Laporan laba rugi

Embed Size (px)

Citation preview

STUDI STRUKTUR KOMUNITAS GASTROPODA DI LINGKUNGAN PERAIRAN KAWASAN MANGROVE KELURAHAN LAPPA DAN DESA TONGKE-TONGKE, KABUPATEN SINJAISTUDY ON GASTROPODA COMMUNITY STRUCTURE IN THE MANGROVE AREA WATERS ENVIRONMENT OF LAPPA ADMINISTRATIVE VILLAGE AND TONGKE-TONGKE VILLAGE, SINJAI REGENCY Restu Sirante ABSTRAK

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 12 spesies Gastropoda yang termasuk ke dalam 7 famili. Cerithidea cingulata merupakan jenis yang memiliki kepadatan tertinggi pada ekosistem mangrove. Jenis vegetasi mangrove yang ditemukan selama pengamatan adalah Avicennia alba, Ceriops decandra, Rhizophora mucronata, dan Rhizopora stylosa. Struktur komunitas Gastropoda di ekosistem mangrove yang ditemukan dalam keadaan stabil dengan keanekaragaman spesies dan persebaran jumlah individu setiap jenis yang merata, komunitas yang seragam serta tidak ditemukan adanya spesies yang mendominasi. Hasil analisis regresi berganda memperlihatkan bahwa suhu, salinitas, DO, dan pH tidak memberikan pengaruh yang signifikan (nyata) terhadap kepadatan Gastropoda, sebaliknya kerapatan mangrove memberikan pengaruh yang signifikan.A. PENDAHULUAN

Hutan mangrove merupakan salah satu ekosistem alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. Fungsi ekologis ekosistem mangrove antara lain: pelindung pantai dari serangan angin, arus dan ombak dari laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi biota perairan. Fungsi ekonomis ekosistem mangrove adalah: penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit (Dahuri dkk., 2001). Salah satu kelompok fauna avertebrata yang hidup di ekosistem mangrove adalah Moluska, yang didominasi oleh kelas Gastropoda dan Bivalvia. Gastropoda merupakan salah satu sumberdaya hayati non-ikan yang mempunyai keanekaragaman tinggi. Gastropoda dapat hidup di darat, perairan tawar, sampai perairan bahari. Gastropoda berasosiasi dengan ekosistem mangrove sebagai habitat tempat hidup, berlindung, memijah dan juga sebagai daerah suplai makanan yang menunjang pertumbuhan mereka (Nontji, 2007). Hutan mangrove memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber makanan bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya. Gastropoda pada hutan mangrove berperan penting dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik terutama yang bersifat herbivor dan detrivor. Dengan kata lain Gastropoda berkedudukan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah-cacah daun-daun menjadi bagian-bagian kecil kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil yaitu mikroorganisme (Arief, 2003). Komunitas makrozoobenthos termasuk Gastropoda dapat digunakan juga sebagai indikator pulihnya fungsi vegetasi mangrove, yaitu

dengan mempelajari struktur komunitas Gastropoda yang terdapat dalam berbagai tingkatan vegetasi mangrove. Kondisi habitat vegetasi mangrove yang meliputi komposisi dan kerapatan jenisnya akan menentukan3

karakteristik fisika, kimia dan biologi perairan yang selanjutnya akan menentukan struktur komunitas organisme yang berasosiasi dengan mangrove termasuk komunitas Gastropoda (Arifin, 2002). B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur komunitas Gastropoda di kawasan mangrove di Kelurahan Lappa dan Desa Tongke-tongke? 2. Faktor-faktor lingkungan apakah yang berpengaruh terhadap kepadatan Gastropoda di kawasan mangrove? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1. Untuk mengetahui struktur komunitas Gastropoda di kawasan mangrove di Kelurahan Lappa dan Desa Tongke-tongke. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kepadatan Gastropoda di kawasan mangrove. D. Kegunaan Penelitian Kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan informasi mengenai keberadaan populasi Gastropoda dan keterkaitannya dengan ekosistem mangrove, sehingga informasi ini dapat berkontribusi dalam pengelolaan mangrove di kawasan tersebut. 2. Sebagai bahan informasi dan bahan pembanding untuk penelitian lebih lanjut. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi PenelitianPenelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Mei 2011. Kegiatan penelitian terdiri atas: survei pendahuluan, pengambilan data primer dan sekunder yang dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data. Lokasi penelitian terletak di Kelurahan Lappa dan Desa Tongke-tongke, Kabupaten Sinjai. 4

