Upload
others
View
30
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Akhir KKP3SL-2015 i
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
UPAYA MENGATASI
PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE
DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI
BERKELANJUTAN DI BALI
Oleh: Dr. Ir. I Wayan Alit Artha Wiguna
Dr. Ir. Ni Wayan Tatik Inggriati Dr. Ir. Sahat Pasaribu Ir. Rita Indrasti, M.Si
Drh. Nata Kusuma, MMA Nyoman Budiana, SPt
I Gst. Made Widianta, SP
BIDANG PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN
E. Kebijakan pembangunan pertanian daerah 1. Regulasi dan kebijakan pengelolaan sumberdaya pertanian
E.1.1. Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN BALI
2015
Laporan Akhir KKP3SL-2015 ii
UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIVE
DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI
BERKELANJUTAN DI BALI
NAMA PENELITI UTAMA : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna
NIP : 19590907 198603 1 002
NAMA BPTP : BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN
(BPTP) BALI
INSTITUSI YANG TERLIBAT:
1. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor
2. Balai Besar Pengembangan Pengkajian Tekonologi Pertanian, Bogor
3. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali
4. Fakultas Peternakan Universitas Udayana Denpasar, Bali
5. Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali
BIDANG PRIORITAS: Kajian regulasi sektor pertanian khususnya terkait pembangunan pertanian daerah (E.1.1)
Laporan Akhir KKP3SL-2015 iii
UPAYA MENGATASI PEMOTONGAN SAPI BETINA PRODUKTIF
DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI BERKELANJUTAN DI BALI
1. Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna
2. NIP : 19590907 198603 1 002
3. Nama BPTP : BPTP Bali
4. Nama Pemda/Stakeholder
yang terlibat : Dinas Peternakan Provinsi Bali
5. Nama Pusat/Puslit/BB/Balit
yang terlibat : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian
6. Bidang Prioritas : Kajian regulasi sektor pertanian
khususnya terkait pembangunan
pertanian daerah (E.1.1)
Laporan Akhir KKP3SL-2015 iv
Lembar Pengesahan
KERANGKA ACUAN
7. Judul Kegiatan : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina
Produktive dalam Mendukung Swasembada
Daging Sapi Berkelanjutan di Bali 8. BPTP Pengusul : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 9. Alamat : Jalan By Pass Ngurah Rai, Pesanggaran, Bali 10. Diusulkan Melalui : Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian 11. Sifat Usulan Kegiatan : Baru 12. Peneliti Utama/ Penanggung jawab : Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna
13. Personalia:
a. Peneliti/Penyuluh : 4 orang
b. Pembantu Peneliti : 2 orang
c. Teknisi : 1 orang
d. Adminitrasi : 1 orang
14. Tahun dimulai kegiatan : 2015
15. Biaya Kegiatan Th. 2015 : Rp.131.575.000,-
16. Jangka Waktu Pelaksanaan: 2 (dua) tahun
a. Mulai dilaksanakan : 2015
b. Berakhir : 2016
Disetujui Kepala BPTP Penanggung jawab Kegiatan
Ir. A.A.N.B. Kamandalu, M.Si Dr. I Wayan Alit Artha Wiguna NIP: 19591013 198703 1 002 19590907 198603 1 002
Laporan Akhir KKP3SL-2015 v
RINGKASAN
1. Judul : Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive
dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi
Berkelanjutan di Bali.
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali
3. Lokasi : 8 kabupaten, satu kota di Provinsi Bali
4. Tujuan :
a. Tujuan Antara adalah untuk mengetahui:
1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.
2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di
Bali.
3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya
pemotongan sapi betina produktif di Bali.
b. Tujuan jangka panjang: Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan
petani melalui swasembada daging sapi.
5. Deskripsi Penelitian:
Penelitian tentang, Upaya mengatasi pemotongan sapi betina produktif untuk
mendukung swasembada daging sapi berkelanjutan di Bali, dilakukan selama dua
tahun (2015-2016). Penelitian dilakukan di 8 kabupaten dan satu kota di Bali.
Tujuan penelitian, adalah untuk menghindari terjadinya pemotongan sapi betina
produktif melalui implementasi yang tepat dari kebijakan pemerintah. Sedangkan
tujuan akhir dari penelitian adalah peningkatan pendapatan petani, dengan
mempercepat pencapaian berkelanjutan swasembada sapi potong.
6. Metode Penelitian:
Metode penelitian adalah melalui observasi lapangan, survey, Focus Group
Discussion (FGD), interview mendalam. Analisis data dilakukan secara deskriptif,
tabulasi silang (Cross Tabulation), Regresi berganda metode Enter dan Stepwise.
7. Keluaran yang diharapkan dari Tahun berjalan: Data dan informasi, tentang jumlah
sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun, tingkat efektivitas kebijakan
pemerintah terhadap pemotongan sapi betina produktif di Bali.
8. Lama penelitian: 2 (dua) tahun
Laporan Akhir KKP3SL-2015 vi
9. Biaya penelitian tahun 2015: Rp.131.575,000 (Seratus Tiga Puluh Satu Juta Lima
Ratus Tujuh Puluh Lima Ribu Rupiah).
10. Hasil Penelitian:
Hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive
dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain:
1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih
dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi
betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor.
2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang
terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.
a. Faktor Peternak:
i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat;
(2) adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli
(saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina
produktif dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang
menguntungkan bagi peternak dan keluarganya (local wisdom), (5)
sapi dianggap majir, karena tidak bunting setelah dikawinkan beberapa
kali.
ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk
anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d)
membiayai keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi
betina lebih menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan
tempat untuk beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d)
tenaga kerja sapi tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan:
(a) rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b)
tidak mengetahui adanya larangan pemotongan sapi betina produktif.
b. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan
pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit
mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh lebih
mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi betina
khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi betina
Laporan Akhir KKP3SL-2015 vii
afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan saudagar
tentang kreteria sapi betina produktif.
3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina
produktif di Bali, belum efektif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 viii
SUMMARY
1. Title : The Effort to Overcome, Slaughtering of Productive Bali
Cow to Supporting Sustainable Beef Catle Self-
Sufficiency in Bali.
2. Implementing Unit : Assessment Institute for Agriculture Technology (AIAT)
Bali
3. Location : 8 Regencies and 1 city at Bali Province
4. Objectives :
a. Immediate Objectives:
1) Knowing the amount of productive bali cows slaughtered each year in
Bali.
2) Knowing, Factors that cause the slaughtered productive bali cows in Bali.
3) Determine the effectiveness of government policies to overcome the
slaughtered productive bali cows in Bali.
b. Long Term Objectives: Increased income and welfare of farmers, as well as the
achievement of sustainable beef self-sufficiency.
5. Description of Project:
Research on, The Effort to Overcome, Slaughtering Productive Bali Cow to
Supporting Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, conducted for two year
(2015-2016). The study located in 8 regencies and one city in Bali. The purpose of
research, is to avoid the occurrence of productive bali cow slaughtered, through a
proper implementation of government policy. While the ultimate goal of research
is the increasing income of the farmers, by accelerating the achievement of
sustainable self-sufficiency in beef cattle.
6. Methodology:
The research method is through observation, survey, Focus Group Discussion
(FGD), in-depth interview. The data were analyzed descriptively, cross tabulation
(Cross Tabulation), Multiple Regression with Enter and Stepwise method.
7. Expected Output of Year: Data and information, about the number of productive
cows slaughtered each year, the level of effectiveness of government policy on
cow slaughtered in Bali.
8. Duration: 2 (two) years
Laporan Akhir KKP3SL-2015 ix
9. Proposed Budget in 2015: IDR.131.575,000 (One hundred and Thirty One Million
Five Hundrade and Seventy Five Thousand Indonesian Rupiah).
10. The results research of the efforts to avoid slugter of productive cows in Supporting
Sustainable Beef Self-Sufficiency in Bali, among others:
1) The number of productive cows slaughtered each year in Bali, reaching more
than 80% of cows slaughtered in the abattoir and TPH. While the number of
cows slaughtered in Bali the period from January to August 2015 to reach
11,287 head.
2) Factors that cause the slaughter productive cows in Bali, among others:
a. Breeders factors:
i. External factors breeders include: (1) bovine growth slow; (2) the
opportunities cattle prices are expensive; (3) impulse buyer (merchant
or slaughterhouse); (4) trust in the productive cows with a specific
indicator, which is believed less profitable for farmers and their families
(local wisdom), (5) the cow is considered majir (can not be pregnant),
because it is not pregnant after breeding a couple of times.
ii. Internal factors of farmers, among others: (1) economic factors: (a) the
money for their children in school (b) religious ceremonies; (c) building
a house; (d) finance for sick family; (e) pay the debt, (f) maintain more
profitable cows. (2) technical factors: (a) it is hard to get a place for
breeding; (b) farmers who are old; (c) the difficulty of feed, (d) labor
replaceable cow with a tractor. (3) factor of knowledge: (a) lack of
knowledge of farmers on productive cows; (b) is not aware of any
prohibition of slaughter productive cows.
b. Factors slaughterhouse or officer: (1) Lack of government commitment
and firmness in applying the applicable law; (b) It is difficult to get cows
that are not productive; (c) the price of the bulls is much more expensive
than the price of a cow; (d) cut veal cows especially more profitable than
cows culled a lot of fat; (e) the lack of understanding about the butchers
and merchants criteria productive cows.
3) The government policy to overcome the cutting productive cows in Bali, not
yet effective
Laporan Akhir KKP3SL-2015 x
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ………………………………………………… iv
RINGKASAN ………………………………………………………. v
SUMMARY………………………………………………………….. viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………... x
DAFTAR TABEL ………………………………………………… xiii
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………… xiv
I PENDAHULUAN ………………………………………………….. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………. 3
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………..…….. 3
1.4 Keluaran yang Diharapkan ………………………………………….. 4
1.5 Manfaat dan Dampak ……………………………………………… 4
1.5.1 Manfaat …….………………………………………………… 4
1.5.2 Dampak …………………...…………………………………… 4
1.6 Lingkup Kegiatan …………………………………………………… 5
II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 6
2.1 Karakteristik Sapi Bali ………………………………………………. 6
2.2 Keunggulan Sapi Bali ……………………………………………….. 8
2.3 Kelemahan Sapi Bali ………………………………...……………… 10
2.4 Pengertian Sapi Betina Produktif ….………………………………... 11
2.5 Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif ………………… 13
2.6 Kebijakan pemerintah Pemerintah Tentang Penyelamatan Sapi
Betina Produktive …………………………………………………… 13
2.7 Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif ………………………. 14
2.8 Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif … 16
2.9 Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif ………………. 17
2.9.1 Dampak Non Ekonomi ……………… ….…………………… 18
2.9.2 Dampak Ekonomi …...………………………………………… 22
Laporan Akhir KKP3SL-2015 xi
III METODELOGI PENELITIAN ……………………………………. 26
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian …………………………………….. 26
3.1.1 Waktu Penelitian ……………………………………………. 26
3.1.2 Lokasi Penelitian …………………………………………… 26
3.2 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data ………………………… 26
3.2.1 Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali
setiap tahun ……………..………….………………………… 26
3.2.2 Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi
betina produktif di Bali ……………………………………… 26
3.2.3 Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk
mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali 27
IV HASIL PENELITIAN ………………………………………………. 31
4.1 Karakteristik Peternak Sapi Bibit ……………………………………. 31
4.1.1 Umur Peternak dan pengalaman beternak …………..………… 31
4.1.2 Pendidikan Peternak ……………………………..…………… 31
4.1.3 Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina …………………… 32
4.1.4 Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi
Bibit …………………………………………………………… 33
4.1.5 Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit ……………………. 35
4.2 Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit ………………. 36
4.3 Harapan Peternak Sapi Bibit ………………………………………… 37
4.4 Sikap Peternak ………………………………………………………. 38
4.5 Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali ……………… 40
4.6 Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali……………………. 42
4.7 Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali …… 44
4.8 Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif
di Bali ……………………………………………………………….. 51
4.8.1 Di tingkat peternak sapi …………………………………..…... 51
4.8.2 Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan ……………… 55
4.9 Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya
pemotongan sapi betina produktif di Bali …………………………… 61
4.10 Rencana Tindak Lanjut …………………………………………….. 64
Laporan Akhir KKP3SL-2015 xii
V SIMPULAN DAN SARAN ………………………………………… 65
5.1 Simpulan …………………………………………………………. 65
5.2 Saran ………………………………………………………………… 66
VI DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 67
Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiii
DAFTAR TABEL
No Judul Tabel Halaman
1.1 Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk
dalam 16 tahun ……………………………………………… 21
1.2 Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat
pemotongan sapi betina produktif di Indonesia ……………… 23
1.3 Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi
Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam
Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali. 28
4.1 Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit ……… 31
4.2 Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali ……………… ……… 32
4.3 Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina …………. 33
4.4 Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi ………………… 33
4.5 Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive ……… 34
4.6 Penting tidaknya memelihara sapi bibit ……………………... 35
4.7 Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit ………. 36
4.8 Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Bibit ……………………………………. 38
4.9 Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif ... 40
4.10 Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015 ……………… 44
4.11 Penyebaran Jagal di Bali …………………………………….. 50
4.12 Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015
(Data Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Bali,
2015) ………………………………………………………….. 52
Laporan Akhir KKP3SL-2015 xiv
DAFTAR GAMBAR
No Judul Gambar Halaman
2.1 Sapi Bali jantan berwarna merah bata sebelum dewasa
kelamin …. …………………………………………………… 7
2.2 Sapi Bali jantan berwarna hitam setelah dewasa kelamin …… 7
2.3 Sapi Bali betina sebelum dewasa berwarna merah bata ……… 8
2.4 Sapi Bali betina setelah dewas, tetap berwarna merah bata … 8
2.5 Dampak pemotongan sapi betina produktif ………………… 18
2.6 Analisis impor sapi dan daging sapi …………………………. 24
4.1 Lokasi RPH dan TPH di Bali ………………………………… 41
4.2 Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan
peluang terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya 45
4.3 Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya
dalam empat tahun berikutnya ……………………………… 46
4.4 Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal,
Badung ……………………………………………………… 48
4.5 Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten
Karangasem ………………………………… ……………….. 50
4.6 Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina
produktif yang akan dipotong di RPH Pesanggaran
(Denpasar) ……………………… …………………………… 49
4.7 Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani ……. 51
4.8 Alasan eksternal peternak menjual sapi betina ……………… 52
4.9 Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina ………….. 53
4.10 Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif … 53
4.11 Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi
pemerintah …………………………………………………… 54
4.12 Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina
produktif ……………………………………………………… 54
4.13 Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri
dari unsur kepolisian, khususnya Polda Bali ………………… 55
4.14 Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke
konsusmen ……………………………………………………. 62
Laporan Akhir KKP3SL-2015 1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Suwono (2011) menyatakan, bahwa 70% kebutuhan daging nasional yang
mencapai sebesar 100 ribu ton per tahun, dipenuhi dari daging impor, hanya 30%
yang dipasok dari industri dalam negeri. Salah satu penyebab rendahnya
kemampuan nasional untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri, adalah
tingginya jumlah pemotongan sapi betina produktif yang mencapai 200 ribu ekor
per tahun. Kondisi tersebut diperkirakan sebagai salah satu penyabab tidak
tercapainya swasembada daging yang telah diprogramkan sejak 2005.
Direktorat Jenderal Peternakan (2010) mencatat bahwa 40% dari 1,7 juta
ternak yang dipotong adalah betina. Dari 40% tersebut, sebanyak 25% di antaranya
adalah betina produktif. Hal tersebut berarti sekitar 10% dari jumlah sapi yang
dipotong adalah sapi betina produktif, atau setara dengan 170 ribu ekor setiap tahun.
Apabila kondisi tersebut dibiarkan terus berlangsung maka populasi sapi dalam negeri
semakin menurun.
Badan Pusat Statistik Bali (2013) menunjukkan bahwa populasi sapi bali pada
tahun 2006 adalah sebanyak 257.551 ekor jantan dan 355.690 ekor betina. Pepulasi
tersebut menjadi 267.032 ekor jantan dan 384.184 ekor betina pada tahun 2012. Hal
tersebut berarti bahwa terjadi peningkatan populasi sapi jantan sebesar 3,68% dan sapi
betina 8,01% dalam kurun waktu 5 tahun. Namun dalam waktu setahun (2012-2013)
populasi sapi jantan menjadi 185.489 ekor atau menurun sebesar 30,54%. Sedangkan
sapi betina menjadi 292.657 ekor atau menurun sebesar 23,82%. Belum ada data yang
pasti tentang populasi sapi bali di Bali pada tahun 2014, namun beberapa media telah
memberitakan bahwa populasi sapi bali menurun cukup dratis. Penurunan populasi
sapi bali di Bali dapat berpengaruh terhadap meningkatnya impor sapi, yang pada
akhirnya akan berdampak terhadap penggunaan devisa Negara. Karena Bali
merupakan salah satu provinsi penting sebagai penghasil daging nasional.
Sesungguhnya upaya pengendalian pemotongan sapi betina produktif telah
dimulai sejak zaman Belanda. Terbukti dari adanya peraturan perundang-undangan
pelarangan pemotongan ternak betina produktif yang tertuang dalam Staatblad No. 614
Pasal 2 Tahun 1936. Kemudian dipertegas dengan Instruksi Bersama antara Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 1979 tentang Pencegahan dan
Laporan Akhir KKP3SL-2015 2
Larangan Pemotongan Ternak Sapi/Kerbau Betina Bunting dan atau Sapi/Kerbau
Betina Bibit. Di samping itu dalam Staatblad tahun 1936 dijelaskan juga bahwa
dilarang menyembelih atau menyuruh menyembelih ternak besar bertanduk (sapi dan
kerbau) yang betina. Bahkan menurut UU No 18 tahun 2009, yang direvisi menjadi
Undang-Undang No 41 tahu 2014, tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
mengatakan bahwa pemotongan sapi betina produktif merupakan tindakan yang salah
dan pelakunya dapat diancam 6 bulan kurungan. Artinya bahwa yang memotong dan
yang menyuruh sama-sama dapat sangsi hukum. Alasan dan tujuan larangan tersebut
yaitu untuk mencegah penurunan perkembangan ternak sapi dan kerbau, menjamin
kelestarian dan meningkatkan produksi serta mencegah menurunnya jumlah populasi
ternak sapi dan kerbau.
Secara nasional upaya tersebut hampir tidak memberikan hasil apapun, terbukti
masih tingginya indikasi pemotongan sapi betina produktif yang mencpai sekitar 10%
dari sapi yang dipotong dan tidak adanya “jagal” atau tukang potong sapi yang
dihukum. Di Sumatra Barat, pemotongan sapi betina produktif mencapai 10.000 ekor
tahun 2009. Kondisi di Bali tidak jauh berbeda, karena pemotongan sapi betina
produktif nampaknya tetap dan terus berlangsung setiap hari.
Suci Emilia Fitri (2010), menyatakan bahwa populasi sapi di Indonesia, tidak
lebih dari 10% jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan dengan populasi sapi di
Selandia Baru yang mencapai 12 juta ekor atau empat kali jumlah penduduknya yang
kurang dari 4 juta orang. Kondisi tersebut menyebabkan hingga saat ini, Indonesia
masih kekurangan daging sapi, sehingga harus mengimpor sapi hidup maupun daging
sapi, untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Gita Wirjawan pada tahun 2011 yang
mengatakan bahwa 3-4 tahun mendatang Indonesia akan kehabisan stok sapi jika tidak
menggenjot produksi dalam negeri atau impor. Gita memperkirakan stok sapi nasional
saat itu hanya berada di angka sekitar 13 juta hingga 14 juta ekor, sementara kebutuhan
konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 3-4 juta ekor per tahunnya. Kondisi tersebut
menyebabkan jumlah ternak sapi Indonesia telah berkurang sebanyak 2,4 juta ekor
dalam dua tahun terakhir. Penurunan drastis jumlah ternak sapi tersebut kemungkinan
besar disebabkan oleh tingginya pemotongan sapi betina produktif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 3
Suardana, dkk. (2013) menyatakan bahwa persentase sapi bali betina yang
dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif. Kondisi yang hampir sama juga
terjadi di RPH Mambal, bahwa persentase sapi bali betina produktif yang dipotong di
RPH tersebut sebesar 67,49%. Apabila hal tersebut dibiarkan, maka populasi sapi bali
akan cenderung terus berkurang dan suatu ketika, bukan tidak mungkin plasma nuftah
sapi bali akan hilang. Padahal sapi bali merupakan salah satu sapi asli Indonesia, yang
memiliki berbagai kelebihan dibandingkan dengan sapi lainnya.
