Upload
indahpiwi
View
4.534
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
LAPORAN MAGANG
FAKTUR PAJAK STANDAR, PERMASALAHAN DAN IMPLIKASINYA PADA SPT MASA PPN
Oleh INDAH PURNAMASARI WULANTI
0606133826
Diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat tugas akhir studi
Depok 2009
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
LAPORAN MAGANG
FAKTUR PAJAK STANDAR, PERMASALAHAN DAN IMPLIKASINYA PADA SPT MASA PPN
Oleh INDAH PURNAMASARI WULANTI
0606133826
Diajukan sebagai salah satu pemenuhan syarat tugas akhir studi
Depok 2009
i
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama : Indah Purnamasari Wulanti NPM : 0606133826 Program Studi : Administrasi Perpajakan Menyatakan bahwa Laporan Magang yang berjudul Faktur Pajak Standar, Permasalahan dan Implikasinya Pada SPT Masa PPN benar-benar merupakan hasil karya pribadi dari seluruh sumber yang dikutip maupun ditunjuk telah saya nyatakan dengan benar.
28 Mei 2009
Indah Purnamasari Wulanti
NPM: 0606133826
ii
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM DIPLOMA 3 BIDANG ILMU ADMINISTRASI PROGRAM STUDI PERPAJAKAN
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN
TANDA TANGAN PEMERIKSA
NAMA :
TANGGAL :
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul FAKTUR
PAJAK, PERMASALAHAN DAN IMPLIKASINYA PADA SPT MASA
PPN. Tulisan ini disusun untuk memenuhi syarat dalam menyelesaikan studi
Diploma III pada Jurusan Administrasi Perpajakan, di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca dengan
tujuan menyempurnakan karya tulis ini sangat diharapkan dan akan diterima
dengan senang hati. Dalam menyusun tugas akhir ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Drs. Moh. Riduansyah, M.Si., selaku Ketua Program Diploma III
Bidang Ilmu Administrasi, FISIP UI.
2. Bapak Drs. Adang Hendrawan, M.Si., selaku Sekretaris Program Diploma III
Bidang Ilmu Administrasi, FISIP UI.
3. Ibu Dr. Haula Rosdiana, M.Si., selaku Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Perpajakan, FISIP UI.
4. Mas Arie Widodo, MSM., selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu guna memberikan bimbingan, pengarahan dan saran-saran
kepada penulis sehingga terselesaikannya kerya tulis ini.
iv
5. Segenap Dosen Diploma III Jurusan Administrasi Perpajakan, FISIP UI yang
telah memberikan ilmunya kepada penulis.
6. Kedua Orang Tua dan Saudara tercinta yang senantiasa mendoakan dan
memberikan dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi Diploma
Tiga Bidang Ilmu Administrasi Perpajakan di FISIP UI.
7. Segenap Pimpinan dan Karyawan Kantor Konsultan Pajak Surya yang telah
membina dan memberikan ilmu selama penulis melaksanakan magang.
8. Feli dan Anin, teman yang telah membantu mendapatkan tempat magang.
9. Rekan-rekan SCALA Institute dan SCALA Foundation (Liya, Yanti, Novi,
Ismi, Afandri, Afra, Andreko, Irfan, Askab, dll), yang turut mendoakan dan
membantu menyelesaikan karya tulis ini.
10. Risya Ayu Ichmawati, sahabat penulis yang juga memotivasi penulis.
11. Teman-teman satu angkatan Jurusan Perpajakan 2006 (Indah Puspita, Genida,
Yudi, Pamela, Ega, Rizqina, dkk), terima kasih atas kerja samanya.
Semoga segala bantuan dan bimbingan dari semua pihak di atas dapat
menjadi pedoman bagi penulis dalam menghadapi masalah-masalah di masa yang
akan datang. Dengan tersusunnya karya tulis ini, harapan penulis semoga berguna
bagi para pembaca khususnya dan masyarakat umumnya. Dan semoga kegiatan
penulisan karya tulis ini juga bernilai ibadah di sisi Allah swt.
Jakarta, Mei 2009
Penulis
v
DAFTAR ISI
halaman LEMBAR JUDUL.............................................................................................. i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN........................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN............................................................ iii KATA PENGANTAR........................................................................................ iv DAFTAR ISI....................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... vii DAFTAR TABEL............................................................................................... viii DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan....................................................... 1 B. Kerangka Teori............................................................................. 4 C. Tujuan Penulisan.......................................................................... 15 D. Sistematika Penulisan................................................................... 16
BAB II GAMBARAN UMUM KKP SURYA
A. Sejarah KKP Surya....................................................................... 17 B. Visi dan Misi KKP Surya............................................................. 18 C. Struktur Organisasi KKP Surya.................................................... 18 D. Produk KKP Surya....................................................................... 20 E. Organisasi dan Manajemen KKP Surya....................................... 21 F. Penempatan Magang Penulis........................................................ 23
BAB III PEMBAHASAN DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN FAKTUR PAJAK STANDAR A. Objek dan Subjek PPN................................................................. 25 B. Faktur Pajak.................................................................................. 29 C. Faktur Pajak Standar..................................................................... 30 D. Faktur Pajak Standar Cacat dan Sanksi Terkait............................ 37 E. Jangka Waktu dan Tata Cara Pembetulan
Faktur Pajak Cacat........................................................................ 38 F. Implikasi Pada SPT Masa PPN..................................................... 40 G. Mekanisme Pengkreditan.............................................................. 42 H. Identifikasi Kelengkapan Data/Keterangan
Faktur Pajak Standar (Penjualan dan Pembelian) PT. KTB........................................................................................ 45
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan................................................................................. 49 B. Saran....................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP
vi
DAFTAR GAMBAR
halaman
Gambar II.1. Struktur Organisasi KKP Surya.................................................... 19
Gambar III.1. Faktur Pajak Standar Rupiah (Rp)................................................ 33
Gambar III.2. Faktur Pajak Standar Valas........................................................... 34
Gambar III.3. Cap Faktur Pajak Standar Pengganti............................................. 40
vii
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel III.1. Data Kelengkapan Faktur Pajak Keluaran PT. KTB.................... 45
Tabel III.2. Data Kelengkapan Faktur Pajak Masukan PT. KTB.................... 46
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran,
Pengadaan, Tata Cara Penyampaian dan Tata Cara Pembetulan
Faktur Pajak Standar
Lampiran 2 Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
Lampiran 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah
Lampiran 4 KMK Nomor 568/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Penghitungan,
Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau
Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean
Lampiran 5 Formulir Faktur Pajak Standar Keluaran PT. KTB
Lampiran 6 Formulir Faktur Pajak Standar Masukan PT. KTB
ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
A.1. Permasalahan Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Bicara tentang Pengusaha terutama mereka yang telah melegitimasikan
diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) tentu tidak terlepas dari persoalan
pajak, yang terkadang bagi sebagian pengusaha menjadi momok yang
’menakutkan’. Salah satu hal yang dapat membuat senewen para pengusaha
kena pajak adalah berkaitan dengan kegiatan perusahaan dalam hal
penyerahan maupun pembelian yang barang atau jasanya tergolong ke dalam
Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang akan dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN), karena seperti yang telah ditetapkan oleh
pemerintah melalui undang-undang bahwa setiap kali terjadi pemungutan PPN
akan selalu ada Faktur Pajak yang wajib diterbitkan (dibuat).
Namun, hingga kini masih banyak di antara pengusaha kena pajak yang
kurang atau bahkan tidak memahami ketentuan tentang pembuatan Faktur
Pajak, baik terkait persyaratan formal maupun persyaratan yang sifatnya
material. Hal ini dapat sedikit dimaklumi karena memang faktanya peraturan
perpajakan tidak atau belum sepenuhnya tersosialisasikan dengan baik kepada
1
para PKP. Ditambah dengan kesibukkan PKP dalam melakukan aktivitas
bisnis dan kecenderungan untuk mengabaikan aspek perpajakan, maka
lengkaplah sudah sebab-musabab terjadinya kekurangpahaman atau
ketidakpahaman tersebut.1
Hal ini pada akhirnya mengundang berbagai pertanyaan yang sangat
variatif dari kalangan PKP tersebut. Ada yang bertanya tentang jenis-jenis
Faktur Pajak, apa saja perbedaan masing-masing Faktur Pajak tersebut,
bagaimana mengisinya, apa saja kriteria Faktur Pajak cacat, bagaimana bila
Faktur Pajak hilang dan jumlahnya ternyata material padahal PKP tersebut
berkepentingan untuk mengkreditkannya, dan berbagai pertanyaan lainnya.
Akan tetapi, dalam tataran tertentu berbagai pertanyaan yang timbul tersebut
masih dapat dikatakan wajar, khususnya bagi Wajib Pajak Badan yang baru
dan relatif belum berpengalaman tentang seluk beluk Faktur Pajak.2
A.2. Pentingnya Faktur Pajak
Sekali lagi, dalam transaksi bisnis apapun, Faktur Pajak merupakan
dokumen yang hampir dapat dipastikan selalu ada karena dalam undang-
undang PPN yang berlaku hingga saat ini menganut sistem faktur. Dan hal ini
didasarkan pula pada fakta bahwa bisnis yang dijalankan pada umumnya pasti
berkaitan dengan penyediaan, penjualan, ekspor atau impor barang dan atau
jasa. Dalam hal ini, barang dan jasa yang umumnya dijadikan lahan bisnis
tersebut merupakan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mana atas
1 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi
03/2004, hlm. 6. 2 Tim ITR, “Episode Faktur Pajak”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 04/2004, hlm.
1.
2
penjualan, ekspor dan atau impornya merupakan objek pengenaan dan
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah. Dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak adalah dokumen
yang sakral, karena ketentuan mengenai Faktur Pajak memang diatur sangat
ketat. Hal yang perlu diperhatikan dalam penerbitan Faktur Pajak ini adalah
keakuratan informasi yang ada dalam Faktur Pajak itu sendiri, baik dari segi
material (jumlah) dan juga informasi yang bersifat nonmaterial yang secara
formal telah digariskan dalam ketentuan perpajakan. 3
Dalam praktiknya, pengusaha biasanya sangat berhati-hati dalam masalah
Faktur Pajak, karena tak pelak kesalahan dalam menerbitkan Faktur Pajak
dapat berakibat pada tidak diakuinya Pajak Masukan yang ada dalam Faktur
Pajak. Selain itu juga, dalam pemeriksaan pajak seringkali pemeriksa pajak
mengoreksi Pajak Masukan yang telah dibayar oleh pengusaha hanya karena
hal yang sifatnya remeh-temeh. Contohnya PKP yang lupa mencoret kolom
harga jual/penggantian/uang muka/termin. Pemeriksa pajak beranggapan
bahwa tidak dicoretnya kolom tersebut menyebabkan tidak jelasnya informasi
yang disampaikan dalam Faktur Pajak, sehingga dikatakan Faktur Pajak
tersebut cacat dan pemeriksa kemudian mengoreksi Pajak Masukan PKP
pembeli.4
Namun, apapun alasan atau sebab musababnya, konsekuensi akibat dari
kekurangpahaman atau ketidakpahaman mengenai ketentuan yang mengatur
masalah Faktur Pajak ini dapat mengakibatkan pengenaan sanksi yang
3 Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, Indonesian Taz Review, Vol. VI, Edisi 33/2007, hlm. 22.
4 Ibid, hlm. 24.
3
jumlahnya tidak sedikit. Bahkan, pada beberapa kasus, kadang mengakibatkan
kebangkrutan.
Satu hal yang pasti adalah kita memiliki kewajiban khususnya bagi para
pengusaha kena pajak maupun calon PKP untuk mencari pemahaman dan
jalur yang benar yang dapat menuntun kita dalam menjalankan kewajiban
perpajakan dengan baik termasuk seluk-beluk Faktur Pajak sebagai bagian
dari kewajiban PPN. Dan hal-hal lain yang menjadi grey area pun tidak boleh
dijadikan penghalang.5
Berpijak pada hal itulah, dalam karya tulis ini penulis mencoba untuk
setidaknya memberikan benteng dengan pengetahuan tentang hal-hal yang
masih tidak jelas itu. Hal ini akan memberikan manfaat tersendiri berupa
kemungkinan untuk merancang transaksi agar tidak ’bertemu’ dengan hal-hal
yang masih bersifat grey area itu, jika tidak siap dengan konsekuensinya.
B. Kerangka Teori
Beberapa teori terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dalam karya
tulis ini diantaranya:
B.1. Pengertian Pajak
Terdapat bermacam-macam pengertian pajak yang dikemukakan oleh
para ahli,6 diantaranya:
1. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R
menyatakan bahwa, pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor
5 Tim ITR, “Episode Faktur Pajak”, loc.cit. 6 http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi Pajak, 14 April 2009.