B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: GPS (Global Posisioning System) untuk menentukan posisi/titik stasiun penelitian; alat tulis menulis untuk pencatatan data; kamera digital untuk mengambil gambar Gastropoda; senter untuk membantu dalam pencahayaan; timbangan digital untuk mengetahui komposisi dan berat subtrat; botol/kantong sampel dan cool box untuk wadah penyimpan sampel; meteran untuk mengukur jarak transek; transek 1 x 1 m untuk pengambilan sampel Gastropoda; refractometer untuk mengukur salinitas; pH-meter untuk mengukur kadar pH air; water quality cheker (WQC) 22 A untuk mengukur suhu perairan, kandungan oksigen terlarut, dan kekeruhan; cawan porselen, oven, tanur, dan desikator untuk mengukur BOT pada sampel sedimen; dan buku identifikasi untuk mengidentifikasi biota. Bahan yang digunakan yaitu alkohol 70% untuk pengawet sampel; aquades untuk mensterilkan alat di laboratorium; sampel air laut sebagai bahan untuk pegukuran salinitas dan pH perairan; sedimen untuk penentuan jenis substrat; dan kertas label untuk informasi sampel. C. Metode Penelitian

Pengambilan sampel Gastropoda dan pengamatan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek garis. Pada setiap stasiun, transek garis ditarik mulai dari arah laut ke darat. Pada setiap transek dibuat plot berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 x 10 m untuk pengamatan vegetasi mangrove. Setiap transek terdiri dari tiga plot berukuran 10 x 10 m dengan jarak antara satu plot dengan plot berikutnya adalah 30 meter. Plot berukuran 1 x 1 m (Pringle, 1984) diletakkan didalam plot 10 x 10 m sebanyak lima buah sub plot, yaitu dua buah sub plot pada ujung/sudut masing-masing plot dan satu buah sub plot pada bagian tengah plot. Pengambilan sampel di setiap stasiun dilakukan sebanyak empat kali, masing-masing dua kali sebulan.5

Sampel yang diperoleh, selanjutnya diawetkan dengan menggunakan alkohol 70%, kemudian disimpan didalam cool box untuk di identifikasi dengan menggunakan buku-buku Dharma (1988 dan 1992), Roberts et al. (1982), Dance (1977 dan 1992), dan Abbott, (1991). Pengambilan sampel Gastropoda di lakukan pada saat surut. Sampel Gastropoda yang berada di atas substrat dan yang menempel pada akar mangrove yang berada di dalam sub plot diambil seluruhnya. HASIL dan PEMBAHASAN A. Komposisi Jenis dan Kepadatan Gastropoda Gastropoda yang hidup di ekosistem mangrove di Kelurahan Lappa dan Desa Tongke-tongke, umumnya hidup pada permukaan substrat dan menempel di akar-akar pohon mangrove. Hal ini sesuai dengan pernyataan Berry (1972 dalam Dewiyanti, 2004) bahwa klasifikasi fauna di dalam ekosistem mangrove berdasarkan habitat adalah epifauna, infauna dan fauna pohon. Berdasarkan hasil pengamatan, ditemukan 12 spesies Gastropoda yang termasuk ke dalam tujuh famili (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Ada sembilan spesies yang selalu ditemukan di kedua stasiun, tiga diantaranya merupakan spesies yang paling banyak ditemukan yaitu C. cingulata, L. scabra, dan N. planospira (Lampiran 3). Hal ini disebabkan karena spesies tersebut hidup menempel pada akar dan berada disekitar akar mangrove yang memiliki substrat lumpur. Selain itu juga spesies tersebut merupakan spesies yang umum ditemukan di ekosistem mangrove. Menurut Wahono (1991), spesies C. cingulata banyak ditemukan di ekosistem mangrove Rhizopora spp. Hal ini disebabkan karena Rhizopora spp dapat menyediakan substrat lumpur, yang merupakan habitat dari C. cingulata. Dimana pada saat kondisi lingkungan kurang baik spesies ini berlindung dengan cara membenamkan diri ke lumpur dan menutup rapat operculumnya.6

Tabel 1. Kepadatan Gastropoda (ind/m 2) yang ditemukan pada ekosistem mangrove di Stasiun I (Kelurahan Lappa) dan Stasiun II (Desa Tongke-tongke), Kabupaten Sinjai No. Spesies Stasiun I Stasiun II 1 Cerithidea cingulata 11,3667 14,2833 2 Chicoreus capucinus 2,2833 2,5167 3 Clithon oulaniensis 0,5833 0,7000 4 Clypeomorus moniliferus 3,8500 4,6000 5 Littorina scabra 4,7833 5,4000 6 Morula margariticola 0,3000 0,6167 7 Nerita planospira 4,5833 4,9333 8 Telescopium telescopium 2,3000 3,0333

