Upload
rupa-lesty
View
269
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI 1
PRAKTIKUM II
SIROSIS HATI
Disusun oleh :
1. Rupa Lesty G1F009059
2. Muhammad Furqon G1F009067
3. Putri Kusuma Wardani G1F010001
4. Rara Amalia Fadiah G1F010003
5. Rahminawati Ritonga G1F010005
6. Winanti Handayani G1F010007
7. Sani Zakkia Alawiyah G1F010009
8. Ifa Muttiatur R. G1F010011
9. Rahmawati Fitria I. G1F010013
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN FARMASI
PURWOKERTO
2012
I. Subjek
Data Base Pasien:
Nama : Ny. Sfn
Umur : 53 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
MRS : 29/4/2005
KRS : 16/5/2005
Riwayat Penyakit : Perut membesar 1 bulan yang lalu, nafas terasa berat, 10 bulan
lalu masuk rumah sakit, diagnosis sirosis hepatika.
Diagnosa : CH, SBP, Hipoalbumin, Hipokalemia.
II. Objek
Data Klinik :
Tekanan Darah pasien mengalami tekanan darah tinggi pada hari pertama
170/90 menunjukkan pasien menderita hipertensi porta, yang merupakan
fulminan dari sirosis hepatik.
Data Laboratorium:
Kenaikan kadar SGOT dan SPGT. Kenaikan kadar ini timbul dalam serum
akibat kebocoran dari sel yang rusak sehingga menjelaskan adanya kelainan
atau kekacauan fungsi hati yang actual.
Nilai Hb menurun, hal ini menyebabkan pasien anemia sebagai indikasi
adanya kelainan fungsi hepar.
Nilai protein albumin yang rendah karena kemampuan sel hati yang berkurang
untuk memproduksi albumin ini dan juga nilai globulin yang naik merupakan
cerminan daya tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress.
Kadar gula darah yang melebihi nilai normal, hal ini disebabkan hati tidak
mampu memetabolisme asupan glukosa menjadi glikogen.
III. Asessment
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan
kronik pada hati, diikuti proliferasi jaringan ikat, degenerasi dan regenerasi, sehingga timbul
kerusakan dalam susunan parenkim hati. Patofisiologi sirosis adalah adanya factor etiologi
menyebabkan peradangan dan kerusakan nekrosis meliputi daerah yang luas (hapatoseluler),
terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu timbulnya jaringan parut disertai terbentuknya
septa fibrosa difus dan modul sel hati. Jaringan parut ini menghubungkan daerah portal yang
satu dengan yang lain atau portal dengan sentral (bridging nekrosis). Beberapa sel tumbuh
kembali dan membentuk nodul dengan berbagai ukuran, dan ini menyebabkan distorsi
percabangan pembuluh hepatic dan gangguan aliran daerah portal dan menimbulkan
hipertensi portal. Tahap berikutnya terjadi peradangan dan nekrosis pada sel duktules,
sinusoid, retikuloendotel, terjadi fibrogenesis dan septa aktif jaringan kolagen berubah dari
reversible menjadi irreversible bila telah terbentuk septa permanen yang aseluler pada daerah
portal dan parenkhim hati sel limfosit T dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin
sebagai mediator fibrinogen, septa aktif ini berasal dari portal menyebar ke parenkim hati.
Ada dua kemungkinan pathogenesis dari sirosis hati pada pasien ini, yaitu :
1. Teori mekanisme
Yaitu proses kelanjutan hepatitis virus menjadi sirosis hati dimana nekrosis conjuent,
reticulum nodul menjadi collaps merupakan kerangka terjadinya daerah parut yang luas.
Bagian parenkim hati bertahan hidup dan berkembang menjadi nodul regenerasi.
2. Teori Imunologis
Walaupun hepatitis akut dengan nekrosis confluent dapat berkembang menjadi sirosis
hati tapi proses tersebut terus melalui timgkat hepatitis kronik. Hepatitis kronik berhubungan
dengan hepatitis non B.