4
swasta ke sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum, namun
wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu,
tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah
dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.
2. Sementara itu, Prof. Dr. P. J. A. Adriani dalam bukunya Pengantar Ilmu
Hukum Pajak, merumuskan pajak sebagai: iuran masyarakat kepada
negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat kontraprestasi kembali yang langsung dapat
ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum sehubung tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.
3. Kemudian, Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, guru besar dalam Hukum
Pajak pada Universitas Pajajaran, Bandung, memaparkan lebih lanjut
mengenai definisi pajak yaitu, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas
Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan
dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi
tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak
adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.
5
B.2. Penggolongan Pajak
Menurut Safri Nurmantu dalam bukunya Pengantar Perpajakan, bahwa
pembedaan atau penggolongan pajak didasarkan pada suatu kriteria, seperti
siapa yang membayar pajak; siapa yang pada akhirnya memikul beban
pajak; apakah beban pajak dapat dilimpahkan/dialihkan kepada pihak lain
atau tidak; siapa yang memungut; serta sifat-sifat yang melekat pada pajak
yang bersangkutan:
1. Pajak Langung dan Pajak Tidak Langsung
Salah satu penggolongan yang paling terkenal adalah pajak langsung
(direct tax) dan pajak tidak langsung (indirect tax). Ada dua pendekatan
yang dikenal dalam membedakan jenis pajak ini, yaitu pendekatan secara
ekonomis dan pendekatan secara administratif atau yuridis.
Dalam pendekatan secara ekonomis, suatu pajak disebut pajak
langsung apabila beban pajaknya (tax burden) tidak dapat dilimpahkan
(the tax burden can not be shifted) kepada pihak lain. Contohnya Pajak
Penghasilan. Sebaliknya suatu pajak disebut pajak tidak langsung
apabila beban pajaknya dapat dilimpahkan (the tax burden can be
shifted) baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain. Contohnya
Pajak Pertambahan Nilai.
Dalam pendekatan secara administratif atau yuridis untuk
membedakan pajak langsung dan tidak langsung dapat dilihat dari
periodisasi pemungutan. Jika suatu pajak dipungut secara periodik
misalnya sekali dalam setahun, maka pajak tersebut termasuk dalam
6
pajak langsung. Contohnya Pajak Penghasilan di Indonesia terutang
sekali dalam satu tahun. Sebaliknya jika pemungutan sutau pajak tidak
mengenal periodisasi, misalnya setiap saat suatu pajak dapat dipungut,
maka pajak tersebut termasuk dalam pajak tidak langsung. Contohnya
Pajak Pertambahan Nilai. Setiap kali melakukan transaksi pembelian
Barang Kena Pajak atau penggunaan Jasa Kena Pajak harus membayar
PPN.
2. Pajak Subjektif dan Pajak Objektif
Pengertian pajak subjektif adalah pajak yang dalam pengenaannya
didasarkan/dilihat pada subjeknya terlebih dahulu, artinya siapa yang
akan dikenakan pajak, barulah dicari objeknya. Misalnya Pajak
Penghasilan. Sedangkan pajak objektif pada waktu pengenaannya yang
pertama diperhatikan adalah objeknya. Setelah objeknya ditemukan
barulah dicari subjeknya. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Bumi dan Bangunan.
B.3. Sistem Pemungutan Pajak
Terdapat tiga cara atau sistem dalam pemungutan pajak di Indonesia,
yaitu:
1. Self Assessment System
Self Assessment System adalah sistem perpajakan yang memberi
kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk memenuhi dan melaksanakan
sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. Dalam hal ini dikenal 5M,
yakni mendaftarkan diri di KPP (Kantor Pelayanan Pajak) untuk
7
mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), menghitung sendiri
jumlah pajak yang terutang, menyetor pajak tersebut ke Bank Persepsi
dan melaporkan penyetoran tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui KPP setempat, serta terutama menetapkan sendiri jumlah pajak
yang terutang melalui pengisian SPT (Surat Pemberitahuan) dengan baik
dan benar.7
2. Official Assessment System
Official Assessment System ini merupakan suatu sistem perpajakan
dimana inisiatif untuk memenuhi kewajiban perpajakan berada di pihak
fiskus. Dalam sistem ini fiskuslah yang aktif sejak dari mencari Wajib
Pajak untuk diberikan NPWP sampai kepada penetapan jumlah pajak
yang terutang melalui penerbitan SKP (Surat Ketetapan Pajak).8
3. Withholding Tax
Dalam sistem ini, pihak ketiga mendapat tugas dan kepercayaan dari
undang-undang perpajakan untuk memotong atau memungut suatu
prosentase tertentu (misalnya 20%, 15%, 10%, 5%) terhadap jumlah
pembayaran atau transaksi yang dilakukannya dengan penerima
penghasilan, yakni Wajib Pajak. Jumlah pajak yang dipotong diteruskan
ke Kas Negara dalam jangka waktu tertentu dan dapat menjadi kredit
pajak bagi Wajib Pajak yang bersangkutan.9
Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak tidak langsung menganut
sistem Withholding Tax ini, dimana PKP yang menjual BKP atau
7 Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit, 2005, hlm. 108. 8 Ibid, hlm. 109. 9 Ibid, hlm. 110.
8
memberikan layanan JKP wajib untuk memungut PPN kepada penerima
BKP atau JKP tersebut. Manfaat pemungutan PPN dengan Withholding
Tax System, selain memperlancar masuknya dana ke kas negara tanpa
intervensi fiskus yang berarti mengemat biaya administrasi pemungutan
(administrative cost), juga Wajib Pajak yang dipungut pajaknya secara
tidak terasa (convenience) telah memenuhi (sebagian) kewajiban
perpajakannya. Karena pemungut pajak pada dasarnya melaksanakan
tugasnya tanpa mempertimbangkan siapa-siapa yang terpungut, maka
sistem ini juga dapat mencegah penyelundupan pajak.
B.4. Tarif Pajak
Dalam berbagai literatur perpajakan, dikenal empat macam tarif pajak,
yakni tarif tetap (fixed rate), tarif proporsional (proportional rate), tarif
progresif (progressive rate) dan tarif regresif (regressive rate)10.
1. Tarif Pajak Tetap
Tarif pajak tetap adalah tarif yang jumlah pajaknya dalam rupiah
atau dolar bersifat tetap walaupun Objek Pajaknya berbeda-beda
jumlahnya. Misalnya tarif Bea Materai. Jumlah Bea Materai atas kuitansi
atau tanda terima uang di atas Rp 1.000.000,- adalah Rp 6.000,-
walaupun uang yang diterima junlahnya lebih besar, jumlah Bea Materai
yang terutang tetap Rp 6.000,-
10 Ibid, hlm. 118
9
2. Tarif Pajak Proporsional
Tarif pajak proporsional atau yang juga dikenal dengan single rate
adalah tarif yang prosentasenya tetap walaupun jumlah Objek Pajaknya
berubah-ubah. Misalnya tarif PPN yang ditetapkan sebesar 10%. Sisi
positif penerapan tarif tunggal dalam PPN adalah sederhana dalam
pelaksanaan dan pengawasan. Sedangkan sisi negatifnya, karena tidak
memperhatikan azas keadilan dalam pemungutan pajak mengakibatkan
timbulnya dampak regresif (kesenjangan beban pajak). Oleh karena itu,
untuk mengurangi regresivitas PPN, untuk konsumen yang
mengonsumsi BKP Yang Tergolong Mewah dikenakan PPn BM di
samping PPN.
Penyebutan tarif tunggal bagi PPN sebenarnya tanpa
mempertimbangkan tarif 0% yang dikenakan atas ekspor BKP. Dalam
PPN Indonesia tarif 0% sebenarnya merupakan tarif teknis berdasarkan
pertimbangan ekonomi yang dikenakan atas ekspor BKP, dimaksudkan
supaya Pajak Masukan (input tax) atas perolehan BKP dan JKP yang
terkait dapat dikreditkan sehingga tidak perlu dibebankan sebagai biaya.
Dengan demikian, dalam harga ekspor benar-benar bersih dari unsur
PPN dalam negeri sehingga dapat dijamin bahwa netralitas PPN
terhadap perdagangan internasional benar-benar dapat direalisasi.
3. Tarif Pajak Progresif
Tarif pajak progresif adalah tarif pajak yang makin tinggi Objek
Pajaknya, makin tinggi pula prosentase pajaknya. Misalnya pada Pajak
10
Penghasilan, saat ini tarif yang ditetapkan adalah mulai dari 5%, 15%,
25% hingga 30%.
4. Tarif Pajak Regresif
Tarif pajak regresif adalah tarif pajak yang apabila Objek Pajaknya
makin tinggi, maka makin rendah pajaknya. Tarif ini pernah berlaku
untuk Bea Warisan. Makin tinggi warisan yang akan diterima oleh ahli
waris, maka tarif bea atau pajak atas warisan makin kecil. Namun tarif
ini sudah tidak berlaku lagi.
B.5. Legal Karakter PPN
Pakar PPN Untung Sukardji memaparkan bahwa ketakutan dan
kekhawatiran PKP mengenai permasalahan Faktur Pajak khususnya
disebabkan sudah banyak pihak yang melupakan atau tidak peduli lagi
terhadap legal karakter PPN. Menurut beliau dalam bukunya Pokok-Pokok
Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, legal karakter yang menjadi ciri khas
PPN tersebut antara lain:
1. PPN adalah Pajak Tidak Langsung
Pengertian PPN ditinjau dari sudut ilmu hukum yaitu suatu jenis pajak
yang menempatkan kedudukan pemikul beban pajak dengan kedudukan
penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara pada pihak-pihak
yang berbeda. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli atau
penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara (pemerintah).
Apabila penjual atau pengusaha jasa tidak memungut PPN dari pembeli
atau penerima jasa, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual atau
11
pengusaha jasa. Demikian pula apabila pembeli atau penerima jasa sudah
membayar PPN kepada penjual atau pengusaha jasa, namun ternyata PPN
tersebut tidak pernah dilaporkan kepada negara, maka sepenuhnya menjadi
tanggung jawab penjual atau pengusaha jasa.
2. PPN adalah Pajak Objektif
Sebagai pajak objektif mengandung pengertian bahwa timbulnya
kewajiban pajak di bidang PPN sangat ditentukan oleh adanya objek
pajak. Kondisi subjek pajak tidak relevan. Sebagai contoh, jika perusahaan
X ingin membeli barang yang merupakan Barang Kena Pajak maka tidak
peduli apakah saat itu PT. X sedang dalam keadaan baik atau buruk dari
segi keuangan, akan tetap dikenakan PPN sebesar 10% dari harga jual
BKP tersebut.
3. PPN bersifat Multi Stage Levy
”Multi Stage Levy” mengandung pengertian bahwa PPN dkenakan
pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi BKP atau JKP.
Hal ini berarti PPN dikenakan berulang-ulang pada setiap mutasi BKP
atau JKP. Meskipun demikian, ternyata PPN tidak menimbulkan
pengenaan pajak berganda (non kumulasi). Inilah ciri PPN yang tidak
dimiliki oleh PPn yang diterapkan di Indonesia sebelum 1 April 1985.
4. PPN bersifat Non Kumulatif
Pajak Pertambahan Nilai yang multi stage levy namun bersifat non
kumulatif yang tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda, merupakan
suatu kontradiksio in terminis. Pada umumnya suatu jenis pajak yang
12
dikenakan berulang-ulang pada setiap mata rantai jalur distribusi, akan
menimbulkan pengenaan pajak berganda. Ternyata PPN mengingkari
fenomena umum ini.
5. Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke Kas Negara Menggunakan
Indirect Subtraction Method
Untuk mengenakan PPN atas nilai tambah dapat dilakukan melalui
tiga metode yaitu:
1) Subtraction method (metode pengurangan secara langsung), yaitu
dengan cara mengalikan tarif PPN dengan selisih antara harga jual
dengan harga beli.
2) Indirect subtraction method (metode pengurangan secara tidak
langsung), yaitu dengan cara mengurangkan PPN yang dipungut oleh
penjual atau pengusaha jasa atas penyerahan barang atau jasa, dengan
PPN yang dibayar kepada penjual atau pengusaha lain atas perolehan
barang atau jasa.
3) Additon method (metode penghitungan nilai tambah), yaitu mengalikan
tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur-unsur nilai tambah.
Diantara tiga metode tersebut Indonesia menganut ”indirect subtracion
method” (metode pengurangan tidak langsung). Untuk mendeteksi atau
menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang atas perolehan dan
penyerahan tersebut diperlukan suatu dokumen pendukung. Dokumen ini
dinamakan ”tax invoice” (Faktur Pajak), sehingga metode ini dinamakan
juga ”Invoice Method”.
