Upload
udyani-agustina
View
1.422
Download
223
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan kasusCa NasofaringTHT
Citation preview
cBAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai di
antara tumor ganas THT di Indonesia. Karsinoma nasofaring termasuk dalam 5 besar
tumor ganas dengan frekuensi tertinggi bersama dengan tumor ganas serviks, tumor
payudara, tumor getah bening, dan tumor kulit. Di daerah kepala leher karsinoma
nasofaring merupakan keganasan paling sering ditemukan (60%) diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal, laring, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, dan hipofaring
(Adham, 2007)
Secara global, pada tahun 2000 diperkirakan terdapat 65.000 kasus baru dan
38.000 kematian yang diakibatkan oleh kanker nasofaring (WHO, 2005). Sedangkan di
Indonesia, frekusensi pasien hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin
Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, dan 11 kasus
di Padang dan Bukit Tinggi (Adham, 2007)
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta
letak nasofaring yang tersembunyi,dan tidak mudah diperiksa oleh mereka yg bukan ahli
sehingga diagnosis sering terlambat, dengan ditemukannya metastasis pada leher sebagai
gejala pertama. Dengan makin terlambatnya diagnosis maka prognosis ( angka bertahan
hidup 5 tahun) semakin buruk.
Dalam makalah ini akan dijabarkan kasus karsinoma nasofaring yang ditemukan
di RSU Provinsi NTB.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
1. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti corong, yang
besar di bagian atas dan sempit bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak
kemudian menyambung ke esophagus setinggi vertebra servikal 6.
a. Ke atas faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana,
b. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring,
sedangkan dengan laring di bawah berhubungan dengan rongga mulut
melalui ismus aditus laring.
c. Ke bawah berhubungan dengan esophagus.
Dinidng faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia
faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. (Adams , 1997)
Untuk keperluan klinis faring dibagi manjadi 3 bagian utama, yaitu nasofaring,
orofaring, dan laringofaring atau hipofaring. Nasofaring merupakan sepertiga bagian atas
faring, yang tidak dapat bergerak kecuali palatum mole di bagian bawah. Orofaring
terdapat pada bagian tengan faring, dari batas bawah palatum mole sampai permukaan
lingual epiglotis. Pada orofaring terdapat tonsila palatina dengan arkusnya, dan tonsila
lingualis pada dasar lidah. Hipofaring merupakan bagian bawah faring yang
menunjukkan daerah saluran napas atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas
(Adams, 1997).
1.a. Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral.
Di sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os.
Oksipital, sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra
servikalis, dan di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba
Eustachius terletak pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka
inferior. Di sebelah atas belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan
yang dibentuk oleh kartilago Eustachius ( Ballenger, 1997).
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting (Adams
dalam Adams et al, 1997):
2
Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang
dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilagi tuba
eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding
lateral nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
Koana posterior rongga hidung.
Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
penyakit nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus
glosofaringeus, vagus, dan asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang
dilalui nervus hipoglosus.
Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital
dan arteri faringeal asenden.
Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat
dengan bagian lateral atap nasofaring.
Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
3
1.b. Batas-batas nasofaring:
Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia
Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior,
batas ini bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dekxtra dan sinistra oleh
os vomer
Posterior : vertebra ervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari
mukosa bagian atas
Lateral : mukosa lanjutandari mukosa di bagian superior dan posterior,
muara tuba Eustachii, Fossa Rosenmuller
4
B. Karsinoma Nasofaring
Epidemiologi
Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7
kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 – 8000 kasus per tahun di seluruh
Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara
“pathology based”). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF
berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair
Surabaya (1973 – 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian
THT Semarang mendapatkan 127 kasus KNF dari tahun 2000 – 2002. Di RSCMJakarta
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus,
Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-
1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien
karsinoma nasofaring dari ras Cina relative sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainya.
Studi epidemiologi KNF dengan berfokus kepada etiologi dan kebiasaan biologi dari
penyakit ini telah dikemukakan hasilnya oleh UICC (International Union against
Cancer) dalam symposium kanker nasofaring yg diadakan di Singapura tahun 1964
(MUIR,dkk.1967), dan dari investigasi dalam empat dekade terakhir telah ditemukan
banyak temuan penting di semua aspek. KNF mempunyai gambaran epidemiologi yg
unik, dalam daerah yg jelas, ras, serta agregasi family.
