15
1 Komunitas Burung (Avifauna) di Hutan Pantai, Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur Lericka M, PERMADI. 1 , R. Yuvita RAKHMAN 1 , Novita SARI 1 , Faridah TSURAYA 1 , Anindita GHIFFARI. 1 Ekologi Project 2014, Laboratorium Ekologi 1 Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember ABSTRAK Burung merupakan salah satu kelompok vertebrata terbesar yang banyak dikenal, diperkirakan ada 8600 jenis burung di dunia. Keanekaragaman jenis burung pun dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan. Sehingga sekarang banyak penelitian mengenai keanekaragaman komunitas burung. Taman Nasional Baluran salah satu tempat dimana komunitas buurung bebas berada sesuai dengan vegetasi yang sesuai dengan tempat hidupnya sehingga komunitas tersebut terlihat mendominasi di vegetasi tersebut. Untuk mengetahui jenis-jenis burung di Taman Nasional baluran, penelitian ini menggunakan metode kombinasi antara Line Transect dan Point Count. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis-jenis burung yang terdapat di Taman Nasional Baluran dan membandingkan jenis-jenis burung pada suatu ekosistem atau komunitasnya dikaitkan dengan dengan habitatnya.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 17 jenis burung yang ditemukan di hutan pantai taman Nasional baluran, dengan jumlah individu sebanyak 72, Collocalia linchi (47%), Streptopelia chinensis (7%), Dicaeum trochileum (6%), Gallus sp. (6%) merupakan spesies yang dominan dalam Taman Nasional Baluran. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Winner menunjukkan bahwa dari 8 transek, transek 4 (T4) di padang savana memiliki nilai indeks keanekaragaman yang paling sedang, yakni sebesar 2,684443. Kata Kunci : Avifauna, Baluran, keanekaragaman, hutan pantai, 1. PENDAHULUAN Burung merupakan salah satu kelas dari kingdom animalia (Campbel, et al 2003) yang menarik untuk diteliti. Burung merupakan salah satu kelompok vertebrata terbesar yang banyak dikenal, diperkirakan ada 8600 jenis burung di dunia (MacKinnon, 1998). Keanekaragam jenis burung dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan, karena keberadaan suatu komunitas burung dipengaruhi oleh faktor fisik, hayati dan kimia (Krausman, et al 2011).Faktor fisik dapat berupa suhu, cahaya, kelmbapan dan topografi. Faktor kimia antara lain berupa makanan, air, mineral dan vitamin, baik secara kuantitas maupun kualitas. Faktor hayati dimaksud di antaranya berupa tumbuhan, manusia dan predator (Heriyanto, 2008). Keberadaan burung di Indonesia sudah sedikit berkurang, dibuktikan dengan banyaknya jumlah burung yang terancam punah yaitu 115 jenis (IUCN,2008). Karena keberadaan burung yang semakin banyak yang terancam punah maka banyak lembaga yang membuat penangkaran

Laporan Avifauna

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Avifauna

Citation preview

Page 1: Laporan Avifauna

1

Komunitas Burung (Avifauna) di Hutan Pantai, Taman Nasional Baluran,

Situbondo, Jawa Timur

Lericka M, PERMADI.1, R. Yuvita RAKHMAN

1, Novita SARI

1, Faridah TSURAYA

1,

Anindita GHIFFARI.1

Ekologi Project 2014, Laboratorium Ekologi 1Jurusan Biologi Institut Teknologi Sepuluh Nopember

ABSTRAK

Burung merupakan salah satu kelompok vertebrata terbesar yang banyak dikenal,

diperkirakan ada 8600 jenis burung di dunia. Keanekaragaman jenis burung pun dapat

dijadikan sebagai indikator kualitas lingkungan. Sehingga sekarang banyak penelitian

mengenai keanekaragaman komunitas burung. Taman Nasional Baluran salah satu tempat

dimana komunitas buurung bebas berada sesuai dengan vegetasi yang sesuai dengan tempat

hidupnya sehingga komunitas tersebut terlihat mendominasi di vegetasi tersebut. Untuk

mengetahui jenis-jenis burung di Taman Nasional baluran, penelitian ini menggunakan

metode kombinasi antara Line Transect dan Point Count. Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengidentifikasi jenis-jenis burung yang terdapat di Taman Nasional Baluran dan

membandingkan jenis-jenis burung pada suatu ekosistem atau komunitasnya dikaitkan

dengan dengan habitatnya.Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 17 jenis burung

yang ditemukan di hutan pantai taman Nasional baluran, dengan jumlah individu sebanyak

72, Collocalia linchi (47%), Streptopelia chinensis (7%), Dicaeum trochileum (6%), Gallus

sp. (6%) merupakan spesies yang dominan dalam Taman Nasional Baluran. Nilai indeks

keanekaragaman Shannon-Winner menunjukkan bahwa dari 8 transek, transek 4 (T4) di

padang savana memiliki nilai indeks keanekaragaman yang paling sedang, yakni sebesar

2,684443.

Kata Kunci : Avifauna, Baluran, keanekaragaman, hutan pantai,

1. PENDAHULUAN

Burung merupakan salah satu kelas

dari kingdom animalia (Campbel, et al

2003) yang menarik untuk diteliti. Burung

merupakan salah satu kelompok vertebrata

terbesar yang banyak dikenal, diperkirakan

ada 8600 jenis burung di dunia

(MacKinnon, 1998). Keanekaragam jenis

burung dapat dijadikan sebagai indikator

kualitas lingkungan, karena keberadaan

suatu komunitas burung dipengaruhi oleh

faktor fisik, hayati dan kimia (Krausman,

et al 2011).Faktor fisik dapat berupa suhu,

cahaya, kelmbapan dan topografi. Faktor

kimia antara lain berupa makanan, air,

mineral dan vitamin, baik secara kuantitas

maupun kualitas. Faktor hayati dimaksud

di antaranya berupa tumbuhan, manusia

dan predator (Heriyanto, 2008).

