84
Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI Oleh: Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati Dr. Ir. Sahat Pasaribu Ir. Rita Indrasti, M.Si Drh. Nata Kusuma, MMA Nyoman Budiana, SPt I Gst. Made Widianta, SP BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN E. Kebijakan pembangunan pertanian daerah 1. Regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya pertanian E.1.1. Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BALI 2015

LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

  • Upload
    others

  • View
    30

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 i

LAPORAN AKHIR PENELITIAN

UPAYA MENGATASI

PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

Oleh: Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna

Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati Dr. Ir. Sahat Pasaribu Ir. Rita Indrasti, M.Si

Drh. Nata Kusuma, MMA Nyoman Budiana, SPt

I Gst. Made Widianta, SP

BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN

E. Kebijakan pembangunan pertanian daerah 1. Regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya pertanian

E.1.1. Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BALI

2015

Page 2: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 ii

UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI

BERKELANJUTAN DI BALI

NAMA PENELITI UTAMA : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna

NIP : 19590907 198603 1 002

NAMA BPTP : BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN

(BPTP) BALI

INSTITUSI YANG TERLIBAT:

1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor

2. Balai Besar Pengembangan Pengkajian Tekonologi Pertanian, Bogor

3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

4. Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar, Bali

5. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali

BIDANG PRIORITAS: Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah (E.1.1)

Page 3: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 iii

UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF

DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI

1. Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna

2. NIP : 19590907 198603 1 002

3. Nama BPTP : BPTP Bali

4. Nama Pemda/Stakeholder

yang terlibat : Dinas Peternakan Provinsi Bali

5. Nama Pusat/Puslit/BB/Balit

yang terlibat : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian

6. Bidang Prioritas : Kajian regulasi sektor pertanian

khususnya terkait pembangunan

pertanian daerah (E.1.1)

Page 4: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 iv

Lembar Pengesahan

KERANGKA ACUAN

7. Judul Kegiatan : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina

Produktive dalam Mendukung Swasembada

Daging Sapi Berkelanjutan di Bali 8. BPTP Pengusul : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 9. Alamat : Jalan By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Bali 10. Diusulkan Melalui : Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian 11. Sifat Usulan Kegiatan : Baru 12. Peneliti Utama/ Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna

13. Personalia:

a. Peneliti/Penyuluh : 4 orang

b. Pembantu Peneliti : 2 orang

c. Teknisi : 1 orang

d. Adminitrasi : 1 orang

14. Tahun dimulai kegiatan : 2015

15. Biaya Kegiatan Th. 2015 : Rp.131.575.000,-

16. Jangka Waktu Pelaksanaan: 2 (dua) tahun

a. Mulai dilaksanakan : 2015

b. Berakhir : 2016

Disetujui Kepala BPTP Penanggung jawab Kegiatan

Ir. A.A.N.B. Kamandalu, M.Si Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna NIP: 19591013 198703 1 002 19590907 198603 1 002

Page 5: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 v

RINGKASAN

1. Judul : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive

dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi

Berkelanjutan di Bali.

2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

3. Lokasi : 8 kabupaten, satu kota di Provinsi Bali

4. Tujuan :

a. Tujuan Antara adalah untuk mengetahui:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di

Bali.

3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali.

b. Tujuan jangka panjang: Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan

petani melalui swasembada daging sapi.

5. Deskripsi Penelitian:

Penelitian tentang, Upaya mengatasi pemotongan sapi betina produktif untuk

mendukung swasembada daging sapi berkelanjutan di Bali, dilakukan selama dua

tahun (2015-2016). Penelitian dilakukan di 8 kabupaten dan satu kota di Bali.

Tujuan penelitian, adalah untuk menghindari terjadinya pemotongan sapi betina

produktif melalui implementasi yang tepat dari kebijakan pemerintah. Sedangkan

tujuan akhir dari penelitian adalah peningkatan pendapatan petani, dengan

mempercepat pencapaian berkelanjutan swasembada sapi potong.

6. Metode Penelitian:

Metode penelitian adalah melalui observasi lapangan, survey, Focus Group

Discussion (FGD), interview mendalam. Analisis data dilakukan secara deskriptif,

tabulasi silang (Cross Tabulation), Regresi berganda metode Enter dan Stepwise.

7. Keluaran yang diharapkan dari Tahun berjalan: Data dan informasi, tentang jumlah

sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun, tingkat efektivitas kebijakan

pemerintah terhadap pemotongan sapi betina produktif di Bali.

8. Lama penelitian: 2 (dua) tahun

Page 6: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 vi

9. Biaya penelitian tahun 2015: Rp.131.575,000 (Seratus Tiga Puluh Satu Juta Lima

Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah).

10. Hasil Penelitian:

Hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive

dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih

dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi

betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor.

2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang

terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

a. Faktor Peternak:

i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat;

(2) adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli

(saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina

produktif dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang

menguntungkan bagi peternak dan keluarganya (local wisdom), (5)

sapi dianggap majir, karena tidak bunting setelah dikawinkan beberapa

kali.

ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk

anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d)

membiayai keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi

betina lebih menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan

tempat untuk beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d)

tenaga kerja sapi tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan:

(a) rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b)

tidak mengetahui adanya larangan pemotongan sapi betina produktif.

b. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan

pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit

mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh lebih

mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi betina

khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi betina

Page 7: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 vii

afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan saudagar

tentang kreteria sapi betina produktif.

3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali, belum efektif.

Page 8: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 viii

SUMMARY

1. Title : The Effort to Overcome, Slaughtering of Productive Bali

Cow to Supporting Sustainable Beef Catle Self-

Sufficiency in Bali.

2. Implementing Unit : Assessment Institute for Agriculture Technology (AIAT)

Bali

3. Location : 8 Regencies and 1 city at Bali Province

4. Objectives :

a. Immediate Objectives:

1) Knowing the amount of productive bali cows slaughtered each year in

Bali.

2) Knowing, Factors that cause the slaughtered productive bali cows in Bali.

3) Determine the effectiveness of government policies to overcome the

slaughtered productive bali cows in Bali.

b. Long Term Objectives: Increased income and welfare of farmers, as well as the

achievement of sustainable beef self-sufficiency.

5. Description of Project:

Research on, The Effort to Overcome, Slaughtering Productive Bali Cow to

Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, conducted for two year

(2015-2016). The study located in 8 regencies and one city in Bali. The purpose of

research, is to avoid the occurrence of productive bali cow slaughtered, through a

proper implementation of government policy. While the ultimate goal of research

is the increasing income of the farmers, by accelerating the achievement of

sustainable self-sufficiency in beef cattle.

6. Methodology:

The research method is through observation, survey, Focus Group Discussion

(FGD), in-depth interview. The data were analyzed descriptively, cross tabulation

(Cross Tabulation), Multiple Regression with Enter and Stepwise method.

7. Expected Output of Year: Data and information, about the number of productive

cows slaughtered each year, the level of effectiveness of government policy on

cow slaughtered in Bali.

8. Duration: 2 (two) years

Page 9: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 ix

9. Proposed Budget in 2015: IDR.131.575,000 (One hundred and Thirty One Million

Five Hundrade and Seventy Five Thousand Indonesian Rupiah).

10. The results research of the efforts to avoid slugter of productive cows in Supporting

Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, among others:

1) The number of productive cows slaughtered each year in Bali, reaching more

than 80% of cows slaughtered in the abattoir and TPH. While the number of

cows slaughtered in Bali the period from January to August 2015 to reach

11,287 head.

2) Factors that cause the slaughter productive cows in Bali, among others:

a. Breeders factors:

i. External factors breeders include: (1) bovine growth slow; (2) the

opportunities cattle prices are expensive; (3) impulse buyer (merchant

or slaughterhouse); (4) trust in the productive cows with a specific

indicator, which is believed less profitable for farmers and their families

(local wisdom), (5) the cow is considered majir (can not be pregnant),

because it is not pregnant after breeding a couple of times.

ii. Internal factors of farmers, among others: (1) economic factors: (a) the

money for their children in school (b) religious ceremonies; (c) building

a house; (d) finance for sick family; (e) pay the debt, (f) maintain more

profitable cows. (2) technical factors: (a) it is hard to get a place for

breeding; (b) farmers who are old; (c) the difficulty of feed, (d) labor

replaceable cow with a tractor. (3) factor of knowledge: (a) lack of

knowledge of farmers on productive cows; (b) is not aware of any

prohibition of slaughter productive cows.

b. Factors slaughterhouse or officer: (1) Lack of government commitment

and firmness in applying the applicable law; (b) It is difficult to get cows

that are not productive; (c) the price of the bulls is much more expensive

than the price of a cow; (d) cut veal cows especially more profitable than

cows culled a lot of fat; (e) the lack of understanding about the butchers

and merchants criteria productive cows.

3) The government policy to overcome the cutting productive cows in Bali, not

yet effective

Page 10: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 x

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan ………………………………………………… iv

RINGKASAN ………………………………………………………. v

SUMMARY………………………………………………………….. viii

DAFTAR ISI ………………………………………………………... x

DAFTAR TABEL ………………………………………………… xiii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… xiv

I PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1

1.1 Latar Belakang ……………………………………………………… 1

1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………. 3

1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………..…….. 3

1.4 Keluaran yang Diharapkan ………………………………………….. 4

1.5 Manfaat dan Dampak ……………………………………………… 4

1.5.1 Manfaat …….………………………………………………… 4

1.5.2 Dampak …………………...…………………………………… 4

1.6 Lingkup Kegiatan …………………………………………………… 5

II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 6

2.1 Karakteristik Sapi Bali ………………………………………………. 6

2.2 Keunggulan Sapi Bali ……………………………………………….. 8

2.3 Kelemahan Sapi Bali ………………………………...……………… 10

2.4 Pengertian Sapi Betina Produktif ….………………………………... 11

2.5 Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif ………………… 13

2.6 Kebijakan pemerintah Pemerintah Tentang Penyelamatan Sapi

Betina Produktive …………………………………………………… 13

2.7 Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif ………………………. 14

2.8 Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif … 16

2.9 Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif ………………. 17

2.9.1 Dampak Non Ekonomi ……………… ….…………………… 18

2.9.2 Dampak Ekonomi …...………………………………………… 22

Page 11: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xi

III METODELOGI PENELITIAN ……………………………………. 26

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………………….. 26

3.1.1 Waktu Penelitian ……………………………………………. 26

3.1.2 Lokasi Penelitian …………………………………………… 26

3.2 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ………………………… 26

3.2.1 Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali

setiap tahun ……………..………….………………………… 26

3.2.2 Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi

betina produktif di Bali ……………………………………… 26

3.2.3 Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk

mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali 27

IV HASIL PENELITIAN ………………………………………………. 31

4.1 Karakteristik Peternak Sapi Bibit ……………………………………. 31

4.1.1 Umur Peternak dan pengalaman beternak …………..………… 31

4.1.2 Pendidikan Peternak ……………………………..…………… 31

4.1.3 Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina …………………… 32

4.1.4 Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi

Bibit …………………………………………………………… 33

4.1.5 Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit ……………………. 35

4.2 Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit ………………. 36

4.3 Harapan Peternak Sapi Bibit ………………………………………… 37

4.4 Sikap Peternak ………………………………………………………. 38

4.5 Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali ……………… 40

4.6 Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali……………………. 42

4.7 Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali …… 44

4.8 Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif

di Bali ……………………………………………………………….. 51

4.8.1 Di tingkat peternak sapi …………………………………..…... 51

4.8.2 Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan ……………… 55

4.9 Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali …………………………… 61

4.10 Rencana Tindak Lanjut …………………………………………….. 64

Page 12: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xii

V SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 65

5.1 Simpulan …………………………………………………………. 65

5.2 Saran ………………………………………………………………… 66

VI DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 67

Page 13: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiii

DAFTAR TABEL

No Judul Tabel Halaman

1.1 Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk

dalam 16 tahun ……………………………………………… 21

1.2 Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat

pemotongan sapi betina produktif di Indonesia ……………… 23

1.3 Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi

Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam

Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali. 28

4.1 Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit ……… 31

4.2 Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali ……………… ……… 32

4.3 Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina …………. 33

4.4 Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi ………………… 33

4.5 Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive ……… 34

4.6 Penting tidaknya memelihara sapi bibit ……………………... 35

4.7 Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit ………. 36

4.8 Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Bibit ……………………………………. 38

4.9 Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif ... 40

4.10 Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015 ……………… 44

4.11 Penyebaran Jagal di Bali …………………………………….. 50

4.12 Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015

(Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali,

2015) ………………………………………………………….. 52

Page 14: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiv

DAFTAR GAMBAR

No Judul Gambar Halaman

2.1 Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa

kelamin …. …………………………………………………… 7

2.2 Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin …… 7

2.3 Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata ……… 8

2.4 Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata … 8

2.5 Dampak pemotongan sapi betina produktif ………………… 18

2.6 Analisis impor sapi dan daging sapi …………………………. 24

4.1 Lokasi RPH dan TPH di Bali ………………………………… 41

4.2 Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan

peluang terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya 45

4.3 Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya

dalam empat tahun berikutnya ……………………………… 46

4.4 Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal,

Badung ……………………………………………………… 48

4.5 Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten

Karangasem ………………………………… ……………….. 50

4.6 Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina

produktif yang akan dipotong di RPH Pesanggaran

(Denpasar) ……………………… …………………………… 49

4.7 Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani ……. 51

4.8 Alasan eksternal peternak menjual sapi betina ……………… 52

4.9 Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina ………….. 53

4.10 Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif … 53

4.11 Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi

pemerintah …………………………………………………… 54

4.12 Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina

produktif ……………………………………………………… 54

4.13 Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri

dari unsur kepolisian, khususnya Polda Bali ………………… 55

4.14 Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke

konsusmen ……………………………………………………. 62

Page 15: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Suwono (2011) menyatakan, bahwa 70% kebutuhan daging nasional yang

mencapai sebesar 100 ribu ton per tahun, dipenuhi dari daging impor, hanya 30%

yang dipasok dari industri dalam negeri. Salah satu penyebab rendahnya

kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, adalah

tingginya jumlah pemotongan sapi betina produktif yang mencapai 200 ribu ekor

per tahun. Kondisi tersebut diperkirakan sebagai salah satu penyabab tidak

tercapainya swasembada daging yang telah diprogramkan sejak 2005.

Direktorat Jenderal Peternakan (2010) mencatat bahwa 40% dari 1,7 juta

ternak yang dipotong adalah betina. Dari 40% tersebut, sebanyak 25% di antaranya

adalah betina produktif. Hal tersebut berarti sekitar 10% dari jumlah sapi yang

dipotong adalah sapi betina produktif, atau setara dengan 170 ribu ekor setiap tahun.

Apabila kondisi tersebut dibiarkan terus berlangsung maka populasi sapi dalam negeri

semakin menurun.

Badan Pusat Statistik Bali (2013) menunjukkan bahwa populasi sapi bali pada

tahun 2006 adalah sebanyak 257.551 ekor jantan dan 355.690 ekor betina. Pepulasi

tersebut menjadi 267.032 ekor jantan dan 384.184 ekor betina pada tahun 2012. Hal

tersebut berarti bahwa terjadi peningkatan populasi sapi jantan sebesar 3,68% dan sapi

betina 8,01% dalam kurun waktu 5 tahun. Namun dalam waktu setahun (2012-2013)

populasi sapi jantan menjadi 185.489 ekor atau menurun sebesar 30,54%. Sedangkan

sapi betina menjadi 292.657 ekor atau menurun sebesar 23,82%. Belum ada data yang

pasti tentang populasi sapi bali di Bali pada tahun 2014, namun beberapa media telah

memberitakan bahwa populasi sapi bali menurun cukup dratis. Penurunan populasi

sapi bali di Bali dapat berpengaruh terhadap meningkatnya impor sapi, yang pada

akhirnya akan berdampak terhadap penggunaan devisa Negara. Karena Bali

merupakan salah satu provinsi penting sebagai penghasil daging nasional.

Sesungguhnya upaya pengendalian pemotongan sapi betina produktif telah

dimulai sejak zaman Belanda. Terbukti dari adanya peraturan perundang-undangan

pelarangan pemotongan ternak betina produktif yang tertuang dalam Staatblad No. 614

Pasal 2 Tahun 1936. Kemudian dipertegas dengan Instruksi Bersama antara Menteri

Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 1979 tentang Pencegahan dan

Page 16: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 2

Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau

Betina Bibit. Di samping itu dalam Staatblad tahun 1936 dijelaskan juga bahwa

dilarang menyembelih atau menyuruh menyembelih ternak besar bertanduk (sapi dan

kerbau) yang betina. Bahkan menurut UU No 18 tahun 2009, yang direvisi menjadi

Undang-Undang No 41 tahu 2014, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan

mengatakan bahwa pemotongan sapi betina produktif merupakan tindakan yang salah

dan pelakunya dapat diancam 6 bulan kurungan. Artinya bahwa yang memotong dan

yang menyuruh sama-sama dapat sangsi hukum. Alasan dan tujuan larangan tersebut

yaitu untuk mencegah penurunan perkembangan ternak sapi dan kerbau, menjamin

kelestarian dan meningkatkan produksi serta mencegah menurunnya jumlah populasi

ternak sapi dan kerbau.

Secara nasional upaya tersebut hampir tidak memberikan hasil apapun, terbukti

masih tingginya indikasi pemotongan sapi betina produktif yang mencpai sekitar 10%

dari sapi yang dipotong dan tidak adanya “jagal” atau tukang potong sapi yang

dihukum. Di Sumatra Barat, pemotongan sapi betina produktif mencapai 10.000 ekor

tahun 2009. Kondisi di Bali tidak jauh berbeda, karena pemotongan sapi betina

produktif nampaknya tetap dan terus berlangsung setiap hari.

Suci Emilia Fitri (2010), menyatakan bahwa populasi sapi di Indonesia, tidak

lebih dari 10% jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan populasi sapi di

Selandia Baru yang mencapai 12 juta ekor atau empat kali jumlah penduduknya yang

kurang dari 4 juta orang. Kondisi tersebut menyebabkan hingga saat ini, Indonesia

masih kekurangan daging sapi, sehingga harus mengimpor sapi hidup maupun daging

sapi, untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Gita Wirjawan pada tahun 2011 yang

mengatakan bahwa 3-4 tahun mendatang Indonesia akan kehabisan stok sapi jika tidak

menggenjot produksi dalam negeri atau impor. Gita memperkirakan stok sapi nasional

saat itu hanya berada di angka sekitar 13 juta hingga 14 juta ekor, sementara kebutuhan

konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 3-4 juta ekor per tahunnya. Kondisi tersebut

menyebabkan jumlah ternak sapi Indonesia telah berkurang sebanyak 2,4 juta ekor

dalam dua tahun terakhir. Penurunan drastis jumlah ternak sapi tersebut kemungkinan

besar disebabkan oleh tingginya pemotongan sapi betina produktif.