KNF mempunyai daerah distribusi endemic yang tidak seimbang antara berbagai
Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih rendah dari 1/105
di semua area. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina bagian selatan (termasuk
Hongkong), dan insiden ini tertinggi di provinsi Guangdong pada laki-laki mencapai 20-
50/100000 penduduk. Berdasarkan data IARC (International Agency for Research on
Cancer) tahun 2002 ditemukan sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan
sekitar 50,000 kasus meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan
pula cukup banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan
penduduk di Afrika utara dan timur tengah (Lu. 2010)
Tumor ini lebih sering ditemukan pad pria disbanding wanita dengan rasio 2-3:1 dan apa
sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan
factor genetic, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Distribusi umur pasien dengan
KNF berbeda-beda pada daerah dengan insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan
insiden rendah insisden KNF meningkat sesuia dengan meningkatnya umur, pada daeraj
5
dengan insiden tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, ;uncaknya pada umur 40-
59 tahun dan menurun setelahnya.
Ras mongoloid merupakan factor dominan timbulnya KNF, sehingga kekerapan
cukup tinggi pada pendduduk CIna bagian selatan, Hongkong, Vietnam, Thailand,
Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea,
Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini.
Berbagai studi epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di
berbagai jurnal. Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian
Kanker Nasofaring (KNF) pada para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim
secara turun temurun di China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat.
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya Kanker Nasofaring (KNF) antara
para migran dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas
orang kulit putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, di mana kelompok Tionghoa
menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa
migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan Tiongkok
maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya Kanker Nasofaring (KNF)
pada kelompok migran tersebut. Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa
kelompok migran masih mengandung gen yang ‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker
Nasofaring (KNF), tetapi karena pola makan dan pola hidup selama di perantauan
berubah maka faktor yang selama ini dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka
kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong
ini hampir setiap hari mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon
kabarnya seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu
adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai
substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan
percobaan. (Lu. 2010)
Etiologi
Karsinoma nasofaring terjadi akibat gabungan dari faktor predisposisi genetik,
faktor lingkungan, dan infeksi virus Ebstein-Barr (Adham, 2009 & Wolden, 2001).
1. Genetik
Analisis genetik pada populasi endemik menunjukkan orang-orang dengan
kelemahan pada gen HLA memiliki resiko dua kali lebih tinggi untuk menderita
karsinoma nasofaring.
6
2. Lingkungan
Penelitian-penelitian menunjukkan konsumsi makanan yang mengandung volatile
nitrosamine (misalnya ikan asin), paparan formaldehide, akumulasi debu kapas, asam,
caustic, proses pewarnaan kain, merokok, nikel, alkohol, dan infeksi jamur pada cavum
nasi meningkatkan resiko terjadinya karsinoma nasofaring.
3. Virus Ebstein-Barr
Infeksi EBV pada manusia bermanifestasi menjadi beberapa bentuk penyakit. Virus
ini dapat menyebabkan infeksi mononukleosis, limfoma burkit dan karsinoma nasofaring.
Infeksi EBV-1 dan EBV-2 telah dihubungkan dengan kejadian karsinoma nasofaring di
Cina Selatan, Asia Tenggara, Mediterania, Afrika, dan Amerika Serikat. Dijumpainya
Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah mengaitkan terjadinya
kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. Pada 1966, seorang peneliti menjumpai
peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada KNF serta titer antibodi IgG terhadap
EBV, capsid antigen dan early antigen. Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya
stadium penyakit. Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit
keganasan lainnya bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpa
menimbulkan manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak
cukup untuk menimbulkan proses keganasan. (Lu. 2010)
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam
limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel
kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara
berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2).
Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan
limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya
EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi
immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel
nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua reseptor yang
diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu CR2 dan
PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr
dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi
dengan virus epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang
menginfeksi sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi
normal atau dapat terjadi perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel yaitu
7
interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel
sehingga terjadi transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan
virus pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal
tyrosine kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen
tersebut, gen yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur
protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada
ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan 200 asam amino pada
ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1 menjadi perantara untuk sinyal TNF
(tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel
B dan menghambat respon imun lokal.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, Kanker Nasofaring
(KNF) jarang dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih
dikaitkan dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu.
Meskipun demikan ada peneliti yg mencoba menghubungkannya dengan merokok,
secara umum resiko terhadap KNF pada perokok 2-6 kali dibandingkan dengan bukan
perokok.
