88
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Trauma kapitis merupakan salah satu kausa mayor kematian, terutama pada dewasa muda dan merupakan penyebab terbesar terjadinya disabilitas. Lebih dari 2 juta orang pasien dilihat secara berkala di ruang darurat Amerika Serikat dengan trauma kepala. Hampir 10% dari seluruh kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari kematian karena trauma melibatkan trauma kapitis. Trauma capitis muncul di semua usia dan kecelakaan lalu lintas adalah penyebab paling sering trauma capitis sedangkan di daerah metropolitan disebabkan oleh kekerasan. 1 Kasus trauma capitis mempunyai beberapa aspek khusus, antara lain kemampuan regenerasi sel otak yang amat terbatas, kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau menyebabkan kecacatan, juga karena terutama mengenai pria dalam usia produktif yang biasanya merupakan kepala keluarga. 2 Fokus utama penatalaksanaan pasien-pasien yang mengalami cedera kepala adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Pemberian oksigenasi dan memelihara tekanan darah yang baik dan adekuat untuk mencukupi perfusi otak adalah hal yang paling utama dan 1

Lapkas Trauma Kapitis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

word

Citation preview

BAB 1PENDAHULUAN

1. Latar BelakangTrauma kapitis merupakan salah satu kausa mayor kematian, terutama pada dewasa muda dan merupakan penyebab terbesar terjadinya disabilitas. Lebih dari 2 juta orang pasien dilihat secara berkala di ruang darurat Amerika Serikat dengan trauma kepala. Hampir 10% dari seluruh kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari kematian karena trauma melibatkan trauma kapitis. Trauma capitis muncul di semua usia dan kecelakaan lalu lintas adalah penyebab paling sering trauma capitis sedangkan di daerah metropolitan disebabkan oleh kekerasan.1Kasus trauma capitis mempunyai beberapa aspek khusus, antara lain kemampuan regenerasi sel otak yang amat terbatas, kemungkinan komplikasi yang mengancam jiwa atau menyebabkan kecacatan, juga karena terutama mengenai pria dalam usia produktif yang biasanya merupakan kepala keluarga.2 Fokus utama penatalaksanaan pasien-pasien yang mengalami cedera kepala adalah mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Pemberian oksigenasi dan memelihara tekanan darah yang baik dan adekuat untuk mencukupi perfusi otak adalah hal yang paling utama dan terutama untuk mencegah dan membatasi terjadinya cedera otak sekunder yang akhirnya akan memperbaiki hasil akhir penderita.3Setelah tindakan ABCDE maka hal penting lainnya adalah mengidentifikasi adanya lesi masa intrakranial yang memerlukan tindakan pembedahan yaitu dengan tindakan pemeriksaan CT scan kepala segera. Namun demikian, pemeriksaan CT scan kepala tidak diperkenankan menunda perujukan pasien apabila diperlukan ke rumah sakit pusat trauma yang memiliki kemampuan intervensi bedah saraf secara cepat dan definitif.3

1. TujuanPembuatan laporan kasus ini bertujuan untuk memberikan pengertian dan pemahaman mengenai trauma kapitis serta sebagai syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Rumah Sakit Umum Haji Medan,

1. Manfaat Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai trauma kapitis.

.

BAB 2 LAPORAN KASUS

2.1.AnamnesisIdentitas PribadiNama:Tn. Firmansyah PutraJenis Kelamin:Laki-lakiUsia:23 tahunSuku Bangsa:Aceh / IndonesiaAgama:IslamStatus:Belum MenikahPekerjaan:wiraswasta Tanggal Masuk: 02 Maret 2014Tanggal Keluar:

2.2.Riwayat Perjalanan Penyakit2.2.1.KeluhanKeluhan Utama: Trauma kepalaTelaah:Hal ini dialami os 3 jam SMRS. Os mengendarai sepeda motor, di senggol mobil lalu terjatuh ke aspal. Kemudian kepala os membentur aspal. Pada saat kejadian, os memakai helm. Os tidak sadarkan diri saat di bawa ke Rumah Sakit. Os mampu mengimgat kejadian sebelum dan sesudah KLL. Riwayat pingsan (+), muntah (+) dan Pusing (+) dialami Os setelah tersadar dari pingsan. Frekuensi muntah 1 kali dengan volume 250 cc. Riwayat keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-). Riwayat kejang (-) Riwayat Penyakit Terdahulu:-Riwayat penggunaan obat:-2.2.2.Anamnesa TraktusTraktus Sirkulatorius:Nyeri dada (-), hipertensi (-)Traktus Respiratorius:Tidak dijumpai gangguan, sesak (-), batuk (-)Traktus Digestivus:Tidak dijumpai kelainan, BAB normal.Traktus Urogenitalis:Tidak dijumpai kelainan, BAK normalPenyakit Terdahulu:Tidak dijumpaiIntoksikasi dan Obat-obatan:(-)

2.2.3.Anamnesa KeluargaFaktor Herediter:-Faktor Familier:-Lain-lain:-

2.2.4.Anamnesa SosialKelahiran dan Pertumbuhan:Lahir normal, pertumbuhan baikImunisasi:Tidak jelasPekerjaan: wiraswastaPerkawinan dan Anak:belum menikah / -.

2.3.Pemeriksaan Jasmani2.3.1.Pemeriksaan UmumTekanan Darah:120/70mmHgNadi:72x/menitFrekuensi Nafas: 20x/menitTemperatur: 36,7CKulit dan Selaput Lendir:Sianosis (-), efloresensi primer dan sekunder (-),dalam batas normalKelenjar dan Getah Bening:Tidak terabaPersendian:Tidak dijumpai pembengkakan

2.3.2.Kepala dan LeherBentuk dan Posisi:Normosefalik, bulat, dan medialPergerakan:Bebas, dalam batas normalKelainan Panca Indera:Tidak dijumpaiRongga Mulut dan Gigi:Dalam batas normalKelenjar Parotis:Dalam batas normalDesah:Tidak dijumpaiDan Lain-lain:Luka robek akibat trauma di bagian pelipis wajah.

2.3.3. Rongga Dada dan AbdomenRongga DadaRongga AbdomenInspeksi: Simetris Fusiformis SimetrisPalpasi:SF ka=ki, kesan normalsoepel, H/L/R ttbPerkusi:sonor TimpaniAuskultasi :SP vesikuler, ST (-), SJ dbn Peristaltik(+) normal

2.3.4. GenitaliaToucher:Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.Pemeriksaan Neurologis2.4.1.Sensorium: Compos mentis, GCS 15 (E4M6V5)2.4.2.KraniumBentuk:BulatFontanella:TertutupPalpasi:Pulsasi a. temporalis (+), a. carotis (+), normal.Krepitasi kranium (+) Perkusi:Cracked pot sign (-)Auskultasi:Desah (-)Transilumnasi:Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.3. Perangsangan MeningealKaku Kuduk:(-)Tanda Brudzinski I:(-)Tanda Brudzinski II:(-)

2.4.4.Peningkatan Tekanan IntrakranialMuntah:(+)Sakit Kepala:(+)Kejang:(-)

2.4.5.Saraf Otak/Nervus KranialisNervus IMeatus Nasi DextraMeatus Nasi SinistraNormosmia:(+)(+)Anosmia:(-)(-)Parosmia:(-)(-)Hiposmia:(-)(-)