Secara umum diperkirakan bahwa penyebab utama terjadinya pemotongan sapi
betina produktif, adalah motif ekonomi. Namun belum ada data yang pasti tentang hal
tersebut, termasuk solusi untuk mencegah terjadinya pemotongan sapi betina
produktif, sehingga pemotongan sapi betina produktif terus berlanjut. Terkait dengan
kondisi itu, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Upaya Mengatasi Terjadinya
Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi
Berkelanjutan di Bali”. Hasil penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi pemerintah
dan masyarakat serta akademisi, untuk mencapai program PSDS di Indonesia, yang
telah diwacanakan sejak 2005 namun hingga kini belum pernah tercapai.
1.2. Rumusan Masalah
Untuk menetapkan langkah atau upaya yang perlu dilakukan dalam mencegah
pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka perlu diketahui dengan baik dan benar
tentang penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif. Terkait dengan hal
tersebut, maka setidaknya terdapat tiga rumusan masalah yang ada dalam penelitian
ini, antara lain:
1) Berapa jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali?
2) Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina
produktif di Bali?
3) Bagaimana tingkat efektivitas kebijakan pemerintah selama ini untuk
mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina
Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali,
bertujuan untuk mengetahui:
1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 4
2) Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.
3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya
pemotongan sapi betina produktif di Bali.
1.4. Luaran yang Diharapkan
Keluaran yang diharapkan dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi
Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada
Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain data dan informasi tentang:
1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.
2) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pemotongan sapi betina produktif di
Bali.
3) Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan
sapi betina produktif di Bali.
1.5. Manfaat dan Dampak
Perkiraan manfaat dan dampak dari hasil penelitian tentang Upaya Mengatasi
Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktive dalam Mendukung Swasembada
Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, antara lain:
1.5.1. Manfaat
a) Manfaat untuk pemerintah: (1) sebagai dasar pertimbangn dalam
mengambil langkah kebijakan untuk mengantisipasi pemotongan sapi
betina productive di masa mendatang; (2) mempercepat tercapainya
program PSDS.
b) Manfaat untuk akademinisi: sebagai bahan kajian ilmiah atau penelitian
dalam memperluas khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
pemotongan sapi betina productive.
c) Manfaat untuk peternak: meningkatkan pengetahuan tentang dampak
pemotongan sapi betina productive.
1.5.2. Dampak
Dampak yang berpeluang akan terjadi dari implementasi hasil penelitian ini
antara lain:
1. Berkurangnya pemotongan sapi betina productive;
2. Meningkatnya populasi sapi bali di Bali;
3. Tercapainya program PSDS secara berkelanjutan;
Laporan Akhir KKP3SL-2015 5
4. Tercapainya Bali sebagai sumber atau pusat penyedia bibit sapi bali
berkualitas baik, secara nasional;
5. Mengurangi penggunaan devisa negara untuk import daging sapi.
1.6. Lingkup Kegiatan
Lingkup kegiatan penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan
Sapi Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di
Bali, meliputi: (1) Perencanaan penelitian; (2) pelaksanaan penelitian, meliputi: (a)
Pengambilan data penelitian, (b) Analisis data penelitian, (c) Pelaporan, (d) Seminar
hasil penelitian, dan (e ) Publikasi ilmiah.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 6
III. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakteristik Sapi Bali
Sapi bali merupakan ternak asli Indonesia yang mempunyai masa depan
ekonomi yang cerah (a promising economic future) dan telah tersebar di 26 Provinsi
(Gunawan, dkk., 2014). Merupakan domestikasi dari banteng (Bibos banteng Syndicus
Bos sondaikus) yang telah terjadi sejak zaman prasejarah. Karakteristik sapi bali
hampir sama dengan banteng (Bos sondaikus). Perbedaannya hanya pada bentuk badan
sapi bali yang lebih kecil dibandingkan dengan banteng. Hal tersebut terjadi sebagai
akibat dari proses penjinakan, yang menyebabkan bentuk tubuh sapi bali, menjadi
lebih kecil, dibandingkan banteng yang asli, yang kini masih banyak hidup liar di
Taman Nasional Ujung Kulon, Baluran, dan Alas Purwo. Berat dan tinggi gumba sapi
bali menjadi lebih rendah dibandingkan dengan banteng. Semula yang beratnya
mencapai 900 kg per ekor menjadi hanya 700 kg per ekor. Demikian pula tinggi gumba
yang semula 170 cm, menjadi hanya 145 cm pada sapi bali (Prefer & Sinaga, 1964;
Oka, 1991 dalam Gunawan, dkk., 2004). Taksonomi sapi bali termasuk Ordo:
Artiodactyla, Kelas: Ruminansia, Family: Bovidae, Genus: Bos dan Species:
Javanicus (Berata, 2008).
Sapi Bali, yang sering disebut “Balinese Cow”, memiliki berbagai keunggulan,
sangat menarik dan potensial untuk dikembangkan (Suharto, 2006). Secara umum ciri
sapi bali adalah: warna bulu kuning kemerah-merahan atau merah bata, pendek, halus
dan licin sejak lahir. Memiliki bulu berwarna hitam pada pungung yang membentuk
garis dari punggung hingga ke pangkal ekor, sehingga sering disebut garis punggung.
Ciri yang paling khas adalah cermin atau mirror yaitu bulu berwarna putih pada pantat
dan di bawah lutut. Warna putih pada lutut ke bawah, menyebabkan sapi bali sering
disebut sapi yang selalu menggunakan “kaos kaki”.
Ciri lainnya adalah warna bulu telinga putih, bulu ekor hitam, moncong
kehitam-hitaman, tidak berpunuk. Warna bulu sapi bali yang jantan, akan berubah dari
merah bata sebelum dewasa (Gambar 2.1) menjadi hitam, ketika sudah mulai dewasa
kelamin, sekitar umur 12-18 bulan (Gambar 2.2). Perubahan warna bulu tersebut
terjadi secara perlahan, mulai dari kepala menuju ke pangkal ekor sampai pada
Laporan Akhir KKP3SL-2015 7
akhirnya seluruh bulu berwarna hitam pekat, kecuali warna bulu bagian pantat, lutut
ke bawah dan telinga.
Gambar 2.1. Sapi Bali jantan berwarna
merah bata sebelum dewasa kelamin
Gambar 2.2. Sapi Bali jantan berwarna
hitam setelah dewasa kelamin
Warna hitam pada sapi jantan akan berubah kembali menjadi merah, secara
perlahan mulai dari pangkal ekor menuju ke arah kepala, apabila sapi tersebut di
kastrasi. Namun sekarang sangat jarang peternak melakukan kastrasi, karena
nampaknya akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Hal tersebut dapat
dimengerti karena setelah dikastrasi, kemungkinan besar akan mengalami stress,
sehingga mempengaruhi nafsu makan ternak, yang pada akhirnya akan berdampak
pada laju pertumbuhan ternak. Dengan demikian nampak jelas bahwa perubahan
warna bulu pada sapi bali jantan memiliki hubungan yang erat dengan sistem hormonal
sapi bali, khususnya karena tidak diproduksinya hormon testosteron, hormon yang
berhubungan dengan reproduksi ternak, yang dihasilkan oleh testis (Haryana, 1989).
Sedangkan warna merah bata sapi bali betina tidak mengalami perubahan (warna
konstan) selama hidupnya.
Warna tersebut merupakan warna standar sapi bali (Oka, 2006), yang tidak
akan pernah berubah sejak lahir sampai mati (Gambar 2.3 & 2.4). Selanjutnya
pemerintah dalam rangka pelestarian kemurnian sapi bali, menetapkan warna standar
sapi bali antara lain (Gunawan, dkk., 2004): (1) Warna putih pada kedua paha
belakang; (2) Warna putih pada persendian loncat dari keempat kaki; (3) Garis hitam
pada jalur garis punggung dan (4) Warna hitam di bagian ujung ekor. Pada kasus
tertentu juga terdapat warna sapi bali yang tidak standar, antara lain: (1) Sapi Injin
yaitu sapi baik jantan maupun betina sejak lahir, hingga dewasa berwarna hitam, dan
sifat tersebut menurun secara dominan; (2) Sapi poleng, yaitu sapi yang lahir ada
Laporan Akhir KKP3SL-2015 8
kelainan pada ekor dengan warna, bercak-bercak putih, juga menurun secara dominan;
(3) Sapi cundang, yaitu sapi yang sejak lahir memiliki gugusan warna putih pada
bagian muka, yang bersifat dominan; (4) Sapi putih (albino) sering disebut sapi bule,
yaitu sapi yang lahir hingga dewasa berwarna putih (albino), bersifat resesif; (5) Sapi
gading, yaitu sapi yang sejak lahir hingga dewasa memiliki warna bulu dan kulit yang
putih pada bagian moncongnya. Sifat-sifat sapi gading menurun secara resesif; (6)
Sapi panjut, yaitu sapi yang sejak lahir, ujung bulu ekornya berwarna putih, namun
sifat tersebut tidak menurun; dan (7) Sapi tul-tul yaitu sapi yang sejak lahir berwarna
tul-tul atau abu-abu, dan sifat inipun juga tidak menurun.
Gambar 2.3. Sapi Bali betina sebelum
dewasa berwarna merah bata
Gambar 2.4. Sapi Bali betina setelah
dewas, tetap berwarna merah bata
2.2. Keunggulan Sapi Bali
Sapi Bali lebih unggul dibandingkan dengan sapi lainnya, dalam berbagai hal
seperti:
1. Angka kelahiran antara (40-85)%, yang ditunjang dengan calving interval yang
relative cepat (379 hari), serta kemampuan menghasilkan embrio (super ovulasi)
antara 7-14 buah, sehingga melalui embryo transfer seekor sapi jantan dapat
menghasilkan keturunan sebanyak 30 ekor per tahun, sehingga populasi sapi Bali
dapat berkembang dengan cepat (Gunawan, dkk., 2004).
2. Induk Sapi Bali memiliki kesuburan yang tinggi antara (82-86)%, terbukti bahwa
sapi Bali yang dikirim puluhan tahun lalu ke NTT, NTB dan Sulawesi Selatan
dapat berkembang pesat, bahkan populasinya di daerah tersebut melebihi populasi
sapi Bali di Bali.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 9
3. Memiliki daya adaptasi terhadap lingkunggan (heat tolerance) yang besar karena
memiliki tata lintas air yang kecil dengan daya simpan air yang besar, sehingga
daya tahan tubuh menjadi sangat tinggi, tahan terhadap cekaman cuaca panas.
4. Daya cerna unsur N (nitrogen) yang tinggi terutama dalam hijauan bergizi rendah,
karena memiliki kadar urea darah yang tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan
jenis sapi lainnya. Sapi Bali juga memiliki kemampuan yang tinggi dalam
mencerna pakan berserat kasar tinggi.
5. Memiliki persentase karkas yang mencapai 56,6% dengan rasa daging yang lembut
dan gurih, karena kadungan lemak dalam dagingnya relative rendah antara 2-6,9%.
Sapi Bali mampu menghasilkan daging dengan kualitas “Prime Karkas” yaitu
karkas yang berkualitas prima (Gunawan, 2004).
6. Sebagai ternak kerja, khususnya di bidang pertanian, yang digunakan untuk
mengolah lahan sawah maupun lahan kering. Penggunaan sapi Bali sebagai
tenagan kerja mengolah lahan umumnya digunakan secara berpasangan dan untuk
satu ha lahan tegalan diperlukan waktu sekitar 4 hari. Penggunaan sapi Bali sebagai
tenaga pengolah lahan mampu memberikan kontribusi terhadap pengembalian
tenaga kerja, sehingga menjadi lebih efisien dibandingkan dengan menggunakan
tenaga kerja manusia. Selain digunakan mengolah lahan pertanian, di beberapa
tempat sapi bali juga sering digunakan untuk menarik gerobak untuk mengangkut
hasil pertanian ataupun barang lainnya. Namun dengan perkembangan alat
transportasi masa kini, maka penggunaann sapi Bali sebagai tenaga kerja
pengangkut barang mulai berkurang.
7. Sebagai “Pabrik Hidup” atau “Bio-Factory” untuk menghasilkan pupuk organik
(Wiguna & Inggriati, 2007). Tidak ada duanya di dunia, bahwa ternak termasuk
ternak sapi merupakan pabrik hidup dari pupuk organik, karena mampu
memproses bahan organik dalam waktu yang ralatif singkat, kurang dari 24 jam
menjadi pupuk organik atau setidaknya menjadi bahan pupuk organik yang
berkualitas tinggi. Selain itu ternak sebagai penghasil pupuk organik, juga tidak
mengenal hari libur apapun, untuk tetap selalu berproduksi. Keunggulan sapi bali
dibandingkan sapi lainnya sebagai penghasil pupuk organik, adalah karena
kemampuannya mengolah bahan organik berkualitas rendah menjadi sumber
pakan sekaligus sebagai sumber bahan baku pupuk organik. Keunggulan lainnya
Laporan Akhir KKP3SL-2015 10
dalam menghasilakan pupuk organik adalah jumlah pakan yang dihabiskan,
terutama oleh ternak betina yang mencapai setidaknya 10% dari bobot badannya
per ekor per hari. Dengan demikian akan mampu menghasilan bahan baku pupuk
organik yang juga cukup banyak, dapat mencapai setidaknya 25-30 kg feses segar
per ekor per hari untuk sapi jantan dengan bobot badan sekitar 300 kg. Selain itu
sapi juga menghasilkan bahan pupuk organik dalam bentuk cair, berupa urine atau
air kencing sapi, yang merupakan bahan baku pupuk organik cair berkualitas
prima, karena memiliki kandungan nutrisi yang sangat tinggi terutama N yang
sangat dibutuhkan tanaman dan memiliki kandungan hara mikro yang cukup
lengkap (Wiguna, dkk., 2007). Karena analisis terhadap bio-urine yang dihasilkan
petani mengandung N-NO3 berkisar antara 27,6 dan 60,1 ppm; NH3 antara 68,38
dan 525,36 ppm; total P berkisar antara 8,2 dan 72,8 ppm serta kandungan K+
berkisar antara 1.634,6 dan 1.971,6 ppm. Kualitas bio-urine tersebut tergolong
sangat baik, dengan kandungan nitrogen yang tinggi dapat menjadi sumber hara N
bagi tanaman, sehingga Bio-urine tersebut berpeluang menggantikan pupuk urea.
Pengakuan petani di Subak Wangaya Betan juga menyatakan bahwa penggunaan
pupuk organik padat sebanyak 2 ton per ha dan 600 liter bio-urine, telah cukup
memenuhi kebutan tanaman akan hara, sehingga tidak memerlukan tambahan
pupuk anorganik baik urea, SP36 maupun KCl.
2.3. Kelemahan Sapi Bali
Perkembangan ambing sapi betina relatif kurang baik. Mungkin hal tersebut
yang menyebabkan sapi Bali bukan sebagai sapi tipe perah atau sapi penghasil susu
yang baik. Produksi susu sapi Bali berkisar antara 0,9-2,8 kg per hari, sehingga dapat
menyebabkan pedet akan kekurangan air susu, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan kematian, terutama kelahiran pada musim kering (Soehaji, 1991), atau
setidaknya akan dapat mengganggu pertumbuhan pedet. Kelemahan lain sapi Bali
adalah sifat atau prilaku agresif dari sapi jantan, yang dapat membahayakan. Karena
prilaku tersebut terkadang dapat menyebabkan kecelakaan bagi peternak, maupun
orang lain, seperti ditanduk, ditendang, yang terkadang dapat menyebabkan kematian.
Agresifitas sapi Bali, berkaitan dengan hormon androgen yang dihasilkan oleh sel-sel
Leydig testis sapi jantan dewasa, karena semakin tinggi hormon testosteron yang
dihasilkan maka keagresifan sapi Bali akan semakin tinggi (Sayang Yupardi, 2009).
Laporan Akhir KKP3SL-2015 11
Beberapa peneliti menyatakan bahwa ada interaksi antara kualitas pakan dengan
tingkat agresifitas sapi. Sapi dengan pakan berkualitas tinggi umumnya lebih agresif
dibandingkan dengan sapi yang mendapatkan pakan berkualitas rendah.
Serangan penyakit cacing hati (Faciola gigantica) merupakan salah satu
kelemahan sapi Bali terhadap parasit. Sehingga sangat merugikan, karena dapat
menyerang jaringan hati, dan sering menyebabkan penyakit kronis dan mematikan
(Sweta, 1982). Selanjutnya serangan penyakit Jembrana, merupakan kelemahan
lainnya dari sapi Bali, karena sapi Bali sangat rentan terhadap serangan penyakit
Jembrana. Sekalipun penyebab penyakit Jembrana telah ditemukan, namun penyakit
tersebut belum tuntas sampai saat ini, karena terhambatnya proses pembuatan vaksin,
akibat dari sulitnya menumbuhkan virus Jembrana di luar tubuh sapi (Hartiningsih,
2006). Penyakit lain yang juga rentan pada sapi Bali adalah penyaklit Ingusan, Bali
ziekte dan diare. Rendahnya kemampuan sapi Bali mencerna bahan organik, juga
merupakan salah satu kelemahan sapi Bali. Selain itu sapi Bali juga sulit hidup dengan
baik jika berdampingan dengan domba.
2.4. Pengertian Sapi Betina Produktif
Menurut Undang Undang Republik Indonesia No 18 tahun 2009 tentang
peternakan dan kesehatan hewan, bahwa yang dimaksud dengan sapi betina produktif
adalah ternak sapi yang melahirkan kurang dari lima kali atau berumur di bawah
delapan tahun. Undang Undang tersebut juga mengatur mengenai pelarangan terhadap
pemotongan sapi betina produktif. Apabila hal tersebut dilanggar, maka ada sangsi
dari yang paling ringan yaitu peringatan tertulis, sampai yang terberat yaitu paling
sedikit Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) dan paling banyak 25.000.000 (dua puluh lima
juta rupiah). Ketentuan pelarangan tersebut tidak berlaku apabila ternak betina
memiliki kondisi seperti berikut: 1) Berumur lebih dari delapan tahun atau sudah
beranak lebih dari lima kali; 2) Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan
atau tenaga asisten control teknik reproduksi di bawah penyeliaan dokter hewan; 3)
Mengalami kecelakaan yang berat; 4) Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis dan
dapat menurun pada keturunannya, sehingga tidak baik untuk ternak bibit; 5)
Menderita penyakit menular yang menurut dokter hewan pemerintah harus dibunuh
atau dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah penyebaran penyakitnya,
Laporan Akhir KKP3SL-2015 12
atau menderita penyakit yang dapat mengancam jiwa ternak sapi tersebut; 6)
Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali).
Pelarangan pemotongan sapi betina produktif merupakan salah satu upaya
untuk mencegah menurunnya populasi ternak sapi, yang dapat mengancam kelestarian
sumber bibit sapi. Sapi bali merupakan salah satu jenis sapi yang dihandalkan untuk
memenuhi kebutuhan daging nasional, sehingga pelarangan terhadap pemotongan sapi
betina produktif merupakan hal yang sangat penting. Terkait dengan hal tersebut maka
pengetahuan pelaku tentang dampak pemotongan sapi betina produktif sangat
dibutuhkan agar dapat mentaati pelarangan tersebut.
Secara teoritis Bestable dalam Muchlisin (2013) menyatakan, bahwa
pengetahuan adalah hasil dari ranah yang terjadi setelah seseorang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera
manusia yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan dan rasa. Sebagian
besar pengetahuan manusia melalui mata dan telinga. Pengertian lainnya tentang
pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui
pengamatan akal. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan akal budinya
untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan
sebelumnya.
Ahli lain mengatakan pengetahuan adalah sesuatu yang hadir dan terwujud
dalam jiwa dan pikiran seseorang karena adanya reaksi, persentuhan, dan hubungan
dengan lingkungan dan alam sekitarnya. Pengetahuan tersebut meliputi emosi, tradisi,
keterampilan, informasi, kaidah, dan pikiran (Adlany, 2014). Lebih jauh Adlany
(2014) juga mengemukakan bahwa dalam pengetahuan terdapat dua aspek yang
berbeda, antara lain: (1) Aspek yang diperoleh, yaitu pengetahuan yang mencakup
tradisi, keterampilan, informasi, pemikiran, dan kaidah-kaidah yang diyakini oleh
seseorang dan diaplikasikan dalam semua kondisi dan dimensi kehidupan; (2) Aspek
realitas yang terus berubah. Sangat mungkin pengetahuan diasumsikan sebagai suatu
realitas yang senantiasa berubah, dan perolehan itu tidak pernah berakhir. Pada kondisi
ini, seseorang mengetahui secara khusus fenomena yang beragam, kemudian ia
membandingkan fenomena tersebut satu sama lain dan memberikan pandangan atas
fenomena tersebut, selanjutnya menyiapkan diri untuk mendapatkan pengetahuan baru
yang lebih global.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 13
Wikipedea (2014), secara lebih rinci dikemukakan tentang berbagai faktor
yang berpengaruh terhadap pengetahuan, seperti pendidikan, media dan informasi.
