22
LAPORAN Pro Kontra Pernikahan Dini di Masyarakat Laporan ini ditujukan sebagai salah satu syarat mata kuliah KU-4281 Kontroversi Isu Sosial Oleh : 13508005 RYAN RHEINADI 17209031 ANDHIEZA TSALASHRA 10208079 KISAH PRABAWATI SUMANTA 10209074 RENADI PERMANA K. FAZIL ICHWANUDIN PROGRAM STUDI FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

LAPORAN KIS_Prokontra Pernikahan Dini Di Kalangan Masyarakat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pro-kontra Pernikahan Dini Di Kalangan Masyarakat

Citation preview

  • LAPORAN

    Pro Kontra Pernikahan Dini di Masyarakat

    Laporan ini ditujukan sebagai salah satu syarat mata kuliah

    KU-4281 Kontroversi Isu Sosial

    Oleh :

    13508005 RYAN RHEINADI

    17209031 ANDHIEZA TSALASHRA

    10208079 KISAH PRABAWATI SUMANTA

    10209074 RENADI PERMANA K.

    FAZIL ICHWANUDIN

    PROGRAM STUDI

    FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN

  • KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat

    serta karunia-Nya kepada kami untuk menyelesaikan laporan Kontroversi Isu Sosial yang

    berjudul, Pro-Kontra Pernikahan Dini di Masyarakat ini tepat pada waktunya.

    Laporan mata kuliah Kontroversi Isu Sosial yang berjudul, Pro Kontra Pernikahan Dini di

    Masyarakat ini terkait dengan kontroversi pendapat masyarakat mengenai pernikahan dini

    yang terjadi di bawah usia 21 tahun. Pembuatan laporan ini menggunakan metoda kualitatif,

    yakni dengan pengumpulan data di lapangan langsung melalui wawancara ke berbagai

    narasumber yang melakukan pernikahan dini di bawah usia 21 tahun serta golongan

    masyarakat. Laporan yang kami buat masih jauh dari sempurna, maka kami menerima saran

    dan kritik, dan mohon maaf apabila masih ada kekurangan.

    Kami berharap dengan laporan Kontroversi Isu Sosial yang berjudul, Pro Kontra Pernikahan

    Dini di Masyarakat dapat mendatangkan manfaat ke berbagai pihak, terutama masyarakat

    secara umum. Kami ucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami

    dalam pembuatan laporan ini, baik dari segi transportasi hingga informasi terkait judul ini.

    Bandung, 26April 2013

    Penyusun

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    1.1.1 Perbedaan Pendapat Mengenai Pernikahan Dini di Kalangan Masyarakat

    Pernikahan dini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat hingga saat ini.

    Pada jaman dahulu, pernikahan dini masih menjadi isu normal di kalangan

    masyarakat di sebagian besar negara, hal ini dapat dilihat dari sejarah yang mencatat

    bahwa perempuan cenderung di-nikah-kan oleh laki-laki pilihan orang-tua.

    Perempuan yang tidak menikah di usia tertentu, yakni usia yang masih sangat muda,

    di-cap akan menjadi perawan tua, dan membuat aib keluarga apabila tidak dinikahkan.

    Namun, di era modern sekarang, masyarakat menilai pernikahan dini sebagai suatu

    hal yang tidak baik dalam berbagai kalangan. Masyarakat menilai serta beranggapan

    bahwa pernikahan dini merupakan suatu hal yang tabu dan ketinggalan jaman.

    Masyarakat cenderung berfikir negatif terhadap pernikahan dini di era modern ini,

    karena kemungkinan besar pasangan yang melakukan pernikahan dini di usia masih

    sangat muda akibat hal-hal yang tidak diinginkan.

    Adanya kontra memicu pihak pro yang setuju dengan pernikahan dini, karena

    menganggap pernikahan dini sebagai keputusan yang baik dilihat dari berbagai aspek.

    Beberapa kalangan masyarakat yang setuju dengan pernikahan dini umumnya masih

    memegang tradisi lama dengan menikahkan anaknya atau yang melakukan pernikahan

    di usia dini.

    1.1.2 Banyak Terjadi Pernikahan Dini di Bawah Usia 21 Tahun

    Di era modern ini, mulai muncul pasangan-pasangan yang menikah di usia dini, yakni

    di bawah usia 21 tahun. Organisasi Indonesia yang mengurusi kemanusiaan fokus

    pada perlindungan dan pemberdayaan anak, menyampaikan hasil temuan mengenai

    pernikahan dini. Hasil yang ditemukan adalah bahwa 33,5% anak usia 13-18 tahun

    telah menikah, dan rata-rata anak yang melakukan pernikahan terjadi pada usia 15-16

    tahun. Penelitian ini dilakukan di 8 kabupaten di seluruh Indonesia, selama periode

    Januari hingga April 2011. Wilayah penelitian mencakup Kabupaten Indramayu (jawa

    Barat); Grobogan dan Rembang (Jawa Tengah); Tabanan (Bali); Dompu (NTB);

    Timor Tengah-Selatan serta Lembata (NTT).[2]

  • Pasangan yang melakukan pernikahan dini seringkali mendapat tanggapan kurang

    baik dari masyarakat sekitar karena keputusan mereka yang menikah di usia dini.

    Penyebab terjadinya pernikahan dini pun bermacam-macam, sehingga hal ini menarik

    untuk kami kaji lebih dalam. Dalam laporan ini, kami akan mengupas alasan pasangan

    untuk menikah di usia dini, dan ingin menunjukkan bahwa alasan pasangan yang

    menikah di usia dini tidak hanya akibat alasan tidak baik, namun ada juga dengan

    alasan positif.