Nervus IIOculi Dextra (OD)Oculi Sinistra (OS)Visus:tdptdpLapangan PandangNormal:(+)(+)Menyempit:(-)(-)Hemianopsia:(-)(-)Scotoma:(-)(-)Refleks Ancaman:(+)(+)Fundus OkuliWarna:Tidak dilakukan pemeriksaanBatas:Tidak dilakukan pemeriksaanEkskavasio:Tidak dilakukan pemeriksaanArteri:Tidak dilakukan pemeriksaanVena:Tidak dilakukan pemeriksaan

Nervus III, IV, VIOculi Dextra (OD)Oculi Sinistra (OS)Gerakan Bola Mata:(+)(+)Nistagmus:tdptdpPupilLebar: 3 mm 3 mmBentuk:bulatbulatRefleks Cahaya Langsung:(+)(+)Refleks Cahaya tidak Langsung:(+)(+)Rima Palpebra:7 mm7 mmDeviasi Konjugate:(-)(-)Fenomena Dolls Eye:tdptdpStrabismus:(-)(-)Ptosis:(-)(-)

Nervus VKananKiriMotorikMembuka dan menutup mulut:dalam batas normaldalam batas normalPalpasi otot masseter dan temporalis:dalam batas normaldalam batas normalKekuatan gigitan:dalam batas normaldalam batas normalSensorik Kulit:dalam batas normaldalam batas normalSelaput lendir:dalam batas normaldalam batas normalRefleks KorneaLangsung:(+)(+)Tidak Langsung:(+)(+)Refleks Masseter:(+)(+)Refleks bersin :(+)(+)

Nervus VIIKananKiriMotorikMimik:simetrissimetrisKerut Kening:(+)(+)Menutup Mata:(+)(+)Meniup Sekuatnya:tidak bocortidak bocorMemperlihatkan Gigi:simetrissimetrisTertawa:simetrissimetrisSensorikPengecapan 2/3 Depan Lidah : (+)(+)Produksi Kelenjar Ludah:(+)(+)Hiperakusis : (-)(-)Refleks Stapedial:(+)(+)

Nervus VIIIKananKiriAuditoriusPendengaran:(+)(+)Test Rinne:tdptdpTest Weber:tdptdpTest Schwabach:tdptdpVestibularisNistagmus:tidak dilakukan pemeriksaanReaksi Kalori:tidak dilakukan pemeriksaanVertigo:(-) (-)Tinnitus:(-)(-)

Nervus IX, XPallatum Mole:Arcus pharynx terangkat saat bersuara dan simetrisUvula:MedialDisfagia:(-)Disartria:(-)Disfonia:(-)Refleks Muntah:(+)Pengecapan 1/3 Belakang Lidah:(+)

Nervus XIKananKiriMengangkat Bahu:(+)(+) Fungsi Otot Sternocleidomastoideus:(+)(+) Nervus XIILidahTremor:(-)Atrofi:(-)Fasikulasi:(-)Ujung Lidah Sewaktu Istirahat:MedialUjung Lidah Sewaktu Dijulurkan:Tidak ada deviasi

2.4.6. Sistem MotorikTrofi:EutrofiTonus Otot:NormotoniKekuatan Otot:ESD : 55555/55555ESS: 55555/55555EID : 55555/55555 EIS : 55555/55555Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring): Baik baik baikGerakan Spontan AbnormalTremor:(-)Khorea:(-)Ballismus:(-)Mioklonus:(-)Atetotis:(-)Distonia:(-)Spasme:(-)Tic:(-)Dan Lain-lain:(-)

2.4.7.Tes SensibilitasEksteroseptif:Dalam batas normalProprioseptif:Dalam batas normalFungsi Kortikal Untuk SensibilitasStereognosis:(+)Pengenalan Dua Titik:(+)Grafestesia:(+)

2.4.8.RefleksKananKiriRefleks FisiologisBiceps:(+)(+)Triceps:(+)(+)Radioperiost:(+)(+)APR:(+)(+)KPR:(+)(+)Strumple:(+)(+)Refleks PatologisBabinski:(-)(-)Oppenheim:(-)(-)Chaddock:(-)(-)Gordon:(-)(-)Schaefer:(-)(-)Hoffman-Tromner:(-)(-)Klonus Lutut:(-)(-)Klonus Kaki:(-)(-)Refleks Primitif:(-)(-)

2.4.9.KoordinasiBicara:Bicara spontan, pemahaman baikMenulis: Dalam batas normalPercobaan Apraksia:Dalam batas normalMimik:Dalam batas normalTest Telunjuk-Telunjuk:(+) dapat dilakukanTest Telunjuk-Hidung:(+) dapat dilakukanDiadokhokinesia:(+) dapat dilakukanTest Tumit-Lutut:(+) dapat dilakukanTest Romberg:Dapat mempertahankan posisi

2.4.10.VegetatifVasomotorik:Dalam batas normalSudomotorik:Tidak dilakukan pemeriksaanPilo-Erektor:Tidak dilakukan pemeriksaanMiksi:Dalam batas normalDefekasi:Dalam batas normalPotens dan Libido:Tidak dilakukan pemeriksaan

2.4.11.VertebraBentukNormal:(+)Scoliosis:(-)Hiperlordosis:(-)

PergerakanLeher:Dalam batas normalPinggang:Dalam batas normal

2.4.12.Tanda Perangsangan RadikulerLaseque:(-)Cross Laseque:(-)Test Lhermitte:(-)Test Naffziger:(-)

2.4.13.Gejala-Gejala SerebelarAtaksia:(-)Disartria:(-)Tremor:(-)Nistagmus:(-)Fenomena Rebound:(-)Vertigo:(-)Dan Lain-lain:(-)

2.4.14.Gejala-Gejala EkstrapiramidalTremor:(-)Rigiditas:(-)Bradikinesia:(-)Dan Lain-lain:(-)

2.4.15.Fungsi LuhurKesadaran Kualitatif:Compos mentisIngatan Baru:dbnIngatan Lama:dbnOrientasi Diri:dbnTempat:dbnWaktu:dbnSituasi: dbnIntelegensia:dbnDaya Pertimbangan:dbnReaksi Emosi:dbnAfasiaEkspresif:(-)Reseptif:(-)Apraksia:(-)AgnosiaAgnosia visual:(-)Agnosia Jari-jari:(-)Akalkulia:(-)Disorientasi Kanan-Kiri:(-)

2.5.Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium (02 Maret 2014)

Jenis PemeriksaanSatuanHasilNilai Normal

Hematologi

Hemoglobing/dl13,613,2-17,3

Eritrosit Leukosit106/mm3103/mm34,7322,84,20-4,874,5-11.0

Trombosit 103/mm3243150-450

Hasil Head CT-Scan (10 Juni 2013) Kesimpulan pemeriksaan: Lesi Hipodense di lobus fronto-parietalGambar(.....)

