Laporan Farmakologi Blok Resi

Embed Size (px)

Citation preview

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    1/71

    I. PENDAHULUAN

    A. Latar BelakangAsma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran

    napas yang ditandai adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada

    akibat penyumbatan saluran napas, termasuk dalam kelompok penyakit

    saluran pernapasan kronik. Badan kesehatan dunia (WHO) memperkirakan

    100-150 juta penduduk dunia menderita asma. Sumber lain menyebutkan

    bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus

    meningkat selama 20 tahun belakangan ini (Depkes RI, 2009).

    Pengamatan di 5 provinsi di Indonesia (Sumatera Utara, Jawa Tengah,

    Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan

    oleh Subdit Penyakit Kronik dan Degeneratif Lain Departemen Kesehatan

    pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada umumnya upaya

    pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat minim

    ketersediaan peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana

    pasien asma di fasilitas kesehatan (Depkes RI, 2009).

    Seperti halnya asma, tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan

    masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health

    Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global

    Emergency (PDPI, 2006).

    Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus

    baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    2/71

    2

    Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis

    di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman

    tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 %

    dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk,

    terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar

    dari Asia Tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk (PDPI, 2006).

    Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberkulosis pada tahun

    2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia Tenggara yaitu

    625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk.

    Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk,

    dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat

    kasus TB yang muncul (PDPI, 2006).

    Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

    tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan

    penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992

    disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua,

    sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab

    kematian pertama pada golongan penyakit infeksi (PDPI, 2006).

    Sementara itu, dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL

    Departemen Kesehatan tahun, 2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif

    yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif). Tiga

    perempat dari kasus TB ini berusia 15 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO

    memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orang penderita tuberkulosis

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    3/71

    3

    paru menular (BTA positif) pada setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia

    masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India

    dan China (PDPI, 2006).

    Berdasarkan latar belakang tersubut, dapat dikatakan bahwa penyakit

    asma dan TB memang merupakan masalah kesehatan di Indonesia, bahkan

    dunia. Sehingga diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang baik dan

    benar mengenai penanganan dan pengobatan penyakit tersebut. Hal tersebut

    akan dibahas dalam praktikum kali ini.

    B. Judul PraktikumObat Asma dan TB

    C. Pelaksanaan PraktikumSenin, 10 Maret 2014 di Laboratorium Farmakologi Kedokteran Unsoed.

    D. Tujuan1. Tujuan Umum

    Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan

    obat antiasma.

    2. Tujuan Khususa. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar patologi asma.

    b. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antiasma.c. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat

    antiasma.

    d. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan asma.e. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antiasma.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    4/71

    4

    f. Mahasiswa mampu memahami mekanisme kerja obatantituberkulosis.

    g. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obatantituberkulosis.

    h. Mahasiswa mampu menjelaskan prinsip dan panduan pengobatantuberkulosis.

    i. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antituberkulosis.j. Mahasiswa mampu menjelaskan farmakologi obat pernapasan

    lainnya.

    E. Manfaat1. Mengetahui algoritma terapi dari penyakit asma dan TB2. Mengetahui cara penggunaan obat asma dan TB yang tepat3. Mengetahui mekanisme kerja dan farmakokinetik obat asma dan TB4. Mengetahui efek samping obat asma dan TB5. Mahasiswa mampu membuat peresepan obat TB

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    5/71

    5

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Penjelasan Asma1. Definisi Asma

    Asma bronchial adalah obstruksi jalan nafas difusi reversible

    obstruksi disebabkan oleh hal-hal seperti kontraksi otot yang

    mengelilingi bronkus yang menyebabkan penyempitan jalan nafas,

    pembengkakan membran yang melapisi bronkus dan kelenjar mukosa

    membesar, sputum yang kental banyak dihasilkan dan alveoli mengalami

    hiperinflasi, dengan udara yang terperangkap di dalam jaringan paru.

    Mekanisme yang pasti dari perubahan ini tidak diketahui tetapi ada yang

    paling diketahui adalah keterlibatan sistem imunologis dan sistem saraf

    otonom (Harrison, 2011).

    Asma berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas

    sehingga memicu episode mengi berulang (wheezing), sesak napas

    (breathlessness), dada rasa tertekan (chesttightness), dispneua, dan batuk

    (cough) terutama pada malam atau dini hari. Pada individu yang rentan,

    gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan

    obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi

    derajatnya (GINA, 2009).

    2. Mekanisme AsmaAsma adalah penyakit obstruksi jalan nafas difus reversibel yang

    disebabkan oleh satu atau lebih dari faktor berikut ini (Price, 2005).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    6/71

    6

    a. Kontraksi otot-otot yang mengelilingi bronkhi yang menyempitkanjalan nafas.

    b. Pembengkakan membran yang melapisi bronchi.c. Pengisian bronchi dengan mukus yang kental.

    Pada dasarnya, proses perjalanan penyakit asma dipengaruhi oleh

    2 faktor yaitu alergi dan psikologis, kedua faktor tersebut dapat

    meningkatkan terjadinya kontraksi otot-otot polos, meningkatnya sekret

    mukus pada bronkiolus dan adanya kontraksi pada trakea serta

    meningkatnya produksi mukus jalan nafas, sehingga terjadi penyempitan

    pada jalan nafas dan penumpukan udara di paru-paru oleh berbagai

    macam sebab maka akan menimbulkan gangguan seperti gangguan

    ventilasi (hipoventilasi), distribusi ventilasi yang tidak merata dengan

    sirkulasi darah paru, gangguan difusi gas di tingkat alveoli (Harrison,

    2011).

    Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos

    bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum

    adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di

    udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan

    cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan

    untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar

    dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila bereaksi dengan antigen

    spesifik (Harrison, 2011).

    Bila seseorang menghirup alergen maka antibody IgE orang

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    7/71

    7

    tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terdapat

    pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai

    macam zat, diantaranya histamin, leukotrient, faktor kemotaktik

    eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini

    akan menghasilkan oedem lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun

    sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot

    polos bronkhiolus sehingga menyebabkan resistensi saluran napas

    menjadi sangat meningkat (Harrison, 2011).

    Selain itu, otot-otot bronchial dan kelenjar membesar. Sputum

    yang kental banyak dihasilkan dan alveoli menjadi hiperinflamasi dengan

    udara terperangkap di dalam paru. Antibodi yang dihasilkan (IgE)

    kemudian menyerang sel-sel mast dalam paru. Pemajanan ulang terhadap

    antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi menyebabkan

    pelepasan produk sel-sel mast (mediator) seperti: histamin, bradikinin,

    dan prostaglandin serta anafilaksis dari suptamin yang bereaksi lambat

    (Price, 2005).

    Sistem saraf otonom mempersarafi paru. Tonus otot bronchial

    diatur oleh influls saraf vegal melalui sistem parasimpatis. Pada asma

    idiopatik atau non alergi, ketika ujung saraf pada jalan nafas dirangsang

    oleh faktor-faktor seperti infeksi, aktivitas fisik yang berat, asap rokok,

    emosi dan polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat

    sehingga merangsang pembentukan mediator kimiawi (Harrison, 2011).

    Selain itu, reseptor dan adrenergik dari sistem saraf simpatik

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    8/71

    8

    terletak pada bronkus ketika reseptor adrenergik dirangsang

    bronkokontriksi terjadi, sedangkan bronkodilatasi terjadi ketika reseptor

    adrenergik dirangsang. Keseimbangan antara reseptor dan

    adrenergic dikendalikan terutama oleh siklik adenosine monofosfat

    (cAMP), stimulasi reseptor mengakibatkan penurunan cAMP yang

    mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang dilepaskan oleh sel-

    sel mast sehingga bronkokonstriksi terjadi. Stimulasi reseptor

    mengakibatkan peningkatan cAMP, yang menghambat pelepasan

    mediator kimiawi yang menyebabkan bronkodilatasi (Harrison, 2011).

    Pelepasan asetilkolin secara langsung menyebabkan

    bronchokonstriksi, juga merangsang pembentukan mediator kimiawi.

    Pada serangan asma berat yang sudah disertai toxemia, tubuh akan

    mengadakan hiperventilasi untuk mencukupi kebutuhan O2.

    Hiperventilasi ini akan menyebabkan pengeluaran CO2 berlebihan dan

    selanjutnya mengakibatkan tekanan CO2 darah arteri (PaCO2) menurun

    sehingga terjadi alkalosis respiratorik (pH darah meningkat) (Price,

    2005).

    Bila serangan asma lebih berat lagi, banyak alveolus tertutup oleh

    mukus sehingga tidak ikut sama sekali dalam pertukaran gas. Sekarang

    ventilasi tidak mencukupi lagi, hipoksemia bertambah berat, kerja otot-

    otot pernafasan bertambah berat dan produksi CO2 yang meningkat

    disertai ventilasi alveolar yang menurun menyebabkan retensi CO2dalam

    darah (hipercapnia) dan terjadi asidosis respiratori (pH menurun).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    9/71

    9

    Stadium ini kita kenal dengan gagal nafas (Price, 2005).

    Gambar II.1.Patofisiologi Asma (Price, 2005).

    Allergen

    IgE

    Menginduksi SelMast Paru

    PengeluaranHistamin

    Proses Inflamasi(otot polosbronkus)

    vasodilatasi

    peningkatanpermeabilitas

    ekstravasasi

    cairan plasma kejaringan

    oedem

    Peningkatan Ach

    Hipersekresimukus

    Kontraksi ototpolos bronkus

    Bronkokonstriksi

    wheezing

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    10/71

    10

    3. Klasifikasi AsmaTujuan penatalaksanaan asma adalah untuk mengontrol manifestasi

    klinis sehingga jarang atau tidak muncul dalam waktu yang lama. Saat

    asma terkontrol, serangan dapat dicegah, dan pasien dapat menghindari

    manifestasi klinis dan keluhan baik pada siang dan malam hari dan

    pasien dapat tetap aktif secara fisik (GINA, 2011).