13
6. PPN Indonesia menganut Tarif Tunggal (Single Rate)
Pajak Pertambahan Nilai Indonesia menganut tarif tunggal yang
dalam UU PPN ditetapkan sebesar 10%. Dengan peraturan pemerintah
tarif ini dapat dinaikkan paling tinggi menjadi 15% atau diturunkan paling
rendah menjadi 5%. Sisi negatif tarif tunggal adalah mempertajam
regresivitas PPN. Untuk memperkecil sisi negatif ini, UU PPN Indonesia
mengenakan PPnBM sebagai pajak tambahan di samping PPN atas
penyerahan BKP yang tergolong mewah. Sisi positif menerapkan tarif
tunggal adalah sederhana baik dalam pelaksanaan maupun dalam
pengawasan.
7. PPN adalah Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri maka PPN hanya
dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean
Republik Indonesia. Ini sesuai dengan destination principle (prinsip
tempat tujuan) yang digunakan dalam pengenaan PPN, yaitu PPN
dikenakan di tempat tujuan barang atau jasa akan dikonsumsi. Dengan
menerapkan destination principle ini, PPN dapat menunjukkan
netralitasnya di dunia perdagangan internasional.
8. PPN yang diterapkan di Indonesia adalah PPN tipe Konsumsi
(ConsumptionType VAT)
Dilihat dari sisi perlakukan terhadap barang modal, PPN Indonesia
termasuk tipe konsumsi, artinya seluruh biaya yang dikeluarkan untuk
perolehan barang modal dapat dikurangi dari dasar pengenaan pajak.
14
Dalam bahasa indirect subtraction method, Pajak Masukan (input tax) atas
perolehan barang modal dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran (output
tax) sehingga barang modal dikenakan PPN hanya satu kali. Dalam tipe
konsumsi ini, kemungkinan terjadi pengenaan pajak berganda atas barang
modal dapat dihindari sehingga mendorong setiap pengusaha yang
dikenakan PPN melakukan peremajaan barang modalnya secara berkala.
Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi memberikan
indikasi bahwa PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis. Sifat ini
menunjukkan perbedaan yang mendasar dengan Pajak Penghasilan yang
merupakan pajak yang dikenakan atas kegiatan bisnis.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan karya tulis ini antara lain:
1. Memberikan penjelasan tentang Faktur Pajak, bagaimana ketentuan
perundang-undangan perpajakan Indonesia mengatur mengenai permasalahan
Faktur Pajak Standar dan bagaimana Faktur Pajak dikatakan cacat, serta sanksi
apa yang akan diterima PKP atas Faktur Pajak cacat tersebut.
2. Menganalisis kebenaran dan kelengkapan Faktur Pajak Standar salah satu
klien KKP Surya apakah telah memenuhi persyaratan atau terdapat kesalahan
sehingga menjadi Faktur Pajak cacat.
15
D. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam memahami karya
tulis ini, maka penulis menyusunnya menjadi 4 (empat) bab dan beberapa subbab.
Adapun sistematika penyajiannya adalah sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Berisi penjelasan mengenai latar belakang pemilihan topik,
kerangka teori, tujuan pembuatan karya tulis dan
sistematika penulisan dalam karya tulis ini.
BAB II : Gambaran Umum Kantor Konsultan Pajak Surya
Berisikan tentang sejarah KKP Surya, visi dan misi,
struktur organisasi serta produk dan manajemen KKP.
BAB III : Pembahasan dan Identifikasi Permasalahan Faktur
Pajak Standar
Berisikan pembahasan seputar Faktur Pajak berdasarkan
Undang-Undang dan peraturan perpajakan lainnya dan
identifikasi Faktur Pajak Standar PT. KTB apakah telah
sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak atau tidak.
BAB IV : Penutup
Berisi tentang kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik
atas pembahasan di bab-bab sebelumnya, serta saran-saran
yang diharapkan dapat bermanfaat bagi para pembaca
maupun penunjang ilmu pengetahuan yang telah ada.
16
BAB II
GAMBARAN UMUM KONSULTAN PAJAK SURYA
A. Sejarah KKP Surya
Dibangun di atas areal tanah dengan luas sekitar 200 m2, sejak tahun 1963
sampai sekarang Kantor Konsultan Pajak Surya dan Rekan dapat menjalankan
usaha memberikan pelayanan jasa konsultasi perpajakan kepada para kliennya.
Bangunan kantor yang terdiri atas tiga lantai ini terletak di Jalan Pangeran
Jayakarta No. 143 C Jakarta Pusat. Dengan lokasi yang cukup strategis karena
letaknya yang tidak jauh dengan pusat kegiatan usaha, seperti pasar pagi Mangga
Dua, pusat pertokoan Glodok, dan perusahaan-perusahaan lain di sekitarnya,
menjadikan KKP Surya mudah dalam meraih dan melayani klien karena aksesnya
yang terjangkau.
Tidak berbeda dengan kantor-kantor konsultan pada umumnya, KKP inipun
diberi nama sesuai nama pendirinya yaitu Bapak Surya (alm) dengan izin
sertifikasi konsultan pajak tentunya. Sepeninggal beliau pada tahun 1996, KKP
Surya tetap berdiri dengan pengalihan izin praktik melalui surat kuasa kepada
Bapak Richard Syarief Halim, tepatnya pada tanggal 15 Februari 1996 dengan
nomor izin: SI-186/PJ/1996 yang diperoleh dengan mengikuti ujian sertifikasi
konsultan pajak.
17
18
Saat ini dalam pelaksanaan tugas harian, terdapat empat orang supervisor
yaitu: Bapak Lam Sunjaya Dharma, Yahya Sulaiman, Armen Yenos dan Rizi
Azila. Dan mulai dari berdirinya sampai sekarang KKP Surya memiliki jumlah
klien yang semakin banyak. Sekitar 50 perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan, industri dan real estate hingga orang pribadi atau perorangan telah
menjadi klien tetap Konsultan Pajak ini.
B. Visi dan Misi KKP Surya
Visi:
Menjadi perusahaan konsultan pajak yang terbaik dengan tim konsultan yang
kompeten, profesional, disiplin dan berintegritas.
Misi:
1. Memberikan pelayanan jasa konsultasi perpajakan yang terbaik bagi para
klien.
2. Memberikan solusi yang tepat atas permasalahan klien baik mengenai
perpajakan maupun akuntansi
3. Membantu pengembangan pengetahuan khususnya di bidang perpajakan dan
akuntansi bagi para mahasiswa dan instansi yang membutuhkan.
C. Struktur Organisasi KKP Surya
Struktur organisasi dalam Kantor Konsultan Pajak Surya ini secara garis besar
masih cukup sederhana, hal tersebut dapat dilihat pada bagan berikut ini:
KONSULTAN PAJAK “ SURYA DAN REKAN”
PIMPINAN
Bpk. Syarief
Halim
Supervisor PPN
Bpk. Lam Sunjaya Dharma
Supervisor PPh
Bpk. Yahya Sulaiman
Supervisor Umum
Bpk. Armen
Yenos dan Bpk. Rizi Azila
Karyawan
Karyawan
Karyawan
Karyawan
Karyawan
Karyawan
Karyawan
Karyawan
yawan
Kar
Sumber: Company Profile KKP Surya
19
STRUKTUR ORGANISASI
GAMBAR II.1
D. Produk KKP Surya
Sesuai dengan nature business perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan
jasa konsultasi perpajakan, maka produk-produk yang terdapat dalam KKP Surya
berupa service seputar masalah perpajakan baik orang pribadi maupun badan,
yaitu:
1. Konsultasi mengenai berbagai jenis pajak seperti, Pajak Penghasilan (PPh) 21,
23, 25 dan sebagainya, Pajak Pertambahaan Nilai (PPN), serta pelayanan
perpajakan lain pada umumnya. Termasuk dalam hal ini, klien dapat
berkonsultasi perihal kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi sebagai WP
seperti, bagaimana tata cara yang baik dan benar dalam membuat Faktur Pajak
baik sederhana maupun standar. Atau juga mengenai aspek-aspek perpajakan
apa saja yang kiranya akan timbul dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan
atau orang pribadi.
2. Pendaftaran NPWP baru maupun pendaftaran sebagai PKP.
3. Membantu dalam penghitungan pajak, pembuatan SSP, penyetoran hingga
pelaporan pajak klien.
4. Membantu mengecek kebenaran surat yang diterima oleh klien dari Kantor
Pajak, seperti Surat Tagihan Pajak (STP) PPh 21, dan lain sebagainya.
5. Membantu klien dalam hal keberatan atau banding. Mulai dari pembuatan
surat keberatan atau banding, pemenuhan syarat-syarat kelengkapan untuk
mengajukan keberatan atau banding, hingga mendampingi klien atau menjadi
kuasa atas permintaan klien dalam menghadapi persidangan keberatan atau
banding.
20
E. Organisasi dan Manajemen KKP Surya
Secara umum kegiatan dalam KKP ini terbagi ke dalam dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi Internal
Karyawan atau pegawai yang mengurusi kegiatan internal ini lazimnya
bertugas untuk menghitung pajak-pajak klien yang rutin seperti, PPh 21 dan
25, PPN masukan dan keluaran baik bulanan maupun tahunan, membuat
faktur pajak standar, membuat Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah dihitung,
hingga mengisi form pajak (SPT) yang akan dilaporkan (Masa/Tahunan)
dengan data-data yang telah diperoleh dari klien.
Namun, dalam kondisi tertentu yang mendesak, para karyawan yang
berada dalam lingkup internal dapat membantu karyawan lainnya menjalankan
fungsi eksternal seperti membayar dan melaporkan pajak klien. Hal itu
dikarenakan terbatasnya jumlah pegawai yang berada dalam KKP Surya ini.
Kondisi tertentu tersebut misalnya ketika berlangsungnya program sunset
policy beberapa waktu lalu, hampir seluruh klien mengikuti program tersebut
sehingga membuat seluruh karyawan di sana harus bekerja extra alias lembur
agar dapat merampungkannya tepat waktu. Kondisi serupa mungkin terjadi
pula di kantor-kantor konsultan pajak lainnya.
2. Fungsi Eksternal
Tugas karyawan atau pegawai pada fungsi ini seperti sudah sedikit
tergambarkan pada penjelasan di atas yaitu, membayarkan pajak-pajak klien
yang telah dihitung ke bank-bank persepsi menggunakan SSP yang telah
dibuat dan kemudian melaporkan SPT ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP)
21
tempat masing-masing klien terdaftar, atau melalui pos tercatat bagi klien
yang berada di luar kota. Hal lain yaitu mengurus jadwal keberatan atau
banding klien ke gedung Departemen Keuangan dan mengurus pendaftaran
NPWP baru bagi WP yang telah mengajukan permohonannya.
Sedangkan secara rinci berdasarkan struktur organisasi KKP Surya, job
description masing-masing divisi adalah sebagai berikut:
a. Divisi PPN
1. Menghitung Pajak Masukan dan Pajak Keluaran klien;
2. Membuat SPT Masa PPN berdasarkan perhitungan yang telah dibuat dan
Faktur Pajak setiap bulannya;
3. Mengajukan komplain ataupun keberatan jika ternyata terdapat kesalahan
atas STP yang diterima klien.
b. Divisi PPh
1. Menghitung PPh pasal 21 dari daftar gaji klien setiap bulan;
2. Menghitung dan mengisi SPT PPh Tahunan klien;
3. Mengajukan komplain ataupun keberatan jika ternyata terdapat kesalahan
atas STP yang diterima klien.
c. Divisi Umum
1. Menagih SPT Masa PPN dan SSP ke klien sejumlah yang tertulis di
dalamnya;
2. Menyetorkan SSP yang telah diisi dengan lengkap, benar dan jelas ke bank
pemerintah atau bank swasta yang ditunjuk atau kantor pos, paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya;
22
3. Melaporkan SPT Masa PPN yang telah diisi lengkap, benar dan jelas
tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat klien terdaftar, paling
lambat tanggal 20 bulan berikutnya;
4. Mengevaluasi ketetapan pajak yang diterima klien dari kantor pajak;
5. Mengurus pendaftaran NPWP baru serta pendaftaran PKP bagi pengusaha;
6. Melayani klien dan memberikan jawaban yang jelas apabila terdapat
pertanyaan atau keluhan seputar masalah perpajakan.
F. Penempatan Magang
Selama melaksanakan kegiatan magang di KKP Surya, tidak ada penempatan
khusus untuk bekerja. Karena pekerjaan yang dilakukan adalah sebatas pada
rutinitas harian di kantor seperti, membuat SSP klien yang akan disetorkan setiap
bulan untuk PPh 21, PPN, PPh Pasal 4 ayat (2), membuat rekap gaji karyawan
klien setiap bulannya hingga mengisi formulir SPT PPh Pasal 21, PPh Pasal 4 ayat
(2) dengan sistem komputerisasi yang telah ada dan mengisi SPT PPN dengan
fasilitas e-SPT.
