Upload
truonghanh
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN AKHIR
ANALISIS POSISI PERDAGANGAN JASA INDONESIA PADA PERUNDINGAN ACFTA
PUSAT KEBIJAKAN KERJA SAMA PERDAGANGAN INTERNASIONAL BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN
PERDAGANGANKEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
2015
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan i
ABSTRAK
Dalam Rangka Kerjasama ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA)
khususnya bidang perdagangan jasa paket ketiga. Indonesia dituntut untuk
dapatmeningkatkan komitmennya. Usulan peningkatan komitmen Indonesia dapat
diperoleh dengan membandingkan komitmen - komitmen Indonesia pada ACFTA Trade
in Services paket 1-2 dan dengan membandingkan komitmen sector jasa Indonesia
pada berbagai fora.
Pemetaan komitmen dilakukan dengan hoekman index, dimanametode ini
memberikan nilai untuk masing-masing (4 mode dan 2 market access (MA) atau
National Treatment (NT) sebagai berikut: None (N) = 1, Limitation (L) = 0,5, Unbound
(U) = 0; kemudian menghitung nilai rata-rata sektor jasa dari masing – masing negara.
Dalam paket pertama dan kedua,Komitmen Indonesia masih relative rendah bila
dibandingkan dengan komitmen Negara ASEAN lainnya berkomitmen sebesar 0.06
atau lebih rendah dari komitmen Negara ASEAN lainnya, adapun sektor yang telah
dibuka pada paket 2 ini adalah jasa pariwisata dan konstruksi.
Di semua fora perundingan (bilateral dan ASEAN+1) posisi komitmen Indonesia
rata-rata dibawa komitmen limitation. Pada kerjasama semua kerjasama ASEAN+1,
Indonesia memberikan komitmen lebih rendah dari komitmennya pada AFAS 7. Hal ini
juga sama dengan komitmen rata-rata negara-negara ASEAN. Komitmen terendah
Indonesia adalah pada kerjasama ACFTA.
Untuk ACFTA paket ketiga, Indonesia masih memiliki ruang yang relatif besar
untuk meningkatkan komitmen. Komitmen pada Paket AFAS ke 5 dapat menjadi dasar
bagi peningkatan komitmen Indonesia di ACFTA paket ketiga
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan ii
KATA PENGANTAR
Dengan Mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Pusat
Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, BPPKP telah menyelesaikan Karya
yang berjudul, Analisis Posisi Perdagangan Jasa Indonesia Pada Perundingan ASEAN
– China Free Trade Agreement (ACFTA) ini. Tulisan ini merupakan suatu analisis yang
ditujukan untuk menjawab kemungkinan peningkatan komitmen Indonesia di fora
ACFTA
Puska KPI menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu pelaksanaan pengkajian sehingga kajian ini telah selesai dengan baik.
Tanpa bantuan dari berbagai pihak tentunya kajian ini tidak akan dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Akhir kata, kami menyadari bahwa tidak ada hal yang sempurna, demikian pula
dengan tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran akan terus kami
harapkan dari para pembaca sekalian. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian, Terima Kasih
Jakarta, Oktober 2015
Pusat Kebijakan
Kerjasama Perdagangan Internasional
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan iii
DAFTAR ISI
Abstrak Kata Pengantar Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
…………………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………… 2 1.3 Tujuan ………………………………………………………… 2 1.4 Keluaran Kajian ………………………………………………………… 3 1.5 Lingkup Kajian ………………………………………………………… 3 1.6 Manfaat Kajian ……………………………………………………….. 4 1.7 Sistematika Laporan ……………………………………………………….. 4
BAB II Tinjauan Literatur …………………………………………………………
6
2.1 Teori Perdagangan Jasa ………………………………………………………… 6 2.2 Perdagangan Jasa di
WTO ………………………………………………………… 7
2.3 Aturan GATS ………………………………………………………… 9 2.4 Schedule Of Commitment ………………………………………………………… 12 2.5 Penelitian Sebelumnya ………………………………………………………… 14
BAB III Metode Penelitian ………………………………………………………… 18 3.1 Lokasi dan Waktu ………………………………………………………… 18 3.2 Data ………………………………………………………… 18 3.3 Indeksasi Schedule Of
Commitment ………………………………………………………… 18
BAB IV Analisis
………………………………………………………… 20
4.1 Komitmen ACFTA Paket 1 dan 2
………………………………………………………… 20
4.2 Komitmen AFAS ………………………………………………………… 22 4.3 Komitmen GATS ………………………………………………………… 23 4.4 Komitmen IJEPA ………………………………………………………… 23 4.5 Komitmen ASEAN+1 ………………………………………………………… 25 4.6 Perbandingan Komitmen ……………………………………………………….. 26
BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi
……………………………………………………….. 29
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jasa-jasa yang diatur WTO 21
Tabel 2 Komitmen ACFTA 1 dan 2 22
Tabel 3 Komitmen AFAS 22
Tabel 4 Komitmen GATS 23
Tabel 5 Perbandingan KOmitmen IJEPA 24
Tabel 6 Komitmen AANZFTA dan AKFTA 25
Tabel 7 Perbandingan Komitmen 25
Tabel 8 Perbandingan Komitmen Indonesia-China 26
Halaman
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerjasama ASEAN - China Free Trade Agreement (ACFTA) secara resmi
diluncurkan sejak ditandatanganinya Trade in Goods Agreement dan Dispute
Settlement Mechanism Agreement pada tanggal 29 November 2004 di Vientiane,
Laos1. Selanjutnya kesepakatan tersebut berlanjut ke persetujuan sektor jasa
yaitu dengan ditandatanganinya persetujuan Jasa ACFTA pada pertemuan ke-12
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Cebu, Filipina, pada bulan Januari
2007.
Dalam kerangka ASEAN - China FTA Trade In Services (ACFTA-TIS),
ASEAN dan China telah sepakat bahwa perundingannya bersifat progresif liberal
(Artikel 23). Dimana paket kedua harus telah disepakati tidak lebih dari setahun
dari implementasi paket pertama.
Paket Pertama ACFTA TIS berisi sektor jasa yang terbuka, yaitu jasa
bisnis, jasa konstruksi, jasa lingkungan dan jasa transportasi Sedangkan untuk
paket ke-2 ditambah dengan keterbukaan sektor komunikasi, distribusi, keuangan
dan pariwisata
Paket kedua ACFTA TIS telah disepakati dan ditandatangani di Bali pada
16 November 2011 dan diratifikasi melalui Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun
2013. Pada Paket Kedua ini, Indonesia telah memberikan komitmen sebanyak 28
sub-sektor. Dasar persetujuan yang digunakan Indonesia di ACFTA ini adalah
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) ke-4. Hal ini sesuai dengan
kesepakatan ASEAN Caucus pada pertemuan ke 25 ACFTA - Working Group On
Services di Beijing, Februari 2015 dimana salah satu kesepakatannya adalah
menjadikan ASEAN Framework Agreement On Services ke-4 sebagai basis
1 DItjen KPI Kemendag, diunduh dari
http://ditjenkpi.kemendag.go.id/Umum/Regional/Win/ASEANChina20FTA.pdf
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 2
ACFTA TIS Paket kedua dan untuk basis ACFTA TIS paket ke-3 adalah AFAS
ke-5.