    Tabel II.1.Klasifikasi Asma menurut Level Kontrol (GINA, 2011)

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    11/71

    11

    Tabel II.2.Klasifikasi Asma (PDPI, 2004).

    4. Algortima Terapi AsmaBerikut akan dijelaskan bagaimana algoritma penatalaksanaan

    serangan asma di rumah, maupun algoritma penatalaksanaan asma di

    rumah sakit. Penjelasannya adalah sebagai berikut (PDPI, 2004).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    12/71

    12

    Penilaian berat serangan

    Klinis : Gejala (batuk, sesak, mengi, dada terasa berat) yang bertambah

    APE , 80% nilai terbaik / prediksi .

    Terapi awal

    Inhalasi agonis beta-2 kerja cepat

    (setiap 20 menit, 3 kali dalam 1 jam), atau Bronkodilator oral

    Gambar II.2.Algoritma Penatalaksanaan Serangan Asma di Rumah (PDPI,

    2004).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    13/71

    13

    Gambar II.3.Algoritma Penatalaksanaan Serangan Asma (PDPI, 2004).

    Pulang

    Pengobatan dilanjutkandengan inhalasi agonis beta-2

    Membutuhkan kortikosteroidoral

    Edukasi pasien- Memakai obat yang

    benar

    - Ikuti rencanapengobatan

    selanjutnya

    Dirawat di RS

    Inhalasi agonis beta-2 + antikolinergik

    Kortikosteroid sistemik Aminofilin drip Terapi Oksigen pertimbangkan

    kanul nasal atau masker venturi

    Pantau APE, Sat O2, Nadi, kadarteofilin

    Dirawat di ICU

    Inhalasi agonis beta-2 + anti

    kolinergik

    Kortikosteroid IV

    Pertimbangkan agonis beta-2 injeksi

    SC/IM/IV

    Aminofilin drip

    Mungkin perlu intubasi dan ventilasi

    mekanik

    Penilaian Awal

    Riwayat dan pemeriksaan fisik

    Penilaian Ulang setelah 1 jam

    Respons baik

    Respons baik dan stabil dalam 60menit

    Pem.fisi normal APE >70% prediksi/nilai terbaik

    Respons Tidak Sempurna

    Resiko tinggi distress Pem.fisis : gejala ringansedang APE > 50% terapi < 70% Saturasi O2 tidak perbaikan

    Respons buruk dalam 1 jam

    Resiko tinggi distress Pem.fisis : berat, gelisah dan kesadaran

    menurun

    APE < 30% PaCO2 < 45 mmHg PaCO2 < 60 mmH

    Serangan Asma Ringan Serangan Asma Sedang/Berat Serangan Asma Mengancam Jiwa

    Pengobatan Awal

    Oksigenasi dengan kanul nasal Inhalasi agonis beta-2 kerja cepat (nebulisasi), setiap 20 menit dalam satu jam) a tau agonis beta-

    2 injeksi (Terbutalin 0,5 ml subkutan atau Adrenalin 1/1000 0,3 ml subkutan)

    Kortikosteroid sistemik :- serangan asma berat

    Perbaikan Tidak Perbaikan

    Pulang

    Bila APE > 60% prediksi / terbaik.

    Dirawat di ICU

    Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    14/71

    14

    Gambar II.4.Algoritma Penatalaksanaan Asma Eksarbasi di Rumah

    Sakit (GINA, 2011).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    15/71

    15

    5. Farmakologi Obat AsmaPengobatan asma bertujuan untuk mengatasi dan mencegah gejala

    obstruksi jalan nafas, terdiri atas pelega (reliever) dan pengontrol

    (controller) (PDPI, 2004).

    a. Pelega (reliever)Pelega (reliever) prinsip pengobatannya adalah dilatasi jalan

    napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau

    menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti

    mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi

    jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan napas. Obat asma

    yang termasuk pelega adalah:

    1) Agonis beta-2 kerja cepatTermasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,

    fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.

    Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Formoterol

    mempunyai onset cepat dan durasi yang lama (PDPI, 2004).

    Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu

    relaksasi otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan

    mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan

    modulasi pelepasan mediator dari sel mast. Efek sampingnya

    adalah rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan

    hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit

    menimbulkan efek samping daripada oral (PDPI, 2004).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    16/71

    16

    2) Kortikosteroid sistemikSteroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila

    penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil

    belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan

    bronkodilator lain (PDPI, 2004).

    3) AntikolinergikPemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya

    memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada

    jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan

    tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat

    refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan (PDPI, 2004).

    Termasuk dalam golongan ini adalah ipratropium

    bromide dan tiotropium bromide. disarankan menggunakan

    kombinasi inhalasi antikolinergik dan agnonis beta-2 kerja cepat

    sebagai bronkodilator pada terapi awal serangan asma berat atau

    pada serangan asma yang kurang respons dengan agonis beta-2

    saja, sehingga dicapai efek bronkodilatasi maksimal. Efek

    samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit (PDPI,

    2004).

    4) AminofillinAminofillin adalah bronkodilator kuat dan sangat

    bermanfaat jika bronkospasme terhadap epinefrin. Dosisnya 250

    sampai 500 mg, diberikan perlahan-lahan secara intravena.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    17/71

    17

    Berdasarkan sifatnya sebagai bronkodilator yang kuat,

    aminofilin kerja cepat dapat dipertimbangkan untuk mengatasi

    gejala asma akut, walau disadari onsetnya lebih lama daripada

    agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).

    5) AdrenalinDapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang

    sampai berat, bila tidak tersedia agonis beta-2, atau tidak

    respons dengan agonis beta-2 kerja cepat (PDPI, 2004).

    b. Pengontrol (controller)Pengontrol (controller) adalah pengobatan asma jangka

    panjang yang diberikan setiap hari untuk mencapai dan

    mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Obat

    pengontrol asma adalah:

    1) Glukokortikosteroid inhalasiGlukokortikosteroid inhalasi adalah pengobatan jangka

    panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Steroid

    inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma persisten (ringan

    sampai berat). Steroid inhalasi ditoleransi dengan baik dan

    aman pada dosis yang direkomendasikan. Contoh obatnya

    yaitu beklometason propionat, budenosid, flunisolid,

    flutikason, dan triamsolon asetonid (PDPI, 2004).

    Efek samping steroid inhalasi adalah efek samping

    lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    18/71

    18

    iritasi saluran napas atas. Semua efek samping tersebut dapat

    dicegah dengan penggunaan spacer, atau mencuci mulut

    dengan berkumur-kumur dan membuang keluar setelah

    inhalasi (PDPI, 2004).

    Absorpsi sistemik tidak dapat dielakkan, terjadi melalui

    absorpsi obat di paru. Risiko terjadi efek samping sistemik

    bergantung kepada dosis dan potensi obat sistemik. Penelitian

    menunjukkan budesonid dan flutikason propionate mempunyai

    efek sistemik yang rendah dibandingkan beklometason

    dipropionat dan triamsinolon (PDPI, 2004).

    2) Glukokortikosteroid sistemikGlukokortikosteroid sistemik diberikan secara oral atau

    parenteral. Untuk jangka panjang penggunaan

    glukokortikosteroid inhalasi lebih baik daripada steroid oral

    karena efek samping sistemik pemberian oral maupun parental

    lebih banyak. Namun, obat ini cocok untuk asma persisten dan

    berat (PDPI, 2004).

    Lebih baik menggunakan steroid oral yang diminum

    selang 1 hari daripada penggunaan melalui jalur parenteral.

    Prednison, prednisolon, dan metilprednisolon pun menjadi

    pilihan yang terbaik karena karena mempunyai efek

    mineralokortikoid minimal, waktu paruh pendek dan efek striae

    pada otot minimal (PDPI, 2004).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    19/71

    19

    Efek samping sistemik penggunaan glukokortikosteroid

    oral/ parenteral jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi,

    diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak,

    glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae dan kelemahan otot.

    Glukokortikosteroid oral juga meningkatkan risiko infeksi

    herpes zoster. Pada keadaan infeksi virus herpes atau varisela,

    maka glukokortikosteroid sistemik harus dihentikan (PDPI,

    2004).

    3) Sodium kromoglikat dan nedokromil sodiumJalur pemberian obat ini adalah secara inhalasi.

    Mekanisme kerjanya belum diketahui secara jelas tetapi

    diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat

    penglepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang

    diperantarai IgE. Efek sampingnya minimal seperti batuk atau

    rasa obat tidak enak saat melakukan inhalasi (PDPI, 2004).

    4) MetilsantinMetilsantin mempunyai efek bronkodilator dan

    antiinflamasi. Efek bronkodilatasi berhubungan dengan

    hambatan fosfodiesterase yang dapat terjadi pada konsentrasi

    tinggi (>10 mg/dl), sedangkan efek antiinflamasi melalui

    mekanisme yang belum jelas terjadi pada konsentrasi rendah (5-

    10 mg/dl). Harga obat ini jauh lebih murah dibandingkan agonis

    beta2 kerja lama inhalasi (PDPI, 2004).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    20/71

    20

    Contoh obat yaitu aminofilin dan teofilin. Efek samping

    berpotensi terjadi pada dosis tinggi ( >10 mg/kgBB/ hari atau

    lebih). Gejala gastrointestinal nausea, muntah adalah efek

    samping yang paling dulu dan sering terjadi, selain itu takikardi,

    aritmia, dan merangsang pusat nafas (PDPI, 2004).

    5) Long Acting 2Agonist(LABA)Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah

    salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>

    12 jam). Inhalasi agonis beta-2 kerja lama yang diberikan jangka

    lama mempunyai efek protektif terhadap rangsang

    bronkokonstriktor (PDPI, 2004).

    a) Mekanisme KerjaObat golongan LABA, yaitu selective 2 receptor

    agonist memiliki durasi waktu kerja yang diperpanjang

    yaitu >12 jam karena memiliki sifat lipofilik tinggi. Selain

    itu ia memiliki efek kerja 50 kali lipat dari albuterol

    (salbutamol).

    Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan fungsi

    paru dan melegakan gejala. Salmeterol dan golongannya

    bekerja lebih efektif dari teofilin oral, sehingga sama

    efektifnya seperti ipratropium (golongan antagonis

    kolinergik). Sifat lipofilik yang dimiliki obat ini

    meningkatkan durasi ikatannya dengan reseptor sehingga

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    21/71

    21

    memperpanjang aktivasi reseptor tersebut. (Brunton et al.,

    2006).

    b) Contoh ObatMenurut Ducharme, et al (2010), beberapa contoh

    obat yang termasukLong Acting 2Agonist(LABA) adalah

    salmeterol, bambuterol, formoterol, dan clenbuterol.

    c) FarmakokinetikObat golongan agonis 2 kerja lama absorbsinya

    lambat, mula kerja lambat, dan juga waktu paruh dalam

    tubuh panjang atau lama. Sifat tersebut lebih efektif jika

    melalui jalur inhalasi dan sering digunakan sebagai

    controller .Obat ini kebanyakan dieliminiasi melalui ginjal

    (Katzung, 2010).

    d) FarmakodinamikReseptor beta-adrenergik ini terkait dengan protein

    G stimulatori. Subunit alfa protein G akan mengaktivasi

    adenilil siklase yang mengkatalisis produksi cAMP. cAMP

    akan menyebabkan penurunan kalsium intraseluler. Melalui

    aktivasi protein kinase A, cAMP akan menonaktifkan

    myosin light chain kinase dan mengaktivasi myosin light

    chain phosphatase(Ramanujan, 2006).

    Obat ini juga akan meningkatkan konduktansi kanal

    kalium yang diaktivasi kalsium sehingga menyebabkan

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    22/71

    22

    hiperpolarisasi otot polos saluran nafas. Kombinasi

    penurunan kalsium intraseluler, peningkatan konduktansi

    kalium membran, dan penurunan aktivitas myosin light

    chain kinase menyebabkan relaksasi otot polos dan

    bronkodilatasi. Fermeterol dapat digunakan bersamaan

    dengan agonis O2 dan teofilin (Goldsmith and Keating,

    2004).

    e) Efek Samping ObatMenurut Sweetman (2009), beberapa efek samping

    dari obat golongan LABA adalah memberikan efek adiktif

    saat dikombinasikan bersama ipratropium (inhalasi) atau

    teofilin (oral), meningkatkan denyut jantung sehingga

    timbul takikardi dan palpitasi, menimbulkan tremor,

    meningkatkan kadar glukosa darah, menurunkan kadar

    kalium plasma, peningkatan produksi keringat, agitasi,

    insomnia, tirotoksikosis, stenosis subaorta, pusing, dan

    migrain.

    f) Kontra IndikasiKontra indikasi bagi obat golongan LABA menurut

    Brunton et al(2006) antara lain untuk pengobatan reliever,

    kehamilan, dan gangguan fungsi hepar.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    23/71

    23

    g) SediaanMenurut Sweetman (2009) salah satu contoh obat

    golongan LABA adalah clenbuterol. Clenbuterol memiliki

    rentang dosis 20-60 g perhari, dengan dosis maksimal 20

    g untuk wanita dan40 g untuk pria.Contoh lainnya adalah

    formoterol yang memiliki dosis 12 g, dan salmeterol yang

    memiliki dosis 50 g.

    6) Leukotrien modifiersa) Mekanisme Kerja dan Contoh Obat

    Terdapat dua tipe leukotrien modifiers yaitu

    menghambat enzim 5-lipoksigenase sehingga dapat

    menghambat produksi leukotriene dari asam arakidonat

    (contohnya zileuton), kemudian tipe yang kedua bekerja

    dengan cara menjadi antagonis kompetitif reseptor

    leukotrien/ leukotriene receptor antagonist/ LTRA

    (contohnya zafirlukast, montelukast, dan pranlukast). Namun

    efek leukotriene modifiers tidak sekuat kortikosteroid

    sehingga jarang menjadi prioritas terapi dalam asma (Fanta,

    2009).

    b) FarmakokinetikObat leukotrien modifiers diaadministrasikan per oral

    dan diabsorpsi secara cepat di usus halus. Zafirlukast

    memiliki bioavailabilitas yang tinggi yaitu diatas 90%.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    24/71

    24

    Sedangkan montelukast memiliki bioavailabilitas 60%-70%

    Pada konsentrasi plasma terapeutik, obat ini > 99% terikat

    pada protein (Bharathi et al., 2008).

    Metabolisme terjadi di hepar oleh enzim CYP3A4

    dan CYP2C9. Perlu diketahui bahwa metabolit hanya

    memiliki efektifitas 10% sehingga yang memiliki efek

    terapeutik adalah obat dasarnya. Waktu paruh zafirlukast 12-

    20 jam dengan rata-rata 5,6 jam (Bharathi et al., 2008).

    Waktu paruh montelukast berkisar 3-6 jam.

    Sedangkan zileuton dimetabolisme oleh enzim CYP dan

    UDP-glukorosiltransferase dengan waktu paruh 2,5 jam

    (Brunton et al., 2006).

    c) FarmakodinamikSisteinil leukotrien (cyst-LT) merupakan sebuah

    mediator yang poten untuk menimbulkan efek

    bronkokonstriksi. Beberapa contoh cyst-LT adalah LTC4,

    LTD4, LTE4. Reseptor yang bertanggung jawab adalah

    reseptor cyst-L1 (Montuschi et al., 2010).

    Maka dari itu obat LTRA bekerja ada reseptor

    tersebut untuk menghalangi cyst-LT berikatan padanya. Efek

    dari obat LTRA antara lain mencegah kebocoran

    mikrovaskuler, peningkatan produksi mukus, dan

    peningkatan influks basofil serta eosinofil pada saluran nafas.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    25/71

    25

    Sedangkan obat inhibitor 5-lipoksigenase seperti zileuton

    akan menghambat kerja enzim tersebut sehingga asam

    arakidonat tidak tersintesis. Dengan demikian, leukotrien

    juga tidak akan bisa diproduksi, terutama LTB4 (Montuschi

    et al., 2010).

    d) Efek Samping ObatUntuk obat antagonis reseptor leukotrien, beberapa

    efek samping yang dapat ditemukan menurut Brunton, et al

    (2006) adalah eosinofilia sistemik, vaskulitis, churg-strauss

    syndrome, meningkatkan prothrombin time, gangguan

    gastrointestinal, hipersensitivitas, insomnia, peningkatan

    tendensi perdarahan.

    Untuk obat inhibitor enzim 5-lipoksigenase, beberapa

    efek samping yang dapat ditemukan menurut Lu, et al(2008)

    adalah peningkatan enzim hepar pada 4%-5%, meningkatkan

    konsentrasi plasma teofilin, dan gangguan neuropsikiatrik.

    e) Kontra IndikasiMenurut Lu, et al(2008), kontraindikasi penggunaan

    obat golongan ini adalah kasus darurat (reliever) dan

    gangguan hepar.

    f) Sediaanobat zileuton memiliki sediaan lazim 300 mg/600

    mg, dosis dewasa 2400 mg/hari QID (Kelly et al, 2005).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    26/71

    26

    B. Penjelasan TB1. Prinsip Pengobatan TB

    Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif

    (2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang

    digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama

    (lini 1) yang digunakan adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,

    streptomisin, etambutol. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) adalah

    kanamisin, amikasin, kuinolon (PDPI, 2006).

    2. Panduan Pengobatan TBWHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculosis

    and Lung Disease) merekomendasikan paduan OAT standar, yaitu

    (Depkes RI, 2009):

    a. Kategori 11) 2HRZE/4H3R32) 2HRZE/4HR3) 2HRZE/6HE

    b. Kategori 21) 2HRZES/HRZE/5H3R3E32) 2HRZES/HRZE/5HRE

    c. Kategori 31) 2HRZ/4H3R32) 2HRZ/4HR3) 2HRZ/6HE

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    27/71

    27

    Namun, paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional

    Penanggulangan TB di Indonesia adalah (Depkes RI, 2009):

    a. Kategori 1: 2HRZE/4(HR)3b. Kategori 2: 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3.

    Berikut adalah paduan OAT dan peruntukannya:

    a. Kategori 1Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru (Depkes RI,

    2009):

    1) Pasien baru TB paru BTA positif.2) Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif.3) Pasien TB ekstra paru.

    Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT dan OAT

    kombipak Kategori 1 2(HRZE)/4(HR)3 sebagaimana dalam tabel

    berikut.

    Tabel II.3. Dosis Paduan OAT KDT Kategori 1(Depkes RI, 2009).

    Berat Badan

    Tahap Intensif

    tiap hari selama 56 hari

    RHZE (150/75/400/275)

    Tahap Lanjutan

    3 kali seminggu selama

    16 mingguRH (150/150)

    3037 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT

    3854 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT

    5570 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT

    71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    28/71

    28

    Tabel II.4. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 1 (Depkes RI, 2009)

    Tahap

    Pengobatan

    Lama

    Pengobatan

    Dosis per hari / kali Jumlah

    hari/kali

    menelan

    obat

    Tablt

    H

    @300

    mgr

    Kaplet

    R

    @450

    mgr

    Tablet

    Z

    @500

    mgr

    Tablet

    E

    @250

    mgr

    Intensif 2 Bulan 1 1 3 3 56

    Lanjutan 4 Bulan 2 1 - - 48

    b. Kategori 2Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang

    telah diobati sebelumnya, yaitu pasien kambuh, pasien gagal, dan

    pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) (Depkes

    RI, 2009).

    Dosis yang digunakan untuk paduan OAT KDT dan

    kombipak Kategori 2, 2(HRZE)S/(HRZE)/ 5(HR)3E3, sebagaimana

    dalam berikut.

    Tabel II.5. Dosis paduan OAT KDT Kategori 2(Depkes RI, 2009).

    Berat

    Badan

    Tahap Intensif

    tiap hari

    RHZE (150/75/400/275) + S

    Tahap Lanjutan

    3 kali seminggu

    RH (150/150) +

    E(400)

    Selama 56 hariSelama 28

    Hari

    Selama 20

    minggu

    30-37 kg 2 tab 4KDT 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    29/71

    29

    + 500 mg

    Streptomisin inj.