9 Terebralia palustris 3,0167 3,6000 10 Terebralia sulcata 2,6833 3,3000 11 Thiara scabra 0,6000 0,5000 12 Vasum ceramicum 0,3833 0,1500 Kepadatan spesies di Stasiun I berkisar 0,0300 11,3667 ind/m2 dan di Stasiun II berkisar antara 0,1500 14,2833 ind/m2. Kepadatan tertinggi ditemukan pada spesies C. cingulata, baik di Stasiun I maupun Stasiun II, sedangkan yang terendah pada spesies M. margariticola di Stasiun I dan V. ceramicum di Stasiun II. Spesies C. cingulata merupakan jenis Gastropoda dari famili Potamididae yang paling mendominasi di lokasi penelitian. Hal ini disebabkan karena kondisi substrat yang ada di lokasi penelitian banyak mengandung lumpur yang sangat cocok untuk kehidupan C. cingulata. Hal ini sesuai pendapat Kusrini (1998) bahwa C. cingulata merupakan penghuni asli ekosistem mangrove dan merajai komunitas tersebut. Sebagian besar dari jenis ini hidup merayap di permukaan lumpur dan merupakan epifauna.7

B. Indeks Keanekaragaman (H), Indeks Keseragaman (J), dan Indeks Dominansi (D) Tabel 4. Nilai indeks keanekaragaman (H), indeks keseragaman (J) dan indeks dominansi (D) pada ekosistem mangrove di Stasiun I (Kelurahan Lappa) dan Stasiun II (Desa Tongke-tongke), Kabupaten Sinjai Stasiun Keanekaragaman (H) Keseragaman (J) Dominansi (D) I 3,0108 0,8399 0,1594 II 2,9661 0,8274 0,1673 a. Indeks Keanekaragaman Hasil perhitungan indeks keanekaragaman di kedua stasiun penelitian berkisar antara 2,9661 3,0108. Nilai indeks keanekaragaman yang tertinggi terdapat di Stasiun I. Secara keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman jenis pada masing-masing stasiun termasuk tinggi karena lebih besar dari dua. Tingginya keanekaragaman yang ditemukan pada kedua stasiun penelitian disebabkan karena kestabilan komunitas dan persebaran jumlah Gastropoda yang ada di stasiun tersebut relatif merata. Hal ini terjadi karena pada kedua stasiun tersebut berada dalam lokasi yang banyak ditumbuhi oleh mangrove, dimana ekosistem ini merupakan tempat atau habitat yang cocok bagi kehidupan Gastropoda. Gastropoda dapat dijumpai mulai dari akar sampai permukaan daun dari vegetasi mangrove. b. Indeks Keseragaman Nilai indeks keseragaman pada kedua stasiun penelitian berkisar antara 0,8399 0,8274 (Tabel 4). Nilai indeks keseragaman tertinggi didapatkan pada Stasiun I. Secara keseluruhan nilai indeks keseragaman yang diperoleh selama penelitian adalah tinggi. Hasil pengukuran indeks keseragaman yang diperoleh pada masing-masing stasiun adalah mendekati satu. Hal ini mengindikasikan bahwa jenis Gastropoda yang ada di lokasi penelitian menunjukkan komunitas yang seragam yang berarti persebaran jumlah individu merata8

atau tidak didominasi oleh genus tertentu. Menurut Odum (1998), apabila indeks keseragaman mendekati satu, maka organisme pada komunitas tersebut menunjukkan keseragaman, sebaliknya bila indeks keseragaman mendekati nol, maka organisme pada komunitas tersebut tidak seragam.