PATOLOGI
Nasofaring berhubungan dengan beberapa struktur. Ke anterior nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, sehingga sumbatan hidung
merupakan gangguan yang sering timbul. Penyebaran tumor ke lateral akan menyumbat
muara tuba Eustachius sehingga akan menimbulkan gangguan pendengaran dan
penumpukan cairan di telinga tengah. Di bagian posterior dinding nasofaring
melengkung ke atas dan kedepan, terletak di bawah korpus os sphenoid dan bagian
basilar os oksipital. Nekrosis akibat penekanan mungkin timbul di tempat-tempat
tersebut. Di supero-posterior torus tubarius terdapat resesus faring atau fossa
Rosenmuleri dan tepat di ujung posterosuperiornya terdapat foramen laserum. Tumor
dapat menjalar ke arah intracranial dalam dua arah, yang masing-masing menimbulkan
gejala neurologis yang khas. Perluasan langsung melalui foramen laserum ke sinus
kavernosus dan fossa cranii media menyebabkan gangguan pada N.III, N.IV, N.VI, dan
kadang N.II. Penyebaran ke kelenjar faring lateral dan di sekitar selubung
karotis/jugularis pada ruang retroparotis akan menyebabkan gangguan pada N.IX, N.X,
8
N.XI, dan N.XII. Di nasofaring terdapat banyak saluran limfe yang terutama mengalir ke
lateral dan bermuara di kelenjar retrofaring Krause (kelenjar Rouviere) (Ballenger, 1997).
Secara makroskopis tumor dapat berupa massa yang menonjol pada mukosa dan
memiliki permukaan halus, bernodul dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau
massa yang menggantung dan infiltrate. Namun terkadang tidak dijumpai lesi pada
nasofaring.
Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Bentuk ulseratif
Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah sekitar fosa
rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral didepan tuba eustachius
dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya lebih kecil disertai dengan
jaringan yang nekrotik dan sangat mudah mengadakan infiltrasi ke jaringan
sekitarnya. Gambaran histopatologik bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa
deengan diferensiasi baik.
2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative
Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar muara
tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah anggur atau polipoid.
Jarang dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai ulserasi kecil.
Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma tanpa diferensiasi.
3. Bentuk eksofitik
Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai adanya
ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor jenis ini
biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh rongga nasofaring.
Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah dan tumbuh kearah koana
dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran histopatologik berupa
limfasarkoma.
Manifestasi Klinis
Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu gejala
nasofaring sendiri, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis, atau gejala di
leher. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis rigan atau sumbatan hidung, untuk itu
nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan nasofaringoskop, karena
9
sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh, atau tumor tidak tampak karena
masih berada dibawah (creeping tumor) (Adham, 2007)
Gangguan pada telinga merupakan gangguan dini yang timbul karena tempat asal
tumor dekat muara tuba eustasius (fossa rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinitus,
rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia). Tidak jarang pasien
dengan gangguan pendengaran ini kemudian baru di sadari bahwa penyebabnya adalah
karsinoma nasofaring (Adham, 2007)
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa
lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut karsinoma
ini. Penjalaran melalui foramen lacerum akan mengenai saraf otak ke III, IV, VI dan
dapat pula ke V, sehingga tidak jarang diplopialah gejalayang membawa pasien terlebih
dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering ditemukan
oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti (Adham, 2007)
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, dan XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relatif jauh dari nasofaring.
Gangguan ini sering disebut dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak
dan bila sudah terjadi demikian, biasanya prognosisnya buruk (Adham, 2007).
Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher yang mendorong
pasien untuk berobat, karena sebelumnya tidak terdapat keluhan ini (Adham, 2007).
Stadium
Berdasarkan kesepakatan UICC tahun 1992, stadium karsinoma nasofaring dibagi
menjadi: (Adham, 2007)
T : tumor, menggambarkan keadaan tumor primer, besar, dan perluasannya
T0 : Tidak tampak tumor
T1 : Tumor terbatas pada satu lokasi di nasofaring
T2 : Tumor meluas lebih dari satu lokasi, tetapi masih dalam rongga nasofaring
T3 : Tumor meluas ke kavum nasi dan atauorofaring
T4 : Tumor meluas ke tengkorak dan atau sudah mengenai saraf otak
N : nodul, menggambarkan kedaan kelenjar limfe regional
N0 : tidak terdapat pembesaran kelenjar
N1 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral yang masih dapat digerakkan
10
N2 : terdapat pembesaran kelenjar kontralateral atau bilateral yang masih dapat
digerakkan
N3 : terdapat pembesaran kelenjar homolateral, kontralateral, atau bilateral yang
sudah melekat dengan jaringan sekitar
M : metastasis, menggambarkan keberadaan metastasis jauh
M0 : tidak terdapat metastasis jauh
M1 : terdapat metastasis jauh
Berdasarkan TNM tersebut, stadium dapat dibagi menjadi:
Stadium I : T1 N0 M0
Stadium II : T2 N0 M0
Stadium III : T3 N0 M0
T1, T2, T3, N1 M0
Stadium IV : T4 N0, N1 M0
T1 – T4 N2,N3 M0
T1 – T4 N0 – N3 M1
DIAGNOSIS
Beberapa cara yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis karsinoma
nasofaring:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
2. Pemeriksaan nasofaring
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti karsinoma nasofaring ditentukan dengan diagnosis klinik
ditunjang dengan diagnosis histologis dan sitologis. Materi biopsi yang diperiksa
adalah hasil biopsi cucian, aspirasi, atau sikatan (brush). Biopsi nasofaring dilakukan
dengan anestesi topikal melalui 2 jalur, yaitu melalui hidung dan mulut:
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind
biopsy). Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka
media ke nasofaring, kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan
biopsi.