    + 2 tab Etambutol

    38-54 kg 3 tab 4KDT

    + 750 mg

    Streptomisin inj.

    3 tab 4KDT 3 tab 2KDT

    + 3 tab Etambutol

    55-70 kg 4 tab 4KDT

    + 1000 mg

    Streptomisin

    inj.

    4 tab 4KDT 4 tab 2KDT

    + 4 tab Etambutol

    71 kg 5 tab 4KDT

    + 1000mg

    Streptomisin inj.

    5 tab 4KDT 5 tab 2KDT

    + 5 tab Etambutol

    Tabel II.6. Dosis paduan OAT Kombipak Kategori 2(Depkes RI, 2009).

    Tahap

    Pengobatan

    Lama

    Pengobatan

    Tab

    H

    @300

    mgr

    Kap

    R

    450

    mgr

    Tablet

    Z @

    500

    mgr

    E

    S

    injeksi

    Jumlah

    hari/kali

    menelan

    obat

    Tab

    @250

    mgr

    Tab

    @400

    mgr

    Tahap

    Intensif

    (dosis

    harian)

    2 bulan

    1 bulan

    1

    1

    1

    1

    3

    3

    3

    3

    -

    -

    0,75

    gr

    -

    56

    28

    Tahap

    Lanjutan

    (dosis

    3x

    semggu)

    4 bulan 2 1 - 1 2 - 60

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    30/71

    30

    Catatan:

    1) Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimaluntuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat

    badan.

    2) Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaankhusus.

    3) Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu denganmenambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi

    4ml. (1ml = 250mg).

    c. OAT Sisipan (HRZE)Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang

    pada akhir pengobatan intensif masih tetap BTA positif (Depkes RI,

    2009).

    Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk

    tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari)

    sebagaimana dalam Tabel II.6.

    Tabel II.7. Dosis KDT Sisipan: (HRZE)(Depkes RI, 2009).

    Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28

    hari

    RHZE (150/75/400/275)

    3037 kg 2 tablet 4KDT

    3854 kg 3 tablet 4KDT

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    31/71

    31

    5570 kg 4 tablet 4KDT

    71 kg 5 tablet 4KDT

    Paket sisipan Kombipak adalah sama seperti paduan paket

    untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28

    hari) sebagaimana dalam Tabel II.7.

    Tabel II.8. Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE (Depkes RI, 2009).

    Tahap

    Pengobatan

    Lamanya

    Pengobatan

    Tablet

    H

    @300

    mgr

    Kaplet

    R

    @450

    mgr

    Tablet

    Z

    @ 500

    mgr

    Tablet

    E

    @250

    mgr

    Jumlah

    hari/kali

    menelan

    obat

    Tahap

    intensif

    (dosis

    harian)

    1 bulan 1 1 3 3 28

    d. OAT Lini 2Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan

    aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak

    dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas

    karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    32/71

    32

    pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko

    resistensi pada OAT lapis kedua (Depkes RI, 2009).

    3. OAT pada AnakSebagian besar kasus TB pada anak pengobatan 6 bulan cukup

    adekuat setelah itu lakukn evaluasi baik secara klinis maupun

    pemeriksaan penunjang. Evalusi klinis pada TB anak merupakan suatu

    parameter terbaik untuk menilai suatu keberhasilan pengobatan. Apabila

    terdapat perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak

    menunjukkan perubahan yang berarti penggunaan OAT tetap dihentikan

    (Depkes RI, 2006).

    Gambar II.5.Alur Tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan

    kesehatan dasar (Depkes RI, 2006).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    33/71

    33

    Kategori Anak ( 2RHZ/ 4RH)

    Tabel II.9.Dosis OAT Kombipak pada anak

    Tabel II.10.Dosis OAT KDT pada anak

    Prinsip pengobatan TB yang mendasar pada anak adalah

    pemberian minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan.

    OAT pada anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun

    tahap lanjutan, dosis obat harus tetap disesuaikan dengan berat badan

    anak (Depkes RI, 2006).

    Keterangan:

    a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke Rumah Sakitb. Anak dengan BB 1519 kg dapat diberikan 3 tablet

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    34/71

    34

    c. Anak dengan BB lebih dari sama dengan 33 kg, dirujuk ke RumahSakit

    d. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelahe. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau

    digerus sesaat sebelum diminum.

    4. Evaluasi Pengobatan TBEvaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik,

    radiologik, dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat

    (PDPI, 2006).

    a. Evaluasi klinik1) Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama

    pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

    2) Evaluasi: respons pengobatan dan ada tidaknya efek sampingobat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

    3) Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.b. Evaluasi bakteriologik (026 /9)

    Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak.

    1) Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopika) Sebelum pengobatan dimulai.

    b) Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif).c) Pada akhir pengobatan.

    2) Bila ada fasilitas biakan : pemeriksaan biakan (02 6/9)

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    35/71

    35

    c. Evaluasi radiologik (02 6/9)Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:

    1) Sebelum pengobatan.2) Setelah 2 bulan pengobatan.3) Pada akhir pengobatan

    d. Evaluasi efek samping secara klinikBila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal

    dan darah lengkap.

    1) Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin.2) Fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah, asam urat untuk

    data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.

    3) Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.4) Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan

    etambutol.

    5) Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa ujikeseimbangan dan audiometri.

    6) Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukanpemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi

    klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi

    klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan

    pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan

    efek samping obat sesuai pedoman.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    36/71

    36

    e. Evalusi keteraturan berobatYang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang

    digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum/tidaknya obat

    tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau

    pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang

    diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan.

    Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah

    resistensi (PDPI, 2006).

    f. Evaluasi penderita yang telah sembuhPenderita TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi

    minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui

    terjadinya kekambuhan. Yang dievaluasi adalah mikroskopik BTA

    dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan

    setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24 bulan

    setelah dinyatakan sembuh (PDPI, 2006).

    5. Farmakologi Obat TBBerikut dijelaskan mengenai OAT atau Obat Anti Tuberkulosis

    (Depkes, 2005).

    a. Isoniazid (H)1) Identitas

    Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik

    isoniazid 100 mg dan 300 mg/ tablet. Nama lain dari isoniazid

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    37/71

    37

    adalah asam nicotinathidrazida, isonikotinilhidrazida, ataupun

    INH.

    2) DosisUntuk pencegahan, dewasa 300 mg satu kali sehari, anak

    anak 10 mg per berat badan sampai 300 mg, satu kali sehari.

    Untuk pengobatan TB bagi orang dewasa sesuai dengan petunjuk

    dokter/ petugas kesehatan lainnya. Umumnya dipakai bersama

    dengan obat anti tuberkulosis lainnya. Dalam kombinasi biasa

    dipakai 300 mg satu kali sehari, atau 15 mgper kg berat badan

    sampai dengan 900 mg, kadang-kadang 2 kali atau 3 kali

    seminggu. Untuk anak dengan dosis 10 20 mg per kg berat badan.

    Atau 2040 mg per kg berat badan sampai 900 mg, 2 atau 3 kali

    seminggu.

    3) IndikasiObat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk

    tuberkulosis aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk

    profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat

    digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis

    lain.

    4) Kontraindikasi.Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau

    reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan

    hati akut, tiap etiologi: kehamilan(kecuali risiko terjamin).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    38/71

    38

    5) Kerja Obat.Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman

    dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap kuman

    dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang

    berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesis

    mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri.

    6) Dinamika/Kinetika Obat.Pada saat dipakai isoniazid akan mencapai kadar plasma

    puncak dalam 1 2 jam sesudah pemberian peroral dan lebih

    cepat sesudah suntikan im; kadar berkurang menjadi 50 % atau

    kurang dalam 6 jam. Mudah difusi ke dalam jaringan tubuh,

    organ, atau cairan tubuh. Juga terdapat dalam liur, sekresi

    bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.

    Metabolisme di hati, terutama oleh karena asetilasi dan

    dehidrazinasi (kecepatan asetilasi umumnya lebih dominan).

    Waktu paruh plasma 2-4 jam diperlama pada insufiensi hati, dan

    pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis

    diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit, sebagian

    kecil diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk

    kedalam ASI.

    7) Interaksi.Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450

    isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    39/71

    39

    Pemakaian isoniazid bersamaan dengan obat-obat tertentu,

    mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat

    menimbulkan risiko toksik. Antikonvulsan seperti fenitoin dan

    karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid.

    Isofluran, parasetamol dan karbamazepin menyebabkan

    hepatotoksisitas, antasida dan adsorben menurunkan absopsi,

    sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP, menghambat

    metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan

    kadar plasma teofilin. Efek rifampisin lebih besar dibanding efek

    isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi isoniazid dan

    rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-obatan

    tersebut, seperti fenitoin dan karbamazepin

    8) Efek SampingEfek samping isoniazid, diantaranya:

    a) Dalam hal neurologi, diantaranya parestesia, neuritis perifer,gangguan penglihatan, neuritis optik, atropfi optik, tinitus,

    vertigo, ataksia, somnolensi, mimpi berlebihan, insomnia,

    amnesia, euforia, psikosis toksis, perubahan tingkah laku,

    depresi, ingatan tak sempurna, hiperrefleksia, otot melintir,

    konvulsi.

    b) Hipersensitifitas, demam, menggigil, eropsi kulit (bentukmorbili, mapulo papulo, purpura, urtikaria), limfadenitis,

    vaskulitis, keratitis.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    40/71

    40

    c) Efek hepatotoksik diantaranya SGOT dan SGPT meningkat,bilirubinemia, sakit kuning, hepatitis fatal.

    d) Efek metabolisme dan endrokrin, diantaranya defisiensiVitamin B6, pelagra, kenekomastia, hiperglikemia,

    glukosuria, asetonuria, asidosismetabolik, proteinurea.

    e) Pada hemotologi, yaitu agranulositosis, anemia aplastik, atauhemolisis, anemia, trambositopenia, eusinofilia,

    methemoglobinemia.

    f) Pada saluran cerna, yaitu mual, muntah, sakit ulu hati,sembelit.

    g) Intoksikasi lain, seperti sakit kepala, takikardia, dispenia,mulut kering, retensi kemih (pria), hipotensi postura, sindrom

    seperti lupus, eritemamtosus, dan rematik.