Pasien penderita sirosis hepar menyebabkan pasien menderita hipoalbumina, karena
hepar tidak dapat mensintesis albumin karena penurunan sintesis akibat nekrosis sel parenkim
hepar (Akbar, 2003). Salah satu fungsi hati memproduksi albumin yaitu komponen osmolar
utama pada plasma darah. Pada keadaan normal hanya 20-30% hepatosit yang memproduksi
albumin. Hati menghasilkan sekitar 12 gram albumin setiap harinya yaitu 25% dari total
sintesis protein hati dan separuh jumlah protein yang disekresikan (Murray et al,2009).
Komplikasi sirosis hepar berhubungan antara darah dan sel-sel hati hancur. Luka
parut dalam hati yang bersirosis menghalangi aliran darah melalui hati dan ke sel-sel hati.
Adanya rintangan pada aliran darah melalui hati, darah tersendat pada vena portal, dan
tekanan dalam vena portal meningkat sehingga pasien juga terkena hipertensi portal.. Karena
rintangan pada aliran dan tekanan-tekanan tinggi dalam vena portal, darah dalam vena portal
mencari vena-vena lain untuk mengalir kembali ke jantung. Hipertensi portal merupakan
gabungan antara penurunan aliran darah porta dan peningkatan resistensi vena portal.
Hipertensi portal ini menyebabkan tingginya tekanan darah pasien menjadi 170/90 pada hari
pertama. Peningkatan tekanan vena porta biasanya disebabkan oleh adanya hambatan aliran
vena porta atau peningkatan aliran darah kedalam vena splanikus. Obstruksi aliran darah
dalam sistem portal dapat terjadi oleh karena obstruksi vena porta atau cabang-cabang
selanjutnya (Sherlock, 1997). Hipertensi porta juga akan meningkatkan tekanan transudasi
terutama di daerah sinusoid dan kapilerusus. Transudat akan terkumpul di rongga
peritoneum dan selanjutnya menyebabkan asites. Akibat tingginya resistensi terhadap
aliran darah yang melintasi hati, aliran darah dialirkan kepembuluh-pembuluh mesentrika
(abdomen peritoneum). Peningkatan aliran menyebabkan peningkatan tekanan kapiler di
pembuluh rongga abdomen sehingga filtrasi bersih cairan keluar dari pembuluh dan masuk
kerongga peritoneum. Selain itu tekanan yang tinggi dihati itu sendiri menyebabkan cairan
mengalir keluar hati untuk masuk kerongga peritoneum. Sebagai respons terhadap perubahan
ini, tubuh akan meningkatkan aktivitas system saraf pusat simpatik dan sumber system renin-
angiotensin-aldosteron serta arginin vasopressin. Semuanya itu akan meningkatkan
reabsorbsi / penarikan garam (Na) dari ginjal dan diikuti dengan reabsorpsi air (H20)
sehingga menyebabkan semakin banyak cairan yang terkumpul sehingga pasien mengeluh
perut membesar. Untuk mengeluarkan cairan dari dalam rongga peritoneum pasien diberikan
obat diuretic yaitu furosemid dan spironolakton. Namun pemberian furosemid pada pasien ini
disertai pemberian infuse albumin, menurut penelitian pemberian infuse albumin dengan obat
diuretic dapat menguatkan respon obat diuretic terhadap asites. menyebabkan timbulnya
hipokalemia. Hipokalemia bisa terjadi karena disebabkan oleh faktor-faktor yang merangsang
berpindahnya kalium dari intravaskular ke intraseluler, antara lain beban glukosa, insulin,
obat adrenergic, bikarbonat dan sebagainya. Salah satu komplikasi yang cukup sering
dialami pasien dengan sirosis hati adalah infeksi akibat migrasi spontan bakteri dari lumen
usus ke dalam cairan asites yang dikenal sebagai peritonitis bakterialis spontan (PBS).
