33
BAB I PENDAHULUAN Herpes Zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi virus varisela-zoster yang terjadi sebelumnya, yang menyebabkan munculnya ruam kulit yang terlokalisir dan sangat nyeri, biasanya disertai vesikel yang ditemukan di atas kulit eritema. 1 Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun, prevalensinya tidak tergantung musim. Kejadian herpes zoster tidak dipengaruhi oleh prevalensi varisela dan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan melalui kontak dengan orang yang sedang mengalami varisela atau herpes zoster. Insiden penyakit ini ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi hubungan antara hospes dengan virus (virus varisela-zoster). 2 Di seluruh dunia., insiden herpes zoster diperkirakan antara 2-3 kasus per 1000 penduduk tiap tahunnya. Insiden penyakit ini meningkat pada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh atau pada orang tua, insidennya mencapai 50%. 3,4 Patogenesis herpes zoster belum sepenuhnya diketahui. Selama terjadinya varisela, VZV (varicela-zoster virus) berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris dan didistribusikan ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dan sewaktu- waktu dapat terjadi reaktivasi virus. Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam

laporan kasus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: laporan kasus

BAB I

PENDAHULUAN

Herpes Zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi virus varisela-

zoster yang terjadi sebelumnya, yang menyebabkan munculnya ruam kulit yang terlokalisir

dan sangat nyeri, biasanya disertai vesikel yang ditemukan di atas kulit eritema.1

Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun, prevalensinya tidak tergantung

musim. Kejadian herpes zoster tidak dipengaruhi oleh prevalensi varisela dan tidak ada bukti

kuat yang menunjukkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan melalui kontak dengan orang

yang sedang mengalami varisela atau herpes zoster. Insiden penyakit ini ditentukan oleh

faktor yang mempengaruhi hubungan antara hospes dengan virus (virus varisela-zoster).2 Di

seluruh dunia., insiden herpes zoster diperkirakan antara 2-3 kasus per 1000 penduduk tiap

tahunnya. Insiden penyakit ini meningkat pada orang dengan penurunan sistem kekebalan

tubuh atau pada orang tua, insidennya mencapai 50%.3,4

Patogenesis herpes zoster belum sepenuhnya diketahui. Selama terjadinya varisela,

VZV (varicela-zoster virus) berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung

saraf sensoris dan didistribusikan ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi

laten (dorman), dan sewaktu-waktu dapat terjadi reaktivasi virus. Herpes zoster pada

umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi

virus ini diduga karena suatu kedaan tertentu yang berhubungan dengan imunosupresi.2

Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang

terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah

krusta terlepas. Komplikasi ini terutama dijumpai pada pasien dengan usia di atas 40 tahun.

Makin tua penderita, makin tinggi kemungkinan komplikasi yang ditimbulkan.5

Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan utama yaitu mengatasi

infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster dan

mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik.

Sebuah penelitian kohort retrospektif menemukan penurunan kejadian herpes zoster

pada seseorang dengan usia 60 tahun atau lebih yang mendapatkan vaksinasi herpes zoster.

Sebuah penelitian lain mengungkapkan bahwa imunisasi terhadap virus varisela zoster dapat

mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan penyakit herpes zoster serta komplikasinya

terutama neuralgia post herpetik.7

Page 2: laporan kasus

Pentingnya pemahaman terhadap herpes zoster, sehingga dapat mencegah komplikasi

terutama neuralgia paska herpetik dan memberikan penanganan yang tepat terhadap

komplikasi yang ditimbulkan.

Page 3: laporan kasus

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh adanya nyeri

radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang

dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus kranialis.

Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten

di ganglia sensoris.2,8

2.2 Epidemiologi

Di dunia, insiden herpes zoster tidak banyak diteliti, diperkirakan 2-3 kasus tiap 1000

penduduk tiap tahun (rata-rata 750.000 kasus tiap tahun). Insiden yang sebenarnya mungkin

jauh lebih tinggi, karena banyak kasus ringan yang tidak mendapat perhatian bagi pelayan

kesehatan dan tetap tidak terdiagnosis. Insidennya meningkat terutama pada individu dengan

penurunan sistem kekebalan tubuh atau pada orang tua, insidennya mencapai 50%.3

Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan

biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir

– 9 tahun: 0,74 / 1000; usia 10 – 19 tahun: 1,38 / 1000; usia 20-29 tahun: 2,58 / 1000. Lebih

dari 66% mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20

tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15 tahun.9

Hampir 50% individu dengan usia di atas 80 tahun diperkirakan pernah mengalami

herpes zoster. Penyakit ini jarang terjadi pada anak maupun dewasa muda, dengan

pengecualian pada dewasa muda dengan AIDS, limfoma dan keganasan lainnya, serta pasien

yang merupakan resipien transplant sumsum tulang dan ginjal.3

Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim

dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedan angka kesakitan antara laki-laki dan

perempuan, angka kesakitan meningkat seiring dengan peningkatan usia.2 Ras kulit hitam

dikatakan mempunyai resiko lebih rendah dalam mengalami penyakit ini bila dibandingkan

dengan ras kulit putih.3

Page 4: laporan kasus

2.3 Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh VZV (Varicella Zoster Virus) dan tergolong virus DNA. Virus

ini berukuran 150-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae. Virus ini mempunyai

sifat khas yang menyebabkan infeksi primer pada sel epitel, setelah infeksi primer biasanya

virus menetap dalam bentuk laten di dalam ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan

menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai

jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai

enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus

spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.10

2.4 Patogenesis

Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster. Kontak pertama

dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu varisela dikatakan infeksi akut

primer sedangkan bila penderita varisela sembuh atau dalam benuk laten dan kemudian

terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah herpes zoster.2

Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus

mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia yang sifatnya terbatas

dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam sistem retikuloendotelial,

selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat viremianya lebih luas dan simptomatik

dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa.2 Sebagian virus juga menjalar melalui serat-

serat sensoris dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke

ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus

tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan

berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat

diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita

karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan imunosupresif termasuk kortikosteroid dan

pada orang yang menerima transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali

bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian

virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan melalui saraf sensoris akan

sampai ke kulit yang kemudiaan dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis.10 Jadi, selama

antibodi yang beredar di dalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat

dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah level kritis, maka

terjadilah reaktivasi virus sehingga terjadi herpes zoster.2

Page 5: laporan kasus

Secara ringkas, pathogenesis penyakit herpes zoster dapat digambarkan sebagai

berikut: Varisela: virus mukosa saluran nafas atas multiplikasi pembuluh darah dan

limfe kulit lesi primer saraf perifer ganglion dorsalis infeksi laten.

Herpes zoster virus teraktifasi saraf perifer kulit lesi.

2.5 Manifestasi Klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang

terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi dan bervariasi mulai dari

perasaan kesemutan, sensasi seperti terbakar hingga perasaan sakit seperti tertusuk. Nyeri ini

dapat menetap atau bersifat hilang timbul dan biasanya diikuti oleh adanya nyeri tekan dan

hiperestesi kulit pada dermatom yang terkena. Nyeri ini menyerupai nyeri yang terjadi pada

peradangan pleura, infak miokard, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik bilier atau kolik renal,

apendiksitis, prolaps diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan terjadinya suatu

kesalahan diagnosis dan penanganan.2 Gejala prodromal sistemik (demam, pusing, malaise),

maupun gejala prodromal lokal (mialgia, pegal, dan sebagainya) dapat terjadi biasanya 1-3

minggu sebelum timbul ruam di kulit.5,10

Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan

unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada

daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensoris. Lokasi yang sering

dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus kranialis V serta nervus VII.2,10

Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematosa, kemudian dalam waktu 12 – 24

jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustul pada hari ke 3 – 4

dan akhirnya pada hari ke 7 – 10 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali

terjadi infeksi sekunder bakterial. Pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah,

dapat terjadi herpes zoster diseminata dan dapat mengenai alat visceral seperti paru, hati,

otak, dan DIC (disseminated intravascular coagulation) sehingga dapat berakibat fatal. Lesi

pada kulit biasanya sembuh lebih lama dan dapat mengalami nekrosis, hemorhagik, dan dapat

terbentuk parut.5,10

Masa tunasnya 7 – 12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap

timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1 – 2

minggu. Disamping gejala kulit, dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening

regional. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf

Page 6: laporan kasus

pusat, kelainan motorik lebih sering terjadi. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi

gejala yang khas.5

Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi:

1. Herpes zoster ophtalmikus

Herpes zoster ophtalmikus merupkan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian

ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmikus saraf trigeminus,

ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu

sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala

prodromal berlangsung 1 – 4 hari sebelum kelainan kulit timbul, fotofobia, banyak keluar

air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster opthalmikus sinistra

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian

ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik

unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra

Page 7: laporan kasus

3. Herpes zoster brakialis

Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus

brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra

4. Herpes zoster torakalis

Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus

torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra

5. Herpes zoster lumbalis

Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus

lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

6. Herpes zoster sakralis

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus

sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Page 8: laporan kasus

Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra

2.6 Diagnosis

Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia

beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya lesi. Adakalanya sebelum

timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala prodromal seperti demam, pusing, dan malaise.

Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan

vesikel yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mula-

mula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika

absorpsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta. Pada stadium pra erupsi, penyakit ini

sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard,

kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat,

diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas

vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu

dermatom.2,3,5

Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu menegakkan

diagnosis dengan menemukan sel dantia berinti banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan

vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik. Pada

pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan

serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi

ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes

zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.2,8

Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan

tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain: isolasi

virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop elektron,

pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi dengan mengukur imunoglobulin

spesifik.2

Page 9: laporan kasus

2.7 Diagnosis Banding

1. Herpes Simplek

Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di atas dasar

kulit yang eritema. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti

terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simplek terdiri atas 2

tipe yaitu herpes simplek tipe 1 dan tipe 2. Lesi yang disebabkan oleh herpes simplek tipe

1 biasanya ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi

penyakit yang disebabkan oleh herpes simplek tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat,

terutama di sekitar alat genitalia eksterna. Biasanya penyakit ini cenderung residif di

tempat yang sama.5

2. Varisela

Herpes zoster diseminata mungkin dapat dikelirukan dengan varisela ketika terjadi

diseminasi atau penyebaran yang luas dari virus herpes zoster dari area yang sempit dan

tidak terlalu nyeri atau dari ganglion sensoris yang terkena tetapi tidak menimbulkan

erupsi kulit.2

3. Pada nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah diagnosis dengan penyakit

rematik maupun dengan angina pectoris, jika terdapat di daerah setinggi jantung.5

2.8 Komplikasi

Penyakit herpes zoster dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Secara garis besar,

komplikasi herpes zoster antara lain komplikasi neurologis, kutaneus, okuler, dan visceral.

Kebanyakan komplikasi herpes zoster dikaitkan dengan penyebaran virus herpes zoster dari

ganglion sensoris, saraf, atau kulit baik melalui aliran darah atau dengan penyebaran neural

langsung.2,5

Neuralgia paska herpetik

Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan.

Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini

cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 – 15% dengan gradasi nyeri

yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.2,5

Page 10: laporan kasus

Infeksi sekunder

Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada

yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai

komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.5

Kelainan pada mata

Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik, keratitis,

skleritis, uveitis, dan neuritis optik.5

Sindrom Ramsay Hunt

Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus, sehingga

memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan

tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan

pengecapan.2

Paralisis motorik

Paralisis motorik dapat terjadi pada 1 - 5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus secara

kontinutatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya

muncul dalam dua minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi di wajah,

diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh

spontan.5

2.9 Pengobatan

Penatalaksaan herpes zoster secara garis besarnya bertujuan untuk mengatasi infeksi virus

akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster, mencegah timbulnya

neuralgia pasca herpetik.2

Pengobatan Umum

Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada

orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun.

Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar.

Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.2

Pengobatan Khusus

I. Sistemik

1. Obat antivirus

Page 11: laporan kasus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir

dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus.

Asiklovir dapat diberikan per oral ataupun intravena. Asiklovir hendaknya diberikan

pada tiga hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang

dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama tujuh hari, sedangkan melalui intravena

biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang

tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes zoster

adalah valasiklovir. Valasiklovvir diberikan 3x1000 mg per hari selama tujuh hari,

karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai.

Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan

3×200 mg/hari selama tujuh hari.2,5

2. Analgetik

Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes

zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat

adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak tiga kali, atau dapat juga dipakai seperlunya

ketika nyeri muncul. Untuk neuralgia paska herpetik belum ada obat pilihan, dapat

dicoba dengan akupungtur. Obat yang direkomendasikan diantaranya gabapentin

dosisnya 1800 mg – 2400 mg sehari. Mula-mula dosis rendah kemudian dinaikkan

secara bertahap untuk menghindari efek samping berupa nyeri kepala dan rasa

melayang. Hari pertama dosisnya 300 mg/hari diberikan sebelum tidur, setiap tiga

hari dosis dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai dosis 1800 mg/hari.5

3. Kortikosteroid

Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk sindrom ramsay hunt. Pemberian harus

sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah

prednisone dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara

bertahap. Dengan dosis prednisone setinggi itu, imunitas akan tertekan sehingga lebih

baik digabung dengan obatt antivirus.5

II. Topikal

Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan

bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi

sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan

salap antibiotik.5

Page 12: laporan kasus

2.10 Pencegahan

Pencegahan meliputi mencegah infeksi primer (varisela) dengan memberikan vaksin varisela

kepada anak-anak atau dewasa yang rentan terinfeksi virus ini. Seseorang dengan usia ≥ 60

tahun hendaknya mendapat vaksin zoster dosis tunggal (sediaan vaksin varisela yang poten),

tanpa memperhatikan apakah sebelumnya seseorang sudah pernah menderita zoster atau

belum. Pemberian vaksin dikatakan dapat menurunkan insiden zoster.8

2.11 Prognosis

Umumnya prognosis baik, walaupun kemungkinan terjadi neuralgia post herpetik dapat

membuat pasien tidak nyaman dan mengurangi kualitas hidup penderita. Pada herpes zoster

ophtalmikus, prognosis bergantung pada tindakan perawatan secara dini.3,5

Page 13: laporan kasus

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : HH

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 26 tahun

Tingkat Pendidikan : Tamat SLTP

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Status Perkawinan : Sudah menikah

Agama : Islam

Bangsa/Suku Bangsa : Indonesia

Alamat : Jalan A. Yani Kampung Jawa, Denpasar

Tanggal Pemeriksaan : 22 Agustus 2011

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Bintil-bintil bernanah di daerah kulit perut bagian kiri bawah dan daerah pinggang kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang mengeluhkan munculnya bintil-bintil bernanah di daerah kulit perut kiri

bawah dan pinggang kiri sejak tiga hari yang lalu. Pada awalnya bintil kemerahan

bergerombol muncul di daerah perut samping kiri bawah, kemudian dalam waktu dua

hari bintil menyebar ke depan sampai di daerah perut dan ke belakang sampai daerah

pinggang, membentuk pola melingkar seperti ikat pinggang unilateral di bagian kiri.

Bintil kemerahan berisi cairan pada awalnya, kemudian berkembang menjadi bintil

bernanah.

