54
Identitas Pasien Nama Pasien : By. F TTL : Cianjur, Juni 2012 Jenis Kelamin : Perempuan Nama Orang Tua : Tn. J dan Ny. R Alamat : RT 01 RW 07 Pasir kuda Pekerjaan orang tua : wiraswasta dan IRT Masuk Rumah Sakit : 17 Juni 2012 A. ALLONAMNESIS : terhadap penderita. Bayi tampak kuning Riwayat Penyakit Sekarang : Sejak 10 hari setelah lahir, ibu penderita melihat bayinya tampak kuning. Warna kuning tampak pertama kali pada mata dan muka yang semakin lama semakin kuning, kemudian menyebar ke badan, tungkai dan lengan hingga betis kaki. Keluhan kuning disertai dengan bayi tampak mengantuk, menangis lemah dan menetek lemah. Keluhan kuning tidak disertai panas badan, kejang ataupun penurunan kesadaran. Buang air besar tidak tampak seperti dempul dan buang air kecil tidak tampak berwarna teh pekat.

LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Identitas Pasien

Nama Pasien : By. F

TTL : Cianjur, Juni 2012

Jenis Kelamin : Perempuan

Nama Orang Tua : Tn. J dan Ny. R

Alamat : RT 01 RW 07 Pasir kuda

Pekerjaan orang tua : wiraswasta dan IRT

Masuk Rumah Sakit : 17 Juni 2012

A. ALLONAMNESIS : terhadap penderita.

Bayi tampak kuning

Riwayat Penyakit Sekarang :

Sejak 10 hari setelah lahir, ibu penderita melihat bayinya tampak kuning. Warna kuning tampak

pertama kali pada mata dan muka yang semakin lama semakin kuning, kemudian menyebar ke

badan, tungkai dan lengan hingga betis kaki. Keluhan kuning disertai dengan bayi tampak

mengantuk, menangis lemah dan menetek lemah. Keluhan kuning tidak disertai panas badan,

kejang ataupun penurunan kesadaran. Buang air besar tidak tampak seperti dempul dan buang air

kecil tidak tampak berwarna teh pekat.

Riwayat Kehamilan :

Selama kehamilan berat badan ibu naik 8 kg. ibu memeriksakan kehamilan nya pada bidan dan

kontrol secara tidak teratur sebanyak 3 kali selama kehamilan. Selama kehamilan ibu tidak

Page 2: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

pernah minum obat selain dari bidan, yaitu dua macam obat tablet berwarna merah 1x/hari dan

tablet warna kuning kecil 1x/hari selama tiga bulan dan diberi suntikan 1 kali. Riwayat ibu sakit

tekanan darah tiggi selama kehamilan disangkal. Riwayat sakit kuning, kelainan darah dan

kekurangan darah dalam keluarga disangkal. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan/jamu selain

dari bidan selama hamil/saat bersalin disangkal. riwayat memelihara kucing disangkal. Ibu dan

ayah tidak mengetahui golongan darah mereka.

Riwayat Kelahiran :

Penderita lahir pada tanggal 07-06-12 jam 13.00 dari seorang ibu G1P0A0 yang hamil kurang

bulan(32-33 minggu), letak kepala, lahir spontan, di tolong oleh paraji, tidak langsung menangis,

dan tali pusat langsung dipotong. Berat badan lahir 1800 gr dengan panjang badan 42 cm.

riwayat kebiruan pada saat atau setelah persalinan tidak diketahui.

Riwayat Makanan :

ASI dari lahir sampai sekarang > 6 x/hari, tampak semakin kuning saat diberikan ASI.

Riwayat Imunisasi :

Penderita belum pernah mendapatkan imunisasi BCG.

B. Pemeriksaan Fisik

Kesadaran : letargis

Kesan : tampak sakit berat

Menangis : lemah

Ikterik : kramer IV

• Suhu : 36.8oC

Page 3: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

• TD : tidak dilakukan

• Nadi : 140x/menit.

• RR : 40x/menit.

Antropometri.

BB : 1500 gr

PB : 42 cm

LK : 29 cm

LD : 25 cm

LP : 24 cm

Kepala

• Kulit : ikterik

• Ubun-ubun : UUB datar.

• Mata :

Konjungtiva : anemis (-)/(-)

Sklera : ikterik (+)/(+)

• Hidung : PCH (-)

• Mulut : Bibir kering (-), perioral sianosis (-)

• Leher : Retraksi suprasternal (-), Pembesaran KGB (-)

Thorax

• Bentuk dan gerak simetris, retraksi ICS (-)

Page 4: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

• C/ictus cordis tak tampak dan teraba di ICS V LMCS. BJ murni reguler

• P/ Sonor, VBS ki=ka

Abdomen

Datar lembut

Retraksi epigastrium (-)

Hepar : tidak teraba membesar

Lien : tidak teraba membesar

Bising usus : (+) normal

Ekstremitas

Akral hangat (+/+)

Refleks fisiologis (+/+)

Refleks patologis (-/-)

Sianosis(-/-)

Plantar creases > 1/3 anterior

Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 13.4 13.5-19.5 g/dl

Hematokrit 41.8 44-64%

Leukosit 11.0 6.0-18.0 103/µL

Trombosit 159.000 150.000 – 450.000

Page 5: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

KIMIA DARAH

Bilirubin total 16.97 mg% (≤1.0)

Bilirubin direk 1.39 mg%(≤0.25)

Bilirubin indirek 15.58 mg%(≤0.75)

Resume

Penderita bayi laki-laki usia 10 hari datang berobat ke RSUD cianjur dengan keluhan utama

kuning seluruh tubuh.