Selain terlibat dengan China di ACFTA, dan Negara ASEAN lain di AFAS.
Indonesia juga terlibat aktif dengan perdagangan jasa diberbagai fora baik
bilateral (dengan Jepang) maupun dalam “ASEAN+1”. Untuk Itu setiap keputusan
dalam peningkatan komitmen perdagangan jasa Indonesia juga harus
memperhatikan komitmen di fora lain yang terus bergerak dinamis.
Gambar 1.1 Ilustrasi lingkup jasa Multilateral, Regional, dan Bilateral Sumber: Ilustrasi penulis
Dari ilustrasi diatas, tergambar bahwa lingkup komitmen (Schedule of
Commitment) jasa pada multilateral dalam hal ini GATS (General Agreement On
Trade In Services) relatif tidak mendalam karena harus mengakomodir 159
anggota WTO. Level komitmen yang paling mendalam adalah dalam kerangka
bilateral (contohnya IJEPA), karena hanya melibatkan 2(dua) pihak saja
kesepakatan dapat dicapai dengan cepat dan efisien. Sedangkan kedalaman
komitmen fora regional berada diantara Multilateral dan Bilateral, baik secara
intra regional (contohnya AFAS) maupun dengan mitra (ASEAN+1).
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 3
Saat ini perundingan ACFTA memasuki paket ketiga. Pada paket ketiga ini
diharapkan setiap negara memberikan komitmen yang lebih liberal daripada
paket kedua. Untuk memberikan paket perdagangan jasa yang lebih mendalam,
maka Indonesia harus memperhatian komitmen-komitmen perdagangan jasanya
pada fora yang lain.
1.2 Rumusan Masalah
Kesepakatan ASEAN Caucus untuk menjadikan AFAS ke-5 sebagai basis
ACFTA paket ketiga belum tentu sesuai dengan komitmen Indonesia pada fora
lain. Oleh karena itu, pemetaan komitmen sektor jasa Indonesia pada semua fora
sangat penting dalam penentuan komitmen. Apakah AFAS ke-5 dapat dijadikan
basis untuk ACFTA paket ketiga?
1.3 Tujuan
Tujuan dari analisis ini adalah untuk mengetahui kemungkinan
penerapan AFAS ke-5 sebagai basis ACFTA paket ketiga
1.4 Keluaran Analisis
Output dari kegiatan analisis ini adalah Laporan dan Rekomendasi
kebijakan mengenai posisi perdagangan jasa Indonesia di ACFTA paket ketiga
dengan menggunakan AFAS ke-5
1.5 Lingkup Analisis
Beberapa hal yang menjadi ruang lingkup kajian ini yaitu komitmen
Indonesia di AFAS ke 5, AFAS ke 7, ASEAN+1 dan WTO yang kemudian
dipetakan menggunakan Indeks Hoekman.
Selanjutnya Komitmen-komitmen tersebut akan dapat digunakan untuk
menentukan komitmen dalam ACFTA TIS paket ketiga
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 4
Gambar 2 Hubungan Komitmen Jasa Indonesia Sumber : Ilustrasi penulis
1.6 Manfaat Analisis
Analisis ini akan bermanfaat terutama dalam rangka memberikan
rekomendasi kebijakan mengenai posisi perdagangan jasa Indonesia pada
ACFTA TIS paket ketiga. Oleh karena dasar penentuan posisi perdagangan
jasa Indonesia adalah AFAS maka rekomendasi dari kajian ini adalah paket
AFAS yang sesuai untuk diberikan pada kerjasama ACFTA TIS.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 5
1.7 Sistematika Laporan
Laporan analisis ini terbagi menjadi beberapa bab, sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Berisikan uraian mengenai latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
Analisis, Hasil Analisis, Ruang Lingkup Analisis serta Sistematika
Laporan.
BAB II TINJAUAN LITERATUR
Berisikan uraian mengenai teori perdagangan internasional dan kerangka
pemikiran.
BAB III METODE ANALISIS
Berisikan uraian mengenai data dan teknik pengumpulan data serta
metode analisis.
BAB IV ANALISIS
Berisikan uraian mengenai komitmen jasa Indonesia diberbagai fora dan
perbandingannya
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN,
berisi kesimpulan hasil kajian serta rekomendasi kebijakan berdasarkan
kesimpulan hasil analisis
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 6
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1 Teori dan Konsep Perdagangan Jasa
Sangat penting untuk dipahami bahwa dalam literatur mengenai
perdagangan jasa, belum ditemukan definisi baku yang diterima secara universal.
Pedoman yang secara umum dipergunakan oleh para pemerhati bidang ini
adalah definisi seperti yang tercantum dalam General Agreement on Trade in
Services (GATS). Ketiadaan definisi yang baku dan disepakati secara umum
antara lain disebabkan oleh beragamnya aktivitas jasa dengan karakteristik yang
berbeda satu dengan yang lain.
Salah satu definisi yang sering dijadikan acuan adalah yang diajukan oleh
T. P. Hill, yakni bahwa barang dapat didefinisikan sebagai “suatu obyek fisik yang
dapat disentuh sehingga dapat dialihkan di antara unit-unit ekonomi”, sedangkan
jasa didefinisikan sebagai “perubahan dalam keadaan seseorang, atau suatu
barang milik suatu unit ekonomi, yang ditimbulkan sebagai hasil dari aktivitas unit
ekonomi lainnya” (Hill, 1977:317).
Definisi tersebut di atas tidak terlepas dari berbagai kritik, misalnya
menurut Hill, jasa tidak dapat disimpan, tetapi kenyataannya jasa-jasa tertentu
dapat disimpan. Informasi misalnya, dapat disimpan di dalam benak, pita
rekaman atau penyimpan elektronik lainnya. Oleh karena itu, transaksi jasa tidak
perlu melibatkan produsen dan konsumen secara lansung sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Hill.
Jasa dapat didefinisikan sebagai aktivitas ekonomi yang mempunyai
sejumlah elemen (nilai atau manfaat) intangible yang berkaitan dengannya, yang
melibatkan sejumlah interaksi dengan konsumen atau dengan barang-barang
milik, tetapi tidak menghasilkan transfer kepemilikan (Payne, 2001).
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 7
Klasifikasi sektor jasa menurut World Trade Organization (WTO) dibagi ke
dalam 12 (dua belas) sektor yaitu:
1) Jasa bisnis;
2) Jasa komunikasi;
3) Jasa konstruksi dan jasa yang berhubungan dengan keteknikan;
4) Jasa distribusi;
5) Jasa pendidikan;
6) Jasa lingkungan;
7) Jasa keuangan;
8) Jasa kesehatan dan sosial;
9) Jasa pariwisata dan yang berhubungan dengan perjalanan;
10) Jasa rekreasi, budaya, dan olahraga;
11) Jasa transportasi;
12) Jasa lainnya yang belum termasuk dalam klasifikasi di atas.
Sebagaimana barang, produksi jasa juga memerlukan input modal dan
tenaga kerja, baik yang terampil maupun tidak terampil. Sebagian penawaran
jasa sangat bergantung pada karunia sumber alam, sebagaimana juga pada
barang-barang tertentu. Oleh karena itu, dalam perdagangan jasa ada yang
bersifat padat modal, padat karya, padat tenaga terampil, dan sebagainya.