Hampir sepertiga kasus PBS berlanjut dengan penurunan fungsi ginjal yang merupakan
predictor paling kuat terhadap mortalitas. Tidak jarang perbaikan infeksi terjadi tanpa disertai
perbaikan fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal terkait dengan aktifasi sistem renin-
angiotensin akibat menurunnya volume darah arteri efektif. Penurunan volume darah efektif
sendiri kemungkinan disebabkan vasodilatasi perifer yang dicetuskan oleh sitokin-sitokin di
plasma dan cairan asites. Tujuan pemberian albumin adalah sebagai pengembang volume
plasma sehingga mencegah perburukan fungsi ginjal (Follo,1994). Penelitian paling terkenal
mengenai penggunaan albumin pada PBS adalah studi oleh Paul Sort dan kawan-kawan pada
126 pasien yang dibagi dalam dua kelompok untuk membandingkan terapi cefotaxime dengan
cefotaxime plus albumin. Berdasarkan hasil yang diperoleh ini dapat disimpulkan bahwa
penggunaan antibiotik plus albumin pada pasien peritonitis bakterialis spontan dapat
menurunkan insidensi gangguan fungsi ginjal dan bahkan angka kematian (Guarner,1995)
(Sort,1999).
Data laboratorium yang berhubungan dengan diagnose pasien yang pertama adalah
nilai SGOT dan SPGT. Kenaikan kadar enzim transaminase bukan merupakan petunjuk berat
ringannya kerusakan parenkim hati, kenaikan kadar ini timbul dalam serum akibat kebocoran
dari sel yang rusak sehingga menjelaskan adanya kelainan atau kekacauan fungsi hati yang
actual (Barkaukass, 1994). Data lab yang kedua didapati nilai Hb menurun, hal ini
menyebabkan pasien anemia sebagai indikasi adanya kelainan fungsi hepar. Data lab yang
ketiga adalah nilai protein albumin yang rendah karena kemampuan sel hati yang berkurang
untuk memproduksi albumin ini dan juga nilai globulin yang naik merupakan cerminan daya
tahan sel hati yang kurang dan menghadapi stress. Data lab yang selanjutnya adalah kadar
gula darah yang melebihi nilai normal, hal ini disebabkan hati tidak mampu memetabolisme
asupan glukosa menjadi glikogen.
IV. PLAN
Tujuan terapi yang dilakukan adalah untuk menghilangkan keluhan yaitu berupa
demam, batuk dan sesak napas. Menurunkan tekanan darah karena hipertensi pada vena porta
hepatica yang diakibatkan oleh sirosis hati. Mengurangi asites (pembesaran perut pasien),
mengobati SBP (Spontaneous Bacterial Peritoneum). Mencegah perburukan kondisi
hipoalbumin dan hipokalemia pasien. Selain itu, dilakukan pula terapi non farmakologis
untuk mencegah memburuknya kondisi pasien dan mencegah komplikasi. Berikut adalah
komposisi terapi yang diresepkan oleh dokter:
1. Mengurangi dan mengobati asites dan SBP
o Diuretik
AASLD practice guidelines merekomendasikan terapi diuretik untuk mengurangi
asites (perut membesar akibat penumpukan cairan intersel di perut) dimulai dengan
penggunaan kombinasi antara furosemide dan spironolactone, karena bila spironolactone
digunakan sendiri terdapat delay waktu onset selama 14 hari (Dipiro, 2005).
o Furosemide
Dosis : injeksi 1x40 mg i.v
Indikasi : manajemen edem yang terasosiasi dengan kegagalan hati kongestif
dan penyakit hati dan ginjal. Sendiri atau kombinasi dengan antihipertensif pada
treatment untuk hipertensi.
Mekanisme : Bekerja pada ginjal dengan memblok simport Na/K/Cl pada loop
henle. Aksinya menghambat reabsorpsi Na dan Cl, sehingga menyebabkan efek
diuretic. Selain itu, karena reabsorpsi K juga dihambat, sehingga banyak ion K yang
terbawa melalui urin, sehingga diuretic ini dikenal menyebabkan efek samping
hipokalemia yang cukup signifikan (Ikawati Z, 2006).
