Upload
angga-dewantara
View
76
Download
18
Embed Size (px)
DESCRIPTION
GA
Citation preview
LAPORAN KASUS
MANAJEMEN PRE-OPERATIVE AIRWAY PADA
PASIEN YANG DILAKUKAN GENERAL ANESTHESIA
DENGAN TINDAKAN EXPLORATORY
LAPAROTOMY
Oleh:
Rifqi Aulia Destiansyah
0910713031
Pembimbing:
dr. Ristiawan Muji Laksono, Sp.An
LABORATORIUM SMF ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
RUMAH SAKIT UMUM DR. SAIFUL ANWAR
MALANG
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi yang berarti pembiusan, merupakan kata berasal dari bahasa Yunani
an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan
berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes, Sr pada tahun 1846.
Terdapat beberapa jenis anestesi, antara lain lokal / infiltrasi, blok / regional, umum /
general. Anestesia umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat dapat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesia
yang ideal terdiri dari: hipnosis (hilang kesadaran), analgesi (hilang rasa sakit), dan
relaksasi.
Persiapan pra-bedah harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya efek samping
dari anestesia. Tujuan utama kunjungan pra anestesia ialah untuk mengurangi angka
kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor risiko terjadinya
kecelakaan anestesia. Dokter spesialis anestesi seharusnya mengunjungi pasien sebelum
pasien dibedah untuk menyiapkan pasien agar pasien dalam keadaan bugar pada waktu
pasien dibedah. Berbagai penilaian harus dibuat termasuk anamnesis yang lengkap,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sehingga kebugaran fisik pasien dapat
diklasifikasi. Klasifikasi yang digunakan berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA).
Anestesi pada pembedahan darurat menghadapkan ahli anestesi dengan sejumlah
tantangan tersendiri. Dengan tingkat aspirasi yang tinggi dalam kasus-kasus darurat dan
pasien dengan gangguan kesadaran. Antasida dan obat-obatan prokinetic belum
menunjukkan hasil yang memuaskan dalam menurunkan kejadian aspirasi. Sebuah anestesi
datang di beberapa unik.
Tindakan dalam penanganan anestesi dalam keadaan darurat merupakan masalah
tersendiri. Masalah yang paling sering ditemui adalah pencegahan aspirasi isi lambung
dalam beberapa tipe operasi darurat. Anastesi untuk pasien dengan kondisi emergensi
terutama pasien trauma, pasien dengan cedera kepala, pasien kebidanan untuk operasi
sesar darurat yang perlu penanganan khusus.
Durante operasi, dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat satu hingga dua jam
sebelum induksi anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesia. Setelah itu, dilakukan induksi anestesia yaitu membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Sebelum memulai induksi anestesia selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan yang
diperlukan sehingga seandainya terjadi kegawatan dapat diatasi dengan cepat dan baik.
Setelah itu rumatan anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi dan biasanya mengacu pada trias
anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan
agar pasien selama bedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi Amerika Serikat (ASA) pada 1986 menentukan
monitoring standar untuk oksigenasi, ventilasi, sirkulasi dan suhu badan perianestesia untuk
semua kasus termasuk anestesia umum, analgesia regional dan pasien dalam keadaan
diberikan sedativa sehingga informasi organ vital selama peri anestesia dapat dimonitoring.
Setelah pembedahan, pemulihan dari anestesia umum atau dari analgesia regional
secara rutin dikelola di kamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi (RR, Recovery
Room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Idealnya bangun dari anestesia secara
bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Sering ditemukan hal-hal tidak menyenangkan akibat
stres pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, gangguan
kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil dan kadang-kadang perdarahan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Peritonitis
2.1.1 Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput rongga
perut/peritoneum. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen seperti apendisitis, salpingitis,
perforasi ulkus gastroduodenal, ruptur saluran cerna, atau luka tembus abdomen. Pada
keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara inokulasi kecil.
Kontaminasi yang terus-menerus, bakteri yang virulen, penurunan resistensi dan adanya
benda asing atau enzim pencernaan aktif merupakan faktor yang memudahkan terjadinya
peritonitis.