2.2. Perdagangan Jasa
Hampir sebagian besar sektor jasa tidak dapat diraba (intangible), tidak
dikenakan tarif walaupun beberapa sektor jasa bersifat tangible seperti jasa
restoran. Sektor jasa tidak diproduksi dan disimpan untuk kemudian dikonsumsi.
Produksi dan konsumsi dilakukan secara simultan (Stern dan Hoekman, 1988
dalam Findlay dan Warren, 2000). Konsekuensinya banyak hambatan di
transaksi perdagangan sektor jasa datang dalam bentuk restriksi terhadap
interaksi yang dilakukan produsen dan konsumen dibandingkan hambatan tarif
yang umumnya terjadi pada perdagangan barang. Hambatan yang
memengaruhi akses pasar di sektor jasa umumnya berupa pembatasan dalam
jumlah penyediaan jasa, volume transaksi, jumlah operator, jumlah tenaga
kerja, bentuk-bentuk hukum dan kepemilikan modal asing. Sedangkan
hambatan dalam perlakuan nasional dapat berbentuk peraturan yang dianggap
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 8
diskriminasi untuk persyaratan pajak, kewarganegaraan, jangka waktu menetap,
perizinan, standarisasi dan kualifikasi, kewajiban pendataan serta batasan
kepemilikan properti dan lahan.
Dalam perdagangan jasa ada empat (4) mode yang digunakan yaitu :
Mode 1 (Cross Border Supply), yaitu kebebasan pemasok jasa asing untuk
memberikan jasanya secara lintas batas tanpa harus hadir di negara tersebut.
Mode 2 (Consumption Abroad), yaitu kebebasan bagi konsumen untuk
menggunakan jasa di negara lain dengan cara berada pada negara tempat
penyedia jasa tersebut. Mode 3 (Commersial Presence), yaitu kebebasan
perusahaan asing untuk hadir dan mendirikan badan usahanya di negara lain.
Mode 4 (Movement of Natural Person), yaitu kebebasan bagi orang pribadi
untuk memberikan jasanya maupun untuk bekerja di perusahaan di negara lain.
Mode 1 merujuk pada ”separated services” yaitu perdagangan
internasional lintas batas seperti perdagangan barang. Restriksi yang dikenakan
suatu negara dalam jasa transportasi udara adalah terkait dengan standar
keselamatan.
Dalam mode 2, Hoekman dan Braga dalam Walsh (2006) memberikan
contoh restriksi dilakukan dengan menetapkan harga yang diterapkan sebagai
pembayaran yang fungsinya efektif sebagai tarif adalah biaya visa atau airport
tax bagi seorang turis Malaysia yang mengunjungi Candi Borobudur di
Indonesia.
Sedangkan mode 3, terkait dengan hadirnya jasa yang disediakan oleh
produsen suatu negara di negara lain karena adanya Foreign Direct Investment
(FDI). Suatu perusahaan menyediakan jasa untuk konsumen di negara lain
dengan menghadirkan perusahaan jasa secara fisik di Negara lain. Namun
pemahaman yang salah dapat terjadi apabila mengambil kesimpulan tingginya
harga tiket Walt Disney Singapura dibandingkan pergi ke Bali Indonesia atau
sebaliknya harga yang murah Mc Donald di Singapura dibandingkan dengan
yang di Indonesia disebabkan karena ada tidaknya hambatan perdagangan.
Kasus tersebut hanya menunjukkan harga tergantung dari biaya lokal (local
cost) yaitu biaya tenaga kerja dan bahan baku yang mana seolah-olah seperti
hambatan perdagangan. Bagaimanapun penyedia jasa yang berasal dari asing
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 9
menghadapi hambatan baik pada saat pendirian maupun ketika sudah
beroperasi, efeknya sama seperti pajak (Deardorff dan Stern, 2004).
Mode 4 merujuk pada pergerakan tenaga kerja secara temporer melintasi
batas negara. Sebagai contoh pergerakan pilot pesawat asing, programer
komputer, engineers yang dijamin secara temporer dengan visa di negara tuan
rumah.
2.3 Aturan General Agreement on Trade in Services (GATS)
GATS meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di
bidang jasa dan menetapkan kewajiban yang berlaku bagi seluruh tindakan
(dikenal dengan istilah “measures” dalam GATS) yang mempengaruhi
perdagangan jasa internasional. Selain terhadap Perjanjian GATS dan
lampirannya, negara WTO juga terikat dengan komitmen yang diberikan yang
berlaku untuk sektor jasa dan sub sektor jasa yang terdaftar pada Schedule of
Commitment (SOC).
GATS dapat dikatakan sebagai suatu konsep perjanjian baru dalam
perdagangan internasional, yang sebelumnya hanya mengatur di bidang
perdagangan jasa. GATS berlaku (entered into force) pada Januari 1995,
sebagai hasil Putaran Uruguay (1986-1993) yang juga membentuk institusi yang
mengatur perdagangan multilateral, World Trade Organization (WTO). GATS
merupakan perjanjian perdagangan multilateral pertama yang mengatur
masalah jasa. Dengan tujuan untuk meningkatkan liberalisasi secara progresif
(progressive liberalization), berdasarkan Article XIX GATS, negara anggota
WTO sepakat untuk mengadakan perundingan lanjutan terkait perdagangan
jasa, yang kemudian dimulai pada Januari 2000 dan digabungkan ke dalam
perundingan Putaran Doha pada tahun 2001.
Kebutuhan mengenai liberalisasi perdagangan jasa sejak awal sudah
mengundang perdebatan, mengingat banyak kegiatan perdagangan jasa yang
secara tradisional dianggap sebagai aktivitas domestik dan tidak dapat
diterapkan konsep atau kebijakan perdagangan. Sementara itu, terdapat juga
beberapa sektor yang menjadi wilayah kepemilikan dan/atau kepengurusan dari
pemerintah, misalnya infrastruktur, telekomunikasi, yang memiliki karakter
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 10
monopoli alami (natural monopoly), sehingga sulit bagi pihak swasta untuk
terlibat. Sementara itu, terdapat pula sektor yang dianggap sebagai bentuk
pelayanan publik yang esensial dan memiliki dimensi kesejahteraan rakyat dan
kepentingan umum, sehingga tidak dapat diserahkan ke swasta, misalnya
kesehatan dan pendidikan. Oleh karena itu, pengaturan mengenai perdagangan
jasa tidak semudah itu untuk di-liberalisasi, apalagi dalam konteks ekonomi
global. Namun, terdapat juga sektor-sektor yang memang sejak awal
berkarakteristik terbuka seperti keuangan internasional atau perhubungan laut
(maritim).
Dalam preamble GATS, dikatakan bahwa GATS bertujuan untuk
berkontribusi pada ekspansi perdagangan "under conditions of transparency
and progressive liberalization and as a means of promoting the economic
growth of all trading partners and the development of developing countries".