    1.1.3 Pernikahan Dini Masih Menjadi Isu Kontroversial di Kalangan Masyarakat, terutama

    di Indonesia

    Pro dan kontra mengenai masalah pernikahan dini tidak hanya terjadi di kalangan

    masyarakat umum. Pemerintah dan media seringkali mengangkat isu ini. KUA sendiri

    juga menghimbau bahwa pasangan yang menikah di bawah usia 21 tahun,

    memerlukan surat perizinan dari orang tua atau wali. Media juga memberitakan

    bahwa pernikahan dini menjadi salah satu aspek yang pertumbuhannya cepat di

    masyarakat Indonesia.

    Pernikahan dini merupakan satu di antara beberapa indikator terhadap laju

    pertumbuhan penduduk (LPP), contohnya di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, selama

    tahun 2012. Hal itu memicu naiknya angka kematian ibu (AKI) maupun angka

    kematian bayi (AKB). Kepala Sub-bidang Evaluasi dan Informasi dan Data Badan

    Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) Kabupaten Cianjur,

    Rudi Wibowo, tidak memungkiri bahwa pernikahan yang dilakukan di usia dini

    memicu naiknya laju pertumbuhan penduduk, baik migrasi maupun urbanisasi.

    Fenomena pernikahan di usia dini menjadi kultur beberapa masyarakat yang masih

    memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas 2, yakni mempercepat

    perkawinan dengan berbagai alasan, seperti ekonomi; sosial; maupun anggapan tidak

    penting mencakup stigma negatif terhadap status perawan tua.[1]

    1.2 Identifikasi Masalah

    Kami mengidentifikasi masalah tersebut ke dalam beberapa hal, yaitu:

    a. Terdapat faktor-faktor yang memicu terjadinya pernikahan di bawah usia 21 tahun.

    b. Adanya variasi dari dampak yang ditimbulkan setelah terjadi pernikahan, baik

    positif maupun negatif.

  • c. Masyarakat cenderung memiliki berbagai pandangan dan pendapat perihal

    pernikahan dini, baik anggapan secara positif maupun negatif.

    1.3 Rumusan Masalah

    Dari identifikasi masalah tersebut, kami menyusun beberapa rumusan masalah yang

    menjadi topik tugas ini.

    a. Apa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan pernikahan di bawah usia 21

    tahun?

    b. Apa akibat dari pernikahan di bawah usia 21 tahun?

    c. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap pernikahan di bawah usia 21 tahun?

    1.4 Metoda Penelitian

    Metoda penelitian yang kami lakukan adalah secara kualitatif, yaitu dengan melakukan

    wawancara ke berbagai pihak, baik pihak yang melakukan pernikahan di bawah usia 21

    tahun maupun dari golongan masyarakat.

    1.5 Tujuan Laporan

    Dari rumusan masalah tersebut, tujuan kami mengangkat topik ini adalah:

    a. Menjadi ringkasan tertulis mengenai berbagai pandangan masyarakat mengenai

    pernikahan di bawah usia 21 tahun, baik pro maupun kontra.

    b. Mengetahui faktor positif dan faktor negatif terhadap penyebab terjadinya

    pernikahan di bawah usia 21 tahun

    c. Mengulas dampak dari pernikahan yang terjadi di bawah usia 21 tahun

  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    2.1 Teori Die Art des Werden

    Teori ini dikemukakan oleh Kohler, yang menyatakan bahwa sebab adalah

    syarat yang menurut sifatnya (art) menimbulkan akibat. Ajaran ini merupakan variasi

    dari ajaran Birkmeyer) . Syarat-syarat yang menimbulkan akibat tersebut jika memiliki

    nilai yang hampir sama akan sulit untuk menentukan syarat mana yang menimbulkan

    akibat.[3]

    Teori ini dipakai untuk pemecahan masalah berkaitan dengan penyebab dan

    dampak pernikahan dini. Disebutkan di atas, bahwa terdapat syarat-syarat terjadinya

    akibat, dalam pernikahan dini, akibat atau dampak terjadi karena berbagai sebab.

    2.2 Teori obyektive nachtraglicher prognose (teori keseimbangan objektif)

    Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi

    sebab atau akibat, ialah faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor

    yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi.

    Tolak ukur teori ini adalah menetapkan harus timbul suatu akibat. Jadi, walau

    bagaimanpun akibat harus tetap terjadi dengan cara mengingat keadaan-keadaan

    objektif setelah terjadinya delik (kasus), ini merupakan tolak ukur logis yang dicapai

    melalui perhitungan yang normal.[3]

    Dalam proses terjadinya pernikahan dini, terdapat beberapa faktor yang

    membuat pasangan menikah. Faktor tersebut bisa berupa budaya, sosial, maupun

    ekonomi. Dalam kasus pernikahan dini, faktor budaya dan sosial lah yang seringkali

    ambil andil dalam sebabnya. Rangkaian faktor seperti, anak yang sudah dinilai cukup

    umur kemudian mendapat tekanan dari sekitarnya untuk melakukan pernikahan,

    merupakan rangkaian faktor budaya yang umum terjadi. Teori ini menekankan dampak

    yang pasti terjadi dalam sebuah kasus, dalam hal ini, pernikahan dini, pemakaian teori

    ini untuk men-generalisir dampak yang pasti terjadi.

