Upload
vemmy-lian-mopo
View
3.138
Download
277
Embed Size (px)
LAPORAN KASUS
“NEONATAL HIPERBILIRUBINEMIA”
Oleh:
Vemmy Lian Saputri
201020401011119
Pembimbing:
dr. H. Taufiqur Rahman, Sp.A
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
RUMAH SAKIT MUHAMMADIYAH
LAMONGAN
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI......................................................................................................... 1
BAB 1 PENDAHULUAN..................................................................................... 2
BAB 2 LAPORAN KASUS.................................................................................. 4
BAB 3 PEMBAHASAN....................................................................................... 7
BAB 4 KESIMPULAN......................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 15
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada sebagian besar
neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukakan
bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang
bulan. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya angka kejadian ikterus patologis 9,8% pada tahun 2002
dan 15,66% pada tahun 2003.
RSAB Harapan Kita Jakarta melakukan transfusi tukar 14 kali/bulan pada tahun 2002.
Di Hospital Bersalin Kuala Lumpur dengan ‘tripple phototherapy’ tidak ada lagi kasus yang
memerlukan tindakan transfusi tukar (tahun 2004), demikian pula di Vrije Universitiet
Medisch Centrum Amsterdam dengan ’double phototherapy’ (tahun 2003).
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi
mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau
menyebabkan kematian. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapatkan
perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi atau bila
kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dL (> 86μmol/L) dalam 24 jam. Proses hemolisis darah,
infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta bilirubin direk >1 mg/dL
juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam
keadaan tersebut penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk
ikterus dapat dihindarkan. Walaupun pada tahun 1970-an kasus kernikterus sudah tidak
ditemukan lagi di Washington, namun pada tahun 1990-an ditemukan 31 kasus kernikterus
(data Georgetown University Medical Centre Washington D.C. tahun 2002).
2
Tujuan membahas topik ini adalah agar dapat menyikapi kasus-kasus ikterus pada
bayi baru lahir secara maksimal sehingga kasus kernikterus, gangguan otak yang sifat
menetap serta terjadinya kematian dapat dihindarkan.
3
BAB 2
LAPORAN KASUS
Seorang bayi R, laki-laki, berusia 12 hari, pada tanggal 28 Desember 2011 dibawa
orang tuanya ke RSML dengan keluhan badan kuning. Badan kuning diketahui keluarga
sejak bayi berusia 2 hari (18 Desember 2011), kuning seluruh tubuh. Pada usia 5 hari (21
Desember 2011) bayi diare kurang lebih 10 kali, cair, ada ampasnya, berwarna kuning
kehijauan, ada lendirnya, berbusa, berbau amis. Pada tanggal 24 Desember 2011 bayi dirawat
di RSM Bojonegoro selama 5 hari dengan keluhan kuning seluruh tubuh. Setelah diperiksa
laboratorium, hasilnya menunjukkan bila bilirubin totalnya 24,10 mg/dl, di sana bayi diterapi
sinar selama 3 hari, dengan bilirubin total terakhir sebesar 13,58 lalu kemudian bayi dirujuk.
Riwayat panas badan disangkal keluarga. Keluarga ada yang mempunyai sakit asma.
Bayi lahir pada tanggal 16 Desember 2011 di Rumah Sakit saat usia kehamilan 37-38
minggu dengan cara SC. SC et causa letak sungsang dan lilitan tali pusat dengan berat badan
lahir 2900 gram dan panjang badan 48 cm. Bayi minum ASI dan susu formula (Bebelac),
hisapan kuat dan minum banyak.
Saat datang ke RSML bayi dalam keadaan umum cukup dengan kesadaran compos
mentis, nadi 148x/menit, nafas 45x/menit, suhu 36,5˚C aksila, berat badan 2900 gram. Pada
pemeriksaan kepala didapatkan anemis -/-, sklera ikterik +/+, sianosis -/-, dyspneu (-), ubun-
ubun besar cekung (-), mata cowong (-), mulut kering (-), napas cuping hidung (-).
Pembesaran KGB dan kelenjar tiroid tidak didapatkan pada pemeriksaan leher. Pada
pemeriksaan paru didapatkan bentuk simetris, ikterik (+), retraksi -/-, pergerakan dinding
dada simetris, pembesaran kelenjar aksila -/-, perkusi sonor, dan terdapat bunyi vesikuler +/+,
suara nafas menurun -/-, Wh -/-, Rh -/-. Sedangkan pada pemeriksaan jantung tidak
didapatkan voussore cardiaque (-), iktus cordis tak teraba, thrill -/-, S1 S2 tunggal, murmur(-),
4
gallop (-). Pada pemeriksaan abdomen didapatkan flat (+), ikterik (+), distensi (-),
meteorismus (-), turgor kulit baik, H/L tidak teraba, perkusi timpani, shifting dullness (-),
bising usus (+) normal, bruit (-), metalic sound (-). Pada ekstremitas didapatkan akral hangat,
edema-/-, ikterik (+), petekie (-), capilary refill < 2 detik.