Keberadaan burung di Indonesia sudah

sedikit berkurang, dibuktikan dengan

banyaknya jumlah burung yang terancam

punah yaitu 115 jenis (IUCN,2008).

Karena keberadaan burung yang semakin

banyak yang terancam punah maka banyak

lembaga yang membuat penangkaran

Page 2: Laporan Avifauna

2

berupa taman nasional, seperti Taman

Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur.

Taman Nasional Baluran berada di

daerah Situbondo, Jawa Timur. Taman

Nasional Baluran memiliki berbagai

macam vegetasi, seperti vegetasi savana,

vegetasi mangrove, vegetasi hutan musim

dan vegetasi huutan pantai. Tiap vegetasi

ini memiliki keanekaragaman tersendiri.

Oleh karena itu diperlukan adanya

pendataan tentang keberadaan suatu

komunitas burung agar diketahui

persebarannya.

2. METODOLOGI

2.1 Waktu dan Lokasi

Gambar 1. Lokasi Pengamatan Komunitas

Avifauna di Taman Nasional Baluran,

Situbondo, Jawa Timur

Pengamatan avifauna dilaksanakan

di Taman Nasional Baluran, Situbondo,

Jawa Timur pada tanggal 4 dan 5 april

2014. Pengambilan data dilakukan pada 8

lokasi dengan kondisi vegetasi berbeda,

yaitu : Savana bekol (T1), Savana bekol

(T2), Hutan akasia (T3), Padang savana

(T4), Watching bird trail (T5), Bird

watching trail hutan pantai (T6), Hutan

pantai (T7) dan daerah dalam hutan pesisir

pantai (T8).

Tabel 1. Letak geografis lokasi penelitian tiap

transek di Taman Nasional Baluran

Lokasi Posisi geografis

Lantitude (S) Longitu

de (E)

Transek 1 070

50’50.80”

1140

27’11.0

0”

Transek 2 07050’51.07” 114

027’

08.73”

Transek 3 070 50,702’ 114

0

27,36’

Transek 4 07o50’674” 114

o27’

64,9”

Transek 5 07o50’72,1” 114

o27’

543”

Transek 6 07o50’58,7” 114

o27’

24,8”

Transek 7 070 50,625’ 114

0

27,649’

Transek 8 070 50’40,8” 114

0

27’389”

2.2 Cara Kerja

Pengambilan data avifauna

menggunakan metode kombinasi, yang

merupakan gabungan dari metode line

transect sepanjang 300meter dan metode

point count dengan radius 50 meter dan

luas pandang 360 derajat daerah

pengamatan. Pengamatan dilakukan pada

delapan lokasi dengan menggunakan 4

titik tansek pada tiap lokasi, dimulai dari

titik 1(0m), titik 2 (100m), titik 3(200m)

dan titik 4(300 m). Pengamatan avifauna

metode line transek dan point count

dilakukan menggunakan teropong

binokuler dan pada metode point count

pengamatan dilakukan sekitar 30 menit

pada setiap titik. Data pengamatan

avifauna yang diambil mencakup nama

sepesies yang didapat dan jumlah spesies

tersebut, serta data pendukung seperti

perilaku avifauna saat ditemui (terbang

atau bertengger), perilaku saat terbang atau

bertengger (menelisik, makan, dan lain

sebagainya).

Page 3: Laporan Avifauna

3

Gambar 2. Metode kombinasi ( line transect

dan point count )

2.3 Rumus Analisa Data

Struktur komunitas avifauna dapat

ditampilkan melalui beragam indeks-

indeks ekologis : menggunakan indeks

dominansi dan indeks diversitas Shannon-

Weiner (H’).

Indeks Dominansi

Dimana ;

Di = Dominansi spesies i

ni = Jumlah individu spesies i

N = Jumlah total individu

keseluruhan spesies

Indeks Shannon-Weiner (H’)

Dimana ;

H’= Indeks diversitas Shannon- Weiner

ni= Jumlah individu spesies i

N=Jumlah total individu keseluruhan

spesies.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Metode Pengamatan Avifauna

Pada penelitian biodiversitas

avifauna di hutan pantai bama digunakan

metode line transect dan point count (titik

hitung). Metode line transect merupakan

salah satu metode transect. Line transect

ini merupakan metode yang digunakan

untuk memonitoring suatu habitat. Selain

itu, metode Line transect digunakan untuk

membuat observasi secara kontinu

sepanjang garis, karena luas lahan pada

penelitian keanekaragaman avifauna di

hutan pantai sangat besar (hill et al, 2005).

Metode line transect yang digunakan

adalah sepanjang 300 meter dan dibuat

titik pada jarak 0 meter, 100 meter, dan

200 meter.

Selain menggunakan metode line

transect, pada penelitian ini juga

menggunakan metode point count pada

tiga titik di line transect tersebut. Point

count ini digunakan untuk mengamati

aktivitas burung pada lokasi pengamatan

disekitar titik pada transek (Ralph,1993).

Pengamatan di tiap point count selama 30

menit, hal ini dilakukan karena waktu

selama 30 menit dianggap mampu

merepresentasikan populasi avifauna di

sekitar point count. Pada point count

dicatat perilaku burung dan kategori

tegakan apabila burung bertengger, data ini

digunakan sebagai data sekunder untuk

memudahkan mengidentifikasi spesies

burung yang ditemui.

3.2.1 Macam Metode Pengamatan

Avifauna

Ada banyak metode yang dapat

digunakan untuk melakukan pengamatan

avifauna tergantung dari habitat yang akan

diamati, antara lain:

a. Timed point counts

Metode ini merupakan metode

yang digunakan pada habitat estuaria,

laguna, rawa, pantai, dan mangrove.

Metode ini menggunakan batasan waktu di

tiap titiknya. (Miththapala, 2009).