2.1.2 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari peritonitis adalah penderita tampak tidak bergerak, bunyi
usus hilang, nyeri pada saat batuk, nyeri pada saat gerak, nyeri pada saat lepas, terdapat
defans muskuler, serta terdapat tanda infeksi seperti panas tinggi, leukositosis, perubahan
mental seperti takut, gelisah atau somnolen (Ibrahim, 2004)
2.2 Manajemen Jalan Nafas (Airway)
Pada pasien dalam keadaan anestesia posisi terlentang dan tidak sadar, tonus otot
jalan napas atas, otot genioglossus hilang sehingga lidah akan menyumbat hipofaring dan
menyebabkan obstruksi jalan napas baik total maupun parsial. Keadaan ini sering terjadi
dan harus cepat diketahui serta dikoreksi dengan beberapa cara misalnya manuver triple
jalan nafas, pemasangan pharyngeal airway, pemasangan laryngeal mask airway (LMA),
pemasangan endotracheal tube (ETT). Obstruksi juga dapat disebabkan karena spasme
laring pada saat anestesia ringan dan mendapat rangsangan nyeri atau rangsangan oleh
sekret.
Tanda-tanda obstruksi jalan nafas:
Suara nafas tambahan (Stridor, gargling, snoring)
Nafas cuping hidung
Retraksi trakea
Retraksi dinding dada
Tidak adanya udara ekspirasi
1. Triple Airway Maneuver
Manuver ini terdiri dari :
Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital
Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula
Mulut dibuka
Dengan manuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan nafas bebas sehingga gas atau udara lancar masuk trakea lewat hidung atau mulut.
2. Pharyngeal Airway
Jika manuver triple kurang berhasil, maka dapat dipasang oro-pharyngeal airway (OPA)
atau naso-pgaryngeal airway (NPA).
OPA : berbentuk pipa pipih lengkung seperti huruf C berlubang di tengahnya dengan
salah satu ujungnya bertangkai dengan dinding lebih keras untuk mencegah kalau
pasien menggigit lubang tetap paten sehingga aliran udara tetap terjamin. OPA juga
dipasang bersama pipa trakea atau sungkup laring untuk menjaga patensi kedua alat
tersebut dari gigitan pasien.
NPA : berbentuk pipa bulat berlubang tengahnya dibuat dari bahan karet lateks lembut.
Pemasangan harus hati-hati dan untuk menghindari trauma mukosa hidung pipa diolesi
dengan jelly.
3. Face mask
Face mask mengantar udara/gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke
jalan nafas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika digunakan untuk
bernafas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan gas masuk semua ke
trakea lewat mulut atau hidung. Bentuk sungkup muka sangat beragam bergantung usia
dan pembuatnya. Ukuran 03 untuk bayi baru lahir, 02-01 untuk anak kecil, 2-3 untuk
anak besar dan 4-5 untuk dewasa. Sebagian sungkup muka dari bahan transparan
supaya udara ekspirasi kelihatan (berembun) atau kalau ada muntahan atau bibir
terjepit terlihat.
4. Laryngeal Mask Airway
LMA adalah alat jalan nafas berbentuk sendo terdiri dari pipa besar berlubang dengan
ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon
pada pipa trakea. Tangkai LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek
dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten. Cara pemasangan LMA dapat
dilakukan dengan atau tanpa bantuan laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan
tujuan di antaranya supaya dapat dipasang langsung tanoa bantuan alat dan dapat
digunakan jika intubasi trakea diramalkan mengalami kesulitan. LMA memang tidak
dapat mengganti kedudukan intubasi trakea, tetapi terletak di antara sungkup mua dan
intubasi trakea. Pemasangan hendaknya menunggu anestesia cukup dalam atau
menggunakan pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut, faring-laring.
Setelah alat terpasang, untuk menghindari pipa nafasnya tergigit maa dapat dipasang
gulungan kain kasa atau OPA.
5. Endotracheal Tube
ETT atau pipa trakea mengantar gas anestesi langsung e dalam trake dan biasanya
dibuat dari bahan standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut
(endotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).