  • 2.3 Teori Fungsionalis

    Konsep yang berkembang dari teori ini adalah cultural lag (kesenjangan

    budaya). Konsep ini mendukung Teori Fungsionalis untuk menjelaskan bahwa

    perubahan sosial tidak lepas dari hubungan antara unsur-unsur kebudayaan dalam

    masyarakat. Menurut teori ini, beberapa unsur kebudayaan bisa saja berubah dengan

    sangat cepat sementara unsur yang lainnya tidak dapat mengikuti kecepatan perubahan

    unsur tersebut. Maka, yang terjadi adalah ketertinggalan unsur yang berubah secara

    perlahan tersebut. Ketertinggalan ini menyebabkan kesenjangan sosial atau cultural

    lag.[4]

    Para penganut Teori Fungsionalis lebih menerima perubahan sosial sebagai

    sesuatu yang konstan dan tidak memerlukan penjelasan. Perubahan dianggap sebagai

    suatu hal yang mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses pengacauan ini berhenti

    pada saat perubahan itu telah diintegrasikan dalam kebudayaan. Apabila perubahan itu

    ternyata bermanfaat, maka perubahan itu bersifat fungsional dan akhirnya diterima oleh

    masyarakat, tetapi apabila terbukti disfungsional atau tidak bermanfaat, perubahan akan

    ditolak. Tokoh dari teori ini adalah William Ogburn.

    Secara lebih ringkas, pandangan Teori Fungsionalis adalah sebagai berikut.

    1. Setiap masyarakat relatif bersifat stabil.

    2. Setiap komponen masyarakat biasanya menunjang kestabilan masyarakat.

    3. Setiap masyarakat biasanya relatif terintegrasi.

    4. Kestabilan sosial sangat tergantung pada kesepakatan bersama (konsensus) di

    kalangan anggota kelompok masyarakat.

    Penggunaan teori ini berkaitan dengan istilah ketinggalan jaman yang beredar

    di masyarakat. Fokus penggunaan teori ini adalah membahas mengenai budaya lama

    yang masih bertahan hingga sekarang serta pandangan terhadap hal tersebut dari

    masyarakat modern, serta masyarakat desa.

    Budaya pernikahan dini masih lekat di daerah pedesaan, menurut teori ini

    beberapa unsur kebudayaan dapat berubah cepat sementara yang lainnya tidak dapat

    mengikuti kecepatan perubahannya. Hal tersebut dapat dilihat dari bagian-bagian

    masyarakat yang tidak siap dengan modernisasi atau menolak modernisasi dengan

    berbagai alasan, sehingga terbentuklah culturallag dalam hal pernikahan dini ini.

  • Usia untuk menikah yang sekarang, tertetapkan dari modernisasi. Modernisasi

    ini diikuti oleh gerakan feminisme, dimana perempuan menuntut keadilan yang sama

    seperti lelaki. Keberhasilan gerakan feminis, menciptakan dunia baru untuk kaum

    perempuan, perempuan kini dapat bekerja sama seperti laki-laki dan memiliki hak

    pendidikan yang sama juga. Kesibukan baru untuk perempuan ini, membuat pola pikir

    masyarakat perlahan berubah. Perempuan kini tak hanya berperan sebagai istri dan

    pengurus anak, namun juga sebagai rekan karir dan pendidikan. Peran perempuan

    dalam masyarakat dan evolusi teknologi serta estetika pun tak kalah dengan laki-laki.

    Mengayomi pendidikan dan karir, tentunya perempuan tidak ingin cepat menikah.

    Keputusan perempuan yang kini dihargai atas dasar kesetaraan gender, membuat

    masyarakat maklum, sehingga terbentuklah standar usia pernikahan seperti sekarang.[5]

    2.4 Teori Kognitif

    Menurut Ratna Willis Dahar, konsep kognitif dapat di artikan sebagai suatu

    proses yang mementingkan cara berpikir insight, reasoning, menggunakan logika

    induktif dan deduktif. Dengan demikian menurut pandangan teori kognitif, manusia

    adalah makhluk rasional, demikianlah pandangan dasar para penganut teori ini.

    Berdasarkan rasionya manusia bebas memilih dan menentukan apa yang akan dia

    perbuat. Tingkah laku manusia semata-mata ditentukan oleh kemampuan berpikirnya.

    Semakin inteligen dan berpendidikan, otomatis seseorang akan semakin baik

    perbuatan-perbuatannya, dan secara sadar pula akan melakukan perbuatan-perbuatan

    untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan tersebut.

    Menurut teori kognitif, tingkah laku tidak di gerakan oleh apa yang disebut

    motivasi, melainkan oleh rasio.[5]

    Setiap perbuatan yang akan dilakukannya sudah

    dipikirkan alasan-alasannya. Oleh karena itu setiap orang sungguh-sungguh

    bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Disini tidak dikenal perbuatan-perbuatan

    yang berbeda diluar kontrol rasio. Pandangan di atas adalah pandangan para filsuf kuno

    seperti Sokrates, Plato, dan Thomas Aquinas. Bahkan pandangan ini pada masa yang

    silam hampir menjadi pandangan umum dikalangan masyarakat.

    Dalam teori ini juga juga diletakkan pentingnya fungsi kehendak. Bahkan

    fungsi kehendak disejajarkan dengan fungsi berpikir dan fungsi perasaan, sejauh fungsi

    berpikir dapat dipertanggungjawabkan. Teori ini tidak menyadari bahwa kadang-

    kadang tindakan manusia itu berada diluar control rasio, sehingga sukar

    mempertanggungjawabkannya. Disinilah justru letak kelemahan teori ini, yaitu tidak

  • dapat menerangkan tindakan-tindakan yang berada diluar control rasio. Hal ini akan

    terjawab bila konsep motivasi mendapat tempat dibelakang setiap tingkah laku, baik

    yang disadari maupun yang tidak disadari.

