27

Click here to load reader

Laporan Kasus Kelompok (Kejang)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

LAPKAS

Citation preview

Laporan Kasus Kelompok

Kejang pada Penderita Mioma Uteri

Oleh :

Muhammad Anggo 0908120343 Muhammad Maliki 0908 Saddam Muhdi 0908151696

PEMBIMBINGdr. Sutantri Edi Prabowo, Sp. Andr. Dino Irawan, Sp. Andr. Sony, Sp. An

KEPANITRAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN REANIMASIFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAURSUD ARIFIN AHMADPEKANBARU

2014

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kelompok ini yang berjudul Kejang pada Penderita Mioma UteriPenulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus kelompok ini. Terima kasih penulis kepada dr. Sutantri Edi Prabowo, Sp. An, dr. Dino Irawan, Sp. An, dan dr. Sony, Sp. An yang telah membimbing, meluangkan waktu, dan memberi saran dalam penulisan laporan ini.Penulis menyadari adanya kekurangan dalam penulisan laporan ini, karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang relevan untuk kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca.

Pekanbaru, Maret 2014

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iDAFTAR ISI iiBAB I TINJAUAN PUSTAKA 1 1.1 Definisi 1.2 Epidemiologi 1.3 Etiologi dan Patogenesis 1.4 Diagnosis 1.5 Diagnosis Banding1.6 Komplikasi 1.7 Penatalaksanaan1.8 Prognosis

BAB II KASUS

BAB III PEMBAHASAN

BAB VDAFTAR PUSTAKA

BAB I TINJAUAN PUSTAKA

1. Kejang1.1 Definisi kejangKejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena

1.2 Etiologi Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak , trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan gejala putus alkohol dan gangguan metabolic, uremia, overhidrasi, toksik subcutan, sabagian kejang merupakan idiopatik ( tidak diketahui etiologinya )

1. IntrakranialAsfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemikTrauma (perdarahan) : Perdarahan sub araknoid, sub dural atau intra ventricularInfeksi : Bakteri virus dan parasitKelainan bawaan : Disgenesis, korteks serebri

2. Ekstra cranialGangguan metabolik :Hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesimia, gangguan elektrolit (Na dan K)Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obatKelainan yang diturunkan: Gangguan metabolism asam amino, ketergantungan dan kekurangan asam amino

3. IdiopatikKejang neonates, fanciliel benigna, kejang hari ke 5

1.3 Klasifikasi kejangKejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 3 bagian yaitu : kejang, klonik, kejang tonik dan kejang mioklonik.a. Kejang TonikKejang ini biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendahdengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak atau kernikterusb. Kejang KlonikKejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidakdiikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.c. Kejang MioklonikGambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan ataukeempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek moro. Kejang ini merupakan pertanda kerusakan susunan saraf pusat yang luas dan hebat. Gambaran EEG pada kejang mioklonik pada bayi tidak spesifik.1.4 PatofisiologiUntuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu energy yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru dan diteruskan ke otak melalui system kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membrane yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionic. Dalam keadaan normal membrane sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (NA+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan yang disebut potensial membrane dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membrane ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.

Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :1. perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.2. rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.3. perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan

1.5 Manifestasi Klinis1. Kejang parsial ( fokal, lokal )a. Kejang parsial sederhana :Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini :1) Tanda tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.2) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.3) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.3) Kejang tubuh : umumnya gerakan setiap kejang sama.b. Parsial kompleks1) Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang parsial simpleks2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya.3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku

2. Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )a. Kejang absens1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang dari 15 detik3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi penuhb. Kejang mioklonik1) Kedutan kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang terjadi secara mendadak.2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik berupa kedutan kedutan sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.c. Kejang tonik klonik1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari 1 menit2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictald. Kejang atonik1) Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