c. Indeks Dominansi Hasil perhitungan indeks dominansi pada kedua stasiun penelitian berkisar antara 0,1594 0,1673 (Tabel 4). Nilai indeks dominansi yang tertinggi ditemukan pada Stasiun II. Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa indeks dominansi di stasiun pengamatan sangat rendah (mendekati nol) yang berarti komunitas Gastropoda di Kelurahan Lappa dan Desa Tongke-tongke tidak sedang mengalami tekanan ekologis yang sangat berat. Hal ini menunjukkan struktur komunitas Gastropoda di kawasan mangrove di Kelurahan Lappa dan Desa Tongketongke dalam keadaan stabil, kondisi lingkungan cukup prima, dan tidak terjadi tekanan ekologis terhadap biota Gastropoda di habitat tersebut. C. Kerapatan Tegakan Mangrove Hutan mangrove merupakan tipe ekosistem pesisir yang tingkat kesuburannya lebih tinggi dibandingkan estuari dan memegang penting dalam mendukung kelangsungan hidup berbagai biota laut. Jenis vegetasi mangrove yang ditemukan selama pengamatan di Stasiun I yaitu jenis Avicennia alba, Ceriops decandra, Rhizophora mucronata, dan Rhizopora stylosa. Sementara di Stasiun II hanya terdapat jenis R. mucronata. Hasil perhitungan kerapatan mangrove di Stasiun I selama pengamatan diperoleh jenis A. alba berkisar antara 0,03 0,05 ind/m2, C. decandra berkisar antara 0,02 0,04 ind/m2, R. mucronata berkisar antara 0,24 0,32 ind/m2 dan R. stylosa berkisar antara 0,11 0,15 ind/m2. Sementara di Stasiun II diperoleh kerapatan mangrove jenis R. mucronata berkisar antara 0,55 0,74 ind/m2.9

D. Faktor Fisika-Kimia Perairan Hasil pengukuran dan analisis parameter fisika-kimia air pada masing-masing lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Parameter fisika kimia perairan pada ekosistem mangrove di Stasiun I (Kelurahan Lappa) dan Stasiun II (Desa Tongketongke), Kabupaten Sinjai No. Parameter Stasiun I Stasiun II Fisika/Kimia 1 Substrat Lumpur Lumpur 2 Suhu (C) 27,75 27,00 3 Salinitas (ppm) 27,17 27,25 4 DO (mg/l) 5,17 5,21 5 pH 7,76 7,58 6 BOT (%) 15,74 17,81 Jenis sedimen yang terdapat di Stasiun I dan Stasiun II yaitu lumpur. Secara umum jenis sedimen sangat mempengaruhi kehidupan Gastropoda. Kartawinata dkk., (1997) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan jenis Moluska dipengaruhi oleh diameter rata-rata butiran sedimen. Jenis-jenis Gastropoda dapat tumbuh dan berkembang pada sedimen halus, karena memiliki fisiologi khusus untuk dapat beradaptasi pada lingkungan perairan yang memiliki tipe substrat berlumpur. Hasil pengukuran pada semua stasiun pengamatan menunjukkan bahwa nilai suhu berkisar antara 27,0 - 27,50C (Tabel 5). Nilai rata-rata suhu terendah diperoleh pada Stasiun II dan tertinggi diperoleh pada Stasiun I. Nilai salinitas setiap stasiun pengamatan berkisar antara 27,17 27, 25 ppm (Tabel 5). Nilai rata-rata salinitas tertinggi didapatkan pada Stasiun II (27,25 ppm) dan nilai terendah didapatkan di Stasiun I (27,17 ppm).

Kisaran salinitas antar stasiun tidak memiliki perbedaan yang besar. Nilai yang terukur pada setiap stasiun pengamatan selama penelitian berkisar antara 5,17 5,21 mg/l (Tabel 5). Nilai rata-rata DO tertinggi didapatkan pada Stasiun II (5,21 mg/l) dan nilai terendah10

didapatkan di Stasiun I (5,17 mg/l). Kisaran nilai DO yang diperoleh di masing-masing stasiun selama penelitian merupakan kisaran DO yang sangat baik untuk mendukung kehidupan organisme di laut. Nilai pH yang terukur pada setiap stasiun pengamatan selama penelitian berkisar antara 7,58 7,76 (Tabel 5). Nilai rata-rata pH tertinggi didapatkan pada Stasiun I (7,76) dan terendah di Stasiun II (7,58). Nilai pH tertinggi pada Stasiun I, hal ini disebabkan letaknya yang di pinggir pantai sehingga banyak dipengaruhi oleh air laut dan jauh dari pengaruh aliran sungai. Hasil pengukuran BOT sedimen pada lokasi penelitian berkisar antara 15,74 17,81% (Tabel 5). Nilai BOT tertinggi diperoleh pada Stasiun II dan terendah pada Stasiun I. Menurut Baslim (2001) bahwa kandungan BOT di dalam sedimen diatas 15% tergolong subur. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa kisaran nilai BOT yang diperoleh di masing-masing stasiun selama penelitian merupakan kisaran BOT yang sangat baik untuk mendukung kehidupan Gastropoda. E. Hubungan Antara Kepadatan Gastropoda dan Faktor Lingkungan Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh model persamaan regresi untuk Stasiun I (Kelurahan Lappa) yaitu: Y = 170,353 + 1,338 X1 + 0,668 X2 + 1,040 X3 + 14,071 X4 + 81,047 X5 (R = 0,896). Model persamaan regresi untuk stasiun II (Desa Tongke-tongke) yaitu: Y = 11,697 + 3,736 X1 + 4,676 X2 + 0,911 X3 + 2,497 X4 + 28,150 X5 (R = 0,837). Bila dilihat dari nilai signifikan untuk variabel suhu (X1), salinitas (X2), DO (X3), dan pH (X4) untuk kedua stasiun diperoleh nilai signifikan untuk setiap variabel tersebut lebih besar dari nilai (0,05. Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh tidak berbeda nyata yang berarti bahwa suhu, salinitas, DO, dan pH, tidak memberikan pengaruh yang signifikan (nyata) terhadap kepadatan Gastropoda. Sebaliknya nilai signifikan untuk variabel kerapatan mangrove (X5) untuk kedua stasiun diperoleh nilai signifikan yaitu variabel tersebut lebih kecil dari nilai 11