Page 17: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 3

Suardana, dkk. (2013) menyatakan bahwa persentase sapi bali betina yang

dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif. Kondisi yang hampir sama juga

terjadi di RPH Mambal, bahwa persentase sapi bali betina produktif yang dipotong di

RPH tersebut sebesar 67,49%. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka populasi sapi bali

akan cenderung terus berkurang dan suatu ketika, bukan tidak mungkin plasma nuftah

sapi bali akan hilang. Padahal sapi bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia, yang

memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan sapi lainnya.

Secara umum diperkirakan bahwa penyebab utama terjadinya pemotongan sapi

betina produktif, adalah motif ekonomi. Namun belum ada data yang pasti tentang hal

tersebut, termasuk solusi untuk mencegah terjadinya pemotongan sapi betina

produktif, sehingga pemotongan sapi betina produktif terus berlanjut. Terkait dengan

kondisi itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Upaya Mengatasi Terjadinya

Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi

Berkelanjutan di Bali”. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah

dan masyarakat serta akademisi, untuk mencapai program PSDS di Indonesia, yang

telah diwacanakan sejak 2005 namun hingga kini belum pernah tercapai.

1.2. Rumusan Masalah

Untuk menetapkan langkah atau upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah

pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka perlu diketahui dengan baik dan benar

tentang penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Terkait dengan hal

tersebut, maka setidaknya terdapat tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian

ini, antara lain:

1) Berapa jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali?

2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali?

3) Bagaimana tingkat efektivitas kebijakan pemerintah selama ini untuk

mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina

Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali,

bertujuan untuk mengetahui:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

Page 18: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 4

2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali.

1.4. Luaran yang Diharapkan

Keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi

Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada

Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain data dan informasi tentang:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

2) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif di

Bali.

3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan

sapi betina produktif di Bali.

1.5. Manfaat dan Dampak

Perkiraan manfaat dan dampak dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi

Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada

Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain:

1.5.1. Manfaat

a) Manfaat untuk pemerintah: (1) sebagai dasar pertimbangn dalam

mengambil langkah kebijakan untuk mengantisipasi pemotongan sapi

betina productive di masa mendatang; (2) mempercepat tercapainya

program PSDS.

b) Manfaat untuk akademinisi: sebagai bahan kajian ilmiah atau penelitian

dalam memperluas khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan

pemotongan sapi betina productive.

c) Manfaat untuk peternak: meningkatkan pengetahuan tentang dampak

pemotongan sapi betina productive.

1.5.2. Dampak

Dampak yang berpeluang akan terjadi dari implementasi hasil penelitian ini

antara lain:

1. Berkurangnya pemotongan sapi betina productive;

2. Meningkatnya populasi sapi bali di Bali;

3. Tercapainya program PSDS secara berkelanjutan;

Page 19: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 5

4. Tercapainya Bali sebagai sumber atau pusat penyedia bibit sapi bali

berkualitas baik, secara nasional;

5. Mengurangi penggunaan devisa negara untuk import daging sapi.

1.6. Lingkup Kegiatan

Lingkup kegiatan penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan

Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di

Bali, meliputi: (1) Perencanaan penelitian; (2) pelaksanaan penelitian, meliputi: (a)

Pengambilan data penelitian, (b) Analisis data penelitian, (c) Pelaporan, (d) Seminar

hasil penelitian, dan (e ) Publikasi ilmiah.

Page 20: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 6

III. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Sapi Bali

Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai masa depan

ekonomi yang cerah (a promising economic future) dan telah tersebar di 26 Provinsi

(Gunawan, dkk., 2014). Merupakan domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syndicus

Bos sondaikus) yang telah terjadi sejak zaman prasejarah. Karakteristik sapi bali

hampir sama dengan banteng (Bos sondaikus). Perbedaannya hanya pada bentuk badan

sapi bali yang lebih kecil dibandingkan dengan banteng. Hal tersebut terjadi sebagai

akibat dari proses penjinakan, yang menyebabkan bentuk tubuh sapi bali, menjadi

lebih kecil, dibandingkan banteng yang asli, yang kini masih banyak hidup liar di

Taman Nasional Ujung Kulon, Baluran, dan Alas Purwo. Berat dan tinggi gumba sapi

bali menjadi lebih rendah dibandingkan dengan banteng. Semula yang beratnya

mencapai 900 kg per ekor menjadi hanya 700 kg per ekor. Demikian pula tinggi gumba

yang semula 170 cm, menjadi hanya 145 cm pada sapi bali (Prefer & Sinaga, 1964;

Oka, 1991 dalam Gunawan, dkk., 2004). Taksonomi sapi bali termasuk Ordo:

Artiodactyla, Kelas: Ruminansia, Family: Bovidae, Genus: Bos dan Species:

Javanicus (Berata, 2008).

Sapi Bali, yang sering disebut “Balinese Cow”, memiliki berbagai keunggulan,

sangat menarik dan potensial untuk dikembangkan (Suharto, 2006). Secara umum ciri

sapi bali adalah: warna bulu kuning kemerah-merahan atau merah bata, pendek, halus

dan licin sejak lahir. Memiliki bulu berwarna hitam pada pungung yang membentuk

garis dari punggung hingga ke pangkal ekor, sehingga sering disebut garis punggung.

Ciri yang paling khas adalah cermin atau mirror yaitu bulu berwarna putih pada pantat

dan di bawah lutut. Warna putih pada lutut ke bawah, menyebabkan sapi bali sering

disebut sapi yang selalu menggunakan “kaos kaki”.

Ciri lainnya adalah warna bulu telinga putih, bulu ekor hitam, moncong

kehitam-hitaman, tidak berpunuk. Warna bulu sapi bali yang jantan, akan berubah dari

merah bata sebelum dewasa (Gambar 2.1) menjadi hitam, ketika sudah mulai dewasa

kelamin, sekitar umur 12-18 bulan (Gambar 2.2). Perubahan warna bulu tersebut

terjadi secara perlahan, mulai dari kepala menuju ke pangkal ekor sampai pada

Page 21: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 7

akhirnya seluruh bulu berwarna hitam pekat, kecuali warna bulu bagian pantat, lutut

ke bawah dan telinga.

Gambar 2.1. Sapi Bali jantan berwarna

merah bata sebelum dewasa kelamin

Gambar 2.2. Sapi Bali jantan berwarna

hitam setelah dewasa kelamin

Warna hitam pada sapi jantan akan berubah kembali menjadi merah, secara

perlahan mulai dari pangkal ekor menuju ke arah kepala, apabila sapi tersebut di

kastrasi. Namun sekarang sangat jarang peternak melakukan kastrasi, karena

nampaknya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Hal tersebut dapat

dimengerti karena setelah dikastrasi, kemungkinan besar akan mengalami stress,

sehingga mempengaruhi nafsu makan ternak, yang pada akhirnya akan berdampak

pada laju pertumbuhan ternak. Dengan demikian nampak jelas bahwa perubahan

warna bulu pada sapi bali jantan memiliki hubungan yang erat dengan sistem hormonal

sapi bali, khususnya karena tidak diproduksinya hormon testosteron, hormon yang

berhubungan dengan reproduksi ternak, yang dihasilkan oleh testis (Haryana, 1989).

Sedangkan warna merah bata sapi bali betina tidak mengalami perubahan (warna

konstan) selama hidupnya.

Warna tersebut merupakan warna standar sapi bali (Oka, 2006), yang tidak

akan pernah berubah sejak lahir sampai mati (Gambar 2.3 & 2.4). Selanjutnya

pemerintah dalam rangka pelestarian kemurnian sapi bali, menetapkan warna standar

sapi bali antara lain (Gunawan, dkk., 2004): (1) Warna putih pada kedua paha

belakang; (2) Warna putih pada persendian loncat dari keempat kaki; (3) Garis hitam

pada jalur garis punggung dan (4) Warna hitam di bagian ujung ekor. Pada kasus

tertentu juga terdapat warna sapi bali yang tidak standar, antara lain: (1) Sapi Injin

yaitu sapi baik jantan maupun betina sejak lahir, hingga dewasa berwarna hitam, dan

sifat tersebut menurun secara dominan; (2) Sapi poleng, yaitu sapi yang lahir ada

Page 22: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 8

kelainan pada ekor dengan warna, bercak-bercak putih, juga menurun secara dominan;

(3) Sapi cundang, yaitu sapi yang sejak lahir memiliki gugusan warna putih pada

bagian muka, yang bersifat dominan; (4) Sapi putih (albino) sering disebut sapi bule,

yaitu sapi yang lahir hingga dewasa berwarna putih (albino), bersifat resesif; (5) Sapi

gading, yaitu sapi yang sejak lahir hingga dewasa memiliki warna bulu dan kulit yang

putih pada bagian moncongnya. Sifat-sifat sapi gading menurun secara resesif; (6)

Sapi panjut, yaitu sapi yang sejak lahir, ujung bulu ekornya berwarna putih, namun

sifat tersebut tidak menurun; dan (7) Sapi tul-tul yaitu sapi yang sejak lahir berwarna

tul-tul atau abu-abu, dan sifat inipun juga tidak menurun.

Gambar 2.3. Sapi Bali betina sebelum

dewasa berwarna merah bata

Gambar 2.4. Sapi Bali betina setelah

dewas, tetap berwarna merah bata

2.2. Keunggulan Sapi Bali

Sapi Bali lebih unggul dibandingkan dengan sapi lainnya, dalam berbagai hal

seperti:

1. Angka kelahiran antara (40-85)%, yang ditunjang dengan calving interval yang

relative cepat (379 hari), serta kemampuan menghasilkan embrio (super ovulasi)

antara 7-14 buah, sehingga melalui embryo transfer seekor sapi jantan dapat

menghasilkan keturunan sebanyak 30 ekor per tahun, sehingga populasi sapi Bali

dapat berkembang dengan cepat (Gunawan, dkk., 2004).

2. Induk Sapi Bali memiliki kesuburan yang tinggi antara (82-86)%, terbukti bahwa

sapi Bali yang dikirim puluhan tahun lalu ke NTT, NTB dan Sulawesi Selatan

dapat berkembang pesat, bahkan populasinya di daerah tersebut melebihi populasi

sapi Bali di Bali.

Page 23: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 9

3. Memiliki daya adaptasi terhadap lingkunggan (heat tolerance) yang besar karena

memiliki tata lintas air yang kecil dengan daya simpan air yang besar, sehingga

daya tahan tubuh menjadi sangat tinggi, tahan terhadap cekaman cuaca panas.

4. Daya cerna unsur N (nitrogen) yang tinggi terutama dalam hijauan bergizi rendah,

karena memiliki kadar urea darah yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan

jenis sapi lainnya. Sapi Bali juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam

mencerna pakan berserat kasar tinggi.

5. Memiliki persentase karkas yang mencapai 56,6% dengan rasa daging yang lembut

dan gurih, karena kadungan lemak dalam dagingnya relative rendah antara 2-6,9%.

Sapi Bali mampu menghasilkan daging dengan kualitas “Prime Karkas” yaitu

karkas yang berkualitas prima (Gunawan, 2004).

6. Sebagai ternak kerja, khususnya di bidang pertanian, yang digunakan untuk

mengolah lahan sawah maupun lahan kering. Penggunaan sapi Bali sebagai

tenagan kerja mengolah lahan umumnya digunakan secara berpasangan dan untuk

satu ha lahan tegalan diperlukan waktu sekitar 4 hari. Penggunaan sapi Bali sebagai

tenaga pengolah lahan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembalian

tenaga kerja, sehingga menjadi lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan

tenaga kerja manusia. Selain digunakan mengolah lahan pertanian, di beberapa

tempat sapi bali juga sering digunakan untuk menarik gerobak untuk mengangkut

hasil pertanian ataupun barang lainnya. Namun dengan perkembangan alat

transportasi masa kini, maka penggunaann sapi Bali sebagai tenaga kerja

pengangkut barang mulai berkurang.

7. Sebagai “Pabrik Hidup” atau “Bio-Factory” untuk menghasilkan pupuk organik

(Wiguna & Inggriati, 2007). Tidak ada duanya di dunia, bahwa ternak termasuk

ternak sapi merupakan pabrik hidup dari pupuk organik, karena mampu

memproses bahan organik dalam waktu yang ralatif singkat, kurang dari 24 jam

menjadi pupuk organik atau setidaknya menjadi bahan pupuk organik yang

berkualitas tinggi. Selain itu ternak sebagai penghasil pupuk organik, juga tidak

mengenal hari libur apapun, untuk tetap selalu berproduksi. Keunggulan sapi bali

dibandingkan sapi lainnya sebagai penghasil pupuk organik, adalah karena

kemampuannya mengolah bahan organik berkualitas rendah menjadi sumber

pakan sekaligus sebagai sumber bahan baku pupuk organik. Keunggulan lainnya

Page 24: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 10

dalam menghasilakan pupuk organik adalah jumlah pakan yang dihabiskan,

terutama oleh ternak betina yang mencapai setidaknya 10% dari bobot badannya

per ekor per hari. Dengan demikian akan mampu menghasilan bahan baku pupuk

organik yang juga cukup banyak, dapat mencapai setidaknya 25-30 kg feses segar

per ekor per hari untuk sapi jantan dengan bobot badan sekitar 300 kg. Selain itu

sapi juga menghasilkan bahan pupuk organik dalam bentuk cair, berupa urine atau

air kencing sapi, yang merupakan bahan baku pupuk organik cair berkualitas

prima, karena memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi terutama N yang

sangat dibutuhkan tanaman dan memiliki kandungan hara mikro yang cukup

lengkap (Wiguna, dkk., 2007). Karena analisis terhadap bio-urine yang dihasilkan

petani mengandung N-NO3 berkisar antara 27,6 dan 60,1 ppm; NH3 antara 68,38

dan 525,36 ppm; total P berkisar antara 8,2 dan 72,8 ppm serta kandungan K+

berkisar antara 1.634,6 dan 1.971,6 ppm. Kualitas bio-urine tersebut tergolong

sangat baik, dengan kandungan nitrogen yang tinggi dapat menjadi sumber hara N

bagi tanaman, sehingga Bio-urine tersebut berpeluang menggantikan pupuk urea.

Pengakuan petani di Subak Wangaya Betan juga menyatakan bahwa penggunaan

pupuk organik padat sebanyak 2 ton per ha dan 600 liter bio-urine, telah cukup

memenuhi kebutan tanaman akan hara, sehingga tidak memerlukan tambahan

pupuk anorganik baik urea, SP36 maupun KCl.

2.3. Kelemahan Sapi Bali

Perkembangan ambing sapi betina relatif kurang baik. Mungkin hal tersebut

yang menyebabkan sapi Bali bukan sebagai sapi tipe perah atau sapi penghasil susu

yang baik. Produksi susu sapi Bali berkisar antara 0,9-2,8 kg per hari, sehingga dapat

menyebabkan pedet akan kekurangan air susu, yang pada akhirnya dapat

menyebabkan kematian, terutama kelahiran pada musim kering (Soehaji, 1991), atau

setidaknya akan dapat mengganggu pertumbuhan pedet. Kelemahan lain sapi Bali

adalah sifat atau prilaku agresif dari sapi jantan, yang dapat membahayakan. Karena

prilaku tersebut terkadang dapat menyebabkan kecelakaan bagi peternak, maupun

orang lain, seperti ditanduk, ditendang, yang terkadang dapat menyebabkan kematian.

Agresifitas sapi Bali, berkaitan dengan hormon androgen yang dihasilkan oleh sel-sel

Leydig testis sapi jantan dewasa, karena semakin tinggi hormon testosteron yang

dihasilkan maka keagresifan sapi Bali akan semakin tinggi (Sayang Yupardi, 2009).

Page 25: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 11

Beberapa peneliti menyatakan bahwa ada interaksi antara kualitas pakan dengan

tingkat agresifitas sapi. Sapi dengan pakan berkualitas tinggi umumnya lebih agresif

dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah.

Serangan penyakit cacing hati (Faciola gigantica) merupakan salah satu

kelemahan sapi Bali terhadap parasit. Sehingga sangat merugikan, karena dapat

menyerang jaringan hati, dan sering menyebabkan penyakit kronis dan mematikan

(Sweta, 1982). Selanjutnya serangan penyakit Jembrana, merupakan kelemahan

lainnya dari sapi Bali, karena sapi Bali sangat rentan terhadap serangan penyakit

Jembrana. Sekalipun penyebab penyakit Jembrana telah ditemukan, namun penyakit

tersebut belum tuntas sampai saat ini, karena terhambatnya proses pembuatan vaksin,

akibat dari sulitnya menumbuhkan virus Jembrana di luar tubuh sapi (Hartiningsih,

2006). Penyakit lain yang juga rentan pada sapi Bali adalah penyaklit Ingusan, Bali

ziekte dan diare. Rendahnya kemampuan sapi Bali mencerna bahan organik, juga

merupakan salah satu kelemahan sapi Bali. Selain itu sapi Bali juga sulit hidup dengan

baik jika berdampingan dengan domba.

2.4. Pengertian Sapi Betina Produktif

Menurut Undang Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2009 tentang

peternakan dan kesehatan hewan, bahwa yang dimaksud dengan sapi betina produktif

adalah ternak sapi yang melahirkan kurang dari lima kali atau berumur di bawah

delapan tahun. Undang Undang tersebut juga mengatur mengenai pelarangan terhadap

pemotongan sapi betina produktif. Apabila hal tersebut dilanggar, maka ada sangsi

dari yang paling ringan yaitu peringatan tertulis, sampai yang terberat yaitu paling

sedikit Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dan paling banyak 25.000.000 (dua puluh lima

juta rupiah). Ketentuan pelarangan tersebut tidak berlaku apabila ternak betina

memiliki kondisi seperti berikut: 1) Berumur lebih dari delapan tahun atau sudah

beranak lebih dari lima kali; 2) Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan

atau tenaga asisten control teknik reproduksi di bawah penyeliaan dokter hewan; 3)

Mengalami kecelakaan yang berat; 4) Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis dan

dapat menurun pada keturunannya, sehingga tidak baik untuk ternak bibit; 5)

Menderita penyakit menular yang menurut dokter hewan pemerintah harus dibunuh

atau dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah penyebaran penyakitnya,

Page 26: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 12

atau menderita penyakit yang dapat mengancam jiwa ternak sapi tersebut; 6)

Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali).

Pelarangan pemotongan sapi betina produktif merupakan salah satu upaya

untuk mencegah menurunnya populasi ternak sapi, yang dapat mengancam kelestarian

sumber bibit sapi. Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi yang dihandalkan untuk

memenuhi kebutuhan daging nasional, sehingga pelarangan terhadap pemotongan sapi

betina produktif merupakan hal yang sangat penting. Terkait dengan hal tersebut maka

pengetahuan pelaku tentang dampak pemotongan sapi betina produktif sangat

dibutuhkan agar dapat mentaati pelarangan tersebut.

Secara teoritis Bestable dalam Muchlisin (2013) menyatakan, bahwa

pengetahuan adalah hasil dari ranah yang terjadi setelah seseorang melakukan

penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera

manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa. Sebagian

besar pengetahuan manusia melalui mata dan telinga. Pengertian lainnya tentang

pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui

pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya

untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan

sebelumnya.