1.6 PenatalaksanaanTerapi obat antiepileptik adalah dasar penatalaksanaan medis. Terapi obat tunggal adalah terapi yang paling disukai, dengan tujuan menyeimbangkan kontrol kejang dan efek samping yang merugikan. Obat dasar didasarkan pada jenis kejang, sindrom epileptik, dan variable pasien. Mungkin diperlukan kombinasi obat agar kejang dapat dikendalikan. Pengendalian penuh hanya didapat pada 50 % sampai 75 % anak epilepsi. Mekanisme kerja obat-obat antiepileptik bersifat kompleks dan jelas sepenuhnya. Obat antikonvulsan dapat mengurangi letupan neural, membantu aktifitas asam amino penghambat, atau mengurangi letupan lambat dari neuron thalamus. Berikut ini terdapat antikonvulsan yang umum dipakai 1. Fenobarbitalindikasi kejang mioklonik. Kejang tonik-klonik, status epileptikus; kadar terapeutik: 15-40 mcg/ml 2. Fenitoin (Dilantin) indikasi: kejang parsial, kejang tonik-klonik, status epileptikus; kadar terapeutik 10-20mcg/ml 3. Karbamazepin (Tegretol) indikasi: kejang parsial, kejang tonik-klonik; kadar tapeuretik: 4-12 mcg/ml 4. Asam valproat (Depakane)indikasi: kejang absens atipik, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik, kejang atonik, dan terutama bermanfaat untuk gangguan kejang campuran; kadar terapeutik 40-100 mcg/ml 5. Primodon (Mysoline)indikasi: kadang-kadang dipakai untuk mengobati kejang tonik-klonik kadar terapeutik 4-12 mcg/ml. 6. Etosuksimid (Zarontin)indikasi: kejang absens. 7. Klonazepam (Klonopin)indikasi: kejang absens, kejang tonik-klonik, spasme infantile.

2. Mioma uteri2.1DefinisiMioma uteri adalah tumor jinak otot polos uterus yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos, jaringan pengikat fibroid dan kolagen. Mioma uteri merupakan neoplasma jinak yang paling umum dan sering dialami oleh wanita.

2.2 Faktor predisposisiDalam Jeffcoates Principles of Gynecology, ada beberapa faktor yang diduga kuat sebagai faktor predisposisi terjadinya mioma uteri, yaitu : 1) Umur Proporsi mioma meningkat pada usia 35-45 tahun. Penelitian Chao-Ru Chen (2001) di New York menemukan wanita kulit putih umur 40-44 tahun beresiko 6,3 kali menderita mioma uteri dibandingkan umur < 30 tahun (OR =6,3; 95% CI:3,5-11,6). Sedangkan pada wanita kulit hitam umur 40-44 tahun beresiko 27,5 kali untuk menderita mioma uteri jika dibandingkan umur < 30 tahun (OR=27,5; 95% CI:5,6-83,6).2) Paritas Lebih sering terjadi pada nullipara atau pada wanita yang relatif infertile, tetapi sampai saat ini belum diketahui apakah infertilitas menyebabkan mioma uteri atau sebaliknya mioma uteri yang menyebabkan infertilitas, atau apakah keadaan ini saling mempengaruhi. Penelitian Okezie di Nigeria terhadap 190 kasus mioma uteri, 128 (67,3%) adalah nullipara. Penelitian yang dilakukan di Nigeria terhadap wanita dengan usia rata 44,9 tahun, 40,8 % nullipara dan 35% melahirkan 1-2 kali. Demikian juga dengan hasil penelitian Buttrum memperoleh dari 1.698 kasus mioma uteri, 27% diantaranya infertile dan 31% melahirkan 1-2 kali. 3) Faktor Ras dan Genetik Pada wanita tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri lebih tinggi. Penelitian Baird di Amerika yang dilakukan terhadap wanita kulit hitam dan wanita kulit putih menemukan bahwa wanita kulit hitam beresiko 2,9 kali menderita mioma uteri (OR=2,9; 95%CI:2,5-3,4). Terlepas dari faktor ras, kejadian mioma juga tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga ada yang menderita mioma uteri.