Pasien juga mengeluhkan rasa perih dan panas seperti terbakar di kulit tempat

terdapatnya bintil tersebut. Pasien juga mengatakan terasa nyeri di daerah tempat

munculnya bintil. Rasa nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Rasa nyeri terutama

terjadi jika daerah tempat munculnya bintil disentuh atau mengalami gesekan. Hal ini

membuat pasien menjadi tidak nyaman dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan

ketika tidur, pasien lebih memilih tidur miring kanan. Pada awalnya, beberapa hari

sebelum munculnya bintil tersebut, pasien mengeluhkan demam, dan demam hilang

Page 14: laporan kasus

dengan sendirinya tanpa pengobatan, setelah demam menghilang, munculah bintil

kemerahan bergerombol yang dengan cepat kemudian menyebar. Keluhan gatal pada

bintil tidak ada.

Riwayat Pengobatan

Pasien mengatakan tidak menggunakan obat apapun untuk mengurangi keluhannya.

Riwayat menempel jagung pada daerah lesi. Adanya riwayat penggunaan antibiotik

atau steroid yang lama disangkal oleh pasien.

Riwayat Alergi

Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, obat, maupun bahan-

bahan alergen lainnya.

Riwayat Penyakit Terdahulu

Keluhan ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien mengatakan pernah

mengalami cacar pada waktu balita. Riwayat menderita penyakit kronis disangkal oleh

pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga

Dikatakan bibi pasien pernah mengalami keluhan yang serupa dengan pasien. Riwayat

penyakit kronis dalam keluarga disangkal.

Riwayat Sosial

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Riwayat merokok, minum alkohol,

penggunaan obat-obatan terlarang disangkal oleh pasien.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Status present

Nadi : 72 x/menit

RR : 16 x/menit

Status general

Kesadaran : kompos mentis

Keadaan umum : baik

Kepala : normocephali

Mata : anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+, isokor

Leher : pembesaran kelenjar getah bening (-)

Thorax : tidak dilakukan pemeriksaan

Abdomen : tidak dilakukan pemeriksaan

Page 15: laporan kasus

Ekstremitas : tidak dilakukan pemeriksaan

Status Dermatologis

Lokasi :

Regio abdomen dan pinggang kiri, mengikuti dermatom Thorakal 10 hingga

Thorakal 12

Effloresensi :

Vesikel seropurulen, bergerombol dengan batas tegas, multipel, tersebar unilateral

(tidak melewati garis tengah) sesuai dengan dermatom Th10- Th12 sinistra, diatas

kulit eritema. Tampak krusta kehitaman tersebar disekitar vesikel. Kulit diantara lesi

normal.

Stigmata Atopi : tidak ditemukan

Mukosa : dalam batas normal

Rambut : dalam batas normal

Kuku : dalam batas normal

Kelenjar Getah Bening : tidak ditemukan kelenjar getah bening inguinal

Saraf : hiperestesi pada tempat lesi pada dermatom thorakalis 10

hingga thorakalis 12, sinistra

3.4 Diagnosis Banding

1. Herpes Zoster Thorakalis

2. Herpes Simplek

3.5 Diagnosis Kerja

Herpes Zoster Thorakalis Sinistra

3.6 Penatalaksanaan

Topikal

Bedak salisil 1 %

Sistemik

Analgetik : parasetamol 3 x 500 mg

Antiviral : acyclovir 5 x 800 mg (7 hari)

Vitamin B1 B6 B12 2 x 1 tablet

Page 16: laporan kasus

KIE

Kontrol Poliklinik 1 minggu lagi

Istirahat dan makan makanan yang bergizi

Lesi jangan digaruk

Lesi boleh dibersihkan dengan air, tapi jangan digosok agar bintil tidak pecah

3.7 Prognosis

Dubius ad bonam

Page 17: laporan kasus

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien perempuan berusia 26 tahun datang dengan keluhan bintil-bintil bernanah di daerah

kulit perut bagian kiri bawah dan daerah pinggang kiri sejak tiga hari yang lalu. Awalnya

bintil kemerahan bergerombol muncul di daerah perut samping kiri bawah, kemudian dalam