Perdagangan bebas bukanlah sebagai tujuan, melainkan instrumen untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi dan pembangunan (development), sehingga
kepentingan negara berkembang diupayakan untuk diakomodasi secara penuh
di dalam GATS. Dengan demikian, GATS memiliki dua pilar utama, yaitu ;
1) memastikan transparansi dan prediktabilitas dalam peraturan perundang-
undangan domestik negara terkait;
2) mendukung liberalisasi progresif (progressive liberalization) melalui
putaran-putaran negosiasi yang berkelanjutan. Dalam hal ini, dan sesuai
dengan Perjanjian WTO, konsep progressive liberalization akan diperluas
secara bertahap melalui pembukaan akses pasar dan penerapan prinsip
national treatment terhadap penyedia jasa asing di berbagai sektor. Satu
hal yang perlu dicermati adalah bahwa liberalisasi tidak berarti
deregulasi. Bahkan GATS memberikan hak negara untuk mengatur (right
to regulate) dan menetapkan peraturan-peraturan baru untuk
memastikan tercapainya kepentingan nasional. Hal ini menjadi penting
khususnya bagi negara berkembang yang masih membutuhkan banyak
perlindungan.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 11
2.4 Schedule of Commitment (SOC)
Komitmen adalah istilah hukum yang digunakan untuk mendeskripsikan
kewajiban suatu negara di bawah General Agreement on Trade in Services
(GATS) dengan mengacu kepada sektor-sektor jasa tertentu (Public Citizen,
2006). Kebanyakan komitmen adalah spesifik pada sektor ataupun sub sektor
tertentu. Adapun schedule adalah daftar sektor/sub sektor jasa yang
dikomitmenkan atau ditawarkan pada perundingan dan sesuai dengan aturan
GATS (Public Citizen, 2006). Dengan demikian SOC adalah suatu daftar
mengenai sektor/sub sektor jasa yang dikomitmenkan atau ditawarkan pada
perundingan perdagangan dimana strukturnya harus mengacu kepada aturan
GATS.
Tabel 2.1 Bentuk Schedule of Commitment Berdasarkan Dokumen S/L/92
Sumber: WTO (2001)
SOC terdiri dari dua bagian, bagian pertama yaitu komitmen horisontal dan
bagian kedua yaitu komitmen sektor-spesifik, seperti yang diilustrasikan pada
Tabel 1 (WTO, 2001).
Adapun penjelasan setiap bagian dari SOC adalah sebagai berikut (WTO,
2001):
1) Komitmen horisontal
Bagian horisontal berisikan batasan-batasan yang bersifat economy-
wide, yang diterapkan pada semua sektor yang dimasukkan ke dalam SOC.
Sector or subsector Limitation on market
accsess
Limitation on national
treatment
Additional
commitment
1) 1)
2) 2)
3) 3)
4) 4)
1) 1)
2) 2)
3) 3)
4) 4)
Mode of supply: 1) Cross-border supply; 2) Consumption abroad; 3) Commercial
presence; 4) Presence of natural person
I. HORIZONTAL COMMITMENTS
II. SECTOR-SPECIFIC COMMITMENTS
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 12
Poin-poin yang disertakan berupa larangan-larangan terhadap orang asing
untuk memiliki lahan atau pemukiman atau hal-hal lainnya yang dapat membuat
mereka menerima subsidi.
Setiap komitmen sektor spesifik harus mengacu pada batasan-batasan
yang tercantum dalam bagian horizontal. Semua batasan horizontal diterapkan
pada semua sektor perdagangan jasa yang tercantum di situ, kecuali terdapat
klausul yang menyatakan maksud yang berbeda.
2) Komitmen sektor spesifik
Komitmen sektor spesifik menetapkan tingkat liberalisasi suatu anggota
pada sektor ataupun sub sektor. Seperti halnya pada komitmen horizontal,
komitmen sektoral dibuat dalam empat kolom yaitu kolom pertama menentukan
sektor atau sub sektor yang bersangkutan; kolom kedua menetapkan batasan
bawah empat mode suplai pada akses pasar yang termasuk dalam enam jenis
yang tercantum pada Article XVI:2; kolom ketiga memuat pembatasan pada
perlakuan nasional; dan kolom terakhir menyediakan kesempatan untuk
membuat komitmen tambahan.
Adapun hal-hal yang dimuat dalam kolom pembatasan akses pasar
(kolom kedua dari SOC) sesuai dengan Paragraf 39 GATS adalah pembatasan-
pembatasan seperti total nilai transaksi atau aset, jumlah jasa yang beroperasi
dan kuantitas dari output, jumlah total natural person, restriksi atau kebutuhan
mengenai jenis dari entitas legal atau joint venture serta pembatasan pada
partisipasi modal asing (WTO, 2001).
Pembatasan-pembatasan pada kolom perlakuan nasional (kolom ketiga
dari SOC) antara lain mengenai deskriminasi pada subsidi dan tindakan-
tindakan keuangan lainnya, kewarganegaraan yaitu warga negara atau
permanen residen, persyaratan mengenai perijinan, kualifikasi dan registrasi,
persyaratan alih teknologi dan pelatihan, persyaratan muatan lokal, larangan
kepemilikan lahan atau properti, pembatasan pada jaminan portabilitas dan
penggunaan dana pendidikan.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 13
3) Komitmen Tambahan
Memasukkan kolom ini ke dalam SOC bukan merupakan kewajiban
tetapi anggota boleh memutuskan untuk membuat komitmen tambahan pada
sektor tertentu. Komitmen tambahan memuat tindakan-tindakan lain di luar
tindakan-tindakan yang mengacu pada pasal XVI dan XVII (WTO, 2001).
Adapun tindakan-tindakan tersebut seperti kualifikasi, standar teknis,
persyaratan perijinan atau prosedur dan peraturan domestik lainnya yang
konsisten dengan pasal VI (WTO, 2001). Komitmen tambahan menggambarkan
suatu bentuk tindakan, bukan merupakan pembatasan (WTO, 2001).
2.5 Penelitian Sebelumnya
Penelitian-penelitian yang membahas tentang kerjasama perdagangan
jasa terutama di Indonesia masih belum banyak jika dibandingkan dengan
penelitian-penelitian lainnya terutama yang membahas tentang perdagangan
barang. Hal ini disebabkan karena terbatasnya data perdagangan jasa sehingga
kebanyakan penelitian lebih fokus untuk membahas kerjasama serta tingkat
komitmen dalam kerjasama perdagangan jasa. Adapun penelitian yang terkait
dengan posisi tingkat komitmen dengan alat analisis indeks Hoekman adalah
penelitian yang dilakukan oleh Ishido (2011) dan penelitian yang dilakukan oleh
Fukunaga dan Isono (2013). Penelitian lainnya yaitu penelitian yang dilakukan
oleh Friawan (2012), Francois dan Hoekman (2010), Markusen, Rutherford dan
Tarr (2005), Phili, P. L dan Ferretti, M.A. (2008), Nefussi dan Schwellnus (2010)
dan Tim Peneliti pada Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional
(2013).