    Insight merupakan wawasan, sedangkan reasoning adalah alasan seseorang

    terhadap suatu kasus. Dalam laporan ini, insight berbuhubungan dengan pengetahuan

    masyarakat mengenai pernikahan dini, sedangkan reasoning berhubungan dengan

    alasan atau penjelasan masyarakat mengenai keputusan pro dan kontra mereka. Sesuai

    dengan yang dipaparkan teori ini, semakin tinggi insight seseorang, maka

    pandangannya mengenai pernikahan dini lebih luas dan terbuka.

    Teori ini menegaskan, bahwa pasangan yang menikah dini telah memikirkan

    alasan-alasan dari keputusan mereka. Di dalam teori ini juga disinggung mengenai

    tanggung jawab perbuatan, dalam hal ini, pihak suami yang bertanggung jawab

    menghidupi keluarganya semenjak pernikahan. Selain itu juga menyinggung mengenai

    kehendak, fungsi berpikir, dan perasaan. Dalam kasus pernikahan dini, fungsi berpikir

    dan perasaan merupakan faktor besar dalam keputusan yang diambil. Apabila pasangan

    sudah berpikir dan merasa siap dalam melangsungkan pernikahan maka kehendak

    mereka akan terlaksana dengan dukungan dari berbagai pihak (yang dekat dengan

    pasangan).

    2.5 Teori Dorongan

    Teori dorongan menekankan pada hal yang mendorong terjadinya tingkah

    laku. Bahkan sebenarnya teori keseimbangan dasarnya adalah teori dorongan ini, dan

    teori keseimbangan memperkuat kebenaran teori dorongan ini.Teori dorongan

    diperkenalkan oleh Robert Woodworth pada tahun 1918. Pada waktu itu Woodworth

    mengartikan dorongan sebagai suatu tenaga dari dalam diri kita yang menyebabkan kita

    berbuat sesuatu. Oleh karena itu kata motif juga diberi arti dorongan yang

    menimbulkan dan mengarahkan tingkah laku manusia.

    Dalam arti tertentu dorongan disini mirip dengan insting, misalnya saja

    dorongan seksual, dorongan mencari makan karena lapar dan seterusnya. Dorongan-

    dorongan seperti ini sifatnya asli, tidak perlu dipelajari, instingtif. Perbedaan pokok

    antara dorongan dan insting sering kali memang tidak jelas, namun teori dorongan ini

    lebih didasari oleh eksperimen-eksperimen yang teliti dan dapat

    dipertanggungjawabkan. Timbulnya dorongan, bertambah kuatnya dorongan maupun

    berkurangnya kekuatan dorongan dapat diukur secara objektif. Misalnya saja makin

  • kuat dorongan seseorang untuk makan dapat diketahui dari tekanan darahnya, kuatnya

    dorongan seksual, dapat diketahui dari jumlah hormone seksual yang beredar dalam

    darah dan seterusnya.

    Teori dorongan ini semakin banyak diakui setelah muncul teori

    homeostatis(teori keseimbangan), yang diajukan oleh ahli psikologi Walter B.Cannon

    pada tahun 1932. Dalam konsep pemikiran tersebut dikatakan bahwa seringkali terjadi

    ketidakseimbangan di dalam diri manusia. Dorongan adalah salah satu usaha (otomatis)

    untuk dapat mengembalikan keadaan seimbang. Teori dorongan ini pada umumnya

    diakui kebenarannya oleh para ahli psikologi.

    Teori ini berkaitan dengan dorongan apa yang membuat pasangan melakukan

    pernikahan dini, apakah itu dorongan yang positif atau pun dorongan negatif. Dorongan

    instigtif dalam isu ini ada dalam dorongan manusia untuk berkembang biak sehingga

    mereka melangsungkan pernikahan, serta dorongan seorang ibu untuk merawat

    anaknya karena hormon tertentu dalam tubuhnya (ada beberapa kasus pernikahan

    karena hamil di luar nikah, yang ibunya tidak ingin menggugurkan kandungan dan

    memilih merawat anakanya, keputusan tersebut memakai teori dorongan).

    2.6 Teori Kultivasi

    Teori Kultivasi memusatkan perhatiannya pada pengaruh media komunikasi,

    khususnya televisi, terhadap khalayak. Televisi merupakan sarana utama masyarakat

    untuk belajar tentang dunia, orang-orangnya, nilai-nilainya serta adapt kebiasaannya.[6]

    Teori kultivasi berasumsi bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu citra

    realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan. Misalnya, pecandu berat televisi

    menganggap kemungkinan seseorang untuk menjadi korban kejahatan adalah 1

    berbanding 10. Dalam kenyataannya, angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat

    mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam di Amerika Serikat.

    Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam

    posisi manajerial atau professional adalah 25%, kenyataannya hanya 5%.Williams

    mengomentari hal yang sama, Orang yang merupakan pecandu berat televisi seringkali

    mempunyai sikap stereotip tentang peran jenis kelamin, dokter, bandit atau tokoh-tokoh

    lain yang biasa muncul dalam serial televisi. Dalam dunia mereka, pembantu rumah

    tangga mungkin digambarkan sebagai wanita yang hidup palimg menderita. Perwira

    polisi menjalani hari-hari yang menyenangkan. Pejabat-pejabat pemerintahan adalah

    orang yang munafik.

  • Tentu saja, tidak semua pecandu berat televisi terkultivasi secara sama.

    Beberapa lebih mudah dipengaruhi televisi daripada yang lain (Hirsch, 1980). Sebagai

    contoh, pengaruh ini bergantung bukan saja pada seberapa banyak seseorang menenton

    televisi melainkan juga pada tingkat pendidikan, penghasilan, dan jenis kelamin

    pemirsa. Misalnya, pemirsa ringan berpenghasilan rendah melihat kejahatan sebagai

    masalah yang serius sedangkan pemirsa ringan berpenghasilan tinggi tidak demikian.