Count (titik hitung) merupakan

metode sensus satwa dengan konsep dan

teori yang sama dengan line transect,

namun petak contoh yang digunakan

berbentuk lingkaran dengan radius tertentu

(pada pengamatan ini, radius yang

Page 4: Laporan Avifauna

4

digunkan sepanjang 50 m) dan tidak

tergantung pada kecepatan. Pengamatan

satwa dengan metode ini dilakukan secara

langsung dan dengn mendengarkan

suaranya didalam lingkaran dengan radius

yang telah ditentukan (Rusmendro,2009).

Asumsi yang digunakan dalam

metode ini adalah:

1. Burung tidak mendekati pengamat

atau terbang

2. Burung yang ada pada sample dpat

terdeteksi 100%

3. Burung tidak bergerak selama

perhitungan

4. Burung berperilaku bebas (tidak

tergantung satu sama lain)

5. Pelanggaran terhadap asumsi

tersebut tidak berpengaruh terhadap

habitat atau desain studi

6. Estimasi jarak akurat

7. Burung dapat teridentifikasi dengan

baik seluruhnya

b. Line transect

Metode ini digunakan untuk habitat

mangrove, rawa, dan padang rumput laut

(Miththapala, 2009).Line transect

merupakan metode yang umum digunakan

untuk sensus pada primata, burung dan

herbivora besar. Garis transek merupakan

suatu petak contoh dimana seorang

pengamat berjalan sepanjang garis transek

dan mencatat setiap jenis satwa liar (dalam

pengamatan ini adalah burung) yang

dilihat, baik jumlah maupun jaraknya dari

pengamat. Metode ini dapat digunakan

untuk mencatat data dari beberapa jenis

satwa secara bersamaan

(Rusmendro,2009).

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam

metode ini adalah:

1. Satwa dan garis transek terletak

secara random

2. Satwa tidak bergerak/pindah

sebelum terdeteksi

3. Tidak ada satwa yang terhitung dua

kali (double account)

4. Seekor satwa atau sekelompok

satwa berbeda satu sama lainnya.

Seekor satwa yang terbang tidak

mempengaruhi kegiatan satwa

yang lain

5. Respon tingkah laku satwa

terhadap kedatangan pengamatan

tidak berubah selama dilakukan

sensus

6. Habitat homogen. Bila tidak

homogen dapat dilakukan

stratifikasi.

c. Mist netting

Metode ini digunakan untuk

mengamati burung di habitat mangrove.

(Miththapala, 2009).

Selain ketiga metode diatas, masih

ada metode lain yang bisa digunakan untuk

mengamati avifauna yaitu dengan methods

based on flushing, metode ini merupakan

pendekatan termudah yang dapat

digunakan untuk memperkirakan beberapa

terganggunya beberapa spesies dari lebar

habitat yang diketahui (Southwood, 2000).

3.2.2 Kelebihan dan Kekurangan

Metode Pengamatan Avifauna

Adapun kelebihan dan kekurangan

metode dalam pengamatan avifauna yaitu:

a. Timed point count

Pada banyak Negara, point count

merupakan metode utama dalam

memonitoring perubahan populasi dari

lahan burung untuk berkembangbiak.

Dengan metode ini dapat dipelajari

perubahan tahunan populasi pada titik

yang dipastikan, selain itu bisa juga untuk

mengetahui perbedaan komposisi spesies

diantara habitat dan kelimpahan spesies.

Metode ini merupakan metode yang paling

efisien dan bisa mendapatkan banyak data

untuk metode mengitung burung. Metode

Page 5: Laporan Avifauna

5

ini dapat dilakukan sekali atau beberapa

kali pada titik yang diberikan. Kekurangan

metode ini adalah pada lahan burung tidak

dapat menyediakan data yang akurat pada

unggas air (Ralph,1993).

b. Line transect

Metode ini memiliki kelebihan

yaitu metode ini pada beberapa macam

vegetasi lebih simple dibanding dengan

metode kuadrat. Dimana dengan metode

line transect lebih cepat untuk mencatat

daripada kuadrat. Dan metode ini lebih

berguna untuk mengukur perubahan

perubahan penutup vegetasi, meskipun

akurasi tergantung dari panjang dari garis

dan beberapa titik yang digunakan per

garis. Kekurangan dari metode ini adalah

metode ini sengaja diarahkan sepanjang

gradient lingkungan atau melintasi batas

habitat hanya area sample terbatas. Semua

area pada situs tidak dapat sebuah

perubahan yang sama dari yang telah

disampling dan ini akan membuat

ekstrapolasi dari lintasan hasil dari semua

masalah situs. Metode ini biasanya tidak

cocok untuk mengukur penutup dari

masing-masing spesies dalam habitat

dimana tumbuhan lebih dekat lebih dekat

dan kelimpahan tipe vegetasi tidak

berbeda. Dan metode ini menghasilkan

keraguan dari penutup spesies ketika

banyak jarak pada titik, karena beberapa

bentuk dari spesies bisa jadi di sebrangi.

Bagaimanapun, perkiraan dari total

penutup tidak berefek dari panjang dari

garis (Hill et al, 2005).

c. Mist netting method

Kelebihan dari metode ini adalah

metode ini dapat dilakukan di hampir

segala habitat terrestrial untuk jarak lebar

dari suatu spesies, dan alat dari metode ini

merupakan alat yang portable. Kekurangan

dari metode ini adalah membutuhkan

kesabaran, ketangkasan, dan pengalaman

jika burung akan di ekstraksi tidak

berbahaya. Sehingga tidak semua orang

bisa melakukannya , terutama pemula akan

mengalami kesulitan untuk melakukan

penelitian dengan metode ini. Metode ini

juga tidak bisa dilakukan dilakukan untuk

spesies yang lebih besar seperti pigeons,

wildfowl, gulls dan raptor (Sutherland,

2004).