Penelitian Ishido (2011) bertujuan untuk memetakan tingkat liberalisasi
perdagangan jasa dibawa 4 (empat) kerangka kerjasama ASEAN+n. Metode
yang digunakan adalah indeks Hoekman dan cluster analysis. Adapun temuan
dari penelitian ini adalah tingkat komitmen antara sektor spesifik dan sektor
tidak spesifik sangat berbeda, dan tingkat komitmen di negara-negara ASEAN
di AFAS adalah yang paling tinggi jika dibandingkan dengan ASEAN+n (Ishido,
2011). Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Fokunaga dan Isono (2013)
yaitu ASEAN+n menuju RCEP, penelitian ini menggunakan data indeksasi
dengan indeks hoekman pada penelitian Ishido (2011) yang kemudian
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 14
digunakan untuk membandingkan posisi di AFAS dan ASEAN+n. Tujuan dari
penelitian ini yaitu untuk membandingkan tingkat komitmen negara-negara
ASEAN di AFAS, di ASEAN+n, dan tingkat komitmen negara-negara mitra
dagang ASEAN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Australia dan Selandia
Baru (ANZ) merupakan negara mitra dagang ASEAN yang memberikan
komitmen pada sektor jasa paling tinggi jika dibandingkan dengan mitra dagang
ASEAN lainnya, sedangkan ASEAN memberikan AFAS ke-5 pada kerjasama
AANZFTA. Apabila AFAS ke-5 dijadikan dasar dalam menyusun posisi di
Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), maka menurut
Fokunaga dan Isono (2013) ASEAN dan ANZ tidak akan memperoleh
keuntungan apapun dalam kerjasama tersebut. Rekomendasi dari penelitian
Fokunaga dan Isono (2013) yaitu pengurangan hambatan dalam perdagangan
jasa di antara negara-negara anggota RCEP.
Penelitian yang terkait lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Friawan (2012) yaitu liberalisasi sektor jasa di Indonesia masalah dan kebutuhan
pengembangan kapasitas. Penelitian ini merumuskan beberapa permasalahan
dalam liberalisasi jasa di Indonesia yaitu institusi dalam perundingan jasa masih
baru, konflik kepentingan yang berasal dari kelompok bisnis dan kementerian-
kementerian terkait, keamanan/ketahanan nasional, ketidakpahaman akan
potensi keuntungan dari liberalisasi jasa (impor dan informasi) karena kurangnya
informasi dan data pendukung. Adapun rekomendasi dari penelitian ini yaitu
berkaitan dengan penentuan prioritas dalam peningkatan kapasitas yang akan
dilaksanakan secara bertahap.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 15
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Sektor yang dianalisis meliputi semua sektor yang diatur dalam GATS2.
Dengan lokasi penelitian di Jakarta. Adapun waktu pelaksanaan analisis
dilakukan dalam jangka waktu 4 bulan, terhitung mulai bulan Juni hingga
September 2015.
3.2 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
diperoleh dari Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional. Data
tersebut terdiri dari dua yaitu Schedule of commitment (SOC) Indonesia pada
Kerjasama ACFTA, dan Schedule of commitment (SOC) Indonesia pada
Kerjasama AFAS. Komitmen setiap negara yang terdaftar dalam SOC tersebut
adalah berbeda-beda tingkatannya. Perbedaan tingkat komitmen inilah yang
kemudian diindeks dengan indeks hoeman untuk dapat dibandingkan.
Data diperoleh dari Penelitian Ishido dan Fukunaga dari ERIA di Tahun
2013 mengenai liberalisasi sektor Jasa di Negara ASEAN.
3.3 Indeksasi SCHEDULE OF COMMITMENT (SOC)
Dalam mengkaji posisi runding Indonesia di berbagai fora, maka metode
dapat dilakukan untuk menjawab pertanyaan penelitian tersebut adalah
Indeksasi Schedule of Commitment (SOC) untuk mengetahui kualitas komitmen
yang tercermin dalam Schedule of Commitment (SOC),
Dalam tulisannya, Ishido (2012) menyatakan bahwa indeksasi terhadap
komitmen suatu negara dalam GATS adalah hal yang baru. Hal ini karena sifat
2 Dokumen GATS w/120
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 16
perdagangan jasa yang dahulunya dianggap sebagai non tradable dan juga
karena modalitas perdagangan jasa yang sangat berbeda antar sub sektornya.
Selain itu dalam pengukurannya, literatur mengenai metodenya sangat terbatas.
Hoekman pada Tahun 1995 mengusulkan suatu indeksasi obyektif untuk
mengukur komitmen jasa negara-negara WTO dengan berdasar pada GATS.
Metode ini memberikan nilai untuk masing-masing (4 mode dan 2 elemen)
sebagai berikut: None (N) = 1, Limitation (L) = 0,5, Unbound (U) = 0; kemudian
menghitung nilai rata-rata sektor jasa dari masing – masing negara. Contoh
perhitungan Hoekman dapat digambarkan dari tabel berikut.
Tabel.2.2 Matriks Schedule of Commitment Indonesia untuk Hotel Bintang 3, 4, 5
Maka contoh perhitungan Indeks Hoekmannya adalah sebagai berikut
Sub Sector
Limitation on Market Access Limitation on National Treatment
Hotel 1) Bernilai 1
2) Bernilai 1
3) Bernilai 0,5
4) Bernilai 0
1) Bernilai 1
2) Bernilai 1
3) Bernilai 0,5
4) Bernilai 0,5
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 17
Nilai-nilai tersebut diatas lalu dijumlahkan dan dijadikan nilai agreegat
komitmen sektor jasa perhotelan Indonesia.
Dari hasil indeksasi tersebut kemudian dilakukan klasifikasi yang
disesuaikan dengan tingkat komitmen pada dokumen WTO S/L/92. Penentuan
rentang skala dengan rumus yaitu (nilai tertinggi – nilai terendah)/banyaknya
kelas indeks.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 18
BAB IV
ANALISIS
Dalam memformulasikan komitmen Indonesia dalam ACFTA TIS paket
ke-3, maka diperlukan suatu pemetaan berbagai komitmen Indonesia dalam
ACFTA TIS 2, AFAS, WTO, ASEAN+1 dan IJEPA. Pemetaan dilakukan dengan
cara melakukan indeksasi secara Hoekman terhadap Schedule Of Commitment
Indonesia pada fora-fora tersebut dan terhadap 12 sektor yang diatur di WTO.
Secara total WTO mengatur 12 sektor jasa dan 155 sub sektor dibawahnya
dengan lingkup sektor jasa sebagaimana pada tabel 3.
Tabel 4.1 Jasa-Jasa Yang Diatur Di WTO
No Sektor Jasa contoh
1 Business services Hukum, akuntansi, perpajakan arsitek, dokter, IT dan komputer, real estate dan lain lain
2 Communication services
Jasa pos, kurir dan telekomunikasi
3 construction and related engineering services Teknik sipil, instalasi gedung, jalan jembatan
4 Distribution Services Franchise, grosir, agen komisi
5 Educational Services Jasa pendidikan dasar, menengah dan tinggi
6 Environmental Services Jasa pembuanagan limbah, jasa pengolahan sampah, dsb
7 Financial Services Jasa Asuransi, Keuangan, perbankan, dsb
8 Health Related And Social Services Jasa Rumah Sakit, Jasa Sosial, dsb
9 Tourism and travel related services Jasa perhotelan, travel agent, restoran, dsb
10 Recreational, Cultural And Sporting Services Jasa hiburan, jasa olahraga, jasa perpustakaan, dsb
11 Transport Services Jasa transportasi maritim, darat, udara, pengairan
12 Jasa-jasa lainnya
Sumber : Dokumen WTO w/120 dan Ishido (2013)
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 19
4.1 Komitmen pada ACFTA TIS paket ke-1 dan paket ke-2
Dalam ACFTA TIS paket ke-1 dan paket ke-2, Negara Negara yang
komitmen sektor jasanya paling tinggi adalah Kamboja, Singapura, Vietnam,
Thailand dan China. Adapun Indonesia rata-rata nilai keterbukaannya 0,06 yang
berarti masih relatif tertutup dan hanya berkomitmen pada 28 sub sektor di
ACFTA TIS 2 yang didominasi oleh sektor jasa konstruksi dan pariwisata.