2.6.KesimpulanKeluhan Utama:trauma kepalaTelaah:Hal ini dialami os 3 jam SMRS. Os mengendarai sepeda motor, di senggol mobil lalu terjatuh ke aspal. Kemudian kepala os membentur aspal. Pada saat kejadian, os memakai helm. Os tidak sadarkan diri saat di bawa ke Rumah Sakit. Os mampu mengimgat kejadian sebelum dan sesudah KLL. Riwayat pingsan (+), muntah (+) dan Pusing (+) dialami Os setelah tersadar dari pingsan. Frekuensi muntah 1 kali dengan volume 250 cc. Riwayat keluar darah dari hidung (-) dan telinga (-). Riwayat kejang (-) Riwayat penyakit terdahulu: -Riwayat penggunaan obat: -

Status PresensSens: Compos mentisTekanan Darah:120/70mmHgNadi:72x/menitFrekuensi Nafas:20x/menitTemperatur: 36,7C

Nervus KranialisN. I:normosmiaN. II,III:refleks cahaya +/+, pupil isokor =3mm N. III,IV,VI:gerakan bola mata (+)N. V:buka tutup mulut (+)N. VII:sudut mulut simetrisN. VIII:pendengaran (+)N. IX, X:uvula medialN. XI:angkat bahu (+)N. XII:lidah medial

STATUS NEUROLOGISSensorium:Compos mentisPeningkatan TIK:Sakit kepala (+) Muntah (+) Kejang (-)Rangsang Meningeal:(-)Refleks FisiologisKanan KiriB/T:+/++/+APR/KPR:+/++/+Refleks PatologisKanan KiriH/T:-/--/-Babinski: --Kekuatan Motorik:ESD : 55555/55555ESS: 55555/55555EID : 55555/55555 EIS : 55555/55555

2.7.DiagnosisDIAGNOSIS FUNGSIONAL:Mild Head InjuryDIAGNOSIS ETIOLOGIK:Trauma kapitisDIAGNOSIS ANATOMIK:Lobus fronto-parietalDIAGNOSIS BANDING:Secondary Epilepsy DIAGNOSIS KERJA: Mild Head Injury

2.8.Penatalaksanaan2.8.1.Penatalaksanaan Awal Bed Rest Inj. Transamine 1 amp / 12 jam Inj. Citicolin 1 amp / 12 jam Inj. Dexamethasone 1 gr / 8 jam Paracetamol Tab 500 mg 3 x 2 tab

2.8.2.Follow-up Pasien

HasilFollow-up08 maret 201409 maret 201410 maret 2014

Keluhan utamapusing (+)pusing (+)pusing (+)

Keluhan tambahanMuntah--

Status presensSens:composmentisTD: 120/70 mmHgHR: 72 x/iRR: 20 x/iT : 37 C

Sens: compos mentisTD: 120/80 mmHgHR: 88x/iRR: 22 x/iT: 36,8 CSens: compos mentisTD: 120/70 mmHgHR: 80 x/iRR: 20 x/iT: 36,6 C

DiagnosisTrauma capitis + ICH + hematom oculi dextraTrauma capitis + ICH + hematom oculi dextraTrauma capitis + ICH + hematom oculi dextra

Terapi Bed rest Inj. Transamine 1 amp / 12 jam Inj. Citicolin 1 amp / 12 jam Inj. Dexamethasone 1gr / 8 jam PCT 500mg Tab 3 x 2 Bed rest Inj. Transamine 1 amp / 12 jam Inj. Citicolin 1 amp / 12 jam Inj. Dexamethasone 1gr / 8 jam PCT 500mg Tab 3 x 2 Bed rest Inj. Transamine 1 amp / 12 jam Inj. Citicolin 1 amp / 12 jam Inj. Dexamethasone 1gr / 8 jam PCT 500mg Tab 3 x 2

Penjajakan-Konsul pembacaan Head CT-Scan Susul hasil konsul Susul hasil konsul

BAB 3TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Definisi Trauma KapitisTrauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).

3.2. ETIOLOGISesuai dengan judul laporan ini, trauma capitis disebabkan oleh trauma. Sementara mekanismenya terdiri dari berbagai macam, yang paling umum disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, baik antara kendaraan dengan kendaraan, ataupun kendaraan dengan manusia. Penyebab lain yang paling sering adalah jatuh, kekerasan/serangan fisik, olahraga, dan trauma penetrasi.4

3.3. Anatomi A. Kulit Kepala (Scalp)Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai scalp yang menutupi tulang tengkorak yaitu:1. Skin atau kulit2. Connective tissue atau jaringan penyambung.3. Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat yang berhubungan langsung dengan tengkorak.4. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar.5. Pericranium. 3

Gambar 1. kiri: gambar kulit kepala, tengkorak dan meninges. Kanan: gambar cranium. (dikutip dari kepustakaan nomor 5)

B. Tulang Tengkorak Tulang tengkorak atau cranium terdiri dari atap atau calvarium dan basis atau dasar kranium. Calvaria dibagian temporal tipis namun disini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranium berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga ini berperan dalam cedera otak saat otak bergerak terhadap tulang tengkorak saat terjadi akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dibagi atas 3 fossa yaitu: fossa anterior, fossa media dan fossa posterior. Secara sederhana fossa anterior ditempati oleh lobus frontalis, fossa media oleh lobus temporalis dan fossa posterior ditempati oleh batang otak bagian bawah dan cerebelum. 3

C. OtakOtak merupakan organ yang sangat vital dalam kehidupan kita. Otak yang mengatur pikiran, memori, fungsi sensoris (melihat, mendengar, menghidu, mengecap dan merasa) dan motoris (berbicara, pergerakan tangan dan kaki), dan fungsi organ-organ lain di tubuh kita. Berat dari otak berubah dari waktu ke waktu, pada saat seseorang baru lahir, berat otaknya sekitar 0,5 kg. Sedang pada saat dewasa, berat otak dari laki-laki dewasa sekitar 1,5 kg, sedang pada perempuan dewasa sekitar 1,35 kg. 6Otak atau biasa disebut encephalon terbagi atas menjadi: prosencephalon, mesencephalon dan rhombencephalon. Prosencephalon terbagi lagi menjadi telencephalon dan diencephalon. Sedang rhombencephalon terbagi lagi menjadi metencephalon (terdiri dari pons serta cerebellum) dan medulla oblongata.7Telencephalon menjadi hemispherium cerebri, merupakan bagian yang terbesar dari proncephalon, menempati fossa crania anterior dan fossa crania media. Medulla oblongata, pons dan cerebellum berada di dalam fossa crania posterior. Struktur susunan saraf pusat terdiri dari substantia grisea, yang adalah kumpulan nukleus, dan substantia alba yang dibentuk oleh kumpulan serabut saraf bermyelin.7Suatu neuron (sel saraf) adalah suatu unit anatomis dan unit fungsional dari susnan saraf, terdiri dari cell body dan serabut-serabut pendek dan panjang. Serabut-serabut pendek menerima impuls dari luar dan membawanya masuk ke dalam cell body, disebut dendrit. Serabut panjang, hanya sebuah yang menghantar impuls keluar dari cell body, disebut neurit. Kumpulan cell body di dalam susunan saraf pusat dinamakan nukleus. Kumpulan cell body di luar susunan saraf pusat disebut ganglion. Tempat perpindahan impuls dari suatu neuron ke neuron lain, dinamakan sinaps. 7Otak ditutupi rangka yang disebut os cranium. Cranium ini melindungi otak dari cedera. Di antara otak dan cranium terdapat menings, yang terdiri dari 3 lapisan yaitu duramater, arachnoid, dan piamater yang membungkus encephalon dan medulla spinallis.6,7 Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri dari lamina meningealis dan lamina endostealis. Lamina endostealis melekat erat pada permukaan interior cranium, terutama pada sutura, basis cranii dan tepi foramen occipitale magnum. Lamina meningealis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi oleh suatu lapisan sel, dan membentuk empat buah septa yaitu: falx cerebri, tentorium cerebelli, falx cerebelli, dan diaphragma sellae.Falx cerebri memisahkan hemispherium cerebri sinister daripada hemispherium dexter, sedang tentorium cerebelli memisahkan cerebellum daripada lobus occipitalis cerebri. 6,7Lapisan menings yang kedua adalah arachnoid. Membran ini tipis dan menutupi seluruh bagian dari otak. Arachnoid tersusun dari jaringan elastic dan halus serta pembuluh darah dalam berbagai ukuran. Antara arachnoid dan duramater terdapat ruang yang disebut ruang subdural yang berisi cairan lymphe. 6,7Lapisan yang ketiga adalah piamater yang langsung melapisi permukaan otak. Pada piamater terdapat banyak pembuluh darah yang menjangkau sampai ke dalam permukaan cerebral. Piamater yang melingkupi seluruh permukaan otak mengikuti bentuk lipatan-lipatan dari otak. Terdapat suatu ruang antar membran arachnoidea dan piamater yang disebut ruang subarachnoideum. 6