    9) Peringatan/PerhatianDiperingatkan hati-hati jika menggunakan isoniazid pada

    sakit hati kronik, disfungsi ginjal, riwayat gangguan konvulsi.

    Perlu dilakukan monitoring bagi peminum alkohol karena

    menyebabkan hepatitis, penderita yang mengalami penyakit hati

    kronis aktif dan gagal ginjal, penderita berusia lebih dari 35

    tahun, kehamilan, pemakaian obat injeksi dan penderita dengan

    seropositif HIV. Disarankan menggunakan piridoksin 10-20 mg

    untuk mencegah reaksi adversus

    .

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    41/71

    41

    10)Overdosis.Gejala yang timbul 30 menit sampai 3 jam setelah

    pemakaian berupa mual, muntah, kesulitan berbicara, gangguan

    penglihatan atau halusinasi, tekanan pernafasan dan SSP, kadang

    kadang asidosis, asetonurea, dan hiperglikemia pada pemeriksaan

    laboratorium. Penanganan penderita asimpatomimetik dilakukan

    dengan cara memberikan karbon aktif, mengosongkan lambung,

    dan berikan suntikan IV piridoksin sama banyak dengan isoniazid

    yang diminum, atau jika tidak diketahui, berikan 5 gram suntikan

    piridoksin selama 30-60 menit untuk dewasa, dan 80 mg/kg berat

    badan untuk anak-anak.

    Sedangkan penanganan penderita simpatomimetik,

    ditangani dengan memastikan pernafasan yang cukup, dan

    berikan dukungan terhadap kerja jantung. Jika jumlah isoniazid

    diketahui, berikan infus IV piridoksin dengan lambat 3 5 menit,

    dengan jumlah yang seimbang dengan jumlah isoniazid. Jika

    tidak diketahui jumlah isoniazid, berikan infus IV 5 gram

    piridoksin untuk dewasa dan 80 mg/kg berat badan untuk anak-

    anak.

    11)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan

    tentang alergi yang pernah dialami dan penggunaan obat lain bila

    menggunakan isoniazid.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    42/71

    42

    Penderita perlu diberikan informasi tentang cara

    penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang

    akan dirasakan.

    a) Jika obat dalam bentuk cair seperti sirup, agar menggunakantakaran yang tepat sesuai petunjuk dalam kemasan obat.

    b) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengankategori penyakit atau petunjuk dokter/petugas kesehatan

    lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari,

    jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.

    c) Dapat dianjurkan menggunakan Vitamin B6 untukmengurangi pengaruh efek samping.

    d) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas,

    e) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namunjika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu

    minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah

    jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat

    sesuai dengan waktu/dosis berikutnya.

    f) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.

    g) Jangan makan keju, ikan tuna dan sarden karena mungkinmenimbulkan reaksi.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    43/71

    43

    h) Sampaikan kepada dokter / petugas kesehatan lain jikamengalami kulit gatal, merasakan panas, sakit kepala yang

    tidak tertahankan, atau kesulitan melihat cahaya, kurang

    nafsu makan, mual, muntah, merasa terbakar, pada tangan

    dan kaki.

    i) Menghindari meminum alokholj) Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapat

    mempengaruhi pemeriksaan kadar gula dalam air seni yakni

    hasil palsu.

    Obat ini harus disimpan jauh dari jangkauan anak anak.

    dihindari dari panas dan cahaya langsung, simpan ditempat

    kering dan tidak lembab, serta untuk sediaan cairan seperti sirup

    agar tidak disimpan didalam kulkas.

    b. Rifampisin1) Identitas.

    Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg,

    450 mg, 600 mg.

    2) DosisUntuk dewasa dan anak yang beranjak dewasa 600 mg satu

    kali sehari, atau 600 mg 2 3 kali seminggu. Rifampisin harus

    diberikan bersama dengan obat anti tuberkulosis lain. Bayi dan

    anak-anak, dosis diberikan dokter/tenaga kesehatan lain

    berdasarkan atas berat badan yang diberikan satu kali sehari

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    44/71

    44

    maupun 2-3 kali seminggu. Biasanya diberikan 7,5 15 mg per

    kg berat badan. Anjuran Ikatan Dokter Anak Indonesia adalah 75

    mg untuk anak < 10 kg, 150 mg untuk 10 20 kg, dan 300 mg

    untuk 20 -33 kg.

    3) IndikasiDiindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan

    dengan antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.

    4) Kerja ObatBersifat bakterisida, dapat membunuh kuman semi-dormant

    yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.Rifampicin menghambat

    enzim RNA polymerase.

    5) Mekanisme kerjaBerdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri

    Ribose Nucleotida Acid(RNA)-polimerase sehingga sintesis RNA

    terganggu.

    6) Dinamika/ Kinetika ObatObat ini akan mencapai kadar plasma puncak (berbeda-

    beda dalam kadar) setelah 2- 4 jam sesudah dosis 600 mg, masih

    terdeteksi selama 24 jam. Tersebar merata dalam jaringan dan

    cairan tubuh, termasuk cairan serebrosfinal, dengan kadar paling

    tinggi dalam hati, dinding kandung empedu, dan ginjal. Waktu

    paruh plasma lebih kurang 1,5 - 5 jam (lebih tinggi dan lebih lama

    pada disfungsi hati, dan dapat lebih rendah pada penderita terapi

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    45/71

    45

    INH). Cepat diasetilkan dalam hati menjadi metaboltit aktif dan

    tak aktif, masuk empedu melalui sirkulasi enterohepar. Hingga

    30% dosis diekskresikan dalam kemih, lebih kurang setengahnya

    sebagai obat bebas. Meransang enzim mikrosom, sehingga dapat

    menginaktifkan obat tertentu. Melintasi plasenta dan

    mendifusikan obat tertentu ke dalam hati.

    7) InteraksiInteraksi obat ini adalah mempercepat metabolisme

    metadon, absorpsi dikurangi oleh antasida, mempercepat

    metabolisme, menurunkan kadar plasma dari dizopiramid,

    meksiletin, propanon dan kinidin.

    Rifampisin adalah suatu enzyme inducer yang kuat untuk

    cytochrome P-450 isoenzymes, mengakibatkan turunnya

    konsentrasi serum obat-obatan yang dimetabolisme oleh isoenzim

    tersebut. Obat obat tersebut mungkin perlu ditingkatkan selama

    pengobatan TB, dan diturunkan kembali 2 minggu setelah

    rifampisin dihentikan.

    8) Efek Sampinga) Efek samping pada saluran cerna, yaitu rasa panas pada perut,

    sakit epigastrik, mual, muntah, anoreksia, kembung, kejang

    perut, diare.

    b) Pada SSP, diantaranya letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia,bingung, pening, tak mampu berfikir, baal umum, nyeri pada

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    46/71

    46

    anggota, otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian

    frekuensi rendah sementara (jarang).

    c) Hipersensitifitas, dengan gejala demam, pruritis, urtikaria,erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah, eosinofilia, hemolisis,

    hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal

    akut (reversibel).

    d) Pada hematologi diantranya trombositopenia, leukopeniatransien, anemia, termasuk anemia hemolisis.

    e) Intoksikasi lain, seperti hemoptisis, proteinurea rantai rendah,gangguan menstruasi, sindrom hematoreal.

    9) Peringatan/PerhatianKeamanan penggunaan selama kehamilan, dan pada anak

    anak usia kurang 5 tahun belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan

    pada penyakit hati, riwayat alkoholisme, penggunaan bersamaan

    dengan obat hepatotoksik lain.

    10)OverdosisGejala yang kadang kadang timbul adalah mual, muntah,

    sakit perut, pruritus, sakit kepala, peningkatan bilirubin, cokelat

    merah pada air seni, kulit, air liur, air mata, buang air besar,

    hipotensi, aritmia ventrikular. Pemberian dosis yang berlebih

    pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan pada kelahiran

    berhubungan dengan masalah tulang belakang (spina bifida).

    Penanganan mual dan muntah dengan memberikan karbon aktif,

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    47/71

    47

    dan pemberian antiemetik. Pengurangan obat dengan cepat dari

    tubuh diberikan diuresis dan kalau perlu hemodialisis.

    11)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan

    tentang :

    a) Alergi yang pernah dialami.b) Penggunaan obat lain bila menggunakan rifampisin.

    Penderita perlu diberikan informasi tentang cara

    penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang

    akan dirasakan, yakni:

    a) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengankategori penyakit atau petunjuk dokter/petugas kesehatan

    lainnya, dan diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari,

    jangan meminum dua kali pada hari berikutnya.

    b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas.

    c) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namunjika lupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu

    minum obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah

    jauh, dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat

    sesuai dengan waktu / dosis berikutnya.

    d) Minum sesuai jadwalyang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    48/71

    48

    e) Beritahukan kepada dokter/petugas kala sedang hamil, karenapenggunaan pada minggu terakhir kehamilan dapat

    menyebabkan pendarahan pada bayi dan ibu.

    f) Beritahukan kepada dokter / petugas kesehatan lain kalausedang meminum obat lain karena ada kemungkinan

    interaksi.

    g) Obat ini dapat menyebabkan kencing, air ludah, dahak, danair mata akan menjadi coklat merah.

    h) Bagi yang menggunakan lensa kontak (soft lens), disarankanuntuk melepasnya, karena akan bereaksi atau berubah warna.

    i) Bagi peminum alkohol atau pernah/sedang berpenyakit hatiagar menyampaikan juga kepada dokter/tenaga kesehatan lain

    karena dapat meningkatkan efek samping.

    j) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jikamengalami efek samping berat.

    k) Jika akan melakukan pemeriksaan diagnostik kencing dandarah, beritahukan bahwa sedang meminum rifampisin

    kepada petugas laboratorium atau dokter dan tenaga

    kesehatan lain karena kadang-kadang akan mempengaruhi

    hasil pemeriksaan.