Sejak 10 hari setelah lahir tampak ikterus seluruh tubuh. Ikterus diawali pada mata dan wajah

yang semakin lama semakin kuning, lalu menjalar sampai dengan betis kaki. Keluhan disertai

bayi tampak mengantuk, menangis lemah dan menetek lemah. Tidak disertai panas badan,

kejang atau penurunan kesadaran, BAB tampak seperti dempul dan BAK berwarna teh pekat. Ibu

tidak rutin memeriksakan kandungan nya selama kehamilan, ibu tidak pernah minum obat selain

dari bidan, yaitu 2 macam obat berwarna merah 1 x/hari dan tablet warna kuning kecil 1 x/hari

selama 3 bulan dan diberi suntikan 1 x/hari/. Riwayat sakit kuning, kelainan darah, dan

kekurangan darah dalam keluarga tidak ada. Penderita anak pertama lahir prematur 32-33

minggu , letak kepala, lahir spontan oleh paraji. Minum ASI semenjak lahir tampak semakin

kuning saat diberikan ASI.

Dari pemeriksaan fisik kesadaran letargis, kulit ikterik, sklera ikterik, dari pemeriksaan

laboratorium bilirubin total, bilirubin indirek, bilirubin direk meningkat.

Page 6: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

DISKUSI

Pendahuluan

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering ditemukan pada

bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam minggu pertama

kehidupan disebabkan oleh keadaan ini. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna

kuning, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z bilirubin IX alpha) yang

berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal dari degradasi heme yang

merupakan komponen haemoglobin mamalia. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum

berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal.

Keadaan ini akan menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada

kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan fenomena

transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara

berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan

bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbulkan sekuele

neurologis. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah

ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah

mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.

Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan perhatian, terutama apabila

ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin meningkat > 5

mg/dL (> 86μmol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang

berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL juga merupakan keadaan yang

menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut penatalaksanaan

ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus dapat dihindarkan.

Metabolisme bilirubin

Reaksi kimia dan enzimatis yang terjadi pada metabolisme pemecahan heme dan

pembentukan bilirubin sangat kompleks. Mula-mula heme dilepaskan dari hemoglobin sel darah

merah yang mengalami hemolisis di sel-sel retikuloendothelial dan dari hemoprotein lain, seperti

mioglobin, katalase, peroksidase, sitokrom dan nitrit oksida sintase, yang terdapat pada berbagai

organ dan jaringan. Selanjutnya, globin akan diuraikan menjadi unsur-unsur asam amino

Page 7: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

pembentuk semula untuk digunakan kembali, zat besi dari heme akan memasuki depot zat besi

yang juga untuk pemakaian kembali, sedangkan heme akan dikatabolisme melalui serangkaian

proses enzimatik. Bagian porfirin tanpa besi pada heme juga diuraikan, terutama di dalam sel-sel

retikuloendotelial pada hati, limpa dan sumsum tulang.

Heme yang dilepaskan dari hemoglobin akan didegradasi oleh suatu proses enzimatis di

dalam fraksi mikrosom sel retikuloendetelial. Proses ini dikatalisir oleh enzim heme oksigenase,

yaitu enzim pertama dan enzyme pembatas-kecepatan (a rate-limiting enzyme) yang bekerja

dalam suatu reaksi dua tahap dengan melibatkan Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

(NADPH) dan oksigen. Sebagaimana dilukiskan dalam gambar 1, heme akan direduksi oleh

NADPH, dan oksigen ditambahkan pada jembatan α-metenil antara pirol I dan II porfirin.

Dengan penambahan lebih banyak oksigen, ion feri (Fe+++) dilepaskan, kemudian dihasilkan

karbon monoksida dan biliverdin IX-α dengan jumlah ekuimolar dari pemecahan cincin

tetrapirol. Metalloporfirin, yaitu analog heme sintetis, dapat secara kompetitif menginhibisi

aktivitas heme oksigenase (ditunjukkan oleh tanda X pada gambar).

Gambar 1. Alur Metabolisme Pemecahan Heme dan Pembentukan Bilirubin

Sumber : Denery PA, et al. Neonatal Hyperbilirubinemia, New Eng Med Journal

Page 8: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Karbon monoksida mengaktivasi GC (guanylyl cyclase) menghasilkan pembentukan

cGMP (cyclic guanosine monophosphate). Selain itu dapat menggeser oksigen dari oksi

hemoglobin atau diekshalasi. Proses ini melepaskan oksigen dan menghasilkan karboksi

hemoglobin. Selanjutnya karboksi hemoglobin dapat bereaksi kembali dengan oksigen,

menghasilkan oksi hemoglobin dan karbon monoksida yang diekshalasi. Jadi rangkaian reaksi ini

sebenarnya merupakan reaksi dua arah. Biliverdin dari hasil degradasi heme selanjutnya

direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase di dalam sitosol. Bilirubin disebut

sebagai bilirubin indirek (unconjugated bilirubin), yang terbentuk dalam jaringan perifer akan

diikat oleh albumin, diangkut oleh plasma ke dalam hati.