Pengaruh pendidikan terhadap pengetahuan seseorang karena pendidikan mampu
mengubah sikap dan perilaku seseorang atau kelompok, serta pendidikan juga mampu
mendewasakan seseorang melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Selanjutnya peran
media dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang terletak pada jangkauan media
seperti televisi, radio, surat kabar yang demikian luas, serta peran media dalam
mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang terhadap suatu objek atau peristiwa.
Selanjutnya peran informasi dalam mempengaruhi pengetahuan seseorang, terletak
pada peran informasi sebagai sesuatu yang dapat diketahui, namun ada pula yang
menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Mengacu pada berbagai definisi
tentang pengetahuan, maka pengetahuan pelaku pemotongan sapi betina produktif
adalah sesuatu yang terdapat dalam pikiran atau jiwa seorang petenak sapi, yang
berkaitan dengan adanya pemotongan sapi betina produktif sebagai bentuk interaksi
seorang peternak dengan lingkungan sekitarnya.
2.5. Dampak Kondisi Ekonomi Peternak Sapi Betina Produktif.
Kondisi ekonomi peternak dalam penelitian ini adalah bagaimana cara
peternak untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Kondisi keluarga seperti
kebutuhan akan pangan, sandang, rumah, dan untuk anak sekolah, dapat mendorong
peternak untuk menjual komuditi yang dimilikinya, termasuk ternak sapi. Kebutuhan
yang mendesak dapat menyebabkab peternak harus menjual tenak sapinya, walaupun
kondisi sapi tersebut sedang bunting atau masih produktif. Hal tersebut sesuai dengan
hasil penelitian Inggriati (2014) bahwa, faktor ekonomi keluarga berhubungan positif
dengan perilaku peternak dalam menerapkan teknis dan manajemen produksi sapi bali
perbibitan. Hal tersebut berarti bahwa semakin banyak kebutuhan ekonomi keluarga,
maka peternak akan beternak sapi semakin banyak dengan tujuan untuk sewaktu-
waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2.6. Kebijakan pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktive
Kebijakan pemerintah yang mendukung keberhasilan usaha ternak sapi bali
perbibitan, seperti penyediaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan
Laporan Akhir KKP3SL-2015 14
penyelamatan betina produktif dengan cara memberikan insentif pada peternak sapi
sebesar Rp. 500.000,- per ekor sapi bunting milik petani, diharapkan dapat
meningkatkan motivasi peternak dalam menjalankan usaha ternak sapi perbibitan
Ditjen Peternakan (2010). Semakin kuat motivasi peternak, akan semakin baik
perilakunya seperti pengetahuan semakin meningkat, sikap semakin positif, dan
keterampilan semakin baik dalam menjalankan usaha ternak (Herzberg dalam
Sudrajat, 2008).
Perilaku yang semakin baik dalam mengusahakan peternakan sapi bali
perbibitan, akan dapat mengurungkan niat peternak untuk menjual sapi betina yang
masih produktif, karena diyakini akan melahirkan anak sapi yang dapat dijual sebagai
sumber pendapatan keluarga. Perilaku yang baik dalam beternak sapi bali perbibitan
di Bali, akan dapat meningkatkan populasi sapi bali, yang pada gilirannya dapat
mendukung Program Percepatan Swasembada Daging Sapi (PSDS).
Kebijakan tentang larangan pemotongan sapi betina produktif telah diatur
dalam UU No. 18/2009 pasal 18 dan 86, yang pada dasarnya ditujukan bagi upaya
pengembangan peternakan sapi potong di dalam negeri. Dalam hal ini, program
penyelamatan dan atau penjaringan betina produktif merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk tetap mencegah terjadinya pengurasan populasi sapi di dalam negeri.
Hal tersebut menjadi sangat penting, mengingat salah satu kriteria penunjang
keberhasilan program swasembada daging adalah ketersediaan bibit sapi potong secara
berkelanjutan. Namun upaya tersebut nampaknya belum berjalan dengan baik, karena
terbukti pemotongan sapi betina produktif demikian tinggi.
2.7. Tingkat Pemotongan Sapi Betina Produktif
Kebutuhan daging secara nasional semakin meningkat seiring dangan laju
pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, pembangunan pendidikan yang lebih maju,
kesadaran kebutuhan nutrisi asal ternak semakin meningkat, serta meningkatnya
jumlah penduduk di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan pemotongan sapi dari
berbagai breed juga semakin meningkat. Rochadi Tawaf, dkk (2013) melaporkan bahwa
selama Juli-Agustus 2013, telah dilakukan pengamatan terhadap 10.882 ekor sapi yang
dipotong di 20 buah RPH di Jawa dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Terdapat beberapa
jenis sapi lokal yang dipotong di RPH antara lain: Sapi Bali, Sapi Madura, Sapi
Jawa/Peranakan Ongole (PO), Sapi silangan Lokal dengan Brahman, Sapi silangan
Laporan Akhir KKP3SL-2015 15
Lokal dengan Brahman dan Angus (Brangus), Sapi silangan Lokal dengan Simmental
(SIMPO), Sapi silangan Lokal dengan Limmousin (LIMPO), dan Peranakan Friesian
Holsten (PFH), sedangkan untuk jenis sapi impor adalah ACC (Australia Commercial
Cross).
Hasil penelitian Rochadi Tawaf, dkk. (2013) juga mendapatkan bahwa sapi
yang didistribusikan ke Rumah Potong Hewan (RPH) yang dipotong selama periode
pengamatan terdiri atas 73,59% sapi lokal (8.008 ekor) dan 26,41% sapi impor (2.874
ekor). Selanjutnya juga diketahui bahwa sapi lokal betina umur produktif yang
dipotong di 20 RPH tersebut adalah sebanyak 2.489 ekor atau sekitar 31,08% dari
jumlah sapi lokal yang dipotong (8.008 ekor). Sapi betina yang dipotong tersebut
sebanyak 65,29% (1.623 ekor) memiliki bobot antara 117 kg–354 kg dengan umur
kurang dari 4 tahun.
Hal senada juga disampaikan Kepala Dinas Peternakan Provinsi NTT, Danny
Suhadi di Kupang (Antara, 3 Mei 2015), bahwa angka pemotongan sapi betina
produktif atau bunting, menjadi salah satu tantangan bagi tekad Pemerintah Provinsi
NTT menjadi Provinsi Ternak, karena angka pemotongannya mencapai 65% atau lebih
tinggi secara nasional yang hanya sekitar 28%. Lebih jauh ditegaskan bahwa
dampaknya adalah hilangnya potensi kesempatan tambahan populasi dan kelahiran
sebanyak 60 ekor sapi setiap pemotongan 100 betina produktif.
Suardana, dkk. (2013) juga menyatakan hal yang senada bahwa persentase sapi
Bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif yakni dengan
rincian: umur 0-1 tahun (9,45%), umur 1,5-2 tahun (16,92%), umur 2-2,5 tahun
(26,87%), umur 3-3,5 tahun (10,91%), umur 3,5-4 tahun (26,87%) dan umur > 4 tahun
(1%). Hasil yang hampir sama juga ditemukan oleh Suardana, dkk. (2013) di RPH
Mambal, bahwa persentase sapi Bali betina produktif yang dipotong di RPH tersebut
sebesar 67,49% dengan rincian: umur 0-1 tahun (13,3%), umur 1,5-2 tahun (15,27%),
umur 2-2,5 tahun (11,33%), umur 3-3,5 tahun (8,87%) dan umur 3,5-4 tahun (18,72
%). Dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terlihat sebanyak 201 ekor
(81,71%) berjenis kelamin betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan.
Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang
dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang
sisanya 29 ekor (12,5%) berjenis kelamin jantan.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 16
Wiji Nurhayat (2012) dalam detik.com (12 Nopember 2012) juga
mengemukakan bahwa sebanyak 30% sapi betina produktif dipotong di Jakarta. Hal
tersebut dibenarkan oleh Asosiasi Pengusaha Pemotongan Hewan Indonesia (APPHI)
alias Asosiasi Jagal Indonesia membenarkan isu soal pemotongan sapi betina
produktif. Sebanyak 30% dari 1.200 sapi betina produktif dipotong di DKI Jakarta.
Selain itu, Abud juga mengatakan bahwa, kondisi lebih parah terjadi di Jawa Timur,
karena pemotongan sapi Jawa dan sapi Bali betina produktif mencapai 60%.
Sebelumnya Menurut Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013)
melaporkan bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun diperkirakan
mencapai 150.000–200.000 ekor.
Memperhatikan dan menyimak data hasil penelitian yang dilakukan para
peneliti, menunjukan betapa tingginya tingkat pemotongan sapi betina produktif yang
dilakukan di Indonesia. Kondisi tersebut akan merugikan bangsa Indonesia sendiri.
Tidak mengherankan jika program pemerintah tentang swasembada daging yang
dicanangkan sejak tahun 2005 hingga tahun 2014 tidak pernah berhasil. Persoalan
tersebut, tentu tidak akan berhenti sampai di sana, karena dampak yang ditimbulkan
demikian luas, baik ekonomi maupun non ekonomi bagi bangsa Indonesia.
2.8. Faktor Penyebab Terjadinya Pemotongan Sapi Betina Produktif
Puskeswan Padang Panjang (2011) yang menyatakan bahwa adalah sebuah
fakta, pemotongan sapi betina produktif paling sering terjadi pada pelaksanaan Qurban
setiap tahunnya. Pada tahun 2010 tercatat pemotongan hewan qurban di Kota Padang
Panjang berjumlah 632 ekor dan 80% di antarnya adalah sapi betina produktif.
Sedangkan faktor eksternal peternak antara lain: (a) pertumbuhan sapi yang
lambat; (b) sapi majir (tidak mau birahi/bunting); (c) sapi sering sakit; (d) sapi cacat
fisik; (e) kesempatan karena harga sapi sedang mahal; dan (f) adanya dorongan
pedagang sapi (broker). Dua alasan eksternal terakhir (kesempatan karena harga sapi
sedang mahal dan adanya dorongan pedagang sapi (broker), nampaknya sangat
berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan daging sapi di pasaran. Sejalan dengan
pernyataan Abud selaku ketua APPHI dalam detik.com (2012), bahwa meningkatnya
kelangkaan daging sapi, untuk memenuhi kuota kebutuhan daging, mau tidak mau
pihak penyedia daging memotong sapi betina sebagai alternatif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 17
Alasan lain sebagai penyebab adanya pemotongan sapi betina produktif adalah
harga sapi betina yang relatif lebih murah dibandingkan dengan harga sapi jantan. Di
lain pihak harga daging sapi baik jantan maupun betina relatif sama, sehingga untuk
mendapatkan keuntungan yang lebih banyak, maka pengusaha daging sapi akan
cenderung memotong sapi betina. Sejalan dengan Badan Litbang Pertanian (2011)
yang menayatakan bahwa Pemotongan sapi betina produktif dilakukan karena ada
berbagai penyebab dan alasan. Lebih jauh Badan Litbang Pertanian (2011)
menyatakan bahwa biasanya pemotongan sapi betina banyak dilakukan oleh jagal yang
skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH “tidak resmi”. Namun, tidak jarang dapat
dijumpai pemotongan yang dilakukan di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat
di RPH, biasanya sapi dibuat cidera terlebih dahulu, misalnya dengan membuat
pincang atau buta. Dengan demikian alasan cacat fisik dapat dijadikan pembenar
dalam pemotongan sapi betina produktif.
Selain itu Direktorat Jenderal Peternakan (2010) juga mengemukakan hal yang
senada bahwa salah satu faktor penghambat laju pertumbuhan populasi adalah
terjadinya tindakan pemotongan sapi betina produktif yang semakin kurang terkendali.
Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidak seimbangan antara supplay dan demand sapi
potong dalam negeri serta adanya desakan kebutuhan ekonomi bagi peternak.
Didukung oleh situasi pasar yang menjadikan harga sapi betina lebih murah dari sapi
jantan. Bahkan dapat diprediksikan bahwa kecenderungan penjualan sapi betina oleh
peternak meningkat tajam ketika musim paceklik, mengingat pola beternak sapi adalah
sebagai investasi keluarga, belum sebagai komoditi bisnis. Menurunnya populasi
ternak sapi betina di masyarakat juga sebagai akibat kurangnya animo masyarakat
memelihara sapi betina karena dianggap terlalu lama untuk menghasilkan.
2.9. Dampak Adanya Pemotongan Sapi Betina Produktif
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pemotongan sapi betina produktif
di Indonesia akan menyebabkan berbagai kerugian. Sebagai ilustrasi dampak akhir
dari pomotongan sapi betina produktif adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia
Indonesia. Namun apabila diteruskan maka tidak tertutup kemungkinannya akan
menyebabkan rendahnya prestasi bangsa Indonesia di dunia internasional
(Gambar2.5). Dari Gambar 2.5 nampak bahwa setidaknya terdapat dua dampak utama
Laporan Akhir KKP3SL-2015 18
sebagai akibat pemotongan betina produktif, yaitu: (1) Dampak Non Ekonomi dan (2)
Dampak Ekonomi.
Gambar 2.5. Dampak pemotongan sapi betina produktif (Sumber: Wiguna dan Tatik,
2015)
2.10. Dampak Non Ekonomi.
Berdasarkan Gambar 2.5 dapat diketahui bahwa dampak non ekonomi yang
terjadi sebagai akibat pemotongan betina produktif adalah berkurangnya angka
kelahiran ternak sapi. Dapat dipahami dengan baik bahwa setiap ekor sapi setidaknya
akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor pada umur produktif 8 tahun. Berkurangnya
kelahiran pedet, akan menyebabkan berkurangnya populasi sapi. Buyung Syahyuti
(2012) menyatakan bahwa Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menghadapi
kenyataan pengurasan ternak sapi potong terutama di wilayah-wilayah sentra produksi
sapi potong yakni NTT, NTB, Bali dan Sulawesi Selatan serta seluruh propinsi di
Sumatera. Data BPS (2007) dalam Buyung Syahyuti (2012) memperlihatkan bahwa
dalam periode 1997-2007 penurunan jumlah sapi lokal dengan laju 1,1 persen per
tahun. Penurunan ini merupakan sumbangan dari pengurasan yang terjadi pada
wilayah sentra produksi Jatim, NTB dan Lampung dengan laju penurunan populasi
masing-masing 2,8%; 0,3% dan 0,8%. Sedangkan pertumbuhan yang terjadi antara
Laporan Akhir KKP3SL-2015 19
tahun pencanangan swasembada daging sapi hingga 2007 yakni 2 tahun kemudian
untuk Jatim, NTB, Lampung dan Indonesia hanya sekitar 0,004%; 2% dan 0,25% dan
Indonesia 2,5 persen atau bertambah sebesar 267 ribu ekor. Padahal untuk mencapai
tambahan 1.000 ekor sapi diperlukan pertumbuhan sebesar 10,1% per tahun termasuk
kematian dan pemotongan.
Kondisi tersebut akan menyebabkan berkurangnya produksi daging sapi,
sehingga kebutuhan daging untuk masyarakat tidak akan terpenuhi. Fenomena tersebut
menyebabkan rendahnya konsumsi daging di Indonesia. Suswono dalam Antara
(2010) menyatakan bahwa tingkat konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia masih
sangat rendah dibandingkan dengan masyarakat di kawasan Asia Tenggara. Konsumsi
daging masyarakat Malaysia telah mencapai 30 kg per kapita per tahun, sedangkan
Indonesia sangat rendah yaitu hanya 7 kg per kapita per tahun. Khusus untuk konsumsi
daging sapi masyarakat Indonesia pada tahun 2010 hanya 2,72 kg/kapita/tahun dan
diperkirakan akan naik menjadi konsumsi 3,72 kg per kapita per tahun pada tahun
2020 (Bagus Fitriansyah, 2011).
Rendahnya konsumsi daging di Indonesia menyebabkan rendahnya konsumsi
protein hewani. Kondisi tersebut menyebabkan rendahnya kualitas hidup masyarakat
Indonesia. Antara (2012) menyebutkan bahwa rendahnya konsumsi protein
masyarakat Indonesia menyebabkan banyak penduduk bertubuh pendek, gemuk, dan
rentan terhadap penyakit degeneratif. Kurangnya pemenuhan kebutuhan protein
hewani mengakibatkan pembangunan manusia Indonesia tertinggal dibandingkan
negara Asia lain. Minarto dalam Kompas (2012) mengatakan, angka pemenuhan
kebutuhan protein hewani saat ini 60 persen per orang per tahun. Jumlah itu jauh
tertinggal dibandingkan Vietnam yang sudah mencapai 80 persen dan Thailand 100
persen. Gambar 2.5 juga menunjukan bahwa rendahnya konsumsi protein penduduk
Indonesia, menyebabkan kualitas Sumberdaya Manusia (SDM) Indonesia juga rendah.
Hal tersebut ditandai dengan rendahnya Usia Harapan Hidup (UHH) masyarakat
Indonesia, yang berada pada posisi ke 137 dari 223 negara di dunia (berdasarkan
kesatuan) atau pada urutan ke 108 dari 191 negara di dunia (berdasarkan urutan PBB),
dengan tingkat UHH 70,76 tahun (World Factbook, 2011). Posisi tersebut jauh lebih
rendah dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand,
Singapore, Philipina dan lainnya.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 20
Kebutuhan protein hewani minimal 150 gram sekali makan sehari tiga kali.
Kurang terpenuhinya konsumsi protein hewani, maka prevalensi orang bertubuh
pendek dan gizi kurang menjadi tinggi (Minarto, 2012). Data Unicef tahun 2009,
menyebutkan bahwa prevalensi orang pendek Indonesia 37 persen dan prevalensi gizi
kurang 18 persen dari jumlah penduduk. Kondisi tersebut menyebabkan Indonesia
kalah dibandingkan China (15 persen dan 6 persen), Thailand (16 persen dan 7 persen),
Filipina (34 persen dan 21 persen), serta Vietnam (36 persen dan 20 persen). Minarto
(2012) mengatakan, kualitas gizi masyarakat belum membaik tahun 2012. Data
Kementerian Kesehatan, prevalensi orang pendek 36 persen, turun 1 persen dari tahun
2009. Sebaliknya, prevalensi gizi kurang 31 persen, meningkat 13 persen. Sebesar 40
persen dari 33 provinsi di Indonesia, angka pemenuhan protein hewaninya berada di
bawah rata-rata nasional. Daerah tersebut antara lain Nusa Tenggara Timur, Nusa
Tenggara Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.
Kondisi tersebut kemungkinan besar berkaitan dengan kecenderungan pemotongan
sapi betina produktif di daerah-daerah sentra produksi sapi.
Selanjutnya Tabel 1 menunjukan bahwa pemotongan sapi betina produktif
menyebabkan hilangnya 62 ekor sapi dalam kurun waktu 16 tahun untuk setiap
kematian sapi produktif umur 3 tahun (saat dikawinkan pertama kali). Hal tersebut
dapat dijelaskan bahwa setiap ekor sapi betina akan melahirkan mulai umur 4 tahun
dan selanjutnya akan melahirkan seekor pedet setiap tahun, sehingga seekor sapi induk
akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor selama umur produktif 8 tahun. Pedet yang
lahir pertama, selanjutnya akan menjadi induk dan dalam masa pruduktifnya (8 tahun)
juga akan melahirkan pedet sebanyak 5 ekor. Demikian seterusnya saat anak sapi yang
ke-5 melahirkan sebanyak 5 kali (umur 8 tahun), maka anak pertama dari seekor induk
juga akan melahirkan anak pertama. Demikian seterusnya, hingga keturunan yang ke-
3 akan terdapat 62 ekor pedet yang berpeluang lahir dalam kurun waktu 16 tahun
(ilustrasi Tabel 1.1).
Berdasarkan peluang kelahiran, maka akan terdapat 50% sapi yang lahir adalah
betina dan 50% lainnya adalah jantan. Melalui asumsi sederhana dari 62 ekor sapi yang
lahir akan terdapat 31 ekor sapi jantan dan 31 ekor sapi betina. Dengan tingkat
mortalitas sebesar 4%, maka sapi yang hidup adalah sebanyak 60 ekor (masing-masing
30 ekor jantan dan 30 ekor betina). Apabila seekor sapi jantan dipotong dengan berat
Laporan Akhir KKP3SL-2015 21
badan rataan 300 kg, maka pemotongan seekor sapi betina produktif akan
menyebabkan hilangnya 300 kg x 30 ekor = 9.000 kg sapi hidup. Jika seekor sapi bali
mampu menghasilkan 53% karkas (Maria, dkk., 2011), maka setiap pemotongan
seekor sapi bali betina produktif pada umur 3 tahun akan menyababkan kehilangan
4.770 kg karkas. Selain kehilangan daging yang bersumber dari sapi jantan, maka sapi
betina yang telah berusia tidak produktif (lebih dari 8 tahun) juga dapat menyediakan
daging, karena telah diperkenankan untuk dipotong.