Namun penulis juga sesekali diberikan tugas oleh supervisor yaitu bapak Lam
Sunjaya untuk membahas kasus-kasus banding klien seputar PPN maupun PPh
Badan, dari mulai mengecek kelengkapan dotkumen-dokumen yang akan menjadi
bukti saat persidangan hingga pembuatan surat banding untuk klien tersebut.
Dan masih banyak lagi pekerjaan-perkerjaan yang menjadi pengalaman dan
pengetahuan yang penulis dapatkan selama menjalani magang di KKP Surya.
Meskipun tidak pernah ada kegiatan yang berhubungan langsung dengan klien,
23
tetapi kegiatan keseharian yang dilakukan serta informasi-informasi seputar dunia
perpajakan yang diberikan baik oleh supervisor maupun para karyawan di KKP
Surya tersebut sudah merupakan pengalaman yang sangat berharga dan modal
untuk penulis di masa mendatang karena sedikit banyaknya telah memberikan
gambaran tentang bagaimana penerapan teori-teori perpajakan pada kenyataannya
yang di dapat selama perkuliahan.
24
BAB III
PEMBAHASAN DAN IDENTIFIKASI PERMASALAHAN FAKTUR
PAJAK STANDAR
A. Objek dan Subjek Pajak Pertambahan Nilai
A.1. Objek PPN
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa setiap kali terjadi
pemungutan PPN akan selalu ada Faktur Pajak yang wajib diterbitkan. Hal
tersebut karena pengenaan PPN berdasarkan UU PPN 1983 dan perubahannya
dilakukan berdasarkan sistem Faktur Pajak. Pemungutan PPN sendiri
dilakukan atas beberapa objek tertentu yang menurut ketentuan perpajakan
dikenai atau terutang PPN. Lalu apa yang menjadi objek pengenaan PPN?
Dalam ketentuan perpajakan yang berlaku akan sering ditemui istilah Barang
Kena Pajak maupun Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Namun demikian, yang
menjadi objek pengenaan PPN bukanlah BKP/JKP itu sendiri melainkan
keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi atas BKP/JKP
tersebut.11
Dalam pasal 4 UU PPN disebutkan beberapa keadaan, peristiwa atau
perbuatan hukum yang menjadi objek pengenaan PPN. Dan dalam
11 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, op.cit, hlm. 7
25
penjelasannya dikatakan bahwa penyerahan BKP/JKP tersebut baru akan
terutang PPN apabila secara akumulatif memenuhi syarat-syarat berikut12:
1. Barang atau Jasa yang diserahkan adalah BKP/JKP;
2. Penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean;
3. Penyerahan dilakukan oleh PKP atau pengusaha yang seharusnya
dikukuhkan sebagai PKP; dan
4. Penyerahan dilakukan dalam lingkup kegiatan usaha atau pekerjaannya.
Objek pengenaan PPN lainnya yang disebutkan dalam Pasal 4 UU PPN
adalah pemanfaatan JKP dan atau BKP tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean. Objek PPN yang disebutkan dalam Pasal 4
UU PPN huruf d dan e ini, dikenai baik terhadap pemanfaatan yang dilakukan
oleh orang pribadi ataupun badan yang telah menjadi PKP maupun yang
belum. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 568/KMK.04/2000
tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan
Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan BKP tidak berwujud dan atau JKP
dari luar Daerah Pabean, maka yang wajib memungut dan menyetor PPN
terutang adalah pihak yang melakukan pemanfaatan. Penyetoran PPN
menggunakan media Surat Setoran Pajak (SSP) yang selanjutnya berfungsi
sebagai Faktur Pajak.13
Objek PPN lain yang mewajibkan pihak yang melakukan kegiatan tersebut
yaitu menyetor sendiri PPN terutang adalah objek PPN berupa impor BKP.
Objek pengenaan ini disebutkan dalam Pasal 4 huruf b UU PPN. Dalam hal
12Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, loc.cit. 13 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, op.cit, hlm. 9.
26
impor BKP, dokumen yang menjadi bukti bahwa PPN telah dipungut dan
disetor adalah Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang dilampiri dengan
Surat Setoran Pabean, Cukai dan Pajak dalam Rangka Impor (SSPCP) sebagai
bukti penyetoran PPN Impor. Terakhir, yang menjadi objek pengenaan PPN
berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU PPN adalah ekspor BKP yang dilakukan
oleh PKP. Memang, PPN yang terutang dalam rangka ekspor BKP ditentukan
sebesar 0% akan tetapi perlu diingat bahwa atas kegiatan ekspor BKP tersebut
tetap terutang PPN. Dokumen yang menjadi Faktur Pajak atas kegiatan ekspor
adalah Surat Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh
Dirjen Bea dan Cukai.14
A.2. Subjek Pajak (PPN)
A.2.1 Pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak
Pengertian pengusaha dan Pengusaha Kena Pajak dirumuskan dalam
Pasal 1 angka 14 dan 15 UU PPN 2000 yang kemudian disempurnakan
oleh Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 200015
sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah. Yaitu orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang
tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau
memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean, yang melakukan penyerahan
14 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.1)”, loc.cit. 15 Untung Sukardji, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003, hlm. 51.
27
Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan
pajak berdasarkan UU PPN dan sejak semula bermaksud menyerahkan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
Berdasarkan Pasal 4, Pasal 16C dan Pasal 16D UU PPN Tahun 2000
dan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 143 Tahun 2000, subjek PPN dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu16:
a. Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Termasuk dalam kelompok ini adalah pengusaha yang melakukan
kegiatan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf a yaitu menyerahkan
BKP, Pasal 4 huruf c yaitu menyerahkan JKP, dan Pasal 4 huruf f UU
PPN 2000 yaitu mengekspor BKP, serta bentuk kerja sama operasi
sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 143 Tahun 2000. Sedangkan pengertian PKP dirumuskan
dalam Pasal 1 angka 15 UU PPN 2000 yang kemudian disempurnakan
oleh Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 143 Tahun 2000 seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya yaitu pengusaha yang sejak semula bermaksud
melakukan penyerahan BKP dan atau penyerahan JKP atau ekspor
BKP.
b. Bukan Pengusaha Kena Pajak (non PKP)
Pengusaha bukan PKP yang menjadi subjek PPN meliputi pengusaha
yang melakukan kegiatan yang dimaksud dalam Pasal 4 huruf b yaitu
mengimpor BKP, huruf d yaitu memanfaatkan BKP tidak berwujud
16 Ibid, hlm. 53.
28
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dan huruf e yaitu
memanfaatkan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
A.2.2. Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Kewajiban Pengusaha Kena Pajak diatur dalam Pasal 3A ayat (1) UU
PPN 2000 yang menentukan bahwa pengusaha yang melakukan
penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, huruf c, atau
huruf f, wajib melaporkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib
memungut, menyetor dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang.17
B. Faktur Pajak
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena
Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), atau bukti pungutan pajak karena impor
Barang Kena Pajak yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Literatur perpajakan yang ada mengenal dua jenis Faktur Pajak. Pertama,
disebut dengan Faktur Pajak Standar di mana di dalamnya termasuk dokumen-
dokumen tertentu yang secara substantif diperlakukan sebagai Faktur Pajak
Standar.18 Faktur Pajak ini pada dasarnya merupakan sarana mekanisme kredit
pajak. Sehingga salah satu syarat pengkreditan pajak masukan adalah tersedianya
Faktur Pajak Standar yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 13 ayat (5) UU PPN.
17 Ibid, hlm. 57. 18 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, Indonesian Tax Review,Vol IV, Edisi
04/2004, hlm. 4.
29
Dengan demikian ketentuan Faktur Pajak menjadi sangat rigit untuk
melaksanakan kegiatan PPN.19
Kemudian jenis kedua adalah yang disebut dengan Faktur Pajak Sederhana.
Dalam karya tulis ini lebih khusus akan dibahas mengenai Faktur Pajak Standar
yang umumnya digunakan oleh PKP dalam kegiatan usahanya sehari-hari.
C. Faktur Pajak Standar
C.1. Bentuk dan Ukuran Faktur Pajak Standar
Khusus mengenai Faktur Pajak, UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang telah
diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000 telah memberikan
kewenangan kepada Dirjen Pajak untuk menetapkan bentuk dan ukurannya,
baik Faktur Pajak Standar maupun Faktur Pajak Sederhana. Pemberian
wewenang ini secara tegas dinyatakan dalam Pasal 13 ayat (4) UU PPN.
Dalam upaya menindaklanjuti kewenangan yang diberikan tersebut, Dirjen
Pajak kemudian menerbitkan beberapa keputusan sebagai peraturan
pelaksanaannya. Salah satunya adalah yang berkaitan dengan Faktur Pajak
Standar, yaitu Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 tentang Saat
Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian dan Tata
Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar. Keputusan yang dirilis pada tanggal
29 Desember 2000 tersebut, hingga kini telah diubah beberapa kali.20 Dan
terakhir dilakukan perubahan tanggal 31 Oktober 2006 dengan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006.
19 Haula Rosdiana, Pajak Pertambahan Nilai Teori dan Aplikasi, Pusat Kajian Ilmu Administrasi FISIP UI, hlm. 103.
20 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit.
30
Dalam lampiran Peraturan Dirjen Pajak tersebut, diberikan contoh bentuk
formulir Faktur Pajak Standar hasil disain pihak Dirjen Pajak. Terdapat dua
contoh bentuk Faktur Pajak yang diberikan. Satu contoh formulir Faktur Pajak
Standar untuk transaksi penyerahan yang menggunakan mata uang rupiah (Rp)
dan satu lagi untuk transaksi dalam mata uang asing. Khusus untuk formulir
Faktur Pajak Standar seperti pada Gambar III.2, menurut Dirjen Pajak, dapat
digunakan baik untuk transaksi penyerahan yang menggunakan mata uang
rupiah (Rp) maupun mata uang selain rupiah. Sedangkan Faktur Pajak Standar
yang tampak pada Gambar III.1 hanya dipergunakan jika transaksi
penyerahan BKP/JKP menggunakan mata uang rupiah (Rp).21
Selain itu, terkait dengan kode dan nomor seri diterangkan bahwa setiap
Faktur Pajak Standar harus menggunakan kode dan nomor seri yang telah
ditentukan di dalam PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk,
Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan
Faktur Pajak Standar, yaitu:
Kode Faktur Pajak Standar terdiri dari22:
1. 2 (dua) digit Kode Transaksi;
2. 1 (satu) digit Kode Status; dan
3. 3 (tiga) digit Kode Cabang.
Khusus Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor
Pelayanan Pajak yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM), Kode
Cabang ditentukan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak tersebut dan wajib
21Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit. 22 “Faktur Pajak “, www.pajak.go.id.
31
memberitahukan secara tertulis ke Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan
pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak diterbitkan.
Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari:
1. 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan
2. 8 (delapan) digit Nomor Urut.
C.2. Data Minimum yang Harus Dicantumkan
Sebenarnya, persyaratan formal yang sangat dominan dan sangat penting
untuk dipahami adalah berkaitan dengan data atau keterangan yang harus
tercantum dalam Faktur Pajak Standar. Dalam literatur perpajakan yang ada,
telah ditetapkan bahwa sebuah Faktur Pajak, baru dapat disebut sebagai Faktur
Pajak Standar apabila di dalamnya dicantumkan data atau keterangan
minimum yang telah ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN. Data atau
keterangan yang dimaksud Pasal 13 ayat (5) UU PPN tersebut adalah data atau
keterangan mengenai penyerahan BKP/JKP yang dilakukan, yang paling
sedikit mencantumkan data atau keterangan sebagai berikut23:
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan
BKP/JKP;
b. Nama, alamat dan NPWP pembeli atau penerima BKP/JKP;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga;
d. PPN yang dipungut;
e. PPn BM yang dipungut;
23 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, op.cit, hlm. 7.