2.3 Gejala klinis1) Gejala Subjektif Pada umumnya kasus mioma uteri ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan ginekologik karena tumor ini tidak mengganggu. Timbulnya gejala subjektif dipengaruhi oleh: letak mioma uteri, besar mioma uteri, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala subjektif pada mioma uteri: a. Perdarahan abnormal, merupakan gejala yang paling umum dijumpai. Gangguan perdarahan yang terjadi umumnya adalah: menoragia, dan metrorargia. Beberapa faktor yang menjadi penyebab perdarahan ini antara lain adalah: pengaruh ovarium sehingga terjadilah hiperplasia endometrium, permukaan endometrium yang lebih luas dari pada biasa, atrofi endometrium, dan gangguan kontraksi otot rahim karena adanya sarang mioma di antara serabut miometrium, sehingga tidak dapat menjepit pembuluh darah yang melaluinya dengan baik. Akibat perdarahan penderita dapat mengeluh anemis karena kekurangan darah, pusing, cepat lelah, dan mudah terjadi infeksi. b. Rasa nyeri, gejala klinik ini bukan merupakan gejala yang khas tetapi gejala ini dapat timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Pada pengeluaran mioma submukosum yang akan dilahirkan dan pertumbuhannya yang menyempitkan kanalis servikalis dapat menyebabkan juga dismenore. c. Tanda penekanan, Gangguan ini tergantung dari besar dan tempat mioma uteri. Penekanan pada kandung kemih akan menyebabkan poliuria, pada uretra dapat menyebabkan retensio urine, pada ureter dapat menyebabkan hidroureter dan hidronefrosis, pada rektum dapat menyebabkan obstipasi dan tenesmia, pada pembuluh darah dan pembuluh limfe di panggul dapat menyebabkan edema tungkai dan nyeri panggul.

2) Gejala Objektif Gejala Objektif merupakan gejala yang ditegakkan melalui diagnosa ahli medis. Gejala objektif mioma uteri ditegakkan melalui: a. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik dapat berupa pemeriksaan abdomen dan pemeriksaan pelvik. Pada pemeriksaan abdomen, uterus yang besar dapat dipalpasi pada abdomen. Tumor teraba sebagai nodul ireguler dan tetap, area perlunakan memberi kesan adanya perubahan degeneratif. Pada pemeriksaan pelvis, serviks biasanya normal, namun pada keadaan tertentu mioma submukosa yang bertangkai dapat mengakibatkan dilatasi serviks dan terlihat pada ostium servikalis. Uterus cenderung membesar tidak beraturan dan noduler. Perlunakan tergantung pada derajat degenerasi dan kerusakan vaskular. Uterus sering dapat digerakkan, kecuali apabila terdapat keadaan patologik pada adneksa.

b. Pemeriksaan Penunjang Apabila keberadaan masa pelvis meragukan maka pemeriksaan dengan ultrasonografi akan dapat membantu. Selain itu melalui pemeriksaan laboratorium (hitung darah lengkap dan apusan darah) dapat dilakukan.

2.4 Penatalaksanaan1) Pengobatan Konservatif Dalam dekade terakhir ada usaha untuk mengobati mioma uterus dengan Gonadotropin releasing hormone (GnRH) agonis. Pengobatan GnRH agonis selama 16 minggu pada mioma uteri menghasilkan degenerasi hialin di miometrium hingga uterus menjadi kecil. Setelah pemberian GnRH agonis dihentikan mioma yang lisut itu akan tumbuh kembali di bawah pengaruh estrogen oleh karena mioma itu masih mengandung reseptor estrogen dalam konsentrasi tinggi. 2) Pengobatan Operatif Tindakan operatif mioma uteri dilakukan terhadap mioma yang menimbulkan gejala yang tidak dapat ditangani dengan pengobatan operatif, tindakan operatif yang dilakukan antara lain : a. Miomektomi Miomektomi adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan uterus, misalnya pada mioma submukosum pada mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina. Apabila miomektomi dikerjakan karena keinginan memperoleh anak, maka kemungkinan akan terjadi kehamilan 30-50%. Pengambilan sarang mioma subserosum dapat dengan mudah dilaksanakan apabila tumor bertangkai. Tindakan ini seharusnya hanya dibatasi pada tumor dengan tangkai yang jelas yang dengan mudah dapat dijepit dan diikat. Bila tidak mioma dapat diambil dari uterus pada waktu hamil atau melahirkan, sebab perdarahan dapat berkepanjangan dan terkadang uterus dikorbankan. b. Histerektomi Histerektomi adalah pengangkatan uterus yang umumnya merupakan tindakan terpilih. Tindakan ini terbaik untuk wanita berumur lebih dari 40 tahun dan tidak menghendaki anak lagi atau tumor yang lebih besar dari kehamilan 12 minggu disertai adanya gangguan penekanan atau tumor yang cepat membesar. Histerektomi dapat dilaksanakan perabdomen atau pervaginum. Adanya prolapsus uteri akan mempermudah prosedur pembedahan. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah akan timbulnya karsinoma serviks uteri. Histeroktomi supra vaginal hanya dilakukan apabila terdapat kesukaran teknis dalam mengangkat uterus keseluruhan