Pemeriksaan Penunjang Pasien
Laboratorium:
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Diffcount 0/0/53/40/7
Hb 14,9 mg/dl (P=12,0-16,0 mg/dl, L=13,0-18,0 mg/dl)
Hct 41,7 % (L 40-54%, P 35-47%)
LED 5/8 (L 0-5/jam, P 0-7/jam)
Leukosit 6800 (4000-10.000)
Trombosit 554.000 (150.000- 450.000)
2. Pemeriksaan Faal Hati
Bil Direct 0,44 mg/dl
Bil Total 16,48 mg/dl
5
Radiologi: Foto Thorax
(Radiologi RSML)Gambar 2.1
Foto Polos ThoraxHasil foto Thorax:
Cor : Besar dan bentuk normal
Pulmo : Kedua sinus phrenicocostalis tajam, tulang, dan soft tissue tak
tampak kelainan.
Kesimpulan : Tidak tampak kelainan
Kata Kunci
- By. Laki-laki
- Usia 12 hari
- BBLC NA SC ec causa letak sungsang dan lilitan tali pusat
- Minum ASI dan susu formula
- BB 2900 g
- Badan kuning, 10 hari
- Sejak usia 2 hari
- Sklera ikterik +/+
- Kulit tubuh ikterik
- Hiperbilirubinemia (Bil direct 0,44, bil total 16,48)
Daftar Masalah
- Neonatal hiperbilirubinemia
6
BAB 3
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, didapatkan bayi ikterus di seluruh tubuhnya yang diketahui sejak usia
2 hari, dengan kadar bilirubin total sebesar 24,10 mg/dl saat berusia 8 hari. Saat datang di
RSML bayi berusia 12 hari, sklera dan kulit tubuh ikterik, dengan kadar bilirubin direct 0,44
mg/dl, bilirubin indirect 16,04 mg/dl dan bilirubin total 16,48 mg/dl.
Ikterus yang terjadi pada bayi ini disebut sebagai ikterus neonatorum, yaitu keadaan
klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi
baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dl.
Ikterus neonatorum dibedakan menjadi dua yaitu ikterus fisiologis dan ikterus
patologis. Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke-2 dan ke-3 yang tidak
mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin total > 2 mg/dl. Pada bayi cukup bulan
yang mendapat susu formula kadar bilirubin dapat mencapai 6 mg/dl pada hari ke-3,
kemudian menurun cepat selama 2-3 hari. Pada bayi cukup bulan yang mendapat ASI kadar
bilirubin dapat mencapai 7-14 mg/dl dan menurun dalam 2-4 minggu. Sedangkan ikterus
patologis mempunyai beberapa petunjuk, yaitu ikterus yang terjadi sebelum umur 24 jam,
setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi, peningkatan kadar
bilirubin total serum > 0,5 mg/dl/jam, adanya penyakit yang mendasari pada setiap bayi
(muntah, letargis, malas menetek penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea atau
suhu yang tidak stabil), ikterus yang bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau
setelah 14 hari pada bayi kurang bulan, bila kadar bilirubin direct lebih banyak dari pada
kadar bilirubin indirect. Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar plasma
bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih
7
dari 90 persentil. Menurut Normogram Bhutani, digolongkan sebagai hiperbilirubinemia
patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia
neonatus > 95 0/00.
Gambar 3.1Normogram Bhutani (di kutip dari Rennie J.M and Roberton NRC. Neonatal Jaundice In : A
Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnold, 2002 : 414-432)
Berdasarkan penjelasan di atas maka hiperbilirubinemia pada bayi R ini tergolong
sebagai hiperbilirubinemia patologis karena sudah memerlukan fototerapi dan ikterus
bertahan setelah 8 hari (cukup bulan). Menurut Normogram Bhutani bila pada usia antara
168-192 jam kadar bilirubin totalnya mencapai 24,10 mg/dl maka perbandingan kadar serum
bilirubin terhadap usia bayi R adalah > 95 0/00. Komplikasi yang sangat berbahaya pada
kondisi ini adalah bila terjadi “kernicterus”.