    Wanita pecandu berat melihat kejahatan sebagai masalah yang lebih serius ketimbang

    pria pecandu berat. Artinya, ada faktor-faktor lain di luar intensitas menonton televisi

    yang mempengaruhi persepsi kita untuk menerima gambaran dunia yang sebenarnya.

    Jadi, dapat disimpulkan bahwa televisi adalah media yang paling mempengaruhi

    persepsi seseorang terhadap kehidupan.

    Dalam teori ini, kami menghubungkan definisi dengan pengaruh pendapat

    masyarakat mengenai pernikahan dini yang mereka lihat di media massa. Media massa

    merupakan subjek yang berpengaruh besar dalam pembentukan opini dan pandangan

    masyarakat terhadap suatu kasus, apalagi jaman sekarang, dimana komunikasi

    merupakan hal yang tidak sulit didapat.

  • BAB III

    METODA PENELITIAN

    Untuk mengkaji topik ini, kami menggunakan metoda kualitatif, yaitu dengan wawancara

    langsung ke berbagai pihak yang menyangkut perihal pernikahan, baik pihak yang melakukan

    pernikahan di bawah usia 21 tahun maupun tokoh masyarakat, seperti dokter; psikolog;

    ulama; KUA; masyarakat umum.

    Untuk itu kami menggunakan matriks sebagai pedoman wawancara untuk dihubungkan

    dengan rumusan masalah dan teori sehingga menghasilkan data yang diinginkan.

    No Rumusan Masalah Teori Pedoman Wawancara

    1

    Apa pendapat masyarakat

    mengenai pernikahan yang

    dilakukan di bawah usia 21

    tahun

    Fungsionalis

    Apakah budaya pernikahan dini

    merusak tatanan masyarakat?

    Apakah pernikahan dini merusak

    pribadi seseorang yang menikah di usia

    dini?

    Apakah orang-orang yang melakukan

    pernikahan dini termasuk ke golongan

    cultural lag?

    Apakah Anda setuju dengan perihal

    pernikahan dini? / Apakah Anda

    termasuk salah satu penganut

    pernikahan dini?

    Kognitif

    Bagaimana pandangan Anda terhadap

    pernikahan dini?

    Apakah seorang anak memiliki hak

    menolak atau memilih dalam hal

    pernikahan?

    Kultivasi

    Bagaimana pandangan Anda mengenai

    kasus pernikahan dini yang beredar di

    media?

  • 2.

    Apa faktor yang

    menyebabkan terjadinya

    pernikahan dini?

    Fungsionalis

    Apakah budaya modern merupakan

    faktor menyebabkan terjadinya

    pernikahan dini?

    Die Art des

    Werden

    Menurut Anda, apa penyebab terjadinya

    pernikahan dini?

    Keseimbangan

    Objektif

    Adakah rangkaian faktor-faktor

    penyebab pernikahan dini?

    Kognitif

    Apa yang menjadi alasan Anda dalam

    melakukan pernikahan dini? (untuk

    pihak yang melakukan pernikahan dini)

    3. Bagaimana akibat dari

    pernikahan dini?

    Die Art des

    Werden

    Apa akibat dari pernikahan dini? (akibat

    faktor utama dan sekunder)

  • BAB IV

    HASIL PENELITIAN

    Hasil penelitian ini, terdapat dua pihak yang di wawancara secara langsung, yaitu

    pelaku pernikahan dini dan masyarakat modern. Untuk pelaku pernikahan dini, diberi

    pertanyaan dari pedoman wawancara secara lengkap, sedangkan untuk masyarakat dari

    berbagai golongan dipilih beberapa pertanyaan guna menyimpulkan dan menganalisis

    pandangan masyarakat secara umum mengenai pernikahan dini.

    Pelaku Pernikahan Dini

    a. Respon pelaku A mengenai pernikahan yang dilakukan di bawah usia 21 tahun tidak

    menentang perihal pernikahan dini tersebut. Menikah di usia dini tidak merusak tatanan

    masyarakat dan merupakan pilihan baik. Pernikahan adalah sesuatu yang didasari atas

    rasa saling suka dan niat awal adalah untuk berkeluarga serta merasa siap untuk

    menikah, sehingga tidak mungkin ada keterpaksaan. Selain itu, untuk menghindari seks

    bebas dan MBA (Married By Accident) juga menjadi alasan utama terjadinya

    pernikahan di usia dini. Dampak setelah menikah adalah menjadi tenang, walaupun

    mendapat kesulitan secara finansial.

    b. Respon pelaku B yang menikah di usia 18 tahun tidak menentang perihal pernikahan

    dini tersebut. Walaupun secara finansial belum siap, tetapi alasan untuk menghindari

    hal-hal yang tidak diinginkan menjadi faktor utama untuk menikah di usia 18 tahun.

    Alasan lainnya adalah karena tidak ingin jarak antara usia anak dengan orang tua

    terpantau jauh, sehingga ketika anaknya tumbuh besar, orang tua masih produktif

    bekerja untuk membiayai kehidupan anaknya yang lebih baik. Pandangan untuk

    menikah di usia dini berada pada kesiapan mental dan bukan menjadi alasan

    ketinggalan jaman. Pernikahan dini tidak merusak tatanan masyarakat, karena

    pernikahan itu dilakukan setelah mendapat persetujuan dari keluarga dan kerabat. Yang

    menjadi tatanan masyarakat adalah bagaimana pasangan yang setelah menikah, tidak

    menjaga ikatan pernikahan tersebut, sehingga berujung pada pertengkaran bahkan

    sampai perceraian.