BAB II KASUS

Nama Coass: M.Anggo, M.Maliki, SaddamNama Pasien: SugianisUmur: 36 tahun Jenis Kelamin: Perempuan Status: MenikahAgama: IslamNomor RM: 847760Tanggal Masuk ICU: 22 Maret 2014

II. AnamnesisKeluhan utamaPasien mengalami kejang sebelum masuk ICU

Riwayat penyakit sekarang Pasien awalnya di rawat di ruangan Camar dengan keluhan sakit pada bagian perut dan keluar darah yang tidak berhenti dari vagina. Setelah dirawat, pasien dikonfirmasi dengan diagnosis mioma uteri besar dan direncanakan operasi. Namun, KU memburuk operasi akhirnya ditunda. Setelah di rawat 2 hari di ruangan Camar, pasien mengalami kejang, dan kemudian advice dari dr. SpOG pasien dirawat di ICU kira-kira pukul 14.30 tanggal 22 Maret 2014.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit keluarga

Riwayat operasi sebelumnya Belum pernah melakukan operasi sebelumnya

III. Pemeriksaan FisikKeadaan umum: BaikKesadaran: KomposmentisVital sign Tekanan darah: 142/81 mmHg Nadi: 93x/ menit Frekuensi nafas: 22x/ menit Suhu: Afebris (36,50 C) Kepala: Dalam batasanormal Dada: Simetris kiri dan kanan, paru wheezing (-) Jantung: Dalam batas normal Abdomen: Inspeksi : Perut tidak rata, tampak cembung, sikatrik (-) Auskultasi : Peristaltik (+) Palpasi : Teraba massa sebesar kepala bayi, teraba kenyal, nyeri tekan (+) Perkusi : Tyhmpani Genitalia: Dalam batas normal Ekstremitas: Dalam batasan normal

IV. Pemeriksaan penunjangLaboratorium ( 19 Maret 2014)Pemeriksaan penunjang tanggal 19 MaretLaboratorium

Darah rutin

Wbc : 9,9 /ulHb : 5,5 x 103 gr/dlHt : 30,6 %Plt : 252 x 103 / ul

Hasil Pemeriksaan Lab tanggal 22 Maret 2014AGD: pH: 7,25 pCO2 : 39 mmHg pO2: 119 mmHg HCO3 : 17,1 mmol/LElektrolit : Na+: 139 mmol/L BE : -9,5 mmol/L K+: 2,6 mmol/L SO2 : 99%

V. Diagnosis Kerja : P1A0H1 + mioma uteri (Observasi kejang)VI. PrognosisDubia et bonamCa ++: 1,17 mmol/L Hct : 23 %

FOLLOW UP DI RUANG ICU Tanggal 23 Febuari 2014S: Pasien tampak lemah, mengalami kejang sebanyak 3 kaliO: Kesadaran : apatisKeadaan umum : tampak sakit sedangKV : T: 142/81 mmHg, Suhu : 37,5o Nadi : 93 x/menit Sat : 99%Respirasi : 22x/menit, saturasi : 99%, AGD:pH: 7,45 pCO2: 39 mmHgpO2: 64 mmHgHCO3: 27,1 mmol/L Elektrolit : Na+: 140 mmol/LBE : 2,9 mmol/L K+: 2,8 mmol/LSO2 : 99% Ca ++: 1,13 mmol/L Hct : 37 % A: P1A0H1 + mioma uteri + Observasi kejang P: Koreksi kalium, KCL 2 flcInjeksi Ceftriaxon 2x1 grInjeksi Ranitidin 2x1 grPhenitoin 1x1

Tanggal 24 Febuari 2014S: Pasien tampak lemah, ada serangan kejang 2 kali O: Kesadaran : apatis Keadaan umum : tampak sakit sedangKV : T: 145/83 mmHg Suhu : 37,4o Nadi : 89 x/menit Sat : 99% Respirasi : 24x/menit, saturasi : 99%, AGD: pH: 7,48 pCO2: 38 mmHg pO2: 105 mmHg HCO3: 28,3 mmol/L Elektrolit : Na+: 138 mmol/LBE : 4,6 mmol/L K+: 3,2 mmol/LSO2 : 98% Ca 2+: 1,10 mmol/L Hct : 36% A: P1A0H1 + mioma uteri + Observasi kejang (Dd : Hipokalemia)P: Koreksi kalium, KCL 2 flcInjeksi Ceftriaxon 2x1 grInjeksi Ranitidin 2x1 grPhenitoin 1x1