Komitmen negara-negara yang terlibat pada ACFTA paket ke-1 dan
paket ke-2 dapat dilihat pada tabel
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 20
Tabel 4.2 Komitmen pada ACFTA TIS Paket ke-1 dan Paket ke-2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
Brunei ACFTA 1 0.03 0.02 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.02 0.00 0.13 0.02
ACFTA 2 0,16 0,08 0 0 0 0 0,13 0 0,02 0 0,14 0,05
Cambodia ACFTA 1 0,29 0,28 0,5 0,75 0,45 0,75 0,42 0,19 0,45 0,15 0,17 0,4
ACFTA 2 0,29 0,28 0,5 0,75 0,45 0,75 0,42 0,19 0,45 0,15 0,17 0,4
Indonesia ACFTA 1 0 0 0,33 0 0 0 0 0 0,34 0 0 0,06
ACFTA 2 0 0 0,33 0 0 0 0 0 0,34 0 0 0,06
Lao PDR ACFTA 1 0,25 0 0 0 0 0 0,19 0 0 0 0 0,04
ACFTA 2 0,32 0,02 0,44 0 0,08 0 0,2 0,16 0,52 0,18 0,08 0,18
Malaysia ACFTA 1 0,13 0 0,44 0 0,01 0 0,02 0,16 0 0 0,01 0,07
ACFTA 2 0,32 0,02 0,44 0 0,08 0 0,2 0,16 0,52 0,18 0,08 0,18
Myanmar ACFTA 1 0 0,01 0 0 0 0 0 0 0 0 0,05 0,01
ACFTA 2 0,03 0,07 0,13 0 0 0 0 0,16 0,34 0 0,07 0,07
Filipina ACFTA 1 0,01 0,2 0,08 0 0 0,11 0 0 0,44 0 0 0,08
ACFTA 2 0,07 0,33 0,28 0,16 0 0,11 0,29 0 0,44 0 0,17 0,17
Singapura ACFTA 1 0,29 0,05 0 0,55 0,3 0,25 0,37 0,25 0,38 0,4 0,09 0,27
ACFTA 2 0,51 0,3 0,6 0,55 0,3 0,25 0,38 0,25 0,53 0,4 0,09 0,38
Thailand ACFTA 1 0,04 0 0 0 0,24 0 0 0 0,53 0 0 0,07
ACFTA 2 0,19 0,09 0,5 0,1 0,39 0,5 0,22 0 0,53 0,2 0,12 0,26
Vietnam ACFTA 1 0,35 0,33 0,5 0,45 0,31 0,41 0,58 0,34 0,38 0,16 0,12 0,36
ACFTA 2 0,35 0,33 0,5 0,45 0,31 0,41 0,58 0,34 0,38 0,16 0,12 0,36
ACFTA 1 0,11 0,09 0,18 0,18 0,13 0,15 0,16 0,09 0,25 0,07 0,06 0,13
ACFTA 2 0,22 0,15 0,33 0,2 0,15 0,2 0,24 0,11 0,35 0,11 0,1 0,2
China
ACFTA 1 ACFTA 1 0,22 0 0,44 0 0 0,56 0 0 0 0,01 0,11 0,12
ACFTA 2 ACFTA 2 0,34 0,24 0,44 0,41 0,38 0,56 0,25 0 0,34 0,15 0,2 0,3
ACFTA 1 0,12 0,08 0,21 0,16 0,12 0,19 0,14 0,09 0,23 0,07 0,06 0,13
ACFTA 2 0,23 0,16 0,34 0,22 0,17 0,23 0,24 0,1 0,35 0,11 0,11 0,21
Total Rata-rata
Rata-rata ASEAN
Sektor Jasa
Sumber: Ishido dan Fukunaga (2013) diolah
Keterangan: rentang angka dari 0-1, 0 berarti tertutup, dan 1 berarti terbuka tanpa pembatasan
Dalam ACFTA TIS paket ke-1 dan paket ke-2, Indonesia berkomitmen
sebesar 0.06 atau lebih rendah dari komitmen Negara ASEAN lainnya, adapun
sektor yang telah dibuka pada paket ke-2 yaitu pariwisata dan konstruksi.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 21
Berdasarkan tabel 4 diatas, dapat dilihat bahwa komitmen Indonesia
pada ACFTA paket ke-1 dan paket ke-2 adalah sama yaitu 0,06. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa Indonesia masih belum berkenan memberikan komitmen
yang lebih terbuka.
4.2 Komitmen pada AFAS
Dalam perjanjian AFAS ke-5 yang disepakati di Tahun 2006 di
Filipina, secara rata-rata indeks Hoekman Negara ASEAN adalah 0,25
dengan sektor jasa konstruksi, pariwisata dan keuangan yang paling
terbuka.
Tabel 4.3 Komitmen Pada AFAS Paket ke 5
01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 Rata-rata
Brunei 0.36 0.08 0.31 0 0 0 0.33 0.31 0.27 0.11 0.17 0.18
Cambodia 0.3 0.28 0.5 0.75 0.45 0.75 0.44 0.19 0.52 0.3 0.2 0.43
Indonesia 0.22 0.13 0.5 0 0.36 0 0.25 0 0.48 0.08 0.07 0.19
Laos 0.11 0.03 0.55 0 0 0 0.24 0 0.14 0 0.01 0.10
Malaysia 0.32 0.09 0.5 0.15 0.24 0 0.28 0.16 0.53 0.18 0.09 0.23
Myanmar 0.09 0.09 0.63 0.3 0.1 0.16 0.09 0.25 0.36 0.18 0.1 0.21
Philippines 0.16 0.33 0.31 0.16 0 0 0.45 0.14 0.45 0 0.37 0.22
Singapore 0.27 0.16 0.75 0.3 0.15 0.25 0.34 0.23 0.66 0.15 0.08 0.30
Thailand 0.35 0.15 0.64 0.1 0.34 0.69 0.39 0.13 0.52 0.14 0.14 0.33
Vietnam 0.36 0.32 0.56 0.25 0.28 0.5 0.49 0.3 0.38 0.1 0.14 0.33
Rata-rata
ASEAN
0.25 0.17 0.53 0.2 0.19 0.23 0.33 0.17 0.43 0.12 0.14
0.25
Sektor Jasa
Sumber : Ishido (2013) diolah
Keterangan: rentang angka dari 0-1, 0 berarti tertutup, dan 1 berarti terbuka tanpa pembatasan
Berdasarkan urutan kedalaman komitmen, maka Kamboja lah
sebagai Negara yang paling dalam komitmennya diikuti oleh Vietnam
Thailand dan Singapura dengan diatas rata-rata Negara ASEAN lainnya.