Pada saat kompleks bilirubin – albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin

terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, di transfer melalui sel membran yang

berikatan dengan ligandin ( protein y ), mungkin juga dengan protein ikatan sitosilik lainnya.

Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi

enterohepatik, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan

konjugasi bilirubin akan menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik

pada keadaan normal ataupun tidak normal.

Berkurangnya kapasitas pengambilan hepaatik bilirubin tak terkonjugasi akan

berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal ini terjadi

karena adanya defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer bilirubin dari darah ke

empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan. Walaupun demikian defisiensi ambilan ini dapat

menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan saat

konjugasi bilirubin hepatic mencapai kecepatan normal yang sama dengan orang dewasa.

Konjugasi Bilirubin

Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan kebentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam

air di reticulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospate glukuronosyl transferase (

UDPG – T ). Katalisa oleh enzim ini akan merubah formasi menjadi bilirubin monoglukoronida

yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian

dieksresikan ke dalam kalanikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi

akan kembali ke reticulum endoplasmic untuk rekonjugasi berikutnya.

Page 9: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Eksresi Bilirubin

Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan dieksresikan kedalam kandung

empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan di eksresikan melalui feses. Setelah berada

dalam usus halus bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali jika

dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta – glukoronidase yang

terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati untuk di

konjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.

Terdapat perbedaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa usus

halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat menghidrolisa

monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang tak terkonjugasi yang

selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril

sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak

dapat diabsorbsi).

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup bulan

sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80 % bilirubin yang

diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar per

kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih pendek. (1)

Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan bilirubin

akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris, yang

kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan

ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan

hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia dan gangguan

proses ambilan bilirubin olah hepatosit.

Mekanisme hiperbilirubinemia dan ikterus

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat terjadi :

pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh

Page 10: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu

akibat faktor intra hepatik yang bersifat opbtruksi fungsional atau mekanik.

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme yang

pertama,sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.

1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan

Penyakit hemolitik atau peningkatan kecepatan destruksi sel darah merah merupakan

penyebab utama dari pembentukan bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut

ikterus hemolitik. Konjugasi dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai

bilirubin tak terkonjugasi melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang

sering adalah hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada animea sel sabit), sel darah merah

abnormal (sterositosis herediter), anti body dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian

beberapa obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan

hemolisis). Sebagaian kasus Ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan destruksi sel

darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia persuisiosa, porviria).

Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif Kadar bilirubin tak terkonjugasi yang melebihi

20 mg / 100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern Ikterus.

2. Gangguan pengambilan bilirubin

Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat abulmin oleh sel-sel hati dilakukan

dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan pada protein penerima. Hanya beberapa

obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati,

asam flafas pidat (dipakai untuk mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna

kolesistografik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat

yang menjadi penyebab di hentikan. Dahulu ikterus neonatal dan beberapa kasus sindrom Gilbert

dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh hati. Namun

pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil transferase sehingga

keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.

3. Gangguan konjugasi bilirubin

Page 11: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan ( < 12,9 / 100 ml ) yang mulai terjadi pada

hari ke dua sampai ke lima lahir disebut Ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatal yang

normal ini disebabkan oleh kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas

glukoronil tranferase biasanya meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke

dua, dan setelah itu Ikterus akan menghilang.

Kern Ikterus atau bilirubin enselopati timbul akibat penimbunan bilirubin tak terkonjugasi

pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini tidak di obati maka akan terjadi

kematian atau kerusakan Neorologik berat tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada Neonatus

dengan Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi adalah dengan fototerapi.

Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar fluoresen atau (gelombang yang

panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang telanjang. Penyinaran ini

menyebabkan perubahan struktural Bilirubin (foto isumerisasi) menjadi isomer-isomer yang larut

dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat ke dalam empedu tanpa harus di

konjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (Luminal) yang meningkatkan aktivitas glukoronil

transferase sering kali dapat menghilang ikterus pada penderita ini.

4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi

Gangguan eskresi bilirubin, baik yang disebabkan oleh faktor-faktor Fungsional maupun

obstruksi, terutama mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonjugasi .Karena bilirubin

terkonjugasi larut dalam air, maka bilirubin ini dapat di ekskresi ke dalam kemih, sehingga

menimbulkan bilirubin dan kemih berwarna gelap. Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih

sering berkurang sehingga terlihat pucat. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai

bukti-bukti kegagalan ekskresi hati lainnya, seperti peningkatan kadar fostafe alkali dalam

serum, AST, Kolesterol, dan garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam

darah menimbulkan gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia

terkonjugasi biasanya lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.

Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila terjadi

obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus kolestatik, yang

merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat intrahepatik (mengenai sel

Page 12: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstra hepatik (mengenai saluran empedu di luar hati).

Pada ke dua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang sama.

Diskusi Anamnesis

{Penderita datang dengan keluhan ikterus seluruh tubuh pada hari ke-10 setelah lahir}

Anamnesis ini ditanyakan untuk menilai etiologi,

Jenis-Jenis Ikterus Menurut Waktu Timbulnya

Page 13: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

{pada penderita ini ikterus timbul hari ke 10 setelah lahir yang menunjukan

penyebab yang mungkin adalah ikterus obstructive, hipotiroidisme, breast

milk jaundice, infeksi, hepatitis neonatal, galaktosemia.}

{warna kuning tampak pertama kali pada mata dan wajah yang semakin lama semakin kuning,

kemudian menyebar ke seluruh tubuh sampai dengan betis kaki}

Anamnesis ini di tanyakan untuk melihat penyebaran ikterus, sehingga dapat dilakukan penilaian

derajat ikterus menurut Kramer. Cara ini dapat memperkirakan kadar bilirubin serum secara

kasar dan untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap bilirubin indirek bebas atau direk secara

laboratorium.

Ø  Kramer I. Daerah kepala

(Bilirubin total ± 5 – 7 mg).

Ø  Kramer II daerah dada – pusat

(Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)

Ø  Kramer III Perut dibawah pusat s/d lutut

(Bilimbin total ± 10 – 13 mg)

Ø  Kramer IV lengan s/d pergelangan tangan tungkai bawah s/d pergelangan kaki

(Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)

Ø  Kramer V s/d telapak tangan dan telapak kaki

(Bilirubin total >17 mg%)

{Pada penderita ini ditemukan ikterus sampai dengan betis, hal ini

menandakan derajat ikterus kramer IV}

{keluhan kuning disertai dengan bayi tampak mengantuk, menangis lemah dan menetek lemah.

Keluhan kuning tidak disertai panas badan, kejang ataupun muntah.}

Anamnesis ini ditujukan untuk menilai apakah telah terjadi komplikasi yaitu kernikterus. Gejala

klinis awal dari kern ikterus adalah menurunnya aktifitas bayi, peningkatan iritabilitas, dan

Page 14: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

kesukaran minum. Stadium lanjut dari kernikterus adalah kekakuan ekstremitas, epistotonus,

kaku kuduk, tangisan melengking dan kejang-kejang.

{dari anamnesis didapatkan gejala prodromal dari kern ikterus yaitu

penderita tampak lesu, lemah, dan mengantuk, serta malam minum.}

kernikterus

Kernikterus adalah sindrom neurologis akibat pengendapan bilirubin tak terkonjugasi di dalam

sel-sel otak. Gambaran klinis kernikterus bervariasi, dan > 15% bayi baru lahir tidak

menunjukkan gejala neurologis yang nyata. Penyakit ini dapat dibagi menjadi bentuk akut dan

kronik.

Bentuk akut biasanya memiliki tiga fase. Sedangkan bentuk kronik dikarakteristikkan

dengan hipotonia pada tahun pertama, dan setelah itu terjadi abnormalitas ekstrapiramidal dan

ketulian sensorineural. Perubahan spesifik yang tampak pada gambaran MRI yaitu berupa

peningkatan intensitas sinyal dalam globus palidus pada gambaran T2-weighted menunjukkan

korelasi yang erat dengan terjadinya deposisi bilirubin dalam ganglia basalis.

Beberapa perubahan akan menghilang secara spontan atau dapat dibalikkan dengan transfusi

tukar. Pada sebagian besar bayi dengan hiperbilirubinemia sedang hingga berat, respon yang

ditimbulkan dapat menghilang setelah 6 bulan, dan pada sebagian kecilnya yang lain

Tabel 2.2 Gambaran klinis kernikterus1

Page 15: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

abnormalitas tersebut dapat menjadi permanen. Pada sebuah penelitian yang melakukan follow-

up setelah 17 tahun mendapatkan bahwa terdapat hubungan antara bayi yang mengalami

hiperbilirubinemia berat (konsentrasi bilirubin serum ≥ 20 mg/dl) dengan IQ yang rendah pada

anak laki-laki saja, tidak pada anak perempuan.

{buang air besar tidak tampak seperti dempul dan buang air kecil tidak berwarna teh pekat}

Anamnesis ini bertujuan untuk membedakan ikterus yang terjadi apakah prehepatik, intrahepatik,

dan post hepatik.

{Pada penderita ini kemungkinan ikterus prehepatik karena tidak

ditemukan perubahan warna buang air besar atau buang air kecil}

Page 16: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

{Penderita lahir prematur 32-33 minggu}

Dari anamnesis ini didapatkan bahwa penderita lahir prematur hal ini menyebabkan bayi sangat

rentan terhadap ikterus neonatorum melalui mekanisme campuran yang terjadi yaitu produksi

bilirubin yang berlebihan dan sekresi bilirubin yang menurun.