(0,05). Hal ini menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh berbeda nyata yang berarti bahwa kerapatan mangrove memberikan pengaruh yang signifikan (nyata) terhadap kepadatan Gastropoda. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu: 1. Spesies Cerithidea cingulata merupakan jenis Gastropoda yang memiliki kepadatan tertinggi pada ekosistem mangrove yang ada di Stasiun I (Kelurahan Lappa) dan Stasiun II (Desa Tongke-tongke), Kab. Sinjai. 2. Berdasarkan nilai indeks ekologi, yaitu indeks keanekaragaman (H), Keseragaman (J), dan dominansi (D) menunjukkan bahwa struktur komunitas Gastropoda di ekosistem mangrove yang ada di Kelurahan Lappa dan Desa Tongke-tongke dalam keadaan stabil dengan keanekaragaman spesies dan persebaran jumlah individu setiap jenis yang merata, komunitas yang seragam serta tidak ditemukan adanya

spesies yang mendominasi. 3. Hasil analisis regresi berganda memperlihatkan bahwa keterkaitan antara suhu, salinitas, DO, dan pH tidak berbeda nyata, yang berarti tidak memberikan pengaruh yang signifikan (nyata) terhadap kepadatan Gastropoda. Hasil analisis lebih lanjut memperlihatkan bahwa keterkaitan antara kepadatan Gastropoda dan kerapatan mangrove berbeda nyata, yang berarti memberikan pengaruh yang signifikan (nyata) terhadap kepadatan Gastropoda. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka ada beberapa saran yang diajukan antara lain : Pada penelitian ini dilakukan pada lokasi dengan kondisi komunitas mangrove didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Untuk selanjutnya disarankan untuk memilih lokasi yang memiliki komunitas mangrove yang didominasi oleh jenis mangrove lainnya, dengan demikian diharapkan akan diketahui keterkaitan lebih jauh antara12

Gastropoda dengan struktur mangrove yang berbeda.DAFTAR PUSTAKA

Abbott, R. T. 1991. Seashells of Southeast Asia. Tynron Press, Scotland. Arief, A. M. P. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Arifin. 2002. Struktur Komunitas Pasca Larva Udang Hubungannya dengan Karakteristik Habitat pada Ekosistem Mangrove dan Estuaria Teluk Cempi NTB. Tesis. Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Baslim. 2001 Hubungan Beberapa Parameter Oseanografi dengan Kelimpahan Makrozoobentos di Perairan Muara Sungai Tallo Kecamatan Ujung Tanah. Skripsi. Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan. Universitas Hasnuddin. Makassar. Dahuri, R., J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Dance, S. P. 1977. The Encyclopedia of Shells. Blandford Press, Poole, Dorset. 288 p. Dance, S. P. 1992. Eyewitness Handbooks of Shells. Dobling Kindersley, London. 256 p Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta Dewiyanti. 2004. Struktur Komunitas Moluska (Gastropoda dan Bivalvia) serta Asosiasinya pada Ekosistem Mangrove Di Kawasan Pantai Ulee-Lheue, Banda Aceh, NAD. Skripsi. Program Studi Ilmu Kelautan. FPIK - IPB. Bogor Kartawinata K, Adisoemarno S, Soedihardjo S, Tantar IGM. 1997. Status pengetahuan hutan bakau di indonesia. Di dalam: Soemodihardjo S (eds). Prosiding Seminar Ekosistem Kusrini, D. M. 1998. Komposisi dan Struktur Komunitas Keong Potamididae di Hutan Mangrove Teluk Hurun Kecamatan Padang Cermin, nupaten Lampung Selatan. Skripsi. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Mangrove; Jakarta. Hlm 1 2 Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Djambatan, Jakarta. Odum, E, P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Gadjah Mada. University Press, Washington D.C.