Ahli lain mengatakan pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan terwujud

dalam jiwa dan pikiran seseorang karena adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan

dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan tersebut meliputi emosi, tradisi,

keterampilan, informasi, kaidah, dan pikiran (Adlany, 2014). Lebih jauh Adlany

(2014) juga mengemukakan bahwa dalam pengetahuan terdapat dua aspek yang

berbeda, antara lain: (1) Aspek yang diperoleh, yaitu pengetahuan yang mencakup

tradisi, keterampilan, informasi, pemikiran, dan kaidah-kaidah yang diyakini oleh

seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi kehidupan; (2) Aspek

realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan diasumsikan sebagai suatu

realitas yang senantiasa berubah, dan perolehan itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi

ini, seseorang mengetahui secara khusus fenomena yang beragam, kemudian ia

membandingkan fenomena tersebut satu sama lain dan memberikan pandangan atas

fenomena tersebut, selanjutnya menyiapkan diri untuk mendapatkan pengetahuan baru

yang lebih global.

Page 27: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 13

Wikipedea (2014), secara lebih rinci dikemukakan tentang berbagai faktor

yang berpengaruh terhadap pengetahuan, seperti pendidikan, media dan informasi.

Pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan seseorang karena pendidikan mampu

mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok, serta pendidikan juga mampu

mendewasakan seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selanjutnya peran

media dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang terletak pada jangkauan media

seperti televisi, radio, surat kabar yang demikian luas, serta peran media dalam

mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa.

Selanjutnya peran informasi dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang, terletak

pada peran informasi sebagai sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang

menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Mengacu pada berbagai definisi

tentang pengetahuan, maka pengetahuan pelaku pemotongan sapi betina produktif

adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran atau jiwa seorang petenak sapi, yang

berkaitan dengan adanya pemotongan sapi betina produktif sebagai bentuk interaksi

seorang peternak dengan lingkungan sekitarnya.

2.5. Dampak Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif.

Kondisi ekonomi peternak dalam penelitian ini adalah bagaimana cara

peternak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi keluarga seperti

kebutuhan akan pangan, sandang, rumah, dan untuk anak sekolah, dapat mendorong

peternak untuk menjual komuditi yang dimilikinya, termasuk ternak sapi. Kebutuhan

yang mendesak dapat menyebabkab peternak harus menjual tenak sapinya, walaupun

kondisi sapi tersebut sedang bunting atau masih produktif. Hal tersebut sesuai dengan

hasil penelitian Inggriati (2014) bahwa, faktor ekonomi keluarga berhubungan positif

dengan perilaku peternak dalam menerapkan teknis dan manajemen produksi sapi bali

perbibitan. Hal tersebut berarti bahwa semakin banyak kebutuhan ekonomi keluarga,

maka peternak akan beternak sapi semakin banyak dengan tujuan untuk sewaktu-

waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

2.6. Kebijakan pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktive

Kebijakan pemerintah yang mendukung keberhasilan usaha ternak sapi bali

perbibitan, seperti penyediaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan

Page 28: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 14

penyelamatan betina produktif dengan cara memberikan insentif pada peternak sapi

sebesar Rp. 500.000,- per ekor sapi bunting milik petani, diharapkan dapat

meningkatkan motivasi peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi perbibitan

Ditjen Peternakan (2010). Semakin kuat motivasi peternak, akan semakin baik

perilakunya seperti pengetahuan semakin meningkat, sikap semakin positif, dan

keterampilan semakin baik dalam menjalankan usaha ternak (Herzberg dalam

Sudrajat, 2008).

Perilaku yang semakin baik dalam mengusahakan peternakan sapi bali

perbibitan, akan dapat mengurungkan niat peternak untuk menjual sapi betina yang

masih produktif, karena diyakini akan melahirkan anak sapi yang dapat dijual sebagai

sumber pendapatan keluarga. Perilaku yang baik dalam beternak sapi bali perbibitan

di Bali, akan dapat meningkatkan populasi sapi bali, yang pada gilirannya dapat

mendukung Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (PSDS).

Kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif telah diatur

dalam UU No. 18/2009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya

pengembangan peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program

penyelamatan dan atau penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya

pemerintah untuk tetap mencegah terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri.

Hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat salah satu kriteria penunjang

keberhasilan program swasembada daging adalah ketersediaan bibit sapi potong secara

berkelanjutan. Namun upaya tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik, karena

terbukti pemotongan sapi betina produktif demikian tinggi.

2.7. Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif

Kebutuhan daging secara nasional semakin meningkat seiring dangan laju

pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan pendidikan yang lebih maju,

kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat, serta meningkatnya

jumlah penduduk di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pemotongan sapi dari

berbagai breed juga semakin meningkat. Rochadi Tawaf, dkk (2013) melaporkan bahwa

selama Juli-Agustus 2013, telah dilakukan pengamatan terhadap 10.882 ekor sapi yang

dipotong di 20 buah RPH di Jawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdapat beberapa

jenis sapi lokal yang dipotong di RPH antara lain: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi

Jawa/Peranakan Ongole (PO), Sapi silangan Lokal dengan Brahman, Sapi silangan

Page 29: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 15

Lokal dengan Brahman dan Angus (Brangus), Sapi silangan Lokal dengan Simmental

(SIMPO), Sapi silangan Lokal dengan Limmousin (LIMPO), dan Peranakan Friesian

Holsten (PFH), sedangkan untuk jenis sapi impor adalah ACC (Australia Commercial

Cross).

Hasil penelitian Rochadi Tawaf, dkk. (2013) juga mendapatkan bahwa sapi

yang didistribusikan ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang dipotong selama periode

pengamatan terdiri atas 73,59% sapi lokal (8.008 ekor) dan 26,41% sapi impor (2.874

ekor). Selanjutnya juga diketahui bahwa sapi lokal betina umur produktif yang

dipotong di 20 RPH tersebut adalah sebanyak 2.489 ekor atau sekitar 31,08% dari

jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Sapi betina yang dipotong tersebut

sebanyak 65,29% (1.623 ekor) memiliki bobot antara 117 kg–354 kg dengan umur

kurang dari 4 tahun.

Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Danny

Suhadi di Kupang (Antara, 3 Mei 2015), bahwa angka pemotongan sapi betina

produktif atau bunting, menjadi salah satu tantangan bagi tekad Pemerintah Provinsi

NTT menjadi Provinsi Ternak, karena angka pemotongannya mencapai 65% atau lebih

tinggi secara nasional yang hanya sekitar 28%. Lebih jauh ditegaskan bahwa

dampaknya adalah hilangnya potensi kesempatan tambahan populasi dan kelahiran

sebanyak 60 ekor sapi setiap pemotongan 100 betina produktif.

Suardana, dkk. (2013) juga menyatakan hal yang senada bahwa persentase sapi

Bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif yakni dengan

rincian: umur 0-1 tahun (9,45%), umur 1,5-2 tahun (16,92%), umur 2-2,5 tahun

(26,87%), umur 3-3,5 tahun (10,91%), umur 3,5-4 tahun (26,87%) dan umur > 4 tahun

(1%). Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh Suardana, dkk. (2013) di RPH

Mambal, bahwa persentase sapi Bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut

sebesar 67,49% dengan rincian: umur 0-1 tahun (13,3%), umur 1,5-2 tahun (15,27%),

umur 2-2,5 tahun (11,33%), umur 3-3,5 tahun (8,87%) dan umur 3,5-4 tahun (18,72

%). Dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terlihat sebanyak 201 ekor

(81,71%) berjenis kelamin betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan.

Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang

dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang

sisanya 29 ekor (12,5%) berjenis kelamin jantan.

Page 30: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 16

Wiji Nurhayat (2012) dalam detik.com (12 Nopember 2012) juga

mengemukakan bahwa sebanyak 30% sapi betina produktif dipotong di Jakarta. Hal

tersebut dibenarkan oleh Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI)

alias Asosiasi Jagal Indonesia membenarkan isu soal pemotongan sapi betina

produktif. Sebanyak 30% dari 1.200 sapi betina produktif dipotong di DKI Jakarta.

Selain itu, Abud juga mengatakan bahwa, kondisi lebih parah terjadi di Jawa Timur,

karena pemotongan sapi Jawa dan sapi Bali betina produktif mencapai 60%.

Sebelumnya Menurut Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013)

melaporkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan

mencapai 150.000–200.000 ekor.

Memperhatikan dan menyimak data hasil penelitian yang dilakukan para

peneliti, menunjukan betapa tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif yang

dilakukan di Indonesia. Kondisi tersebut akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.

Tidak mengherankan jika program pemerintah tentang swasembada daging yang

dicanangkan sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 tidak pernah berhasil. Persoalan

tersebut, tentu tidak akan berhenti sampai di sana, karena dampak yang ditimbulkan

demikian luas, baik ekonomi maupun non ekonomi bagi bangsa Indonesia.

2.8. Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif

Puskeswan Padang Panjang (2011) yang menyatakan bahwa adalah sebuah

fakta, pemotongan sapi betina produktif paling sering terjadi pada pelaksanaan Qurban

setiap tahunnya. Pada tahun 2010 tercatat pemotongan hewan qurban di Kota Padang

Panjang berjumlah 632 ekor dan 80% di antarnya adalah sapi betina produktif.

Sedangkan faktor eksternal peternak antara lain: (a) pertumbuhan sapi yang

lambat; (b) sapi majir (tidak mau birahi/bunting); (c) sapi sering sakit; (d) sapi cacat

fisik; (e) kesempatan karena harga sapi sedang mahal; dan (f) adanya dorongan

pedagang sapi (broker). Dua alasan eksternal terakhir (kesempatan karena harga sapi

sedang mahal dan adanya dorongan pedagang sapi (broker), nampaknya sangat

berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan daging sapi di pasaran. Sejalan dengan

pernyataan Abud selaku ketua APPHI dalam detik.com (2012), bahwa meningkatnya

kelangkaan daging sapi, untuk memenuhi kuota kebutuhan daging, mau tidak mau

pihak penyedia daging memotong sapi betina sebagai alternatif.

Page 31: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 17

Alasan lain sebagai penyebab adanya pemotongan sapi betina produktif adalah

harga sapi betina yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga sapi jantan. Di

lain pihak harga daging sapi baik jantan maupun betina relatif sama, sehingga untuk

mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka pengusaha daging sapi akan

cenderung memotong sapi betina. Sejalan dengan Badan Litbang Pertanian (2011)

yang menayatakan bahwa Pemotongan sapi betina produktif dilakukan karena ada

berbagai penyebab dan alasan. Lebih jauh Badan Litbang Pertanian (2011)

menyatakan bahwa biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang

skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH “tidak resmi”. Namun, tidak jarang dapat

dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat

di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat

pincang atau buta. Dengan demikian alasan cacat fisik dapat dijadikan pembenar

dalam pemotongan sapi betina produktif.

Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan (2010) juga mengemukakan hal yang

senada bahwa salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan populasi adalah

terjadinya tindakan pemotongan sapi betina produktif yang semakin kurang terkendali.

Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara supplay dan demand sapi

potong dalam negeri serta adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak.

Didukung oleh situasi pasar yang menjadikan harga sapi betina lebih murah dari sapi

jantan. Bahkan dapat diprediksikan bahwa kecenderungan penjualan sapi betina oleh

peternak meningkat tajam ketika musim paceklik, mengingat pola beternak sapi adalah

sebagai investasi keluarga, belum sebagai komoditi bisnis. Menurunnya populasi

ternak sapi betina di masyarakat juga sebagai akibat kurangnya animo masyarakat

memelihara sapi betina karena dianggap terlalu lama untuk menghasilkan.

2.9. Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif

Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pemotongan sapi betina produktif

di Indonesia akan menyebabkan berbagai kerugian. Sebagai ilustrasi dampak akhir

dari pomotongan sapi betina produktif adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia

Indonesia. Namun apabila diteruskan maka tidak tertutup kemungkinannya akan

menyebabkan rendahnya prestasi bangsa Indonesia di dunia internasional

(Gambar2.5). Dari Gambar 2.5 nampak bahwa setidaknya terdapat dua dampak utama

Page 32: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 18

sebagai akibat pemotongan betina produktif, yaitu: (1) Dampak Non Ekonomi dan (2)

Dampak Ekonomi.

Gambar 2.5. Dampak pemotongan sapi betina produktif (Sumber: Wiguna dan Tatik,

2015)

2.10. Dampak Non Ekonomi.

Berdasarkan Gambar 2.5 dapat diketahui bahwa dampak non ekonomi yang

terjadi sebagai akibat pemotongan betina produktif adalah berkurangnya angka

kelahiran ternak sapi. Dapat dipahami dengan baik bahwa setiap ekor sapi setidaknya

akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor pada umur produktif 8 tahun. Berkurangnya

kelahiran pedet, akan menyebabkan berkurangnya populasi sapi. Buyung Syahyuti

(2012) menyatakan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi

kenyataan pengurasan ternak sapi potong terutama di wilayah-wilayah sentra produksi

sapi potong yakni NTT, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan serta seluruh propinsi di

Sumatera. Data BPS (2007) dalam Buyung Syahyuti (2012) memperlihatkan bahwa

dalam periode 1997-2007 penurunan jumlah sapi lokal dengan laju 1,1 persen per

tahun. Penurunan ini merupakan sumbangan dari pengurasan yang terjadi pada

wilayah sentra produksi Jatim, NTB dan Lampung dengan laju penurunan populasi

masing-masing 2,8%; 0,3% dan 0,8%. Sedangkan pertumbuhan yang terjadi antara

Page 33: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 19

tahun pencanangan swasembada daging sapi hingga 2007 yakni 2 tahun kemudian

untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0,004%; 2% dan 0,25% dan

Indonesia 2,5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Padahal untuk mencapai

tambahan 1.000 ekor sapi diperlukan pertumbuhan sebesar 10,1% per tahun termasuk

kematian dan pemotongan.

Kondisi tersebut akan menyebabkan berkurangnya produksi daging sapi,

sehingga kebutuhan daging untuk masyarakat tidak akan terpenuhi. Fenomena tersebut

menyebabkan rendahnya konsumsi daging di Indonesia. Suswono dalam Antara

(2010) menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih

sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Konsumsi

daging masyarakat Malaysia telah mencapai 30 kg per kapita per tahun, sedangkan

Indonesia sangat rendah yaitu hanya 7 kg per kapita per tahun. Khusus untuk konsumsi

daging sapi masyarakat Indonesia pada tahun 2010 hanya 2,72 kg/kapita/tahun dan

diperkirakan akan naik menjadi konsumsi 3,72 kg per kapita per tahun pada tahun

2020 (Bagus Fitriansyah, 2011).

Rendahnya konsumsi daging di Indonesia menyebabkan rendahnya konsumsi

protein hewani. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kualitas hidup masyarakat

Indonesia. Antara (2012) menyebutkan bahwa rendahnya konsumsi protein

masyarakat Indonesia menyebabkan banyak penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan

rentan terhadap penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein

hewani mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan

negara Asia lain. Minarto dalam Kompas (2012) mengatakan, angka pemenuhan

kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per tahun. Jumlah itu jauh

tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80 persen dan Thailand 100

persen. Gambar 2.5 juga menunjukan bahwa rendahnya konsumsi protein penduduk

Indonesia, menyebabkan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia juga rendah.

Hal tersebut ditandai dengan rendahnya Usia Harapan Hidup (UHH) masyarakat

Indonesia, yang berada pada posisi ke 137 dari 223 negara di dunia (berdasarkan

kesatuan) atau pada urutan ke 108 dari 191 negara di dunia (berdasarkan urutan PBB),

dengan tingkat UHH 70,76 tahun (World Factbook, 2011). Posisi tersebut jauh lebih

rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand,

Singapore, Philipina dan lainnya.

Page 34: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 20

Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga kali.

Kurang terpenuhinya konsumsi protein hewani, maka prevalensi orang bertubuh

pendek dan gizi kurang menjadi tinggi (Minarto, 2012). Data Unicef tahun 2009,

menyebutkan bahwa prevalensi orang pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi

kurang 18 persen dari jumlah penduduk. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia

kalah dibandingkan China (15 persen dan 6 persen), Thailand (16 persen dan 7 persen),

Filipina (34 persen dan 21 persen), serta Vietnam (36 persen dan 20 persen). Minarto

(2012) mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012. Data

Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen dari tahun

2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13 persen. Sebesar 40

persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein hewaninya berada di

bawah rata-rata nasional. Daerah tersebut antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa

Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.

Kondisi tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan kecenderungan pemotongan

sapi betina produktif di daerah-daerah sentra produksi sapi.

Selanjutnya Tabel 1 menunjukan bahwa pemotongan sapi betina produktif

menyebabkan hilangnya 62 ekor sapi dalam kurun waktu 16 tahun untuk setiap

kematian sapi produktif umur 3 tahun (saat dikawinkan pertama kali). Hal tersebut

dapat dijelaskan bahwa setiap ekor sapi betina akan melahirkan mulai umur 4 tahun

dan selanjutnya akan melahirkan seekor pedet setiap tahun, sehingga seekor sapi induk

akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor selama umur produktif 8 tahun. Pedet yang

lahir pertama, selanjutnya akan menjadi induk dan dalam masa pruduktifnya (8 tahun)

juga akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor. Demikian seterusnya saat anak sapi yang

ke-5 melahirkan sebanyak 5 kali (umur 8 tahun), maka anak pertama dari seekor induk

juga akan melahirkan anak pertama. Demikian seterusnya, hingga keturunan yang ke-

3 akan terdapat 62 ekor pedet yang berpeluang lahir dalam kurun waktu 16 tahun

(ilustrasi Tabel 1.1).

Berdasarkan peluang kelahiran, maka akan terdapat 50% sapi yang lahir adalah

betina dan 50% lainnya adalah jantan. Melalui asumsi sederhana dari 62 ekor sapi yang

lahir akan terdapat 31 ekor sapi jantan dan 31 ekor sapi betina. Dengan tingkat

mortalitas sebesar 4%, maka sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor (masing-masing

30 ekor jantan dan 30 ekor betina). Apabila seekor sapi jantan dipotong dengan berat

Page 35: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 21

badan rataan 300 kg, maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan

menyebabkan hilangnya 300 kg x 30 ekor = 9.000 kg sapi hidup. Jika seekor sapi bali

mampu menghasilkan 53% karkas (Maria, dkk., 2011), maka setiap pemotongan

seekor sapi bali betina produktif pada umur 3 tahun akan menyababkan kehilangan

4.770 kg karkas. Selain kehilangan daging yang bersumber dari sapi jantan, maka sapi

betina yang telah berusia tidak produktif (lebih dari 8 tahun) juga dapat menyediakan

daging, karena telah diperkenankan untuk dipotong.