Terapi yang diusulkan Infus D10 0,18 NS 480 cc/24 jam sebagai cairan maintenans
yang diberikan sesuai berat badan bayi, Ursodeoxycholic acid 35 mg 2 x 1 dan multivitamin
sebagai terapi suportif, dan terapi sinar 2 x 24 jam, ASI tetap diberikan dengan menggunakan
cangkir dan thermoregulasi.
8
Foto terapi intensif adalah fototerapi dengan menggunakan sinar blue-green spectrum
(panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm2 (diperiksa
dengan radiometer, atau diperkirakan dengan menempatkan bayi langsung di bawah sumber
sinar dan kulit bayi yang terpajan lebih luas). Bila konsentrasi bilirubin tidak menurun atau
cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat foto terapi intensif, kemungkinan besar terjadi
proses hemolisis.
Gambar 3.2Panduan Foto Terapi Pada Bayi Usia Kehamilan ≥ 35 Minggu
Bayi dengan resiko rendah apabila bayi memiliki usia kehamilan ≥ 38 minggu dan
sehat. Bayi dengan resiko sedang apabila bayi memiliki usia kehamilan ≥ 38 minggu dan
disertai faktor resiko atau bayi memiliki usia kehamilan 35-37 6/7 minggu dan sehat. Bayi
dengan resiko tinggi apabila bayi memiliki usia kehamilan 35-37 6/7 minggu dan disertai
faktor resiko. Faktor resiko yang dimaksud disini adalah isoimune hemolytic disease,
defisiensi G6PD, asfiksia, letargis, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis, asidosis, atau kadar
bilirubin < 3 mg/dl.
Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit maupun di rumah pada
kadar bilirubin total 2-3 mg/dL di bawah garis yang ditunjukkan, namun pada bayi-bayi yang
memiliki faktor risiko foto terapi sebaiknya tidak dilakukan di rumah. Bila kadar bilirubin
9
total kurang dari 13-14 mg/dL foto terapi dihentikan. Berdasarkan panduan tersebut bayi R
sudah memerlukan foto terapi karena kadar bilirubinnya 3 mg/dL di atas garis lower risk
(bayi cukup bulan dan dalam keadaan sehat).
Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi
bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi
senyawa berbentuk Z-Lumirubin dan 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya.
Bentuk isomer ini mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam
saluran empedu, Z-Lumirubin dapat diekskresikan juga melalui urin. Peningkatan bilirubin
isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam
usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus
halus. Sedangkan melalui proses oksidasi bilirubin juga dapat diekskresikan langsung melalui
urin. Sehingga pada kasus ini terapi sinar sangat efektif untuk menurunkan kadar bilirubin
pasien yang sangat meningkat.
Gambar 3.3Mekanisme Foto Terapi
10
Setelah dilakukan fototerapi, pada tanggal 29 Desember 2011 keadaan umum bayi
baik dan ikterik sudah berkurang. Terapi yang didapatkan adalah ASI ad lib, foto terapi,
multivitamin drip, Ursodeoxycholic acid 2 x 25, thermoregulasi. Pada tanggal 30 Desember
2011 keadaan umum bayi baik, ikterik berkurang, dengan kadar bilirubin bilirubin total 11,35
mg/dL dan bilirubin directnya 0,34 mg/dL, terapi yang didapatkan adalah ASI ad lib, foto
terapi, multivitamin drip, Ursodeoxycholic acid 2 x 25, thermoregulasi. Pada tanggal 31
Desember 2011 bayi post foto terapi, muntah (-), sesak (-), panas (-), terapi yang didapatkan
ASI ad lib, multivitamin drop 1 x 0,3 cc, Ursodeoxycholic acid, foto terapi stop. Pada tanggal
1 januari 2012 bayi sudah tidak kuning, minum dengan baik, muntah (-), sesak (-), panas (-).
Pada tanggal 5 januari 2012 bayi R datang untuk kontrol tanpa keluhan, ikterik (-).
Gambar 3.4
Bayi R ketika mendapatkan terapi sinar di RSML (29 Desember 2011)
Gambar 3.5Bayi R setelah mendapatkan terapi sinar 2 x 24 jam di RSML
(31 Desember 2011)
Gambar 3.6Bayi R sebelum KRS (1 Januari 2012)
11
Gambar 3.7Bayi R saat kontrol (05 Januari 2012)
Neonatal hiperbilirubinemia indirek bisa disebabkan oleh peningkatan produksi
bilirubin, peningkatan penghancuran hemoglobin, peningkatan jumlah hemoglobin,
peningkatan sirkulasi enterohepatik, perubahan clearance bilirubin hati, perubahan produksi
atau aktivitas uridine diphosphoglucoronyl transferase, perubahan fungsi dan perfusi hati
(kemampuan konjugasi), obstruksi hepatik (berhubungan dengan hiperbilirubinemia direk).