Tabel 1.1
Perhitungan sederhana perkembang-biakan seekor sapi induk dalam 16 tahun
Apabila seekor sapi induk yang telah tidak produktif di potong akan
menghasilkan daging atau karkas yang jumlahnya juga sama dengan sapi jantan yaitu
4.770 kg. Dengan demikian pemotongan seekor sapi betina produktif akan
menyebabkan kehilangan sebanyak 9.740 kg karkas. Apabila konsumsi daging sapin
masyarakat Indonesia yang diprediksi sebesar 3,72 kg/kapita/tahun (Bagus
Fitriansyah, 2011), maka setiap pemotongan seekor sapi betina produktif akan
menghilangkan peluang atau kesempatan masyarakat Indonesia mengkonsumsi daging
sapi sebanyak 2.565 orang selama 16 tahun atau 160 orang setiap tahun. Padahal
kenyataan yang ada saat ini konsumsi daging sapi masyarakat Indonesia hanya 2,72
kg per kapita per tahun, sehingga akan lebih banyak lagi hilangnya peluang masyarakat
Indonesia untuk mengkonsumsi daging sapi, sebagai akibat pemotongan seekor sapi
betina produktif. Kondisi tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kualitas
suberdaya manusia Indonesia.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
JML. SAPI 30
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV V 5
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV 4
Lahir Tumbuh Kawin I II III 3
JML. SAPI 22
Lahir Tumbuh Kawin I II III IV 4
Lahir Tumbuh Kawin I II III 3
Lahir Tumbuh Kawin I II 2
Lahir Tumbuh Kawin I 1
Lahir Tumbuh Kawin -
JML. SAPI 10
TOTAL SAPI 62
Jml. Sapi
Lahir
(Ekor)Fase
TAHUN KE
Melahirkan ke
Laporan Akhir KKP3SL-2015 22
2.11. Kerugian Ekonomi
Pemotongan sapi betina produktif diyakini akan menurunkan populasi sapi, yang
pada akhirnya akan menurunkan ketersediaan daging sapi untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat Indonesia yang berjumlah lebih dari 240 juta jiwa. Melalui perhitungan
sederhana yang ditunjukan dalam Tabel 2, bahwa setiap pemotongan sapi betina
produktif akan menghilangkan peluang kelahiran sebanyak 62 ekor sapi. Dengan
tingkat mortalitas (kematian) sebesar 4% maka peluang sapi yang hidup adalah
sebanyak 60 ekor. Secara genetik peluang kelahiran berdasarkan jenis kelamin adalah
50% jantan dan 50% betina. Sejalan dengan Berry dan Cromie, (2007) dalam Gatot
Prasojo, dkk. (2010) bahwa jenis kelamin anak yang dilahirkan ditentukan pada saat
fertilisasi hanya ada kombinasi antara satu gamet maternal dan dua gamet paternal
yang menghasilkan kemungkinan 50% jantan dan 50% betina (Krzyzaniak dan Hafez,
1987) dalam Gatot Prasojo, dkk. (2010). Sedangkan hasil penelitian Gatot Prasojo,
dkk. (2010) mendapatkan bahwa berdasarkan jumlah kelahiran sebanyak 799 ekor,
ternyata pedet jantan sejumlah 445 (55,69%) ekor lebih banyak dibandingkan dengan
pedet betina yaitu 354 (44,30%).
Mengacu pada peluang tersebut maka pemotongan seekor sapi betina produktif
akan menghilangkan peluang lahirnya 30 ekor sapi betina dan 30 ekor sapi jantan
dalam kurun waktu 16 tahun. Berdasarkan perhitungan sederhana seperti Tabel 1.2,
maka diketahui bahwa setiap pemotongan seekor sapi betina produksi akan berpotensi
menyebabkan kerugian ekonomi sebesar Rp.461.280.000,- dalam kurun waktu 16
tahun atau sebesar Rp.28.830.000,- setiap tahun.
Mengacu pada laporan Puslitbangnak (2011) dalam Rochadi Tawaf, dkk (2013)
bahwa jumlah pemotongan sapi betina produktif setiap tahun di Indonesia
diperkirakan mencapai 150.000–200.000 ekor, maka tingkat kerugian yang
ditimbulkan akan mencapai antara 4,3 – 5,7 Trilyun Rupiah lebih. Suatu tingkat
kerugian secara langsung yang sangat tinggi. Di Provinsi Bali, data pemotongan sapi
betina produktif dilaporkan oleh Suardana, dkk. (2013) dari 246 ekor sapi yang
dipotong di RPH Pesanggaran, terdapat sebanyak 201 ekor (81,71%) berjenis kelamin
betina, hanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga
ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut,
sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%)
Laporan Akhir KKP3SL-2015 23
berjenis kelamin jantan. Selanjutnya dari 201 ekor sapi betina yang dipotong di RPH
Pesanggaran terdapat 200 ekor (99,0%) masih produktif. Sedangkan di RPH Mambal
sebanyak 157 ekor (67,49%) adalah betina produktif yang berumur kurang dari 4
tahun.
Tabel 1.2
Perhitungan sederhana tingkat kerugian ekonomi akibat pemotongan sapi betina
produktif di Indonesia
Peluang kelahiran Ekor Harga (Rp)
Per ekor Total Harga
1 50% Jantan 30 5.000.000 148.800.000
2 50% Betina 30 10.500.000 312.480.000
Kerugian dalam 16 tahun dari serkor Induk 461.280.000
Kerugian per tahun sari seekor induk 28.830.000
Secara Nasional Pemotongan per tahun (ekor)
150.000 4.324.500.000.000
200.000 5.766.000.000.000
Keterangan: *) dalam waktu 16 tahun setelah seekor sapi betina produktif dipotong
Mengacu pada data pemotongan sapi tersebut maka rataan pemotongan sapi
betina produktif di Bali mencapai 83,25% dari total sapi betina yang dipotong.
Selanjutnya data pemotongan sapi di Bali pada tahun 2014 menurut Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali (2015) adalah sebanyak 18.004 ekor. Berdasarkan
angka tersebut maka tingkat pemotongan betina produktif adalah sebanyak 83,25%
dari 18.004 ekor atau 14.987 ekor pada tahun 2014. Kondisi tersebut dapat
menimbulkan kerugian sebesar lebih dari 432 Milayard Rupiah pada tahun 2014.
Sejumlah kerugian yang tidak kecil, yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai
pihak.
Kerugian ekonomi lainnya sebagai dampak pemotongan sapi betina produktif
adalah meningkatnya import sapi hidup maupun daging sapi, yang sudah pasti
memerlukan sejumlah devisa negara. Buyung Syahyudi (2011) menganalis impor sapi
dan daging sapi seperti ditunjukan dalam Gambar 2.6. Dari Gambar 2.6 tersebut
nampak bahwa sejak tahun 1996 hingga tahun 2014 ada kecenderungan meningkatnya
import sapi dan daging sapi.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 24
Gambar 2.6. Analisis impor sapi dan daging sapi (Buyung Syahyudi, 2011)
Selanjutnya Rofi Munawar kepada merdeka.com di Jakarta, Sabtu (29
Nopember 2014), mengemukakan bahwa impor sapi yang mencapai 700.000 ekor
pada tahun 2014 akan menguras devisa negara sebesar Rp 4,8 triliun hingga Rp 5
triliun. Dana tersebut, apabila dialihkan untuk pengembangan sapi lokal akan sangat
bermanfaat dalam mendorong roda ekonomi dan konsumsi daging nasional. Selain itu
penggunaan devisa negara untuk mengimpor sapi dan atau daging sapi, dapat
menyebabkan meningkatnya hutang negara dan terganggunya pembiayaan sektor
lainnya. Dampak lain yang tegolong dalam dampak ekonomi adalah menurunnya
harga sapi lokal karena kalah bersaing dengan sapi import, serta berkurangnya
pendapatan peternak, yang pada akhirnya akan menyebabkan meningkatnya
kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan sudah pasti akan membutuhkan pembiayaan
yang tidak kecil. Sangat ironis karena di lain pihak pendapatan negara akan berkurang
sebagai dampak kerugian karena pemotongan betina produktif.
Kementerian Pertanian (2010) mengemukakan bahwa untuk menyelamatkan
sapi betina produktif dari pemotongan yang setiap tahun mencapai 200 ribu ekor
diperlukan dana sekitar Rp1,4 triliun. Namun, kemampuan dana pemerintah saat itu
hanya sekitar Rp.350 miliar sehingga masih jauh kebutuhan . Apabila harga seekor
sapi betina rata-rata Rp.7 juta, meka pemerintah hanya mampu menyelamatkan 50.000
ekor sehingga masih jauh dari target 200 ribu ekor. Danny Suhadi di Kupang (Antara,
3 Mei 2015), Untuk menanggulangi hal ini, butuh kerja sama semua pihak terutama
Laporan Akhir KKP3SL-2015 25
pemangku kepentingan yang berhubungan dengan peternakan, sehingga tidak saling
menunggu bahkan melempar tanggung jawab. Peluang kerugian lainnya adalah
terjadinya penularaan penyakit destruktif hewan ini menyebabkan kerugian di tingkat
petani peternak mencapai nilai 5,5 persen dari produktivitas ternak yang ekuivalen
dengan Rp 100 miliar, setiap tahun (Bisnis Bali, 2015).
Laporan Akhir KKP3SL-2015 26
III. METODELOGI PENELITIAN
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian
3.1.1. Waktu Penelitian
Penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi Betina
Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali, akan
dilaksanakan selama 289 hari, mulai 25 Pebruari 2015 sampai dengan 10 Desember
2015.
3.1.2. Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilaksanakan di seluruh kabupaten dan kota di Bali, antara lain
Kabupaten Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung, Bangli,
Karangasem dan Kota Denpasar.
3.2. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
3.2.1. Mengetahui jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali setiap
tahun.
Teknik pengumpulan data untuk mengetahui jumlah sapi betina produktif yang
dipotong di Bali setiap tahun, dilakukan dengan jalan inventarisasi jumlah sapi yang
dipotong, setiap hari di setiap lokasi (RPH dan TPH). Jumlah sapi yang dipotong akan
dibedakan menjadi dua yaitu jantan dan betina dengan umur masing-masing dalam
tahun. Data pemotongan sapi di RPH pada setiap kabupaten akan dicatat setiap hari
oleh petugas RPH, minimal dalam waktu 6 bulan. Pecatatan dilakukan berdasarkan
form isian yang telah disiapkan sebelumnya. Setelah data tersebut terkumpul, maka
yang dipotong akan diklasifikasikan menjadi sapi betina productive dan tidak
productive sesuai dengan standard yang ada. Melalui perhitungan sederhana terhadap
data primer yang dikumpulkan tersebut, akan diketahui prosentase jumlah sapi betina
productive yang dipotong selama enam bulan. Berdasarkan data sekunder (Laporan
pemotongan sapi) oleh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota maka akan diketahui jumlah
sapi betina productive yang dipotong setiap tahun termasuk sebarannya, di setiap
kabupaten/kota di Bali.
3.2.2. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina
produktif di Bali.
Untuk menganalisis dan mengetahui factor-faktor penyebab terjadinya
pemotongan sapi betina produktif di Bali, akan dilakukan pengumpulan data melalui
Laporan Akhir KKP3SL-2015 27
survey dan Focus Group Discussion (FGD), terhadap: (1) peternak yang terindikasi
pernah menjual sapi bentina productif; (2) tukang potong (jagal) baik yang resmi
maupun yang tidak resmi. Melalui analisis deskriptif kualitatif, akan diketahui faktor-
faktor yang mendominasi sebagai penyebab terjadinya pemotongan sapi betina
produktif.
3.2.3. Mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi
terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.
Data dikumpulkan melalui survei terhadap peternak yang terindikasi menjual
sapi betina produktif dan tukang potong atau “jagal” sapi, tentang pengetahuan, sikap
dan faktor ekonomi responden yang mendorong terjadinya pemotongan sapi betina
produktif di Bali. Melalui analisis regresi linier berganda (Rumus 1) akan diketahui
faktor yang paling berpengaruh terhadap kecenderungan pemotongan sapi betina
productive di Bali. Dengan mengetahui faktor yang paling berpengaruh atau paling
menentukan tersebut maka, langkah antisipasi akan dapat dilakukan sesuai dengan
kondisi permasalahan yang ada di tingkat lapangan.
Y = a + b1X1 + b2X2 + …….bnXn ……………. Rumus 1
Y = variabel terikat (dependent variable) adalah sikap peternak
terhadap pemotongan sapi bali betina productive.
a = konstanta
b1, b2 = koefisien regresi
X1…X4 = variabel bebas (independent variable), antara lain: (1) pendidikan
peternak (X1), (2) pengalaman beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan
beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah dalam
memelihara sapi bibit (X4).
Variabel terikat (dependent variable) adalah variable yang dipengaruhi oleh
berbagai factor bebas (independent variable). Variable terikat (Y) dalam penelitian ini
adalah sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Sedangkan
variable bebas (X1….. X4), antara lain: (1) pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman
beternak sapi bibit (X2), (3) tujuan beternak sapi bibit (X3), (4) dukungan pemerintah
dalam memelihara sapi bibit (X4). Jumlah responden adalah sebanyak 90 orang
peternak sapi yang pernah menjual sapi betina produktif. Responden tersebut tersebar
Laporan Akhir KKP3SL-2015 28
di 8 kabupaten dan satu kota, dengan rincian seperti Tabel 1.3. Penetapan peternak
responden dilakukan secara kuota teracak (quota random sampling). Selanjutnya data
peternak dikoleksi melalui survey, dengan menggunakan daftar pertanyaan terstruktur
yang telah disiapkan sebelumnya.
Untuk mengetahui tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi
terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali, maka data juga dikoleksi dari
“jaga” sapi, serta petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali dan Tingkat
Kabupaten/Kota yang menangani Rumah Potong Hewan. Data dari “jagal” dan
petugas Dinas Peternakan Kabupaten/Kota dikumpulkan melalui Focus Group
Discussion (FGD). Melalui FGD terkolekasi informasi tentang berbagai hal yang
berkaitan dengan pemotongan sapi betina produktif. Data atau informasi tersebut
antara lain meliputi: (1) jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap hari oleh
jagal; (2) factor-faktor pendorong yang menyebabkan adanya pemotongan sapi betina
produktif; (3) upaya yang perlu dilakukan untuk menghindari adanya pemotogan sapi
betina produktif; dan (4) pengetahuan jagal dan atau petugas Dinas Peternakan
Kabupaten/Kota tentang sapi beina produktif berdasarkan Undang-Undang No 41
tahun 2014.
Tabel 1.3.
Sebaran responden penelitian tentang Upaya Mengatasi Terjadinya Pemotongan Sapi
Betina Produktif dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Bali
No Kabupaten/Kota Peternak Jagal atau RPH
Resmi*) Tidak Resmi*)
1 Buleleng 10 Sensus Sensus
2 Jembrana 10 Sensus Sensus
3 Tabanan 10 Sensus Sensus
4 Badung 10 Sensus Sensus
5 Gianyar 10 Sensus Sensus
6 Bangli 10 Sensus Sensus
7 Klungkung 10 Sensus Sensus
8 Karangasem 10 Sensus Sensus
9 Denpasar 10 Sensus Sensus
Total 90
Keterangan:
*) Seluruh lokasi pemotongan sapi akan di survai (sensus) dan diwakili oleh seorang
responden
Laporan Akhir KKP3SL-2015 29
Dalam penelitian ini, khususnya untuk mengetahui tingkat efektivitas
kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina produktif di
Bali, maka dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
5) H0 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi
betina produktif di Bali belum atau tidak efektif
6) H1 = kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi
betina produktif di Bali telah efektif
Untuk menguji hipotesis yang diajukan, maka analisis dilanjutkan dengan
menghitung Koefisien Korelasi Berganda (R) melalui Rumus 2 dan Koefisien
Determinasi (R2). Nilai R berkisar antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilai R maka
hubungan antara variable terikat dengan variable tak bebas adalah semakin kuat.
Sedangkan koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui apakah hipotesis yang
diajukan diterima, atau apakah hubungan antara dependent variable dan independent
variable tersebut nyata atau tidak nyata. Hal tersebut dapat diketahui melalui uji F,
dengan Rumus 3.
b1∑X1Y + b2∑X2Y
∑Y2
R = Koefisien Korelasi Berganda
Y = variabel terikat (dependent variable) adalah jumlah sapi bali
betina produktif yang dipotong
b1, b2 = koefisien regresi
X1, X2 = variabel bebas (independent variable)
R2 (N-k-1)
k (1-R2)
R2 = Koefisien korelasi berganda
N = Jumlah sample (responden)
k = Jumlah variable bebas
Selanjutnya F hitung dibandingkan dengan F Tabel, apabila:
F Hitung ≥ F Tabel, maka H0 diterima, artinya bahwa variable Y tidak nyata
dipengaruhi oleh variable X.
R = ………………… Rumus 2
F Hitung = ………………… Rumus 3
Laporan Akhir KKP3SL-2015 30
F Hitung > F Tabel, maka H0 ditolak dan H1 diterima, artinya bahwa variable
Y tidak nyata dipengaruhi oleh variable X.
Hasil FGD dengan jagal dan petugas Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bali
dan Kabupaten/Kota akan mempertegas hasil analisis data yang berasal atau dikoleksi
dari peternak sapi bibit.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 31
IV. HASIL PENELITIAN
4.1. Karakteristik Peternak Sapi Bibit
4.1.1. Umur Peternak dan pengalaman beternak
Hasil penelitian menunjukan bahwa umur peternak berkisar antara 32-83
tahun, dengan rataan 52,48 tahun (Tabel 4.1 dan Gambar 4.1). Hal tersebut
menunjukkan bahwa peternak tergolong dalam usia produktif, sesuai dengan Undang-
Undang Tenaga Kerja No. 13 Tahun 2003 yang menetapkan penduduk usia produktif
adalah antara umur 15 – 64 tahun. Peternak yang masih dalam usia produktif pada
umumnya memiliki semangat untuk bekerja, sehingga memungkinkan untuk diberikan
inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit.
Tabel 4.1
Umur Peternak dan Pengalaman Beternak Sapi Bibit
Uraian N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Umur (tahun) 90 32 83 52,48 11,108
Pengalaman Beternak Sapi (Th)
90 4 60 28,92 14,561
Pengalaman beternak sapi bibit (tahun)
90 3 60 21,23 14,407
Tabel 4.1 juga menunjukan tentang pengalaman peternak dalam beternak sapi
bibit yaitu berkisar antara tiga sampai 60 tahun, dengan rataan 28,92 tahun (Tabel 4.1).
Pengalaman dapat menyebabkan peternak memiliki pandangan (persepsi) tertentu
terhadap usaha ternak sapi bibit, yang diikuti oleh keinginan (motivasi) untuk
melanjutkan atau menghentikan usaha tersebut. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
Gerungan (1996) yang menyatakan bahwa, pengalaman pada dasarnya melalui proses
yang diawali oleh rangsangan-rangsangan dari luar, melalui alat-alat pengamatan,
kemudian diteruskan kepada pusat-pusat tertentu di dalam otak, lalu menafsirkan
pengamatan tersebut.
4.1.2. Pendidikan Peternak
Pendidikan formal peternak cukup beragam yaitu dari tidak pernah sekolah
sampai perguruan tinggi. Peternak yang memiliki pendidikan perguruan tinggi hanya
sebagian kecil yaitu sebanyak 3,3%, sedangkan pendidikan yang paling banyak yaitu
33,3% adalah pendidikan SLTA (Tabel 4.2). Pendidikan formal dapat meningkatkan
kemampuan peternak untuk berpikir lebih maju. Hal tersebut sesuai dengan hasil
Laporan Akhir KKP3SL-2015 32
penelitian Inggriati (2014), bahwa pendidikan formal pada peternak sapi bali
perbibitan dapat meningkatkan wawasan peternak, sehingga peternak menjadi lebih
inovatif.