Tabel 1.1

Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun

Apabila seekor sapi induk yang telah tidak produktif di potong akan

menghasilkan daging atau karkas yang jumlahnya juga sama dengan sapi jantan yaitu

4.770 kg. Dengan demikian pemotongan seekor sapi betina produktif akan

menyebabkan kehilangan sebanyak 9.740 kg karkas. Apabila konsumsi daging sapin

masyarakat Indonesia yang diprediksi sebesar 3,72 kg/kapita/tahun (Bagus

Fitriansyah, 2011), maka setiap pemotongan seekor sapi betina produktif akan

menghilangkan peluang atau kesempatan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging

sapi sebanyak 2.565 orang selama 16 tahun atau 160 orang setiap tahun. Padahal

kenyataan yang ada saat ini konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia hanya 2,72

kg per kapita per tahun, sehingga akan lebih banyak lagi hilangnya peluang masyarakat

Indonesia untuk mengkonsumsi daging sapi, sebagai akibat pemotongan seekor sapi

betina produktif. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas

suberdaya manusia Indonesia.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

JML. SAPI 30

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV 4

Lahir Tumbuh Kawin I II III 3

JML. SAPI 22

Lahir Tumbuh Kawin I II III IV 4

Lahir Tumbuh Kawin I II III 3

Lahir Tumbuh Kawin I II 2

Lahir Tumbuh Kawin I 1

Lahir Tumbuh Kawin -

JML. SAPI 10

TOTAL SAPI 62

Jml. Sapi

Lahir

(Ekor)Fase

TAHUN KE

Melahirkan ke

Page 36: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 22

2.11. Kerugian Ekonomi

Pemotongan sapi betina produktif diyakini akan menurunkan populasi sapi, yang

pada akhirnya akan menurunkan ketersediaan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta jiwa. Melalui perhitungan

sederhana yang ditunjukan dalam Tabel 2, bahwa setiap pemotongan sapi betina

produktif akan menghilangkan peluang kelahiran sebanyak 62 ekor sapi. Dengan

tingkat mortalitas (kematian) sebesar 4% maka peluang sapi yang hidup adalah

sebanyak 60 ekor. Secara genetik peluang kelahiran berdasarkan jenis kelamin adalah

50% jantan dan 50% betina. Sejalan dengan Berry dan Cromie, (2007) dalam Gatot

Prasojo, dkk. (2010) bahwa jenis kelamin anak yang dilahirkan ditentukan pada saat

fertilisasi hanya ada kombinasi antara satu gamet maternal dan dua gamet paternal

yang menghasilkan kemungkinan 50% jantan dan 50% betina (Krzyzaniak dan Hafez,

1987) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010). Sedangkan hasil penelitian Gatot Prasojo,

dkk. (2010) mendapatkan bahwa berdasarkan jumlah kelahiran sebanyak 799 ekor,

ternyata pedet jantan sejumlah 445 (55,69%) ekor lebih banyak dibandingkan dengan

pedet betina yaitu 354 (44,30%).

Mengacu pada peluang tersebut maka pemotongan seekor sapi betina produktif

akan menghilangkan peluang lahirnya 30 ekor sapi betina dan 30 ekor sapi jantan

dalam kurun waktu 16 tahun. Berdasarkan perhitungan sederhana seperti Tabel 1.2,

maka diketahui bahwa setiap pemotongan seekor sapi betina produksi akan berpotensi

menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp.461.280.000,- dalam kurun waktu 16

tahun atau sebesar Rp.28.830.000,- setiap tahun.

Mengacu pada laporan Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013)

bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun di Indonesia

diperkirakan mencapai 150.000–200.000 ekor, maka tingkat kerugian yang

ditimbulkan akan mencapai antara 4,3 – 5,7 Trilyun Rupiah lebih. Suatu tingkat

kerugian secara langsung yang sangat tinggi. Di Provinsi Bali, data pemotongan sapi

betina produktif dilaporkan oleh Suardana, dkk. (2013) dari 246 ekor sapi yang

dipotong di RPH Pesanggaran, terdapat sebanyak 201 ekor (81,71%) berjenis kelamin

betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga

ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut,

sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%)

Page 37: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 23

berjenis kelamin jantan. Selanjutnya dari 201 ekor sapi betina yang dipotong di RPH

Pesanggaran terdapat 200 ekor (99,0%) masih produktif. Sedangkan di RPH Mambal

sebanyak 157 ekor (67,49%) adalah betina produktif yang berumur kurang dari 4

tahun.

Tabel 1.2

Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina

produktif di Indonesia

Peluang kelahiran Ekor Harga (Rp)

Per ekor Total Harga

1 50% Jantan 30 5.000.000 148.800.000

2 50% Betina 30 10.500.000 312.480.000

Kerugian dalam 16 tahun dari serkor Induk 461.280.000

Kerugian per tahun sari seekor induk 28.830.000

Secara Nasional Pemotongan per tahun (ekor)

150.000 4.324.500.000.000

200.000 5.766.000.000.000

Keterangan: *) dalam waktu 16 tahun setelah seekor sapi betina produktif dipotong

Mengacu pada data pemotongan sapi tersebut maka rataan pemotongan sapi

betina produktif di Bali mencapai 83,25% dari total sapi betina yang dipotong.

Selanjutnya data pemotongan sapi di Bali pada tahun 2014 menurut Dinas Peternakan

dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2015) adalah sebanyak 18.004 ekor. Berdasarkan

angka tersebut maka tingkat pemotongan betina produktif adalah sebanyak 83,25%

dari 18.004 ekor atau 14.987 ekor pada tahun 2014. Kondisi tersebut dapat

menimbulkan kerugian sebesar lebih dari 432 Milayard Rupiah pada tahun 2014.

Sejumlah kerugian yang tidak kecil, yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai

pihak.

Kerugian ekonomi lainnya sebagai dampak pemotongan sapi betina produktif

adalah meningkatnya import sapi hidup maupun daging sapi, yang sudah pasti

memerlukan sejumlah devisa negara. Buyung Syahyudi (2011) menganalis impor sapi

dan daging sapi seperti ditunjukan dalam Gambar 2.6. Dari Gambar 2.6 tersebut

nampak bahwa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 ada kecenderungan meningkatnya

import sapi dan daging sapi.

Page 38: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 24

Gambar 2.6. Analisis impor sapi dan daging sapi (Buyung Syahyudi, 2011)

Selanjutnya Rofi Munawar kepada merdeka.com di Jakarta, Sabtu (29

Nopember 2014), mengemukakan bahwa impor sapi yang mencapai 700.000 ekor

pada tahun 2014 akan menguras devisa negara sebesar Rp 4,8 triliun hingga Rp 5

triliun. Dana tersebut, apabila dialihkan untuk pengembangan sapi lokal akan sangat

bermanfaat dalam mendorong roda ekonomi dan konsumsi daging nasional. Selain itu

penggunaan devisa negara untuk mengimpor sapi dan atau daging sapi, dapat

menyebabkan meningkatnya hutang negara dan terganggunya pembiayaan sektor

lainnya. Dampak lain yang tegolong dalam dampak ekonomi adalah menurunnya

harga sapi lokal karena kalah bersaing dengan sapi import, serta berkurangnya

pendapatan peternak, yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya

kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan sudah pasti akan membutuhkan pembiayaan

yang tidak kecil. Sangat ironis karena di lain pihak pendapatan negara akan berkurang

sebagai dampak kerugian karena pemotongan betina produktif.

Kementerian Pertanian (2010) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan

sapi betina produktif dari pemotongan yang setiap tahun mencapai 200 ribu ekor

diperlukan dana sekitar Rp1,4 triliun. Namun, kemampuan dana pemerintah saat itu

hanya sekitar Rp.350 miliar sehingga masih jauh kebutuhan . Apabila harga seekor

sapi betina rata-rata Rp.7 juta, meka pemerintah hanya mampu menyelamatkan 50.000

ekor sehingga masih jauh dari target 200 ribu ekor. Danny Suhadi di Kupang (Antara,

3 Mei 2015), Untuk menanggulangi hal ini, butuh kerja sama semua pihak terutama

Page 39: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 25

pemangku kepentingan yang berhubungan dengan peternakan, sehingga tidak saling

menunggu bahkan melempar tanggung jawab. Peluang kerugian lainnya adalah

terjadinya penularaan penyakit destruktif hewan ini menyebabkan kerugian di tingkat

petani peternak mencapai nilai 5,5 persen dari produktivitas ternak yang ekuivalen

dengan Rp 100 miliar, setiap tahun (Bisnis Bali, 2015).

Page 40: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 26

III. METODELOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

3.1.1. Waktu Penelitian

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina

Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, akan

dilaksanakan selama 289 hari, mulai 25 Pebruari 2015 sampai dengan 10 Desember

2015.

3.1.2. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Bali, antara lain

Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli,

Karangasem dan Kota Denpasar.

3.2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

3.2.1. Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap

tahun.

Teknik pengumpulan data untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif yang

dipotong di Bali setiap tahun, dilakukan dengan jalan inventarisasi jumlah sapi yang

dipotong, setiap hari di setiap lokasi (RPH dan TPH). Jumlah sapi yang dipotong akan

dibedakan menjadi dua yaitu jantan dan betina dengan umur masing-masing dalam

tahun. Data pemotongan sapi di RPH pada setiap kabupaten akan dicatat setiap hari

oleh petugas RPH, minimal dalam waktu 6 bulan. Pecatatan dilakukan berdasarkan

form isian yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah data tersebut terkumpul, maka

yang dipotong akan diklasifikasikan menjadi sapi betina productive dan tidak

productive sesuai dengan standard yang ada. Melalui perhitungan sederhana terhadap

data primer yang dikumpulkan tersebut, akan diketahui prosentase jumlah sapi betina

productive yang dipotong selama enam bulan. Berdasarkan data sekunder (Laporan

pemotongan sapi) oleh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota maka akan diketahui jumlah

sapi betina productive yang dipotong setiap tahun termasuk sebarannya, di setiap

kabupaten/kota di Bali.

3.2.2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali.

Untuk menganalisis dan mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali, akan dilakukan pengumpulan data melalui

Page 41: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 27

survey dan Focus Group Discussion (FGD), terhadap: (1) peternak yang terindikasi

pernah menjual sapi bentina productif; (2) tukang potong (jagal) baik yang resmi

maupun yang tidak resmi. Melalui analisis deskriptif kualitatif, akan diketahui faktor-

faktor yang mendominasi sebagai penyebab terjadinya pemotongan sapi betina

produktif.

3.2.3. Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi

terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

Data dikumpulkan melalui survei terhadap peternak yang terindikasi menjual

sapi betina produktif dan tukang potong atau “jagal” sapi, tentang pengetahuan, sikap

dan faktor ekonomi responden yang mendorong terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali. Melalui analisis regresi linier berganda (Rumus 1) akan diketahui

faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pemotongan sapi betina

productive di Bali. Dengan mengetahui faktor yang paling berpengaruh atau paling

menentukan tersebut maka, langkah antisipasi akan dapat dilakukan sesuai dengan

kondisi permasalahan yang ada di tingkat lapangan.

Y = a + b1X1 + b2X2 + …….bnXn ……………. Rumus 1

Y = variabel terikat (dependent variable) adalah sikap peternak

terhadap pemotongan sapi bali betina productive.

a = konstanta

b1, b2 = koefisien regresi

X1…X4 = variabel bebas (independent variable), antara lain: (1) pendidikan

peternak (X1), (2) pengalaman beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan

beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah dalam

memelihara sapi bibit (X4).

Variabel terikat (dependent variable) adalah variable yang dipengaruhi oleh

berbagai factor bebas (independent variable). Variable terikat (Y) dalam penelitian ini

adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Sedangkan

variable bebas (X1….. X4), antara lain: (1) pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman

beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah

dalam memelihara sapi bibit (X4). Jumlah responden adalah sebanyak 90 orang

peternak sapi yang pernah menjual sapi betina produktif. Responden tersebut tersebar

Page 42: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 28

di 8 kabupaten dan satu kota, dengan rincian seperti Tabel 1.3. Penetapan peternak

responden dilakukan secara kuota teracak (quota random sampling). Selanjutnya data

peternak dikoleksi melalui survey, dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur

yang telah disiapkan sebelumnya.

Untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi

terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka data juga dikoleksi dari

“jaga” sapi, serta petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan Tingkat

Kabupaten/Kota yang menangani Rumah Potong Hewan. Data dari “jagal” dan

petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota dikumpulkan melalui Focus Group

Discussion (FGD). Melalui FGD terkolekasi informasi tentang berbagai hal yang

berkaitan dengan pemotongan sapi betina produktif. Data atau informasi tersebut

antara lain meliputi: (1) jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap hari oleh

jagal; (2) factor-faktor pendorong yang menyebabkan adanya pemotongan sapi betina

produktif; (3) upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya pemotogan sapi

betina produktif; dan (4) pengetahuan jagal dan atau petugas Dinas Peternakan

Kabupaten/Kota tentang sapi beina produktif berdasarkan Undang-Undang No 41

tahun 2014.

Tabel 1.3.

Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi

Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali

No Kabupaten/Kota Peternak Jagal atau RPH

Resmi*) Tidak Resmi*)

1 Buleleng 10 Sensus Sensus

2 Jembrana 10 Sensus Sensus

3 Tabanan 10 Sensus Sensus

4 Badung 10 Sensus Sensus

5 Gianyar 10 Sensus Sensus

6 Bangli 10 Sensus Sensus

7 Klungkung 10 Sensus Sensus

8 Karangasem 10 Sensus Sensus

9 Denpasar 10 Sensus Sensus

Total 90

Keterangan:

*) Seluruh lokasi pemotongan sapi akan di survai (sensus) dan diwakili oleh seorang

responden

Page 43: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 29

Dalam penelitian ini, khususnya untuk mengetahui tingkat efektivitas

kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di

Bali, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:

5) H0 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi

betina produktif di Bali belum atau tidak efektif

6) H1 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi

betina produktif di Bali telah efektif

Untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka analisis dilanjutkan dengan

menghitung Koefisien Korelasi Berganda (R) melalui Rumus 2 dan Koefisien

Determinasi (R2). Nilai R berkisar antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai R maka

hubungan antara variable terikat dengan variable tak bebas adalah semakin kuat.

Sedangkan koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui apakah hipotesis yang

diajukan diterima, atau apakah hubungan antara dependent variable dan independent

variable tersebut nyata atau tidak nyata. Hal tersebut dapat diketahui melalui uji F,

dengan Rumus 3.

b1∑X1Y + b2∑X2Y

∑Y2

R = Koefisien Korelasi Berganda

Y = variabel terikat (dependent variable) adalah jumlah sapi bali

betina produktif yang dipotong

b1, b2 = koefisien regresi

X1, X2 = variabel bebas (independent variable)

R2 (N-k-1)

k (1-R2)

R2 = Koefisien korelasi berganda

N = Jumlah sample (responden)

k = Jumlah variable bebas

Selanjutnya F hitung dibandingkan dengan F Tabel, apabila:

F Hitung ≥ F Tabel, maka H0 diterima, artinya bahwa variable Y tidak nyata

dipengaruhi oleh variable X.

R = ………………… Rumus 2

F Hitung = ………………… Rumus 3

Page 44: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 30

F Hitung > F Tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya bahwa variable

Y tidak nyata dipengaruhi oleh variable X.

Hasil FGD dengan jagal dan petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali

dan Kabupaten/Kota akan mempertegas hasil analisis data yang berasal atau dikoleksi

dari peternak sapi bibit.

Page 45: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 31

IV. HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Peternak Sapi Bibit

4.1.1. Umur Peternak dan pengalaman beternak

Hasil penelitian menunjukan bahwa umur peternak berkisar antara 32-83

tahun, dengan rataan 52,48 tahun (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Hal tersebut

menunjukkan bahwa peternak tergolong dalam usia produktif, sesuai dengan Undang-

Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 yang menetapkan penduduk usia produktif

adalah antara umur 15 – 64 tahun. Peternak yang masih dalam usia produktif pada

umumnya memiliki semangat untuk bekerja, sehingga memungkinkan untuk diberikan

inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit.

Tabel 4.1

Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit

Uraian N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Umur (tahun) 90 32 83 52,48 11,108

Pengalaman Beternak Sapi (Th)

90 4 60 28,92 14,561

Pengalaman beternak sapi bibit (tahun)

90 3 60 21,23 14,407

Tabel 4.1 juga menunjukan tentang pengalaman peternak dalam beternak sapi

bibit yaitu berkisar antara tiga sampai 60 tahun, dengan rataan 28,92 tahun (Tabel 4.1).

Pengalaman dapat menyebabkan peternak memiliki pandangan (persepsi) tertentu

terhadap usaha ternak sapi bibit, yang diikuti oleh keinginan (motivasi) untuk

melanjutkan atau menghentikan usaha tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat

Gerungan (1996) yang menyatakan bahwa, pengalaman pada dasarnya melalui proses

yang diawali oleh rangsangan-rangsangan dari luar, melalui alat-alat pengamatan,

kemudian diteruskan kepada pusat-pusat tertentu di dalam otak, lalu menafsirkan

pengamatan tersebut.

4.1.2. Pendidikan Peternak

Pendidikan formal peternak cukup beragam yaitu dari tidak pernah sekolah

sampai perguruan tinggi. Peternak yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya

sebagian kecil yaitu sebanyak 3,3%, sedangkan pendidikan yang paling banyak yaitu

33,3% adalah pendidikan SLTA (Tabel 4.2). Pendidikan formal dapat meningkatkan

kemampuan peternak untuk berpikir lebih maju. Hal tersebut sesuai dengan hasil

Page 46: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 32

penelitian Inggriati (2014), bahwa pendidikan formal pada peternak sapi bali

perbibitan dapat meningkatkan wawasan peternak, sehingga peternak menjadi lebih

inovatif.

Tabel 4.2

Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali

No Kabupaten

Pendidikan Peternak Total Tidak

Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan

Tinggi

1 Badung 50,0% 10,0% 0,0% 40,0% 0,0% 100,0%

2 Bangli 10,0% 20,0% 20,0% 30,0% 20,0% 100,0%

3 Buleleng 0,0% 60,0% 30,0% 10,0% 0,0% 100,0%

4 Denpasar 10,0% 40,0% 40,0% 10,0% 0,0% 100,0%

5 Gianyar 10,0% 60,0% 0,0% 30,0% 0,0% 100,0%

6 Jembrana 0,0% 20,0% 20,0% 50,0% 10,0% 100,0%

7 Karangasem 40,0% 30,0% 10,0% 20,0% 0,0% 100,0%

8 Klungkung 20,0% 0,0% 20,0% 60,0% 0,0% 100,0%

9 Tabanan 0,0% 40,0% 10,0% 50,0% 0,0% 100,0%

BALI 15,6% 31,1% 16,7% 33,3% 3,3% 100,0%

4.1.3. Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina

Sebagian besar (98,9%) peternak pernah menjual sapi betina, dan hanya 1,1%

yang tidak pernah menjual sapi betina (Tabel 4.3). Berdasarkan wawancara mendalam,

bahwa dalam menjual ternak sapi betina, disebabkan karena alas an ekonomi, terutama

terkait dengan untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak sekolah, upacara

agama. Selain itu peternak juga cenderung menjual sapi betina yang dianggap majir,

cacat, atau sudah tua sudah. Sapi betina yang dianggap majir oleh peternak apabila

sapi tersebut tidak birahi hingga umur lebih dari 2,5 tahun, atau sapi birahi dan

dikawinkan berkali-kali, namun tetap bunting. Selain itu sapi betina juga dianggap

majir, walaupun sudah pernah melahirkan namun setelah dikawinkan kembali, juga

tidak bunting. Alasan tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar, karena kegagalan

kawin dapat disebabkan oleh berbagai factor, seperti wakti perkawinan yang kurang

tepat, kualitas sperma yang kurang baik, seperti banyak kasus gagalnya Inseminasi

Buatan (IB) pada sapi, yang dialami banyak peternak. Hasil wawancara mendalam

dengan peternak sapi di Kabupaten Klungkung mendapatkan bahwa lebih dari 60%

sapi yang dikawinkan melalui IB mengalami kegagalan (tidak bunting).