Pringle, J. D. 1984. Efficiency estimates for various quadrat sizes used in benthic sampling. Can. J. Fish. Aquat. Sci. 41:1485-1489 Roberts, D., S. Soemodihardjo, dan W. Kastoro. 1982. Shallow Water Marine Molluscs of North-West Java. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Wahono, M. 1991. Aktivitas Harian Dua Jenis Keong Potamididae di Hutan Mangrove Teluk Hurun, Lampung Selatan. Tesis. Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor.

PENDAHULUANPantai Losari merupakan pantai yang indah dan menjadi landmark Makassar. Beragam aktivitas dari berbagai kalangan masyarakat dapat ditemukan. Pantai Losari menjadi sebuah etalase ruang publik yang utama dan paling sering dikunjungi, terlebih jika dikaitan dengan kepariwisataan. Dari berbagai aktivitas tersebut diduga memberi dampak terhadap kondisi lingkungan pantai Losari. Indikasi pencemaran dan perubahan morfologi pantai merupakan ancaman yang potensial di pantai tersebut. Pencemaran yang paling mudah terlihat, yaitu sampah yang berserakan. Sampah-sampah plastik atau kertas dan bekas makanan bisa ditemukan di banyak titik. Limbah industri dan rumah tangga serta aktivitas di pelabuhan Soekarno-Hatta juga menjadi sumber polutan di sekitar pantai Losari dan perairan Pulau Lae-Lae. Meskipun belum ada data kuantitatif yang menunjukkan tingkat pencemaran perairan di sekitar pantai Losari dan sekitarnya, tetapi berdasarkan pengamatan visual banyak dijumpai genangan minyak dan limbah. Hal ini ditunjukkan oleh data tentang kondisi perairan di pantai Losari yang sudah masuk dalam kategori tercemar (Lifu, 2001). Di samping pencemaran, perubahan morfologi pantai yang tak terkendali juga terjadi di perairan Pantai Losari. Perubahan ini dapat dilihat dengan adanya pendangkalan laut di sepanjang Pantai Losari sampai pelabuhan Makassar yang disebabkan adanya proses sedimentasi. Ditambah lagi longsoran Gunung Bawakaraeng pada awal tahun 2004 ke muara Sungai Jeneberang menyebabkan terbentuknya delta di beberapa titik. Menilik kecendrungan pencemaran dan perubahan morfologi pantai ini maka perlu kajian kualitas fisika-kimia maupun biologi perairan. Pengkajian kualitas biologi berperan penting karena fungsi akumulasinya yang dapat mengantisipasi perubahan lingkungan. Komponen biologi yang dijadikan dasar kajian yaitu3

makrozoobentos dengan melihat struktur komunitasnya. Penelitian ini juga menjadi penting sehubungan dengan adanya proyek revitalisasi pantai Losari. Hasil kajian ini tentunya dapat dijadikan pedoman untuk melihat dampak kegiatan tersebut di masa yang akan datang. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakter komunitas makrozoobentos. Secara spesisifik, fenomena yang ingin diungkapkan, yaitu: 1) mengetahui komposisi dan sebaran makrozoobentos; 2) mengetahui tingkat

produktivitas biologi perairan; dan 3) menilai kondisi atau tingkat pencemaran perairan dengan menggunakan makrozoobentos sebagai indikator.

BAHAN DAN METODETempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di perairan Pantai Losari, Makassar dan sekitarnya, yang dilaksanakan dari bulan Maret sampai dengan Oktober 2006. Identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Prosedur Penelitian Penentuan stasiun di lokasi penelitian didasarkan atas keterwakilan spasial. Jumlah stasiun ditetapkan sebanyak 3, yaitu: 1) Stasiun I, daerah Tanjung Merdeka. Terdapat kompleks perumahan, daerah wisata, dan tempat pelelangan ikan Rajawali. Lokasi ini juga terpengaruh oleh sedimentasi dari Sungai Jeneberang; 2) Stasiun II, Pantai Losari. Terdapat outlet buangan limbah perkotaan dan beberapa hotel berbintang; dan 3) Stasiun III, daerah pelabuhan kargo dan penumpang (Pelabuhan Sukarno- Hatta Makassar). Titik sampling ditentukan sebanyak 20 titik dari peta. Titik ditarik dari garis pantai menuju laut, masing-masing 6 titik sampling di Stasiun II dan III serta 8 titik di Stasiun I (Gambar 1).4