Gambar 1. Potongan axial otak pada level kapsula interna dan ganglia basalis. (dikutip dari kepustakaan no. 8)

Dalam ruang subarachnoid ditemukan Cerebrospinal fluid (CSF). CSF berwarna jernih dan turut berperan dalam mekanisme proteksi terhadap otak. CSF ini bersirkulasi melalui saluran-saluran yang berada di medulla spinalis dan otak, dan secara rutin diabsorpsi lalu diganti dengan yang baru. CSF diproduksi di dalam ventrikel, dan pleksus choroideus yang memegang peranan penting dalam proses ini.6

Gambar 2. Kiri: gambar basis diencephalon dan nervus cranialis. Kanan: potongan midsagital otak dan batang otak. (dikutip dari kepustakaan nomor 8)

Pada hemispherium cerebri terdapat beberapa lobus, sebagai berikut: 7 Lobus frontalisMerupakan bagian yang terbesar dari hemispherium cerebri, mempunyai facies lateralis, facies medialis, dan facies inferior. Di sebelah posterior dibatasi oleh sulcus centralis dan di bagian inferior dibatasi oleh fissura lateralis. Lobus frontalis berfungsi memulai dan mengatur gerakan motoris, berbicara dan berperan dalam proses berpikir. Lobus parietalisMembentuk sebagian facies lateralis dan facies medialis hemispherum cerebri. Lobus parietalis berfungsi menerima stimulus somatosensibel, memori yang berkaitan dengan bahasa dan belajar. Lobus occipitalisBerbentuk piramid dengan polus occipitalis sebagai puncaknya, dan membentuk facies medialis, lateralis dan inferior. Lobus occipitalis berfungsi sebagai pusat dari penglihatan. Lobus temporalisLobus ini terpisah dari lobus frontalis oleh fissura lateralis cerebri. Pada ujung posterior fissura tersebut terdapat 3-4 gyri yang dinamakan gyrus temporalis transversus dengan arah lateroventralis, dan salah satu daripada gyrus tersebut tadi merupakan centrum pendengaran.

Di dalam encephalon dan medulla spinalis terdapat rongga-rongga yang merupakan sisa dari canalis neuralis, yaitu canalis centralis di dalam medulla spinalis dan di dalam closed part medulla oblongata, ventriculus quartus yang dibatasi oleh bagian open part medulla oblongata, pons dan cerebellum; aquaductus cerebri Sylvii di dalam mesencephalon, ventriculus tertius di antara diencephalon sinister et dexter, dan ventriculus lateralis yang terdapat di dalam hemispherum cerebri. Di dalam rongga tersebut terdapat liquor cerebrospinalis, yang merupakan hasil filtrasi darah dan membawa nutrisi ke sel saraf.7

D. Cairan Serebrospinalis Cairan cerebrospinal dihasilkan oleh plexus choroideus (yang berlokasi di atap-atap ventrikel) dengan kecepatan produksi kira-kira 20 ml/jam. Cairan cerebrospinalis ini mengalir dari dalam ventrikel lateralis baik kanan maupun kiri melalui foramen Monroe ke dalam ventrikel tertius dan selanjutnya ke dalam ventrikel quadrates melalui aquaductus Sylvii. Kemudian mengalir dari sistim ventrikel ini ke dalam ruang subaracnoid yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis lalu akan diserap ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arachnoid yang bermuara ke sinus sagitalis superior. Adanya perdarahan ke cairan cerebrospinalis dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga mengganggu penyerapan cairan cerebrospinal dan selanjutnya menyebabkan peningkatan tekanan intracranial (hidrocephalus communicans pasca trauma). 3

3.4. Patofisiologi Trauma Kapitis A. Tekanan Intrakranial (TIK) Tekanan perfusi cerebral merupakan salah satu konsep trauma capitis yang didasarkan pada perbedaan antara mean arterial pressure (MAP) dan tekanan intracranial. Dimana tekanan perfusi cerebral sama dengan selisih MAP dengan tekanan intracranial.3Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan menganggu perfusi otak dan akan memacu terjadinya iskemia. Tekanan intracranial normal pada saat istrahat adalah 10 mmHg. Tekanan intrakranial yang lebih dari 20 mmHg khususnya bila berkepanjangan dan sulit diturunkan akan menyebabkan hasil akhir yang buruk terhadap penderita. CPP = MAP ICP.3Saat MAP kurang dari 50 mm Hg atau lebih dari 150 mm Hg, arteriol tidak dapat mengautoregulasi dan aliran darah bergantung sepenuhnya pada tekanan darah sehingga situasi ini disebut dengan pressure-passive flow. Aliran darah cerebral tidak lagi konstan tapi bergantung dan proporsional terhadap tekanan perfusi cerebral. Saat MAP turun dibawah 50 mm Hg, otak berisiko iskemia karena insufisienssi aliran otak, sedangkan bila MAP lebih besar dari 160 mm Hg, tekanan intrakranial dapat meningkat. Saat seseorang tidak sedang mengalami trauma, mekanisme autoregulasi terhadap perubahan tekanan ini bekerja dengan baik, sedangkan bila terjadi trauma, mekanisme ini tidak dapat berlangsung baik. 3B. Doktrin Monro-KellieAdalah suatu konsep sederhana namun penting sekali yang dapat menerangkan pengertian dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume total intrakranial harus selalu konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang non elastic dan tidak mungkin membesar. Oleh karena itu segera setelah cedera kepala, suatu massa perdarahan dapat membesar sementara tekanan intrakranial masih tetap normal. Namun bila batas penggeseran cairan serebrospinal dan darah intravaskuler terlampaui maka tekanan intrakranial akan mendadak meningkat dengan cepat. Volume intracranial meliputi: Volume intrakranial= Volume otak + Volume cerebrospinal fluid + Volume darahUmumnya pada dewasa volume intracranial mencapai sekitar 1500 mL, dimana massa otak sekitar 85-90%, volume darah intravascular cerebral sekitar 10%, dan cerebrospinal fluid (CSF) sisanya sekitar ( 30 ml ( kepustakaan lain > 44 ml), keadaan pasien memburuk, atau pendorongan garis tengah > 3 mm. 11,12