Page 47: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 33

Tabel 4.3

Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina

No Kabupaten

Pernah menjual sapi betina

Tidak pernah Pernah Total

1 Badung 0,0% 100,0% 100,0%

2 Bangli 0,0% 100,0% 100,0%

3 Buleleng 0,0% 100,0% 100,0%

4 Denpasar 0,0% 100,0% 100,0%

5 Gianyar 10,0% 90,0% 100,0%

6 Jembrana 0,0% 100,0% 100,0%

7 Karangasem 0,0% 100,0% 100,0%

8 Klungkung 0,0% 100,0% 100,0%

9 Tabanan 0,0% 100,0% 100,0%

BALI 1,1% 98,9% 100,0%

4.1.4. Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi Bibit

Hasil Penelitian menunjukan bahwa, sebagian besar peternak (75,6%)

menyatakan bahwa untuk memperoleh bibit sapi yang terbaik adalah dengan membeli

langsung pada peternak (Tabel 4.4).

Tabel 4.4

Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi

No Kabupaten

Cara terbaik mendapatkan sapi bibit

Total Membeli di

pasar hewan

Membeli di

peternak Kelahiran sendiri

1 Badung 0,0% 100,0% 0,0% 100,0%

2 Bangli 0,0% 80,0% 20,0% 100,0%

3 Buleleng 30,0% 70,0% 0,0% 100,0%

4 Denpasar 40,0% 30,0% 30,0% 100,0%

5 Gianyar 30,0% 70,0% 0,0% 100,0%

6 Jembrana 10,0% 70,0% 20,0% 100,0%

7 Karangasem 0,0% 70,0% 30,0% 100,0%

8 Klungkung 0,0% 100,0% 0,0% 100,0%

9 Tabanan 0,0% 90,0% 10,0% 100,0%

BALI 12,2% 75,6% 12,2% 100,0%

Cara tersebut dapat dipahami dengan baik, karena peluang peternak saling

mengenal cukup besar, terlebih mereka ada dalam satu wilayah. Kondisi tersebut juga

memberikan peluang bagi peternak untuk mengenal dengan baik tentang sapi yang

akan dibeli. Di antara peternak juga berpeluang terjalin komunikasi yang lebih baik,

sehingga beberapa kelemahan terhadap sapi yang akan dibeli, juga akan dapat

Page 48: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 34

diketahui dengan lebih baik oleh peternak yang akan membeli sapi. Namun cara

peternak membeli sapi bibit langsung kepada peternakn juga mengindikasikan

rendahnya pengetahuan peternak tentang adanya pusat pembibitan sapi Bali yang ada

di Kabupaten Jemberana, yang setiap saat dapat menyediakan bibit berkualitas baik

bagi peternak sapi di Bali.

4.1.5. Pengetahuan Peternak Tentang Sapi Betina Produktive

Sebagian besar pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif ada dalam

katagori sangat rendah (62,2%), sebanyak 25,6% rendah, dan bahkan tidak ada

peternak yang memiliki pengetahuan masuk dalam katagori tinggi maupun sangat

tinggi (Tabel 4.5). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa sosialisasi Undang-

Undang No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahu

2014, belum dilakukan secara optimal. Rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi

betina productive, dapat menyebabkan rendahnya perhatian peternak dalam menjual

ataupun memelihara sapi bibit. Bahkan tidak tertutup kemungkinan peternak akan

menjual ternak sapi tanpa memperhatikan apakah sapi tersebut dalam keadaan

produktif atau tidak.

Tabel 4.5

Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive

No Kabupaten

Pengetahuan Peternak tentang Sapi Betina Produktive

Total Sangat

rendah Rendah Sedang Tinggi

Sangat

Tinggi

1 Buleleng 70,0% 10,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%

2 Jembrana 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

3 Tabanan 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

4 Badung 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

5 Gianyar 40,0% 40,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%

6 Bangli 70,0% 10,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%

7 Klungkung 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

8 Karangasem 60,0% 30,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

9 Denpasar 80,0% 20,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

BALI 62,2% 25,6% 12,2% 0,0% 0,0% 100,0%

Untuk itu sosialisasi tentang sapi betina productive sesuai dengan Undang-

Undang dan atau peraturan yang berlaku perlu ditingkatkan, sehingga pemahaman

peternak tentang sapi betina productive dapat ditingkatkan. Selain itu peningkatan

pengetahuan juga dapat dilakukan melalui penyuluhan tentang sapi betina produktif

Page 49: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 35

secara benar. Sesuai dengan pendapat Mardikanto (1993) yang menyatakan bahwa,

melalui proses penyuluhan yang dilakukan pada masyarakat petani, dapat

meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada petani terhadap materi yang

disuluhkan.

4.1.6. Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit

Tujuan peternak melakukan usaha peternakan sapi bali bibit, dapat dilihat dari

seberapa besar kepentingan peternak dalam melakukan usaha peternakan sapi bibit.

Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 50,0% peternak menganggap beternak

sapi bibit sangat tidak penting dilakukan (Tabel 4.6). Hal tersebut berarti bahwa,

peternak memiliki belum tujuan yang jelas dalam berusaha ternak sapi bibit. Peternak

yang kurang atau tidak memiliki tujuan yang jelas, akan menyulitkan dalam

memberikan inovasi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit. Dedet Zelth (2013)

menyatakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai sehingga merupakan

sasaran, sedangkan perencanaan adalah alat untuk mencapai sasaran tersebut. Setiap

usaha yang baik harus memiliki titik tolak, landasan dan tujuannya.

Tabel 4.6

Penting tidaknya memelihara sapi bibit

No Kabupaten

Penting tidaknya memelihara sapi bibit

Total Sangat tidak

penting

Tidak

penting

Cukup

penting Penting

Sangat

penting

1 Badung 80,0% 20,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

2 Bangli 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

3 Buleleng 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

4 Denpasar 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

5 Gianyar 70,0% 30,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

6 Jembrana 20,0% 70,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

7 Karangasem 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

8 Klungkung 60,0% 20,0% 0,0% 10,0% 10,0% 100,0%

9 Tabanan 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

BALI 50,0% 45,6% 2,2% 1,1% 1,1% 100,0%

Mengacu kepada pengertian tentang tujuan tersebut, maka sesungguhnya

peternak menganggap bahwa belum ada sesuatu yang ingin dicapai secara jelas oleh

seorang peternak untuk beternak sapi bibit. Namun memperhatikan tentang alasan

peternak untuk menjual sapi, maka nampak dengan jelas bahwa tujuan peternak

beternak sapi bibit bukanlah untuk menghasilkan bibit yang berkualitas baik, namun

Page 50: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 36

sebagai alasan ekonomi, agar sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan

keluarga.

4.2. Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit

Dukungan pemerintah dalam usaha ternak sapi bibit diperluhan oleh peternak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (70,0%) peternak mengatakan

pemerintah kurang mendukung usaha ternak sapi bibit (Tabel 4.7). Bahkan terdapat

sebanyak 4,4% petenak menyatakan bahwa pemerintah tidak mendukung peternka

dalam pengembangan usaha peternakan sapi bibit. Hanya 6,7% yang menyatakan

sangat mendukung dan 8,9% yang menyatakan mendukung, serta 10,0% yang

menyatakan cukup mendukung. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa berbagai

kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan usaha peternakan sapi

bibit, seperti Kredit Usaha Peternakan Sapi (KUPS) belum dirasakan oleh peternak.

Selain itu pemerintah daerah Bali juga mengembangkan suatu program yang disebut

dengan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), yang dengan jelas mengharuskan

ternak sapi bibit adalah salah satu komponen penting dalam program tersebut. Oleh

karena itu, maka pemerintah harus berupaya secara terus menerus untuk memberi

dukungan berupa pembinaan dan penyediaan sarana produksi untuk meningkatkan

usaha peternakan sapi bibit di Bali. Upaya tersebut sangat penting dilakukan dalam

mendukung program pemerintah mencapai swasembada daging sapi secara

berkelanjutan.

Tabel 4.7

Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit

No Kabupaten Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit

Total Tidak

mendukung

Kurang

mendukung

Cukup

mendukung Mendukung

Sangat

mendukung

1 Buleleng 0,0% 80,0% 10,0% 10,0% 0,0% 100,0%

2 Jembrana 0,0% 80,0% 10,0% 10,0% 0,0% 100,0%

3 Tabanan 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

4 Badung 0,0% 10,0% 10,0% 30,0% 50,0% 100,0%

5 Gianyar 0,0% 90,0% 0,0% 10,0% 0,0% 100,0%

6 Bangli 0,0% 60,0% 20,0% 10,0% 10,0% 100,0%

7 Klungkung 10,0% 50,0% 30,0% 10,0% 0,0% 100,0%

8 Karangasem 0,0% 90,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

9 Tabanan 10,0% 90,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

BALI 4,4% 70,0% 10,0% 8,9% 6,7% 100,0%

Page 51: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 37

Sejalan dengan Anon (2013) yang menyatakan bahwa pengembangan sapi di

Indonesia membutuhkan dukungan infrastruktur memadai untuk mempertahankan

bobot sapi sebagai bentuk dukungan untuk menyukseskan program swasembada

daging sapi 2014. Keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang

tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan

sehingga membuat bobot (berat) badan sapi susut sampai 30 persen. Terkait dengan

hal tersebut, Presiden RI dalam Anon (2013) menyatakan bahwa dukungannya

terhadap program aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging,

yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan

teknologi.

4.3. Harapan Peternak Sapi Bibit

Harapan peternak untuk mendapat dukungan dari pemerintah dalam usaha

ternak sapi bibit, masih ada yaitu sebanyak 32,2% berharap, dan 20,0% sangat

berharap (Tabel 4.8). Hal tersebut menunjukkan bahwa, peran pemerintah cukup besar

dalam membantu peternak dalam mengembangkan usaha ternak sapi bibit.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintah Provinsi Bali telah

mendukung masayarakat dalam pengembangan usaha peternakan sapi bibit. Dukungan

tersebut diwujudkan dalam bentuk implementasi program SIMANTRI, yang telah

dilakukan sejak 3 tahun terakhir. Kelompok ternak sapi bibit diitegrasikan dengan

tanaman pertanian. Melalui kelompok SIMANTRI tersebut pemerintah memberikan

penyuluhan tentang inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit.

Mulai dari pakan, kandang, penanganan penyakit, pemilihan bibit, dan penanganan

limbah ternak sapi. Namun di tingkat implementasi cukup banyak SIMANTRI yang

tidak atau kurang sesuai dengan harapan. Sejalan dengan pernyataan anggota DPRD

Provinsi Bali Nyoman Adnyana telah terjadi beberapa penyimpangan pelaksanaan

Simantri. Di di Kabupaten Bangli, setidaknya dia menemukan empat gabungan

kelompok tani (Gapoktan) yang telah menerima dana program Simantri pada tahun-

tahun sebelumnya, ternyata sapi bantuan dari Provinsi Bali sudah tidak ada lagi di

tempat unit Simantri tersebut. Bahkan Adnyana menyatakan untuk di kabupaten

asalnya saja sekitar 70% unit Simantri, operasionalnya tidak sesuai dengan pedoman

dan petunjuk pelaksanaan yang ada (Anon, 2015).

Page 52: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 38

Tabel 4.8

Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Bibit

No Kabupaten

Harapan peternak terhadap dukungan pemerintah dalam

pengembangan sapi bibit

Tidak

berharap

Kurang

berharap

Cukup

berharap Berharap

Sangat

berharap Total

1 Buleleng 0,0% 0,0% 0,0% 20,0% 80,0% 100,0%

2 Jembrana 10,0% 50,0% 10,0% 10,0% 20,0% 100,0%

3 Tabanan 10,0% 40,0% 0,0% 10,0% 40,0% 100,0%

4 Badung 0,0% 20,0% 20,0% 50,0% 10,0% 100,0%

5 Gianyar 10,0% 40,0% 0,0% 40,0% 10,0% 100,0%

6 Bangli 0,0% 0,0% 0,0% 100,0% 0,0% 100,0%

7 Klungkung 0,0% 90,0% 0,0% 0,0% 10,0% 100,0%

8 Karangasem 10,0% 60,0% 0,0% 20,0% 10,0% 100,0%

9 Tabanan 0,0% 50,0% 10,0% 40,0% 0,0% 100,0%

Rataan BALI 4,4% 38,9% 4,4% 32,2% 20,0%

4.4. Sikap Peternak

Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina priduktif dari sangat tidak

setuju sampai ragu-ragu. Sebanyak 51,1% menyatakan tidak setuju dengan

pemotongan sapi betina produktif, 44,4% menyatakan sangat tidak setuju, dan 4,4%

ragu-ragu (Tabel 4.9). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya

peternak tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi betina produktif.

Ketidaksetujuan peternak dalam pemotongan sapi betina produktif, sebagai akibat dari

penilaian peternak terhadap pentingnya memelihara sapi betina untuk mendapatkan

anak sapi yang lebih banyak, untuk bisa dijual pada saat membutuhkan uang. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat Siagian (1988), yang menyatakan bahwa sikap adalah

pernyataan evaluatif dari seseorang terhadap suatu obyek. Usaha peternakan sapi bibit

yang dilakukan peternak yang bertujuan atau bermotifkan ekonomi merupakan objek

yang selalui dievaluasi oleh peternak.

Berdasarkan analisis regresi linier berganda (Siegel, 1997), dengan metode Enter

melalui Software Statistical Prgogram for Social Science (SPSS) versi 20.00 ternyata

sikap peternak dipengaruhi oleh empat factor antara lain: (1) pendidikan peternak; (2)

pengalaman beternak (tahun); (3) tujuan beternak sapi bibit; dan (4) dukungan

pemerintah terhadap peternak dalam usaha peternakan sapi bibit. Hasil analisis

tersebut menghasilkan model regresi berganda sebagai berikut:

Page 53: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 39

Y = 1, 966 – 0,035X1 – 0,003X2 – 0,186X3 + 0,192X4

Y = Sikap peternak

X1 = Pendidikan peternak

X2 = Pengalaman peternak

X3 = Tujuan beternak

X4 = Dukungan pemerintah

R2 = 0,438

Model regeresi tersebut nyata karena (0,001 < 0,05), dengan demikian secara

bersama-sama ke empat factor tersebut (X1, X2, X3 dan X4) berpengaruh nyata terhadap

sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Namun setelah analsisi

regresi berganda tersebut digunakan metode Stefwise, untuk mengetahui factor mana

yang paling berpengaruh terhadap sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina

produktif, diketahui bahwa hanya factor dukungan pemerintah (X4) yang paling

berpengaruh, sedangkan factor lainnya tidak berpengaruh. Model regresi yang

dihasilkan adalah sebagai berikut:

Y = 2,471 + 0,188X4

R2 = 0,408

Tabel 4.9

Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif

No Kabupaten

Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina

produktive

Total Sangat

tidak setuju

Tidak

setuju

Ragu-

ragu Setuju

Sangat

setuju

1 Buleleng 70,0% 30,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

2 Jembrana 60,0% 40,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

3 Tabanan 60,0% 40,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

4 Badung 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

5 Gianyar 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

6 Bangli 40,0% 50,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%

7 Klungkung 40,0% 40,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%

8 Karangasem 10,0% 90,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

9 Tabanan 30,0% 70,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%

BALI 44,4% 51,2% 4,4% 0,0% 0,0%

Model regresi yang dihasilkan dari analysis tersebut juga dapat dipertanggung

jawabkan secara nyata dengan selang kepercayaan 99% karena (0,000 < 0,01). Artinya

bahwa model tersebut 40,8% mampu menjelaskan bahwa sikap peternak terhadap

Page 54: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 40

pemotongan sapi betina productive sangat dipengaruhi oleh dukungan pemerintah.

Peternak semakin tidak setuju adanya pemotongan sapi betina produktif, apabila

dukungan pemerintah semakin tinggi kepada peternak untuk mengembangkan usaha

peternakan sapi bibit. Namun permasalah di tingkat lapangan, sebagaimana telah

dijelaskan sebelumnya bahwa dukungan pemerintah terhadap peternak dalam usaha

peternakan sapi bibit sangat rendah. Kemungkinan besar bahwa kondisi tersebut juga

menjadi salah satu factor penyebab adanya pemotongan sapi betina productive yang

cukup tinggi di Bali. Oleh karena itu hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang

serius dari semua pihak yang berkaitan dengan masalah penyelamatan sapi betina

productive di Bali.

4.5. Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali.

Pemotongan sapi betina produktif terjadi di seluruh kabupaten di Bali, karena

di setiap kabupaten/kota di Bali memiliki Rumah Potong Hewan (RPH) dan atau

Tempat Pemotongan Hewan (TPH). Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah RPH

di Bali adalah 10 buah, dua RPH diantaranya tidak berfungsi yaitu RPH Temesi

(Gianyar) dan RPH Seririt (Buleleng). Sedangkan TPH di Bali sebanyak 17 buah dan

terbanyak adalah di Kabupaten Badung mencapai 13 TPH (Tabel 4.10).

Tabel 4.10.

Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015

No Kabupaten RPH (Buah) TPH (Buah) Keterangan

1 Buleleng 2 0 1 RPH tidak berfugsi

2 Jembrana 1 0

3 Tabanan 1 2

4 Badung 1 13

5 Gianyar 2 0 1 RPH tidak berfungsi

6 Klungkung 1 0

7 Bangli 0 2

8 Karangasem 1 0

9 Denpasar 1 0

Bali 10 17

Demikian banyaknya jumlah TPH di Kabupaten Badung menyebabkan

peluang terjadinya pemotongan sapi betina produktif juga semakin tinggi. Peluang

tingginya pemotongan sapi di Kabupaten Badung dapat dipahami, karena Kabupaten

Badung selain memiliki daerah tujuan wisata dunia seperti Kuta dan Nusa Dua, juga

Page 55: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 41

sebagai salah satu kabupaten yang dekat dengan kota Denpasar sebagai ibu kota

Provinsi Bali. Sebagai sebuah ibu kota provinsi, maka pusat perkonomian akan

berlokasi di daerah tersebut, yang menyebabkan tingginya kebutuhan akan daging

termasuk daging sapi.