6. Laringoskopi dan intubasi
Fungsi laring adalah mencegah benda asing masuk ke paru.
Kesulitan memasukan pipa trakea berhubungan dengan variasi anatomi yang dijumpai.
Klasifikasi tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan
maksimal menurut Malampati dibagi menjadi 4 gradasi :
Gradasi Pilar faring Uvula Palatum Molle
1 + + +
2 - + +
3 - - +
4 - - -
Indikasi intubasi trakea :
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui rima
glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara
dan bifukarsio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya digolongkan sebagai
berikut:
Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun : kelainan anatomi, bedah
khusus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas dan lain-lain
Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya, saat resusitasi
memungkinan penggunaan relaksan dengan efisien, ventilasi jangka panjang
Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
Kesulitan intubasi:
1) Congenital : Pierre Robin syndrome.
2) Anatomical : variasi dari gigi, dagu, mandibula, leher yang pendek dan tebal,
kehamilan
3) Acquired : e.g. scarring, swelling, malignancy, rheumatoid arthritis.
Komplikasi intubasi :
Selama intubasi : trauma gigi-geligi, laserasi bibir gusi laring, merangsang saraf
simpatis, intubasi bronkus, intubasi esofagus, aspirasi, spasme bronkus
Setelah ekstrubasi: spasme laring, aspirasu, gangguan fonasi, edema glotis-
subglotis, infeksi laring faring trakea.
2.3 Breathing management
Jenis-jenis gangguan nafas :
1. Hipoventilasi
pada pasien hipoventilasi dapat diberikan oksigen dengan :
nasal canule 2-3lpm dapat meningkatkan fraksi 30%
simple mask 6-8lpm dapat meningkatkan fraksi 60%
NRBM 2-3lpm dapat meningkatkan fraksi 80%
Bag mask/Jackson reese 2-3lpm dapat meningkatkan fraksi 100%
2. Aspirasi paru
Aspirasi paru dapat disebabkan oleh cairan yang masuk ke trakea dan bronkus,
menyebabkan terjadinya oksigen sulit masuk ke alveoli sehingga darah di kapiler
paru kurang membawa O2. Pada pasien dengan aspirasi paru harus segera
dilakukan :
Mengeluarkan cairan dengan cara meletakkan posisi kepala lebih rendah, tepuk-
tepuk dada, bantu batuk, apabila ada alat bantu suction dapat digunakan untuk
mengeluarkan cairan.
Beri O2
Beri nafas buatan
3. Apneu / gagal nafas
Pada pasien dengan gagal nafas harus segera dilakukan rescue breathing. Ada
beberapa cara memberikan nafas bantuan :
Mouth to mouth
Bag valve mask (ambubag)
Intubasi trakea
Ventilator
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Saiful Anwar
Usia : 25 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pasuruan
Berat Badan : 52 kg
Register : 11180xxx
Dirawat di : R.19
Tanggal dilakukan Anestesi : 5 Juni 2014
Lama anestesi : ± 2 jam 30 menit (00.30 - 03.00)
Diagnosis pra bedah : Peritonitis Generalisata dt Appendicitis Akut Perforata
Jenis pembedahan : Eksplorasi Laparotomi
Jenis anestesi : General Anaesthesia (GA) via Intubasi
3.2 Pre-Operasi (5 Juni 2014)
3.2.1 Anamnesa Pre-Operasi
A (Alergy) : Tidak didapatkan Alergi terhadap obat, asma (-)
M (Medication) : Selama 1 minggu dirawat di RSI Aisyah Malang diberikan obat-
obaran seperti Ranitidin, Ondansentron, Antrain, Magtral syrup.
P (Past History of Medication) : Riwayat DM (-), HT (-), icterus (-), pasien tidak
pernah mengecek riwayat penyakitnya.
L (Last Meal) : Pasien terakhir makan ± 2 hari SMRS, mual (+), muntah (-)
E (Elicit History) : Nyeri perut di seluruh lapangan perut kanan bawah yang diawali
dengan nyeri di ulu hati sejak 1 minggu SMRS.
