suhu air limbah biasanya ±30C dari suhu udara. Pengukuran dilakukan membelakangi
sinar matahari, sehingga panas yang diukur tidak terpengaruh oleh sinar matahari.
Temperatur air limbah akan mempengaruhi kecepatan reaksi kimia serta tata kehidupan
dalam air, sehingga perlu dilakukan pengukuran suhu di unit pengolahan limbah.
Pengukuran suhu dilakukan insitu di bak equalisasi, bak aerasi, dan outlet. Pengukuran
suhu menggunakan thermometer berdasarkan prinsip pemuaian. Praktikum ini
dilakukan pada pagi hari, yaitu pukul 13.00 sehingga nilai suhu yang diperoleh sedang.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Limbah Rumah Sakit
Debit = 273,5 m3/hari
Data awal:
Konsentrasi total per hari = Konsentrasi × Debit
BOD = 675,33 mg/l × 273,5 m3/hari = 184,7 kg/hari
COD = 1183,4 mg/l × 273,5 m3/hari = 323,66 kg/hari
NH3 = 158,73 mg/l × 273,5 m3/hari = 43,41 kg/hari
SS = 211 mg/l × 273,5 m3/hari = 57,7 kg/hari
Fe (besi) = 70 mg/l × 273,5 m3/hari = 19,145 kg/hari
1. Grit Chamber
Removal Total: BOD = 10%
COD = 5%
NH3 = -
SS = 5%
Fe = -
Effluen Grit Chamber (kg/hari):
BOD = 184,7 kg/hari × (100 – 10)% = 166,23 kg/hari
COD = 323,66 kg/hari × (100 – 5)% = 307,477 kg/hari
NH3 = 43,41 kg/hari
SS = 57,7 kg/hari × (100 – 5)% = 54,815 kg/hari
Fe (besi) = 19,145 kg/hari
Sludge waste Grit Chamber (kg/hari):
BOD = 184,7 kg/hari 166,23 kg/hari = 18,7 kg/hari
COD = 323,66 kg/hari 307,477 kg/hari = 16,183 kg/hari
NH3 = 43,41 kg/hari
SS = 57,7 kg/hari 54,815 kg/hari = 2,885 kg/hari
Fe (besi) = 19,145 kg/hari
Konsentrasi Effluen Grit Chamber (mg/l) = Effluen Grit Chamber ( kg /hari)Debit
BOD = 166,23 kg/hari
273,5 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 607,78 mg/l
COD = 307,477 kg/hari
273,5 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 1124,23 mg/l
NH3 = 43,41 kg/hari
SS = 54,815 kg/hari
273,5 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 200,42 mg/l
Fe (besi) = 19,145 kg/hari
2. Primary Settling (Pengendap Pertama)
Removal Total: BOD = 35%
COD = 35%
NH3 = 15%
SS = 65%
Fe = 20%
Effluen primary settling (kg/hari):
BOD = 166,23 kg/hari × (100 – 35)% = 108,04 kg/hari
COD = 307,477 kg/hari × (100 – 35)% = 199,86 kg/hari
NH3 = 43,41 kg/hari × (100 – 15)% = 36,89 kg/hari
SS = 54,815 kg/hari × (100 – 65)% = 19,18 kg/hari
Fe (besi) = 19,145 kg/hari × (100 – 15)% = 16,273 kg/hari
Sludge waste primary settling (kg/hari):
BOD = 166,23 kg/hari 18,7 kg/hari = 147,53 kg/hari
COD = 307,477 kg/hari 199,86 kg/hari = 107,617 kg/hari
NH3 = 43,41 kg/hari 36,89 kg/hari = 6,52 kg/hari
SS = 54,815 kg/hari 19,18 kg/hari = 35,635 kg/hari
Fe (besi) = 19,145 kg/hari 16,273 kg/hari = 2,872 kg/hari
QwasteBerat Solid
= 6% total lumpur SS
Massa Lumpur = 1006
× SS = 1006
× 35,635 kg/hari = 593,92 kg/hari
Volume Lumpur = Massa LumpurBerat Jenis Lumpur
= 593,921000,05
= 0,565 m3/hari
Qeffluen = Qinfluen – Qlumpur = 273,5 m3/hari – 0,565 m3/hari = 272,935 m3/hari
Konsentrasi Effluen primary settling (mg/l) = Effluen primary settling (kg / hari)Debit
BOD = 108,04 kg/hari
272,935 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 395,84 mg/l
COD = 199,86 kg/hari
272,935 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 732,36 mg/l
NH3 = 36,89 kg/hari
272,935 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 135,16 mg/l
SS = 19,18 kg/hari
272,935 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 70,273 mg/l
Fe (besi) = 1 6,273 kg/hari
272,935 m3 /hari × 1000 m3.mg/kg.l = 59,6 mg/l
3. Tangki Aerasi (Activated Sludge)
Data Perencanaan:
Q = 10 m3/hari
Qw = 4,3 m3/hari
So = 675.33 mg/l
S = 6 mg/l
MLSS = 3300 mg/l
Xr = 11750 mg/l
µmax = 5,75/hari
Ks = 718,75 mg/l
VSS out = 350 mg/l