waktu dua hari bintil menyebar membentuk pola melingkar seperti ikat pinggang unilateral di

bagian kiri. Rasa perih, panas seperti terbakar, dan nyeri seperti tertusuk-tusuk di daerah

tempat munculnya bintil. Sebelum munculnya bintil, pasien mengeluh demam. Gatal pada

bintil tidak ada. Keluhan ini baru pertama kali dialami penderita. Tidak ada riwayat

penggunaan obat untuk mengurangi keluhannya. Pasien mengatakan pernah mengalami cacar

pada waktu balita. Dikatakan bibi pasien pernah mengalami keluhan yang serupa dengan

pasien.

Dari pemeriksaan fisik ditemukan status general dalam batas normal. Pada status

dermatologi didapatkan vesikel seropurulen, bergerombol dengan batas tegas, multipel,

tersebar unilateral (tidak melewati garis tengah) sesuai dengan dermatom Th10- Th12

sinistra, diatas kulit eritema. Tampak krusta kehitaman tersebar disekitar vesikel. Kulit

diantara lesi normal. Tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar inguinal.

Diagnosis banding kasus ini adalah herpes zoster thorakalis dan herpes simplek. Dan

diagnosis kerjanya adalah herpes zoster thorakalis sinistra.

4.1 Penegakan Diagnosis

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh adanya nyeri

radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang

dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nerfus kranialis.

Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten

di ganglia sensoris.

Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan berupa

neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya lesi. Adakalanya

sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala. Gambaran yang paling khas pada herpes

zoster adalah erupsi yang lokalisata dan unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis

tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu

Page 18: laporan kasus

ganglion saraf sensoris. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-

vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.

Dasar penegakan diagnosis herpes zoster pada pasien ini adalah sebagai berikut:

1. Dari anamnesia, didapatkan keluhan utama pasien adalah bintil-bintil bernanah di daerah

kulit perut bagian kiri bawah dan daerah pinggang kiri sejak tiga hari yang lalu. Awalnya

bintil kemerahan bergerombol kemudian menyebar membentuk pola melingkar seperti

ikat pinggang unilateral di bagian kiri. Rasa perih, panas seperti terbakar, dan nyeri

seperti tertusuk-tusuk di daerah tempat munculnya bintil. Sebelum munculnya bintil,

pasien mengeluh demam. Gatal pada bintil tidak ada. Keluhan ini baru pertama kali

dialami penderita. Pasien pernah mengalami cacar pada waktu balita. Hal ini sesuai

dengan kajian teoritis yang menyatakan bahwa herpes zoster ditandai oleh adanya nyeri

radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang

dipersarafi serabut saraf spinal.

2. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan status general dalam batas normal, status dermatologi

didapatkan vesikel seropurulen, bergerombol dengan batas tegas, multipel, tersebar

unilateral (tidak melewati garis tengah) sesuai dengan dermatom Th10- Th12 sinistra,

diatas kulit eritema. Tampak krusta kehitaman tersebar disekitar vesikel. Kulit diantara

lesi normal. Dari penggambaran status dermatologi di atas, sesuai dengan apa yang

dipaparkan dalam tinjauan pustaka. Pada herpes zoster, erupsi yang lokalisata dan

unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas

pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensoris. Karakteristik

dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar

eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom. Infeksi ini merupakan reaktivasi

virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris.

Dari diagnosis banding diatas maka diputuskan diagnosis kerjanya adalah herpes

zoster. Karena berdasarkan keluhan subyektif pasien dan tanda obyektif yang ditemukan

mengarah ke herpes zoster. Tidak dipilihnya herpes simplek sebagai diagnosis kerja karena

berbagai alasan. Pada pasien ini, keluhan baru pertama kali dirasakan. Hal ini tidak sesuai

dengan kasus herpes simplek yang cenderung bersifat residif. Sementara itu, pada herpes

zoster, keluhan jarang berulang kecuali pada kasus adanya defisiensi imun yang tampak jelas

secara klinis. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan tzanck test tidak diusulkan

dilakukan karena karakteristik sitolopatologinya biasanya tidak banyak menunjukkan

perbedaan. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang

antara lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop

Page 19: laporan kasus

elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi dengan mengukur

imunoglobulin spesifik.