Gambar 1. Posisi stasiun dan letak titik-titik sampling di sekitar pantai Losari Makassar. Pengambilan sampel makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan Grab sampler dengan luas ( 19,5 x 15,5 ) cm2 di 20 titik sampling pada tiga stasiun. Sampel yang telah diambil kemudian disaring dengan sieve net dan organisme makrozoobentos yang tersaring diambil dan kemudian dimasukkan dalam kantong sampel. Identifikasi makrozoobentos dilakukan dengan dengan bantuan makroskop (pembesaran 20 kali) dan penentuan jenis dilakukan dengan bantuan buku identifikasi makrozoobentos di laboratorium Ekologi Laut, Jurusan Ilmu Kelautan UNHAS. Sampel makrozoobentos juga di oven dan ditimbang untuk mendapatkan biomas kering dari setiap spesies yang ditemukan. Bagi hewan yang bercangkang (moluska) maka yang ditimbang hanya berat jaringannya. Organisme tersebut terlebih dahulu di rendam dalam larutan HCl 10% untuk melarutkan cangkangnya (kapur) selama kurang lebih 4-6 jam. Buku identifikasi jenis makrozoobentos yang digunakan berdasarkan petunjuk Dharma (1977; 1992), Fauchal (1977), Higgins dan Thiel (1988), dan Morton (1990).5

Analisis Data Komposisi Jenis dan Kelimpahan Makrozoobentos yang didapatkan dikelompokkan manurut jenis dan titik sampling dan dihitung kelimpahannya. Kelimpahan makrozoobentos dihitung dengan menggunakan formula Azis (1998): b Y = 10000xa Dengan: Y = jumlah individu (ind/m2); a = jumlah makrozobentos yang tersaring (ind); b = Luas bukaan grab sampler (cm2); dan 10000 = nilai konversi dari cm2 ke m2 . Menghitung kelimpahan relatif makrozoobentos dengan menggunakan formula Brower et al (1989): x100 N KR = ni dengan : KR = Kelimpahan relatif (%); ni = Jumlah individu setiap spesies (ind); dan N = Jumlah seluruh individu (ind). Jumlah jenis dan kelimpahan makrozoobentos juga dikelompokkan menurut

stasiun dan periode sampling yang kemudian disajikan dalam bentuk grafik. Khusus untuk kelimpahan dianalisis lebih lanjut dengan uji-t student untuk menilai perbedaan baik antara stasiun maupun antara periode sampling. Tingkat Produktivitas Biologi dan Kondisi Perairan Penilaian produktivitas biologi perairan digunakan Grafik Suksesi Ekosistem (Frontier, 1985). Grafik Suksesi disajikan untuk setiap stasiun menurut periode sampling dengan nilai log kelimpahan relatif sebagai sumbu Y dan log ranking spesies (dari terbesar ke terendah) sebagai sumbu x. Pola-pola grafik yang terbentuk dijadikan dasar untuk penilaian produktivitas biologi perairan (Gambar 2). Penilaian pola-pola tersebut selain dibandingkan antara stasiun juga antara periode sampling. Grafik baku terdiri dari 3 stadiun dengan karakteristik masing-masing stasium sebagai berikut: a) Stadium I: produktivitas biologi rendah, kondisi labil, kompetisi antara jenis tinggi, keanekaragaman rendah dan SR minimum; b)6

Stadium II: produktivitas biologi tinggi, kondisi stabil, kompetisi antara jenis rendah, keanekaragaman tinggi dan SR maksimal; dan c) Stadium III: produktivitas biologi menurun, kondisi masih baik, kompetisi antara jenis rendah, keanekaragaman menurun dan SR sedang. Gambar 2. Model grafik suksesi ekosistem Frontier (Frontier, 1985). Kondisi perairan antara stasiun dan periode sampling dilakukan berdasarkan metode Abundance Biomass Comparison (Metode ABC) dengan menggunakan kurva k-dominan (Warwick, 1986; Warwick et al, 1987).