    c. Respon perilaku C yang menikah di usia 20 tahun tidak menentang perihal pernikahan

    dini, walaupun pernikahan itu terjadi akibat hamil diluar nikah. Walaupun secara

    finansial dan mental belum siap, tetapi dengan alasan yang mendesak akibat hamil

  • diluar nikah dan melihat kondisi perempuan yang tidak memungkinkan untuk

    melakukan tindakan aborsi, pihak laki-laki harus berani bertanggung-jawab. Manfaat

    setelah menikah adalah belajar bertanggung-jawab atas hal yang telah dilakukan dan

    mendewasakan diri.

    d. Respon perilaku D yang menikah di usia 18 tahun menentang adanya pernikahan dini,

    karena banyak efek negatif untuk kedepannya. Pernikahan yang dilakukan di usia dini

    tidak menganggap bahwa budaya dan pergaulan sekitar bukan penyebab utama, karena

    keputusan untuk menikah berada di tangan pihak perempuan dan laki-laki. Awalnya,

    pihak keluarga menentang dilihat dari ketidakhadiran ayah mempelai perempuan dan

    ketidakhadiran orang-tua dari pihak laki-laki, namun respon kerabat yang positif

    menjadi keyakinan untuk menikah. Faktor yang mendukung pernikahan di usia dini ada

    pada kesiapan mental. Hal tersebut mendapat hasil bahwa pihak perempuan menjadi

    korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kesiapan fisik tidak terlihat untuk

    kasus pernikahan dini, karena ketika anaknya lahir mengalami kompilasi jantung.

    Meskipun ada juga yang tidak terjadi hal tersebut.

    Pandangan Masyarakat

    a. Kantor Urusan Agama (KUA)

    Pihak KUA kurang setuju terhadap pernikahan di bawah usia 21 tahun, karena di

    bawah usia tersebut masih membutuhkan proses belajar jenjang pendidikan, selain itu

    belum ada kesiapan mental. Faktor utama adanya pernikahan di bawah usia 21 tahun

    adalah dari nafsu dan syahwat. Apabila dibandingkan antara di daerah kota dengan

    daerah desa, rata-rata masyarakat di kota menikah di atas 21 tahun karena sudah banyak

    pertimbangan. Secara UU no. 1 tahun 1974, laki-laki boleh menikah pada usia 19 tahun

    dan perempuan pada usia 16 tahun, namun harus mendapat persetujuan dan mendapat

    surat izin menikah dari orang-tua atau wali. Dampak yang ditimbulkan setelah menikah

    di usia dini harus melihat kembali niat dan tujuan pasangan menikah di usia dini.

    Apabila niat menikah positif, maka hasil kedepannya akan positif, begitu juga

    sebaliknya. Budaya modern turut andil dalam pernikahan, karena teknologi komunikasi

    yang ada saat ini akan sangat berbahaya bagi hubungan rumah tangga apabila tidak

    diatur dengan baik. Seorang anak memiliki hak untuk memilih apabila dijodohkan,

    karena tidak ada yang berhak memaksa untuk mengambil suatu keputusan menikah

    yang akan menjadi tanggung-jawab seumur hidupnya. Hal itu dikhawatirkan jika

    dipaksa, maka akan timbul dampak buruk bagi pasangan tersebut.

  • b. Ustad

    Adanya pernikahan di usia dini sangat baik dibandingkan zina, seperti seks bebas atau

    kumpul kebo yang dapat merusak tatanan masyarakat. Pernikahan dilakukan

    berdasarkan niat, apabila niatnya tidak baik meskipun usianya tidak dini maka akan

    bersifat merusak. Keuntungan dari menikah adalah akan mendatangkan banyak rezeki.

    Namun, kebanyakan pernikahan yang dilakukan di usia dini awal niatnya adalah karena

    nafsu, setelah itu baru ingin menikah. Menurut Ustad, daripada mengikuti budaya

    modern yang sudah terpengaruh oleh budaya luar, lebih baik menikah dini yang

    mengikuti budaya leluhur. Teknologi saat ini lebih memudahkan untuk menjalin suatu

    hubungan dan akan rusak jika tidak dikendalikan.

    c. Dokter

    Secara biologis, alat reproduksi manusia di bawah usia 21 tahun masih dalam proses

    menuju kematangan, sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan

    lawan jenis, apalagi pada pihak perempuan jika sampai hamil dan melahirkan. Jika

    dipaksakan akan menjadi trauma, perobekan yang luas pada alat reproduksi wanita,

    bahkan sampai terjadinya infeksi yang akan membahayakan fisik dan jiwa perempuan.

    Ada beberapa kasus yang memang diharuskan untuk menikah di usia dini, seperti anak-

    anak yang telah melakukan hubungan biologis layaknya suami-istri. Apabila anak

    tersebut tidak dinikahkan, maka akan menjadi aib. Tanpa mempedulikan perasaan dan

    kegundahan orang-tua, menikah di usia dini merupakan sebuah solusi bagi orang-tua

    yang akibatnya akan menyesatkan kehidupan anak-anak. Karena sangat besar

    munculnya konflik di kehidupan pernikahan tersebut. Faktor-faktor terjadinya

    pernikahan dini adalah pada pemahaman agama, selain itu ada faktor ekonomi dan

    faktor adat-budaya. Menurut ilmu kesehatan, usia yang kecil risiko dalam melahirkan

    adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan di bawah 20 tahun dan di atas 35

    tahun mengalami prematuritas, bahkan cacat bawaan fisik maupun mental.