32
GAMBAR III.1
FAKTUR PAJAK STANDAR RUPIAH (RP)
Lembar ke 2 : Untuk Penjual BKP/Pemberi JKP sebagai bukti Pajak Keluaran
FAKTUR PAJAK STANDAR Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak : Pengusaha Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : Tanggal Pengukuhan PKP : Pembeli Barang Kena Pajak/Penerima Jasa Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : NPPKP : No. Urut Nama Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak Harga Jual/ Penggantian/ Uang Muka/
Termin (Rp)
Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin *) Dikurangi Potongan Harga Dikurangi Uang Muka yang telah diterima Dasar Pengenaan Pajak PPN = 10% X Dasar Pengenaan Pajak
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Tarif DPP PPnBM …………% Rp ………… Rp ………… …………% Rp ………… Rp ………… …………% Rp ………… Rp ………… …………% Rp ………… Rp ………… Jumlah Rp …………
……………… tgl ……………
…………………………………
Nama
Jabatan
*) Coret yang tidak perlu
33
GAMBAR III.2
FAKTUR PAJAK STANDAR VALAS
Lembar ke 2 : Untuk Penjual BKP/Pemberi JKP sebagai bukti Pajak Keluaran
FAKTUR PAJAK STANDAR Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak : Pengusaha Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : Tanggal Pengukuhan PKP : Pembeli Barang Kena Pajak/ Penerima Jasa Kena Pajak Nama : Alamat : NPWP : NPPKP :
Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/ Termin No.
Urut Nama Barang Kena Pajak/ Jasa Kena Pajak Valas *) (Rp)
Harga Jual/Penggantian/Uang Muka/Termin **) Dikurangi Potongan Harga Dikurangi Uang Muka yang telah diterima Dasar Pengenaan Pajak PPN = 10% X Dasar Pengenaan Pajak
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Tarif DPP PPnBM …………% Rp ………… Rp ………… …………% Rp ………… Rp ………… …………% Rp ………… Rp ………… …………% Rp ………… Rp ………… Jumlah Rp …………
……………… tgl ……………
…………………………………
Nama
Jabatan
*) Diisi apabila penyerahan menggunakan mata uang asing
**) Coret yang tidak perlu
34
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur
Pajak.
Ketujuh data atau keterangan tersebut di atas secara akumulatif harus
tercantum seluruhnya dalam sebuah Faktur Pajak Standar. Jika salah satunya
tidak ada atau tidak dicantumkan, maka Faktur Pajak Standar tersebut dapat
dikategorikan sebagai Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap atau yang
dalam kesehariannya sering disebut atau diistilahkan dengan Faktur Pajak
cacat.24
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat material adalah bahwa barang
yang diserahkan benar, baik secara nilai maupun jumlah. Demikian pula
dengan pengusaha yang melakukan dan yang menerima penyerahan BKP
tersebut harus sesuai dengan keterangan yang terantum pada Faktur Pajak
Standar.
Faktur Pajak Standar harus dibuat sekurang-kurangnya dalam rangkap dua
yaitu:
a. Lembar ke-1 : Untuk Pembeli BKP atau Penerima JKP sebagai bukti
Pajak Masukan.
b. Lembar ke-2 : Untuk PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Standar
sebagai bukti Pajak Keluaran.
Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari rangkap dua, maka
peruntukkan lembar ketiga dan seterusnya harus dinyatakan secara jelas dalam
24 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, op.cit, hlm. 8.
35
Faktur Pajak yang bersangkutan; misalnya: Lembar ke-3: Untuk KPP dalam
hal penyerahan BKP atau JKP dilakukan kepada Pemungut PPN.25
C.3. Saat Pembuatan Faktur Pajak Standar
Selain memberikan kewenangan untuk menetapkan bentuk dan ukuran
Faktur Pajak, UU PPN juga memberikan kewenangan kepada Dirjen Pajak
untuk menentukan saat pembuatannya. Saat pembuatan ini sering digolongkan
sebagai persyaratan material sebuah Faktur Pajak Standar.26
Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006,
terdapat lima timing pembuatan Faktur Pajak Standar, yaitu:
1. Akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan dalam hal pembayaran
diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan;
2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir
bulan berikutnya setelah bulan penyerahan;
3. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi
sebelum penyerahan;
4. Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan; atau
5. Pada saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan
Pemerintah sebagai Pemungut PPN.
25 Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 104. 26 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi
06/2005, hlm. 3.
36
D. Faktur Pajak Standar Cacat dan Sanksi yang Terkait
Dalam uraian sebelumnya pada bab satu telah disampaikan bahwa efek
samping penerbitan Faktur Pajak Standar yang tidak lengkap (tidak memenuhi
kriteria data atau keterangan minimum yang harus tercantum dalam Faktur Pajak)
adalah pengenaan sanksi kepada kedua belah pihak. Penerbit Faktur Pajak Standar
(PKP) akan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% dari Dasar
Pengenaan Pajak (DPP), sementara penerima Faktur Pajak Standar tidak akan
dapat mengkreditkan Pajak Masukannya. Penerima Faktur Pajak dilarang
mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum di dalamnya karena Faktur Pajak
Standar tersebut dikategorikan sebagai Faktur Pajak yang cacat.27
Sebenarnya istilah Faktur Pajak Standar cacat tidak hanya diperuntukkan bagi
Faktur Pajak yang pengisiannya tidak lengkap. Perbedaan bentuk dan ukuran
dengan formulir yang dicontohkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-159/PJ./2006 juga dapat mengakibatkan Faktur Pajak Standar dapat
disebut Faktur Pajak cacat. Meskipun kedengarannya sepele, akan tetapi untuk
menghindari perdebatan dengan fiskus sebaiknya PKP membuat Faktur Pajak
Standar dengan bentuk dan ukuran seperti yang dicontohkan Dirjen Pajak.
Pengisian data dan keterangan dalam Faktur Pajak Standar juga sebaiknya
dilakukan dengan cara diketik, tidak menggunakan tulisan tangan. Meskipun tidak
ada larangan untuk itu, namun pada kenyataannya ketika dilakukan pemeriksaan
banyak ditemukan kasus di mana fiskus menganggap bahwa Faktur Pajak Standar
yang diisi dengan tulisan tangan merupakan Faktur Pajak Standar yang cacat.
27 Ibid, hlm. 8.
37
Hal lain yang sangat penting untuk diketahui adalah mengenai jangka waktu
penerbitan Faktur Pajak Standar. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf f UU KUP, kepada PKP yang menerbitkan Faktur Pajak yang melewati
batasan waktu yang ditetapkan akan dikenai sanksi administrasi berupa denda
sebesar 2% dari DPP yang tercantum pada Faktur Pajak yang bersangkutan. Dan
lebih celakanya lagi jika penerbitan Faktur Pajak melebihi batas waktu tiga bulan,
maka pembeli yang tidak tahu apa-apa pun akan terkena dampak yang tidak
mengenakkan.28
Dalam PER-159/PJ./2006 yang diterbitkan tanggal 31 Oktober 2006 tersebut,
pada Pasal 13 ayat (1) dinyatakan pula bahwa apabila pembuatan Faktur Pajak
Standar yang diterbitkan setelah lewat batas waktu tiga bulan dari batas akhir
pembuatannya tidak dapat dianggap sebagai Faktur Pajak Standar. Dengan begitu,
pembeli yang sudah PKP otomatis tidak dapat mengkreditkan PPN (Pajak
Masukan) yang ada dalam Faktur Pajak Standar tersebut.
E. Jangka Waktu dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Cacat
Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Dirjen Pajak
Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk Ukuran, Pengadaan,
Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar bahwa
PKP yang Faktur Pajaknya tidak lengkap alias cacat dapat menerbitkan Faktur
Pajak Standar Pengganti dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun sejak Faktur
Pajak Standar yang diganti tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap SPT Masa
28 Tim ITR, “Seluk Beluk Faktur Pajak (Bag.2)”, loc.cit.
38
PPN di mana Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut dilaporkan, belum
dilakukan pemeriksaan dan atas PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar
tersebut belum dibebankan sebagai biaya.
Ketentuan ini sebenarnya sejalan dengan Pasal 8 UU Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang menegaskan
bahwa jangka waktu pembetulan SPT adalah 2 (dua) tahun sepanjang belum
dilakukan pemeriksaan pajak. Hal ini berarti, jangka waktu dua tahun tersebut
tidak bersifat mutlak. Dalam arti apabila sebelum jangka waktu tersebut kepada
Wajib Pajak telah dilakukan pemeriksaan pajak, maka haknya untuk melakukan
pembetulan SPT menjadi hilang meskipun jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut
belum terlewati. Dapat dikatakan bahwa Faktur Pajak adalah bagian dari SPT
PPN. Sehingga ketentuan mengenai pembetulan Faktur Pajak sebagaimana diatur
dalam Pasal 12 ayat (1) PER-159/PJ./2006 pun selaras dengan ketentuan
pembetulan SPT sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) UU KUP.29
Dalam lampiran III Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006,
disebutkan bahwa Faktur Pajak yang rusak, cacat, atau terdapat kesalahan dalam
pengisian dapat dibatalkan dan diganti dengan Faktur Pajak yang baru sebagai
Faktur Pajak Pengganti oleh PKP Penjual, baik diminta oleh pembeli atau atas
inisiatif PKP Penjual. Dalam hal ini pembetulan kesalahan pengisian atau
penulisan Faktur Pajak Standar tidak diperkenankan dengan cara menghapus,
mencoret, atau dengan cara lain selain membuat Faktur Pajak Pengganti. Adapun
penerbitan Faktur Pajak Pengganti tersebut dilakukan seperti halnya penerbitan
29 Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 26.
39
Faktur Pajak Standar biasa. Keterangan yang diisikan dalam Faktur Pajak
Pengganti adalah keterangan yang seharusnya. Selanjutnya, atas Faktur Pajak
Pengganti tersebut harus dibubuhi cap yang mencantumkan kode, nomor seri dan
tanggal Faktur Pajak yang diganti.
Terkait dengan nomor seri Faktur Pajak Pengganti, penomorannya berbeda
dengan penerbitan Faktur Pajak Standar normal (bukan Faktur Pajak Pengganti).
Dalam penomoran Faktur Pajak Standar normal menggunakan kode status 0 (nol).
Sedangkan untuk Faktur Pajak Pengganti, kode statusnya adalah 1 (satu). Selain
itu, pada Faktur Pajak Pengganti juga harus dibubuhi cap yang mencantumkan
nomor seri, kode dan tanggal Faktur Pajak yang diganti. Faktur Pajak yang diganti
juga harus dilampirkan pada Faktur Pajak Pengganti. Sesuai dengan PER-
159/PJ./2006, cap Faktur Pajak Pengganti tersebut dapat dibuat dengan cara
manual seperti berikut30:
GAMBAR III.3
CAP FAKTUR PAJAK STANDAR PENGGANTI
Faktur Pajak Standar yang diganti : Kode dan Nomor Seri : ………………………….. Tanggal : …………………………..
F. Implikasi pada SPT Masa PPN
Dengan adanya penggantian Faktur Pajak tersebut, hal ini akan
mengakibatkan adanya kewajiban untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN,
30 Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 27.
40
baik bagi PKP Penjual maupun PKP Pembeli. PKP Penjual harus melakukan
pembetulan terhadap SPT Masa PPN di mana FP Standar yang diganti tersebut
dilaporkan. Dalam hal ini FP Standar pengganti harus dilaporkan dalam SPT
Masa PPN masa pajak yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak
Standar yang diganti dengan mencantumkan nilai sesuai dengan yang tercantum
dalam Faktur Pajak Standar pengganti.
Selain itu Faktur Pajak Pengganti tersebut juga harus dilaporkan pada masa
pajak diterbitkannya Faktur Pajak Standar pengganti dengan mencantumkan nilai
0 (nol) pada kolom DPP, PPN dan PPn BM. Hal ini dilakukan untuk menjaga
urutan Faktur Pajak Standar yang diterbitkan PKP. Pelaporan Faktur Pajak
Standar pengganti dalam SPT Masa PPN harus mencantumkan Kode dan Nomor
Seri Faktur Pajak Standar yang diganti pada kolom yang telah disediakan baik
dilampiran Pajak Keluaran maupun lampiran Pajak Masukan.
Munculnya kewajiban untuk melakukan pembetulan SPT Masa PPN ini
timbul karena informasi yang ada dalam Faktur Pajak dilaporkan dalam SPT Masa
PPN. Dengan dilakukannya pembetulan Faktur Pajak, hal ini berarti ada
perubahan informasi yang disampaikan dalam Faktur Pajak. Oleh karenanya
implikasi dari hal ini, pembetulan Faktur Pajak harus disertai dengan pembetulan
SPT.
Pembetulan SPT Masa PPN ini memang mengikuti pembetulan Faktur Pajak
yang dilakukan. Artinya bahwa pembetulan SPT Masa ini akan bergantung pada
inofrmasi apa yang diubah dalam Faktur Pajak. Apabila pembetulan Faktur Pajak
hanya terkait dengan masalah administrasi yang bersifat formal seperti
41
pembetulan karena kesalahan nama, NPWP, atau alamat saja, maka hal ini tidak
akan mengubah materi pajak yang ada dalam SPT Masa PPN.