    12)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :

    a) Jauh dari jangkauan anakanak.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    49/71

    49

    b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.c) Simpan ditempat kering dan tidak lembab.d) Jangan disimpan obatyang berlebih atau obat yang dibatalkan

    penggunaannya.

    c. Pirazinamid1) Identitas.

    Sediaan dasar pirazinamid adalah tablet 500 mg/tablet.

    2) DosisDewasa dan anak sebanyak 1530 mg per kg berat badan,

    satu kali sehari. Atau 50 70 mg per kg berat badan 2 3 kali

    seminggu. Obat ini dipakai bersamaan dengan obat anti

    tuberkulosis lainnya.

    3) IndikasiDigunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi

    dengan anti tuberkulosis lain.

    4) KontraindikasiTerhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria,

    hipersensitivitas.

    5) Kerja ObatBersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang berada

    dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan

    pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari

    basil tuberkulosa.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    50/71

    50

    6) Dinamika/Kinetika ObatPirazinamid cepat terserap dari saluran cerna. Kadar plasma

    puncak dalam darah lebih kurang 2 jam, kemudian menurun.

    Waktu paruh kira-kira 9 jam. Dimetabolisme di hati.

    Diekskresikan lambat dalam kemih, 30% dikeluarkan sebagai

    metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam.

    7) InteraksiBereaksi dengan reagen acetes dan ketostix yang akan

    memberikan warna ungu mudasampai coklat.

    8) Efek SampingEfek samping hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia,

    hepatomegali, ikterus; gagal hati, mual, muntah, artralgia, anemia

    sideroblastik, urtikaria.

    9) Keamanan penggunaanPada anak-anak belum ditetapkan. Hati-hati penggunaan

    pada penderita dengan encok atau riwayat encok keluarga atau

    diabetes melitus, dan penderita dengan fungsi ginjal tak

    sempurna, juga pada penderita dengan riwayat tukak peptik.

    10)Peringatan/PerhatianHanya dipakai pada terapi kombinasi anti tuberkulosis

    dengan pirazinamid, namun dapat dipakai secara tunggal

    mengobati penderita yang telah resisten terhadap obat kombinasi.

    Obat ini dapat menghambat ekskresi asam urat dari ginjal

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    51/71

    51

    sehingga menimbulkan hiperuremia. Jadi penderita yang diobati

    pirazinamid harus dimonitor asam uratnya.

    11)OverdosisData mengenai overdosis terbatas, namun pernah

    dilaporkan adanya fungsi abnormal dari hati, walaupun akan

    hilang jika obat dihentikan.

    12)Informasi Untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan

    tentang alergi yang pernah dialami, penggunaan obat lain bila

    menggunakan pirazinamid. Penderita perlu diberikan informasi

    tentang cara penggunaan yang baik dari obat ini dan

    kemungkinan reaksi yang akan dirasakan, yakni:

    a) Obat ini harus diminum sampai selesai sesuai dengan kategoripenyakit atau petunjuk dokter/ petugas kesehatan lainnya, dan

    diupayakan agar tidak lupa. Bila lupa satu hari, jangan

    meminum dua kali pada hari berikutnya.

    b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas.

    c) Harus dipakai setiap hari atau sesuai dengan dosis, namun jikalupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum

    obat seharusnya. Tetapi jika lewat waktu sudah jauh, dan

    dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai dengan

    waktu/dosis berikutnya.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    52/71

    52

    d) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain, misalnya pada pagi hari.

    e) Bagi penderita diabetes, agar diberitahu, sebab dapatmempengaruhi pemeriksaan kadar keton dalam air seni yakni

    hasil palsu.

    f) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jikamerasakan sakit pada sendi, kehilangan nafsu makan, atau

    mata menjadi kuning.

    13)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :

    a) Jauh dari jangkauan anakanak.b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.c) Simpan ditempat kering dan tidak lembab.d) Untuk sediaan cairan seperti sirup agar tidak disimpan

    didalam kulkas.

    d. Etambutol1) Identitas

    Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik

    Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet.

    2) DosisUntuk dewasa dan anak berumur diatas 13 tahun, 15-25

    mg mg per kg berat badan, satu kali sehari. Untuk pengobatan

    awal diberikan 15 mg/kg berat badan, dan pengobatan lanjutan 25

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    53/71

    53

    mg per kg berat badan. Kadang kadang dokter juga memberikan

    50 mg per kg berat badan sampai total 2,5 gram dua kali

    seminggu. Obat ini harus diberikan bersama dengan obat anti

    tuberkulosis lainnya. Tidak diberikan untuk anak dibawah 13

    tahun dan bayi.

    3) IndikasiEtambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis

    dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada

    resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ini dapat

    ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia

    kurang 6 tahun, neuritis optik, gangguan visual.

    4) KontraindikasiHipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis optik.

    5) Kerja ObatBersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan

    kuman TB yang telah resisten terhadap isoniazid dan

    streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan

    sintesis RNA pada kuman yang sedang membelah, juga

    menghindarkan terbentuknya mycolic acidpada dinding sel.

    6) Dinamika/Kinetika ObatObat ini diserap dari saluran cerna. Kadar plasma puncak 2

    - 4 jam dengan bioavaliabilitas 77+ 8%. Lebih kurang 40% terikat

    protein plasma. Diekskresikan terutama dalam kemih. Hanya 10%

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    54/71

    54

    berubah menjadi metabolit tak aktif. Klirens 8,6% + 0,8 %

    ml/menit/kg BB dan waktu paru eliminasi 3.1 + 0,4 jam. Tidak

    penetrasi meninges secara utuh, tetapi dapat dideteksi dalam

    cairan serebrospina pada penderita dengan meningetis

    tuberkulosa

    7) InteraksiGaram aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda

    dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika diperlukan garam

    alumunium agar diberikan dengan jarak beberapa jam.

    8) Efek SampingEfek samping yang muncul antara lain gangguan

    penglihatan dengan penurunan visual, buta warna dan

    penyempitan lapangan pandang. Gangguan awal penglihatan

    bersifat subjektif, bila hal ini terjadi maka etambutol harus segera

    dihentikan. Bila segera dihentikan, biasanya fungsi penglihatan

    akan pulih. Reaksi adversus berupa sakit kepala, disorientasi,

    mual, muntah dan sakit perut.

    9) Peringatan/PerhatianJika etambutol dipakai, maka diperlukan pemeriksaan

    fungsi mata sebelum pengobatan. Turunkan dosis pada gangguan

    fungsi ginjal, usia lanjut, kehamilan, ingatkan penderita untuk

    melaporkan gangguan penglihatan. Etambutol tidak diberikan

    kepada penderita anak berumur dibawah umur 6 tahun, karena

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    55/71

    55

    tidak dapat menyampaikan reaksi yang mungkin timbul seperti

    gangguan penglihatan.

    10)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan

    tentang:

    a) Alergi yang pernah dialami karena etambutol.b) Penggunaan obat lain bila menggunakan etambutol.

    Penderita perlu diberikan informasi tentang cara

    penggunaan yang baik dari obat ini dan kemungkinan reaksi yang

    akan dirasakan, yakni:

    a) Obat ini diminum dengan makanan atau pada saat perut isi.b) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perlu

    diberitahukan perubahan berat badan kepada petugas.

    c) Harus dipakai setiap hari atau sesuaidengan dosis, namun jikalupa segera minum obat jika waktunya dekat ke waktu minum

    obat seharusnya. Tetapi jika kalau lewat waktu sudah jauh,

    dan dekat ke waktu berikutnya, maka minum obat sesuai

    dengan waktu/dosis berikutnya.

    d) Minum sesuai jadwal yang diberitahukan oleh dokter ataupetugas kesehatan lain misalnya pada pagi hari.

    e) Sampaikan kepada dokter/petugas kesehatan lain jikamengalami rasa sakit pada sendi, sakit pada mata, gangguan

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    56/71

    56

    penglihatan, demam, merasa terbakar. Khusus untuk

    gangguan mata dapat menghubungi dokter mata.

    11)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :

    a) Jauh dari jangkauan anakanak.b) Dihindari dari panas dan cahaya langsung.c) Simpan ditempat kering dan lembab

    e. Streptomisin1) Identitas

    Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk injeksi 1,5

    gram/vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan bersama

    dengan Aqua Pro Injeksi dan spuit.

    2) DosisObat ini hanya digunakan melalui suntikan intra muskular,

    setelah dilakukan uji sensitifitas. Dosis yang direkomendasikan

    untuk dewasa adalah 15 mg per kg berat badan maksimum 1 gram

    setiap hari, atau 25 30 mg per kg berat badan, maksimum 1,5

    gram 2 3 kali seminggu. Untuk anak 20 40 mg per kg berat

    badan maksimum 1 gram satu kali sehari, atau 2530 mg per kg

    berat badan 2 3 kali seminggu. Jumlah total pengobatan tidak

    lebih dari 120 gram.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    57/71

    57

    3) IndikasiSebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid,

    rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang

    dikontraindikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.

    4)KontraindikasiHipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau

    aminoglikosida lainnya.

    5) Kerja ObatBersifat bakterisida, dapat membunuh kuman yang sedang

    membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesis

    protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal.

    6) Dinamika/ Kinetika ObatAbsorpsi dan nasib streptomisin adalah kadar plasma

    dicapai sesudah suntikan IM 12 jam, sebanyak 5 20 mcg/ml

    pada dosis tunggal 500 mg, dan 25 50 mcg/ml pada dosis 1.

    Didistribusikan ke dalam jaringan tubuh dan cairan otak, dan akan

    dieliminasi dengan waktu paruh 2 3 jam kalau ginjal normal,

    namun 110 jam jika ada gangguan ginjal.