{penderita lahir di tolong oleh paraji}

Anamnesis ini didapatkan bahwa penderita lahir oleh petugas non medis yang sangat rentan

terhadap infeksi. Riwayat persalinan kurang higenis menigkatkan resiko terjadinya ikterus

neonatorum.

Infeksi adalah fenomena mikrobiologi yang ditandai dengan respon inflamasi terhadap

mikroorganisme atau invasi mikroorganisme ke jaringan yang seharusnya steril. Infeksi

menyebabkan aktivasi sistem pertahanan tubuh seorang individu, baik seluler maupun humoral.

Pada fase tersebut makrofag dan sel-sel netrofil lainnya akan melakukan proses fagositosis dan

melepaskan sejumlah mediator kimia, termasuk sejumlah radikal bebas berupa spesies oksigen

aktif. Oksidan mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah

merah, yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya lisis. Mekanisme terjadinya hemolisis akibat

infeksi bakteri dapat terjadi melalui 2 cara, yaitu secara langsung dan secara tak langsung.

Mekanisme secara langsung dilakukan dengan cara menghasilkan substansi sitolisin yang dapat

melarutkan sel darah merah (hemolisin) atau membunuh sel jaringan atau leukosit (leukocidins).

Beberapa contoh diantaranya, yaitu : Streptokokus grup A yang mengasilkan streptolisin O yang

bersifat hemolitik terhadap sel darah merah, Clostridia yang dapat menghasilkan berbagai

macam hemolisin termasuk lechitinase, Stafilokokus yang juga dapat menghasilkan berbagai

macam hemolisin termasuk leukosidin. Sebagian besar bakteri batang gram negative juga

menghasilkan hemolisin, contohnya : Escherichia coli. Secara tidak langsung, hemolisis dapat

terjadi melalui serangkain proses imunologis. Produk-produk bakteri seperti: endotoksin, yakni

suatu lipopolisakarida, yang merupakan komponen dinding sel kuman gram negatif, dan/atau

asam lipoteikoid, peptidoglikan serta berbagai jenis protein kumangram positif , bertindak

sebagai antigen yang akan memicu respon innate antara lain monosit, makrofag dan sel

polimorfonuklear. Pada saat endotoksin atau komponen dinding sel atau disebut juga

lipopolisakarida (LPS) atau antigen asing lain dilepas ke peredaran darah, LPS akan diikat oleh

Page 17: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

lipopolisakarida binding protein. Kompleks ini dapat terikat ke CD4, yakni suatu reseptor yang

terdapat pada permukaan makrofag dan monosit lain yang bersirkulasi, yang akan

mempresentasikan antigen kepada limfosit T yang selanjutnya akan memicu respon inflamasi.

Makrofag dan sel mononuclear kemudian akan teraktivasi dan melepas sitokin proinflamasi,

terutama TNF-α dan IL-1. Selanjutnya terjadi stimulasi produksi IL-6, IL-8, IL-10 yang

menyebabkan keradangan lokal. Pelepasan sitokin proinflamasi oleh makrofag menyebabkan

lepasnya berbagai mediator sekunder seperti mediator vasoaktif dan spesies oksigen reaktif oleh

sel-sel monosit, neutrofil dan sel endotel vaskular yang mengawali terjadinya serangkaian proses

imunoinflamasi. Munculnya spesies oksigen reaktif dan radikal oksigen pada infeksi bakteri

mempunyai potensi untuk menimbulkan kerusakan oksidatif pada sel darah merah, mengingat

keduanya merupakan kelompok oksidan dan radikal bebas yang berikatan dengan GSH dan

NADH.Selain menghasilkan mediator proinflamasi makrofag juga menghasilkan protein

komplemen. Protein komplemen pada umumnya berada dalam keadaan inaktif dan akan

diaktifkan oleh suatu kaskade inflamasi oleh kompleks imun, yang disebut jalur klasik dan oleh

bakteri yang disebut jalur alternatif menjadi komplemen aktif. Aktifasi komplemen C5 sampai

C9 akan menyebabkan terjadinya cedera membrane, lisis sel darah merah, kebocoran membran

plasma dari sel berinti dan lisis bakteri gram negatif yang disebut dengan kompleks membran

litik.

Transmisi

Infeksi pada neonatus dapat terjadi pada masa antenatal, intranatal atau pascanatal. Infeksi

antenatal terjadi semasa kehamilan. Mikroorganisme dapat masuk ke kavum amnion dan janin

melalui beberapa jalur ini: 1) infeksi asenderen dari vagina dan serviks; 2) penyebaran

hematogen melalui plasenta (infeksi transplasenta); 3) penjalaran retrogad dari kavum peritoneal

melalui tuba falopi; 4) melalui tindakan invasif seperti amniosintesis, pengambilan darah janin

perkutan, chorionic villous sampling, atau shunting. Jalur yang paling banyak menyebabkan

infeksi intrauterin adalah infeksi asenden32,33. Kuman penyebab umumnya virus seperti rubela,

sitomegalovirus, herpes simpleks, cocksaki yang bersifat teratogenik. Infeksi bakteri antenatal

antara lain karena grup B streptokokus. Penyakit lain yang dapat melalui lintas ini adalah

toksoplasmosis, malaria dan sifilis. Infeksi intranatal terjadi pada periode persalinan, dimana

pada umumnya kuman berasal dari vagina dan serviks. Mikroorganisme dapat masuk ke bayi

melalui kulit ketuban yang masih utuh atau sudah pecah. Penggunaan alat-alat monitor