Namun, apabila pembetulan Faktur Pajak tersebut, menyangkut masalah
materi jumlah Dasar Pengenaan Pajak yang memengaruhi besarnya jumlah pajak
terutang, maka hal ini pun pada akhirnya akan menyebabkan berubahnya jumlah
materi pajak yang ada dalam SPT. Dengan berubahnya materi jumlah pajak yang
terutang akibat adanya pembetulan, hal ini bisa menimbulkan sanksi pajak apabila
hasil pembetulannya adalah Kurang Bayar.31
G. Mekanisme Pengkreditan
G.1. Prinsip-prinsip Pengkreditan Pajak Masukan
Dalam Pasal 9 UU PPN Tahun 2000, diatur ketentuan mengenai
mekanisme pengkreditan yaitu bahwa32:
1. PM dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan PK untuk Masa
Pajak yang sama.
2. PM yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan PK pada
Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang
bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum
dilakukan pemeriksaan.
3. Dalam hal belum ada PK dalam suatu Masa Pajak, maka PM tetap dapat
dikreditkan. Misalnya PKP belum berproduksi, atau belum melakukan
31 Tim ITR, “Faktur Pajak yang Salah Harus Diperbaiki”, op.cit, hlm. 29. 32 Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 129
42
penyerahan BKP/JKP, atau ekspor BKP sehingga Pajak Keluarannya
belum ada (nihil), maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh PKP pada
waktu perolehan BKP, atau penerimaan JKP, atau pemanfaatan JKP dari
luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau impor BKP tetap dapat
dikreditkan sesuai dengan Pasal 9 ayat (2), kecuali Pajak Masukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8).
4. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PK lebih besar daripada PM, maka
selisihnya merupakan PPN yang harus dibayar oleh PKP.
5. Apabila dalam Suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan
pasti dari pembukuannya, maka jumlah PM yang dapat dikreditkan adalah
PM yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
6. Apabila dalam suatu Masa Pajak, PM yang dapat dikreditkan lebih besar
dari pada PK, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
7. Apabila dalam Suatu Masa Pajak, PKP selain melakukan penyerahan yang
terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak,
sedangkan PM untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui
dengan pasti, maka jumlah PM yang dapat dikreditkan untuk penyerahan
yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur
dengan KMK.
43
G.2. Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan
Pasal 9 ayat (8) UU PPN Tahun 2000 ditetapkan bahwa Pajak Masukan
yang tidak dapat dikreditkan adalah33:
a. Perolehan BKP atau JKP sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak;
b. Perolehan BKP atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station
wagon, van, dan kombi kecuali merupakan barang dagangan atau
disewakan;
d. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP;
e. Perolehan BKP atau JKP yang bukti pungutnya berupa Faktur Pajak
Sederhana;
f. Perolehan BKP atau JKP yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan
Faktur Pajak Standar;
g. Pemanfaatan BKP tidak berwujud atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah
Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) UU PPN Tahun 2000;
h. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya ditagih dengan
penerbitan ketetapan pajak;
33 Haula Rosdiana, op.cit, hlm. 134
44
i. Perolehan BKP atau JKP yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dengan
SPT Masa PPN, yang diketemukan pada waku dilakukan pemeriksaan.
H. Identifikasi Kelengkapan Data/Keterangan Faktur Pajak Standar
(Penjualan dan Pembelian) PT. KTB
Faktur Pajak Standar PT. KTB (PKP) yang menjadi sample untuk dilihat
kelengkapan data/keterangannya serta kesesuaian bentuk dan ukurannya dengan
ketentuan Dirjen Pajak, merupakan bukti transaksi baik penjualan maupun
pembelian pada masa pajak Maret 2009.
H.1. Faktur Pajak Keluaran
TABEL III.1
DATA KELENGKAPAN FAKTUR PAJAK KELUARAN PT. KTB
TANGGAL TRANSAKSI DATA / KETERANGAN
24 / 03 / 09 31 / 03 / 09 KET
Nama, alamat dan NPWP PKP Penjual BKP/JKP √ √
Nama, alamat dan NPWP Pembeli/Penerima BKP/JKP √ √
Jenis barang atau jasa √ √ Jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga √ √
PPN yang dipungut √ √ PPn BM yang dipungut √ √ Kode dan nomor seri Faktur Pajak √ √ Tanggal pembuatan Faktur Pajak √ √ Nama, jabatan dan tanda tangan √ √ Cap atau stempel PKP Penjual √ √
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak √ √ Sesuai dengan
ketentuan Dirjen Pajak
√ Pengisian data sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-159/PJ./2006
45
H.2. Faktur Pajak Masukan
TABEL III.2
DATA KELENGKAPAN FAKTUR PAJAK MASUKAN PT. KTB
TANGGAL TRANSAKSI DATA / KETERANGAN
30 / 03 / 09 31 / 03 / 09 KET
Nama, alamat dan NPWP PKP Penjual BKP/JKP √ √
Nama, alamat dan NPWP Pembeli/Penerima BKP/JKP √ √
Jenis barang atau jasa √ √ Rincian jenis BKP dilampirkan
Jumlah harga jual atau penggantian dan potongan harga √ √
PPN yang dipungut √ √ PPn BM yang dipungut √ √ Kode dan nomor seri Faktur Pajak √ √ Tanggal pembuatan Faktur Pajak √ √ Nama, jabatan dan tanda tangan √ √ Cap atau stempel PKP Penjual √ √
Bentuk dan ukuran Faktur Pajak X X Tidak sesuai ketentuan Dirjen Pajak*
* terdapat kolom ”Kuantum” dan ”Harga Satuan”
√ Pengisian data sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-159/PJ./2006
X Pengisian data tidak sesuai dengan ketentuan Dirjen Pajak dalam PER-
159/PJ./2006
46
Penjelasan:
Pada sample Faktur Pajak Penjualan PT. KTB terlihat bahwa tidak
terdapat kekurangan yang dapat membuat Faktur Pajak menjadi cacat. Seluruh
data/keterangan yang tercantum serta bentuk dan ukuran Faktur Pajak telah
sesuai dengan ketentuan UU PPN pada pasal 13 ayat (5) dan peraturan
pelaksananya yaitu PER-159/PJ./2006.
Tetapi pada Faktur Pajak Masukan yang diterima dari rekanan PT. KTB,
tampak terdapat sedikit berbeda dengan yang dicontohkan oleh Dirjen Pajak.
Yaitu pada bagian jenis BKP/JKP yang tidak dijelaskan pada Faktur Pajak
tetapi hanya dilampirkan. Kemudian yang lagi tidak sama dengan Faktur Pajak
seperti contoh pada gambar III.1 adalah adanya kolom ”kuantum” dan ”harga
satuan” pada Faktur Pajak tersebut.
Mengenai kedua perbedaan tersebut, sesungguhnya telah dijelaskan dalam
Lampiran II pada PER-159/PJ./2006 tentang Saat Pembuatan, Bentuk Ukuran,
Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak
Standar. Pertama, mengenai keterangan jenis BKP/JKP yang dilampirkan,
sebagaimana dijelaskan oleh Haula Rosdiana dalam bukunya Pajak
Pertambahan Nilai, Teori dan Aplikasi, yaitu:
Dalam hal rincian Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak
yang diserahkan tidak dapat ditampung dalam satu Faktur Pajak (misalnya
karena jenis barang yang dibeli banyak), maka Pengusaha Kena Pajak dapat
membuat Faktur Pajak dengan cara sebagai berikut:
47
a. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak
tersebut dibuat lebih dari satu Faktur Pajak yang masing-masing Faktur
Pajak harus diisi secara lengkap sesuai ketentuan; atau
b. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena
Pajak tersebut dapat dibuat satu Faktur Pajak asalkan menunjuk
nomor dan tanggal Faktur Penjualan yang bersangkutan dan Faktur
Penjualan tersebut merupakan lampiran Faktur Pajak yang tidak
terpisahkan.
Kedua, mengenai adanya kolom ”kuantum” dan ”harga satuan”, juga
dijelaskan dalam Lampiran II PER-159/PJ./2006 tentang petunjuk pengisian
Faktur Pajak Standar. Pada petunjuk pengisian nomor 4 perihal pengisian
tentang Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang diserahkan, bagian b:
Nama Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak, diisi dengan nama BKP/JKP yang
diserahkan. Diterangkan pula bahwa:
a. Dalam hal diterima Uang Muka atau Termin atau Cicilan, kolom Barang
Kena Pajak/Jasa Kena Pajak diisi dengan keterangan, misalnya Uang
Muka, atau Termin, atau Angsuran atas pembelian BKP dan/atau
perolehan JKP.
b. Dalam hal diperlukan, Pengusaha Kena Pajak dapat menambahkan
keterangan jumlah unit dan harga per unit dari BKP yang
diserahkan.
48
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan seputar Faktur Pajak Standar pada bab tiga di atas, maka
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006 tentang Saat
Pembuatan, Bentuk Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata
Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar, diterangkan hal-hal pokok seputar
Faktur Pajak Standar, yakni:
a. Faktur Pajak memiliki fungsi sebagai bukti pemungutan Pajak Keluaran
yang membuktikan bahwa PKP telah melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak ataupun Jasa Kena Pajak.
b. Bentuk dan ukuran serta data/keterangan yang tercantum dalam Faktur
Pajak Standar harus sesuai dengan ketentuan seperti yang disebutkan
dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 dan Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-159/PJ./2006. Jika tidak memenuhi salah satu
persyaratan dalam ketentuan tersebut, maka Faktur Pajak dianggap cacat.
c. Sanksi administrasi atas Faktur Pajak yang cacat tersebut bagi PKP yang
membuat Faktur Pajak berupa denda sebesar 2% dari DPP yang tercantum
49
pada Faktur Pajak yang bersangkutan. Sedangkan dampak bagi PKP yang
menerima Faktur Pajak adalah tidak dapat dikreditkannya PPN (Pajak
Masukan) yang ada pada Faktur Pajak tersebut.
d. Terhadap Faktur Pajak yang cacat tersebut, dapat diterbitkan Faktur Pajak
Standar Pengganti dalam jangka waktu maksimal 2 (dua) tahun sejak
Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap
SPT Masa PPN di mana Faktur Pajak Standar yang diganti tersebut
dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas PPN yang tercantum
dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya.
e. Implikasi pada SPT Masa PPN atas penggantian Faktur Pajak tersebut
adalah kewajiban melakukan pembetulan SPT Masa PPN dimana FP
Standar yang diganti tersebut dilaporkan, baik bagi PKP yang melakukan
penyerahan maupun PKP yang menerima BKP/JKP. Dalam hal ini FP
Standar pengganti harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN masa pajak
yang sama dengan masa pajak dilaporkannya Faktur Pajak Standar yang
diganti dengan mencantumkan nilai sesuai dengan yang tercantum dalam
Faktur Pajak Standar pengganti.
2. Terhadap Faktur Pajak Standar (Keluaran dan Masukan) PT. KTB, dapat
disimpulkan sebagai berikut:
a. Data/Keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut
secara umum telah memenuhi ketentuan Dirjen Pajak yang tertuang pada
PER-159/PJ./2006.
50
b. Mengenai perbedaan yang terdapat pada Faktur Pajak Masukan, yaitu
adanya rincian jenis BKP/JKP yang dilampirkan serta bentuk dan ukuran
Faktur Pajak yang tidak sama dengan standar Dirjen Pajak, berdasarkan
penjelasan pada Lampiran II PER-159/PJ./2006 hal tersebut sesungguhnya
tidak menjadi masalah. Sehingga Pajak Masukan yang tercantum dalam
Faktur Pajak tersebut tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran PT.
KTB untuk masa pajak yang sama.
c. Dengan demikian, karena Faktur Pajak PT. KTB bukan merupakan Faktur
Pajak cacat maka tidak ada pengenaan sanksi atas PT. KTB, tidak perlu
menerbitkan Faktur Pajak pengganti dan tidak ada kewajiban melakukan
pembetulan SPT Masa PPN.
B. Saran
1. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam penerbitan Faktur Pajak
Standar sehingga tidak akan dikategorikan sebagai ”Faktur Pajak Cacat” yang
nantinya juga berdampak pada SPT Masa PPN, bagi PKP yang melakukan
penyerahan maupun menerima BKP/JKP sebaiknya mencermati hal-hal
berikut:
a. Pahami ketentuan formal dan material yang mengatur mengenai
penerbitan Faktur Pajak Standar.
b. Lihat kembali kontrak kerja atau dokumen terkait yang menyatakan
jumlah transaksi yang menjadi dasar pengenaan pajak yang disepakati.
Pastikan jumlahnya sesuai dengan yang tercantum dalam Faktur Pajak.