HEMATOMA SUBDURALHematoma subdural biasanya berasal dari vena, dimana darah mengisi dural dan membran arachnoid. Pada kebanyakan kasus, perdarahan terjadi karena pergerakan otak yang menyebabkan penarikan dan robekan pada vena. Sumber dari hematoma berasal dari rupture arteri. Kebanyakan hematoma subdural berlokasi pada cerebral lateral, tapi perdarahan subdural dapat terkumpul di sepanjang permukaan medial dari hemisfer, di antara tentorium dan lobus occipital, di antara lobus temporal dan basis cranii, atau di fossa posterior. CT scan biasanya menemukan adanya densitas tinggi, gambaran crescentic pada area konveks hemisfer.1,9

Gambar 4. Hematoma subdural akut. CT axial nonkontras memperlihatkan gambaran yang hiperdens, bentuk crescent, akumulasi extra-axial menunjukkan efek massa dan midline shift dari kiri ke kanan.Hematoma subdural akut, simptomatik dalam 72 jam post injury, tapi kebanyakan pasien memiliki gejala neurologis setelah trauma. Hal ini dapat muncul setelah beberapa tipe trauma kepala tapi kurang umum ditemukan setelah kecelakaan lalu lintas dan relatif lebih umum ditemukan setelah jatuh ataupun akibat kekerasan. Sebagian pasien dari hematoma subdural akut kehilangan kesadaran pada saat trauma, 25% berada dalam koma saat tiba di RS, dan sebagian lainnya yang sadar kehilangan kesadaran untuk kedua kalinya (lucid interval). Hemiparesis dan abnormalitas pupil adalah tanda fokal neurologis paling umum, hal ini tampak pada setengah sampai dua per tiga pasien. Gambaran yang umum ditemui adalah dilatasi pupil yang ipsilateral dan hemiparesis kontralateral. Kehilangan kesadaran pada hematoma subdural terjadi dengan cepat dan progresif. 1,9Hematoma subdural kronik bergejala setelah 21 hari atau lebih setelah trauma. Lebih sering ditemui pada pasien dengan usia lebih dari 50 tahun. Pada 25% sampai 50% kasus, trauma kapitis tidak diketahui. Faktor risiko lain untuk hematoma subdural kronik meliputi overdrainase dari ventriculoperitoneal shunts dan kelainan pendarahan, termasuk kondosi yang berhubungan dengan terapi antikoagulan. Kebanyakan kasus hematoma subdural kronik, perdarahannya berasal dari trauma sepele dengan kompresi kecil bahkan tidak ada. Gejala yang ditemukan adalah nyeri kepala yang makin lama makin parah, gangguan kesadaran berfluktuasi, bingung, dan somnolen progresif. Bila terdapat hemiparese, biasanya ringan dan merupakan tanda hipertensi intracranial yang biasanya tidak ada sebelumnya. Setelah 1 minggu, fibroblasts di permukaan dalam dura membentuk membran tebal dan setelah 2 minggu membran tipis di dalam berkembang, membentuk enkapsulasi dari agregasi pembekuan yang kemudian mulai mencair. Pembesaran hematoma sebagai hasil dari perdarahan rekuren (sebagai contoh hematoma subdural kronik) atau karena efek osmotik terkait dengan konten tinggi protein dalam cairan tubuh. Gejalanya terbatas sampai status mental terganggu, sindroma yang sering disalahartikan sebagai demensia. CT menunjukkan gambaran isodens atau hipodens, massa bentuk crescent yang terbentuk pada permukaan otak, dan membrane yang meningkat karena kontras intravena. Pada jangka panjang, hematoma subdural kronik pada akhirnya mencair, membentuk hygroma dan pada beberpa kasus membrannya menjadi kalsifikasi. 1,9Bedah untuk mengevakuasi gumpalan darah yang berkonstitusi sebagai hematoma subdural akut biasanya membutuhkan large-window craniotomy. Hasil setelah pembedahan bergantung pada beratnya defisit dan interval pembedahan dari traumanya. Mencairnya hematoma subdural kronik sering dievakuasi dengan drainase. 1,9

PERDARAHAN SUBARACHNOIDPerdarahan subarachnoid merupakan perdarahan ruang subarachnoid yang terletak di antara membran bagian tengah (arachnoid) dan membran terdalam (piamater) dari menings, yang menutupi otak. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat dari trauma tumpul kepala yang berat. Perdarahan subarachnoid sering terjadi bersamaan dengan perdarahan lain di otak seperti perdarahan epidural, subdural, atau intraserebral.13Untuk mendiagnosis, perlu ditanyakan adanya riwayat trauma kepala yang berat. Adanya penurunan kesadaran atau kejang menunjukkan perdarahan yang lebih berat. Penderita yang sadar dapat mengeluhkan sakit kepala yang sangat hebat. Gejala tambahan lainnya seperti pusing, kekakuan pada leher, mual, muntah, fotofobia, penglihatan ganda, hemiparese, dan penurunan kesadaran.13Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu lumbal punksi, menunjukkan adanya perdarahan pada cairan serebrospinal. CT-scan akan memberikan gambaran PSA jika terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang besar, menunjukkan distribusi perdarahan pada sisterna basalis akibat akumulasi darah dari kebocoran aneurisma.13

Gambar 5. CT-scan menunjukkan perdarahan subarachnoid yang mengisi sisterna basalis. (dikutip dari kepustakaan 14)

Penanganan awal berupa general life-support seperti memastikan jalan napas tidak tersumbat dan pemberian cairan melalui intravena. Pembedahan dilakukan untuk mengatasi aneurisma dan dilakukan setelah keadaan pasien stabil. 13

PERDARAHAN INTRASEREBRALPerdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Perdarahan semacam itu sering terdapat di lobus temporalis dan frontalis. Yang tersebut belakangan berkolerasi dengan dampak pada oksiput dan yang pertama berasosiasi dengan tamparan dari samping. Kebanyakan dari perdarahan intra lobus temporalis justru ditemukan pada sisi dampak.15PIS dapat menimbulkan efek massa, disertai dengan edema di sekitarnya sehingga dapat memberikan tekanan yang cukup pada otak untuk menimbulkan kehilangan kesadaran yang progresif dan peningkatan defisit neurologis yang parah.9Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.15Kriteria diagnosis hematom supra tentorial nyeri kepala mendadak penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam. Tanda fokal yang mungkin terjadi ; Hemiparesis / hemiplegi. Hemisensorik. Hemi anopsia homonym Parese nervus III.Kriteria diagnosis hematom serebeller ; Nyeri kepala akut. Penurunan kesadaran. Ataksia Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial. Kriteria diagnosis hematom pons batang otak: Penurunan kesadaran koma. Tetraparese Respirasi irreguler Pupil pint point Pireksia Gerakan mata diskonjugat.16Pemeriksaan penunjang yaitu CT-scan, menunjukkan hiperdens dikelilingi zona berdensitas rendah. Hematoma kecil yang multipel biasanya disebut sebagai kontusio jaringan otak dan cirri-cirinya pada CT-scan adalah gambaran menyerupai garam dan merica (salt and pepper appearance). 17