Hasil koleksi data dengan menggunakan Global Positioning Satelit (GPS)

menunjukan bahwa penyebaran Rumah Potong Hewan (RPH) dan Tempat

Pemotongan hewan (TPH) adalah seperti Gambar 4.1. Dari Gambar 4.3 nampak bahwa

lokasi atau posisi RPH di setiap kabupaten/kota di Bali, umumnya dekat dengan pusat

pemerintah dan perekonomian. Kecuali untuk RPH di Kabupaten Buleleng, yang salah

satunya terletak di Kecamatan Seririt, relative jauh dari Kota Singaraja sebagai ibu

Kota Kabupaten Buleleng. Selain itu Gambar 4.1 juga menunjukan bahwa Kabupaten

Bangli adalah satu-satunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki RPH namun

kabupaten Bangli memiliki dua buah TPH.

Gambar 4.1. Lokasi RPH dan TPH di Bali

Hasil pemantauan lapangan menunjukan bahwa, di Bali terdapat empat buah

RPH yang cukup modern dilihat dari segi peralatan. Keempat RPH tersebut antara lain:

(1) RPH Pesanggaran; (2) RPH Mambal; (3) RPH Temesi dan (4) TPH Tabanan.

Namun RPH Tabanan dan RPH Temesi (Gianyar) hampir tidak difungsikan secara

optimal. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari Dinas Peternakan Kabupaten

Page 56: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 42

Tabanan, diketahui bahwa tidak berfungsinya RPH Tabanan, disebabkan oleh biaya

operasional RPH yang relative tinggi, sehingga tidak mampu ditanggung oleh

Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan. Di lain pihak biaya yang dibebankan kepada

jagal untuk memotong sapi hanya sebesar Rp.12.500,- per ekor dan rata-rata

pemotongan setiap hari berkisar antara 6-7 ekor. Sedangkan tidak berfungsinya RPH

Temesi (Gianyar) disebabkan terbatasnya sapi yang dipotong di Kabupaten Gianyar

yang hanya rata-rata 10 ekor per hari, sehingga RPH tersebut menjadi tidak efektif

karena tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh RPH tersebut, yang mampu

memotong sapi setiap mencapai lebih dari 40 ekor per hari. Kondisi tersebut

menyebabkan RPH Temesi hanya diopersionalkan saat hari raya Lebaran Haji yang

hanya setahu sekali. Selanjutnya RPH Mambal (Kabupaten Badung) dan RPH

Pesanggaran (Kota Denpasar) berfungsi cukup efektif. Bahkan untuk RPH Mambal,

pemotongan sapi dilakukan sebanyak dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari.

Jumlah pemotongan sapi di Kabupaten Badung, mencapai 25-30 ekor per hari.

Ppemotongan sapi di RPH Pesanggaran (Denpasar) rata-rata juga mencapai 25-30 ekor

per hari, sehingga ke dua RPH tesebut dapat dinyatakan telah berfungsi dengan cukup

optimal, sesuai denga kapasitas yang dimiliki.

4.6. Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali.

Pelaku utama pemtongan sapi betina produktif adalah pedagang atau

pengusaha daging sapi sebagai perencana dalam pemotongan sapi yang dalam hal ini

disebut dengan ”jagal”. Umumnya pedagang yang disebut dengan “Jagal” adalah

orang yang bertanggungjawab atas keputusan tentang sapi yang akan dipotong.

Sedangkan tukang sembelih adalah mereka (individu) yang melakukan penyembelihan

atas perintah “jagal”. Keputusan tentang boleh atau tidaknya seekor sapi betina

dipotong adalah seorang dokter hewan (Drh) penanggungjawab RPH atau TPH.

Mereka adalah petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten atau Kota setempat, yang

diberikan tugas khusus sebagai penanggungjawab RPH. Petugas tersebut bertanggung

jawab penuh terhadap boleh-tidaknya seekor sapi betina dipotong. Dalam menjalankan

tugasnya, seorang penaggungjawab RPH sering mengalami kesulitan, untuk

memutuskan hal tersebut.

Kesulitan tersebut sangat terkait dengan “keselamatan”. Penanggung jawab

RPH sering mengalami ketakutan untuk tidak mengijinkan sapi-sapi betina yang telah

Page 57: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 43

masuk RPH atau TPH untuk dipotong. Demi keselamatan nyawa mereka maka dengan

sangat terpaksa para penanggungjawab RPH harus memberikan ijin untuk memotong

sapi betina produkif. Kondisi tersebut hampir terjadi diseluruh RPH di Bali, bahkan

pemotongan sapi di TPH relative tidak terpantau oleh petugas dari Dinas Peternakan

Kabupaten setempat. Kondisi tersebut menyebabkan biasnya data tentang jumlah

pemotongan sapi setiap hari di TPH, sehingga relative sulit dipercaya. Petugas hanya

menerima apa adanya tentang jumlah sapi yang dilaporkan dipotong di setiap TPH.

Bahkan Kabupaten Badung yang memiliki TPH sebanyak 13 buah yang tersebar

beberapa lokasi pedesaan, menyebabkan jumlah pemotongan sapi setiap hari sangat

sulit terpantau. Kondisi yang hampir sama sesungguhnya juga terjadi hampir di seluruh

RPH kabupaten, kecuali untuk kabupaten Badung, Tabanan, Buleleng, dan Kota

Denpasar, pemantauan oleh petugas relative berjalan dengan cukup baik. Sedangkan

untuk kabupten Karangasem, Klungkung, Gianyar, Jembrana dan Bangli petugas

penanggung jawab RPH, lebih banyak hanya menerima informasi atau laporan tentang

jumlah sapi yang dipotong setiap hari dari jagal atau waker (penunggu RPH).

Selanjutnya data tersebut dikirim melalui “SMS Gate” oleh petugas RPH kepada

atasnya di Dinas Peternakan Kabupaten, yang dalam hal ini umumnya adalah Kepala

Bidang Kesehatan Hewan. Kondisi tersebut menyebabkan data atau informasi yang

dikumpulkan melalui “SMS Gate” diragukan kebenarannya. Menurut penanggung

jawab RPH, hal tersebut terpaksa dilakukan karena terbatasnya petugas pengawas

RPH serta terbatasnya biaya yang tersedia untuk melakukan pengawasan. Selain itu

waktu pemotongan sapi yang umumnya dilakukan tengah malam juga merupakan

sebuah hambatan bagi petugas penanggungjawab, yang juga harus masuk kantor

seperti biasa setiap hari. Selain itu petugas tersebut umumnya juga tidak mendapatkan

insentive apapun terhadap pekerjaan yang harus dilakukan di luar jam kerja sebagai

seorang petugas pemerintahan.

Hasil penelitian mendapatkan bahwa jumlah jagal yang ada di Provinsi Bali

mencapai 59 orang yang tesebar di delapan kabupaten dan satu kota di Bali, dengan

rincian seperti Tabel 4.11. Dari Tabel 4.11 nampak bahwa jumlah jagal terbanyak

terdapat di Kabupaten Badung yang mencapai 17 orang (28,81%), kemudian disusul

oleh Kota Denpasar sebanyak 13 orang (22,03%). Sedangkan jumlah jagal yang paling

sedikit terdapat di Kabupaten Bangli yang hanya 2 orang (3,39%). Kondisi tersebut

Page 58: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 44

menunjukan bahwa Kabupaten Badung dan Kota Denpasar sebagai pusat pertumbuhan

ekonomi di Bali, memiliki peluang pasar daging sapi yang jauh lebih besar

dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kabupaten Badung dan Kota Denpasar,

merupakan daerah tujuan wisata utama di Bali, di mana terdapat berbagai fasilitas

pariwisata seperti hotel dan restaurant yang membutuhkan daging termasuk daging

sapi yang jauh lebih banyak dibandingkan kabupaten lainnya. Jumlah hotel berbintang

di Bali tahun 2014 sebanyak 249 buah, dan 164 buah (65,86%) di antaranya terdapat

di Kabupaten Badung dengan jumlah kamar mencapai 23.172 unit kamar (80,43% dari

total kamar hotel berbintang di Bali yang berjumlah 28.811 unit kamar). Selain itu di

Kabupaten Badung, juga terdapat hotel non bintang dengan jumlah kamar pada tahun

2013 mencapai 9.797 unit kamar (37,66% dari total kamar hotel non bintang di Bali

yang mencapai 26.013 unit). Sedangkan jumlah hotel berbintang tahun 2014 di Kota

Denpasar mencapai 33 buah (13,35%) dengan 3.480 unit kamar (12,08% dari seluruh

kamar hotel berbintang). Seperti halnya Kabupaten Badung, di Kota Denpasar juga

terdapat hotel non bintang dengan jumlah kamar pata tahun 2013 mencapai 5.511 unit

kamar (21,19% dari seluruh kamar hotel non bintang di Bali) (BPS Bali, 2014).

Table 4.11.

Penyebaran Jaga di Bali

No Kabupaten Jumlah Jagal

Orang %

1 Karangasem 3 5,08

2 Denpasar 13 22,03

3 Klungkung 2 3,39

4 Badung 17 28,81

5 Bangli 2 3,39

6 Buleleng 9 15,25

7 Jembrana 6 10,17

8 Gianyar 3 5,08

9 Tabanan 4 6,78

Bali 59 100,00

4.7. Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.

Jumlah sapi yang dipotong dalam dua tahun terakhir turun cukup drastis (2013-

2014). Pada tahun 2012, jumlah sapi yang dipotong di Bali sebanyak 51.643 ekor,

turun menjadi 44.939 ekor tahu 2013 dan menjadi 28.471ekor tahun 2014 (Gambar

4.2). Diperkirakan jumlah sapi yang dipotong di Bali dalam lima tahun berikutnya,

Page 59: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 45

akan cenderung tetap, dengan mengkikuti model Regresi linier sederhana: Y = 43.772

+ 47,7X. Namun model tersebut memiliki koefisien determinasi R2 yang sangat rendah

yaitu 0,0001. Dengan demikian model tersebut belum cukup kuat untuk menjelaskan

kecederungan jumlah sapi yang akan di potong di Bali dalam lima tahun mendatang.

Hal tersbut akan terjadi apabila tidak ada upaya-upaya strategis yang dilakukan oleh

institusi yang berwenang, khususnya Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bal hingga

ke tingkat kabupaten/kota.

Gambar 4.2. Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan peluang

terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya

Berkurangnya jumlah sapi yang dipotong di Bali sejalan dengan berkurangnya

populasi sapi bali di Bali. Pada tahun 2012 populasi sapi di Bali sebanyak 651.216

ekor, berkurang menjadi 478.146 ekor (Gambar 4.3). Penurunan populasi sapi tersebut

sangat significant mencapai 36,2% (BPS Prov. Bali, 2014). Dalam empat tahun

berikutnya (2014-2017) populasi sapi di Bali akan cenderung terus menurun mengikuti

model regresi linier sederhana Y = 763.458 – 60.321X, dengan R2 = 0,7203. Model

tersebut nampak cukup kuat untuk menjelaskan kecederunagn penurunan populasi sapi

di Bali dalam 4 tahun berikutnya. Oleh karena itu sebaiknya Dinas Peternakan Provinsi

Bali, segera mengambil langkah-langkah strategis, untuk mengantisipasinya, seperti:

(1) melakukan pengawasan yang ketat tentang peluang adanya pengeluaran sapi secar

illegal (menyelundup); (2) menciptakan daya Tarik bagi generasi muda untuk

36,878

47,647 51,643

44,938

38,471 Y = 47,7x + 43772R² = 0,0001

Th.2010

Th.2011

Th.2012

Th.2013

Th.2014

Jum

lah

sap

i yan

g d

ipo

ton

g (e

kor)

Page 60: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 46

menekuni sector pertanian termasuk sub sector peternakan, khususnya dalam

pengembangan ternak sapi Bali; (3) mencegah adanya pemotongan sapi betina

produktif; (4) mempertegas kembali tentang antar-pulau sapi, khususnya yang dikirim

ke Jakarta.

Hasil penelitian melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan petugas Dinas

Peternakan Kabupaten/ kota, para jagal dan peternak sapi, mendapatkan bahwa

penurunan populasi sapi di Bali, disebabkan oleh berbagai factor, antara lain:

1) adanya indikasi penyelundupan sapi dara umur sekitar satu tahun dengan tinggi

gumba antara 105-110 cm;

2) semakin terbatasnya lahan untuk memelihara sapi dan penyediaan hijauan

pakan ternak;

3) peternak sebagian besar lanjut usia, bahkan ada yang mencapai umur lebih dari

80 tahun, di lain pihak generasi muda kurang atau bahkan tidak tertarik untuk

menekuni sector pertanian, termasuk sub sector peternakan;

4) adanya pemotongan sapi betina produktif, yang kurang terkendali;

5) pengiriman sapi secara resmi ke luar Bali, yang terindikasi melanggar perturan,

seperti sapi yang memiliki bobot badan kurang dari 375 kg per ekor. Bahkan

saat lebaran haji, sapi yang di antar pulaukan cenderung memiliki bobot badan

pada kisaran 200 kg per ekor berat hidup.

Gambar 4.3. Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya dalam

empat tahun berikutnya

Page 61: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 47

Relatif sulit mendapatkan data tentang jumlah sapi betina produktif yang

dipotong oleh “jagal”. Seorangpun tidak ada yang mau memberikan data melalui

Laporan (Form Isian) yang telah disediakan. Untuk mengatasi hal tersebut maka

dilakukan inspeksi mendadak (sidak) saat pemotongan dilakukan. Akan tetapi hal

tersebut tidak bisa dilakukan setiap hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa

setidaknya terindikasi terjadi pemotongan sapi betina produktif yang sangat tinggi di

Bali. Di salah satu RPH di Kabupaten Badung, saat inspeksi dilakukan ditemukan RPH

tesebut akan memotong 8 ekor sapi, dan 7 ekor (87,5%) di antaranya adalah sapi betina

dan hanya 1 ekor (12,5%) sapi jantan. Dari 7 ekor sapi betina tersebut sebanyak 5 ekor

(71,4%) adalah betina produktif bahkan seekor (14,29%) di antaranya adalah sapi

betina yang sedang bunting.

Kunjungan berikutnya di Kabupaten Badung khususnya di RPH Mambal,

ditemukan bahwa sebagian besar sapi yang dipotong juga sapi betina, beberapa di

antaranya juga sapi betina productive. Namun penanganan untuk menghindari

pemotongan sapi betina produktif telah dilakukan dengan cukup baik oleh petugas

RPH yang jumlahnya mencapai 6 orang. Setiap sapi yang akan dipotong selalu

dilakukan pemeriksaan ante mortem. Jika ditemukan sapi betina productive maka

petugas RPH merekomensikan untuk tidak dipotong (ditolak dipotong). Walaupun

dalam pelaksanaannya rekomendasi tersebut relative jarang dilakukan oleh jagal.

Namun petugas RPH juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jumlah sapi yang dipotong di

RPH Mambal sejak bulan Maret hingga bulan September 2015, mencapai sebanyak

1.578 ekor. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.267 ekor (80,29%) adalah sapi betina dan

hanya 311 ekor (19,71%) sapi jantan. Dari 1.267 ekor sapi betina yang masuk RPH,

berdasrkan Laporan petugas RPH terdapat sebanyak 193 ekor (15,23%) sapi betina

produktif yang ditolak untuk dipotong. Selanjutnya dari 193 ekor sapi betina

productive yang ditolak untuk dipotong, ternyata terdapat 13 ekor di antaranya juga

dipotong oleh jagal. Padahal berdasarkan pengamatan lapangan pasa saat dilakukan

inspeksi, ditemukan enam ekor sapi betina telah masuk RPH dan 3 ekor dinataranya

terindikasi sapi betina productive (Gambar 4.4)

Page 62: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 48

Gambar 4.4. Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal, Badung

Selanjutnya kunjungan yang dilakukan di kabupaten Karangasem, juga

mendapatkan data yang hampir sama. Dari 12 ekor sapi yang akan dipotong dalam

beberapa hari berikutnya ditemukan 11 ekor (91,67%) adalah sapi betina dan 8 ekor

(72,73%) di antaranya adalah sapi betina productive (Gambar 4.5). Kondisi yang tidak

jauh berbeda terjadi di Kabupaten Klungkung, dari 3 ekor sapi yang dipotong,

seluruhnya (100%) adalah betina dan dua ekor (66,67%) diantaranya adalah betina

productive. Kunjungan di Kabupaten Gianyar juga mendapatkan informasi yang sama

persis dengan yang terjadi di Kabupaten Klungkung.

Gambar 4.5. Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten Karangasem

(Foto: Widianta, Oktober 2015)

Selanjutnya kunjungan ke Kabupaten Buleleng juga mendapatkan kondisi

yang tidak jauh berbeda. Dari 13 ekor sapi yang dipotong, seluruhnya adalah sapi

Page 63: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 49

betina dan sebanyak 9 ekor (69,23%) di antaranya adalah sapi betina produktif.

Demikian pula hanya untuk Kabupaten Jembrana, ditemukan bahwa dari 7 ekor sapi

yang dipotong, terdapat 6 ekor (85,71%) betina dan 4 ekor (66,67%) di antaranya

adalah sapi betina produktif.

Di Kota Denpasar, juga ditemukan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan

kabupaten lainnya. Saat investigasi ditemukan bahwa dari 27 ekor sapi yang dipotong,

seluruhnya adalah sapi betina dan terindikasi lebih dari 24 ekor (88,89%) adalah betina

productive dengan kondisi sapi yang realatif cukup baik (Gambar 4.6). Kondisi yang

sangat berbeda ditemukan di Kabupaten Tabanan. Saat investigasi dilakukan ke RPH

Tabanan, sama sekali tidak ditemukan adanya sapi betina yang akan dipotong RPH

Kabupaten Tabanan. Menurut petugas Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan, bahwa

jagal di Kabupaten Tabanan memang sama sekali tidak pernah memotong sapi betina.

Hal tersebut terjadi berkat dilakukannya sosialisasi secara berkesinambungan oleh

petugas Dinas Peternakan. Kondisi tersebut mngindikasikan bahwa dukungan dan

perhatian yang baik dari pemerintah ternyata mampu menghindari adanya pemotongan

sapi betina produktif di Kabupaten Tabanan.

Gambar 4.6. Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina produktif

yang akan dipotong di RPH Pesanggaran (Denpasar)

Foto: Widianta (2015)

Hasil kunjungan atau investigasi di seluruh Kabupaten di Bali, tersebut sangat

berbeda dengan laporan penanggungjawab RPH atau TPH. Sampai dengan bulan

Agustus 2015 jumlah sapi yang dipotong di Bali 21.658 ekor yang terdiri dari 10.371

Page 64: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 50

ekor (47,89%) jantan dan 11.287 ekor (52,11%) adalah sapi betina (Tabel 4.12 dan

Gambar 4.9). Namun sama sekali tidak ada laporan tentang sapi betina yang dipotong

apakah produktif atau tidak. Akan tetapi inspeksi yang dilakukan di beberapa RPH

menunjukan bahwa jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali adalah cukup

tinggi, yang mencapai lebih dari 80%. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ada

indikasi terjadinya manipulasi data pemotongan ternak sapi betina produktif di RPH

maupun di TPH.