Indonesia sendiri berada pada level yang sejajar dengan Brunei dan sedikit
lebih rendah dari komitmen Malaysia, Myanmar dan Filipina. Secara rata-
rata, indeks hoekman negara-negara ASEAN pada AFAS paket ke-5 ini
adalah 0,25. Sedangkan Indonesia mempunyai indeks sebesar 0,19. Hal ini
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 22
berarti Indonesia lebih menutup sektor jasanya daripada rata-rata negara
ASEAN lainnya.
Sesuai dengan indeks Hoekman sektor jasa ASEAN yang paling
besar adalah pariwisata, konstruksi dan keuangan masing-masing 0,48 ,
0,53 dan 0,33 . Hal ini sesuai dengan sektor jasa Indonesia yang sudah
dibuka dalam AFAS ke-5.
4.3 Komitmen General Agreement on Trade in Services (GATS)
Dalam komitmennya secara multilateral di WTO, rata-rata Negara
ASEAN dan China mempunyai tingkat komitmen yang relatif setara yaitu
0.12 dan 0.13.
Tabel 4.4 Komitmen jasa ASEAN-China Secara Multilateral
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
Brunei 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.3 0.02
Cambodia 0.3 0.3 0.5 0.8 0.5 0.8 0.5 0.2 0.5 0.2 0.2 0.4
Indonesia 0 0 0.5 0 0 0 0 0 0.5 0 0 0.06
Lao PDR NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA NA
Malaysia 0.2 0 0.4 0 0 0 0 0.2 0.1 0 0 0.07
Myanmar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0.1 0.01
Filipina 0 0.2 0.1 0 0 0.2 0 0 0.5 0 0 0.08
Singapura 0.5 0.1 0 1 0.6 0.5 0.4 0.5 0.6 0.7 0.2 0.27
Thailand 0.1 0 0 0 0.4 0 0 0 0.6 0 0 0.07
Vietnam 0.4 0.4 0.5 0.7 0.4 0.4 0.7 0.4 0.4 0.2 0.2 0.36
Rata-Rata 0.1 0.1 0.2 0.3 0.2 0.2 0.2 0.1 0.3 0.1 0.1 0.13
China 0.2 0 0.4 0 0 1 0 0 0 0 0.1 0.12
Sektor Jasa
Sumber: Ishido (2013) diolah
Keterangan: rentang angka dari 0-1, 0 berarti tertutup, dan 1 berarti terbuka tanpa pembatasan
Sedangkan untuk keseluruhan Negara ASEAN, tingkat komitmen
yang paling tinggi adalah Kamboja, Vietnam dan Singapura dengan nilai
masing masing sebesar (0,4), (0,36) dan (0,27)
Adapun secara sektoral, sektor jasa yang telah dibuka secara penuh
oleh China adalah sektor jasa lingkungan dengan indeks Hoekman 1. Untuk
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 23
negara ASEAN, keterbukaan sektor jasanya relatif berimbang antara 0,1
hingga 0,3
Informasi mengenai komitmen ASEAN- China di WTO dapat
dijadikan basis manfaat minimal yang harus didapat dalam perundingan
ASEAN-China FTA.
4.4 Komitmen pada IJEPA (Indonesia Japan Economics Partnership Agreement)
Jika dilihat dari jumlah sektor/subsektor, Jepang memberikan
kesempatan yang lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Jepang
pada kerjasama IJEPA, memberikan komitmen pada 12 Sektor Jasa yang
terbagi menjadi 137 Subsektor. Indonesia sendiri memberikan komitmen
pada 8 sektor yang terbagi menjadi 77 subsektor.
Dengan komitmen penuh yg diberikan pada 100 subsektor jasa
Jepang di IJEPA berarti Indonesia dapat memanfaatkan pasar jasa Jepang
tanpa adalah pembatasan atau persyaratan pada 100 subsektor jasa
tersebut.
Pada sektor jasa pariwisata, Indonesia berpeluang untuk
memanfaatkan akses ketenagakerjaan dan investasi di Jepang pada 3
subsektor yaitu subsektor jasa Hotels and restaurants (termasuk jasa
katering), travel agencies dan tour operators services, dan tourist guides .
Ketiga subsektor tersebut diberikan komitmen penuh oleh Jepang di
kerjasama IJEPA. Indonesia membuka 4 subsektor di sektor jasa pariwisata
dan diberikan komiitmen masing-masing limitation atau dikomitmenkan
dengan pembatasan. Perbandingan komitmen Indonesia dan Jepang pada
sektor jasa pariwisata dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 24
Gambar 4.1. Perbandingan Komitmen Indonesia dan Jepang pada Sektor
Jasa Pariwisata
Sumber: SOC Jepang (diolah)
Keterangan: rentang angka dari 0-1, 0 berarti tertutup, dan 1 berarti terbuka tanpa pembatasan
Jepang berkomitmen pada 4 subsektor jasa pada sektor jasa lainnya.
Keempat subsektor jasa tersebut meliputi jasa pencucian/laundy, jasa
pengumpulan laundry, jasa kecantikan dan jasa spa Indonesia.
Keempat sub sektor jasa Indonesia tersebut merupakan sub sektor
jasa yang penting dan berpeluang besar bagi peningkatan ekspor
Indonesia.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 25
Tabel 4.5. Peluang Ekspor Jasa Indonesia Pada Sektor Jasa sektor jasa
lainnya
1 Washing, cleaning and dyeing services (excluding
laundry collecting services)
1 0
2 Laundry collection services 1 0
3 Hairdressing and other beauty services 1 0
4 Indonesian spa services (excluding the medical
related services)
1 0
NO SECTOR OR SUB-SECTORHI
JPN
HI
IDN
Ket. HI : Hoekman Indeks; JPN : Jepang; IDN : Indonesia Sumber: Schedule of Commitment Indonesia dan Jepang
4.5 Komitmen ASEAN +1
Dalam kerjasama ASEAN +1 khususnya AANZFTA dan AKFTA, Indeks
hoekman rata-rata Negara ASEAN masih lebih rendah dari mitranya. Pada
AANZFTA indeksnya 0,33 lebih rendah dari Australia dan New Zealand yang
telah mencapai lebih dari 0,5. Dan 0,2 di AKFTA lebih rendah dari indeks
Korea (0,31).
Tabel 4.6 Komitmen AANZFTA dan AKFTA
AANZFTA AKFTA
Brunei 0.18 0.08
Cambodia 0.51 0.38
Indonesia 0.29 0.18
Laos 0.24 0.07
Malaysia 0.31 0.2
Myanmar 0.26 0.06
Philippines 0.26 0.17
Singapore 0.44 0.33
Thailand 0.36 NA
Vietnam 0.46 0.32
Rata-rata ASEAN 0.33 0.2
Australia 0.52
New Zealand 0.51
Korea 0.31
Sumber: Ishido (2013)
Keterangan : rentang angka dari 0-1, 0 berarti tertutup, dan 1 berarti terbuka tanpa pembatasan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 26
Khusus Indonesia, pada kedua fora tersebut, komitmen Indonesia
hanya 0,29, yang berarti lebih rendah dari komitmen rata-rata negara ASEAN
sebesar 0,33. Selain itu komitmen Indonesia di AANZFTA merupakan
komitmen yang terbesar (0,29) apabila dibandingkan dengan komitmen pada
fora lain, seperti AKFTA (0,18) dan ACFTA (0,06).