Gambar 6. CT-scan : perdarahan intrakranial. (dikutip dari kepustakaan 16)Indikasi operasi pada perdarahan intraserebral yaitu penurunan keasadaran progresif, hipertensi dan bradikardi dan tanda-tanda gangguan nafas, dan perburukan defisit neurologi fokal.16

PERDARAHAN INTRAVENTRIKULARPerdarahan intraventrikular biasanya dianggap sebagai fenomena yang mempunyai prognosis buruk, namun anggapan itu ternyata tidak benar. Perdarahan ini kerap disertai dengan perdarahan parenkimal. Darah akan menjadi isodens secara relative cepat dan tidak tampak sama sekali dalam beberapa minggu. Dengan tindakan ventrikulostomi maka CSS akan mengalir keluar sehingga tekanan intracranial menurun dan perdarahan akan berhenti. 17

FRAKTUR CRANIUM Fraktur cranium dapat terjadi pada atap maupun dasar tengkorak, dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur basis cranii biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik Jendela Tulang (bone window) untuk mengidentifikasi garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur basis cranii menjadikan petunjuk kecurigaan kita untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.3Fraktur basis cranii terbuka dapat menyebabkan terjadinya hubungan antara luka kulit Scalp dengan permukaan otak oleh karena sering duramater mengalami robekan. Bila ditemukan adanya fraktur tulang tengkorak maka kita harus waspada, sebab artinya trauma yang terjadi cukup adekuat.3Bila ditemukan fraktur linier pada calvarianya akan meningkatkan resiko kemungkinan akan adanya perdarahan intracranial yaitu 1 dari 400 pasien sedangkan bila penderita tersebut koma kemungkinan ditemukannya perdarahan intracranial menjadi 1 dari 20 kasus karena resiko adanya perdarahan intracranial memang sudah lebih tinggi.3

Gambar 7. sketsa susunan tulang pada cranium aspek lateral. (dikutip dari kepustakaan 18) Gambar 8. sketsa cranium potongan sagital dilihat dari bawah. (dikutip dari kepustakaan 18)

Tanda-tanda tersebut antara lain: 1. Fraktur fossa anteriora. Foramen cribiform mencakup struktur nervus olfaktorius (I) yang berfungsi untuk menghidu. Gejalanya: anosmia, epistaxis, dan rinore.b. Foramen opticus mencakup nervus opticus (II) yang berfungsi untuk penglihatan. Gejalanya: gangguan visus, gangguan reflex cahaya langsung dan tak langsung, hemoragik periorbital (raccoon eyes) dan perdarahan subconjungtival.c. Fisura orbitalis superior mencakup nervus oculomotoris (III) yang berfungsi pada gerakan mata atas dan bawah ipsilateral, elevasi palpebra superior, dan konstriksi pupil, nervus trochlearis (IV) yang berfungsi pada gerakan mata ke bawah kontralateral dan ke tengah, nervus ophtalmicus (V1) yang berfungsi sensasi corneal ipsilateral, hidung dan dahi, dan nervus abducens (VI) yang berfungsi pada gerakan mata ipsilateral ke arah temporal. Gejalanya; gangguan atau diskonjugasipergerakan bola mata, ptosis, dilatasi pupil ipsilateral dan kehilangan sensasi pada dahi, kornea (termasuk reflex kornea) dan hidung.3,182. Fossa mediala. Foramen rotundum mencakup nervus maxillaries yang berfungsi terhadap sensasi region maxilla ipsilateral wajah. Gejalanya: kehilangan sensasi pada setengah daerah wajah bagian tengah.b. Foramen ovale mencakup nervus mandibularis yangberfungsi terhadap sensasi region mendibular wajah. Gejalanya adalah kehilangan sensasi pada wajah bagian tengah dan kelemahan otot M.masticator ipsilateral.c. Foramen lacerum mencakup arteri karotis interna dan plexus sympathetic yang berfungsi mensuplai korteks cerebral anterior dan media serta arteri ophthalmica. Gejalanya: kerusakan korteks cerebral (kerusakan upper motor neuron dengan kehilangan fungsi motorik wajah, ekstremitas superior dan inferior kontralateral, serta kebutaan pada ipsilateral.d. Foramen spinosum mencakup arteri dan vena meningea media yang berfungsi mensuplai darah ke lobus temporal. Gejalanya adalahkerusakan lobus temporal (gangguan pendengaran, komprehensi, memori)e. Meatus acusticus interna yang mencakup nervus facialis (VII) yang berfungsi pergerakan ipsilateral wajah, lakrimasi, salivasi, pengecap 2/3 anterior lidah dan sensasi sekitar telinga, nervus vestibulocochlearis (VIII) berfungsi untuk pendengaran dan keseimbangan, arteri labyrinthine dan arteri auditory interna yang berfungsi mensuplai darah ke labirin. Gejalanya: kelemahan wajah ipsilateral, ketidakmampuan menutup mata ipsilateral, dry eye ipsilateral, mulut kering, hemotympanium, tinnitus dan kehilangan pendengaran.3,18

3. Fossa posteriora. Foramen jugularis yang mencakup vena jugularis dan sinus sigmoid yang berfungsi terhadap drainase darah dari otak, nervus glossopharyngeus (IX) yang berfungsi pada stimulasi glandula protid, sensasi pada faring, palatum molle, 1/3 posterior lidah, tuba auditori dan cavum timpani dan sinus carotis, nervus vagus (X) yang berfungsi pada otot palatum molle dan faring, control parasimpatis dari jantung dan otot halus, serta nervus accesorius (XI) yang berfungsi terhadap pergerakan leher dan bahu. Gejalanya: ekimosis retroaurikuler (Battles sign), hilangnya gag reflex, bradikardi dan inabilitas pergerakan leher.b. Canalis hypoglossus mencakup nervus hypoglossus yangberfungsi terhadap pergerakan lidah. Gejalanya: ketidakmampuan untuk menggerakkan lidah.c. Foramen magnum mencakup meninges; medulla oblongata yang merupakan pusat pernapasan dan tekanan darah; arteri vertebralis dan cabang meningeal yang bertanggung jawab terhadap batang otak, lobus occipital dan cerebellum; serta serabut saraf dari nervus accesorius. Gejalanya: bradipneu dan iregularitas pernapasan, bradikardi dan hipertensi, infark cerebellar (gangguan keseimbangan dan koordinasi motorik halus), kerusakan lobus occipital (kehilangan visus kontralateral dan gangguan lapangan pandang).3,18Kerusakan yang katastropik dapat timbul bila ada gangguan pada arteri carotid (vaskularisasi korteks cerebri media dan anterior) atau arteri vertebralis (vaskularisasi korteks cerebri posterior dan batang otak), atau bila ada lesi pada batang otak. Fraktur basis cranii yang melintang canalis carotis dapat mencederai arter carotis (diseksi, pseuoaneurisma ataupun trombosis) dan perlu dipertimbangkan untuk dilakukan pemeriksaan Angiography serebral. 3,18Biasanya pemeriksaan X-ray bahkan sampai CT terkadang sulit mendeteksi fraktur jenis ini. Fraktur basis biasanya ditegakkan dengan temuan klinis dan dengan pemeriksaan teliti. CT dapat menemukan akumulasi cairan yang abnormal di sekitar fraktur bila terdapat perdarahan dari berbagai foramen yang ada di cranium maupun dari kebocoran CSF.3,18Penanganan yang dapat diberikan adalah analgesic dan NSAID sebagai anti inflamasi. Kebanyakan kebocoran CSF akan berhenti dengan spontan dengan elevasi posisi kepala. Kebocoran yang bersifat pesisten membutuhkan drainase lumbar kontinyu atau pembedahan untuk memperbaiki dan menghindari meningitis.3,18

3.5. Klasifikasi Trauma KapitisBerdasarkan ATLS (2004), trauma kapitis diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.