3.2.2 Pemeriksaan Fisik Pre-Operasi
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 24x/mnt, Rh (-), Wh(-),
mallampati 1, leher ektensi bebas, jarak tiromental lebih dari 6 cm, buka mulut lebih dari 3 jari,
B2 : akral hangat, kering, merah, nadi 90x/mnt, TD 120/80, CRT < 2",
S1S2 single regular, murmur (-)
B3 : GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+
B4 : BAK (+), kateter urin (+), urin warna kuning (+), produksi urine 500cc
(dibuang)
B5 : slight distended, rigid, BU (+) menurun, defance muscular (+)
B6 : edema (-)
3.2.3 Pemeriksaan Laboratorium Pre-Operasi
Darah Lengkap
Hb :13,0 gr/dl (N : 11 - 16,5 gr/dl)
Leukosit : 9.000 /µl (N : 3.500 - 10.000 /µl)
Trombosit : 310.000 /µl (N : 142.000 - 424.000 /µl)
Hematokrit: 40,40 % (N : 35,0 - 50,0 %)
Serum Elektrolit
Natrium : 132 mmol/l (N : 136 - 145 mmol/l)
Kalium : 4.3 mmol/l (N : 3,5 - 5,0 mmol/l)
Chlorida : 99 mmol/l (N : 98 - 106 mmol/l)
Faal Hemostasis
PPT : 10,7 detik (Kontrol 11,0 detik)
APTT : 21,6 detik (Kontrol 26,4 detik)
Faal Ginjal
Ureum : 17,90 mg/dL (N: 16,6 – 48,5)
Creatinine : 0,98 mg/dL (N: <1,2)
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium, maka pasien ini dikategorikan ke dalam ASA 2 dengan masalah slight distended abdomen dan hiponatremi (132)
Rencana tindakan anestesi = GA (intubasi)
3.3 Durante Operasi
3.3.1 Laporan Anestesi Durante Operatif
Jenis anestesi : General anaesthesia
Teknik anestesi : Intubasi
Lama anestesi : 00.30 - 03.00
Lama operasi : 01.00 - 02.30
Premedikasi :1. Kalnex 1g
2. Metoclopramide 1mg
3. Ranitidin 50mg
4. Ketorolac 30mg
5. Ondansentron 4g
3.3.2 Pemberian Cairan
Cairan masuk:
Pre operatif : RL 690 cc
Durante operatif : RL 1610 cc
Cairan keluar:
Perdarahan : + 300 cc
Produksi urin : Preoperatf : 500 cc (dibuang)
Durante operatif : 300 cc
EBV: 3640 cc
ABL: 1400 cc
M: 92 cc/jam
O6: 312cc
3.4 Postoperatif
3.4.1 Laporan Anestesi Postoperatif di RR jam 00.30
Keluhan pasien: m ual (-), muntah (-), pusing (-), nyeri (-)
Pemeriksaan fisik:
B1: Airway paten, nafas spontan dengan O2 nasal canul 3 lpm, RR
20x/menit, RH(-),Wh(-).
B2: akral hangat, kulit merah, nadi 91x/menit, TD 123/81 mmHg
B3: GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+
B4: DC (+) Produksi Urin 50cc/2 jam
B5: BU (+), soefl, mual (-), muntah (-)
B6: mobilitas terbatas
Terapi Pasca Bedah
IVFD NS:D51/2 NS = 2:1
Inj ciprofloxacin 2x400mg
Inj metronidazole 3x500mg
Inj ketorolac 3x30mg
Inj ranitidin 2x50mg
Inj metoclopramide 3x10mg
Inj alinamin F 1x1 amp
3.4.2 R. 19
6/6/2014===========
B1: airway paten, RR 16x/menit, RH(-), Wh(-), oksigen 8 lpm
B2: akral hangat, Nadi 70 x/menit, TD 120/80 mmHg
B3: GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+
B4: DC(+) PU: 200cc/24 jam
B5: BU (+), soefl, mual (-), muntah (-)
B6: mobilitas terbatas
Terapi:
IVFD NS:D51/2 NS = 2:1
Inj ciprofloxacin 2x400mg
Inj metronidazole 3x500mg
Inj ketorolac 3x30mg
Inj ranitidin 2x50mg
Inj metoclopramide 3x10mg
Inj alinamin F 1x1 amp
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada tanggal 5 Juni 2014, pasien Sdr. Saiful Anwar, laki-laki berusia 26 tahun datang
ke Instalasi Rawat Darurat RSSA Malang dengan rujukan dari RSI Aisyiyah Malang dengan
keluhan utama nyeri pada seluruh bagian perut sejak 1 minggu, bersifat progresif dan
awalnya hanya di ulu hati kemudian semakin lama semakin menyebar dan semakin sakit.