3.2.3 Alasan Penggunaan Metode

Kombinasi (Line Transect dan

Point Count)

Kombinasi yang mengombinasikan

antara metode line transect dan point

count. Kedua metode ini digunakan karena

habitat yang digunakan untuk penelitian

adalah habitat di pantai,selain itu metode

ini digabungkan karena dengan metode

line transect akan mempermudah

pengamatan dilokasi yang luas sehingga

bisa didapatkan data pendukung atau data

sekunder pada penelitian yakni mengenai

keadaan vegetasi di lingkungan tersebut

dan metode ini dapat dilakukan lebih

mudah dibanding dengan metode kuadrat,

sehingga metode ini lebih cocok untuk

pemula. Alasan lain menggunakan metode

line transect adalah karena metode ini

lebih simpel dan tidak menghabiskan

banyak waktu sehingga cocok untuk

penelitian ini yang dibatasi oleh waktu

(Hill et al, 2005). Metode lain yang

digunakan yaitu point count adalah untuk

memudahkan mengamati spesies di titik

pada transect. Metode ini adalah metode

yang paling efisien dan bisa mendapatkan

banyak data untuk metode mengitung

burung. Metode ini dapat dilakukan sekali

atau beberapa kali pada titik yang

diberikan (Ralph,1993). Dengan alasan

tersebut maka metode gabungan dari

kedua meode ini adalah kombinasi yang

Page 6: Laporan Avifauna

6

pas untuk melakukan penelitian bagi

pemula dan yang terbatas oleh waktu.

3.2 Analisis Data

3.2.1 Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis merupakan

aspek penting dalam kajian komunitas.

Kajian mengenai keanekaragaman jenis

dalam komunitas,umumnya dilakukan

untuk menunjukan hubungan antara

keanekaragaman jenis dengan aspek

lainnya dalam komunitas,seperti struktur

habitat dan faktor lingkungan

(Rahayuningsih, 2007).

Pada penelitian avifauna ini

digunakan 8 macam transek pengamatan

yang berbeda. Hal tersebut untuk melihat

kelimpahan spesies tertentu pada beberapa

transek yang berbeda. Beberapa transek

tersebut memiliki kondisi ekologi yang

berbeda pula, sehingga mempengaruhi

persebaran spesies yang mendiami transek

tertentu.

Dalam hal ini, transek pertama (T1)

dilakukan di daerah savana bekol. Daerah

ini memilki karakter ekologi yang kering

dan tandus, cenderung terpapar cahaya

matahari. Transek kedua (T2) juga di

savana bekol, transek ketiga (T3) di hutan

akasia, transek empat (T4) di padang

savana, transek lima (T5) di Watching bird

Trail, transek enam (T6) di Bird watching

trail hutan pantai, transek tujuh (T7) di

hutan pantai, dan transek delapan (T8) di

daerah dalam hutan,pesisir pantai.

Diagram 1. Perbandingan keanekaragaman

kelimpahan tiap daerah transek

Data pada hasil penelitian

menunjukan adanya perbedaan antara

kedelapan transek penelitian yang

dibandingkan dari indeks keanekaragaman,

jumlah jenis, maupun jumlah individu.

Padang savana merupakan areal penelitian

yang memiliki indeks keanekaragaman,

jumlah jenis, dan jumlah individu yang

tinggi dibanding dengan areal pengamatan

yang lain. Indeks keanekaragaman

merupakan nilai yang menunjukan tinggi

rendahnya keanekaragaman komunitas.

Dari kedelapan transek di Taman

Nasional Baluran yang berbeda, masing-

masing memiliki nilai indeks

keanekaragaman yang berbeda yaitu T1 di

savana bekol sebesar 2,406269 dan

terdapat 17 jenis spesies dan pada T2 di

savana bekol memiliki nilai indeks

keanekaragaman sebesar 1,586717 dan

terdapat 13 jenis spesies. Nilai indeks

keanekaragaman pada T3 di hutan akasia

sebesar 1,785831 dan terdapat 11 jenis

spesies. Pada transek T4 di padang savana

nilai indeks keanekaragaman sebesar

2,684443 dan terdapat 19 jenis spesies.

Pada transek T5 di Watcing bird Trail nilai

indeks keanekaraganman sebesar 2,10349

dan terdapat 12 jenis spesies, sedangkan

pada T6 di Bird watching trail hutan pantai

nilai indeks keanekaragaman sebesar

2,271927 dan terdapat 15 jenis spesies.

Sedangkan pada Transek T7 nilai

keanekaragaman jenis sebesar 2,09279 dan

terdapat 17 jenis spesies. Transek T8 nilai

indeks keanekaragaman sebesar 1,802291

dan terdapat 13 jenis spesies.

Keanekaragaman jenis berhubungan

dengan jumlah kelimpahan relatif dalam

komunitas. Jika nilai keanekaragaman

tinggi, maka dalam komunitas tersebut

terdapat banyak jumlah jenis individu.

Sehingga, dapat diketahui bahwa pada

transek 4 memiliki indeks keanekaragaman

Page 7: Laporan Avifauna

7

yang paling tinggi di antara transek yang

lannya. Pada transek T4 di padang savana

nilai indeks keanekaragaman sebesar

2,684443. Dapat dikaregorikan pada T4

tingkat keanekaragamannya sedang.

Menurut Hamlis (2010), Nilai indeks < 1,5

menunjukkan keanekaragaman yang

rendah, selanjutnya nilai yang berkisar

1,5-3,5 menunjukkan nilai

keanekaragaman sedang dan nilai >3,5

menunjukkan nilai keanekaragaman

tinggi. Menurut Gray (1981) dalam Vikar

(2012) bahwa tinggi rendahnya indeks

keanekaragaman komunitas, tergantung

pada banyaknya jumlah jenis dan jumlah

individu masing-masing jenis. Hal ini

sesuai dengan hasil penelitian yang

menunjukkan jumlah jenis pada Transek 4

/T4 sebanyak 19, paling banyak diantara

transek yang lainnya dengan jumlah

individu sebesar 52.