Interaksi : menaikkan efek ACE inhibitor (Lacy CF et al., 2006)
o Spironolactone
Dosis : 1x100 mg pada waktu makan
Indikasi : Hipokalemia dan sirosis hati yang diikuti dengan edema atau asites.
Mekanisme : Antagonis aldosteron dimana aldosterom menginduksi reabsorpsi ion
Na dan sekresi ion K pada tubulus distal ginjal. Termasuk obat golongan diuretik
hemat kalium.
Interaksi : Penggunaan bersamaan spironolakton dengan diuretik hemat kalium
lainnya, suplemen kalium, antagonis reseptor angiotensin, kotrimoksazol (dosis besar)
dan inhibitor ACE dapat meningkatkan risiko hiperkalemia, terutama pada pasien
gangguan ginjal (Anonim,2007).
Penggunaan obat diuretic ini dapat menyebabkan hipoelektrolit di dalam tubuh seperti
kalium, natrium, dan klorida sehingga diperlukan suplai elektrolit tersebut dari luar tubuh.
Untuk menanggulangi hipokalemia digunakan KSR yang mengandung KCl untuk menyuplai
kebutuhan tubuh akan kalium.
o KSR
Dosis : 1x1 hari
Mekanisme : sebagai suplemen kalium, dapat dibenarkan, mengingat furosemid
merupakan diuretik yang boros kalium, sehingga dapat memicu terjadinya
hipokalemia (Dipiro, 2006)
Interaksi : Diuretik hemat kalium, siklosporin, ACE inhibitor meningkatkan resiko
hiperkalemia.
Indikasi : Pencegahan & pengobatan hipokalemia (Anonim, 2007).
Penggunaan diuretic juga dapat menurunkan kadar ion Na dan Cl dalam tubuh karena
diuretic ini menghambat reabsopsi ion-ion tersebut, maka dibutuhkan suplai ion tersebut
melalui infuse IVFD NS 0,9% kandungan Fruktosa dan dekstrosa disini untuk membantu
tubuh menyuplai sumber energy dalam bentuk gula sederhana. Diketahui bahwa fungsi hati
adalah untuk metabolisme karbohidrat, sehingga sirosis hati dapat menurunkan fungsi hati
untuk memproduksi gula sederhana dari karbohidrat.
o IVFD NS 0,9%
Komposisi : Dextrose 5%+NaCl 0,9%
Mekanisme : menggantikan elektrolit yang hilang dalam tubuh akibat asites
Indikasi : sumber karbohidrat sederhana dan elektrolit Na dan Cl
Interaksi : tidak ada interaksi dengn obat lain dalam resep ini
Dosis : 20 tetes
Kegagalan hati dalam memetabolisme karbohidrat, lemak, dan protein dapat juga
dibantu oleh suatu imunomodulator berupa vitamin B6 yang akan membantu fungsi hati
dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak.
o Vitamin B6
Dosis : 3x1 PO
Indikasi : membantu dalam metabolisme protein, karbohidrat dan lemak dalam
hati
Mekanisme : precursor untuk pyrodoxin, yang berfungsi dalam metabolisme
protein, karbohidrat dan lemak; pyrodoxin juga membantu dalam pelepasan liver dan
penyimpanan otot glikogen dan dalam sintesis GABA (dalam SSP) dan heme (Lacy
CF et al., 2006).
o Hepasil (hepatoprotektor)
Dosis : 3x1 kapsul setelah makan, dianjurkan untuk meminum obat ini 1-2
jam setelah makan.
Indikasi : Membantu mengobati gejaja penyakit kuning dan menjaga kesehatan
fungsi hati
Mekanisme : Hepasil merupakan hepatoprotektor yang berguna untuk mengatasi
kerusakan sel hati. Komponen yang terkandung didalamnya memberikan
perlindungan terhadap virus, kuman atau toksin.