    7) InteraksiInteraksi dari streptomisin adalah dengan kolistin,

    siklosporin, sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas,

    kapreomisin, dan vankomisin menaikkan ototoksisitas dan

    nefrotoksisitas, bifosfonat meningkatkan risiko hipokalsemia,

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    58/71

    58

    toksin botulinum meningkatkan hambatan neuromuskuler,

    diuretika kuat meningkatkan risiko ototoksisitas, meningkatkan

    efek relaksan otot yang non depolarising, melawan efek

    parasimpatomimetik dari neostigmen dan piridostigmin.

    8) Efek SampingEfek samping akan meningkat setelah dosis kumulatif

    100g, yang hanya boleh dilampaui dalam keadaan yang sangat

    khusus.

    9) Peringatan/PerhatianPeringatan untuk penggunaan streptomisin, hati hati pada

    penderita gangguan ginjal, lakukan pemeriksaan bakteri tahan

    asam, hentikan obat jika sudah negatif setelah beberapa bulan.

    Penggunaan intramuskuler agar diawasi kadar obat dalam plasma

    terutama untuk penderita dengan gangguan fungsi ginjal.

    10)Informasi untuk PenderitaSebelum menggunakan obat ini penderita perlu ditanyakan

    tentang:

    a) Alergi yang pernah dialami.b) Apakah dalam keadaan hamil atau tidak, karena ada risiko

    gangguan pendengaran dan gangguan ginjal untuk bayi.

    c) Perhatian untuk anak ada kemungkinan mengalami gangguanpendengaran dan ginjal.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    59/71

    59

    d) Orang tua ada kemungkinan mengalami gangguanpendengaran dan ginjal.

    e) Penggunaan obat lain bila menggunakan streptomisin.Penderita perlu diberikan informasi tenang cara

    penggunaan yang baik dari obat ini, yakni:

    a) Harus disesuaikan dengan berat badan, sehingga perludiberitahukan berat badan kepada petugas.

    b) Harus dipakai setiap hari ( atau berdasarkan petunjuk dokter)diupayakan datang ke petugas untuk di suntik pada jam yang

    sama.

    11)Penyimpanan Obat Yang BenarObat ini harus disimpan :

    a) Dihindari dari panas dan cahaya langsungb) Jangan disimpan obat yang berlebih, obat yang sudah

    dilarutkan dalam air untuk injeksi atau obat yang dibatalkan

    penggunaannya.

    C. Farmakologi Obat Pernafasan Lain1. Antihistamin

    Penurunan efek histamin dalam tubuh dapat dilakukan

    dengan beberapa cara. Antagonis fisiologis terutama epinefrin

    bekerja melawan histamin pada otot polos yang dapat digunakan

    untuk anafilaksis sistemik. Selain itu, juga dapat dilakukan pelepasan

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    60/71

    60

    inhibitor yang menurunkan degranulasi sel mast yang dipicu oleh

    antigen IgE seperti kromolin dan nedokromil. Reseptor antagonis

    histamin merupakan jalan lain yang dapat dipakai untuk menurunkan

    efek histamin. Antihistamin terdiri atas empat golongan yaitu, AH1,

    AH2, AH3, dan AH4. AH3, dan AH4masih belum dapat digunakan

    secara klinis (Katzung, 2010).

    AH1 merupakan senyawa-senyawa yang secara kompetitif

    memblokade histamin yang bisa juga dikatakan bekerja berlawanan

    dengan agonis H1 (Katzung, 2010).

    Berikut beberapa contoh bentuk sediaan dan dosis obat

    (Katzung, 2010):

    a. Cetirizin (AH1generasi kedua)Tersedia untuk pemberian oral dalam bentuk tablet 5 mg, 10 mg,

    tablet kunyah 5 mg, 10 mg dan sirup 5 mg/5 mL. Dosisnya 5-10

    mg/hari.

    b. Dimenhidrinat (AH1generasi pertama)Tersedia untuk pemberian oral dalam bentuk tablet 50 mg, dosis

    50 mg/hari.

    c. Loratadin (AH1generasi kedua)Tersedia untuk pemberoian oral dalam bentuk tablet 10 mg,

    dosis 10 mg/hari.

    Penjelasan lebih lanjut mengenai antihistamin golongan AH1

    adalah sebagai berikut:

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    61/71

    61

    a. FarmakokinetikAH1 dibagi berdasarkan efek sedatif yang dihasilkan

    menjadi generasi pertama dan generasi kedua. AH1 generasi

    pertama terutama berperan dakam memblokade reseptor

    otonom. AH1 generasi pertama diabsorbsi secara oral dengan

    puncak 1-2 jam setelah aborbsi yang kemudian akan

    terdistribusi ke seluruh cairan dalam tubuh. Metabolisme terjadi

    di hati dengan bantuan sistem mikrosomal. AH1generasi kedua

    dimetabolisme sistem CYP3A4. Efek yang dihasilkan obat

    berlangsung selama 4-6 jam dosis tunggal (Katzung, 2010).

    b. FarmakodinamikKerja terapeutik yang dihasilkan berupa (Katzung, 2010):

    1) Sedasi, merupakan efek umum yang ditimbulkan AH1generasi pertama.

    2) Antiemetik, beberapa AH1 generasi pertama memiliki efeksignifikan mencegah mual dan muntah

    3) Antikolinseptor, banyak AH1 generasi pertama terutamasubgrup etanolamin memiliki efek mirip atropin pada

    reseptor muskarinik perifer.

    4) Adrenoseptor bloker, prometazin dapat menyebabkanhipotensi ortostatik.

    5) Anestesi, beberapa AH1generasi pertama berfungsi sebagaianestesi lokal dengan memblokade kanal natrium.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    62/71

    62

    c. Contoh Obat1) Cetirizin

    a) Mekanisme obat: Antagonis kompetitif reseptor H1.b) Efek: Menurunkan/mencegah efek histamin terhadap

    otot polos dan sel imun.

    c) Efek samping obat: Alergi.d) Farmakokinetik: Absorbsi secara oral.e) Toksisitas: Sedasi, aritmia.f) Interaksi obat: Minimal.

    2) Difenhidramina) Mekanisme obat: Antagonis kompetitif reseptor H1

    b) Efek: Sedatif, mencegah efek histamin terhadap ototpolos, sel imun, serta memblokade adenoseptor alfa dan

    muskarinik

    c) Aplikasi klinis: Alergi, antiemetikd) Farmakokinetik: Absorbsi secara oral maupun

    parenteral dengan kerja obat 4-6 jam

    e) Toksisitas: Sedatif ketika digunakan untuk hipotensiortostatik, gejala blokade muskarinik

    f) Interaksi obat: Sedasi adiktif bersama obat sedatiflainnya termasuk alkohol yang menginhibisi CYP2D6,

    dapat memperpanjang efek beta bloker (Katzung, 2010).

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    63/71

    63

    d. Pemakaian Klinis1) Reaksi alergi

    Mencegah maupun mengobati gejala reaksi alergi.

    Pada rinitis, AH1 merupakan lini 2 setelah pemberian

    glukokortikoid inhalasi. Pada urtikaria, histamin merupakan

    mediator utama sehingga AH1 sangat efektif untuk

    diberikan. Namun pada asma bronkial, pemberian AH1

    sangatlah kurang efektif.

    2) Mabuk kendaraan dan gangguan vestibularAH1 yang paling efektif adalh prometazin dan

    difenhidramin. Antihistamin terbukti efektif sebagai

    profilaksis mabuk kendaraan.

    3) Mual dan muntah pada wanita hamil (Katzung, 2010).e. Toksisitas

    Beberapa efek yang ditimbulkan antihistamin seperti sedatif

    dan antimuskarinik digunakan dengan tujuan terapetik. Efek-

    efek lain yang jarang terjadi seperti hipotensi postural dan

    respons alergi. Overdosis astemizol atau terfenadin dapat

    menginduksi aritmia jantung (Katzung, 2010).

    f. Interaksi ObatKombinasi terfenadin atau astemizol dengan ketokonazol,

    intrakonazol maupun antibiotik makrolid seperti eritromisin

    dapat menyebabkan aritmia ventrikular yang mematikan dengan

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    64/71

    64

    kerjanya yang menghambat metabolisme obat oleh CYP3A4

    sehingga terjadi kenaikan konsentrasi antihistamin dalam darah

    (Katzung, 2010).

    2. DekongestanDekongestan merupakan obat pelega saluran napas, terdapat

    dua mekanisme kerja, yaitu (Katzung, 2010):

    a. Direct acting symphatomimetic1) Fenilefrin, merupakan alfa 1 agonis. Efektif sebagai

    midriatik dan dekongestan yang berfungsi untuk menaikan

    tekanan darah. Biasa diberikan dalam bentuk nasal spray.

    2) Xilometazolin dan oksimetazolin merupakan alfa agoniskerja langsung yang dapat digunakan sebagai dekongestan

    topikal karena kemampuannya untuk konstriksi mukosa

    hidung. Dosis tinggi oksimetazolin menimbulkan hipotensi.

    Keduanya merupakan dekongestan topikal kerja lambat.

    b. Mixed acting symphatomimetic1) Pseudoefedrin, mampu mengaktifkan reseptor beta serta

    dapat masuk sistem saraf pusat sehingga berfungsi sebagai

    stimulan sedang. Pseudoefedrin digunakan sebagai

    komponen campuran dekongestan.

    Membran mukosa dekongestan adalah agonis alfa yang

    mengurangi rasa tidak nyaman rinitis maupun common colddengan

    menurunkan volum mukosa nasal. Efek ini diperantarai oleh reseptor

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    65/71

    65

    alfa 1. Pemberian topikal pada dosis tinggi dapat mengakibatkan

    perubahn iskemik pada membran mukosa. Dekongestan topikal

    efektif untuk pengobatan akut rinitis bersama dengan common cold

    dan alergi. Contohnya adalah dekongestan kerja lambat seperti

    oksimetazolin. Pemakaian dekongestan topikal selama lebih dari

    tiga hari dapat menimbulkan rebound decongestion (Katzung, 2010).