Tabel 4.12

Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015 (Data Dinas Peternakan

dan Kesehatan Hewan Prov. Bali, 2015)

NO BULAN SAPI (Ekor) Sapi (%)

JTN BTN JML JTN BTN JML

1 JANUARI 1.452 1.224 2.676 54,26 45,74 100

2 PEBRUARI 1.268 1.229 2.497 50,78 49,22 100

3 MARET 1.358 1.422 2.780 48,85 51,15 100

4 APRIL 1.327 1.531 2.858 46,43 53,57 100

5 MEI 1.391 1.439 2.830 49,15 50,85 100

6 JUNI 1.415 1.531 2.946 48,03 51,97 100

7 JULI 1.339 1.576 2.915 45,93 54,07 100

8 AGUSTUS 821 1.335 2.156 38,08 61,92 100

9 SEPTEMBER *) *) 3.163 *) *)

10 OKTOBER *) *) 2.924 *) *)

11 NOPEMBER

12 DESEMBER

JUMLAH 10.371 11.287 21.658**) 47,89 52,11 100

Keterangan:

*) Belum ada data

**) Data sampai dengan Agustus 2015

Hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan penanggung jawab RPH,

bahwa hal tersebut terpaksa dilakukan, karena adanya rasa takut dari petugas RPH,

terhadap Undang Undang yang mengatur tentang pemotongan sapi betina produktif.

Pada pasal 66A menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menganiaya dan/ atau

menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Setiap

Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) wajib

melaporkan kepada pihak yang berwenang. Selanjutnya Pasal 95, dipertegas bahwa

setiap orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

Page 65: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 51

66A ayat (l) dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang sebagaimana

dimaksud dalam pasal 66A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat

1 (satu) bulan dan paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling sedikit Rp.1.000.000,00

(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah) (Undang

Undang No 41 tahun 2014).

4.8. Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di

Bali.

4.8.1. Di tingkat peternak sapi

Telah dilakukan survei terhadap 90 orang peternak sapi bibit di seluruh Bali,

untuk mendapatkan informasi yang benar tentang factor penyebab terjadinya

pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat dua

factor utama sebagai penyebab terjadinya peluang pemotongan sapi betina produktif

di tingkat petani. Kedua factor tersebut adalah factor internal dan factor eksternal.

Faktor internal peternak nampaknya merupakan factor penyebab utama, yang

bermotifkan ekonomi. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 50% peternak

sapi menyatakan bahwa beternak sapi betina sangat tidak penting (Gambar 4.7). Hanya

1% yang menyatakan bahwa beternak sapi betina penting dan sangat penting serta 46%

yang menyatakan beternak sapi betina tidak penting. Sebanyak 2% lainnya

menyatakan beternak sapi betina cukup penting. Kondisi tersebut menunjukan bahwa

beternak sapi betina di kalangan petani peternak, dirasa kurang menguntungkan, serta

kemungkinan kurangnya pemahaman peternak tentang pentingnya peternakan sapi

bibit dalam penyediaan daging sapi di Bali khususnya dan di Indonesia pada

umumnya.

Gambar 4.7. Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani

Page 66: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 52

Selain itu hasil penelitian juga mendapatkan bahwa setidaknya terdapat dua

alasan utama, yang menyebabkan peternak sapi menjual sapi betina. Alasan tersebut

dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu alasan eksternal peternak dan alasan internal

peternak. Alasan ekternal peternak meliputi: (1) umur sapi yang sudah tua; (2) sapi

telah melahirkan lebih dari 5 kali; (3) warna bulu sapi yang diinginkan peternak tidak

sesuai; (4) sapi majir; (5) sapi sakit; (6) sapi lambat tumbuh; (7) sapi cacat fisik; (8)

adanya dorongan pembeli dan (9) karena adanya kesempatan harga sapi yang mahal.

Dari 9 alasan eksternal tersebut maka factor atau alas an sapi majir merupakan alas an

yang paling banyak dikemukakan peternak, yaitu mencpai 82,2%, sedangkan karena

umur sapi yang tua serta melahirkan lebih dari 5 kali dikemukakan oleh masing-

masing 70,0% peternak. Adanya dorongan pembeli, yang menyebabkan peternak

menjual sapi betina dikemukakan hanya oleh 5,6% peternak (Gambar 4.8).

Gambar 4.8. Alasan eksternal peternak menjual sapi betina

Selain alasan eksternal, maka beberapa alasan internal peternak yang

menyebabkan peternak menjual sapi betina, paling dominan dikemukakan peternak

karena adanya kebutuhan uang untuk anak sekolah oleh 61,1% (Gambar 4.9). Alasan

berikutnya adalah adanya keperluan untuk upacara agama yang dikemukakan oleh

40,0% peternak sapi. Beberapa hal lain yang juga menjadi alasan bagi peternak antara

lain: untuk membangun, keluarga yang sakit, bayar utang, sulit mendapatkan tempat

untuk beternak, perternak sudah tua, sulit mendapatkan pakan dan sapi betina ditukar

dengan sapi jantan.

Page 67: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 53

Gambar 4.9. Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina

Sekalipun usaha peternakan sapi bibit kurang diminati peternak, namun hasil

penelitian menunjukan bahwa 51,1% peternak tidak setuju adanya pemotongan sapi

bentina produktif, bahkan 44,3% yang menyatakan sangat tidak setuju dengan adanya

pemotongan sapi betina produktif (Gambar 4.10). Kondisi tersebut sesungguhnya

menunjukan adanya pengetahuan peternak tentang pentingnya penyediaan bibit sapi.

Gambar 4.10. Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif

Selanjutnya Gambar 4.11 menunjukan bahwa adanya keinginan masyarakat

agar pemotongan ternak sapi harus diawasi secara ketat oleh pemerintah. Hal tersebut

tercermin dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa ssebanyak 38% peternak

sangat setuju dan 57% setuju apabila pemotongan ternak sapi diawasi secara ketat oleh

pemerintah, hanya 5% yang menyatakan cukup setuju. Kondisi tersebut menunjukan

Page 68: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 54

bahwa selama ini masyarakat menganggap pemotongan sapi betina belum atau kurang

diawasi oleh pemerintah.

Gambar 4.11 Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi pemerintah

Terkait dengan kondisi tersebut maka peternak memberikan beberapa saran

untuk menghindari atau memperkecil terjadinya pemotongan sapi betina produktif.

Dari 90 orang responden, yang memberikan saran sebanyak 59 orang atau 65,56%.

Dari jumlah saran yang dikemukakan peternak, maka saran yang masuk dalam

katagori penyuluhan adalah saran terbanyak yang dikemukakan petani, yaitu mencapai

40%. Selanjutnya disusul dengan saran tentang pengawasan (17%), pemberian

insentive oleh 12%; perbaikan pelayanan inseminasi buatan 7%; bantuan kepada

peternak secara tepat oleh 7%, pelayanan kesehatan ternak oleh 7% peternak;

pemberian kredit murah oleh 5%; perbaikan kualitas bibit sehingga tidak majir oleh

2%; sosialisasi peraturan oleh 2% dan yang terkait dengan kebijakan impor oleh 1%

peternak (Gambar 4.12).

Gambar 4.12. Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina produktif

Page 69: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 55

4.8.2. Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan

Untuk mendapatkan informasi, khususnya dari kelompok jagal tentang

pemotongan sapi betina produktif, maka dilakukan diskusi secara terfokus atau Focus

Group Discussion (FGD) di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Kegiatan FGD di tingkat

Provinsi, selain dihadiri oleh jagal, juga penanggung jawab RPH atau TPH, petugas

Dinas Peternakan atau SKPD yang menangani peternakan, kalangan akademisi,

peneliti dan penyuluh serta dari unsur kepolisian Polda Bali (Gambar 4.13).

Gambar 4.13. Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri dari

unsur kepolisian, khususnya Polda Bali

Hasil FGD menunjukan bahwa beberapa alasan jagal untuk memotong sapi

betina produktif antara lain:

1. Ada kecenderungan yang hampir dapat dipastikan bahwa telah terjadi

penyelundupan sapi dara ke luar Bali, yang jumlah relative sangat besar, namun

belum ada data yang pasti tentang hal tersebut. Kondisi tersebut terindikasi dengan

banyaknya pembeli sapi dara umur satu tahun atau dengan tinggi gumba antara

105-110 cm. Para pembeli sapi dara tersebut selalu hadir dan membeli sapi dara

dengan harga yang relative lebih mahal dibandingkan pembelian oleh jagal.

Kondisi tersebut selain menyebabkan berkurangnya populasi sapi di Bali, juga

menyebabkan jaga juga ikut serta untuk membeli sapi dara atau sapi betina

productive untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Page 70: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 56

2. Sapi jantan penggemukan sulit dicari dan mahal. Harga sapi betina berkisar antara

Rp.30.000,- s/d 31.000/kg berat hidup, sedangkan sapi jantan antara Rp.40.000 s/d

Rp.41.000/kg, bahkan kondisi bulan Nopember 2015 harga sapi jantan mencapai

lebih dari Rp.42.000,- per kg berta hidup. Sedangkan harga daging sapi di pasaran

adalah sama yaitu antara Rp.85.000 - Rp.90.000/kg. Tidak membedakan harga

antara daging sapi jantan dan betina. Dengan harga daging Rp.85.000 -

Rp.90.000/kg, dan harga sapi jantan hidup Rp.42.000/kg maka jagal akan rugi,

karena BEP nya Rp. 36.000/kg hidup. Harga daging sapi di Bali terendah

dibandingkan dengan daerah lainnya Indonesia, dan harga tersbut tetap sejak 3

tahun terakhir.

3. Preferensi pasar lebih bagus sapi muda, yang tua alot, baik untuk “sate” maupun

“lawar”. Walaupun sesungguhnya jagal sadar kualitas, kadar lemak, persentase

karkas (jantan 50%, betina 40%) lebih baik jantan dibandingkan sapi betina.

4. Petani sering membawa sapi produktif ke RPH atau langsung ke Jagal, sehingga

jagal tidak ada alas an untuk tidak membeli, karena secara bisnis, kondisi tersebut

jelas cukup menguntungkan.

Terkait dengan hasil FGD tersebut maka para jagal juga memberikan beberapa saran

agar tidak terjadi pemotongan sapi betina produktif, antara lain:

1. Penghentian sapi betina produktif diantar pulaukan, sehingga populasi naik,

stok sapi jantan naik.

2. Pelarangan sapi jantan 200 kgs/d 300 kg untuk kurban menjelang Idul Adha.

3. Subsidi harga sapi ke petani, atau bansos penggantian betina produktif jangan

di kelompok tani, tetapi untuk penggantian sapi produktif di RPH

4. Sosialisasi dan penyuluhan kepada para jagal

5. Sapi produktif yang masuk ke RPH, di beli ke pemerintah di pelihara ke sistem

Simantri

6. Sebaiknya sapi dipotong di Bali, dan daging yang diantar pulaukan seperti

dikirim ke Jakarta, maupun daerah lainnya.

Hasil FGD yang dilakukan oleh kelompok petugas Dinas Peternakan dan

Penanggungjawab RPH, mengemukakan beberapa alasan adanya pemotongan sapi

betina produktif, antara lain:

Page 71: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 57

1. Sapi betina lebih murah harganya, tetapi harga daging antara jantan dan betina

sama

2. Sapi betina mudah didapatkan

3. Peternak yang dihadapkan masalah ekonomi sehingga menjual sapi betina

yang produktif

4. Petani cendrung memelihara sapi jantan karena harga jual sapi jantan lebih

tinggi sehingga sapi betina agak kurang diminati untuk dipelihara peternak.

5. Pemotongan/jagal banyak yang memerlukan sapi ukuran kecil sesuai

kemampuan mereka menjual daging

5. Pengetahuan peternak tentang pentingnya pemeliharaan sapi betina masih

kurang

6. Pengetahuan peternak tentang deteksi dini gangguan produksi masih kurang

sehingga sapinya cepat dijual

7. Pemanfaatan sapi betina sebagai tenaga kerja (membajak sawah) jauh

berkurang karena tergantikan dengan traktor.

8. Diperlukan alat pendeteksi USG dan SDM disetiap di RPH

Selanjutnya mereka memberikan beberapa solusi, untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif, antara lain:

1. Diperlukan tim terpadu untuk pengawasan dari instansi terkait

2. Sosialisasi tentang larangan pemotongan sapi betina produktif lebih

ditingkatkan berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 2014.

3. Pemerintah menyiapkan dana talangan untuk penyelamatan sapi betina

produktif

Hasil FGD yang dilakukan di kabupaten Karangasem, Buleleng, Klungkung dan

Badung yang dihadiri oleh jagal, peternak dan petugas dari Dinas Peternakan setempat

mendapatkan antara lain:

1. Pemahaman jagal, peternak, dan petugas Dinas Peternakan tentang sapi betina

productive berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 2014, relative sangat

terbatas. Hampir seluruh peserta di semua kabupaten dimana FGD dilaksanakan,

tidak mampu menyebutkan tentang indicator sapi betina productive. Kondisi

tersebut menunjukan bahwa lemahnya sosialisasi Undang-Undang No 18 tahun

Page 72: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 58

2009 yang direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahun 2014 tentang

penyelamatan sapi betina productive.

2. Alasan utama yang menyebabkan para jagal melakukan pemotongan sapi betina

productive antara lain:

1) Kurangnya komintmen dan tingkat ketegasan pemerintah dalam menerapkan

dan mensosialisasikan Undang-Undang yang berlaku, sehingga jagal juga

mengabaikan terhadap larangan pemotongan sapi betina yang produktif.

2) Sulit mendapatkan sapi betina yang tidak produktif dan harga sapi jantan jauh

lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina.

3) Alasan ekonomi sebagai prinsip bisnis jagal, sehingga jagal berpikir bahwa

yang penting bisa mendapatkan sapi untuk dipotong guna memenuhi

kebutuhan pelanggan, tidak peduli apakah sapi tersebut produktiv atau tidak.

4) Sapi betina yang tidak productive karena usianya yang sudah tua, umumnya

memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi, sehingga jagal akan memilih

sapi yang muda yang masih usia productive.

5) Jagal membeli sapi sesuai kebutuhan pelanggan, yang sebagian besar hanya

menginginkan daging segar dalam jumlah terbatas, bukan daging beku.

6) Setiap hari jagal di tuntut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan/konsumen.

7) Tulang sapi jantan lebih besar, di lain pihak dagingnya sedikit dan harganya

lebih mahal dari sapi betina, walaupun kuaalitas daging lebih baik namun harga

dagimg di pasaran adalah sama.

8) Tidak adanya kesepakatan standard harga daging sapi dari pemerintah.

9) Jagal, selain membeli sapi langsung ke peternak untuk mendapatkan harga sapi

yang lebih murah, maka jagal juga membeli sapi melalui saudagar sapi yang

sudah menjadi langganan, sehingga tidak peduli tentang sapi yang dibawakan

oleh saudagar, apakah sapi betina productive atau tidak.

10) Rendahnya pemahaman saudagar tentang kreteria sapi yang produktif, namun

yang penting mendapatkan sapi yang akan dijual kepada jagal sebagai

pelanggannya.

3. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh peternak melalui FGD, sebagai

penyebab terjadinya populasi sapi menurun karena pemotongan sapi betina

productive antara lain:

Page 73: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 59

1) Petani lebih suka memelihara sapi jantan dibandingkan sapi betina karena

beranggapan bahwa memelihara sapi jantan lebih menguntungkan,

sehingga cenderung untuk menjual jika memiliki sapi betina. Umumnya

sapi betina tersebut dibeli oleh jagal, karena peternak lainnya juga lebih

memilih untuk memelihara sapi jantan.

2) Rendahnya minat genrasi muda untuk menajadi petani termasuk untuk

memelihara sapi di desa, sehingga jika punya sapi, lebih baik mereka jual.

3) Kurang perhatian pemerintah untuk mengecek keberadaan sapi yang

dimiliki petani, sehingga petani cenderung tidak mengetahui sapinya masih

produktif atau tidak.

4) Desakan ekonomi seperti: kebutuhan untuk anak sekolah, keluarga yang

sakit, upacara ngaben, membangun rumah dan lainnya.

5) Petani sudah tidak mampu memelihara sapi yang lebih banyak karena

sudah tua, sehingga sapinya cenderung untuk dijual.

6) Petani kesulitan mencari pakan hijauan terutama pada saat musim kering,

sehingga cenderung untuk menjual sapi miliknya.

7) Petani cenderung menjual sapi yang memiliki ciri-ciri yang tidak baik

seperti sapi panjut (bulu ujung ekor sapi berwarna putih), ekor legok

(terdapat cekungan antara tulang ekor dan tulang pantat), sapi betina hitam,

sapi kaki hitam, lidah sapi loreng atau putih, sapi usehan tunggir (ada

pusaran di bagian punggung) yang diyakini kurang menguntungkan atau

bahkan dapat menyebabkan mala petaka bagi keluarga. Fenomena ini dapat

dikatagorikan sebagai sebuah local wisdom.

8) Petani akan menjual sapinya apabila dikawinkan 2 kali tidak bisa bunting

dan digantikan bibit baru atau membeli sapi jantan.

9) Petani akan menjual sapinya apabila dinilai sudah majir, karena gannguan

alat reproduksi, atau sapi yang mengalami cacat fisik.

4. Beberapa masukan atau saran yang dkemukakan jagal, terkait dengan pemotongan

sapi betina productive, antara lain:

1) Pemerintah dan atau petugas terkait di tingkat lapangan agar lebih

proaktif terutama untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman

Page 74: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 60

tentang ciri-ciri sapi bali yang produktif dan non produktif, baik kepada

petani ternak, jagal, dan saudagar sapi.

2) Diharapkan pemerintah terkait lebih jujur dan transparan dalam mendata

pemotongan sapi dilokasi RPH, agar data lebih akurat tidak ada rekayasa.

3) Memberikan pemahaman tentang pentingnya mempertahankan budaya

memelihara sapi dan mengembangkan populasi sapi bali disemua sektor

yang terkait, seperti petani, jagal atau saudagar sapi agar saudagar sapi

mencarikan sapi yang non produktif untuk para jagal.

4) Menciptakan suatu paket teknologi tentang untuk mengatasi kandungan

lemak pada sapi yang sudah afkir (tidak productive).

5) Melakukan tindakan hukum sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan

yang berlaku terkait dengan pemotongan sapi.

6) Melakukan pengawasan yang lebih ketat dan ketegasan hukum terhadap

oknum yang menyeludupkan sapi keluar daerah ataupun pada jagal yang

memotong sapi betina yang masih produktif.

7) Bemberikan upaya yang terbaik bagi para jagal dan para petani ternak agar

mampu bersinergi dalam melakukan penyelamatan terhadap sapi betina

produktif, baik di pihak jagal ataupun di tingkat petani.