Dapat dikategorikan bahwa transek

T1 memiliki keanekaragaman burung

sedang, Begitu pula dengan T2 dan T3

tingkat keanekaragamannya rendah,

T5,T6, T7 dan T8 menunjukkan

keanekaragaman sedang.

Dari diagram batang tersebut, dapat

dilihat bahwa tidak ada suatu perbedaan

yang sangat mencolok dalam hal jumlah

keanekaragaman (H’). Data penelitian

jumlah individu masing-masing jenis

menunjukkan bahwa pada transek satu

(T1) dan transek dua (T2) di savana bekol,

spesies yang ditemukan melimpah

jumlahnya adalah Collocalia linchi (walet

linchi), sedang pada transek tiga (T3) di

hutan akasia spesies yang melimpah

jumlahnya adalah Ducula aenea (pergam

hijau). Pada transek empat (T4) di padang

savana berturut-turut yang melimpah

jumlahnya adalah Ducula aenea, pada

transek (T5) di Watcing bird Trail spesies

yang ditemukan melimpah adalah

Collocalia linchi. Transek T6 yang terletak

di Bird watching trail hutan pantai spesies

yang melimpah adalah Anthracoceros

albirostris. Pada T7 di hutan pantai spesies

yang melimpah adalah Collocalia linchi.

Zonasi terakhir T8 di dalam hutan, pesisir

pantai spesies yang melimpah adalah

Collocalia linchi.

Data pada hasil penelitian

menunjukan bahwa terdapat 2 jenis burung

yang memiliki jumlah kehadiran individu

terbesar yang ditemukan pada 8 transek di

Taman Nasional Baluran seperti

Collocalia linchi (walet linchi) yang

memiliki jumlah kehadiran individu

terbesar pada T2 sebesar 34 individu (D=

60%). Kesesuaian vegetasi terhadap

ketersediaan makanan, tempat berlidung,

dan tempat bersarang di Taman Nasional

Baluran menjadikan tempat tersebut

sebagai habitat yang ideal bagi jenis

Collocalia linchi (walet linchi) untuk

hidup dan berkembang pada tipe vegetasi

yang relatif terbuka. Taman Nasional

Baluran memiliki banyak daerah bertebing

dan bergoa yang sering digunakan Walet

Linchi sebagai lokasi sarang. Sarang

lumut, rumput atau bahan nabati lainnya

yang direkatkan dengan air ludah. Jenis

burung Ducula aenea (pergam hijau)

memiliki jumlah kehadiran individu

terbesar kedua setelah Collocalia linchi

(walet linchi), yakni sebanyak 24 individu

pada T3. Winnasis, Achmad Toha, Sutadi

(2009), Ducula aenea (pergam hijau)

memiliki persebaran sangat luas di seluruh

kawasan Taman Nasional Baluran.

Menyukai pohon yang sedang berbuah. Di

sepanjang jalan Batangan-Bekol, Pondok

Mantri, Sambi Kerep, Alas Malang dan

Merak merupakan lokasi yang tepat untuk

mengamatinya.

Page 8: Laporan Avifauna

8

3.2.2 Dominansi Avifauna pada

Zonasi Hutan Pantai

Penelitian ini bersifat deskriptif

dilakukan dengan teknik observasi

lapangan, Inventaris secara langsung dan

tidak langsung. Adapun metode yang

digunakan yaitu metode jalur (Line

Transect) dikombinasikan dengan metode

titik hitung (point count), dilakukan

dengan berjalan menelusuri jalur sampai

pada titik berikutnya dan selanjutnya

mencatat semua jenis burung yang

ditemukan dalam jalur pengamatan.

Penetapan lokasi ditentukan secara

purposive, sebanyak 8 jalur, terdiri atas

savana bekol 2 jalur, hutan akasia, padang

savana, Watching Bird Trail, Bird

Watching Trail hutan pantai, hutan pantai,

daerah dalam hutan,pesisir pantai. Lebar

jalur pengamatan 20 m (10 m kiri dan 10

m kanan).

Analisis dominasi burung

digunakan untuk melihat bagaimana

komposisi jenis burung yang dominan, sub

dominan, dan tidak dominan dalam

komunitas burung yang diamati,Nilai

dominansi diperoleh terdiri atas dua

komponen yaitu kelimpahan dan

penyebaran burung tersebut. Tingkat

dominansi setiap jenis menggunakan

pengkategorian yang dikeluarkan

Jorgensen (1974) dalam van Helvoort

(1981), yakni <2% (tidak dominan), 2-5%

(sub-dominan), dan >5% (dominan). Jenis-

jenis burung dominan memiliki indeks

dominan (Di) berkisar antara 5,08-0,08%.

Dari data jenis dan kelimpahan burung

yang didapat, dapat dicara nilai indeks

dominansinya, sebagai berikut (Peterson,

1981) :

Berdasarkan hasil penelitian yang

telah dilakukan pada tiap zonasi di

kawasan Taman Nasional Baluran , pada

zonasi T7 (Hutan Pantai) terdapat 17

spesies dengan total burung yang

ditemukan adalah 72 burung. Spesies yang

terdapat di zonasi hutan pantai diantaranya

adalah Alcedo coerulenscens, Bubulcus

ibis, Buceros rhinoceros, Collocalia linchi,

Dendrocopus moluccensis, Dicaeum

trochileum, Gallus sp., Halcyon chloris,

Hemipus hirundinaceus, Hirundo rustica,

Orthotomus ruficeps, Pavo muticus,

Pycnonotus aurigaster, Rhyticeros

undulatus, Spizaetus cirrhatus,

Streptopelia chinensis, Treron vernans.