    d. Psikolog

    Secara psikologis, menikah di bawah usia 21 tahun kurang baik, baik dari pihak laki-

    laki maupun perempuan. Ego masing-masing masih belum stabil dan baru memasuki

    fase dewasa awal, karena baru mengakhiri masa remaja. Seseorang menikah di usia dini

    tergantung pada alasan menikah. Jika dijodohkan maka memang ketinggalan jaman,

  • karena masyarakat saat ini memiliki pikiran modern yang tidak lagi mengikuti kisah siti

    nurbaya. Jika pernikahan menyebabkan pertengkaran dan perselisihan, apalagi sampai

    fase perceraian, maka akan merusak tatanan masyarakat. Budaya modern bukan faktor

    utama menikah dini, karena budaya modern saat ini lebih mengarah pada pergaulan

    bebas dibanding pernikahan. Faktor utama seseorang menikah di usia dini adalah

    karena suatu alasan yang mendesak dan menekan, sehingga seseorang mengharuskan

    untuk menikah. Sebagai contoh hamil diluar nikah yang tidak memungkinkan untuk

    melakukan aborsi, atau tidak sanggup membiayai anak perempuan sehingga dinikahkan

    untuk menjadi tanggung jawab pihak laki-laki. Namun, faktor sekunder yang menjadi

    alasan menikah di usia dini adalah karena ego yang sebenarnya belum siap untuk

    menikah; baik secara fisik, finansial, maupun mental. Sehingga ketika terjadi

    perselisihan atau pertengkaran, emosi individu memuncak, dan fatalnya bisa

    menyebabkan perceraian yang efeknya lebih panjang ke jiwa perempuan. Kualitas

    pasangan yang menikah di usia dini dibandingkan dengan kondisi masyarakat saat ini

    masih rendah. Pada jaman sekarang, tingkat intelektualitas berpengaruh besar pada

    masa depan seseorang, intelektual ini bisa diartikan dengan pendidikan. Makin tinggi

    pendidikan, makin besar kesempatan kerja dengan gaji yang layak. Secara tidak

    langsung menyinggung masalah ekonomi, karena apabila menyinggung pendidikan,

    disana ada pekerjaan yang layak, dan disana ada masalah uang yang akan diterima

    setiap bulan yang menentukan kadar kesuksesan seseorang atau keluarga.

    e. Masyarakat Umum

    Pro Terhadap Pernikahan Dini

    Menikah di usia dini tidak merusak diri sendiri, kecuali hamil di luar nikah. Karena

    menikah itu selama fisik sudah matang dan mapan, tidak ada hubungannya dengan

    merusak diri sendiri. Sedangkan hamil diluar nikah, walaupun fisik mampu dan mental

    belum siap, bisa berpengaruh terhadap kelanggengan pernikahan. Menikah di usia dini

    bukan masalah ketinggalan jaman, tetapi tahu alasan dan essensi dari pernikahan.

    Pandangan masyarakat sudah berfikir negatif tanpa mencari alasan yang sesungguhnya.

    Dampak negatif dari pernikahan dini ada pada jenjang pendidikan yang sedang dijalani,

    pendidikan jadi terganggu dan emosi masih belum stabil. Namun dampak positif adalah

    belajar bertanggung-jawab serta terhindar dari seks bebas.

  • Kontra Terhadap Pernikahan Dini

    Pernikahan di usia dini merusak diri sendiri, karena jenjang pendidikan menjadi

    terganggu, dan di umur yang masih dini seharusnya masih bisa bermain tanpa

    memikirkan beban tanggung jawab sebagai suami atau istri. Dari pihak laki-laki juga

    belum memiliki pekerjaan tetap. Ideal untuk menikah minimal usia 23 tahun, karena

    pada umur 23 tahun, sudah menyelesaikan jenjang pendidikan dan telah memiliki

    tanggung jawab yang besar untuk membiayai keluarganya kelak. Pernikahan dini

    tergantung penilaian masing-masing masyarakat, rata-rata memang merusak tatanan

    masyarakat, karena pandangan masyarakat menjadi negatif, dan orang yang melakukan

    pernikahan di usia dini hanya pemuas nafsu dan biasanya berujung pada kehamilan.

    Akibatnya, emosi tidak stabil dan terjadi perceraian. Faktor adanya pernikahan di usia

    dini dilihat dari adat dan budaya, apalagi untuk perempuan yang telah di-cap perawan

    tua apabila tidak menikah di usia dini.

    Pernikahan di usia dini tidak baik, dilihat dari sisi kesehatan, wanita belum siap

    memiliki anak dalam rahim karena berisiko cacat. Dilihat dari segi karir, pelaku

    pernikahan dini akan kesulitan apabila ingin berkarir, sebab sudah memiliki kewajiban

    dan tanggung jawab untuk menjaga rumah serta merawat anak. Pendidikan pun ikut

    terhenti, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, karena dituntut untuk mencari

    nafkah untuk kebutuhan keluarga. Hal ini dilatar belakangi dengan kasus nyata yang

    terjadi di sekolahnya. Ada pelaku pernikahan dini yang penyebabnya hamil di luar

    nikah, sehingga tidak dapat meneruskan sekolahnya. Hal tersebut tentu menyebar

    menjadi masalah lain, tidak ada pendidikan berarti potensi karir menyempit, tidak

    bersosialisasi dengan teman lagi; dimana pengaruh social melakukan hal yang sama

    atau berpandangan negatif mengenai hal tersebut; dan membentuk sikap serta

    pandangan hidup yang kemungkinan besar akan stress dan akhirnya berimbas pada

    anaknya kelak.

  • BAB V

    ANALISIS

    Masih banyak pandangan pro dan kontra masyarakat mengenai pernikahan di bawah

    21 tahun. Apabila dihubungkan antara teori-teori menurut ahli dengan hasil wawancara

    berdasarkan rumusan masalah yang diambil, maka keduanya berhubungan dan menghasilkan

    hasil yang sama sesuai teori.