51
c. Teliti kembali Faktur Pajak yang telah diterbitkan sebelum diberikan
kepada rekanan untuk memastikan semua informasi yang ada di Faktur
Pajak sudah benar dan jelas.
d. Periksa apakah terdapat cacat, coretan, bekas hapusan atau tipe-ex.
2. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat dilakukan pemeriksaan,
KKP Surya hendaknya tetap meneliti kembali Faktur Pajak perusahaan-
perusahaan yang menjadi klien. Karena pada beberapa kasus seperti telah
dijelaskan pada subbab sebelumnya (bab I), bahwa Faktur Pajak yang tidak
sesuai dengan Standar atau lebih tepatnya tidak sesuai dengan contoh dari
Dirjen Pajak dapat menjadi bermasalah dengan fiskus walaupun kategorinya
hanya low risk. Sekali lagi hal yang remeh temeh tersebut tidak boleh
dikesampingkan agar tidak terjadi hal-hal yang dapat merugikan PKP.
52
DAFTAR PUSTAKA
Buku: Nurmantu, Safri, Pengantar Perpajakan, Jakarta:Granit, 2005. Rosdiana, Haula, Pajak Pertambahan Nilai Teori dan Aplikasi, Pusat Kajian Ilmu
Administrasi FISIP UI. Sukardji, Untung, Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003. Peraturan Perundang-Undangan: Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 4740.
Sumber Lainnya: Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 1)”, Indonesian
Tax Review, Vol. IV, Edisi 03, 2004. Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 2)”, Indonesian
Tax Review, Vol. IV, Edisi 04, 2004. Tim Indonesian Tax Review, ”Tips Bagi Pembeli – Dilema Seorang Pembeli”,
Indonesian Tax Review, Vol. I, Edisi 12, 2005.
53
Tim Indonesian Tax Review, ”Seluk Beluk Faktur Pajak (Bagian 2)”, Indonesian Tax Review, Vol. IV, Edisi 06, 2005.
Tim Indonesian Tax Review, ”Faktur Pajak: Yang Salah Harus Diperbaiki”,
Indonesian Tax Review, Vol. VI, Edisi 33, 2007. “Faktur Pajak”, www.pajak.go.id. ”Definisi Pajak”, id.wikipedia.org. 14 April 2009. ”PER-159/PJ./2006”, www.mucglobal.com. “Faktur Pajak”, www.google.com.
54
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Indah Purnamasari Wulanti
Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 8 September 1988
Alamat : Jl. Nangka IV No. 5 RT 004 / RW 005
Kota Baru, Bekasi Barat
Nomor Telepon / Surat Elektronik : 0813 1862 0172 / 021-3208 0276 /
Nama Orang Tua : Ayah : Muhdlori
Ibu : Waltini
Riwayat Pendidikan Formal:
SD : SDN Pulogebang 05 PG, Jakarta Timur
SMP : SMP Negeri 172, Jakarta Timur
SMA : SMA Negeri 89, Jakarta Timur
D3 : Diploma III Administrasi Perpajakan
FISIP UI, Depok
Prestasi:
2004 Sekretaris, OSIS SMAN 89
2004 Ketua Umum, English Club SMAN 89
2004 Ketua Umum, Sunday Meeting Club
(SMC) IEC 03 Bekasi
2005 Kepala Divisi Kajian, SCALA Institute
2006 Ketua Umum, SCALA Institute
2007 Kepala Divisi Kajian, SCALA Institute
2007 Staf Biro PSDM, Himpunan Mahasiswa
x
Perpajakan (HMPS) FISIP UI
2007 Staf Departemen Kajian & Aksi Strategis,
BEM FISIP UI
2008 Kepala Divisi Kajian dan Media, SCALA
Institute
2008 Anggota, CEDS UI
2008 Koord. Bidang 1, Himpunan Mahasiswa
Perpajakan (HMPS) FISIP UI
2009 Kepala Divisi Kajian, SCALA Institute
2009 Kepala Divisi Pengembangan
Masyarakat, SCALA Foundation
xi
Lampiran 1 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR PER - 159/PJ./2006
TENTANG SAAT PEMBUATAN, BENTUK, UKURAN, PENGADAAN, TATA CARA PENYAMPAIAN,DAN TATA CARA PEMBETULAN FAKTUR PAJAK STANDAR
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 13 ayat (4) Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000;
b. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan dan kepastian hukum kepada Pengusaha Kena Pajak dalam membuat Faktur Pajak;
c. bahwa dalam rangka mengoptimalkan kegunaan sistem Faktur Pajak yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualanatas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, dengan dukungan teknologi informasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran,Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar;
Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262)sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128,Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4199);
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG SAAT PEMBUATAN, BENTUK, UKURAN, PENGADAAN, TATA CARA PENYAMPAIAN, DAN TATA CARA PEMBETULAN FAKTUR PAJAK STANDAR.
Pasal 1
Dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan : 1. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai, atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah. 2. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak
atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. 3. Faktur Pajak Standar adalah Faktur Pajak yang paling sedikit memuat keterangan
tentang : a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak
atau Jasa Kena Pajak; b. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau
Penerima Jasa Kena Pajak; c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan
harga; d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut; e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; f. Kode, Nomor Seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan g. Nama, Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak;
4. Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar untuk semua penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan takwim kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama.
Pasal 2
(1) Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat :
a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
e. pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat : a. pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau
b. pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Pasal 3
(1) Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar disesuaikan dengan kepentingan
Pengusaha Kena Pajak dan dalam hal diperlukan dapat ditambahkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaiman telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
(2) Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuat sebagaimana contoh pada Lampiran 1A dan Lampiran 1B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 4
(1) Pengadaan formulir Faktur Pajak Standar dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. (2) Faktur Pajak Standar paling sedikit dibuat dalam rangkap 2 (dua) yang
peruntukannya masing-masing sebagai berikut : a. Lembar ke-1, disampaikan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima
Jasa Kena Pajak b. Lembar ke-2, untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak
Standar. (3) Dalam hal Faktur Pajak Standar dibuat lebih dari yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), maka harus dinyatakan secara jelas peruntukannya dalam lembar Faktur Pajak Standar yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Keterangan dalam Faktur Pajak Standar harus diisi secara lengkap, jelas dan benar,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, serta ditandatangani oleh pejabat/kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya.
(2) Faktur Pajak Standar yang tidak diisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Faktur Pajak Cacat yaitu Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
(3) Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak.
(4) Tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak Standar sebagaimana diatur dalam Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 6
(1) Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan
menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagaimana ditetapkan pada Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari : a. 2 (dua) digit Kode Transaksi; b. 1 (satu) digit Kode Status; dan
c. 3 (tiga) digit Kode Cabang. (3) Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :
a. 2 (dua) digit Tahun Penerbitan; dan b. 8 (delapan) digit Nomor Urut.
Pasal 7
(1) Penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (2) huruf c adalah sebagai berikut : a. bagi Pengusaha Kena Pajak yang dipusatkan secara jabatan pada Kantor
Pelayanan Pajak yang menerapkan Sistem Administrasi Modern (SAM), namun : a.1. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor
Pusat dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau a.2. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan
sebagaiPenyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor;
Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar ditentukan sendiri secara berurutan, yaitu diisi dengan kode '000' untuk Kantor Pusat dan dimulai dari kode '001' untuk Kantor Cabang; atau
b. bagi Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar diisi dengan kode '000'.
(2) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas Kode Cabang yang digunakan beserta keterangan dari Kode Cabang tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat melakukan penambahan dan/atau pengurangan terhadap Kantor-kantor Cabang-nya.
(4) Atas penambahan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus melakukan penambahan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar.
(5) Atas pengurangan Kantor Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus menghentikan penggunaan Kode Cabang Faktur Pajak Standar atas Kantor Cabang tersebut.
(6) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperbolehkan mengubah peruntukan Kode Cabang yang telah digunakan atau menggunakan Kode Cabang yang sudah dihentikan penggunaannya.
(7) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas penambahan dan/atau penghentian penggunaan Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat pemusatan pajak terutang dilakukan paling lambat sebelum Faktur Pajak Standar diterbitkan dan/atau 1 (satu) bulan sesudah pengurangan Kantor Cabang, dengan menggunakan Formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IVB Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(8) Dalam hal : a. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, tidak atau
terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (7), maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
b. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan menggunakan Kode Cabang selain dari Kode Cabang yang telah ditetapkan, maka Faktur Pajak Standar tersebut merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 8
(1) Nomor Urut pada Nomor Seri Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (3) huruf b dan tanggal Faktur Pajak Standar harus dibuat secara berurutan, tanpa perlu dibedakan antara Kode Transaksi, Kode Status Faktur Pajak Standar dan mata uang yang digunakan.
(2) Penerbitan Faktur Pajak Standar dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) pada setiap awal tahun takwim mulai bulan Januari, kecuali bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan, Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan.
(3) Dalam hal Faktur Pajak Standar diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, maka Nomor Urut 1 (satu) dimulai pada setiap awal tahun takwim bulan Januari pada masing-masing Kantor Pusat dan Kantor-kantor Cabangnya kecuali bagi Kantor Cabang yang baru dikukuhkan, Nomor Urut 1 (satu) dimulai sejak Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan.
(4) Dalam hal sebelum bulan Januari awal tahun takwim berikutnya, Nomor Urut pada Faktur Pajak Standar yang digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak telah mencapai Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan), maka Pengusaha Kena Pajak harus menerbitkan Faktur Pajak Standar yang Nomor Urut-nya dimulai lagi dari Nomor Urut 1 (satu).
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku pula bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a yang Nomor Urut pada Faktur Pajak Standar-nya di Kantor Pusat atau di Kantor-Kantor Cabangnya telah mencapai Nomor Urut 99999999 (sembilan puluh sembilan juta sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan).
(6) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang dilakukan, paling lambat pada saat Faktur Pajak Standar dengan Nomor urut 1 (satu) tersebut diterbitkan, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan DirekturJenderal Pajak ini.
(7) Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus menerbitkan Faktur Pajak Standar dengan Nomor Urut dimulai dari Nomor Urut 1 (satu) pada awal tahun takwim berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
(8) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak pada awal tahun takwim bulan Januari atau bagi Pengusaha Kena Pajak yang baru dikukuhkan pada Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak tersebut dikukuhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menerbitkan Faktur Pajak Standar tidak dimulai dari Nomor Urut 1 (satu), maka Faktur Pajak yang diterbitkan merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
(9) Ketentuan pada ayat (8) berlaku pula bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(10) Dalam hal sebelum Masa Pajak Januari tahun berikutnya Pengusaha Kena Pajak menerbitkan Faktur Pajak Standar mulai dari Nomor Urut 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), namun Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang
dilakukan, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan Masa Pajak Desember atau sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 9
(1) Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama
pejabat yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pejabat yang berhak menandatangani mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Pengusaha Kena Pajak dapat menunjuk lebih dari 1 (satu) orang Pejabat untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki struktur organisasi, memberikan kuasa kepada pihak lain untuk menandatangani Faktur Pajak Standar, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis nama kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pihak yang diberi kuasa mulai menandatangani Faktur Pajak Standar, dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIA Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dan menyertakan Surat Kuasa Khusus dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Dalam hal terjadi perubahan pejabat atau kuasa yang berhak menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), maka Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atas perubahan tersebut kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak paling lambat pada saat pejabat atau kuasa pengganti mulai menandatangani Faktur Pajak Standar dengan menggunakan formulir sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIB Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(5) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang, maka pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pula pejabat di tempat-tempat kegiatan usaha yang dipusatkan, yang ditunjuk oleh Kantor Pusat untuk menandatangani Faktur Pajak Standar yang diterbitkan oleh tempat pemusatan pajak terutang yang dicetak di tempat-tempat kegiatan usaha masing-masing.
(6) Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan atau tempat pemusatan pajak terutang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3) dan ayat (4), maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 10
Faktur Penjualan yang memuat keterangan sesuai dengan keterangan dalam Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, dan pengisiannya sesuai dengan tata cara pengisian keterangan pada Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), dipersamakan dengan Faktur Pajak Standar.
Pasal 11 (1) Atas Faktur Pajak Standar yang cacat, rusak salah dalam pengisian, atau salah
dalam penulisan, sehingga tidak memuat keterangan yang lengkap, jelas dan benar, Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar tersebut dapat
menerbitkan Faktur Pajak Standar Pengganti yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf A Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Atas Faktur Pajak Standar yang hilang, baik Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan maupun pihak yang menerima Faktur Pajak Standar tersebut dapat membuat copy dari arsip Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf B Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(3) Dalam hal terdapat pembatalan transaksi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya telah diterbitkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembatalan Faktur Pajak Standar yang tata caranya diatur dalam Lampiran VIII huruf C Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Pasal 12
(1) Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) atau pembatalan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3), hanya dapat dilakukan paling lambat 2 (dua) tahun sejak Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut diterbitkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, belum dilakukan pemeriksaan dan atas Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Standar tersebut belum dibebankan sebagai biaya.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti dan/atau pembatalan Faktur Pajak Standar harus melakukan pembetulan terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan.