Diagram 2. dominansi jenis burung

zonasi Hutan Pantai

Page 9: Laporan Avifauna

9

Dalam kisaran tersebut jenis-jenis

burung yang mendominasi di Hutan Pantai

adalah Collocalia linchi (47%),

Streptopelia chinensis (7%), Dicaeum

trochileum (6%), Gallus sp. (6%) Jenis-

jenis burung tersebut merupakan burung

yang tersebar hampir tersebar di seluruh

kawasan Taman Nasional Baluran,

terutama hutan musim pantai, hutan

musim dataran rendah dan evergreen.

Selain itu, burung memiliki kemampuan

adaptasi baik terhadap lingkungan hutan

pantai, terlebih lagi pada gangguan

manusia. Burung-burung tersebut

merupakan burung-burung yang hidup

berpasangan/berkelompok baik dengan

spesiesnya maupun spesies lainnya.

Burung-burung tersebut (kecuali

Streptopelia chinensis) memiliki jumlah

populasi yang cukup besar (Winnasis,

Achmad Toha, Sutadi 2009). Darmawan

(2006) dalam Syafrudin (2011)

menyatakan bahwa tingginya kelimpahan

jenis burung disebabkan karena kebiasaan

burung-burung tersebut yang dalam

melakukan aktivitas secara berkelompok,

sehingga memiliki nilai dominasi yang

tinggi, selain itu jumlah individu dari

jenis-jenis burung tersebut paling banyak

jumlahnya dibanding dengan jenis burung

lainnya, dan burung-burung tersebut

mampu memanfaatkan habitat baik hutan

maupun bukan hutan. Hal ini terkait

dengan makanan, aktivitas, dan perilaku

harian yang mampu memanfaatkan semua

jenis tutupan lahan.

Apabila terjadi dominansi salah

nsatu jenis avifauna, menunjukkan kondisi

alamnya telah terganggu atau berubah

sehingga hanya jenis tertentu saja yang

dapat bertahan terhadap perubahan

tersebut dan akhirnya dapat mendominasi

kawasan tersebut. Avifauna pada hutan

alam memiliki keanekaragaman jenis yang

tinggi tetapi dengan populasi yang sedikit.

Menurut Alikodra (1989) menyatakan

bahwa perubahan ukuran populasi sangat

dipengaruhi oleh perubahan kualitas dan

kuantitas makanan di habitatnya. Menurut

McNaughton dan Wolf (1990), distribusi

jenis avifauna sangat erat kaitannya

dengan tipe vegetasi dari suatu area,

keanekaragaman jenis avifauna dapat

dilihat dari strata penggunaan hutan. Hal

ini didukung oleh pernyataan Whitemore

(1984) bahwa avifauna dan mamalia dapat

dibedakan dari tempat hidupnya di dalam

hutan hujan tropis ke dalam beberapa

bagian yaitu, atas, tengah, bawah dan

tanah.

Tidak jauh berbeda, burung-burung

dengan kategori sub-dominan terdapat 9

jenis dari total 17 jenis burung yang

terdapat di Hutan Pantai. Jenis burung

tersebut antara lain Alcedo coerulenscens

(4%), Rhyticeros undulatus (4%), Treron

vernans (4%) Buceros rhinoceros (3%),

Dendrocopus moluccensis (3%), Halcyon

chloris (3%), Hemipus hirundinaceus

(3%), , Orthotomus ruficeps (3%),

Pycnonotus aurigaster (3%),. Jenis - jenis

burung tersebut merupakan burung dengan

jumlah populasi tidak banyak, meskipun

persebarannya luas.

Jenis burung tidak dominan yang

pada umumnya memiliki tingkat

kelimpahan dan tingkat penyebaran yang

kecil pula. Kategori tidak dominan di

transek zonasi hutan pantai terdiri atas 4

spesies dengan jumlah burung sebanyak 4.

Bubulcus ibis (1%), Hirundo rustica (1%),

Spizaetus cirrhatus (1%), Pavo muticus

(1%). Hirundo rustica merupakan burung

yang sering dijumpai di sekitar savana

Bekol sampai Pantai Bama adalah yang

paling banyak dan paling sering dijumpai.

Burung yang hampir tidak berhenti

terbang, beristirahat ketika hari sudah

Page 10: Laporan Avifauna

10

mulai panas sambil bertengger di atas

rumput atau peredu yang terbuka.

Spizaetus cirrhatus (elang brontok) fase

gelap lebih banyak tersebar di sebelah

Timur kawasan Taman Nasional Baluran

sehingga dia mudah diamati di sepanjang

jalan Batangan-Bekol, savana Bekol dan

Bama. Pavo muticus, burung yang

terkenal karena keindahan bulunya

daerah terbuka seperti savana atau di tepi

jalan. Bubulcus ibis, burung yang suka

berkoloni dalam jumlah besar

mengunjungi daerah persawahan yang

tergenang air di tepi hutan di sekitar Blok

Gatel dan Blok Perengan (Winnasis,

Achmad Toha, Sutadi 2009).

Berdasarkan data tersebut, dapat

diketahui bahwa habitat dan persebaran

dari burung-burung yang tidak dominan

tersebut tidak banyak terdapat di hutan

pantai. jenis-jenis burung tersebut

jumlahnya paling sedikit ditemui di hutan

pantai dibanding dengan jenis burung

lainnya, dan burung-burung tersebut tidak

mampu memanfaatkan habitat di dalam

hutan terkait dengan makanan, aktivitas,

dan perilaku harian yang mampu

memanfaatkan semua jenis tutupan lahan.

3.2.3 Indeks Diversitas Shannon-

Winner

Dalam penelitian ini, digunakan

penghitungan berdasar Indeks Diversitas

Shanon-Wiener (H’), dengan rumus :

Rumus Indeks Diversitas Shannon-Winner

Dimana :

H’= indeks diversitas Shannon-Wiener

Pi= proporsi spesies ke-i

Ln= logaritma Nature

Pi=∑ ni / N (Perhitungan jumlah individu

suatu jenis dengan keseluruhan jenis)

(Hamlis,2010).