11
Biopsi melalui mulut dilakukan dengan bantuan kateter nelaton yang
dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang merada dalam mulut
ditaik dan diklem bersama dengan ujung kateter di hidung, sehingga palatum
molle tertarik ke atas. Daerah nasofaring dilihat dengan kaca laring. Biopsi
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut. Tumor akan terlihat
lebih jelas menggunakan nasofaringoskop. Bila dengan cara ini masih belum
didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret
di daerah lateral nasofaring dalam keadaan narkosis. (Wolden, 2001)
4. Pemeriksaan patologi anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO sebelum
tahun 1991 terbagi menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi, yang terbagi lagi menjadi tipe
diferensiasi baik, sedang, dan buruk.
2. Karsinoma non-keratinisasi. Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, dan pada
umumnya batas sel cukup jelas.
3. Karsinoma tidak terdiferensiasi. Pada tipe ini sel tumor secara individual
memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli
yang prominen. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.
Tipe tanpa keratinisasi dan tanpa diferensiasi bersifat radiosensitif, sedangkan
jenis dengan keratinisasi tidak terlalu sensitif dengan radioterapi.
Klasifikasi gambaran histopatologis yang direkomendasikan WHO pada tahun
1991 hanya terbagi menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Karsinoma sel squamosa terkeratinisasi
2. Karsinoma non-keratinisasi
Kedua tipe ini dibagi lagi menjadi tipe terdiferensiasi dan tidak berdiferensiasi
(WHO, 2005).
5. Pemeriksaan radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah unutk memberikan diagnosis yang
lebih pasti pada kecurigaan tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor
yang lebih tepat, mencari dan menentukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan
sekitar.
Foto polos
Karsinoma yang dapat dideteksi secara jelas denga foto polos pada
umumnya adalah tumor eksofitik yang cukup besar, sedangkan bula kecil
12
mungkin tidak terdeteksi. Perluasan tumor yang terjadi pada submukosa, atau
penyebaran yang belum terlalu luas tidak akan terdeteksi melalui foto polos.
Beberapa posisi foto polos perlu dibuat untuk mencari kemungkian
tumor pada daerah nasofaring, yaitu: (Wolden, 2001)
o Posisi lateral dengan teknik foto jaringan lunak
o Posisi basis cranii atau submentoforteks
o Tomogram lateral daerah nasofaring
o Tomogram anteroposterior daerah nasofaring
CT-Scan
Keunggulan CT-Scan dibandingkan dengan foto polos adalah
kemampuan untuk membedakan berbagai densitas pada daerah nasofaring.
CT Scan mampu membedakan berbagai densitas pada jaringan lunak maupun
perubahan-perubahan pada tulang. Dapat dinilai lebih akurat mengenai
perluasan tumor ke jaringan sekitar, destruksi tulang, dan penyebaran
intracranial (Wolden, 2001).
DIAGNOSIS BANDING
1. Hiperplasia adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada anak-
anak hyperplasia ini terjadi Karena infeksi berulang. Pada foto polos akan terlihat
suatu massa jaringna lunak pada aatap nasofaring umunya berbatas tegas dan
umunya simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak tanda- tanda
infiltrasi seprti tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juvenilis
Biasanya ditemui pada usia relative muda dengan gejala-gejala
menyerupai KNF. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasnya tidak
infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap nasofairng yang
berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma,
walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang hanya erosi saja karena
penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan ke arah depan dari dinding
belakang sinus maksilaris yang dikenal sebgai antral sign. Karena tumor ini kaya
akan vascular maka arterigrafi carotis eksterna sangat diperlukan sebab
13
gambaranya sangat karakteristik. Kadang-kadang sulit pula membedakan
angiofibroma juvenils dengan polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenoidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan biasanya
tumor sudah sampai stadium agak lanjut waktu pasien datang untuk pemeriksaan
pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. secara C.T-Scan, pendesakan
ruang para faring kearah medial dapat membantu membedakan kelompok tumor
ini dengan KNF.
5. Tumor kelenjarr parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak
agak dalam mengenai ruang para faring dan menonjol kearah lumen nasofaring.
pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang parafaring kearah medial
yang tampak pada pemeriksaan C.T.Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat KNF pun sering menimbulkan destruksi tulang, maka sering timbul
kesulitan untuk membedakanya. Dengan foto polos, dapat dilihat kalsifikasi atau
destruksi terutama di daerah clivus. CT dapat membantu melihat apakah ada
pembesaran kelenjar cervical bagian atas karena chordoma umunya tidak
memperhatikan kelainan pada kelenjar tersebut sedangkan KNF sering
bermetastasis ke kelenjar getah bening.