    Rumusan masalah pertama: Bagaimana pandangan masyarakat mengenai pernikahan dini?

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, teori yang digunakan adalah teori Fungsionalis, teori

    Kognitif, dan teori Kultivasi. Hasil yang diperoleh cenderung kurang setuju mengenai

    pernikahan dini. Masyarakat beralasan anak dengan usia sangat muda belum siap secara

    finansial maupun mental, dan akan terjadi banyak kegagalan dalam rumah tangga kelak.

    Namun, sebagian masyarakat setuju terhadap pernikahan dini, karena terhindar dari zina.

    Pada pelaku pernikahan di usia dini memiliki alasan tersendiri mengenai pernikahan tersebut,

    pelaku berpendapat bahwa mereka bebas memilih dan menentukan apa yang akan diperbuat,

    mereka tidak mempedulikan pandangan masyarakat karena unsur budaya bisa berubah

    dengan sangat cepat.

    Rumusan masalah kedua: Apa faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia dini?

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, teori yang digunakan adalah teori Fungsionalis, teori

    die Art des Werden, teori keseimbangan objektif, teori Dorongan dan teori kognitif. Hasil

    yang diperoleh menyatakan bahwa sebab niat seseorang menikah di usia dini adalah karena

    ada suatu hal yang mendesak, seperti nafsu, baru timbul niat ingin menikah. Salah satu faktor

    yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia dini adalah budaya modern yang ada di

    Indonesia, kemajuan teknologi yang pesat memudahkan seseorang untuk menjalin

    komunikasi langsung atau tidak langsung. Dengan kemudahan teknologi, maka

    keingintahuan seseorang semakin meningkat. Faktor sosial, ekonomi, budaya menjadi faktor

    pendukung penyebab terjadinya pernikahan di usia dini, baik secara positif maupun negatif.

    Rumusan masalah ketiga: Apa akibat dari pernikahan di usia dini?

    Berdasarkan rumusan masalah di atas, teori yang digunakan adalah teori die Art des Werden.

    Hasil yang diperoleh menyatakan bahwa ada dampak setelah menikah di usia dini, baik

  • secara positif maupun negatif. Dampak positifnya adalah untuk menghindari zina akibat

    banyaknya seks bebas dan MBA (Married By Accident) yang terjadi di masyarakat. Selain

    itu, jiwa menjadi tenang dan mendewasakan diri seseorang. Namun, ada juga dampak negatif

    akibat pernikahan dini tersebut. Diantaranya adalah belum adanya kesiapan fisik maupun

    mental, serta risiko cacat lebih besar bagi jiwa perempuan maupun anak, yang efeknya akan

    panjang.

    Dampak dari pernikahan di usia dini tergantung dari individu yang menjalani

    pernikahan. Jika niat awal menikah baik, maka kehidupan pernikahan menjadi positif, jika

    niat awal tidak baik, maka akan berujung perselisihan bahkan perceraian.

  • BAB VI

    SIMPULAN DAN SARAN

    Simpulan

    Berdasarkan teori dan hasil wawancara yang diperoleh, kami dapat menyimpulkan bahwa:

    a. Masyarakat yang setuju dengan pernikahan di usia dini cenderung ingin terhindar dari

    zina, walaupun belum memiliki kesiapan fisik ataupun mental.

    b. Masyarakat yang kurang setuju dengan pernikahan di usia dini beranggapan bahwa di

    bawah usia 21 tahun akan mendatangkan bahaya bagi anak, khususnya perempuan.

    c. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan di usia dini terletak pada suatu hal

    yang mendorong dan mendesak seseorang untuk menikah, seperti nafsu ingin menikah

    atau hamil diluar nikah.

    d. Dampak dari pernikahan di usia dini tergantung dari individu yang menjalani

    pernikahan. Jika niat awal menikah baik, maka kehidupan pernikahan menjadi positif,

    jika niat awal tidak baik, maka akan berujung perselisihan bahkan perceraian

    Saran

    a. Perlu pemahaman lebih rinci mengenai bagaimana seseorang yang menikah dibawah

    usia 16 tahun (untuk perempuan) dan 19 tahun (untuk laki-laki).

    b. Pemahaman mengenai peran pemerintah untuk mengatasi pernikahan dini, guna

    mengurangi laju pertumbuhan penduduk dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

    c. Perlu pemahaman untuk masyarakat terhadap UU no.1 tahun 1974 tentang perkawinan.

  • DAFTAR PUSTAKA

    [1] Pernikahan Dini Picu Pertumbuhan Penduduk. 2013. Asnawi Khaddaf.

    http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/04/16/6/147159/Pernikahan-Dini-

    Picu-Pertumbuhan-Penduduk. [27 April 2013]

    [2] 3 Dampak Buruk Pernikahan Dini. 2011. Wardah Fazriyati.

    http://female.kompas.com/read/2011/10/06/15331434/. [27 April 2013]

    [3] Teori-Teori Kasualitas. 2009. Setia Darma. http://setia-

    ceritahati.blogspot.com/2009/05/teori-teori-kausalitas.html. [27 April 2013]

    [4] Teori-Teori Perubahan Sosial. 2010. Achmad Alfin.

    http://alfinnitihardjo.ohlog.com/teori-teori-perubahan-sosial.oh112689.html.[27 April

    2013]

    [5] TeoriTeori Perkembangan Manusia. 2011. Yogoz.

    http://yogoz.wordpress.com/2011/02/22/227/#more-227. [27 April 2013]

    [6] Teori Kultivasi (Cultivation Theory). 2008. Denontarr.

    http://denontarr.blogspot.com/2008/11/teori-kultivasi.html. [27 April 2013]