HASIL DAN PEMBAHASANKomposisi dan Sebaran Makrozoobentos Selama penelitian ditemukan 23 jenis makrozoobentos yang berasal dari 17 famili, 13 ordo, 9 klas dan 7 filum. Adapun klasifikasi dari setiap jenis disajikan pada Tabel 2. Komposisi jenis makrozoobentos yang tercatat selama penelitian maupun menurut periode sampling didominasi oleh klas gastropoda dan bivalvia (filum moluska) yaitu masing-masing 39% dan 33%. Komposisi terkecil ditempati oleh 6 klas lainnya (Scaphopoda, branchiopoda, ophiuradea, anopla, polychaeta dan granuloreticulosea) masing-masing 4 % (Gambar 3).7

Gambar 3. Komposisi makrozoobentos menurut jumlah jenis. Dominannya kedua klas tersebut selain karena jumlah jenisnya yang banyak juga karena adaptasinya yang tinggi terutama terhadap suhu yang tinggi dan kekeringan, serta ditemukan pada semua jenis substrat dengan relung makanan yang luas (Ruppert & Barnes, 1994). Kulit yang keras (cangkang berupa kapur) berfungsi sebagai pembatas dalam beradaptasi terhadap kekeringan (suhu tinggi) dengan cara menutup cangkangnya (bivalvia) atau dengan operkulum (gastropoda). Daya adaptasi yang tinggi terhadap faktor fisik (substrat, suhu dan salinitas) menyebabkan kedua klas tersebut memiliki sebaran yang luas, bahkan pada lingkungan yang ekstrem seperti di estuaria mereka sangat dominan (Tomascik et al., 1997). Sebaran jenis makrozoobentos menurut stasiun secara umum disajikan pada Tabel 2. Dari tabel tersebut terlihat bawah klas gastropoda dan bivalvia masingmasing memiliki 8 dan 7 jenis. Dari semua stasiun, terlihat bahwa Stasiun I memiliki jumlah jenis terbanyak, sedangkan Stasiun II dan III masing-masing hanya 9 dan hanya 6 jenis. Fenomena kekayaan jenis ini menunjukkan bahwa Stasiun I memiliki kondisi ekologinya yang lebih baik sehingga juga mampu mendukung kehidupan makrozoobentos yang lebih baik dibandingkan dengan 2 stasiun lainnya. Faktor utama yang mendukung kondisi tersebut antara lain, perairannya yang relatif dangkal (kedalaman titik sampling 1-6 berkisar antara 1-4 meter) dan yang lebih8

utama yaitu adanya ekosistem mangrove yang dapat memberikan habitat dan sumber

energi bagi biota laut melalui bahan organik atau detritus. Sedikitnya jumlah jenis di Stasiun II dan III, diduga selain karena faktor kedalaman yang relatif tinggi (2-20 meter) juga karena kondisi substrat yang relatif tidak stabil dan banyaknya outlet buangan limbah kota yang masuk di kedua lokasi. Aktivitas kapal yang keluar masuk di pelabuhan Sukarno-Hatta (Stasiun I) dan aktivitas kapal motor rakyat di Stasiun II (Dermaga Kayu Bangkoa: sebagai pusat penyeberangan dari Makassar ke pulau-pulau terdekat) menyebabkan seringnya substrat dasar perairan teraduk (substrat dasar perairan tidak stabil). Kondisi substrat seperti ini, tidak disenangi oleh hewan bentos kecuali bentos yang dapat beradaptasi dengan cara bergerak cepat ke permukaan dasar perairan setelah tertimbun atau teraduk. Sebagai contoh, misalnya berbagai jenis cacing, protozoa dan gastropoda yang berukuran kecil. Beberapa jenis yang memilki sebaran yang luas yaitu Bittium sp., Dentalium sp.,Acanthocardia sp., Lineus sp. dan Elphidhium sp. Ke-4 spesies tersebut dapat dikatakan memiliki daya adaptasi yang tinggi karena ditemukan pada berbagai kondisi lingkungan. Dari ke-23 jenis makrozoobentos yang ditemukan, ada dua jenis yang selama ini dimanfaatkan untuk dimakan atau dijual. Ke-2 jenis tersebut termasuk kerangkerangan (bivalvia) yaitu Arctica sp dan Mytilus edulis sp yang hanya ditemukan di Stasiun I pada daerah sekitar mangrove. Selain itu dalam penelitian ini juga ditemukan jenis cacing sipunculid yang berukuran besar dengan warna merah cerah (Phascolopsis sp.) Kelimpahan rata-rata makrozoobentos antara periode sampling dan antara stasiun disajikan pada Gambar 4 dan 5. Dari gambar tersebut terlihat bahwa Stasiun I memiliki kelimpahan yang relatif lebih tinggi dari stasiun lainnya (187 1288 ind/m2). Berdasarkan hasil uji t-student antara periode sampling didapatkan bahwa kelimpahan antara periode sampling pada setiap stasiun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali di Stasiun I antara Periode 1 dan 2 (p