Tabel 3.1 Penyebab neonatal hiperbilirubinemia indirekDasar Penyebab
Peningkatan produksi bilirubin Incomptabilitas darah fetomaternal (Rh, ABO)
Peningkatan penghancuran hemoglobin Defisiensi enzim kongenital (G6PD, galaktosemia)Perdarahan tertutup (sefalhematom, memar)Sepsis
Peningkatan jumlah hemoglobin Polisitemia (twin to twin transfusion, SGA)Keterlambatan klem tali pusat
Peningkatan sirkulasi enterohepatik Keterlambatan pasase mekonium, ileus mekonium, Meconium plug syndromePuasa atau keterlambatan minum
Perubahan clearance bilirubin hati Imaturitas Perubahan produksi atau aktivitas uridine diphosphoglucoronyl transferase
Gangguan metabolik/endokrin (Criglar-Najjar disease, hipotiroidisme, gangguan metabolisme asam amino.
Perubahan fungsi dan perfusi hati (kemampuan konjugasi)
Asfiksia, hipoksia, hipotermi, hipoglikemiSepsis (juga proses inflamasi)Obat-obatan dan hormon (novobiasin, pregnanediol)
Obstruksi hepatik (berhubungan dengan hiperbilirubinemia direk)
Anomali kongenital (atresia biliaris, fibrosis kistik)Stasis biliaris (hepatitis, sepsis)Bilirubin load berlebihan (sering pada hemolisis berat)
12
Pada bayi ini penyebab yang berkaitan dengan proses hemolisis dapat disingkirkan
karena bayi memberikan respon yang baik terhadap foto terapi, dan juga baik ibu maupun
bayi mempunyai Rh yang sama yaitu Rh (+), dengan golongan darah ibu A dan golongan
darah bayi O, yang artinya ibu memiliki anti-B berupa IgM yang tidak dapat menembus
plasenta sehingga tidak akan mempengaruhi kondisi janin. Pada bayi ini tidak didapatkan
perdarahan tertutup karena hemodinamiknya dalam kondisi stabil, ileus mekonium (-) karena
BAB anak baik, imaturitas (-) karena bayi lahir cukup bulan, asfiksia (-), hipoksia (-),
hipotermi (-), sepsis (juga proses inflamasi) (-) dapat dilihat dari kondisi umum bayi cukup
baik. Sedangkan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab patologis lain perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang lain.
Pemeriksaan penunjang yang diusulkan pada pasien ini adalah test antibodi direct
(Coombs), serum albumin, darah lengkap dan hitung jenis, jumlah retikulosit, G6PD (bila
respon terhadap foto terapi kurang), urinalisis, GDA.
Peningkatan kadar bilirubin dapat juga disebabkan oleh proses fisiologi. Berikut ini
adalah dasar dan penyebab ikterus fisiologis.
Tabel 3.2 Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologisDasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia Peningkatan produksi bilirubin
Peningkatan resirkulasi melalui enterohepatik shunt
Peningkatan sel darah merahPenurunan umur sel darah merahPeningkatan early bilirubinPeningkatan aktivitas beta glukoronidase Tidak adanya flora bakteriPengeluaran mekonium yang terlambat.
Penurunan bilirubin clearance Penurunan clearance dari plasma Penurunan metabolisme hepatik
Defisiensi protein karierPenurunan aktivitas UDPGT
13
KESIMPULAN
Bayi R pada kasus ini mengalami hiperbilirubinemia patologis pada neonatus dan
mendapatkan foto terapi sebagai terapinya, sedangkan untuk menentukan penyebab dari
hiperbilirubinemianya masih memerlukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa test
antibodi direct (Coombs), serum albumin, darah lengkap dan hitung jenis, jumlah retikulosit,
G6PD (bila respon terhadap foto terapi kurang), urinalisis, GDA.
14
DAFTAR PUSTAKA
Damanik, Sylvia. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III.
2008. Rumah Sakit dokter Soetomo. Hiperbilirubinemia. Hal : 17-21.
Etika, Risa dkk. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak. FK Unair/RSU Dr. Soetomo – Surabaya.
Sukadi, Abdulrahman. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi I. 2010.
IDAI. Hal 147-169.
15