Tabel 4.2
Pendidikan Peternak Sapi Bibit di Bali
No Kabupaten
Pendidikan Peternak Total Tidak
Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan
Tinggi
1 Badung 50,0% 10,0% 0,0% 40,0% 0,0% 100,0%
2 Bangli 10,0% 20,0% 20,0% 30,0% 20,0% 100,0%
3 Buleleng 0,0% 60,0% 30,0% 10,0% 0,0% 100,0%
4 Denpasar 10,0% 40,0% 40,0% 10,0% 0,0% 100,0%
5 Gianyar 10,0% 60,0% 0,0% 30,0% 0,0% 100,0%
6 Jembrana 0,0% 20,0% 20,0% 50,0% 10,0% 100,0%
7 Karangasem 40,0% 30,0% 10,0% 20,0% 0,0% 100,0%
8 Klungkung 20,0% 0,0% 20,0% 60,0% 0,0% 100,0%
9 Tabanan 0,0% 40,0% 10,0% 50,0% 0,0% 100,0%
BALI 15,6% 31,1% 16,7% 33,3% 3,3% 100,0%
4.1.3. Pengalaman Peternak Menjual Sapi Betina
Sebagian besar (98,9%) peternak pernah menjual sapi betina, dan hanya 1,1%
yang tidak pernah menjual sapi betina (Tabel 4.3). Berdasarkan wawancara mendalam,
bahwa dalam menjual ternak sapi betina, disebabkan karena alas an ekonomi, terutama
terkait dengan untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak sekolah, upacara
agama. Selain itu peternak juga cenderung menjual sapi betina yang dianggap majir,
cacat, atau sudah tua sudah. Sapi betina yang dianggap majir oleh peternak apabila
sapi tersebut tidak birahi hingga umur lebih dari 2,5 tahun, atau sapi birahi dan
dikawinkan berkali-kali, namun tetap bunting. Selain itu sapi betina juga dianggap
majir, walaupun sudah pernah melahirkan namun setelah dikawinkan kembali, juga
tidak bunting. Alasan tersebut mungkin tidak sepenuhnya benar, karena kegagalan
kawin dapat disebabkan oleh berbagai factor, seperti wakti perkawinan yang kurang
tepat, kualitas sperma yang kurang baik, seperti banyak kasus gagalnya Inseminasi
Buatan (IB) pada sapi, yang dialami banyak peternak. Hasil wawancara mendalam
dengan peternak sapi di Kabupaten Klungkung mendapatkan bahwa lebih dari 60%
sapi yang dikawinkan melalui IB mengalami kegagalan (tidak bunting).
Laporan Akhir KKP3SL-2015 33
Tabel 4.3
Pengalaman Peternak dalam Menjual Sapi Betina
No Kabupaten
Pernah menjual sapi betina
Tidak pernah Pernah Total
1 Badung 0,0% 100,0% 100,0%
2 Bangli 0,0% 100,0% 100,0%
3 Buleleng 0,0% 100,0% 100,0%
4 Denpasar 0,0% 100,0% 100,0%
5 Gianyar 10,0% 90,0% 100,0%
6 Jembrana 0,0% 100,0% 100,0%
7 Karangasem 0,0% 100,0% 100,0%
8 Klungkung 0,0% 100,0% 100,0%
9 Tabanan 0,0% 100,0% 100,0%
BALI 1,1% 98,9% 100,0%
4.1.4. Pengalaman Peternak tentang Cara Terbaik Mendapatkan Sapi Bibit
Hasil Penelitian menunjukan bahwa, sebagian besar peternak (75,6%)
menyatakan bahwa untuk memperoleh bibit sapi yang terbaik adalah dengan membeli
langsung pada peternak (Tabel 4.4).
Tabel 4.4
Cara peternak untuk mendapatka bibit sapi
No Kabupaten
Cara terbaik mendapatkan sapi bibit
Total Membeli di
pasar hewan
Membeli di
peternak Kelahiran sendiri
1 Badung 0,0% 100,0% 0,0% 100,0%
2 Bangli 0,0% 80,0% 20,0% 100,0%
3 Buleleng 30,0% 70,0% 0,0% 100,0%
4 Denpasar 40,0% 30,0% 30,0% 100,0%
5 Gianyar 30,0% 70,0% 0,0% 100,0%
6 Jembrana 10,0% 70,0% 20,0% 100,0%
7 Karangasem 0,0% 70,0% 30,0% 100,0%
8 Klungkung 0,0% 100,0% 0,0% 100,0%
9 Tabanan 0,0% 90,0% 10,0% 100,0%
BALI 12,2% 75,6% 12,2% 100,0%
Cara tersebut dapat dipahami dengan baik, karena peluang peternak saling
mengenal cukup besar, terlebih mereka ada dalam satu wilayah. Kondisi tersebut juga
memberikan peluang bagi peternak untuk mengenal dengan baik tentang sapi yang
akan dibeli. Di antara peternak juga berpeluang terjalin komunikasi yang lebih baik,
sehingga beberapa kelemahan terhadap sapi yang akan dibeli, juga akan dapat
Laporan Akhir KKP3SL-2015 34
diketahui dengan lebih baik oleh peternak yang akan membeli sapi. Namun cara
peternak membeli sapi bibit langsung kepada peternakn juga mengindikasikan
rendahnya pengetahuan peternak tentang adanya pusat pembibitan sapi Bali yang ada
di Kabupaten Jemberana, yang setiap saat dapat menyediakan bibit berkualitas baik
bagi peternak sapi di Bali.
4.1.5. Pengetahuan Peternak Tentang Sapi Betina Produktive
Sebagian besar pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif ada dalam
katagori sangat rendah (62,2%), sebanyak 25,6% rendah, dan bahkan tidak ada
peternak yang memiliki pengetahuan masuk dalam katagori tinggi maupun sangat
tinggi (Tabel 4.5). Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa sosialisasi Undang-
Undang No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahu
2014, belum dilakukan secara optimal. Rendahnya pengetahuan peternak tentang sapi
betina productive, dapat menyebabkan rendahnya perhatian peternak dalam menjual
ataupun memelihara sapi bibit. Bahkan tidak tertutup kemungkinan peternak akan
menjual ternak sapi tanpa memperhatikan apakah sapi tersebut dalam keadaan
produktif atau tidak.
Tabel 4.5
Pengetahuan Peternak tentang Sapi Batina Produktive
No Kabupaten
Pengetahuan Peternak tentang Sapi Betina Produktive
Total Sangat
rendah Rendah Sedang Tinggi
Sangat
Tinggi
1 Buleleng 70,0% 10,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%
2 Jembrana 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
3 Tabanan 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
4 Badung 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
5 Gianyar 40,0% 40,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%
6 Bangli 70,0% 10,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%
7 Klungkung 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
8 Karangasem 60,0% 30,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
9 Denpasar 80,0% 20,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
BALI 62,2% 25,6% 12,2% 0,0% 0,0% 100,0%
Untuk itu sosialisasi tentang sapi betina productive sesuai dengan Undang-
Undang dan atau peraturan yang berlaku perlu ditingkatkan, sehingga pemahaman
peternak tentang sapi betina productive dapat ditingkatkan. Selain itu peningkatan
pengetahuan juga dapat dilakukan melalui penyuluhan tentang sapi betina produktif
Laporan Akhir KKP3SL-2015 35
secara benar. Sesuai dengan pendapat Mardikanto (1993) yang menyatakan bahwa,
melalui proses penyuluhan yang dilakukan pada masyarakat petani, dapat
meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan pada petani terhadap materi yang
disuluhkan.
4.1.6. Tujuan Peternak Memelihara Sapi Bibit
Tujuan peternak melakukan usaha peternakan sapi bali bibit, dapat dilihat dari
seberapa besar kepentingan peternak dalam melakukan usaha peternakan sapi bibit.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 50,0% peternak menganggap beternak
sapi bibit sangat tidak penting dilakukan (Tabel 4.6). Hal tersebut berarti bahwa,
peternak memiliki belum tujuan yang jelas dalam berusaha ternak sapi bibit. Peternak
yang kurang atau tidak memiliki tujuan yang jelas, akan menyulitkan dalam
memberikan inovasi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit. Dedet Zelth (2013)
menyatakan bahwa tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai sehingga merupakan
sasaran, sedangkan perencanaan adalah alat untuk mencapai sasaran tersebut. Setiap
usaha yang baik harus memiliki titik tolak, landasan dan tujuannya.
Tabel 4.6
Penting tidaknya memelihara sapi bibit
No Kabupaten
Penting tidaknya memelihara sapi bibit
Total Sangat tidak
penting
Tidak
penting
Cukup
penting Penting
Sangat
penting
1 Badung 80,0% 20,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
2 Bangli 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
3 Buleleng 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
4 Denpasar 50,0% 50,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
5 Gianyar 70,0% 30,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
6 Jembrana 20,0% 70,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
7 Karangasem 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
8 Klungkung 60,0% 20,0% 0,0% 10,0% 10,0% 100,0%
9 Tabanan 50,0% 40,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
BALI 50,0% 45,6% 2,2% 1,1% 1,1% 100,0%
Mengacu kepada pengertian tentang tujuan tersebut, maka sesungguhnya
peternak menganggap bahwa belum ada sesuatu yang ingin dicapai secara jelas oleh
seorang peternak untuk beternak sapi bibit. Namun memperhatikan tentang alasan
peternak untuk menjual sapi, maka nampak dengan jelas bahwa tujuan peternak
beternak sapi bibit bukanlah untuk menghasilkan bibit yang berkualitas baik, namun
Laporan Akhir KKP3SL-2015 36
sebagai alasan ekonomi, agar sewaktu-waktu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan
keluarga.
4.2. Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit
Dukungan pemerintah dalam usaha ternak sapi bibit diperluhan oleh peternak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (70,0%) peternak mengatakan
pemerintah kurang mendukung usaha ternak sapi bibit (Tabel 4.7). Bahkan terdapat
sebanyak 4,4% petenak menyatakan bahwa pemerintah tidak mendukung peternka
dalam pengembangan usaha peternakan sapi bibit. Hanya 6,7% yang menyatakan
sangat mendukung dan 8,9% yang menyatakan mendukung, serta 10,0% yang
menyatakan cukup mendukung. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa berbagai
kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengembangan usaha peternakan sapi
bibit, seperti Kredit Usaha Peternakan Sapi (KUPS) belum dirasakan oleh peternak.
Selain itu pemerintah daerah Bali juga mengembangkan suatu program yang disebut
dengan Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri), yang dengan jelas mengharuskan
ternak sapi bibit adalah salah satu komponen penting dalam program tersebut. Oleh
karena itu, maka pemerintah harus berupaya secara terus menerus untuk memberi
dukungan berupa pembinaan dan penyediaan sarana produksi untuk meningkatkan
usaha peternakan sapi bibit di Bali. Upaya tersebut sangat penting dilakukan dalam
mendukung program pemerintah mencapai swasembada daging sapi secara
berkelanjutan.
Tabel 4.7
Dukungan Pemerintah terhadap Peternakan sapi bibit
No Kabupaten Dukungan Pemerintah Terhadap Peternak Sapi Bibit
Total Tidak
mendukung
Kurang
mendukung
Cukup
mendukung Mendukung
Sangat
mendukung
1 Buleleng 0,0% 80,0% 10,0% 10,0% 0,0% 100,0%
2 Jembrana 0,0% 80,0% 10,0% 10,0% 0,0% 100,0%
3 Tabanan 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
4 Badung 0,0% 10,0% 10,0% 30,0% 50,0% 100,0%
5 Gianyar 0,0% 90,0% 0,0% 10,0% 0,0% 100,0%
6 Bangli 0,0% 60,0% 20,0% 10,0% 10,0% 100,0%
7 Klungkung 10,0% 50,0% 30,0% 10,0% 0,0% 100,0%
8 Karangasem 0,0% 90,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
9 Tabanan 10,0% 90,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
BALI 4,4% 70,0% 10,0% 8,9% 6,7% 100,0%
Laporan Akhir KKP3SL-2015 37
Sejalan dengan Anon (2013) yang menyatakan bahwa pengembangan sapi di
Indonesia membutuhkan dukungan infrastruktur memadai untuk mempertahankan
bobot sapi sebagai bentuk dukungan untuk menyukseskan program swasembada
daging sapi 2014. Keterbatasan infrastruktur membuat sapi mendapat perlakuan yang
tidak baik selama pengiriman dari produsen (peternak) ke tempat pemotongan hewan
sehingga membuat bobot (berat) badan sapi susut sampai 30 persen. Terkait dengan
hal tersebut, Presiden RI dalam Anon (2013) menyatakan bahwa dukungannya
terhadap program aksi terpadu mewujudkan swasembada pangan termasuk daging,
yakni melalui ketersediaan lahan, infrastruktur pendukung, serta pemanfaatan
teknologi.
4.3. Harapan Peternak Sapi Bibit
Harapan peternak untuk mendapat dukungan dari pemerintah dalam usaha
ternak sapi bibit, masih ada yaitu sebanyak 32,2% berharap, dan 20,0% sangat
berharap (Tabel 4.8). Hal tersebut menunjukkan bahwa, peran pemerintah cukup besar
dalam membantu peternak dalam mengembangkan usaha ternak sapi bibit.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintah Provinsi Bali telah
mendukung masayarakat dalam pengembangan usaha peternakan sapi bibit. Dukungan
tersebut diwujudkan dalam bentuk implementasi program SIMANTRI, yang telah
dilakukan sejak 3 tahun terakhir. Kelompok ternak sapi bibit diitegrasikan dengan
tanaman pertanian. Melalui kelompok SIMANTRI tersebut pemerintah memberikan
penyuluhan tentang inovasi teknologi yang berkaitan dengan peternakan sapi bibit.
Mulai dari pakan, kandang, penanganan penyakit, pemilihan bibit, dan penanganan
limbah ternak sapi. Namun di tingkat implementasi cukup banyak SIMANTRI yang
tidak atau kurang sesuai dengan harapan. Sejalan dengan pernyataan anggota DPRD
Provinsi Bali Nyoman Adnyana telah terjadi beberapa penyimpangan pelaksanaan
Simantri. Di di Kabupaten Bangli, setidaknya dia menemukan empat gabungan
kelompok tani (Gapoktan) yang telah menerima dana program Simantri pada tahun-
tahun sebelumnya, ternyata sapi bantuan dari Provinsi Bali sudah tidak ada lagi di
tempat unit Simantri tersebut. Bahkan Adnyana menyatakan untuk di kabupaten
asalnya saja sekitar 70% unit Simantri, operasionalnya tidak sesuai dengan pedoman
dan petunjuk pelaksanaan yang ada (Anon, 2015).
Laporan Akhir KKP3SL-2015 38
Tabel 4.8
Harapan Peternak terhadap Dukungan Pemerintah dalam Pengembangan Sapi Bibit
No Kabupaten
Harapan peternak terhadap dukungan pemerintah dalam
pengembangan sapi bibit
Tidak
berharap
Kurang
berharap
Cukup
berharap Berharap
Sangat
berharap Total
1 Buleleng 0,0% 0,0% 0,0% 20,0% 80,0% 100,0%
2 Jembrana 10,0% 50,0% 10,0% 10,0% 20,0% 100,0%
3 Tabanan 10,0% 40,0% 0,0% 10,0% 40,0% 100,0%
4 Badung 0,0% 20,0% 20,0% 50,0% 10,0% 100,0%
5 Gianyar 10,0% 40,0% 0,0% 40,0% 10,0% 100,0%
6 Bangli 0,0% 0,0% 0,0% 100,0% 0,0% 100,0%
7 Klungkung 0,0% 90,0% 0,0% 0,0% 10,0% 100,0%
8 Karangasem 10,0% 60,0% 0,0% 20,0% 10,0% 100,0%
9 Tabanan 0,0% 50,0% 10,0% 40,0% 0,0% 100,0%
Rataan BALI 4,4% 38,9% 4,4% 32,2% 20,0%
4.4. Sikap Peternak
Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina priduktif dari sangat tidak
setuju sampai ragu-ragu. Sebanyak 51,1% menyatakan tidak setuju dengan
pemotongan sapi betina produktif, 44,4% menyatakan sangat tidak setuju, dan 4,4%
ragu-ragu (Tabel 4.9). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sesungguhnya
peternak tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi betina produktif.
Ketidaksetujuan peternak dalam pemotongan sapi betina produktif, sebagai akibat dari
penilaian peternak terhadap pentingnya memelihara sapi betina untuk mendapatkan
anak sapi yang lebih banyak, untuk bisa dijual pada saat membutuhkan uang. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Siagian (1988), yang menyatakan bahwa sikap adalah
pernyataan evaluatif dari seseorang terhadap suatu obyek. Usaha peternakan sapi bibit
yang dilakukan peternak yang bertujuan atau bermotifkan ekonomi merupakan objek
yang selalui dievaluasi oleh peternak.
Berdasarkan analisis regresi linier berganda (Siegel, 1997), dengan metode Enter
melalui Software Statistical Prgogram for Social Science (SPSS) versi 20.00 ternyata
sikap peternak dipengaruhi oleh empat factor antara lain: (1) pendidikan peternak; (2)
pengalaman beternak (tahun); (3) tujuan beternak sapi bibit; dan (4) dukungan
pemerintah terhadap peternak dalam usaha peternakan sapi bibit. Hasil analisis
tersebut menghasilkan model regresi berganda sebagai berikut:
Laporan Akhir KKP3SL-2015 39
Y = 1, 966 – 0,035X1 – 0,003X2 – 0,186X3 + 0,192X4
Y = Sikap peternak
X1 = Pendidikan peternak
X2 = Pengalaman peternak
X3 = Tujuan beternak
X4 = Dukungan pemerintah
R2 = 0,438
Model regeresi tersebut nyata karena (0,001 < 0,05), dengan demikian secara
bersama-sama ke empat factor tersebut (X1, X2, X3 dan X4) berpengaruh nyata terhadap
sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina productive. Namun setelah analsisi
regresi berganda tersebut digunakan metode Stefwise, untuk mengetahui factor mana
yang paling berpengaruh terhadap sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina
produktif, diketahui bahwa hanya factor dukungan pemerintah (X4) yang paling
berpengaruh, sedangkan factor lainnya tidak berpengaruh. Model regresi yang
dihasilkan adalah sebagai berikut:
Y = 2,471 + 0,188X4
R2 = 0,408
Tabel 4.9
Sikap Peternak terhadap Pemotongan Sapi Betina Produktif
No Kabupaten
Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina
produktive
Total Sangat
tidak setuju
Tidak
setuju
Ragu-
ragu Setuju
Sangat
setuju
1 Buleleng 70,0% 30,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
2 Jembrana 60,0% 40,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
3 Tabanan 60,0% 40,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
4 Badung 70,0% 20,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
5 Gianyar 20,0% 80,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
6 Bangli 40,0% 50,0% 10,0% 0,0% 0,0% 100,0%
7 Klungkung 40,0% 40,0% 20,0% 0,0% 0,0% 100,0%
8 Karangasem 10,0% 90,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
9 Tabanan 30,0% 70,0% 0,0% 0,0% 0,0% 100,0%
BALI 44,4% 51,2% 4,4% 0,0% 0,0%
Model regresi yang dihasilkan dari analysis tersebut juga dapat dipertanggung
jawabkan secara nyata dengan selang kepercayaan 99% karena (0,000 < 0,01). Artinya
bahwa model tersebut 40,8% mampu menjelaskan bahwa sikap peternak terhadap
Laporan Akhir KKP3SL-2015 40
pemotongan sapi betina productive sangat dipengaruhi oleh dukungan pemerintah.
Peternak semakin tidak setuju adanya pemotongan sapi betina produktif, apabila
dukungan pemerintah semakin tinggi kepada peternak untuk mengembangkan usaha
peternakan sapi bibit. Namun permasalah di tingkat lapangan, sebagaimana telah
dijelaskan sebelumnya bahwa dukungan pemerintah terhadap peternak dalam usaha
peternakan sapi bibit sangat rendah. Kemungkinan besar bahwa kondisi tersebut juga
menjadi salah satu factor penyebab adanya pemotongan sapi betina productive yang
cukup tinggi di Bali. Oleh karena itu hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang
serius dari semua pihak yang berkaitan dengan masalah penyelamatan sapi betina
productive di Bali.
4.5. Penyebaran pemotongan sapi betina produktif di Bali.
Pemotongan sapi betina produktif terjadi di seluruh kabupaten di Bali, karena
di setiap kabupaten/kota di Bali memiliki Rumah Potong Hewan (RPH) dan atau
Tempat Pemotongan Hewan (TPH). Hasil penelitian menunjukan bahwa jumlah RPH
di Bali adalah 10 buah, dua RPH diantaranya tidak berfungsi yaitu RPH Temesi
(Gianyar) dan RPH Seririt (Buleleng). Sedangkan TPH di Bali sebanyak 17 buah dan
terbanyak adalah di Kabupaten Badung mencapai 13 TPH (Tabel 4.10).
Tabel 4.10.
Penyebaran RPH dan TPH di Bali tahun 2015
No Kabupaten RPH (Buah) TPH (Buah) Keterangan
1 Buleleng 2 0 1 RPH tidak berfugsi
2 Jembrana 1 0
3 Tabanan 1 2
4 Badung 1 13
5 Gianyar 2 0 1 RPH tidak berfungsi
6 Klungkung 1 0
7 Bangli 0 2
8 Karangasem 1 0
9 Denpasar 1 0
Bali 10 17
Demikian banyaknya jumlah TPH di Kabupaten Badung menyebabkan
peluang terjadinya pemotongan sapi betina produktif juga semakin tinggi. Peluang
tingginya pemotongan sapi di Kabupaten Badung dapat dipahami, karena Kabupaten
Badung selain memiliki daerah tujuan wisata dunia seperti Kuta dan Nusa Dua, juga
Laporan Akhir KKP3SL-2015 41
sebagai salah satu kabupaten yang dekat dengan kota Denpasar sebagai ibu kota
Provinsi Bali. Sebagai sebuah ibu kota provinsi, maka pusat perkonomian akan
berlokasi di daerah tersebut, yang menyebabkan tingginya kebutuhan akan daging
termasuk daging sapi.