Silymarin mempercepat pembentukan protein yang merupakan komponen utama sel
hati sehingga hepasil berperan aktif dalam proses regenerasi sel-sel hati. Kombinasi
silymarin, Oleum Xanthorhizae, dan curcumin merupakan antiinflamasi yang mempercepat
penurunan kadar SGOT/SGPT. Curcuma mempunyai sifat meningkatkan koleretik dan
kolekinetik getah empedu sehingga membantu metabolisme lemak dan mengurangi rasa
kembung.
Hepasil juga dapat dipakai untuk mengatasi gangguan gastrointestinal karena curcuma
sejak dulu dipercaya dapat dipakai untuk meningkatkan nafsu makan.
Untuk mengobati SBP digunakan antibiotik cefotaxim. Walaupun penggunaan
transfuse albumin tidak akan menakikan kadar albumin secara nyata untuk menanggulangi
hipoalbumin namun tetap diperlukan untuk menstabilkan kadar albumin dalam tubuh agar
tidak terus menurun karena kegagalan fungsi hati dalam memproduksi albumin. Hipoalbumin
dapat menyebabkan cairan tubuh keluar dari sel ke intersel sehingga memperburuk kondisi
asites pasien. Selain itu diketahui berdasarkan penelitian paling terkenal mengenai
penggunaan albumin pada SBP adalah studi oleh Paul Sort dan kawan-kawan pada 126
pasien yang dibagi dalam dua kelompok untuk membandingkan terapi cefotaxime dengan
cefotaxime plus albumin. Gangguan fungsi ginjal terjadi pada 33% pasien yang mendapat
cefotaxime saja dan hanya 8% pada kelompok yang mendapat cefotaxime plus albumin.
Selain itu angka kematian untuk kelompok yang hanya mendapat cefotaxime mencapai 29%,
sedangkan kelompok yang mendapat cefotaxime dan albumin jauh lebih rendah, yaitu sebesar
10%. Berdasarkan hasil-hasil ini dapat disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik plus
albumin pada pasien peritonitis bakterialis spontan dapat menurunkan insidensi gangguan
fungsi ginjal dan bahkan angka kematian. Tulisan lain merekomendasikan untuk memberi
infus albumin sebagai pendamping antibiotika segera setelah diagnosis SBP ditegakkan (Sort
P et al., 1999)
Tabel 1. Antibiotika vs kombinasi antibiotika dan albumin pada SBP
Sehingga digunakan cefotaxime dan transfusi albumin 25% dalam 100 cc.
o Cefotaxime
Dosis : i.v 1-2 g tiap 8-12 jam maks 12 g sehari
Indikasi : pengobatan infeksi pada saluran pernapasan, kulit dan struktur kulit,
tulang dan sendi, saluran kencing dan telah terbukti dapat mengobati meningitis.
Cefotaxim secara aktif melawan kebanyakan bakteri gram negative bacilli tapi tidak
termasuk pseudomonas dan aktif melawan bakteri gram positif.
Mekanisme : menginhibisi sintesis dinding sel bakteri dengan cara berikatan
dengan satu atau lebih protein terikat penicillin yang memiliki peran dalam
menginhibisi langkah-langkah akhir transpeptidasi dari sintesis peptidoglikan dalam
dinding sel bakteri sehingga dapat menginhibisi pembentukan dinding sel.
Interaksi : tidak ada interaksi dengan obat lain dalam resep ini.
o Transfusi albumin
Dosis : 25% dalam 100 cc
Indikasi : Pengantian sementara albumin pada penyakit berhubungan
dengan proteinplasma yang rendah seperti syndrome nefrotik, penyakit hati tahap
akhir yangdapat mengurangi atau menurunkan edema yang trerjadi
Mekanisme : Mempertahankan tekanan onkotik plasma agar tidak terjadi asites, membantu
metabolisme dan tranportasi berbagai obat-obatan dan senyawa endogen
dalam tubuh terutama substansi lipofilik (fungsi metabolit, pengikatanzat dan transport
carrier) (Hasan I et al., 2008)
2. Menurunkan tekanan darah pasien
Pasien yang menggunakan diuretic furesemide tidak diperkenankan menggunakan
obat antihipertensi golongan ACE inhibitor karena terdapat interaksi obat. Sehingga pada
kasus ini digunakan obat antihipertensi beta bloker berupa propanolol.