Dengan nilai H’:

0<H’<2,302 = keanekaragaman rendah

2,302<H’<6,907= keanekaragaman sedang

H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

Indeks keanekaragaman Shannon-

Wiener (H’) di samping dapat

menggambarkan keanekaragaman species,

juga dapat menggambarkan produktivitas

ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan

kestabilan ekosistem.Semakin tinggi nilai

ndeks H’ maka semakin tinggi pula

keanekaragaman species, produktivitas

ekosistem, tekanan pada ekosistem, dan

kestabilan ekosistem.

Adapun tolok ukur nilai

keanekaragaman (H’) adalah :

- H’ < 1,0 :

a. Keanekaragaman rendah

b. Miskin (produktivitas sangat

rendah) sebagai indikasi adanya

tekanan ekologis yang berat)

c. Ekosistem tidak stabil

- 1,0 < H’ < 3,322 :

a. Keanekaragaman sedang

b. Produktivitas cukup

c. Kondisi ekosistem cukup seimbang

d. Tekanan ekologis sedang

- H’ > 3,322 :

a. Keanekaragaman tinggi,

b. Stabilitas ekosistem mantap

c. Produktivitas tinggi

[http://repository.usu.ac.id/bitstrea

m/123456789/21999/4/Chapter%2

0II.pdf]

Adapun data yang diperoleh

berdasarkan pengamatan pada delapan

transek, diperoleh tabel nilai

keanekaragaman (H’) sebagai berikut :

Page 11: Laporan Avifauna

11

Tabel 2. Nilai keanekaragaman (H’)

berdasarkan indeks Shannon-Wiener pada tiap

transek

Lokasi H'

T1 2,406269

T2 1,586717

T3 1,785831

T4 2,684443

T5 2,10349

T6 2,271927

T7 2,09279

T8 1,802291

Berdasarkan tabel diatas diperoleh

informasi mengenai keanekaragaman

spesies avifauna tiap transek juga dapat

diketahui kondisi ekosistemnya. Jika

dilihat dari perolehan nilai H’ pada tiap

transek tersebut yang berkisar pada 1,0 <

H’ < 3,322, dapat dikatakan bahwa

makrohabitat hutan Taman Nasional

Baluran, dengan mikrohabitat berupa

delapan transek berbeda memiliki tingkat

keanekaragaman sedang, produktivitas

cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang,

dan tekanan ekologis sedang.

Kedelapan transek tersebut dapat

dikatakan memiliki tingkat

keanekaragaman sedang, karena

persebaran yang cukup merata dari tiap

spesies di masing-masing transek yang

berbeda. Dimana beberapa spesies yang

ditemukan di suatu transek juga terdapat

pada transek yang lain. Sebagai contoh

spesies Collocalia linchi yang terdapat di

semua transek yang menjadi point count

pengamatan. Selain itu, tingkat

keanekaragaman yang sedang tersebut

dapat dilihat dari komposisi spesies yang

cukup beragam tiap transeknya. Meskipun

ada beberaa spesies yang mendominasi

pada suatu transek. Adapun jumlah spesies

yang ditemui pada tiap transek berkisar

dari angka 10-20 macam spesies.

3.3 Kecenderungan habitat (Canoco)

4. KESIMPULAN

Gambar 2. Kecenderungan habitat dengan

metode Canoco

Pada grafik di atas dapat diketahui

bahwa kuadrat 1, species Ducula aenea

dan Dryocopus javensis memiliki

kecenderungan habitat di sekitar transek 3.

Ducula aenea mempunyai kebiasaan

bertengger di atas tajuk pohon yang tinggi

pada sore hari, berpasangan atau dalam

kelompok kecil (Winnasis, Achmad Toha,

Sutadi, 2009). Spesies-spesies seperti

Lonchura leucogastroides, Zosterops

palpebrosus, tidak memiliki

kecenderungan untuk berada di kuadrat 1.

Zosterops palpebrosus memiliki

persebaran terbatas dari Batangan sampai

Blok Bama dan beberapa di sekitar

Bekol(Winnasis,2009). Pada kuadrat 2,

banyak species seperti Convus enca, Pavo

muticus, Collocalia linchi, Spilornis

cheela, yang memiliki kecenderungan

habitat di sekitar transek 2. Convus enca

senang bertengger di tempat tinggi dan

sangat sensitif terhadap kehadiran

manusia. Pavo muticus menyukai daerah

terbuka seperti savana atau di tepi jalan

(Winnasis,2009). Pada kuadrat 3, terdapat

species yang memiliki kecenderungan

berada di sekitar transek 5 yaitu Dicaeum

trochileum, Alcedo coerulenscens,

Halchyon chloris. Dicaeum trochileum

sangat lincah, agresif, tidak pernah diam,

Page 12: Laporan Avifauna

12

selalu melompat-lompat diantara cabang

dan ranting pohon yang rimbun kemudian

pindah lagi ke pohon lainnya. Alcedo

coerulescenssangat banyak ditemukan di

pesisir pantai Taman Nasional Baluran,

terutama pantai yang memiliki formasi

mangrove dan daerah lahan basah lainnya.