(3) Pembeli Barang Kena Pajak dan/atau Penerima Jasa Kena Pajak yang telah melakukan pengkreditan Pajak Masukan atas Pajak Pertambahan Nilai pada Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual, harus melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan, sepanjang terhadap Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak Standar yang diganti atau dibatalkan tersebut dilaporkan belum dilakukan pemeriksaan.
Pasal 13
(1) Faktur Pajak Standar yang diterbitkan setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan
sejak saat Faktur Pajak Standar seharusnya dibuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, adalah bukan merupakan Faktur Pajak Standar.
(2) Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak Standar.
Pasal 14
(1) Pengusaha Kena Pajak dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dalam hal : a. menerbitkkan Faktur Pajak Standar yang tidak memuat keterangan dan/atau
tidak mengisi secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh Pejabat atau Kuasa yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatangani Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
b. Menerbitkan Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
(2) Pengusaha Kena Pajak yang menerima Faktur Pajak Standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya.
Pasal 15
(1) Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan
sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, namun Faktur Pajak Standar-nya belum diterbitkan, maka Faktur Pajak Standar harus diterbitkan dengan menggunakan Kode dan Nomor Seri sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(2) Atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajak Standar-nya diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang masih menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak yang lama, namun Faktur Pajak Standar-nya diterima dan/atau dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak Pembeli setelah berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum pada Faktur Pajak Standar tetap dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(3) Penerbitan Faktur Pajak Standar Pengganti atas Faktur Pajak Standar yang telah diterbitkan sebelum Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku, menggunakan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak Standar yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
(4) Bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b yang melakukan pemusatan tempat pajak terutang yang keputusan pemusatannya diberikan sebelum Peraturan Direktur Jenderal ini berlaku, namun : a. sistem penerbitan Faktur Pajak Standar-nya belum online antara Kantor Pusat
dan Kantor-kantor Cabang-nya; dan/atau b. Kantor Pusat dan/atau Kantor-kantor Cabang-nya ada yang ditetapkan sebagai
Penyelenggara Kawasan Berikat dan/atau ditetapkan sebagai Pengusaha Di Kawasan Berikat dan/atau berada di Pulau Batam dan/atau mendapat fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; maka pengisian Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar dilakukan sama dengan pengisian Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a, sampai dengan berakhirnya masa berlaku pemusatan sepanjang sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai pemusatan tempat pajak terutang.
(5) Untuk pertama kali sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, Pengusaha Kena Pajak wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis Kode Cabang pada Kode Faktur Pajak Standar yang akan digunakan dan nama pejabat atau kuasa yang ditunjuk untuk menandatangani Faktur Pajak Standar disertai dengan contoh tandatangannya kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (3), paling lambat pada tanggal 20 Januari 2007.
(6) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pengusaha Kena Pajak tidak atau terlambat menyampaikan pemberitahuan penggunaan Kode Cabang dan/atau pejabat atau kuasa yang ditunjuk menandatangani Faktur Pajak Standar kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak, maka Faktur Pajak Standar yang diterbitkan sampai dengan diterimanya pemberitahuan, merupakan Faktur Pajak Cacat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
Pasal 16 (1) Pada saat Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku :
a. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-549/PJ./2000 tentang Saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan, Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan Faktur Pajak Standar sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-59/PJ./2005; dan
b. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-424/PJ./2002 tentang Penerbitan dan Pengkreditan Faktur Pajak yang Dibuat Tidak Tepat Waktu; dinyatakan tidak berlaku.
(2) Ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang Faktur Pajak Standar sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 17
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk penerbitan Faktur Pajak mulai Masa Pajak Januari 2007. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 31 Oktober 2006 DIREKTUR JENDERAL PAJAK, ttd. DARMIN NASUTION NIP 130605098
Lampiran 2 PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 143 TAHUN 2000 TANGGAL 22 DESEMBER 2000
TENTANG
PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG
MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa dengan diundangkannya Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN
PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan :
1. Undang-undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.
2. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
4. Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan atau persediaan barang jadi.
5. Pedagang Eceran adalah Pengusaha yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan usaha perdagangan dengan cara sebagai berikut :
a. menyerahkan Barang Kena Pajak melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko, kios, atau dengan cara penjualan yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, atau dengan cara penjualan yang dilakukan dari rumah ke rumah; dan
b. menyediakan Barang Kena Pajak yang diserahkan di tempat penjualan secara eceran tersebut; dan
c. melakukan transaksi jual beli secara spontan tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak atau lelang dan pada umumnya bersifat tunai, dan pembeli pada umumnya datang ke tempat penjualan tersebut langsung membawa sendiri Barang Kena Pajak yang dibelinya.
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Pasal 2
(1) Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, adalah Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak.
(2) Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang PPN, adalah bentuk kerjasama operasi.
(3) Saat pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000.
BAB III
IMPOR BARANG KENA PAJAK
Pasal 3
Atas impor Barang Kena Pajak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pabean dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, Pajak yang terutang tetap dipungut kecuali ditetapkan lain berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK
Pasal 4
(1) Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang.
(2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK
Pasal 5
(1) Dalam kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, harus disebutkan dengan jelas nilainya, Dasar Pengenaan Pajak, dan besarnya Pajak yang terutang.
(2) Apabila dalam nilai kontrak atau perjanjian tertulis telah termasuk Pajak, maka wajib disebutkan dengan jelas bahwa dalam nilai tersebut telah termasuk Pajak.
(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, maka jumlah harga yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 6
(1) Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
(2) Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, maka cara penghitungan Pajaknya adalah sebagai berikut:
a. Pajak Pertambahan Nilai =
10
----------- X harga atau pembayaran atas penyerahan
110 + t Barang Kena Pajak
b. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah =
t
----------- X harga atau pembayaran atas penyerahan
110 + t Barang Kena Pajak
t = besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Pengusaha Kena Pajak tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban pemungutan Pajak, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, atau Penggantian, atau Nilai Lain sesuai hasil pemeriksaan, sehingga besarnya Pajak yang terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan.
(4) Pengusaha yang seharusnya melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka besarnya Pajak yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 7
(1) Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa, dan tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa.
(2) Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena bencana alam ataupun sebab lain di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut.
(3) Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut dan Pajak yang salah dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak tersebut tidak dapat meminta kembali Pajak yang salah dipungut tersebut.
(4) Pajak yang salah dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya.
(5) Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah importir, pembeli barang, penerima jasa, atau pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud atau jasa dari luar Daerah Pabean.
Pasal 8
(1) Atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Harga Jual.
(2) Atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, serta atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Pasal 9
(1) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung Pajak yang terutang dapat memilih Nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
(2) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, atas penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai.
(3) Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang tidak memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, maka penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 10
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 11
(1) Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak.
(2) Dalam hal pembayaran atau Harga JuaI atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang PPN mempergunakan mata uang asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
BAB VI
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
Pasal 12
(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.
BAB VII
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
Pasal 13
(1) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.
(2) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
(3) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
a. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;
b. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;
c. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau
d. saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui.
(4) Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
(5) Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(6) Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(7) Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat :
a. ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris; atau
b. berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; atau
c. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau
d. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
(8) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat ditandatanganinya akte yang berkenaan oleh Notaris.
Pasal 14
(1) Tempat Pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
(2) Tempat Pajak terutang atas:
a. Impor Barang Kena Pajak, adalah di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan ke dalam Daerah Pabean;
b. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah di tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan dalam hal orang pribadi atau badan tersebut bukan sebagai Wajib Pajak atau di tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak;
c. Kegiatan membangun sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya atau oleh
bukan Pengusaha Kena Pajak, adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
(3) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat Pajak terutang atas ekspor Barang Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.
Pasal 15
(1) Setiap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak.
(2) Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur JenderaI Pajak.
(3) Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-undang PPN, yaitu :
a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
b. Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. Nama, jabatan dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
(4) Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak Standar.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berlaku sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Ketentuan mengenai:
1. Jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; dan
2. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pasal 19
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah nomor 50 TAHUN 1994 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3581), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah nomor 59 TAHUN 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 113) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 22 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
Lampiran 3
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 24 TAHUN 2002 TANGGAL 13 MEI 2002
TENTANG
PERUBAHAN ATAS Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN
Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi Wajib Pajak serta dalam rangka sinkronisasi peraturan perundangan-undangan perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
3. Undang-Undang nomor 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 17 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
4. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 143 TAHUN 2000 TENTANG PELAKSANAAN Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4061), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 1 angka 5 dihapus, sehingga keseluruhan Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Undang-undang PPN adalah Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000.
2. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
3. Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
4. Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan/atau persediaan barang jadi.
5. Dihapus."
2. Ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 4
(1) Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang.
(2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas penyerahan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut.
(3) Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut."
3. Ketentuan Pasal 9 diubah, sehingga menjadi berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 9
(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Netto, besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dapat dihitung dengan menggunakan norma penghitungan pengkreditan Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(2) Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu, dalam menghitung Pajak yang terutang, dapat memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan."
4. Ketentuan Pasal 12 ditambah 1 (satu) ayat, yaitu ayat (3), sehingga keseluruhan Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 12
(1) Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
(2) Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.
(3) Apabila pada saat pemeriksaan diketahui adanya perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang telah dibukukan atau dicatat dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak, namun Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima sehingga belum dapat dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak yang bersangkutan, maka Pajak Masukan yang Faktur Pajaknya belum atau terlambat diterima tersebut dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan."
5. Ketentuan Pasal 13 ayat (8) diubah, sehingga keseluruhan Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 13
(1) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau Pengusaha jasa angkutan.
(2) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada
saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli.
(3) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini:
a. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dinyatakan sebagai piutang oleh Pengusaha Kena Pajak;
b saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud ditagih oleh Pengusaha Kena Pajak;
c. saat harga penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diterima pembayarannya, baik sebagian atau seluruhnya oleh Pengusaha Kena Pajak; atau
d. saat ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal saat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c tidak diketahui.
(4) Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
(5) Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean.
(6) Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean.
(7) Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan/atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat terjadi lebih dahulu diantara saat:
a. ditandatanganinya akte pembubaran oleh Notaris;
b. berakhirnya jangka waktu berdirinya perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar;
c. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perseroan dibubarkan; atau
d. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.
(8) Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat yang disepakati atau ditetapkan sesuai hasil Rapat Umum Pemegang Saham yang tertuang dalam perjanjian perubahan bentuk usaha, penggabungan usaha, pemekaran usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan tersebut."
Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2002.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Mei 2002
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di : Jakarta
Pada tanggal : 13 Mei 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO
Lampiran 4 KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 568/KMK.04/2000 TANGGAL 26 DESEMBER 2000 TENTANG
TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK
BERWUJUD DAN ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3A ayat (3) Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000, perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean; Mengingat : 1. Undang-Undang nomor 6 TAHUN 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3984);
2. Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 18 TAHUN 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
3. Peraturan Pemerintah nomor 143 TAHUN 2000 tentang Pelaksanaan Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 259, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4061);
4. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000;
MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN.
Pasal 1 (1) Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dihitung dengan cara sebagai berikut : a. 10% x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada
pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai; atau
b. 10/110 x jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak apabila dalam jumlah tersebut sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai.
(2) Dalam hal tidak diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis untuk pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau meskipun diketemukan adanya kontrak atau perjanjian tertulis akan tetapi tidak dengan tegas dinyatakan bahwa dalam jumlah kontrak atau perjanjian sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan jumlah yang dibayarkan atau seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
Pasal 2
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dipungut oleh orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, pada saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean tersebut.
Pasal 3 (1) Saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa
Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah saat yang diketahui terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini: a. saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak
tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya; b. saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa
Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c. saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
d. saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya;
(2) Dalam hal saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak diketahui, maka saat dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah tanggal ditandatanganinya kontrak atau perjanjian atau saat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 4 (1) Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
harus disetorkan seluruhnya ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan.
(2) Bagi Pengusaha Kena Pajak, Pajak Pertambahan Nilai yang telah disetor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai pada Masa Pajak yang sama dengan bulan penyetoran.
Pasal 5
(1) Bagi Pengusaha Kena Pajak, Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai laporan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.
(2) Bagi orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) dengan mempergunakan lembar ketiga bukti setoran Pajak ke Kas Negara paling lambat pada tanggal 20 bulan penyetoran ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut.
Pasal 6
Ketentuan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 7 Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 597/KMK.04/1994 tentang Saat Dimulainya Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean, Penghitungan Serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporannya dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 26 Desember 2000 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd PRIJADI PRAPTOSUHARDJO