o Propanolol
Dosis : 3x10 mg PO
Indikasi : menejemen hipertensi, anginapektoris, pheochromositoma, esensial
tremor, supraventricular aritmias (seperti atrial fibrilasi dan flutter, avenodal re-
entrant tachyicardias), ventricular takikardi, mencegah infark miokardial, profilaksis
sakit kepala dan migren, treatment simptomatik dari hipertropik subaortic stenosis
(hipertropik obstructive kardiomiopati).
Mekanisme : obat beta bloker non selektif yang bersifat tidak selektif dan dapat
mengikat reseptor β1 maupun β2. Reseptor β1 merupakan reseptor adrenergik utama di
jantung yang menyebabkan efek peningkatan kontraksi otot jantung dan frekuensi
denyut jantung (efek kronotropik dan ionotropik positif). Reseptor β2 merupakan
reseptor yang dijumpai di sepanjang saluran pernapasan dan otot polos bronkus, dan
liver. Senyawa antagonis reseptor disebut juga beta bloker memiliki mekanisme kerja
sebagai antagonis kompetitif terhadap neurotransmitter pada reseptor tersebut
sehingga mampu menghambat respon terhadap perangsangan saraf simpatik (Ikawati
Z, 2006).
Interaksi: tidak ada interaksi dengan obat lain dalam resep ini.
3. Menghilangkan keluhan (Demam, Batuk, Sesak napas, dan mual)
Pada kasus kegagalan hati tidak diperkenankan menggunakan obat-obat yang
dimetabolime besar-besaran dihati karena akan memberatkan kerja hati sehingga
memperburuk keadaan hati. Obat antipiretik yang paling banyak digunakan adalah
paracetamol namun paracetamol dimetabolisme maksimal di hati sehingga pada kasus ini
untuk menghilangkan demam digunakan Sistenol.
o Sistenol
Komposisi : Tiap kaplet mengandung Parasetamol 500 mg, asetilsisteina 200 mg.
Dosis : 3x1 per tablet
Indikasi : demam yang berhubungan dengan flu dan masuk angina, sakit kepala
dan keadaan sangat nyeri dan gangguan pernapasan dengan sekresi yang berlebihan.
Interaksi obat : antikoagulan Koumarin, Indanedion.
Mekanisme obat : Sistenol mengandung parasetamol 500 mg, n-asetilsistein 200 mg.
N-asetilsistein merupakan suatu anti oksidan, yaitu sumber glutation yang efektif
mencegah proses oksidasi pada tubuh (Oksidasi ialah hancurnya jaringan tubuh
karena radikal bebas. Sebagai antioksidan, di duga berfungsi sebagai protektor kanker
dengan pasien yang belum menderita kanker. Antioksidan juga bersifat menghambat
apoptosis (kematian sel terprogram) justru memicu terjadinya kanker pada pasien
yang sedang menderita kanker karena kerusakan atau perubahan DNA.
Pada kasus ini pasien mengalami batuk berdahak, maka digunakan suatu mukolitik
ambroxol bukan bromheksin karena bromheksin akan dimetabolisme membentuk
metabolitnya yaitu ambroxol sehingga penggunaan bromheksin dapat memperberat kerja hati
dalam metabolisme obat tersebut.
o Ambroxol
Dosis : 3x1 30mg
Mekanisme : menghancurkan atau memecah asam mucopolysaccharide sehingga
mengencerkan dan menipiskan lapisan mukus sehingga lebih mudah dikeluarkan
melalui batuk.
Interaksi : -
Indikasi : Penyakit saluran napas akut dan kronis yang disertai sekresi bronkial
yang abnormal, khususnya pada eksaserbasi dan bronkitis kronis, bronkitis asmatik,
asma bronkial.