4.2 Penatalaksanaan Herpes Zoster

Penatalaksaan herpes zoster secara garis besarnya bertujuan untuk mengatasi infeksi virus

akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster, mencegah timbulnya

neuralgia paska herpetik. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, pasien diberikan

pengobatan antara lain pengobatan topikal bedak salisil 1 %. Adapun alasan pemberian bedak

pada pasien ini adalah untuk mencegah pecahnya vesikel sehingga pasien terhindar dari

infeksi sekunder mengingat lesi kulit yang paling banyak ditemukan pada pasien ini adalah

vesikel yang belum pecah. Pengobatan sistemik yang diberikan pada pasien ini berupa

parasetamol 3 x 500 mg sebagai analgetik untuk mengurangi neuralgia yang terjadi pada

pasien ini, serta pengobatan antivirus yang berupa acyclovir 5 x 800 mg (7 hari). Hal ini

sesuai dengan dosis acyclovir yang dianjurkan untuk pengobatan herpes zoster.

Page 20: laporan kasus

BAB V

PENUTUP

5.1 Simpulan

Dari kajian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai

berikut:

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh adanya

nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang

dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nerfus kranialis.

Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten

di ganglia sensoris. Pada pasien ini didiagnosa dengan herpes zoster karena berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjang kearah diagnosis penyakit herpes zoster. Terapi

pada pasien ini meliputi terapi topikal dan terapi sistemik dengan tujuan untuk mengatasi

infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster, mencegah

timbulnya neuralgia pasca herpetik. Herpes zoster merupakan suatu konsekuensi klinis dari

reaktivasi virus VZV yang dormant, diduga reaktivasi virus ini akibat suatu proses

imunosupresi. Pada pasien ini belum dapat ditentukan apa kira-kira penyebab reaktivasi virus

VZV yang telah ada dalam tubuhnya.

Page 21: laporan kasus

DAFTAR PUSTAKA

1. Davis, C. Shingles [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 July 11]. Available

from http://www.emedicinehealth.com/shingles/article_em.htm. Accessed August 22,

2011

2. Straus S, et all. Varicella and Herpes Zoster. In: Freedberg I, Eisen A, Wolff K,

Austen F, Goldsmith L, Katz S (eds). Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine.

6th ed New York: McGraw-Hill Professional; 2003. p. 221

3. Eastern J. Herpes Zoster [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 May 11].

Available from http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview#a0199.

Accessed August 22, 2011

4. Centers for Diseases Control and Prevention. Shingles (Herpes Zoster) [homepage on

internet]. No date [cited 2011 January 10]. Available from

http://www.cdc.gov/shingles/about/overview.html. Accessed August 22, 2011

5. Handoko P. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu

Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia; 2007. Hal.110-112

6. Tseng H, et all. Herpes Zoster Vaccine in Older Adults and the Risk of Subsequent

Herpes Zoster Disease. JAMA. 2011; 305(2): 160-166

7. Oxman MN: Imunization to reduce the frequency and severity of herpes zoster and its

complications. Neurology. 1995. 45: 541

8. Kaye K. Herpes Zoster [homepage on internet]. No date [cited 2009 December].

Available from http://www.merckmanuals.com/professional/sec15/ch200/ ch200e.htm

Accessed August 22, 2011

9. Lubis R. Varicella dan Herpes Zoster. Medan: Fakultas Kedokteran Sumatera Utara;

2008. Hal. 1-13

10. Brooks G, Butel J, Morse S. Herpesvirus. 22nd ed New York: McGraw-Hill; 2001. p.

81-111

Page 22: laporan kasus

LAMPIRAN