Hasil koleksi data dengan menggunakan Global Positioning Satelit (GPS)
menunjukan bahwa penyebaran Rumah Potong Hewan (RPH) dan Tempat
Pemotongan hewan (TPH) adalah seperti Gambar 4.1. Dari Gambar 4.3 nampak bahwa
lokasi atau posisi RPH di setiap kabupaten/kota di Bali, umumnya dekat dengan pusat
pemerintah dan perekonomian. Kecuali untuk RPH di Kabupaten Buleleng, yang salah
satunya terletak di Kecamatan Seririt, relative jauh dari Kota Singaraja sebagai ibu
Kota Kabupaten Buleleng. Selain itu Gambar 4.1 juga menunjukan bahwa Kabupaten
Bangli adalah satu-satunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki RPH namun
kabupaten Bangli memiliki dua buah TPH.
Gambar 4.1. Lokasi RPH dan TPH di Bali
Hasil pemantauan lapangan menunjukan bahwa, di Bali terdapat empat buah
RPH yang cukup modern dilihat dari segi peralatan. Keempat RPH tersebut antara lain:
(1) RPH Pesanggaran; (2) RPH Mambal; (3) RPH Temesi dan (4) TPH Tabanan.
Namun RPH Tabanan dan RPH Temesi (Gianyar) hampir tidak difungsikan secara
optimal. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari Dinas Peternakan Kabupaten
Laporan Akhir KKP3SL-2015 42
Tabanan, diketahui bahwa tidak berfungsinya RPH Tabanan, disebabkan oleh biaya
operasional RPH yang relative tinggi, sehingga tidak mampu ditanggung oleh
Pemerintah Daerah Kabupaten Tabanan. Di lain pihak biaya yang dibebankan kepada
jagal untuk memotong sapi hanya sebesar Rp.12.500,- per ekor dan rata-rata
pemotongan setiap hari berkisar antara 6-7 ekor. Sedangkan tidak berfungsinya RPH
Temesi (Gianyar) disebabkan terbatasnya sapi yang dipotong di Kabupaten Gianyar
yang hanya rata-rata 10 ekor per hari, sehingga RPH tersebut menjadi tidak efektif
karena tidak sesuai dengan kapasitas yang dimiliki oleh RPH tersebut, yang mampu
memotong sapi setiap mencapai lebih dari 40 ekor per hari. Kondisi tersebut
menyebabkan RPH Temesi hanya diopersionalkan saat hari raya Lebaran Haji yang
hanya setahu sekali. Selanjutnya RPH Mambal (Kabupaten Badung) dan RPH
Pesanggaran (Kota Denpasar) berfungsi cukup efektif. Bahkan untuk RPH Mambal,
pemotongan sapi dilakukan sebanyak dua kali sehari yaitu pagi dan malam hari.
Jumlah pemotongan sapi di Kabupaten Badung, mencapai 25-30 ekor per hari.
Ppemotongan sapi di RPH Pesanggaran (Denpasar) rata-rata juga mencapai 25-30 ekor
per hari, sehingga ke dua RPH tesebut dapat dinyatakan telah berfungsi dengan cukup
optimal, sesuai denga kapasitas yang dimiliki.
4.6. Pelaku pemotongan sapi betina produktif di Bali.
Pelaku utama pemtongan sapi betina produktif adalah pedagang atau
pengusaha daging sapi sebagai perencana dalam pemotongan sapi yang dalam hal ini
disebut dengan ”jagal”. Umumnya pedagang yang disebut dengan “Jagal” adalah
orang yang bertanggungjawab atas keputusan tentang sapi yang akan dipotong.
Sedangkan tukang sembelih adalah mereka (individu) yang melakukan penyembelihan
atas perintah “jagal”. Keputusan tentang boleh atau tidaknya seekor sapi betina
dipotong adalah seorang dokter hewan (Drh) penanggungjawab RPH atau TPH.
Mereka adalah petugas dari Dinas Peternakan Kabupaten atau Kota setempat, yang
diberikan tugas khusus sebagai penanggungjawab RPH. Petugas tersebut bertanggung
jawab penuh terhadap boleh-tidaknya seekor sapi betina dipotong. Dalam menjalankan
tugasnya, seorang penaggungjawab RPH sering mengalami kesulitan, untuk
memutuskan hal tersebut.
Kesulitan tersebut sangat terkait dengan “keselamatan”. Penanggung jawab
RPH sering mengalami ketakutan untuk tidak mengijinkan sapi-sapi betina yang telah
Laporan Akhir KKP3SL-2015 43
masuk RPH atau TPH untuk dipotong. Demi keselamatan nyawa mereka maka dengan
sangat terpaksa para penanggungjawab RPH harus memberikan ijin untuk memotong
sapi betina produkif. Kondisi tersebut hampir terjadi diseluruh RPH di Bali, bahkan
pemotongan sapi di TPH relative tidak terpantau oleh petugas dari Dinas Peternakan
Kabupaten setempat. Kondisi tersebut menyebabkan biasnya data tentang jumlah
pemotongan sapi setiap hari di TPH, sehingga relative sulit dipercaya. Petugas hanya
menerima apa adanya tentang jumlah sapi yang dilaporkan dipotong di setiap TPH.
Bahkan Kabupaten Badung yang memiliki TPH sebanyak 13 buah yang tersebar
beberapa lokasi pedesaan, menyebabkan jumlah pemotongan sapi setiap hari sangat
sulit terpantau. Kondisi yang hampir sama sesungguhnya juga terjadi hampir di seluruh
RPH kabupaten, kecuali untuk kabupaten Badung, Tabanan, Buleleng, dan Kota
Denpasar, pemantauan oleh petugas relative berjalan dengan cukup baik. Sedangkan
untuk kabupten Karangasem, Klungkung, Gianyar, Jembrana dan Bangli petugas
penanggung jawab RPH, lebih banyak hanya menerima informasi atau laporan tentang
jumlah sapi yang dipotong setiap hari dari jagal atau waker (penunggu RPH).
Selanjutnya data tersebut dikirim melalui “SMS Gate” oleh petugas RPH kepada
atasnya di Dinas Peternakan Kabupaten, yang dalam hal ini umumnya adalah Kepala
Bidang Kesehatan Hewan. Kondisi tersebut menyebabkan data atau informasi yang
dikumpulkan melalui “SMS Gate” diragukan kebenarannya. Menurut penanggung
jawab RPH, hal tersebut terpaksa dilakukan karena terbatasnya petugas pengawas
RPH serta terbatasnya biaya yang tersedia untuk melakukan pengawasan. Selain itu
waktu pemotongan sapi yang umumnya dilakukan tengah malam juga merupakan
sebuah hambatan bagi petugas penanggungjawab, yang juga harus masuk kantor
seperti biasa setiap hari. Selain itu petugas tersebut umumnya juga tidak mendapatkan
insentive apapun terhadap pekerjaan yang harus dilakukan di luar jam kerja sebagai
seorang petugas pemerintahan.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa jumlah jagal yang ada di Provinsi Bali
mencapai 59 orang yang tesebar di delapan kabupaten dan satu kota di Bali, dengan
rincian seperti Tabel 4.11. Dari Tabel 4.11 nampak bahwa jumlah jagal terbanyak
terdapat di Kabupaten Badung yang mencapai 17 orang (28,81%), kemudian disusul
oleh Kota Denpasar sebanyak 13 orang (22,03%). Sedangkan jumlah jagal yang paling
sedikit terdapat di Kabupaten Bangli yang hanya 2 orang (3,39%). Kondisi tersebut
Laporan Akhir KKP3SL-2015 44
menunjukan bahwa Kabupaten Badung dan Kota Denpasar sebagai pusat pertumbuhan
ekonomi di Bali, memiliki peluang pasar daging sapi yang jauh lebih besar
dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Kabupaten Badung dan Kota Denpasar,
merupakan daerah tujuan wisata utama di Bali, di mana terdapat berbagai fasilitas
pariwisata seperti hotel dan restaurant yang membutuhkan daging termasuk daging
sapi yang jauh lebih banyak dibandingkan kabupaten lainnya. Jumlah hotel berbintang
di Bali tahun 2014 sebanyak 249 buah, dan 164 buah (65,86%) di antaranya terdapat
di Kabupaten Badung dengan jumlah kamar mencapai 23.172 unit kamar (80,43% dari
total kamar hotel berbintang di Bali yang berjumlah 28.811 unit kamar). Selain itu di
Kabupaten Badung, juga terdapat hotel non bintang dengan jumlah kamar pada tahun
2013 mencapai 9.797 unit kamar (37,66% dari total kamar hotel non bintang di Bali
yang mencapai 26.013 unit). Sedangkan jumlah hotel berbintang tahun 2014 di Kota
Denpasar mencapai 33 buah (13,35%) dengan 3.480 unit kamar (12,08% dari seluruh
kamar hotel berbintang). Seperti halnya Kabupaten Badung, di Kota Denpasar juga
terdapat hotel non bintang dengan jumlah kamar pata tahun 2013 mencapai 5.511 unit
kamar (21,19% dari seluruh kamar hotel non bintang di Bali) (BPS Bali, 2014).
Table 4.11.
Penyebaran Jaga di Bali
No Kabupaten Jumlah Jagal
Orang %
1 Karangasem 3 5,08
2 Denpasar 13 22,03
3 Klungkung 2 3,39
4 Badung 17 28,81
5 Bangli 2 3,39
6 Buleleng 9 15,25
7 Jembrana 6 10,17
8 Gianyar 3 5,08
9 Tabanan 4 6,78
Bali 59 100,00
4.7. Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali.
Jumlah sapi yang dipotong dalam dua tahun terakhir turun cukup drastis (2013-
2014). Pada tahun 2012, jumlah sapi yang dipotong di Bali sebanyak 51.643 ekor,
turun menjadi 44.939 ekor tahu 2013 dan menjadi 28.471ekor tahun 2014 (Gambar
4.2). Diperkirakan jumlah sapi yang dipotong di Bali dalam lima tahun berikutnya,
Laporan Akhir KKP3SL-2015 45
akan cenderung tetap, dengan mengkikuti model Regresi linier sederhana: Y = 43.772
+ 47,7X. Namun model tersebut memiliki koefisien determinasi R2 yang sangat rendah
yaitu 0,0001. Dengan demikian model tersebut belum cukup kuat untuk menjelaskan
kecederungan jumlah sapi yang akan di potong di Bali dalam lima tahun mendatang.
Hal tersbut akan terjadi apabila tidak ada upaya-upaya strategis yang dilakukan oleh
institusi yang berwenang, khususnya Dinas Peternakan Tingkat Provinsi Bal hingga
ke tingkat kabupaten/kota.
Gambar 4.2. Tingkat pemotongan sapi di Bali periode 2010-2014 dan peluang
terjadinya pemotongan dalam lima tahun berikutnya
Berkurangnya jumlah sapi yang dipotong di Bali sejalan dengan berkurangnya
populasi sapi bali di Bali. Pada tahun 2012 populasi sapi di Bali sebanyak 651.216
ekor, berkurang menjadi 478.146 ekor (Gambar 4.3). Penurunan populasi sapi tersebut
sangat significant mencapai 36,2% (BPS Prov. Bali, 2014). Dalam empat tahun
berikutnya (2014-2017) populasi sapi di Bali akan cenderung terus menurun mengikuti
model regresi linier sederhana Y = 763.458 – 60.321X, dengan R2 = 0,7203. Model
tersebut nampak cukup kuat untuk menjelaskan kecederunagn penurunan populasi sapi
di Bali dalam 4 tahun berikutnya. Oleh karena itu sebaiknya Dinas Peternakan Provinsi
Bali, segera mengambil langkah-langkah strategis, untuk mengantisipasinya, seperti:
(1) melakukan pengawasan yang ketat tentang peluang adanya pengeluaran sapi secar
illegal (menyelundup); (2) menciptakan daya Tarik bagi generasi muda untuk
36,878
47,647 51,643
44,938
38,471 Y = 47,7x + 43772R² = 0,0001
Th.2010
Th.2011
Th.2012
Th.2013
Th.2014
Jum
lah
sap
i yan
g d
ipo
ton
g (e
kor)
Laporan Akhir KKP3SL-2015 46
menekuni sector pertanian termasuk sub sector peternakan, khususnya dalam
pengembangan ternak sapi Bali; (3) mencegah adanya pemotongan sapi betina
produktif; (4) mempertegas kembali tentang antar-pulau sapi, khususnya yang dikirim
ke Jakarta.
Hasil penelitian melalui Focus Group Discussion (FGD) dengan petugas Dinas
Peternakan Kabupaten/ kota, para jagal dan peternak sapi, mendapatkan bahwa
penurunan populasi sapi di Bali, disebabkan oleh berbagai factor, antara lain:
1) adanya indikasi penyelundupan sapi dara umur sekitar satu tahun dengan tinggi
gumba antara 105-110 cm;
2) semakin terbatasnya lahan untuk memelihara sapi dan penyediaan hijauan
pakan ternak;
3) peternak sebagian besar lanjut usia, bahkan ada yang mencapai umur lebih dari
80 tahun, di lain pihak generasi muda kurang atau bahkan tidak tertarik untuk
menekuni sector pertanian, termasuk sub sector peternakan;
4) adanya pemotongan sapi betina produktif, yang kurang terkendali;
5) pengiriman sapi secara resmi ke luar Bali, yang terindikasi melanggar perturan,
seperti sapi yang memiliki bobot badan kurang dari 375 kg per ekor. Bahkan
saat lebaran haji, sapi yang di antar pulaukan cenderung memiliki bobot badan
pada kisaran 200 kg per ekor berat hidup.
Gambar 4.3. Populasi sapi di Bali periode 2010-2013 dan kecederungannya dalam
empat tahun berikutnya
Laporan Akhir KKP3SL-2015 47
Relatif sulit mendapatkan data tentang jumlah sapi betina produktif yang
dipotong oleh “jagal”. Seorangpun tidak ada yang mau memberikan data melalui
Laporan (Form Isian) yang telah disediakan. Untuk mengatasi hal tersebut maka
dilakukan inspeksi mendadak (sidak) saat pemotongan dilakukan. Akan tetapi hal
tersebut tidak bisa dilakukan setiap hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa
setidaknya terindikasi terjadi pemotongan sapi betina produktif yang sangat tinggi di
Bali. Di salah satu RPH di Kabupaten Badung, saat inspeksi dilakukan ditemukan RPH
tesebut akan memotong 8 ekor sapi, dan 7 ekor (87,5%) di antaranya adalah sapi betina
dan hanya 1 ekor (12,5%) sapi jantan. Dari 7 ekor sapi betina tersebut sebanyak 5 ekor
(71,4%) adalah betina produktif bahkan seekor (14,29%) di antaranya adalah sapi
betina yang sedang bunting.
Kunjungan berikutnya di Kabupaten Badung khususnya di RPH Mambal,
ditemukan bahwa sebagian besar sapi yang dipotong juga sapi betina, beberapa di
antaranya juga sapi betina productive. Namun penanganan untuk menghindari
pemotongan sapi betina produktif telah dilakukan dengan cukup baik oleh petugas
RPH yang jumlahnya mencapai 6 orang. Setiap sapi yang akan dipotong selalu
dilakukan pemeriksaan ante mortem. Jika ditemukan sapi betina productive maka
petugas RPH merekomensikan untuk tidak dipotong (ditolak dipotong). Walaupun
dalam pelaksanaannya rekomendasi tersebut relative jarang dilakukan oleh jagal.
Namun petugas RPH juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jumlah sapi yang dipotong di
RPH Mambal sejak bulan Maret hingga bulan September 2015, mencapai sebanyak
1.578 ekor. Dari jumlah tersebut sebanyak 1.267 ekor (80,29%) adalah sapi betina dan
hanya 311 ekor (19,71%) sapi jantan. Dari 1.267 ekor sapi betina yang masuk RPH,
berdasrkan Laporan petugas RPH terdapat sebanyak 193 ekor (15,23%) sapi betina
produktif yang ditolak untuk dipotong. Selanjutnya dari 193 ekor sapi betina
productive yang ditolak untuk dipotong, ternyata terdapat 13 ekor di antaranya juga
dipotong oleh jagal. Padahal berdasarkan pengamatan lapangan pasa saat dilakukan
inspeksi, ditemukan enam ekor sapi betina telah masuk RPH dan 3 ekor dinataranya
terindikasi sapi betina productive (Gambar 4.4)
Laporan Akhir KKP3SL-2015 48
Gambar 4.4. Sapi betina productive yang akan dipotong di RPH Mambal, Badung
Selanjutnya kunjungan yang dilakukan di kabupaten Karangasem, juga
mendapatkan data yang hampir sama. Dari 12 ekor sapi yang akan dipotong dalam
beberapa hari berikutnya ditemukan 11 ekor (91,67%) adalah sapi betina dan 8 ekor
(72,73%) di antaranya adalah sapi betina productive (Gambar 4.5). Kondisi yang tidak
jauh berbeda terjadi di Kabupaten Klungkung, dari 3 ekor sapi yang dipotong,
seluruhnya (100%) adalah betina dan dua ekor (66,67%) diantaranya adalah betina
productive. Kunjungan di Kabupaten Gianyar juga mendapatkan informasi yang sama
persis dengan yang terjadi di Kabupaten Klungkung.
Gambar 4.5. Sapi yang akan dipotong oleh seorang jaga di Kabupaten Karangasem
(Foto: Widianta, Oktober 2015)
Selanjutnya kunjungan ke Kabupaten Buleleng juga mendapatkan kondisi
yang tidak jauh berbeda. Dari 13 ekor sapi yang dipotong, seluruhnya adalah sapi
Laporan Akhir KKP3SL-2015 49
betina dan sebanyak 9 ekor (69,23%) di antaranya adalah sapi betina produktif.
Demikian pula hanya untuk Kabupaten Jembrana, ditemukan bahwa dari 7 ekor sapi
yang dipotong, terdapat 6 ekor (85,71%) betina dan 4 ekor (66,67%) di antaranya
adalah sapi betina produktif.
Di Kota Denpasar, juga ditemukan kondisi yang tidak jauh berbeda dengan
kabupaten lainnya. Saat investigasi ditemukan bahwa dari 27 ekor sapi yang dipotong,
seluruhnya adalah sapi betina dan terindikasi lebih dari 24 ekor (88,89%) adalah betina
productive dengan kondisi sapi yang realatif cukup baik (Gambar 4.6). Kondisi yang
sangat berbeda ditemukan di Kabupaten Tabanan. Saat investigasi dilakukan ke RPH
Tabanan, sama sekali tidak ditemukan adanya sapi betina yang akan dipotong RPH
Kabupaten Tabanan. Menurut petugas Dinas Peternakan Kabupaten Tabanan, bahwa
jagal di Kabupaten Tabanan memang sama sekali tidak pernah memotong sapi betina.
Hal tersebut terjadi berkat dilakukannya sosialisasi secara berkesinambungan oleh
petugas Dinas Peternakan. Kondisi tersebut mngindikasikan bahwa dukungan dan
perhatian yang baik dari pemerintah ternyata mampu menghindari adanya pemotongan
sapi betina produktif di Kabupaten Tabanan.
Gambar 4.6. Sapi betina, yang beberapa di antaranya terindikasi sapi betina produktif
yang akan dipotong di RPH Pesanggaran (Denpasar)
Foto: Widianta (2015)
Hasil kunjungan atau investigasi di seluruh Kabupaten di Bali, tersebut sangat
berbeda dengan laporan penanggungjawab RPH atau TPH. Sampai dengan bulan
Agustus 2015 jumlah sapi yang dipotong di Bali 21.658 ekor yang terdiri dari 10.371
Laporan Akhir KKP3SL-2015 50
ekor (47,89%) jantan dan 11.287 ekor (52,11%) adalah sapi betina (Tabel 4.12 dan
Gambar 4.9). Namun sama sekali tidak ada laporan tentang sapi betina yang dipotong
apakah produktif atau tidak. Akan tetapi inspeksi yang dilakukan di beberapa RPH
menunjukan bahwa jumlah sapi betina produktif yang dipotong di Bali adalah cukup
tinggi, yang mencapai lebih dari 80%. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa ada
indikasi terjadinya manipulasi data pemotongan ternak sapi betina produktif di RPH
maupun di TPH.