7. Meningioma basis kranii
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang
menyerupai KNF dengan tanda-tanda sklerotik pada daerah basis kranii.
Gambaran CT meningioma cukup karakteristikk yaitu sedikit hiperdense sebelum
penyuntikan zat kontras dan akan menjadi sangat hiperdense setelah pemberian
14
zat kontras intravena. Pemeriksaan arteiografi juga sangat membantu diagnosis
tumor ini.
TATALAKSANA
Radioterapi
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk karsinoma
nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Sampai saaat ini pengobatan pilihan terhadap tumor ganas nasofaring adalah
radiasi, karena kebanyakan tumor ini tipe anaplastik yang bersifat radiosensitif.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat kobal (Co60
) atau dengan akselerator linier ( linier Accelerator atau linac). Radiasi ini ditujukan pada
kanker primer didaerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta pada daerah aliran getah
bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah getah bening ini tetap dilakukan
sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai pembesaran kelenjar. Metode
brakhioterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi kedalam rongga nasofaring saat
ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada tumor primer tetapi tidak
menimbulkan cidera yang serius pada jaringan sehat disekitarnya. Kombinasi ini
diberikan pada kasus-kasus yang telah memeperoleh dosis radiasi eksterna maksimum
tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal.
Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan pemberian
radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan efek samping
sesedikit mungkin. Metode yang disebut sebagai IMRT ( Intersified Modulated Radiotion
Therapy ) telah digunakan dibeberapa negara maju. (Harry, 2002)
Daerah penyinaran kelenjar leher sampai fosa supraklavikula. Apabila tidak ada
metastasis kelenjar leher, maka radiasi daerah leher ini bersifat profilaktik dengan dosis
4000 rad, sedangkan bila ada metastasis diberikan dosis yang sama dengan dosis daerah
tumor primer yaitu 6000 rad, atau lebih. Untuk menghindari gangguan penyinaran
terhadap medulla spinalis, laring dan esofagus, maka radiasi daerah leher dan
supraklavikula ini, sebaiknya diberikan dari arah depan dengan memakai blok timah
didaerah leher tengah. (Harry, 2002)
Dosis radiasi
15
Dosis radiasi umumnya berkisar antara 6000 – 7000 rad, dalam waktu 6 – 7 minggu
dengan periode istirahat 2 – 3 minggu (“split dose”). Alat yang biasanya dipakai ialah
“cobalt 60”, “megavoltage”orthovoltage”
Komplikasi radioterapi dapat berupa :
a) Komplikasi dini
Biasanya terjadi selama atau beberapa minggu setelah radioterapi, seperti :
- Xerostomia - Mual-muntah
- Mukositis (nyeri telan, mulut kering, dan hilangnya cita rasa) kadang
diperparah dengan infeksi jamur pada mukosa lidah dan palatum
- Anoreksi
- Xerostamia (kekeringan mukosa mulut akibat disfungsi kelenjar parotis yang
terkena radiasi)
- Eritema
b) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah 1 tahun pemberian radioterapi, seperti :
- Kontraktur
- Penurunan pendengaran
- Gangguan pertumbuhan
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan selama
pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh dokter.
Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan informasi
kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara benar. Untuk
mengurangi keluhan penderita juga dapat diberikan obat kumur yang mengandung
adstringens, misalnya bactidol, efisol, gargarisma diberikan 3-4 kali sehari. Bila tampak
tanda-tanda moniliasis diberikan antimikotik misalnya funfilin. Pemberian obat-obatan
yang mengandung anestesi local seperti FG troches bias mengurangi keluhan nyeri telan.
Untuk keluhan umum nausea, anorexia dan sebgainya bisa diberikan obat-obatan
simptomatik terhadap keluhan ini seperti avomit, avopreg. (Harry, 2002)
Kemoterapi
16
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau pada keadaan
kambuh. (Harry, 2002)
Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki indikasi yaitu bila
setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata :
- kankernya masih ada, dimana biopsi masih positif
- kemungkinan besar kankernya masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- pada tumor dengan derajat keganasan tinggi ( oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh).
Efek Samping Kemoterapi
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel normal yang
membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan Sel pada traktus gastro
intestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan, depresi sum-sum tulang yang
memudahkan terjadinya infeksi. Pada traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah
anoreksia dan ulserasi saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan
kerontokan rambut. Jaringan tubuh normal yang cepat proliferasi misalnya sum-sum
tulang, folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat sitostatika.
Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih
lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih cepat pulih dari pada sel kanker.
(Wolden, 2001)
Efek samping yang muncul pada jangka panjang adalah toksisitas terhadap jantung,
yang dapat dievaluasi dengan EKG dan toksisitas pada paru berupa kronik fibrosis pada
paru. Toksisitas pada hepar dan ginjal lebih sering terjadi dan sebaiknya dievalusi fungsi
faal hepar dan faal ginjalnya. Kelainan neurologi juga merupakan salah satu efek
samping pemberian kemoterapi. (Wolden, 2001)
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan dengan
radioterapi dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan meningkatkan
survival pasien dengan cara mengatasi sel kanker secara sistemik lewat mikrosirkulasi.
(Harry, 2001)
Manfaat Kemoradioterapi adalah
17
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor akan memberikan
hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui bahwa pusat tumor terisi sel
hipoksik dan radioterapi konvensional tidak efektif jika tidak terdapat oksigen.
Pengurangan massa tumor akan menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel
hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mikrometastase.
3. Modifikasi melekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih sensitif
terhadap radiasi yang diberikan (radiosensitiser).
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang radioresisten, memiliki
manfaat juga untuk menghambat pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat
terpapar radiasi.
Kemoterapi neoajuvan dimaksudkan untuk mengurangi besarnya tumor sebelum
radioterapi. Pemberian kemoterapi neoadjuvan didasari atas pertimbangan vascular bed
tumor masih intak sehingga pencapaian obat menuju massa tumor masih baik. Disamping
itu, kemoterapi yang diberikan sejak dini dapat memberantas mikrometastasis sistemik
seawal mungkin. Kemoterapi neoadjuvan pada keganasan kepala leher stadium II – IV
dilaporkan overall response rate sebesar 80 %- 90 % dan CR ( Complete Response )
sekitar 50%. Kemoterapi neoadjuvan yang diberikan sebelum terapi definitif berupa
radiasi dapat mempertahankan fungsi organ pada tempat tumbuhnya tumor (organ
preservation). (Wolden, 2001)
Secara sinergi agen kemoterapi seperti Cisplatin mampu menghalangi perbaikan
kerusakan DNA akibat induksi radiasi. Sedangkan Hidroksiurea dan Paclitaxel dapat
memperpanjang durasi sel dalam keadaan fase sensitif terhadap radiasi.
Kemoterapi yang diberikan secara bersamaan dengan radioterapi (concurrent or
concomitant chemoradiotherapy ) dimaksud untuk mempertinggi manfaat radioterapi.
Dengan cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker yang sensitif terhadap
kemoterapi dan mengubah sel kanker yang radioresisten menjadi lebih sensitif terhadap
radiasi. Keuntungan kemoradioterapi adalah keduanya bekerja sinergistik yaitu
mencegah resistensi, membunuh subpopulasi sel kanker yang hipoksik dan menghambat
recovery DNA pada sel kanker yang sublethal. (Wolden, 2001)
Kelemahan Kemoradioterapi
18
Kelemahan cara ini adalah meningkatkan efek samping antara lain mukositis,
leukopeni dan infeksi berat. Efek samping yang terjadi dapat menyebabkan penundaan
sementara radioterapi. Toksisitas Kemoradioterapi dapat begitu besar sehingga berakibat
fatal.
Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian kemoterapi secara bersamaan
dengan radiasi dengan syarat dosis radiasi tidak terlalu berat dan jadwal pemberian tidak
diperpanjang, maka sebaiknya gunakan regimen kemoterapi yang sederhana sesuai
jadwal pemberian. (Harry, 2001)
Untuk mengurangi efek samping dari kemoradioterapi diberikan kemoterapi tunggal
(single agent chemotherapy) dosis rendah dengan tujuan khusus untuk meningkatkan
sensitivitas sel kanker terhadap radioterapi (radiosensitizer). Sitostatika yang sering
digunakan adalah Cisplatin, 5-Fluorouracil dan MTX dengan response rate 15%-47%.
Operasi
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher radikal dan
nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau
adanya kelenjar dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang
dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu
pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring adalah virus
Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan imunoterapi.
PROGNOSIS
Faktor terpenting untuk menentukan prognosis adalah stadium dari kanker.
Pada studi tahun 2002 yang menggunakan TNM staging system,
menunjukkan angka harapan hidup 5 tahun untuk stadium I sebesar 98%,
stadium II A-B, 95%, stadium III 86%, dan stadium IV 73%.
Faktor penting lainnya adalah host. Dimana bila pasien yang terkena berumur
lebih muda (<40 tahun) dan berjenis kelamin wanita, memiliki prognosis yang
lebih baik.
19
Selain itu tatalaksana yang baik juga merupakan faktor yang dapat
menentukan prognosis dari pasien (WHO, 2005)
PENCEGAHAN
Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus Epstein
Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan
resiko tinggi.
Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat lainnya.
Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak makanan
untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang berbahaya.
Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan keadaan
sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-
kemungkinan faktor penyebab. Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA
anti EA secara massal di masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan
karsinoma nasofaring secara lebih dini.
20
BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Ny. “J”
Umur : 52 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sekarbela
Tanggal Pemeriksaan : 30 april 2013
ANAMNESIS
Keluhan utama:
Nyeri kepala belakang
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke RSU Provinsi NTB dengan keluhan nyeri kepala sejak 1 tahun yang
lalu, namun keluhan pasien semakin memberat sejak 1 bulan yang lalu, keluhan sakit
kepala juga disertai dengan nyeri pada kedua mata, namun penglihatan ganda
disangkal. Wajah terasa kebas dan seperti tertarik kearah kiri. Pasien juga mengaku
benjolan muncul pada leher kanan dan kiri yang muncul sejak ± 3 bulan lalu.
Benjolan dirasakan nyeri jika dipegang. Pasien juga mengeluh sulit untuk membuka
mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, hidung rasa tersumbat (-), ingus keluar dari
lubang hidung (-), Keluhan sering mimisan, ingus bercampur darah disangkal. Pasien
juga merasakan adanya penurunan pendengaran. Keluhan mendengar suara air
terkocok di dalam telinga disangkal, riwayat pernah keluar air dan nyeri telinga
sebelumnya juga disangkal oleh pasien. Sejak kemarin pasien mengaku lemas, dan
susah untuk berjalan.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien belum pernah menderita keluhan yang sama seperti ini sebelumnya. Tidak ada
riwayat keluar cairan dari dalam telinga kiri maupun kanan.
Riwayat penyakit keluarga/sosial: -
21
Riwayat pengobatan: pasien pernah berobat ke RSUD sebelumnya karena keluhan
nyeri kepala yang terus menerus dirasakan namun tidak ada perubahan.
Riwayat alergi:
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, tidak pernah
meler dan bersin-bersin saat terkena debu atau dingin.
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Tanda vital :
Tensi : 100/70 mmHg
Nadi : 74 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,7⁰C
Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan
Telinga
Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
Bentuk dan ukuran dalam batas
normal, hematoma (-), nyeri
tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)
Serumen (-), hiperemis (-),
furunkel (-), edema (-), otorhea
(-)
22
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-),cone of light (+)
Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-),cone of light (+)
Pemeriksaan hidung
Pemeriksaan Hidung Hidung kanan Hidung kiri
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Bentuk (normal), hiperemi (-),
nyeri tekan (-), deformitas (-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat
(-), hiperemia (-)
Bentuk (normal), mukosa pucat
(-), hiperemia (-)
Meatus nasi media Mukosa hiperemis, sekret (+,
bening ketal), massa berwarna
putih mengkilat (-).
Mukosa hiperemis, sekret (-),
massa berwara putih mengkilat
(-).
Konka nasi inferior Edema (-), mukosa hiperemi (-) Edema (-), mukosa hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)
Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus
(-)
23
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna pucat
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Lidah Permukaan lidah putih,tampakseperti sisa makanan, dan jatuh
kekiri saat berusaha dijulurkan
Geligi
Tidak dapat dievaluasi karena pasien susah membuka mulut, lebar nya 2 jari
Uvula
Palatum mole
Faring
Tonsila palatine
Fossa Tonsillaris
dan Arkus
Faringeus
Pemeriksaan wajah:
- Wajah tertarik kearah kiri
- Sudut bibir tertarik kearah kiri
Pemeriksaan mata:
- Gerak bola mata baik ke segala arah ODS
- Konfergensi ODS baik
- Tidak terdapat diplopia binokuler pada gerak bola mata ke seluruh arah atau saat
- Konfergensi
- Mata kiri ptosis
Pemeriksaan leher
Ditemukan massa pada colli dextra-sinistra, dengan karakteristik:
Ukuran: dextra ± 5 x 3 cm; sinistra: ± 6 x 5 cm
Batas: tegas
Mobilisasi: immobile terhadap jaringan di bawah dan sekitarnya
Permukaan: licin, tidak rata
Nyeri tekan: +
Keterbatasan gerak leher: -
DIAGNOSIS
24
Tumor colli dextra-sinistra, suspect Ca. Nasofaring
DIAGNOSIS BANDING
Limfoma
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- CT-Scan
- Biopsi nasofaring
- Metastasis jauh:
Tes fungsi hepar dan ginjal
Foto thoraks
USG hepar
Hasil CT-Scan pada tanggal 04 januari 2013
Interpretasi hasil CT-Scan: tampak massa solid bulat pada nasofaring Sinus paranasal kiri dan kanan normal Terdapat infiltrasi ke intracranial
RENCANA TERAPI (sementara/simtomatik)
25
Diet cair
Medikamentosa
Neurobion 5000 mg dalam RL/hari
Analgetik :
Asam mefenamat 3 x 500 mg
KIE pasien
Tumor yang diderita pasien memiliki kemungkinan ganas, sehingga penegakan
diagnosis dengan pengambilan sedikit jaringan dari tumor akan membantu dalam
memberikan penanganan yang tepat dan cepat.