Page 18: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

intrauterin yang invasif, dan penggunaan forsep absetri merupakan port d’entre mikroorganisme

flora genital ibu 32,33. Pada ketuban pecah dini maka mikroorganisme dalam vagina atau bakteri

patogen lainnya menjalar ke atas, menyebabkan korionitis dan amnionitis. Akibat korionitis,

maka infeksi menjalar terus melalui umbilikus dan akhirnya ke bayi. Cairan amnion yang telah

terinfeksi teraspirasi oleh janin atau neonatus yang kemudian berperan sebagai penyebab

kelainan pada sistem pernapasan 32,33. Infeksi pascanatal pada umumnya terjadi akibat infeksi

nosokomial yang diperoleh bayi dari lingkungan diluar rahim ibu seperti kontaminasi alat-alat,

sarana perawatan dan penyedia jasa layanan kesehatan, seperti : dokter dan perawat

{letak kepala, lahir spontan}

Anamnesis ini ditanyakan untuk mencari faktor resiko kejadian perinatal, misalnya lahir dengan

vakum ekstraksi atau forceps yang dapat menimbulkan sefal hematom(perdarahan) kejadian

perinatal yang menyebabkan perdarahan melalui mekanisme hemolisis akan mempengaruhi

peningkatan kadar bilirubin dalam darah.

{riwayat ibu sakit tekanan darah tinggi salama kehamilan tidak ada}

Ini untuk mencari terdapatnya hipertensi pada ibu yang merupakan salah satu resiko timbulnya

prematuritas dan bayi lahir dengan berat lahir rendah.

{riwayat sakit kuning, kelainan darah dan kekurangan darah dalam keluarga tidak ada}

Anamnesis ini ditujukan untuk mencari apakah terdapat penyakit hepatitis B pada ibu yang dapat

ditularkan ke janin. Hepatitis B menyebabkan berat lahir rendah, kadang merupakan penyebab

timbulnya ikterus neonatorum.(nelson,1991)

{Riwayat mengkonsumsi obat-obatan/jamu selain dari bidan selama hamil atau saat bersalin

disangkal}

Anamnesis riwayat pemakaian obat-obatan selama kehamilan penting, karena terdapat obat-

obatan yang dapat menghambat daya ikat albumin dan daya kerja glukoronil transferase,

sehingga menyebabkan peningkatan kadar bilirubin serum. Contohnya : novobiosin, flasvaspidat,

dan sulfa.

Page 19: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

{Riwayat memelihara kucing disangkal}

Anamnesis ini ditujukan untuk mencari apakah terdapat faktor penyebab ikterus akibat infeksi

TORCH yang diketahui hidup dalam bulu-bulu binatang peliharaan.

Diagnosis banding

Sepsis neonatorum.

Indikasi kuat ke arah infeksi atau sepsis pada neonatus antara lain didasarkan atas adanya riwayat

ibu dengan infeksi intrauterin, riwayat persalinan yang kurang higienis, riwayat ibu demam yang

dicurigai sebagai infeksi berat, air ketuban bercampur mekoneum atau ketuban pecah dini (KPD)

disertai gejala klinis yang terjadi pada tiga hari pertama. Gejala klinis yang dapat dijumpai pada

bayi dengan kecurigaan infeksi atau sepsis antara lain : bayi tidak bugar (not doing well), kurang

aktif, letargi atau lunglai, mengantuk, malas minum, dan muntah Pada keadaan yang lebih berat,

dapat dijumpai adanya suhu tubuh tidak normal dan tidak memberi respon terhadap terapi atau

tidak stabil, ikterik, distensi abdomen dan penurunan kesadaran.

2.3.3.2 Laboratoris

Pada infeksi neonatus jumlah lekosit dapat meningkat > 20.000/mm3 atau turun < 5.000/mm3.

Lekosit lebih sensitif untuk menentukan sepsis dibanding jumlah trombosit, namun jumlah

lekosit dapat normal pada 50% kasus dengan kultur yang positif. Bayi yang tidak terinfeksi dapat

menunjukkan jumlah lekosit yang abnormal karena stres kelahiran. Netrofil total (batang dan

segmen) lebih sensitif untuk menentukan sepsis dibanding lekosit total, namun netrofil dapat

dipengaruhi beberapa faktor. Netropenia (< 1.500/mm3) dapat terjadi pada ibu hipertensi,

asfiksia berat, dan perdarahan intraventrikular atau periventrikular. Rasio batang : total netrofil

(rasio I/T) sensitif untuk menentukan sepsis. Nilai normal maksimum rasio I/T dalam 24 jam

pertama adalah 0,16. Sensitifitas rasio I/T 60-90%. Rasio batang dan total netrofil lebih dari 0,2

serta jumlah lekosit < 5.000/mm3 dapat membantu diagnosis. Penurunan jumlah trombosit <

100.000/mm3 biasanya muncul pada akhir minggu pertama setelah sepsis dan tidak spesifik

(dipengaruhi oleh faktor ibu). Pada gambaran darah hapus dapat dijumpai adanya gambaran

hemolisis, anisositosis dan poikilositosis. Hasil kultur darah merupakan baku emas untuk

menegakkan diagnosis infeksi pada neonatorum (proven infection), namun dapat terjadi kultur

darah negatif tetapi gejala klinis jelas (suspect innfection). Sensitifitas kultur darah untuk

mengetahui adanya sepsis 50%-80%.