Tanggal 25 Febuari 2014S: Kondisi pasien membaik, tidak ada serangan kejang. Kondisi stabil.O: Kesadaran : Composmentis GCS : E4M6V5Keadaan umum : tampak sakit ringan KV : T: 133/66 mmHg Suhu : 37,1o Nadi : 88 x/menit Sat : 99%Respirasi : 20x/menit, saturasi : 99%, AGD: pH: 7,40 pCO2: 45 mmHgpO2: 127 mmHgHCO3: 26,9 mmol/L Elektrolit : Na+: 138 mmol/LBE : 2,5 mmol/L K+: 3,0 mmol/LSO2 : 99% Ca ++: 1,09 mmol/L Hct : 44 % A: P1A0H1 + mioma uteri P: Injeksi Ceftriaxon 2x1 grInjeksi Ranitidin 2x1 grPhenitoin 1x1Kondisi Pasien stabil dan pasien dirawat kembali di ruangan camar.

BAB III PEMBAHASAN

Pasien ini awalnya mengeluhkan keluar darah dari kemaluan sejak 1 minggu SMRS. Pasien merupakan rujukan dari RS Siak dengan suspect mioma uteri. Setelah berada di RSUD Arifin Achmad, kemudian pasien dilakukan pemeriksaan untuk konfirmasi melalui USG. Hasil pemeriksaan menunjukkan hasil diagnosis Mioma uteri besar. Pasien sempat dirawat di Ruangan Camar selama 2 hari. Namun pada hari kedua, pasien mengalami kejang. Kejang dialami sebanyak 2-4 kali dalam sehari. Pada saat kejang pasien dalam kondisi tidak sadar. Setelah kejang yang berulang, advice dari dr. Sp.OG yang merawat adalah perawatan di ruang ICU.Pasien masuk ICU pada tanggal 22 Maret 2014, atau setelah 3 hari pasien dirawat di Ruang Camar. Indikasi pasien masuk ICU adalah kejang yang berulang sejak 2 hari sebelumnya. Permasalahan pada pasien ini ada pada kejang yang dialaminya. Berdasarkan autoanamnesis dan aloanamnesis, pasien belum pernah mengalami kejang sebelumnya. Pada saat kejang, pasien tidak sadar. Kejang terjadi pada seluruh tubuh.Pasien masuk dengan hasil lab yang menunjukkan keadaan hipokalemi dan hiperkalsemia di sertai dengan asidosis metabolik. Hal ini didasarkan pada nilai Kalium di bawah 3,5 mmol/L, yaitu 2,6 pada pasien ini. Kemudian nilai Kalsium di atas 1,08 mmol/L yaitu 1,17 pada pasien ini. Nilai PH darah dibawah 7,35 yaitu 7,25 pada pasien ini dan kadar HCO3 dibawah 22 yaitu 17 mmol/L. Jadi, pada pasien ini kejang yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh keadaan di atas.Gangguan elektrolit dapat menyebabkan kejang, hal ini dikarenakan `ketidakseimbangan elektrolit yang berperan pada patofisiologi terjadinya kejang. Namun elektrolit yang berperan besar dalam terjadinya kejang cenderung mengarah kepada kelainan kadar natrium, hipokalsemia dan hipomagnesiamia. Sedangkan kadara kalium yan rendah dilaporkan jarang menyebabkan kejang, perubahan level kalium pada tingkat ekstraseluler memiliki efek predominan dan penting pada fungsi kardiovaskuler dan neuromuskuler. Jadi, kelainan kalium yang parah dapat menimbulkan aritmia fatal atau kelumpuhan otot sebelum gejala SSP muncul. Pada kasus ini, tidak diketahui secara pasti apa penyebab kejang yang terjadi, namun pada saat pasien masuk memang telah terjadi gangguan elektrolit. Pada saat 4 hari dirawat, pasien mendapat perbaikan kalium dengan pemberian KCL tiap harinya, dan pemantauan terhadap serangan kejang. Obat-obatan untuk maintenance kejang adalah phenitoin yang dilakukan diberikan secara drip. Pada tanggal 25 Maret 2014, kondisi pasien stabil dan dipindahkan kembali ke ruangan.