Dari anamnesis didapatkan pasien tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-
obatan, pemakaian obat jangka panjang disangkal, juga tidak memiliki riwayat DM,
hipertensi maupun asma sebelumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan :
B1 : Airway paten, nafas spontan, RR 16-20x/mnt, Rh (-), Wh(-), , leher ektensi bebas,
jarak tiromental lebih dari 6 cm, buka mulut lebih dari 3 jari, ronchi (-), wheezing (-)
B2 : akral hangat, kering, merah, nadi 88x/mnt, TD 125/75, CRT < 2", S1S2 single
regular, murmur (-)
B3 : GCS 456, pupil bulat isokor, reflek cahaya +/+
B4 : BAK spontan (+), urin warna kuning (+), produksi urine 1200cc (dibuang)
B5 : BU (+) mual (-), muntah (+) defans muskular (+) distended (+)
B6 : akral hangat
Dari pemeriksaan fisik di atas, pasien tidak dalam kondisi shock. Dan dari hasil
laboratorium didapatkan kelainan berupa hiponatremia senilai 132 mg/dl. Sehingga dari
seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 2 dengan distensi abdomen
dan hiponatremia.
Operasi eksplorasi laparotomi dilakukan pada tanggal 5 Juni 2014, telah dilakukan
visite pre-operasi pada pasien, dengan diagnosis peritonitis generalisata et causa
appendisitis perforata. Pada pasien direncanakan untuk dilakukan general anestesi dengan
teknik intubasi.
Dalam menilai jalan nafas terdapat beberapa tahap yang harus dikerjakan, dimulai
dari membuka jalan nafas terlebih dahulu, evaluasi jalan nafas (look, listen,feel),periksa
jalan nafas apakah ada benda asing atau tidak jika ada maka lakukan finger swep,
selanjutnya pertahankan jalan nafas jika sudah dipastikan bahwa airwaynya patent.
Dari pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, pasien masih mampu melakukan
komunikasi, itu membuktikan bahwa jalan nafas pasien tersebut masih patent. Pada pasien
ini tidak didapatkan kelainan pada airway maupun breathing tapi untuk mencegah terjadinya
hipoksia, pasien diberikan tambahan oksigen, berupa nasal canule 3 lpm untuk mencegah
terjadinya hipoksia pada pasien.
BAB V
PENUTUP
Pada tanggal 5 Juni 2014, pasien Sdr. Saiful Anwar, laki-laki berusia 26 tahun datang
ke Instalasi Rawat Darurat RSSA Malang dengan rujukan dari RSI Aisyiyah Malang dengan
keluhan utama nyeri pada seluruh bagian perut sejak 1 minggu, bersifat progresif dan
awalnya hanya di ulu hati kemudian semakin lama semakin menyebar dan semakin sakit.
Dari seluruh hasil pemeriksaan, pasien dikategorikan sebagai ASA 2 dengan distensi
abdomen dan hiponatremia. Operasi eksplorasi laparotomi dilakukan pada tanggal 5 Juni
2014, telah dilakukan visite pre-operasi pada pasien, dengan diagnosis peritonitis
generalisata et causa appendisitis perforata. Pada pasien direncanakan untuk dilakukan
general anestesi dengan teknik intubasi.
Pada pasien ini diberikan pemberian oksigen dengan nasal canul 3 lpm saat pre
operasi, durante operasi hingga post operasi, dengan tujuan mencegah terjadinya hipoksia.