8) Diharapkan para jagal mau memelihara sapi yang masih produktif dan baru

dipotong setelah tidak produktive.

9) Memberikan Insentif bagi petani yang tidak menjual sapinya yang masih

produktif, dan memberikan identitas semacam tanda tato pada sapi yg

dimilikinya.

10) Memberikan pemantauan yang ketat di lokasi pasar hewan agar sapi-sapi

produktif yang dijual kepeda jagal dapat diketahui dan didata berapa yang

produktif dan berapa yang tidak produktif.

11) Agar pemerintah menyiapkan dana talangan untuk membeli sapi betina

productive yang dijual peternak, sehingga masalah ekonomi yang dialami

peternak dapat teratasi.

12) Pengiriman kebutuhan daging keluar daerah khususnya di kota Jakarta,

tidak berupa pengiriman sapi hidup, tetapi daging sapi segar atau beku.

Page 75: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 61

13) Diharapkan dari pihak petani peternak untuk tidak menjual sapinya yang

masih produktif ke penjagal atau kesaudagar sapi, tetapi diusahakan

terlebih dulu pada petani ternak.

14) Diharapkan pemerintah membuat Asosiasi Jagal se Bali agar standar harga

daging sapi stabil.

4.9. Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali.

Mekanisme terjadinya pemotongan ternak sapi di RPH, ditunjukan dalam

Gambar 4.14. Dari Gambar 4.14 nampak bahwa setidaknya terdapat tiga jalur agar

ternak sampai di tangan jagal, antara lain: (1) peternak langsung menjual sapi kepada

jagal; (2) peternak menjual sapi kepada saudagar, kemudian saudagar menjual kepada

jagal; dan (3) peternak menjual sapi ke pasar hewan, kemudian bisa langsung dibeli

oleh jagal atau dibeli oleh saudagar, kemudian saudagar menjualnya ke jagal.

Selanjutnya jagal akan menempatkan ternak sapi yang mau dipotong di kandang yang

disediakan oleh RPH. Petugas atau penangguangjawab RPH akan memeriksa sapi

secara ante mortem. Terdapat dua rekomedasi hasil pemeriksaan yaitu: (1) Sapi layak

dipotong atau (2) sapi ditolak untuk dipotong, dengan beberapa alas an, antara lain:

sapi betina produktif, sapi bunting, sapi sakit menular. Berdasarkan pengakuan petugas

RPH di seluruh kabupaten, bahwa pemeriksaan ante mortem selalu dilakukan, namun

tidak pernah ada sapi yang ditolak untuk dipotong, kecuali untuk RPH Mambal di

Kabupaten Badung. Sekalipun direkomendasikan untuk tidak dipotong, namun jika

tetap dipotong oleh jagal, maka petugas RPH juga tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti

yang terjadi di RPH Mambal dari 193 sapi betina produktif yang ditolak untuk

dipotong, ternyata 10 ekor di antaranya tetap dipotong. Berdasarkan UU No 18 tahun

2009 yang direvisi menjadi UU No 41 tahun 2014, sapi betina produktif yang ditolak

dipotong hendaknya dibeli oleh pemerintah dan dipelihara oleh pemerintah.

Kenyataan di lapangan hingga saat ini Pemerintah Provinsi Bali, belum pernah

menyediakan dana talangan untuk membeli sapi betina productive hasil pemeriksaan

petugas RPH. Kondisi tersebut juga menyebabkan kurang taatnya para jagal terhadap

UU dan atau pertauran tentang penyelamatan sapi betina productive.

Sapi yang telah dipotong, juga dilakukan pemeriksaan post mortem, untuk

mengetahui kondisi bagian dalam dari seluruh ternak yang dipotong. Hasil

Page 76: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 62

pemeriksaan merekomendasikan daging yang layak dikonsumsi dan daging yang tidak

layak dikonsumsi. Daging yang tidak layak akan dimusnahkan, sedangkan yang layak

dikonsumsi akan dijual ke konsumen, melalui dua jalur yaitu: (1) langsung ke

konsumen dan (2) melalui pasar umum.

Keterangan:

Gambar 4.14. Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke konsusmen

Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya

pemotongan sapi betina produktif di Bali, dilihat dari dua aspek, yaitu aspek peternak

dan jagal termasuk petugas pemerintah. Untuk aspek petani, indicator yang digunakan

adalah pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif dan sikap peternak tentang

pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan

peternak sapi bibit tentang sapi betina produktif ada dalam katagori sangat rendah

sebanyak 62,2%; rendah 25,6% dan sedang hanya 12,2%. Rendahnya pengetahuan

peternak tentang sapi betina produktif, dapat menyebabkan peternak kurang atau

bahkan tidak memperhatikan kondisi sapi yang dijual, apakah masuk dalam katagori

sapi produktif atau tidak. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kebijakan

pemerintah untuk mengatasi pemotongan sapi betina produktif di Bali tidak efektif.

Padahal Undang-Undang tentang penyelamatan sapi betina produktif telah lahir sejak

Page 77: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 63

tahun 2009, melalaui UU No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi UU No 41

tahun 2014.

Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukan bahwa sikap peternak terhadap

pemotongan sapi betina produktif (Y), berkaitan dengan empat factor, antara lain: (1)

pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman peternak dalam beternak sapi bibit (X2), (3)

tujuan peternak beternak sapi bibit (X3) dan (4) dukungan pemerintah terhadap

peternak untuk beternak sapi bibit (X4). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya

bahwa secara bersama-sama keempat factor tersebut menunjukan pengaruh yang

nyata. Akan tetapi berdasarkan analisis regresi berganda dengan metode Stepwise,

ternyata hanya factor dukungan pemerintah berpengaruh nyata terhadap sikap peternak

sapi bibit, terkait dengan pemotongan sapi betina produktif.

Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa apabila ada dukungan

pemerintah maka sikap peternak semakin tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi

betina produktif. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dalam hal

menyelamatkan sapi betina produktif akan dapat berjalan dengan baik apabila

dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Seperti: (1) sosialisasi tentang

UU No 41 tahun 2014, secara optimal sehingga mampu meningkatkan pengetahuan

peternak tentang sapi betina produktif; (2) melakukan tindakan nyata terhadap

pelanggaran UU No 41 tahun 2014; (3) mengoptimalkan peran pemerintah, terkait

dengan palaksanaan UU tersebut, seperti penyediaan dana talangan untuk membeli

sapi betina produktif yang mau dipotong oleh jagal.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, untuk mengetahui tingkat

efektivitas kebijakan pemerintah terkait dengan penyelamatan sapi betina produktif,

juga dilihat dari aspek jagal dan pemerintah. Indicator yang digunakan dalam

penelitian ini adalah: (1) pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi betina

produktif; (2) tingkat pemotongan sapi betina produktif; dan (3) alasan jagal untuk

melakukan pemotongan sapi betina produktif. Data yang dikoleksi melalui FGD

menujukan bahwa tingkat pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi

betina produktif cukup memperihatinkan, karena hanya sebagian kecil jagal dan

petugas pemerintah yang mampu menyebutkan dengan benar tentang indicator sapi

betina produktif. Salain itu pemotongan sapi betina produktif di seluruh RPH, relative

cukup tinggi, mencapai rata-rata lebih dari 60%. Terdapat bebagai alasan jagal untuk

Page 78: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 64

melakukan pemotongan terhadap sapi betina produktif, antara lain: (1) kurang

tegasnya pemerintah untuk melaksanakan UU tentang penyelamatan sapi betina

produktif; (2) kadar lemak sapi betina afkir (telah melahirkan dan berumur labih dari

9 tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dara maupun sapi jantan; (3) harga sapi

jantan jauh lebih mahal dibandingkan sapi betina (produktif maupun tidak produktif),

sedangkan harga daging sapi di pasaran sama, sehingga secara ekonomis pemotongan

sapi betina produktif lebih menguntungkan; (4) jagal lebih mudah mendapatkan sapi

betina dibandingkan dengan sapi jantan, karena sapi jantan banyak yang dijual ke luar

Bali, khususnya Jakarta. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kebijakan

pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktif cenderung belum efektif.

4.10. Rencana Tindak Lanjut

Rencana tindak lanjut hasil penelitian ini, antara lain: (1) melanjutkan koleksi

data di tingkat saudagar sapi; (2) melakukan diseminasi tentang upaya penyelamatan

sapi betina produktif, kepada petani, jagal dan saudagar sapi serta kepada petugas

pemerintah sebagai penanggungjawab RPH dan TPH; (3) sosialisasi tentang

pemotongan sapi untuk mendapatkan daging sapi yang sehat (hygein), karena sebagian

besar RPH di Bali, kurang memenuhi standard kesehatan; (4) melakukan penelitian

dan atau pengkajian tentang pengurangan kandungan lemak sapi betina afkir dan (5)

mempublikasikan hasil penelitian melalui juournal ilmiah.

Page 79: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 65

V. SIMPULAN dan SARAN

5.1. Simpulan

Penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive

dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Balil,

menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain:

1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih

dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi

betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor.

2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang

terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.

a. Faktor Peternak:

i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat; (2)

adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli

(saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina produktif

dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang menguntungkan bagi

peternak dan keluarganya (local wisdom), (5) sapi dianggap majir, karena

tidak bunting setelah dikawinkan beberapa kali.

ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk

anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d) membiayai

keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi betina lebih

menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan tempat untuk

beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d) tenaga kerja sapi

tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan: (a) rendahnya

pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b) tidak mengetahui

adanya larangan pemotongan sapi betina produktif.

iii. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan

pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit

mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh

lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi

betina khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan

sapi betina afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan

saudagar tentang kreteria sapi betina produktif.

Page 80: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 66

3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina

produktif di Bali, belum efektif.

5.2. Saran

Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian antara lain:

1) Merevisi Undang-Undang No 41 tahun 2014, dengan memasukan sapi

bali betina usia produktif, namun dipercaya peternak kurang

mengguntungkan (local wisdom), karena adanya kelainan tertentu.

2) Mengembangkan sebuah model kelembagaan yang dikaitkan dengan

usaha peternakan sapi bibit, sehingga mampu secara langsung mengatasi

masalah ekonomi peternak.

3) Mengembalikan budaya pengolahan lahan sawah dengan sapi.

4) Mengembangkan sebuah model peternakan sapi bibit yang mampu

menarik minat generasi muda untuk beternak sapi bibit.

5) Memberlakukan Undang-Undang dan peraturan tentang penyelamatan

sapi betina produktif secara tegas.

6) Sosilisasi kepada peternak, jagal dan saudagar tentang penyelamatan sapi

betina produkif, sesuai dengan UU dan Peraturan yang berlaku.

7) Mengembangkan teknologi untuk memacu pertumbuhan sapi betina,

teknologi untuk mengatasi sapi majir, teknologi mengurangi prosentase

lemak sapi betina afkir.

Page 81: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 67

VI. DAFTAR PUSTAKA

Adlany. 2014. Definisi Pengetahuan. http://www.alhassanain.com/indonesian/

articles/articles/Philosophy_and_gratitude_library/definisi_pengetahuan/001

.html. Diunduh 15 Peb 2014

Alton. 1823 dalam Berata, JK. 2008. “Sapi Bali: palsma Nutfah yang Terancam”.

Wahana No. 62 Tahun XXIV-Agustus 2008.

Anon. 2013. Pentingnya Dukungan Infrastruktur dalam Program Swasembada Daging

http://beritadaerah.co.id/2013/11/18/pentingnya-dukungan-infrastruktur-

dalam-program-swasembada-daging/

Anon. 2015. Gubernur Pastika Berang Dikibuli Simantri. http://bali.bisnis.com/read/

20150423/15/51162/gubernur-pastika-berang-dikibuli-simantri

Asosiasi Peternak Sapi Kerbau Indonesia (APSKI) mengkhawatirkan. 2015.

http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/13/

08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesia-kembali-resah

Buyung Syahyudi. 2015. Populasi Sapi di Indonesia. https://plus.google.com/

115419385625597755980/posts

Badan Litbang Pertanian (2011) Edisi 30 Maret - 5 April 2011 No.3399 Tahun XLI

Agroinovasi

Bambang Soejosopoetro (2011) Studi Tentang Pemotongan Sapi Betina Produktif Di

RPH Malang. Jurnal Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011

Bagus Fitriansyah. 2011. Statistik Produksi dan Konsumsi Daging di Indonesia Serta

Peluang Usaha. Http://Be-Ef.Blogspot.Com/2011/02/Statistik-Produksi -

Dan-Konsumsi-Daging.Html

Bisnis Bali, 2015. Pemotongan Sapi Produktif NTT Lebih Nasional

http://bali.bisnis.com/read/20150503/15/51390/pemotongan-sapi-produktif-

ntt-lebih-nasional

Dedet Zelth. 2013. Pengertian, Tujuan Dan Fungsi Perencanaan http://dedetzelth.

blogspot.co.id/2013/02/pengertian-tujuan-dan-fungsi-perencanaan.html

Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi

Betina Produktif Tahun 2010. Kementerian Pertanian RI. Http://

Ednadisnak.Blogspot.Com/2011/05/Pedoman-Pelaksanaan-Penyelamatan-

Sapi.Html (Unduh 13 Agust 2015)

Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta:

Kementerian Pertanian

Page 82: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 68

Gerungan, W, A. 1996. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco

Gunawan, Dicky Pamungkas dan Lukma Affandhy. 2004. Sapi Bali, Potensi dan Nilai

Eknomi. Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Cet. 6.

Gatot Prasojo, Iis Arifiantini dan Kusdiantoro Mohamad. 2011. Korelasi Antara Lama

Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan

pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No. 1 : 41-45. ISSN :

1411 – 8327.4.

Herdaru Purnomo. 2014. Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4

Besar. http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/ 2517461 /4/negara-

dengan-penduduk-terbanyak-di-dunia-ri-masuk-4-besar

Haryana, R. 1989. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Sapi Bali Jantan Muda.

Disertasi. Program Doktor, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. 1989

Hartiningsih, N. 2006. Pengembangan Penelitian Penyakit Jembrana. Vaksin

Rekombinan sebagai kandidat Vaksin untuk Pencegahan Penyakit Jembrana

pada sapi Bali’. Lab. Bioteknologi. BPPV Regional VI

Inggriati, T, NW. 2014. “Perilaku Peternak Sapi Bali Perbibitan dalam Sistem

Penyuluhan di Bali” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas

Udayana.

Masudana, IW. 1990. Perkembangan Sapi Bali dalam Sepuluh Tahun Terakhir (1980-

1990). Seminar Nasional Sapi Bali, FAPET UNUD, Denpasar, Bali.

Oka, IGL. 2006. “Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali Sebagai Asset Tenak

Nasional”. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV.,

Denpasar, Bali, 24 Juni 2006.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret

University Press.

Maria Yosita, Undang Santosa, Endang Yuni Setyowati. 2011. Persentase Karkas,

Tebal Lemak Punggung dan Indeks Perdagingan, Sapi Bali, Peranakan

Ongole dan Australian Commercial Cross. Fakultas Peternakan, Universitas

Padjadjaran, Sumedang

Muchlisin, R. 2013. Pengertian, Tingkatan dan Cara Memperoleh Pengetahuan.

http://www.kajianpustaka.com/2013/05/pengertian-tingkatan-dan-cara.html.

Diunduh 15 Peb 2014.

Nugraha Setiawan. (“tt”). Perkembangan Konsumsi Protein Hewani di Indonesia:

Analisis Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional 2002-2005. Fakultas

Peternakan Universitas Padjadjaran

Page 83: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 69

Puskeswan Padang Panjang. 2011. Pemotongan Sapi Betina Produktif pada saat

Qurban. http://www.puskeswanpadangpanjang.com/2011/10/pemotongan -

sapi-betina-produktif-pada.html

Republika. 2013. Populasi Ternak \Merosot, Peternak Indonesia Kembali Resah.

http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-

network/13/08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesia-

kembali-resah

Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah. 2013. Pemotongan Sapi Betina

Umur Produktif dan Kondisi RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.

Workshop Nasional: Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal Fakultas

Peternakan Unpad, 13 Nopember 2013

Rofi Munawar. 2014. Impor Sapi Australia Bakalan Rusak Swasembada Pangan

Jokowi. Merdeka.com (29 November 2014. http://www.merdeka.

com/uang/impor-sapi-bakalan-australia-rusak-swasembada-pangan-

jokowi.html

Soehaji, H. 1991. “Kebijakan pengembangan ternak potong di Indonesia”. Proc.

Seminar Nasional Sapi Bali, 2-3 September 1991. Fak. Peternakan, UNHAS,

Ujung Pandang. Pp.1-32.

Sayang Yupardi. 2009. Sapi Bali: Mutiara dari Bali. Udayana Universty Press.

Kampus Universitas Udayana, Sudirman, Denpasar, Bali.

Sweta, IGP. 1982. Kerugian Ekonomi oleh cacing hati pada sapi Bali sebagai implikasi

dan lingkungan hidup pada Ekosistem Pertanian di Pulau Bali. Disertasi Univ.

Pajajaran, Bandung

Siagian, S.P. 1988. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Bina Aksara

Suharto. 2006. Manajemen Agribisnis dan Teknmologi Pengolahan Limbah Ternak

Sapi Bali. Limbah Hijau M Sehari Multifarm-Research Station, Solo,

Indonesia. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV.,

Denpasar, Bali, 24 Juni 2006.

Sudrajat, A. 2008.Teori-Teori Motivasi.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/

2008/02/06/teori-teori-motivasi/ (diunduh 8 Oktober 2012)

Suwono. 2011. http://www.balipost.co.id/ mediadetail.php? module=

detailberita&kid=10&id=31865

Syahyuti. 2010. Pupulasi Sapi Nasional. Data dan Fakta Daging. https://plus. google.

com/115419385625597755980/posts

Page 84: LAPORAN AKHIR PENELITIAN...Laporan Akhir KKP3SL-2015 i LAPORAN AKHIR PENELITIAN UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI …

Laporan Akhir KKP3SL-2015 70

Suardana, I Made Sukada1, I Ketut Suada1, Dyah Ayu Widiasih2. 2013. Analisis

Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah.

Pemotongan Hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. Jurnal Sain

Veteriner. ISSN : 0126 – 0421. JSV 31 (1), Juli 2013

Undang Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009. Tentang: Peternakan dan

Kesehatan Hewan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.

Wiguna A.A. & Tatik Inggriati. 2007. Pengembangan Agribisnis Pengolahan Pakan

& Limbah Peternakan di Kabupaten Tabanan. Laporan Akhir

Wiguna A.A dkk. 2007. Trasformasi Inovasi Teknologi Pertanian pada Ekosistem

Subak di Bali. Laporan Hasil Pengkajian, Kasus Subak Wangaya Betan,

Mengesta, Penebel Tabanan, Bali.

Wikipedia the free encyclopedia ”t.t”. Agricultural Extension.http://en.

wikipedia.org/wiki/Agricultural extention.Diunduh tanggal 14 Pebruari

2012.

World Factbook, 2011. Wikipedia. Daftar Negara Menurut Angka Harapan Hidup

https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_angka_harapan_hidup