Dari dua fora tersebut dapat diketahui bahwa rata-rata negara ASEAN
masih relatif lebih tertutup daripada mitra kerjasamanya yaitu Australia, New
Zealand dan Korea.
4.6. Perbandingan Komitmen
Pada beberapa kerjasama perdagangan dan ekonomi, Indonesia
membuka sektor jasanya. Kerjasama-kerjasama perdagangan jasa yang telah
mencapai suatu kesepakatan dan menghasilkan SOC (Schedule of Commitment)
adalah kerjasama pada paket ASEAN Framework Agreement on Services
(AFAS), ASEAN-Australia-New Zealand-Free Trade Agreement (AANZFTA),
ASEAN-China-Free Trade Agreement (AC-FTA), dan ASEAN-Korea-Free Trade
Agreement (AKFTA). Kerjasama perdagangan jasa Indonesia pada tingkat
bilateral adalah hanya pada kerjasama Indonesia-Japan Economic Partnership
Agreement (IJEPA). Tingkat keterbukaan sektor jasa tersebut disajikan pada
Tabel 7 Sebagai berikut.
0,180,24
0,36 0,360,29
0,52 0,51
0,33
0,09
0,280,17
0,09
0,310,2
0,28
0,65
0
0,5
1
Indo
nesi
a
ASE
AN
Ave
rage
Indo
nesi
a
ASE
AN
Ave
rage
Indo
nesi
a
Aus
tral
ia
New
Zea
land
ASE
AN
Ave
rage
Indo
nesi
a
Chin
a
ASE
AN
Ave
rage
Indo
nesi
a
Kore
a
ASE
AN
Ave
rage
Indo
nesi
a
Japa
n
AFAS 5 AFAS 7 AANZFTA ACFTA AKFTA IJEPA
Ting
kat
kete
rbuk
aan
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Komitmen Perdagangan Jasa Indonesia
Sumber : Ishido, (diolah)
Keterangan : rentang angka dari 0-1, 0 berarti tertutup, dan 1 berarti terbuka tanpa pembatasan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 27
Grafik tersebut menunjukkan perbandingan antar komitmen yang diberikan
Indonesia pada berbagai kerjasama yang telah disepakati. Di semua fora
perundingan (bilateral dan ASEAN+1) posisi komitmen Indonesia rata-rata di
bawah komitmen limitation yang diindikasikan dengan indeks hoekman dibawah
0,5. Pada kerjasama semua kerjasama ASEAN+1, Indonesia memberikan
komitmen lebih rendah dari komitmennya pada AFAS 7. Hal ini juga sama
dengan komitmen rata-rata negara-negara ASEAN. Komitmen terendah
Indonesia adalah pada kerjasama ACFTA. Pada kerjasama ini Indonesia
memberikan komitmen dengan indeks setengah lebih rendah dari komitmennya
pada AFAS ke-5.
Pada kerjasama ACFTA, tidak ada atau hanya sedikit komitmen tambahan
yang diberikan oleh Indonesia dibandingkan dengan yang diberikan di pada MFN
(GATS). Jika dibandingkan dengan komitmen negara-negara mitra kerjasama
ASEAN, komitmen China merupakan yang terendah di ASEAN+1. Perbandingan
tingkat keterbukaan Indonesia dan China di ACFTA dan tambahan komitmen
mereka dari komimen yang diberikan pada WTO. Adapun perbandingan antara
komitmen Indonesia di AFAS 5 dan ACFTA disajikan pada Tabel 8 sebagai
berikut.
0,180,12
0,090,03
0,24
0,04
0
0,5
1
Indonesia Tambahan Komitmen Indonesia
dari WTO ke AFAS 5
Indonesia Tambahan Komitmen Indonesia
dari WTO ke ACFTA
China Tambahan Komitmen Indonesia
dari WTO ke ACFTA
AFAS 5 ACFTA
Ting
kat
Kete
rbuk
aan
Gambar 4.3. Grafik Perbandingan Tingkat Komitmen antara Indonesia dan China
Sumber: Ishido (2013) Keterangan : rentang angka dari 0-1, 0 berarti tertutup, dan 1 berarti terbuka tanpa pembatasan
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 28
Pada AFAS ke-5, Indonesia memberikan tingkat keterbukaan yang lebih
tinggi dari WTO. Tingkat keterbukaan Indonesia lebih tinggi 0,12 (skala 1) dari
komitmen yang diberikan di WTO. Pada kerjasama ACFTA, Indonesia hanya
memberikan tambahan komitmen keterbukaan yang kecil dari yang diberikan di
WTO, hal ini juga dilakukan oleh China.
Dalam TOR mengenai level of ambition (kedalaman komitmen)
sebagaimana yang diusulkan oleh Indonesia pada pertemuan ASEAN Caucus
25th ACFTA WGS, Indonesia dapat memberikan usulan komitmen dengan
tingkat keterbukaan yang tidak melebihi komitmen pada AFAS ke- 5, hal ini
karena komitmen China pada kerjasama ACFTA mendekati komitmennya pada
WTO. Oleh karena komitmen China tersebut, akan sulit bagi Indonesia untuk
mendapatkan akses pasar yang lebih terbuka dari China sebagaimana yang
telah diberikan oleh Indonesia pada AFAS 5.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 29
BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1 Kesimpulan
Di semua fora perundingan (bilateral dan ASEAN+1) posisi
komitmen Indonesia rata-rata di bawah komitmen limitation. Pada
kerjasama semua kerjasama ASEAN+1, Indonesia memberikan
komitmen lebih rendah dari komitmennya pada AFAS ke-7. Hal ini juga
sama dengan komitmen rata-rata negara-negara ASEAN. Komitmen
terendah Indonesia adalah pada kerjasama ACFTA.
5.2 Rekomendasi
Untuk ACFTA paket ke-3, Indonesia masih memiliki ruang yang
relatif besar untuk meningkatkan komitmen. Komitmen pada Paket AFAS
ke 5 dapat menjadi dasar bagi peningkatan komitmen Indonesia di
ACFTA paket ke-3
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 30
DAFTAR PUSTAKA
Cornish, M. dan C. Findlay. 2011. Services Liberalization in the „ASEAN Plus‟
Free Trade Agreements. Chapter 5 of ERIA Research Project Report 2010, No.
29. ASEAN+1 FTAS and Global Value Chains in East Asia.
Hoekman, B. dan Mattoo, A. 2010. Services Trade Liberalization and Regulatory
Reform: Re-invigorating International Cooperation
Hoekman, B. (1995) “Assessing the General Agreement on Trade in Services”,
World Bank Discussion Paper, No.307, World Bank.
Ishido, H. (2011) “Liberalization of Trade in Services under ASEAN+n: A Mapping
Exercise”, ERIA, Discussion Paper Series 2011-2.
Ishido, H. (2012) “Liberalization of Trade in Services under ASEAN+n and
Bilaterals: A Mapping Exercise.” In Comprehensive Mapping of FTAs in ASEAN
and East Asia, eds.
Schott , J.J., Minsoo L, dan Julia, M. 2012. Prospects for Services Trade
Negotiations. Development Bank Economics Working Paper Series. Manila.
Puska KPI, BPPKP, Kementerian Perdagangan 31
LAMPIRAN