3.5.1. Berdasarkan Mekanisme Cedera Kepala Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan. 3.5.2. Berdasarkan Beratnya Cedera Kepala Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan sebagai cedera otak ringan.

Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu:Tabel 2.1. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit Amnesia post traumatik < 24 jam GCS = 13 15

Sedang Kehilangan kesadaran 20 menit dan 36 jam Amnesia post traumatik 24 jam dan 7 hari GCS = 9 - 12

Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam Amnesia post traumatik > 7 hari GCS = 3 8

3.5.3. Berdasarkan Morfologi A. Fraktur Kranium Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup berat.Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut:a. Gambaran fraktur, dibedakan atas: Linier Diastase Comminuted Depressed b. Lokasi Anatomis, dibedakan atas : Calvarium / Konveksitas ( kubah / atap tengkorak ) Basis cranii ( dasar tengkorak ) c. Keadaan luka, dibedakan atas : Terbuka Tertutup

B. Lesi Intra Kranial 1. Cedera otak difus Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scan normal sampai kondisi yang sangat buruk. Pada konkusi, penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin mengalami amnesia retro/anterograd. Cedera otak difus yang berat biasanya diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah trauma. Pada beberapa kasus, CT scan sering menunjukkan gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma otak berat dengan prognosis yang buruk. Penelitian secara mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan terlihat pada manifestasi klinisnya.

2. Perdarahan Epidural Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

3. Perdarahan Subdural Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.

4. Kontusio dan perdarahan intraserebral Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio serebri dapat, dalam waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan intra serebral yang membutuhkan tindakan operasi.

3.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson (2002) antara lain: 1. Pemeriksaan kesadaran Pemeriksaan kesadaran paling baik dicapai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). GCS merupakan sistem skoring yang didasari pada tiga pengukuran, yaitu: pembukaan mata, respon motorik, dan respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3 sedangkan nilai tertinggi adalah 15. Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi: GCS < 9 : pasien koma dan cedera kepala berat GCS 9 13 : cedera kepala sedang GCS > 13 : cedera kepala ringan

Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk. Pemeriksaan disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).

Eye Opening

Mata terbuka dengan spontan4

Mata membuka setelah diperintah3

Mata membuka setelang diberi rangsang nyeri2

Tidak membuka mata dengan rangsang apapun1

Best Motor Response

Menurut perintah6

Dapat melokalisir nyeri5

Menghindari nyeri4

Fleksi (decorticate)3

Ekstensi (decerebrasi)2

Tidak ada gerakan dengan rangsang apapun1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar5

Salah menjawab pertanyaan4

Mengeluarkan kata-kata yg tidak sesuai3

Mengeluarkan suara yg tidak ada artinya2

Tidak ada jawaban1

Jumlah15

2. Pemeriksaan Pupil Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.

3. Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus, kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

4. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan memar. Kedalaman leaserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat. Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa diduga dengan nyeri, pembengkakan, dan memar.

3.7. Prosedur Imaging dalam Diagnosa Trauma Kapitis a. X-ray Tengkorak Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada.

b. CT-Scan Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007).

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983 dalam Sastrodiningrat, 2007). Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan (Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007).

3.8. Pencegahan Trauma KapitisUpaya pencegahan Trauma kapitis pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan lalu lintas yang berakibat trauma pada kepala. Upaya yang dilakukan yaitu :

3.8.1. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention) Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadi yang dirancang untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya Trauma kapitis seperti : lampu lalu lintas dan kendaraan bermotor, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

3.8.2. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention) Pencegahan sekunder yaitu berupa upaya pencegahan pada saat peristiwa kecelakaan untuk menggurangi atau meminimalkan beratnya Trauma yang dialami.Dilakukan dengan memberikan pertolongan pertama, yaitu : menghentikan pendarahan, usahakan jalan nafas yang lapang, memberikan bantuan nafas buatan bila keadaaan berhenti bernafas. Tindakan Pengobatan Trauma kapitis craniotomy:a. Meningkatkan jalan nafas dan pola nafas yang efektif Pada pasien Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy kesadaran menurun tidak dapat mempertahankan jalan nafas dan pola nafas yang efekif, maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik tanda-tanda vital, memberikan posisi ekstensi pada kepala, mengkaji pola nafas, memberikan jalan nafas tetap terbuka dan tidak ada sekret (sputum) yang mengganggu pola nafas b. Mempertahankan perfusi otak Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arteri dan tekanan intrakranial. Oleh karena itu pada Trauma kapitis dengan tindakan craniotomy tekanan darah perlu diperhatikan supaya tidak menurun. Jika terdapat syok dan pendarahan, harus segera diatasi serta menghindari terjadinya infeksi pada otak c. Meningkatkan perfusi jaringan serebralPada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun perlu diberikan tindakan dengan cara meninggikan posisi kepala 15-30 derajat posisi midline (setengah terlentang) untuk menurunkan tekanan vena jugularis, dan menghindarkan hal-hal yang dapat meningkatkan tekanan intrakraniald. Cairan dan elektrolit Pada pasien Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun atau pasien dengan muntahan, pemberian cairan dan elektrolit melalui infus merupakan hal yang penting untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada tubuh e. Nutrisi Pada pasien dengan Trauma kapitis craniotomy dengan kesadaran menurun kebutuhan kalori dapat meningkat karena terdapat keadaan katabolik. Perlu diberikan makanan melalui sonde lambung.f. Pasien yang gelisah Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang, misalnya haloperidol. Untuk nyeri kepala dapat diberikan obat analgetik. 3.8.3. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention) Pencegahan tersier yaitu upaya untuk menggurangi akibat patologis dari Trauma kapitis. Dilakukan dengan membawa penderita Trauma kapitis ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan lebih lanjut dengan tindakan segera craniotomy.