Asites pada pasien akan menyebabkan ketidaknyamanan pasien pada bagian perut
sampai dada. Pasien akan mengalami mual, sehingga pasien perlu diberikan antiemitik
berupa domperidone yang tidak memiliki efek hepatotoksik seperti metoclor.
o Domperidone
Dosis : 3 × 1 tablet 10 mg
Indikasi : Mual-mual akut, pengobatan simpton dispepsi fungsional.
Komposisi : Tiap tablet mengandung 10 mg domperidone.
Mekanisme : Domperidone merupakan antagonis dopamine yang mempunyai kerja
antiemetick. Efek antiemetic disebabkan oleh kombinasi efek peripheral (gastro
kinetic dengan antagonis terhadap resptor dopamine yang terletak diluar sawak otak
dipostrema). Meningkatkan pengosongan lambung dalam bentuk cairan dan
menambah tekanan pada sfingter esophagus (Lacy CF et al., 2006).
Secara singkat komposisi terapi yang kami sarankan adalah sebagai berikut:
Hari ke- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1
0
1
1
1
2
1
3
1
4
1
5
1
6
1
7
1
8
IVFD NS
0,9%
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Furosemide
inj 1x40 mg
iv
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Spironolacto
ne 1x100 mg
PO
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Propanolol √ √ √ √ √ √ √ √
Trans
albumun
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
25% dalam
100 cc
Vit B6 3x1
PO
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Cefotaxime √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sistenol √ √ √ √
Ambroxol
3x1
√ √ √ √ √ √ √
KSR 1x1 PO √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Domperidone
3x 1 tab
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Hepasil 3x1
kapsul
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
V. Monitoring
1. Gangguan volume cairan; lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
terganggunya mekanisme pengaturan (penurunan plasma protein)
Ditandai dengan; asites, ketidakseimbangan elektrolit, Pasien mengatakan perutnya
membesar dan terasa begah, badan terasa lelah/lemas.
Monitoring :
- Diberikan furosemide setiap hari dengan injeksi 1x40 mg, adanya interaksi
furosemide dengan albumin menyebabkan hipoklemia untuk mengatasi interaksi
diberikan KSR 1x1 hari.
- Monitor intake dan output cairan. Ukur kehilangan gastrointestinal dan
perkirakan kehilangan tak kasat mata, contoh; keringat dll.
- Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan dan diet.
- Tingkatkan dan dorong oral hygiene dengan sering.
2. Resiko gangguan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak
Adekuat, Berikan diet 1700 kkal (sesuai terapi) dengan tinggi serat dan tinggi
karbohidrat.
3. Untuk monitoring asites diberikan dieit rendah garam.
4. health education (pendidikan kesehatan), Ajarkan klien cara mengatasi masalah.
Tentukan pada penyebab dan masalah dan tulis keuntungan dan kerugian dari pilihan
pasien.
Daftar Pustaka
Barkaukass, et.al (1994), Health & Physical Assessment. Missouri : Mosby
Dipiro, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, The
McGraw-Hill Companies, Inc.,USA.
Follo A, Llovet JM, Navasa M, et al. Renal impairment after spontaneous bacterial
peritonitis in cirrhosis: incidence, clinical course, predictive factors and prognosis.
Hepatology 1994; 20:1495-501
Guarner C, Runyon BA. Spontaneous peritonitis: pathogenesis, diagnosis, and
management. Gastroenterologist 1995; 3:311
Hasan, Irsan, dkk. 2008. Peran Albumin dalam Penatalaksanaan Sirosis Hati. Divisi Hepatologi,
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM –Jakarta
Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2006, Drug Information
Handbook, 14th Edition, AphA, Lexi-Comp Inc, Hudson, Ohio.
Sort P, Nasava M, Arroyo V, et al. Effect of intravenous albumin on renal impairment and
mortality in patient with cirrhosis and spontaneous bacterialis peritonitis. N Engl J
M 1999; 341:403-9.
Sherlock.S. 1997. Penyakit Hati dan Sistim Saluran Empedu, Oxford, England Blackwell