    Dekongestan sistemik memiliki waktu kerja lebih panjang

    namun menyebabkan efek sistemik seperti gelisah, lelah, dan

    insomnia. Dekongestan sistemik juga dapat menstimulasi

    adrenoseptor alfa 1 dan meningkatkan tekanan darah melalui

    vasokonstriksi. Selain itu, dekongestan oral biasanya dikombinasi

    dengan antihistamin, antitusif, ekspektoran, dan analgesik (Katzung,

    2010).

    Contoh-contoh obat dekongestan (Katzung, 2010).

    a. Dekongestan topikal1) Oksimetazolin 0,05% nasal solution, dosis 2-3 semprot

    2x/hari.

    2) Fenilefrin 0,5% nasal solution, 2-3 semprot 6x/hari.b. Dekongestan sistemik

    1) Fenilefrin, dosis 10 mg/6 jam.2) Pseudoefedrin, dosis 60 mg/4-6 jam.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    66/71

    66

    3. AntitusifAntitusif yaitu obat yang bekerja pada susunan saraf pusat

    menekan pusat batuk dan menaikkan ambang rangsang batuk.

    Antitusif ini bekerja dengan cara menekan pusat batuk yang terdapat

    di medulla, sehingga disebut juga centrally acting drugs. Namun

    adapula antitusif yang bekerja di perifer, yang menekan reseptor

    batuk di saluran nafas. Beberapa contoh obat, diantaranya (Katzung,

    2010):

    a. Dekstrometorfan adalah stereoisomer dekstrorotatoris suatuturunan levorfanol yang termetilasi. Dekstrometorfan tampaknya

    bebas efek adiktif dan lebih jarang menimbulkan konstipasi

    daripada kodein. Dosis antitusifnya yang biasa adalah 15-30 mg,

    tiga atau empat kali sehari. Obat ini terdapat dalam berbagai

    produk obat bebas. Dekstrometorfan juga terbukti meningkatkan

    efek analgesic morfin dan tampaknya juga meningkatkan agonis

    reseptor lain.

    b. Kodein, mempunyai efek antitusif pada dosis yang lenih rendahdari yang diperlukan untuk analgesia. Karena itu dosis 15 mg

    cukup untuk meredakan batuk.

    c. Levopropoksifen adalah stereoisomer dekstropropoksifen, suatuagonis opioid lemah. Obat ini bebas efek opioid, walaupun sedasi

    merupakan efek sampingnya dosis antitusifnya yang biasa adalah

    50-100 mg setiap 4 jam.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    67/71

    67

    ESO : Konstipasi, Sedasi , Efek samping biasanya ringan dan

    jarang terjadi Mual dan pusing. Efek sentral dan depresi pernapasan

    hanya terjadi pada dosis sangat besar (Katzung, 2010).

    4. MukolitikMukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara

    mengencerkan sekret saluran pernafasan dengan jalan mencegah

    benang-benang mukoprotein dan mukopolisakarida dari sputum

    (Estuningtyas, 2008).

    Agen mukolitik berfungsi dengan cara mengubah viskositas

    sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan komponen

    mukoprotein. Agen mukolotik yang terdapat di pasaran adalah

    bromheksia, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas, 2008).

    5. Ekspektorana. Mekanisme Kerja

    Obat golongan ini akan meningkatkan produksi sekresi

    respiratorik sehingga menyebabkan viskositas sekret berkurang.

    Hal ini memudahkan ekspulsi sekret keluar dari jalan nafas

    melalui batuk (Roach et al., 2007). Dapat juga dikatakan bahwa

    ekspektoran membantu penambahan volume sekret respiratorik

    (Gutierrez, 2007).

    b. Contoh ObatMenurut Gutierrez (2007), beberapa contoh obat yang

    termasuk expectorant adalah guaifenesin (gliseril guaiakolat),

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    68/71

    68

    terpin hydrate, iodida, creosote, antimoni pentasulfida,

    guaiakolsulfonat, levoverbenone, senega, tyloxapol.

    c. FarmakokinetikObat ini akan dikonsumsi peroral kemudian diabsorpsi

    melalui mukosa gastrointestinalis. Setelah itu obat akan

    berdifusi dan didistribusikan ke seluruh tubuh terutama di area

    respiratori oleh peredaran darah. Obat akan dimetabolisme di

    liver (hepar) untuk kemudian diekskresikan secara primer

    melalui renal (Gutierrez, 2007).

    d. Efek Samping ObatMenurut Bennet, et al (2004), beberapa efek samping dari

    ekspektoran adalah nausea, vomitus, uric acid nephrolithiasis,

    diare atau konstipasi, mulut kering, meningkatkan efek analgetik

    paracetamol, peningkatan efek sedatif alkohol, tranquiliser, pil

    tidur, dan anestetik total, serta peningkatan efek obat penurun

    tonus otot.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    69/71

    69

    III. KESIMPULAN

    1. Asma merupakan sebuah penyakit obstruksi saluran napas yang berhubungandengan peningkatan kepekaan saluran napas, sehingga memicu episode

    wheezing, breathlessness, chesttightness, dispneua, dan batuk terutama pada

    malam atau dini hari.

    2. Pada prinsipnya, ada dua jenis obat asma yaitu: pelega (reliever) danpengontrol (controller). Obat asma yang termasuk pelega adalah agonis beta2

    kerja cepat, kortikosteroid sistemik, antikolinergik, aminofillin, adrenalin.

    Sedangkan golongan obat pengontrol diantaranya glukokortikosteroid

    inhalasi, glukokortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan nedokromil

    sodium, metilsantin, long Acting 2 Agonist (LABA), dan leukotrien

    modifiers.

    3. Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari

    paduan obat utama dan tambahan. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan

    adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, etambutol. Jenis obat

    tambahan lainnya (lini 2) adalah kanamisin, amikasin, kuinolon.

    4. Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, danefek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.

    5. Obat pernapasan lainnya diantaranya golongan antihistamin, dekongestan,antitusif, mukolitik, dan ekspektoran.

  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    70/71

    70

    DAFTAR PUSTAKA

    Bennet S, Hoffman N, Monga M. 2004. Ephedrine and guaifenesin induced

    nephrolithiasis.J Altern Complement Med 10 (6) : 967-9.

    Bharathi DV, Naidu A, Jagadeesh B, Laxmi KN, Laxmi PR, Reddy PR, Mullangi

    R. 2008. Development and validation of a sensitive LC-MS/MS method

    with electrospray ionization for quantitation of zafirlukast, a selective

    leukotriene antagonist in human plasma: application to a clinical

    pharmacokinetic study.Biomed. Chromatogr.22: 645-653, 2008.

    Brunton, L.L; Lazo J.S.; Parker K.L. 2006. Goodman & Gilman's The

    Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th Ed. New York: McGraw

    and Hill.

    Departemen Kesehatan Repubklik Indonesia (Depkes RI). 2009. Pedoman

    Pengendalian Penyakit Asma.Jakarta: Depkes RI.

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2005. Pharmaceutical

    Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi

    Komunitas dan Klinik, Departemen Kesehatan RI.

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). 2006. Pedoman

    Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen KesehatanRepublik Indonesia.

    Departemen Kesehatan RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB).

    Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

    Ducharme, FM; Ni Chroinin, M; Greenstone, I; Lasserson, TJ. 2010. Addition of

    long-acting beta2-agonists to inhaled corticosteroids versus same dose

    inhaled corticosteroids for chronic asthma in adults and

    children. Cochrane database of systematic reviews (Online)(5):

    CD005535. PMID 20464739.

    Estuningtyas, A., Azalia A. 2008. Obat Lokal. In Farmakologi dan Terapi,Edisi V. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

    Indonesia.

    Fanta, CH. 2009. Asthma.N Engl J Med360 (10): 100214.

    Global Initiative for Asthma (GINA). 2009. Global Strategy for Asthma

    Management and Prevention. Available from:

    http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411 [Accessed at 12th

    March 2014]

    http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411
  • 5/28/2018 Laporan Farmakologi Blok Resi

    71/71

    71

    Global Initiative for Asthma (GINA). 2011. Global Strategy for Asthma

    Management and Prevention. Tersedia di:

    http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411 [Accessed at 16March 2011]

    Goldsmith, D.R., and Keating, G.M. 2004. Budesonide/fomoterol: A review of its

    use in asthma.Drugs Pubmed,2004, 64:1597-1618.

    Gutierrez, K. 2007. Pharmacotherapeutics: Clinical Reasoning in Primary Care.

    Philadelphia: W.B. Saunders Co.

    Harrison, Tinsley Randolph and Dennis L. Kasper. 2011.Harrison's Principles of

    Internal Medicine 18th Ed. New York: McGraw-Hill, Medical Pub.

    Division.

    Katzung, B G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: EGC.

    Kelly, HW, CA Sorkness. 2005. Asthma. in Dipiro, et al.Pharmacotherapy : A

    Pathopysiological Approach. New York : McGraw Hill.

    Lu P, Schrag ML, Slaughter DE, Raab CE, Shou M, Rodrigues AD. 2008.

    Mechanism-based inhibition of human liver microsomal cytochrome

    P450 1A2 by zileuton, a 5-lipoxygenase inhibitor.Drug Metabolism and

    Disposition31 (11): 135260.

    Montuschi, P. and M. L. Peters-Golden 2010. Leukotriene modifiers for asthmatreatment.Clinical & Experimental Allergy, 2010 (40) 17321741.

    Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2004.Asma: Pedoman Diagnosis &

    Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

    Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). 2006. Tuberkulosis Pedoman

    Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru

    Indonesia.

    Price, S. A., Lorrain M. W. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

    Penyakit edisi 6. Jakarta: EGC.

    Ramanujan K. 2006. Common beta-agonist inhalers more than double death rate

    in COPD patients, Cornell and Stanford scientists assert. Chronicle. June

    29, 2006.

    Roach SS, Beggs S, Cosgarea M, Hatfield MT et al. 2007. Introductory Clinical

    Pharmacology. 7thed. New York: Lippincott William and Wilkins.

    Sweetman, Sean C., ed. 2009. Bronchodilators and Anti-asthma Drugs.

    inMartindale: The complete drug reference.36th ed.. London:

    Pharmaceutical Press.