Page 20: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Manajemen

Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi; pencegahan, penggunaan

farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar

1. Strategi pencegahan hiperbirubinemia

(1) Pencegahan primer 

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali per hari

untuk beberapa hari pertama.

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang

mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

(2) Pencegahan sekunder

Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta  penyaringan

serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa.

Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan  pemeriksaan

antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi.

Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes

golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu

tidak diperlukan jikan dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum

keluar RS dan tindak lanjut yang memadai.

Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus

dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa

tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.

(3) Evaluasi laboraturium

Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus

dalam 24 jam pertama setelah lahir.

Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang berlebihan.

Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam.

(4) Penyebab kuning

Page 21: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis

dan kultur urin

Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan

bilirubin total dan direk untuk mengidentifikasi adanya kolestatis.

Jika kadar bilirubin direk meningkat, dilakukan evaluasi tambahan mencari penyebab

kolestatis.

Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang

mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau  asal geografis yang

menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi

buruk.

(5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan

Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat.

(6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit

RS harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua mengenai kuning,

perlunya monitor terhadap kuning, dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan.

(7) Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI

Observasi semua fese awal bayi, pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika

feses keluar dalam waktu 24 jam

Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu

yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi

yang jarang walaupun total waktu yang diberikan sama.

Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula pengganti.

Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan dengan pola menyusui

Page 22: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang

pengeluaran atau produksi ASI dengan cara memompa, dan menggunakan protokol

penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP.

Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI,

sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus

menetap lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat

bayi sebelumnya terkena kuning.

Page 23: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

2. Penggunaan Farmakoterapi

a) Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi – bayi dengan rhesus yang berat dan

inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan

transfusi tukar.

b) Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG – T dan ligandin serta dapat

meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung

Page 24: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubinemia pada

neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi

prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital

dapat diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan sehari, mula-mula parenteral,

kemudian dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan

dengan terapi sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah.

Kerugiannya ialah diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang

berarti.

c) Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.

d) Tin – Protoporphyrin ( Sn – Pp ) dan Tin – Mesoporphyrin ( Sn – Mp ) dapat

menurunkan kadar bilirubin serum.

e) Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L – aspartik dan kasein holdolisat

dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis – 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang

mendapat ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi

berkurang dibandingkan dengan bayi control.

Page 25: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

3. Fototerapi

Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang

perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi – bayi yang

mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang dibandingkan

Page 26: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

bayi – bayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai melakukan

penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari penelitiannya

terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga mempunyai

pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi – bayi prematur lainnya.

Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan

ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa

metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa

fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan foton-

foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh bilirubin

dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi

fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk

molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan berubah

menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan. Isomer bilirubin

ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa diekskresikan dari hati

ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan pengangkutan khusus untuk

ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah bilirubin serum. Eliminasi melalui

urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi

menghasilkan suatu fotooksidasi melalui proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan

lumirubin, dimana lumirubin ini mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.

Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin.Lumirubin bersifat larut dalam air.

Page 27: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum
Page 28: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Mekanisme fototerapi.

Page 29: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang bulan

menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi.

Fototerapi diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada

neonatus cukup bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan

rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP). (5)

Sinar Fototerapi

Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu

gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi dan

panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar tampak

ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari sinar

memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.

Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah

sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan

kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas sinar

adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar.

Page 30: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi intensitas sinar maka

semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum.Intensitas sinar, yang ditentukan sebagai

W/cm2/nm.

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar

diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar ≥ 30

μW/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.

Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 – 40 μW/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk

fototerapi standard adalah 30 – 50 μW/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan lebih

besar pula efikasinya.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,

panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh

neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara

mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.

Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan

menggunakan sinar halogen.Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan terlalu

dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi berjarak 10

cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus diposisikan di

pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.

Tabel 1: Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup

bulan

Usia ( jam ) Pertimbangan

terapi sinar

Terapi sinar Transfusi tukar Transfusi tukar

dan terapi sinar

25-48 >12mg/dl

(>200 µmol/L)

>15 mg/dl

( >250 µmol/L)

>20 mg/dl

(>340 µmol/L)

>25 mg/dl

(425 µmol/L)

49-72 >15mg/dl

(>250 µmol/L)

>18 mg/dl

(>300µmol/L)

>25mg/dl

(425 µmol/L)

>30 mg/dl

(510µmol/L)

>72 >17 mg/dl >20mg/dl >25mg/dl >30mg/dl

Page 31: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

(>290 µmol/L) (>340µmol/L (>425 µmol/L) (>510 µmol/L)

Tabel 2: Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37

minggu ) (1, 3, 7)

Neontaus kurang bulan

sehat :Kadar Total Bilirubin

Serum (mg/dl)

Neontaus kurang bulan

sakit :Kadar Total Bilirubin

Serum (mg/dl)

Berat Terapi sinar Transfusi

tukar

Terapi sinar Transfusi

tukar

Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10

1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12

1501-2000 g 10 17 8-10 15

>2000 g 10-12 18 10 17

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin

direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.