Tabel 4.12
Jumlah sapi yang dipotong di Bali periode Januari-Juli 2015 (Data Dinas Peternakan
dan Kesehatan Hewan Prov. Bali, 2015)
NO BULAN SAPI (Ekor) Sapi (%)
JTN BTN JML JTN BTN JML
1 JANUARI 1.452 1.224 2.676 54,26 45,74 100
2 PEBRUARI 1.268 1.229 2.497 50,78 49,22 100
3 MARET 1.358 1.422 2.780 48,85 51,15 100
4 APRIL 1.327 1.531 2.858 46,43 53,57 100
5 MEI 1.391 1.439 2.830 49,15 50,85 100
6 JUNI 1.415 1.531 2.946 48,03 51,97 100
7 JULI 1.339 1.576 2.915 45,93 54,07 100
8 AGUSTUS 821 1.335 2.156 38,08 61,92 100
9 SEPTEMBER *) *) 3.163 *) *)
10 OKTOBER *) *) 2.924 *) *)
11 NOPEMBER
12 DESEMBER
JUMLAH 10.371 11.287 21.658**) 47,89 52,11 100
Keterangan:
*) Belum ada data
**) Data sampai dengan Agustus 2015
Hasil wawancara mendalam yang dilakukan dengan penanggung jawab RPH,
bahwa hal tersebut terpaksa dilakukan, karena adanya rasa takut dari petugas RPH,
terhadap Undang Undang yang mengatur tentang pemotongan sapi betina produktif.
Pada pasal 66A menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menganiaya dan/ atau
menyalahgunakan Hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif. Setiap
Orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) wajib
melaporkan kepada pihak yang berwenang. Selanjutnya Pasal 95, dipertegas bahwa
setiap orang yang mengetahui adanya perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
Laporan Akhir KKP3SL-2015 51
66A ayat (l) dan tidak melaporkan kepada pihak yang berwenang sebagaimana
dimaksud dalam pasal 66A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling singkat
1 (satu) bulan dan paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling sedikit Rp.1.000.000,00
(satu juta rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000,00 (tiga juta rupiah) (Undang
Undang No 41 tahun 2014).
4.8. Faktor-faktor penyebab terjadinya pemotongan sapi betina produktif di
Bali.
4.8.1. Di tingkat peternak sapi
Telah dilakukan survei terhadap 90 orang peternak sapi bibit di seluruh Bali,
untuk mendapatkan informasi yang benar tentang factor penyebab terjadinya
pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat dua
factor utama sebagai penyebab terjadinya peluang pemotongan sapi betina produktif
di tingkat petani. Kedua factor tersebut adalah factor internal dan factor eksternal.
Faktor internal peternak nampaknya merupakan factor penyebab utama, yang
bermotifkan ekonomi. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak 50% peternak
sapi menyatakan bahwa beternak sapi betina sangat tidak penting (Gambar 4.7). Hanya
1% yang menyatakan bahwa beternak sapi betina penting dan sangat penting serta 46%
yang menyatakan beternak sapi betina tidak penting. Sebanyak 2% lainnya
menyatakan beternak sapi betina cukup penting. Kondisi tersebut menunjukan bahwa
beternak sapi betina di kalangan petani peternak, dirasa kurang menguntungkan, serta
kemungkinan kurangnya pemahaman peternak tentang pentingnya peternakan sapi
bibit dalam penyediaan daging sapi di Bali khususnya dan di Indonesia pada
umumnya.
Gambar 4.7. Penting tindaknya memelihara sapi bibit menurut petani
Laporan Akhir KKP3SL-2015 52
Selain itu hasil penelitian juga mendapatkan bahwa setidaknya terdapat dua
alasan utama, yang menyebabkan peternak sapi menjual sapi betina. Alasan tersebut
dapat dikatagorikan menjadi dua yaitu alasan eksternal peternak dan alasan internal
peternak. Alasan ekternal peternak meliputi: (1) umur sapi yang sudah tua; (2) sapi
telah melahirkan lebih dari 5 kali; (3) warna bulu sapi yang diinginkan peternak tidak
sesuai; (4) sapi majir; (5) sapi sakit; (6) sapi lambat tumbuh; (7) sapi cacat fisik; (8)
adanya dorongan pembeli dan (9) karena adanya kesempatan harga sapi yang mahal.
Dari 9 alasan eksternal tersebut maka factor atau alas an sapi majir merupakan alas an
yang paling banyak dikemukakan peternak, yaitu mencpai 82,2%, sedangkan karena
umur sapi yang tua serta melahirkan lebih dari 5 kali dikemukakan oleh masing-
masing 70,0% peternak. Adanya dorongan pembeli, yang menyebabkan peternak
menjual sapi betina dikemukakan hanya oleh 5,6% peternak (Gambar 4.8).
Gambar 4.8. Alasan eksternal peternak menjual sapi betina
Selain alasan eksternal, maka beberapa alasan internal peternak yang
menyebabkan peternak menjual sapi betina, paling dominan dikemukakan peternak
karena adanya kebutuhan uang untuk anak sekolah oleh 61,1% (Gambar 4.9). Alasan
berikutnya adalah adanya keperluan untuk upacara agama yang dikemukakan oleh
40,0% peternak sapi. Beberapa hal lain yang juga menjadi alasan bagi peternak antara
lain: untuk membangun, keluarga yang sakit, bayar utang, sulit mendapatkan tempat
untuk beternak, perternak sudah tua, sulit mendapatkan pakan dan sapi betina ditukar
dengan sapi jantan.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 53
Gambar 4.9. Alasan Internal petenak untuk menjual sapi betina
Sekalipun usaha peternakan sapi bibit kurang diminati peternak, namun hasil
penelitian menunjukan bahwa 51,1% peternak tidak setuju adanya pemotongan sapi
bentina produktif, bahkan 44,3% yang menyatakan sangat tidak setuju dengan adanya
pemotongan sapi betina produktif (Gambar 4.10). Kondisi tersebut sesungguhnya
menunjukan adanya pengetahuan peternak tentang pentingnya penyediaan bibit sapi.
Gambar 4.10. Sikap peternak terhadap pemotongan sapi betina produktif
Selanjutnya Gambar 4.11 menunjukan bahwa adanya keinginan masyarakat
agar pemotongan ternak sapi harus diawasi secara ketat oleh pemerintah. Hal tersebut
tercermin dari hasil penelitian yang menunjukan bahwa ssebanyak 38% peternak
sangat setuju dan 57% setuju apabila pemotongan ternak sapi diawasi secara ketat oleh
pemerintah, hanya 5% yang menyatakan cukup setuju. Kondisi tersebut menunjukan
Laporan Akhir KKP3SL-2015 54
bahwa selama ini masyarakat menganggap pemotongan sapi betina belum atau kurang
diawasi oleh pemerintah.
Gambar 4.11 Sikap peternak apabila pemotongan ternak sapi diawasi pemerintah
Terkait dengan kondisi tersebut maka peternak memberikan beberapa saran
untuk menghindari atau memperkecil terjadinya pemotongan sapi betina produktif.
Dari 90 orang responden, yang memberikan saran sebanyak 59 orang atau 65,56%.
Dari jumlah saran yang dikemukakan peternak, maka saran yang masuk dalam
katagori penyuluhan adalah saran terbanyak yang dikemukakan petani, yaitu mencapai
40%. Selanjutnya disusul dengan saran tentang pengawasan (17%), pemberian
insentive oleh 12%; perbaikan pelayanan inseminasi buatan 7%; bantuan kepada
peternak secara tepat oleh 7%, pelayanan kesehatan ternak oleh 7% peternak;
pemberian kredit murah oleh 5%; perbaikan kualitas bibit sehingga tidak majir oleh
2%; sosialisasi peraturan oleh 2% dan yang terkait dengan kebijakan impor oleh 1%
peternak (Gambar 4.12).
Gambar 4.12. Saran peternak agar tidak terjadi pemotongan sapi betina produktif
Laporan Akhir KKP3SL-2015 55
4.8.2. Di Tingkat Jagal dan Petugas Dinas Peternakan
Untuk mendapatkan informasi, khususnya dari kelompok jagal tentang
pemotongan sapi betina produktif, maka dilakukan diskusi secara terfokus atau Focus
Group Discussion (FGD) di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Kegiatan FGD di tingkat
Provinsi, selain dihadiri oleh jagal, juga penanggung jawab RPH atau TPH, petugas
Dinas Peternakan atau SKPD yang menangani peternakan, kalangan akademisi,
peneliti dan penyuluh serta dari unsur kepolisian Polda Bali (Gambar 4.13).
Gambar 4.13. Pelaksanaan FGD di tingkat Provinsi Bali, yang juga dihadiri dari
unsur kepolisian, khususnya Polda Bali
Hasil FGD menunjukan bahwa beberapa alasan jagal untuk memotong sapi
betina produktif antara lain:
1. Ada kecenderungan yang hampir dapat dipastikan bahwa telah terjadi
penyelundupan sapi dara ke luar Bali, yang jumlah relative sangat besar, namun
belum ada data yang pasti tentang hal tersebut. Kondisi tersebut terindikasi dengan
banyaknya pembeli sapi dara umur satu tahun atau dengan tinggi gumba antara
105-110 cm. Para pembeli sapi dara tersebut selalu hadir dan membeli sapi dara
dengan harga yang relative lebih mahal dibandingkan pembelian oleh jagal.
Kondisi tersebut selain menyebabkan berkurangnya populasi sapi di Bali, juga
menyebabkan jaga juga ikut serta untuk membeli sapi dara atau sapi betina
productive untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 56
2. Sapi jantan penggemukan sulit dicari dan mahal. Harga sapi betina berkisar antara
Rp.30.000,- s/d 31.000/kg berat hidup, sedangkan sapi jantan antara Rp.40.000 s/d
Rp.41.000/kg, bahkan kondisi bulan Nopember 2015 harga sapi jantan mencapai
lebih dari Rp.42.000,- per kg berta hidup. Sedangkan harga daging sapi di pasaran
adalah sama yaitu antara Rp.85.000 - Rp.90.000/kg. Tidak membedakan harga
antara daging sapi jantan dan betina. Dengan harga daging Rp.85.000 -
Rp.90.000/kg, dan harga sapi jantan hidup Rp.42.000/kg maka jagal akan rugi,
karena BEP nya Rp. 36.000/kg hidup. Harga daging sapi di Bali terendah
dibandingkan dengan daerah lainnya Indonesia, dan harga tersbut tetap sejak 3
tahun terakhir.
3. Preferensi pasar lebih bagus sapi muda, yang tua alot, baik untuk “sate” maupun
“lawar”. Walaupun sesungguhnya jagal sadar kualitas, kadar lemak, persentase
karkas (jantan 50%, betina 40%) lebih baik jantan dibandingkan sapi betina.
4. Petani sering membawa sapi produktif ke RPH atau langsung ke Jagal, sehingga
jagal tidak ada alas an untuk tidak membeli, karena secara bisnis, kondisi tersebut
jelas cukup menguntungkan.
Terkait dengan hasil FGD tersebut maka para jagal juga memberikan beberapa saran
agar tidak terjadi pemotongan sapi betina produktif, antara lain:
1. Penghentian sapi betina produktif diantar pulaukan, sehingga populasi naik,
stok sapi jantan naik.
2. Pelarangan sapi jantan 200 kgs/d 300 kg untuk kurban menjelang Idul Adha.
3. Subsidi harga sapi ke petani, atau bansos penggantian betina produktif jangan
di kelompok tani, tetapi untuk penggantian sapi produktif di RPH
4. Sosialisasi dan penyuluhan kepada para jagal
5. Sapi produktif yang masuk ke RPH, di beli ke pemerintah di pelihara ke sistem
Simantri
6. Sebaiknya sapi dipotong di Bali, dan daging yang diantar pulaukan seperti
dikirim ke Jakarta, maupun daerah lainnya.
Hasil FGD yang dilakukan oleh kelompok petugas Dinas Peternakan dan
Penanggungjawab RPH, mengemukakan beberapa alasan adanya pemotongan sapi
betina produktif, antara lain:
Laporan Akhir KKP3SL-2015 57
1. Sapi betina lebih murah harganya, tetapi harga daging antara jantan dan betina
sama
2. Sapi betina mudah didapatkan
3. Peternak yang dihadapkan masalah ekonomi sehingga menjual sapi betina
yang produktif
4. Petani cendrung memelihara sapi jantan karena harga jual sapi jantan lebih
tinggi sehingga sapi betina agak kurang diminati untuk dipelihara peternak.
5. Pemotongan/jagal banyak yang memerlukan sapi ukuran kecil sesuai
kemampuan mereka menjual daging
5. Pengetahuan peternak tentang pentingnya pemeliharaan sapi betina masih
kurang
6. Pengetahuan peternak tentang deteksi dini gangguan produksi masih kurang
sehingga sapinya cepat dijual
7. Pemanfaatan sapi betina sebagai tenaga kerja (membajak sawah) jauh
berkurang karena tergantikan dengan traktor.
8. Diperlukan alat pendeteksi USG dan SDM disetiap di RPH
Selanjutnya mereka memberikan beberapa solusi, untuk mengatasi terjadinya
pemotongan sapi betina produktif, antara lain:
1. Diperlukan tim terpadu untuk pengawasan dari instansi terkait
2. Sosialisasi tentang larangan pemotongan sapi betina produktif lebih
ditingkatkan berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 2014.
3. Pemerintah menyiapkan dana talangan untuk penyelamatan sapi betina
produktif
Hasil FGD yang dilakukan di kabupaten Karangasem, Buleleng, Klungkung dan
Badung yang dihadiri oleh jagal, peternak dan petugas dari Dinas Peternakan setempat
mendapatkan antara lain:
1. Pemahaman jagal, peternak, dan petugas Dinas Peternakan tentang sapi betina
productive berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 2014, relative sangat
terbatas. Hampir seluruh peserta di semua kabupaten dimana FGD dilaksanakan,
tidak mampu menyebutkan tentang indicator sapi betina productive. Kondisi
tersebut menunjukan bahwa lemahnya sosialisasi Undang-Undang No 18 tahun
Laporan Akhir KKP3SL-2015 58
2009 yang direvisi menjadi Undang-Undang No 41 tahun 2014 tentang
penyelamatan sapi betina productive.
2. Alasan utama yang menyebabkan para jagal melakukan pemotongan sapi betina
productive antara lain:
1) Kurangnya komintmen dan tingkat ketegasan pemerintah dalam menerapkan
dan mensosialisasikan Undang-Undang yang berlaku, sehingga jagal juga
mengabaikan terhadap larangan pemotongan sapi betina yang produktif.
2) Sulit mendapatkan sapi betina yang tidak produktif dan harga sapi jantan jauh
lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina.
3) Alasan ekonomi sebagai prinsip bisnis jagal, sehingga jagal berpikir bahwa
yang penting bisa mendapatkan sapi untuk dipotong guna memenuhi
kebutuhan pelanggan, tidak peduli apakah sapi tersebut produktiv atau tidak.
4) Sapi betina yang tidak productive karena usianya yang sudah tua, umumnya
memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi, sehingga jagal akan memilih
sapi yang muda yang masih usia productive.
5) Jagal membeli sapi sesuai kebutuhan pelanggan, yang sebagian besar hanya
menginginkan daging segar dalam jumlah terbatas, bukan daging beku.
6) Setiap hari jagal di tuntut untuk memenuhi kebutuhan pelanggan/konsumen.
7) Tulang sapi jantan lebih besar, di lain pihak dagingnya sedikit dan harganya
lebih mahal dari sapi betina, walaupun kuaalitas daging lebih baik namun harga
dagimg di pasaran adalah sama.
8) Tidak adanya kesepakatan standard harga daging sapi dari pemerintah.
9) Jagal, selain membeli sapi langsung ke peternak untuk mendapatkan harga sapi
yang lebih murah, maka jagal juga membeli sapi melalui saudagar sapi yang
sudah menjadi langganan, sehingga tidak peduli tentang sapi yang dibawakan
oleh saudagar, apakah sapi betina productive atau tidak.
10) Rendahnya pemahaman saudagar tentang kreteria sapi yang produktif, namun
yang penting mendapatkan sapi yang akan dijual kepada jagal sebagai
pelanggannya.
3. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh peternak melalui FGD, sebagai
penyebab terjadinya populasi sapi menurun karena pemotongan sapi betina
productive antara lain:
Laporan Akhir KKP3SL-2015 59
1) Petani lebih suka memelihara sapi jantan dibandingkan sapi betina karena
beranggapan bahwa memelihara sapi jantan lebih menguntungkan,
sehingga cenderung untuk menjual jika memiliki sapi betina. Umumnya
sapi betina tersebut dibeli oleh jagal, karena peternak lainnya juga lebih
memilih untuk memelihara sapi jantan.
2) Rendahnya minat genrasi muda untuk menajadi petani termasuk untuk
memelihara sapi di desa, sehingga jika punya sapi, lebih baik mereka jual.
3) Kurang perhatian pemerintah untuk mengecek keberadaan sapi yang
dimiliki petani, sehingga petani cenderung tidak mengetahui sapinya masih
produktif atau tidak.
4) Desakan ekonomi seperti: kebutuhan untuk anak sekolah, keluarga yang
sakit, upacara ngaben, membangun rumah dan lainnya.
5) Petani sudah tidak mampu memelihara sapi yang lebih banyak karena
sudah tua, sehingga sapinya cenderung untuk dijual.
6) Petani kesulitan mencari pakan hijauan terutama pada saat musim kering,
sehingga cenderung untuk menjual sapi miliknya.
7) Petani cenderung menjual sapi yang memiliki ciri-ciri yang tidak baik
seperti sapi panjut (bulu ujung ekor sapi berwarna putih), ekor legok
(terdapat cekungan antara tulang ekor dan tulang pantat), sapi betina hitam,
sapi kaki hitam, lidah sapi loreng atau putih, sapi usehan tunggir (ada
pusaran di bagian punggung) yang diyakini kurang menguntungkan atau
bahkan dapat menyebabkan mala petaka bagi keluarga. Fenomena ini dapat
dikatagorikan sebagai sebuah local wisdom.
8) Petani akan menjual sapinya apabila dikawinkan 2 kali tidak bisa bunting
dan digantikan bibit baru atau membeli sapi jantan.
9) Petani akan menjual sapinya apabila dinilai sudah majir, karena gannguan
alat reproduksi, atau sapi yang mengalami cacat fisik.
4. Beberapa masukan atau saran yang dkemukakan jagal, terkait dengan pemotongan
sapi betina productive, antara lain:
1) Pemerintah dan atau petugas terkait di tingkat lapangan agar lebih
proaktif terutama untuk mensosialisasikan dan memberikan pemahaman
Laporan Akhir KKP3SL-2015 60
tentang ciri-ciri sapi bali yang produktif dan non produktif, baik kepada
petani ternak, jagal, dan saudagar sapi.
2) Diharapkan pemerintah terkait lebih jujur dan transparan dalam mendata
pemotongan sapi dilokasi RPH, agar data lebih akurat tidak ada rekayasa.
3) Memberikan pemahaman tentang pentingnya mempertahankan budaya
memelihara sapi dan mengembangkan populasi sapi bali disemua sektor
yang terkait, seperti petani, jagal atau saudagar sapi agar saudagar sapi
mencarikan sapi yang non produktif untuk para jagal.
4) Menciptakan suatu paket teknologi tentang untuk mengatasi kandungan
lemak pada sapi yang sudah afkir (tidak productive).
5) Melakukan tindakan hukum sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan
yang berlaku terkait dengan pemotongan sapi.
6) Melakukan pengawasan yang lebih ketat dan ketegasan hukum terhadap
oknum yang menyeludupkan sapi keluar daerah ataupun pada jagal yang
memotong sapi betina yang masih produktif.
7) Bemberikan upaya yang terbaik bagi para jagal dan para petani ternak agar
mampu bersinergi dalam melakukan penyelamatan terhadap sapi betina
produktif, baik di pihak jagal ataupun di tingkat petani.
8) Diharapkan para jagal mau memelihara sapi yang masih produktif dan baru
dipotong setelah tidak produktive.
9) Memberikan Insentif bagi petani yang tidak menjual sapinya yang masih
produktif, dan memberikan identitas semacam tanda tato pada sapi yg
dimilikinya.
10) Memberikan pemantauan yang ketat di lokasi pasar hewan agar sapi-sapi
produktif yang dijual kepeda jagal dapat diketahui dan didata berapa yang
produktif dan berapa yang tidak produktif.
11) Agar pemerintah menyiapkan dana talangan untuk membeli sapi betina
productive yang dijual peternak, sehingga masalah ekonomi yang dialami
peternak dapat teratasi.
12) Pengiriman kebutuhan daging keluar daerah khususnya di kota Jakarta,
tidak berupa pengiriman sapi hidup, tetapi daging sapi segar atau beku.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 61
13) Diharapkan dari pihak petani peternak untuk tidak menjual sapinya yang
masih produktif ke penjagal atau kesaudagar sapi, tetapi diusahakan
terlebih dulu pada petani ternak.
14) Diharapkan pemerintah membuat Asosiasi Jagal se Bali agar standar harga
daging sapi stabil.
4.9. Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya
pemotongan sapi betina produktif di Bali.