Pasien perlu dirujuk ke centre pengobatan lebih besar untuk memulai terapi
definitif terhadap tumor yang diderit.
PROGNOSIS
Menurut literatur, harapan hidup 5 tahun pada penderita ca nasofaring stadium
IV adalah 73%.
26
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, sementara
ditegakkan diagnosis kerja suspect karsinoma nasofaring. Hasil anamnesis yang
mendukung adalah adanya keluhan nyeri kepala yang semakin memberat sejak 1 bulan
yang lalu, keluhan sakit kepala juga disertai dengan nyeri pada kedua mata, namun tidak
dirasakan penglihatan ganda. Wajah terasa kebas dan seperti tertarik kearah kiri. Pasien
juga mengaku benjolan pada leher kanan dan kiri yang muncul sejak ± 3 bulan lalu.
Benjolan dirasakan nyeri jika dipegang. Pasien juga mengeluh sulit untuk membuka
mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, hidung tersumbat (-),ingus keluar dari lubang
hidung (-), Keluhan sering mimisan, ingus bercampur darah disangkal. Pasien juga
merasakan adanya penurunan pendengaran. Keluhan mendengar suara air terkocok di
dalam telinga disangkal.
Hasil pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya kelainan pada telinga, begitu juga
pada pemeriksaan hidung. Pada pemeriksaan mata tidak didapatkan adanya keterbatasan
gerak mata ataupun gangguan dan diplopia pada konvergensi, namun mata kiri terlihat
lebih kecil dari mata kanan. Pada pemeriksaan leher didapatkan adanya massa padat
terfiksir immobile yang nyeri pada penekanan pada sisi leher kanan-kiri. Massa ini
kemungkinan adalah pembesaran KBG leher, yang menunjukkan telah terdapat
metastasis secara limfogen pada karsinoma nasofaring. Pembesaran KGB juga dapat
terjadi pada limfoma. Pada pasien ini, terdapat pembesaran kelenjar bilateral, yang
meningkatkan kemungkinan terjadinya limfoma. Perlu dicari adanya pembesaran KGB di
bagian tubuh lain untuk meningkatkan kecurigaan limfoma.
CT-Scan dan biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Hasil CT-Scan
menunjukkan adanya massa nasofaring yang telah meluas ke intrakranial. Terdapat pula
pembesaran KGB di colli dextra dan sinistra. Berdasarkan hasil tersebut, stadium
karsinoma nasofaring pada pasien ini adalah T4/N3/M1 yang diklasifikasikan sebagai
stadium IV. Biopsi nasofaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti karsinoma
nasofaring.
Terapi definitif terhadap karsinoma nasofaring baru dapat dimulai bila diagnosis
pasti sudah ditegakkan. Untuk sementara terapi yang diberikan adalah terapi simtomatik
berupa analgetik untuk mengurangi nyeri dan pemberian tambahan suplemen vitamin
untuk menjaga kondisi pasien.
27
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Adams, George L. 1997. Embriologi, Anatomi dan Fisiologi Rongga Mulut, Faring,
Esofagus, dan Leher, dalam BIOES Buku Ajar Penyakit THT Edisi Keenam.
Jakarta: EGC. Hal: 263-271
Adham, M. Dan Rozein, A. 2007. Karsinoma Nasofaring, dalam Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi Keenam. Jakarta:
FKUI. Hal:182-187
Ballenger, JJ. 1997. Tumor dan Kista di Muka, Faring, dan Nasofaring, dalam Ballenger:
Penyakit Telinga Hidung Tenggorok, dan leher Jilid I. Jakarta: Bina Rupa
Aksara. Hal: 1020-1039
Brennan B. Review Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal of Rare Disease;
2006, available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1559589/pdf/1750-1172-1-
23.pdf
Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat. Medan:
FK USU,2002.h. 1-11.
Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal
Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.
Wolden, Suzanne L. 2001. Cancer of Nasopharynx, dalam buku Atlas of Clinical
Oncology: Cancer of the Head and Neck. London: BC Decker inc. Page: 142-
156
World Health Organization. 2005. World Health Organization Classification Head and
Neck Tumours. Lyon: IARC Press. Available at:
www.iarc.fr/IARCPress/pdfs/index1.php accessed: 19 December 2011.
28