Suka bertengger pada akar bakau atau

ranting bakau yang tidak jauh dari

permukaan air laut (Winnasis,2009). Pada

kuadrat 4, terdapat beberapa species

seperti Pycnonotus goiavier,

Anthracoceros albirostris, yang juga

memiliki kecenderungan habitat di sekitar

transek 6. Anthacoceros albirostris

tersebar di hutan pantai, hutan musim

dataran tinggi di Gunung Baluran dan

hutan musim dataran rendah. Anda akan

mudah menemukan dia di Blok Bama,

Manting, Kelor, Ketokan Kendal,

Evergreen, Kali Kepuh, Sambi Kerep, dan

Pondok Mantri.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini

adalah bahwa burung (avifauna) yang ada

di hutan pantai antara lain Alcedo

coerulenscens, Bubulcus ibis, Buceros

rhinoceros, Collocalia linchi,

Dendrocopus moluccensis, Dicaeum

trochileum, Gallus sp., Halcyon chloris,

Hemipus hirundinaceus, Hirundo rustica,

Orthotomus ruficeps, Pavo muticus,

Pycnonotus aurigaster, Rhyticeros

undulatus, Spizaetus cirrhatus,

Streptopelia chinensis, Treron vernans.

Burung yang paling dominan adalah

Collocalia linchi (47%), Streptopelia

chinensis (7%), Dicaeum trochileum (6%),

Gallus sp. (6%). Hal ini disebabkan karena

burung tersebut memiliki kemampuan

adaptasi baik terhadap lingkungan hutan

pantai, burung-burung tersebut merupakan

burung-burung yang hidup

berpasangan/berkelompok baik dengan

spesiesnya maupun spesies lainnya.

Kebiasaan burung-burung tersebut yang

dalam melakukan aktivitas secara

berkelompok sehingga memiliki nilai

dominasi yang tinggi, nilai ini juga

menyebabkan kelimpahan suatu burung di

suatu habitat melimpah.

5. DAFTAR PUSTAKA

Indeks Keanekaragaman Burung.

[http://repository.usu.ac.id/bitstream/

123456789/21999/4/Chapter%20II.p

df]. Diakses pada tanggal 20 April

2014

Hamlis, Muhammad dan Dijan Sunar

Rukmi. 2010. Keanekaragaman

Avifauna berdasarkan Stratifikasi

Vegetasi di Kebun Raya Unmul

Samarinda (KRUS), Jurnal

Bioprospek Vol 7 (1). Universitas

Mulawarman : Samarinda.

Hill, David et al. 2005. Handbook Of

Biodiversity Methods Survey,

Evaluation And Monitoring.

Cambridge University Press. New

York.

Miththapala, Sriyanie. 2009. Incorporating

Environmental Safeguards Into

Disaster Risk Management. Volume

3 : tools, techniques and other

resources. Ecosystems and

livelihoods group, Asia, IUCN,

viii+142pp. Colombo.

Peterson R.T. 1981. Burung (terjemahan).

Pustaka Alam Life Tira Pustaka.

Jakarta.

Ralph, C john et al.1993. Handbook Of

Field Methods For Monitoring

Landbirds, Gen, Tech, Rep, PSW-

GTR-144. Department of Agriculture

. Pacific Southwest Research Station

Albany.

Page 13: Laporan Avifauna

13

Rusmendro, Hasmar. 2009. Perbandingan

Keanekaragaman Burung pada Pagi

dan Sore Hari di Empat Tipe Habitat

di Wilayah Pangandaran, Jawa

Barat. Vis Vitalis, Vol. 02 No. 1

Southwood, T.R.E. 2000. Ecological

methods. Blackwell science Ltd.

jerman.

Sutherland, William J et al .2004. Bird

Ecology And Conservation : A

Handbook Of Techniques. Oxford

university press. New York.

Vikar, A. 2012. Keanekaragaman Jenis

Burung di Dalam Dan di Luar Areal

Tambang Pada Kawasan TAHURA

Palu Provinsi Sulawesi Tengah.

Skripsi. Fakultas Kehutanan

UNTAD: Palu. Tidak dipublikasikan.

Wiryono. 2009. Ekologi Hutan. UNIB

PRESS: Bengkulu.

Darmawan, M.P. 2006. Keanekaragaman

Jenis Burung Pada Beberapa Tipe

Habitat di Hutan Lindung Gunung

Lumut Kalimantan Timur. Skripsi.

Departemen Konservasi Sumberdaya

Hutan dan Ekowisata Fakultas

Kehutanan IPB. Bogor.

Alikodra, HS. 1989. Pengelolaan Satwa

Liar. Jilid 1. Pusat Antar Universitas

IPB : Bogor.

McNaughton, SJ dan LL. Wolf. 1990.

Ekologi Umum. gajah Mada

University Press: Yogyakarta

Whitemore, TC. 1984. Tropical Rain

Forest of The Far East second

edition. Oxford Universiy Press :

Oxford.

Krausman, P.R. et. Al. 2011. Cumulative

Effect In Wildlife Management:

impact mitigation.CRC Press. U.S.

Heriyanto, N.M. Garsetiasih, R. Setio,

Pujo. 2008. Status Populasi dan

Habitat Burung di BKPH Bayah,

Banten. Bogor: Pusat Litbang Hutan

dan Konservasi Alam.

IUCN, 2008. Birds on the IUCN Red Lists.

http://www.birdlife.org/action/scienc

e/species/global_species_programme

/red_list.html. Diakses tanggal 19

April 2014.

MacKinnon, J., K. Phillips, dan B.V.

Balen. 1998. Panduan Lapangan

Burung-burung di Sumatera, Jawa,

Bali dan Kalimantan. Puslitbang

Biologi-LIPI : Jakarta

Page 14: Laporan Avifauna

14

LAMPIRAN

Diagram 3. Diagram dominansi jenis

burungdi Savana Bekol

Gambar 1. Diagram dominansi jenis burung

di Savana Bekol

Diagram 4. Diagram dominansi jenis

burungdi Savana Bekol

Diagram 5. Diagram dominansi jenis

burung di hutan akasia

Diagram 6. Diagram dominansi jenis

burung di padang savana

Diagram 7. dominansi jenis burung di

Watching Bird Trail

Diagram 8. dominansi jenis burung di Bird

Watching trail hutan pantai

\

Page 15: Laporan Avifauna

15

Diagram 9. dominansi jenis burung zonasi

Hutan Pantai

2. foto pengamatan