Komplikasi terapi sinar

Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi

sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi

proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama

ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara

pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. (5)

Kelainan yang mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :

1. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi

Hal ini terutama akan terlihat pada bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972) melaporkan

kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini

Page 32: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar perlu diperhatikan dengan

sebaiknya.

2. Frekuensi defekasi yang meningkat

Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini, antara lain dikemukankan karena

meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk, 1975). Bakken (1976) mengemukakan

bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim

lactase karena meningkatnya bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar

laktosa rendah akan mengurangi timbulnya diare. Teori ini masih belum dapat

dipertentangkan (Chung dkk, 1976)

3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka, badan dan

ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada beberapa bayi

dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome (Kopelman dkk, 1976).

Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi sinar.

Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi proses tumbuh

kembang bayi.

4. Gangguan retina

Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan (Noel dkk 1966). Pnelitain

Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi mata pada

umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih diteruskan.

5. Gangguan pertumbuhan

Pada binatang percobaan ditemukan gangguan pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey

(1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat menemukan gangguan tumbuh

kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar. Meskipun demikian hendaknya

pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi yang tepat selama waktu yang

diperlukan.

6. Kenaikan suhu

Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin memperlihatkan kenaikan suhu,

Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan dengan mematikan sebagian lampu yang

dipergunakan.

Page 33: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang

ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan menghilang

dengan sendirinya.

8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah

kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.

Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat

penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat

tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

Tranfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan

dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-ulang

sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982). (1, 5)

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin

dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi,

transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi maternal

dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki anemia. (5)

Page 34: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar: (1, 5)

1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru. Kerjasama dengan dokter kandungan dan Bank Darah adalah penting

untuk persiapan kelahiran bayi yang membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus golongan O

dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah kelahiran,

dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang sama

dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer rendah

antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan plasma AB,

untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen

tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap

plasma dan eritrosit pasien/bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) ---- 160

mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

Teknik Transfusi Tukar

a. SIMPLE DOUBLE VOLUME

Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena saphena

magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

b. ISOVOLUMETRIC

Page 35: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan

dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.

c. PARTIAL EXCHANGE TRANFUSION

Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O

rhesus positif. (1, 5)

Tabel 5. Volume Darah

pada Transfusi Tukar

Kebutuhan

Rumus

‘Double Volume’ BB x volume darah x 2

‘Single Volume’ BB x volume darah

Polisitemia BB x volume darah x (Hct sekarang –Hct yang diinginkan)

Hct sekarang

Anemia BB x volume darah x (Hb yang diinginkan – Hb sekarang)

(Hb donor – Hb sekarang)

BB x volume darah x (PCV yang diinginkan – PCV

sekarang)

(PCV donor)

Indikasi

Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar

pada hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam

tabel 2. (1, 5)

Tabel 3: Indikasi Transfusi Tukar Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum

Page 36: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

UsiaBayi Cukup Bulan

SehatDengan Faktor Risiko

Hari mg/dL mg/Dl

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan

seterusnya

30 20

Bila transfusi tukar memungkinkan untuk dilaksanakan di tempat atau bayi bisa dirujuk

secara cepat dan aman ke fasilitas lain, dan kadar bilirubin bayi telah mencapai kadar di atas,

sertakan contoh darah ibu dan bayi. (5)

Tabel 4: Indikasi Transfusi Tukar Pada Bayi Berat Badan Lahir Rendah

Berat badan (gram)KadKadar Bilirubin

(mg/dL)

<> > <1000 10-12

1000-1500 12-15

1500-2000 15-18

2000-2500 18-20

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:

Page 37: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb rendah.

b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 – 13 gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara

adekuat dengan terapi sinar.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:

Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

Perforasi pembuluh darah

Komplikasi tranfusi tukar (1)

1. Hipokalsemia dan hipomagnesia

2. Hipoglikemia

3. Gangguan keseimbangan asam basa

4. Hiperkalemia

5. Gangguan kardiovaskular.

Perforasi pembuluh darah

Emboli

Infark

Aritmia

Volume overload

Page 38: LAPORAN KASUS Ikterus Neonatorum

Arrest

6. Pendarahan

Trombositopenia

Defisiensi factor pembekuan.

7. Infeksi

8. Hemolisis

9. Graft-versus host disease

10. Lain-lain : hipotermia, hipertermia, dan kemungkinan terjadinya enterokolitis

nekrotikans.

Perawatan pasca tranfusi tukar

Lanjutkan dengan terapi sinar

Awasi ketat kemungkinan terjadinya komplikasi