Mekanisme terjadinya pemotongan ternak sapi di RPH, ditunjukan dalam
Gambar 4.14. Dari Gambar 4.14 nampak bahwa setidaknya terdapat tiga jalur agar
ternak sampai di tangan jagal, antara lain: (1) peternak langsung menjual sapi kepada
jagal; (2) peternak menjual sapi kepada saudagar, kemudian saudagar menjual kepada
jagal; dan (3) peternak menjual sapi ke pasar hewan, kemudian bisa langsung dibeli
oleh jagal atau dibeli oleh saudagar, kemudian saudagar menjualnya ke jagal.
Selanjutnya jagal akan menempatkan ternak sapi yang mau dipotong di kandang yang
disediakan oleh RPH. Petugas atau penangguangjawab RPH akan memeriksa sapi
secara ante mortem. Terdapat dua rekomedasi hasil pemeriksaan yaitu: (1) Sapi layak
dipotong atau (2) sapi ditolak untuk dipotong, dengan beberapa alas an, antara lain:
sapi betina produktif, sapi bunting, sapi sakit menular. Berdasarkan pengakuan petugas
RPH di seluruh kabupaten, bahwa pemeriksaan ante mortem selalu dilakukan, namun
tidak pernah ada sapi yang ditolak untuk dipotong, kecuali untuk RPH Mambal di
Kabupaten Badung. Sekalipun direkomendasikan untuk tidak dipotong, namun jika
tetap dipotong oleh jagal, maka petugas RPH juga tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti
yang terjadi di RPH Mambal dari 193 sapi betina produktif yang ditolak untuk
dipotong, ternyata 10 ekor di antaranya tetap dipotong. Berdasarkan UU No 18 tahun
2009 yang direvisi menjadi UU No 41 tahun 2014, sapi betina produktif yang ditolak
dipotong hendaknya dibeli oleh pemerintah dan dipelihara oleh pemerintah.
Kenyataan di lapangan hingga saat ini Pemerintah Provinsi Bali, belum pernah
menyediakan dana talangan untuk membeli sapi betina productive hasil pemeriksaan
petugas RPH. Kondisi tersebut juga menyebabkan kurang taatnya para jagal terhadap
UU dan atau pertauran tentang penyelamatan sapi betina productive.
Sapi yang telah dipotong, juga dilakukan pemeriksaan post mortem, untuk
mengetahui kondisi bagian dalam dari seluruh ternak yang dipotong. Hasil
Laporan Akhir KKP3SL-2015 62
pemeriksaan merekomendasikan daging yang layak dikonsumsi dan daging yang tidak
layak dikonsumsi. Daging yang tidak layak akan dimusnahkan, sedangkan yang layak
dikonsumsi akan dijual ke konsumen, melalui dua jalur yaitu: (1) langsung ke
konsumen dan (2) melalui pasar umum.
Keterangan:
Gambar 4.14. Alur pemotongan sapi di RPH dan penjualan daging ke konsusmen
Tingkat efektivitas kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya
pemotongan sapi betina produktif di Bali, dilihat dari dua aspek, yaitu aspek peternak
dan jagal termasuk petugas pemerintah. Untuk aspek petani, indicator yang digunakan
adalah pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif dan sikap peternak tentang
pemotongan sapi betina produktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengetahuan
peternak sapi bibit tentang sapi betina produktif ada dalam katagori sangat rendah
sebanyak 62,2%; rendah 25,6% dan sedang hanya 12,2%. Rendahnya pengetahuan
peternak tentang sapi betina produktif, dapat menyebabkan peternak kurang atau
bahkan tidak memperhatikan kondisi sapi yang dijual, apakah masuk dalam katagori
sapi produktif atau tidak. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa kebijakan
pemerintah untuk mengatasi pemotongan sapi betina produktif di Bali tidak efektif.
Padahal Undang-Undang tentang penyelamatan sapi betina produktif telah lahir sejak
Laporan Akhir KKP3SL-2015 63
tahun 2009, melalaui UU No 18 tahun 2009 yang telah direvisi menjadi UU No 41
tahun 2014.
Selanjutnya hasil penelitian juga menunjukan bahwa sikap peternak terhadap
pemotongan sapi betina produktif (Y), berkaitan dengan empat factor, antara lain: (1)
pendidikan peternak (X1), (2) pengalaman peternak dalam beternak sapi bibit (X2), (3)
tujuan peternak beternak sapi bibit (X3) dan (4) dukungan pemerintah terhadap
peternak untuk beternak sapi bibit (X4). Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa secara bersama-sama keempat factor tersebut menunjukan pengaruh yang
nyata. Akan tetapi berdasarkan analisis regresi berganda dengan metode Stepwise,
ternyata hanya factor dukungan pemerintah berpengaruh nyata terhadap sikap peternak
sapi bibit, terkait dengan pemotongan sapi betina produktif.
Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa apabila ada dukungan
pemerintah maka sikap peternak semakin tidak setuju dengan adanya pemotongan sapi
betina produktif. Kondisi tersebut menunjukan bahwa kebijakan pemerintah dalam hal
menyelamatkan sapi betina produktif akan dapat berjalan dengan baik apabila
dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Seperti: (1) sosialisasi tentang
UU No 41 tahun 2014, secara optimal sehingga mampu meningkatkan pengetahuan
peternak tentang sapi betina produktif; (2) melakukan tindakan nyata terhadap
pelanggaran UU No 41 tahun 2014; (3) mengoptimalkan peran pemerintah, terkait
dengan palaksanaan UU tersebut, seperti penyediaan dana talangan untuk membeli
sapi betina produktif yang mau dipotong oleh jagal.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa, untuk mengetahui tingkat
efektivitas kebijakan pemerintah terkait dengan penyelamatan sapi betina produktif,
juga dilihat dari aspek jagal dan pemerintah. Indicator yang digunakan dalam
penelitian ini adalah: (1) pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi betina
produktif; (2) tingkat pemotongan sapi betina produktif; dan (3) alasan jagal untuk
melakukan pemotongan sapi betina produktif. Data yang dikoleksi melalui FGD
menujukan bahwa tingkat pengetahuan jagal dan petugas pemerintah tentang sapi
betina produktif cukup memperihatinkan, karena hanya sebagian kecil jagal dan
petugas pemerintah yang mampu menyebutkan dengan benar tentang indicator sapi
betina produktif. Salain itu pemotongan sapi betina produktif di seluruh RPH, relative
cukup tinggi, mencapai rata-rata lebih dari 60%. Terdapat bebagai alasan jagal untuk
Laporan Akhir KKP3SL-2015 64
melakukan pemotongan terhadap sapi betina produktif, antara lain: (1) kurang
tegasnya pemerintah untuk melaksanakan UU tentang penyelamatan sapi betina
produktif; (2) kadar lemak sapi betina afkir (telah melahirkan dan berumur labih dari
9 tahun) lebih tinggi dibandingkan dengan sapi dara maupun sapi jantan; (3) harga sapi
jantan jauh lebih mahal dibandingkan sapi betina (produktif maupun tidak produktif),
sedangkan harga daging sapi di pasaran sama, sehingga secara ekonomis pemotongan
sapi betina produktif lebih menguntungkan; (4) jagal lebih mudah mendapatkan sapi
betina dibandingkan dengan sapi jantan, karena sapi jantan banyak yang dijual ke luar
Bali, khususnya Jakarta. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka kebijakan
pemerintah tentang penyelamatan sapi betina produktif cenderung belum efektif.
4.10. Rencana Tindak Lanjut
Rencana tindak lanjut hasil penelitian ini, antara lain: (1) melanjutkan koleksi
data di tingkat saudagar sapi; (2) melakukan diseminasi tentang upaya penyelamatan
sapi betina produktif, kepada petani, jagal dan saudagar sapi serta kepada petugas
pemerintah sebagai penanggungjawab RPH dan TPH; (3) sosialisasi tentang
pemotongan sapi untuk mendapatkan daging sapi yang sehat (hygein), karena sebagian
besar RPH di Bali, kurang memenuhi standard kesehatan; (4) melakukan penelitian
dan atau pengkajian tentang pengurangan kandungan lemak sapi betina afkir dan (5)
mempublikasikan hasil penelitian melalui juournal ilmiah.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 65
V. SIMPULAN dan SARAN
5.1. Simpulan
Penelitian tentang Upaya Mengatasi Pemotongan Sapi Betina Produktive
dalam Mendukung Swasembada Daging Sapi Berkelanjutan di Balil,
menghasilkan beberapa kesimpulan antara lain:
1) Jumlah sapi betina produktif yang dipotong setiap tahun di Bali, mencapai lebih
dari 80% dari sapi betina yang dipotong di RPH dan TPH. Sedangkan jumlah sapi
betina yang dipotong di Bali periode Januari-Agustus 2015 mencapai 11.287 ekor.
2) Faktor-faktor penyebab peternak menjual sapi betina produktif yang berpeluang
terjadinya pemotongan sapi betina produktif di Bali.
a. Faktor Peternak:
i. Faktor ekternal peternak meliputi: (1) petumbuhan sapi yang lambat; (2)
adanya kesempatan harga sapi yang mahal; (3) dorongan pembeli
(saudagar dan atau jagal); (4) kepercayaan terhadap sapi betina produktif
dengan indicator tertentu, yang dipercaya kurang menguntungkan bagi
peternak dan keluarganya (local wisdom), (5) sapi dianggap majir, karena
tidak bunting setelah dikawinkan beberapa kali.
ii. Faktor internal peternak antara lain: (1) factor ekonomi: (a) uang untuk
anak sekolah (b) upacara agama; (c) membangun rumah; (d) membiayai
keluarga yang sakit; (e) bayar utang, (f) memelihara sapi betina lebih
menguntungkan. (2) factor teknis: (a) sulit mendapatkan tempat untuk
beternak; (b) perternak sudah tua; (c) kesulitan pakan, (d) tenaga kerja sapi
tergantikan dengan traktor. (3) factor pengetahuan: (a) rendahnya
pengetahuan peternak tentang sapi betina produktif; (b) tidak mengetahui
adanya larangan pemotongan sapi betina produktif.
iii. Faktor jagal dan atau petugas: (1) Kurangnya komitmen dan ketegasan
pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku; (b) Sulit
mendapatkan sapi betina yang tidak produktif; (c) harga sapi jantan jauh
lebih mahal dibandingkan dengan harga sapi betina; (d) memotong sapi
betina khususnya sapi muda lebih menguntungkan dibandingkan dengan
sapi betina afkir yang banyak lemak; (e) rendahnya pemahaman jagal dan
saudagar tentang kreteria sapi betina produktif.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 66
3) Kebijakan pemerintah untuk mengatasi terjadinya pemotongan sapi betina
produktif di Bali, belum efektif.
5.2. Saran
Saran yang dapat disampaikan dari hasil penelitian antara lain:
1) Merevisi Undang-Undang No 41 tahun 2014, dengan memasukan sapi
bali betina usia produktif, namun dipercaya peternak kurang
mengguntungkan (local wisdom), karena adanya kelainan tertentu.
2) Mengembangkan sebuah model kelembagaan yang dikaitkan dengan
usaha peternakan sapi bibit, sehingga mampu secara langsung mengatasi
masalah ekonomi peternak.
3) Mengembalikan budaya pengolahan lahan sawah dengan sapi.
4) Mengembangkan sebuah model peternakan sapi bibit yang mampu
menarik minat generasi muda untuk beternak sapi bibit.
5) Memberlakukan Undang-Undang dan peraturan tentang penyelamatan
sapi betina produktif secara tegas.
6) Sosilisasi kepada peternak, jagal dan saudagar tentang penyelamatan sapi
betina produkif, sesuai dengan UU dan Peraturan yang berlaku.
7) Mengembangkan teknologi untuk memacu pertumbuhan sapi betina,
teknologi untuk mengatasi sapi majir, teknologi mengurangi prosentase
lemak sapi betina afkir.
Laporan Akhir KKP3SL-2015 67
VI. DAFTAR PUSTAKA
Adlany. 2014. Definisi Pengetahuan. http://www.alhassanain.com/indonesian/
articles/articles/Philosophy_and_gratitude_library/definisi_pengetahuan/001
.html. Diunduh 15 Peb 2014
Alton. 1823 dalam Berata, JK. 2008. “Sapi Bali: palsma Nutfah yang Terancam”.
Wahana No. 62 Tahun XXIV-Agustus 2008.
Anon. 2013. Pentingnya Dukungan Infrastruktur dalam Program Swasembada Daging
http://beritadaerah.co.id/2013/11/18/pentingnya-dukungan-infrastruktur-
dalam-program-swasembada-daging/
Anon. 2015. Gubernur Pastika Berang Dikibuli Simantri. http://bali.bisnis.com/read/
20150423/15/51162/gubernur-pastika-berang-dikibuli-simantri
Asosiasi Peternak Sapi Kerbau Indonesia (APSKI) mengkhawatirkan. 2015.
http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-network/13/
08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesia-kembali-resah
Buyung Syahyudi. 2015. Populasi Sapi di Indonesia. https://plus.google.com/
115419385625597755980/posts
Badan Litbang Pertanian (2011) Edisi 30 Maret - 5 April 2011 No.3399 Tahun XLI
Agroinovasi
Bambang Soejosopoetro (2011) Studi Tentang Pemotongan Sapi Betina Produktif Di
RPH Malang. Jurnal Ternak Tropika Vol. 12, No.1: 22-26, 2011
Bagus Fitriansyah. 2011. Statistik Produksi dan Konsumsi Daging di Indonesia Serta
Peluang Usaha. Http://Be-Ef.Blogspot.Com/2011/02/Statistik-Produksi -
Dan-Konsumsi-Daging.Html
Bisnis Bali, 2015. Pemotongan Sapi Produktif NTT Lebih Nasional
http://bali.bisnis.com/read/20150503/15/51390/pemotongan-sapi-produktif-
ntt-lebih-nasional
Dedet Zelth. 2013. Pengertian, Tujuan Dan Fungsi Perencanaan http://dedetzelth.
blogspot.co.id/2013/02/pengertian-tujuan-dan-fungsi-perencanaan.html
Direktorat Jenderal Peternakan. 2010. Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi
Betina Produktif Tahun 2010. Kementerian Pertanian RI. Http://
Ednadisnak.Blogspot.Com/2011/05/Pedoman-Pelaksanaan-Penyelamatan-
Sapi.Html (Unduh 13 Agust 2015)
Ditjen Peternakan. 2010. Blue Print Program Swasembada Daging Sapi 2014. Jakarta:
Kementerian Pertanian
Laporan Akhir KKP3SL-2015 68
Gerungan, W, A. 1996. Psikologi Sosial. Bandung: Eresco
Gunawan, Dicky Pamungkas dan Lukma Affandhy. 2004. Sapi Bali, Potensi dan Nilai
Eknomi. Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Cet. 6.
Gatot Prasojo, Iis Arifiantini dan Kusdiantoro Mohamad. 2011. Korelasi Antara Lama
Kebuntingan, Bobot Lahir dan Jenis Kelamin Pedet Hasil Inseminasi Buatan
pada Sapi Bali. Jurnal Veteriner Maret 2010 Vol. 11 No. 1 : 41-45. ISSN :
1411 – 8327.4.
Herdaru Purnomo. 2014. Negara dengan Penduduk Terbanyak di Dunia, RI Masuk 4
Besar. http://finance.detik.com/read/2014/03/06/134053/ 2517461 /4/negara-
dengan-penduduk-terbanyak-di-dunia-ri-masuk-4-besar
Haryana, R. 1989. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Sapi Bali Jantan Muda.
Disertasi. Program Doktor, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor. 1989
Hartiningsih, N. 2006. Pengembangan Penelitian Penyakit Jembrana. Vaksin
Rekombinan sebagai kandidat Vaksin untuk Pencegahan Penyakit Jembrana
pada sapi Bali’. Lab. Bioteknologi. BPPV Regional VI
Inggriati, T, NW. 2014. “Perilaku Peternak Sapi Bali Perbibitan dalam Sistem
Penyuluhan di Bali” (disertasi). Denpasar: Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
Masudana, IW. 1990. Perkembangan Sapi Bali dalam Sepuluh Tahun Terakhir (1980-
1990). Seminar Nasional Sapi Bali, FAPET UNUD, Denpasar, Bali.
Oka, IGL. 2006. “Peningkatan Mutu Genetik Sapi Bali Sebagai Asset Tenak
Nasional”. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV.,
Denpasar, Bali, 24 Juni 2006.
Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret
University Press.
Maria Yosita, Undang Santosa, Endang Yuni Setyowati. 2011. Persentase Karkas,
Tebal Lemak Punggung dan Indeks Perdagingan, Sapi Bali, Peranakan
Ongole dan Australian Commercial Cross. Fakultas Peternakan, Universitas
Padjadjaran, Sumedang
Muchlisin, R. 2013. Pengertian, Tingkatan dan Cara Memperoleh Pengetahuan.
http://www.kajianpustaka.com/2013/05/pengertian-tingkatan-dan-cara.html.
Diunduh 15 Peb 2014.
Nugraha Setiawan. (“tt”). Perkembangan Konsumsi Protein Hewani di Indonesia:
Analisis Hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional 2002-2005. Fakultas
Peternakan Universitas Padjadjaran
Laporan Akhir KKP3SL-2015 69
Puskeswan Padang Panjang. 2011. Pemotongan Sapi Betina Produktif pada saat
Qurban. http://www.puskeswanpadangpanjang.com/2011/10/pemotongan -
sapi-betina-produktif-pada.html
Republika. 2013. Populasi Ternak \Merosot, Peternak Indonesia Kembali Resah.
http://www.republika.co.id/berita/internasional/abc-australia-
network/13/08/20/mrs81v-populasi-ternak-merosot-peternak-indonesia-
kembali-resah
Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Cecep Firmansyah. 2013. Pemotongan Sapi Betina
Umur Produktif dan Kondisi RPH di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Workshop Nasional: Konservasi dan Pengembangan Sapi Lokal Fakultas
Peternakan Unpad, 13 Nopember 2013
Rofi Munawar. 2014. Impor Sapi Australia Bakalan Rusak Swasembada Pangan
Jokowi. Merdeka.com (29 November 2014. http://www.merdeka.
com/uang/impor-sapi-bakalan-australia-rusak-swasembada-pangan-
jokowi.html
Soehaji, H. 1991. “Kebijakan pengembangan ternak potong di Indonesia”. Proc.
Seminar Nasional Sapi Bali, 2-3 September 1991. Fak. Peternakan, UNHAS,
Ujung Pandang. Pp.1-32.
Sayang Yupardi. 2009. Sapi Bali: Mutiara dari Bali. Udayana Universty Press.
Kampus Universitas Udayana, Sudirman, Denpasar, Bali.
Sweta, IGP. 1982. Kerugian Ekonomi oleh cacing hati pada sapi Bali sebagai implikasi
dan lingkungan hidup pada Ekosistem Pertanian di Pulau Bali. Disertasi Univ.
Pajajaran, Bandung
Siagian, S.P. 1988. Teori dan Praktek Kepemimpinan. Jakarta: Bina Aksara
Suharto. 2006. Manajemen Agribisnis dan Teknmologi Pengolahan Limbah Ternak
Sapi Bali. Limbah Hijau M Sehari Multifarm-Research Station, Solo,
Indonesia. Makalah Seminar Sehari, Bali. 24 JuMPI ISMAPETI, Wil IV.,
Denpasar, Bali, 24 Juni 2006.
Sudrajat, A. 2008.Teori-Teori Motivasi.http://akhmadsudrajat.wordpress.com/
2008/02/06/teori-teori-motivasi/ (diunduh 8 Oktober 2012)
Suwono. 2011. http://www.balipost.co.id/ mediadetail.php? module=
detailberita&kid=10&id=31865
Syahyuti. 2010. Pupulasi Sapi Nasional. Data dan Fakta Daging. https://plus. google.
com/115419385625597755980/posts
Laporan Akhir KKP3SL-2015 70
Suardana, I Made Sukada1, I Ketut Suada1, Dyah Ayu Widiasih2. 2013. Analisis
Jumlah dan Umur Sapi Bali Betina Produktif yang Dipotong di Rumah.
Pemotongan Hewan Pesanggaran dan Mambal Provinsi Bali. Jurnal Sain
Veteriner. ISSN : 0126 – 0421. JSV 31 (1), Juli 2013
Undang Undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2009. Tentang: Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Wiguna A.A. & Tatik Inggriati. 2007. Pengembangan Agribisnis Pengolahan Pakan
& Limbah Peternakan di Kabupaten Tabanan. Laporan Akhir
Wiguna A.A dkk. 2007. Trasformasi Inovasi Teknologi Pertanian pada Ekosistem
Subak di Bali. Laporan Hasil Pengkajian, Kasus Subak Wangaya Betan,
Mengesta, Penebel Tabanan, Bali.
Wikipedia the free encyclopedia ”t.t”. Agricultural Extension.http://en.
wikipedia.org/wiki/Agricultural extention.Diunduh tanggal 14 Pebruari
2012.
World Factbook, 2011. Wikipedia. Daftar Negara Menurut Angka Harapan Hidup
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_angka_harapan_hidup