3.9. Penatalaksanaan Trauma Kapitis AkutPenatalaksanaan penderita cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan dilakukan menurut urutan prioritas. Yang ideal dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari paramedis terlatih, dokter ahli saraf, bedah saraf, radiologi, anestesi dan rehabilitasi medik. Pasien dengan cedera kepala harus ditangani dan dipantau terus sejak tempat kecelakaan, selama perjalanan dari tempat kejadian sampai rumah sakit, diruang gawat darurat, kamar radiologi, sampai ke ruang operasi, ruang perawatan atau ICU, sebab sewaktu-waktu bisa memburuk akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan sebagainya. Macam dan urutan prioritas tindakan cedera kepala ditentukan atas dalamnya penurunan kesadaran pada saat diperiksa:

A. Pasien dalam keadaan sadar (GCS=15)Pasien yang sadar pada saat diperiksa bisa dibagi dalam 2 jenis:1. Simple head injury (SHI)Pasien mengalami cedera kepala tanpa diikuti gangguan kesadaran, dari anamnesa maupun gejala serebral lain. Pasien ini hanya dilakukan perawatan luka. Pemeriksaan radiologik hanya atas indikasi. Keluarga dilibatkan untuk mengobservasi kesadaran.2. Kesadaran terganggu sesaatPasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan pada saat diperiksa sudah sadar kembali. Pemeriksaan radiologik dibuat dan penatalaksanaan selanjutnya seperti SHI.

B. Pasien dengan kesadaran menurun1. Cedera kepala ringan / minor head injury (GCS=13-15)Kesadaran disoriented atau not obey command, tanpa disertai defisit fokal serebral. Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatanluka, dibuat foto kepala. CT Scan kepala, jika curiga adanya hematom intrakranial, misalnya ada riwayat lucid interval, pada follow up kesadaran semakinmenurun atau timbul lateralisasi. Observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral disamping tanda-tanda vital.

2. Cedera kepala sedang (GCS=9-12)Pasien dalamkategori ini bisa mengalami gangguan kardiopulmoner, oleh karena itu urutan tindakannya sebagai berikut:a. Periksa dan atasi gangguan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasib. Periksa singkat atas kesadaran, pupil, tanda fokal serebral dan cedera organ lain. Fiksasi leher dan patah tulang ekstrimitas c. Foto kepala dan bila perlu bagiann tubuh laind. CT Scan kepala bila curiga adanya hematom intrakraniale. e. Observasi fungsi vital, kesadaran, pupil, defisit fokal serebral

3. Cedera kepala berat (CGS=3-8)Penderita ini biasanya disertai oleh cedera yang multiple, oleh karena itu disamping kelainan serebral juga disertai kelainan sistemik.

Urutan tindakan menurut prioritas adalah sebagai berikut:a. Resusitasi jantung paru (airway, breathing, circulation / ABC)Pasien dengan cedera kepala berat ini sering terjadi hipoksia, hipotensi dan hiperkapnia akibat gangguan kardiopulmoner. Oleh karena itu tindakan pertama adalah: Jalan nafas (Air way)Jalan nafas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan posisi kepala ekstensi,kalau perlu dipasang pipa orofaring atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa nasograstrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan. Pernafasan (Breathing)Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau perifer. Kelainan sentral adalah depresi pernafasan pada lesi medula oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central neurogenik hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi, trauma dada, edema paru, DIC, emboli paru, infeksi. Akibat dari gangguan pernafasan dapat terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan dengan pemberian oksigen kemudian cari danatasi faktor penyebab dan kalau perlu memakai ventilator. Sirkulasi (Circulation) Hipotensi menimbulkan iskemik yang dapat mengakibatkan kerusakan sekunder. Jarang hipotensi disebabkan oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah

b. Pemeriksaan fisikSetalh ABC, dilakukan pemeriksaan fisik singkat meliputi kesadaran, pupil, defisit fokal serebral dan cedera ekstra kranial. Hasil pemeriksaan fisik pertama ini dicatat sebagai data dasar dan ditindaklanjuti, setiap perburukan dari salah satu komponen diatas bis adiartikan sebagai adanya kerusakan sekunder dan harus segera dicari dan menanggulangi penyebabnya.

c. Pemeriksaan radiologiDibuat foto kepala dan leher, sedangkan foto anggota gerak, dada dan abdomen dibuat atas indikasi. CT scan kepala dilakukan bila ada fraktur tulang tengkorak atau bila secara klinis diduga ada hematom intrakranial

d. Tekanan tinggi intrakranial (TIK)Peninggian TIK terjadi akibat edema serebri, vasodilatasi, hematom intrakranial atau hidrosefalus. Untuk mengukur turun naiknya TIK sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK yang normal adalah berkisar 0-15 mmHg, diatas 20 mmHg sudah harus diturunkan dengan urutan sebagai berikut:

1. HiperventilasiSetelah resusitas ABC, dilakukan hiperventilasi dengan ventilasi yang terkontrol, dengan sasaran tekanan CO2 (pCO2) 27-30 mmHg dimana terjadi vasokontriksi yang diikuti berkurangnya aliran darah serebral. Hiperventilasi dengan pCO2 sekitar 30 mmHg dipertahankan selama 48-72 jam, lalu dicoba dilepas dengan mengurangi hiperventilasi, bila TIK naik lagi hiperventilasi diteruskan lagi selama 24-48 jam. Bila TIK tidak menurun dengan hiperventilasi periksa gas darah dan lakukan CT-scan ulang untuk menyingkirkan hematom.

2. DrainaseTindakan ini dilakukan bila hiperventilasi tidak berhasil. Untuk jangka pendek dilakukan drainase ventrikular, sedangkan untuk jangka panjang dipasang ventrikulo peritoneal shunt, misalnya bila terjadi hidrosefalus.

3. Terapi diuretik Diuretik osmotik (manitol 20%): Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus dihentikan. Cara pemberiannya: Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20 menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48 jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm Loop diuretik (Furosemid):Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat pembentukan cairan cerebrospinal dan menarik cairan interstitial pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh manitol. Dosis 40 mg/hari/iv. Terapi barbiturat (Fenobarbital)Terapi ini diberikan pada kasus-ksus yang tidak responsif terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Cara pemberiannya: Bolus 10 mg/kgBB/iv selama 0,5 jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam. Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis diturunkan bertahap selama 3 hari. StreroidBerguna untuk mengurangi edema serebri pada tumor otak. Akan tetapi menfaatnya pada cedera kepala tidak terbukti, oleh karena itu sekarang tidak digunakan lagi pada kasus cedera kepala

Posisi TidurPenderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena otak menjadi lancar. Keseimbangan cairan elektrolitPada saat awal pemasukan cairan dikurangi untuk mencegah bertambahnya edema serebri dengan jumlah cairan 1500-2000 ml/hari diberikan perenteral, sebaiknya dengan cairan koloid seperti hydroxyethyl starch, pada awalnya dapat dipakai cairan kristaloid seperti NaCl 0,9% atau ringer laktat, jangan diberikan cairan yang mengandung glukosa oleh karena terjadi keadaan hiperglikemia menambah edema serebri. Keseimbangan cairan tercapai bila tekanan darah stabil normal, yang akan takikardia kembali normal dan volume urin normal >30 ml/jam. Setelah 3-4 hari dapat dimulai makanan peroral melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan tertentu dimana terjadi gangguan keseimbangan cairan eletrolit, pemasukan cairan harus disesuaikan, misalnya pada pemberian obat diuretik, diabetes insipidus, syndrome of inappropriate anti diuretic hormon (SIADH). Dalam keadaan ini perlu dipantau kadar eletrolit, gula darah, ureum, kreatinin dan osmolalitas darah. NutrisiPada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam. Setekah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000 kalori/hari.

NeuroproteksiAdanya waktu tenggang antara terjadinya trauma dengan timbulnya kerusakan jaringan saraf, memberi waktu bagi kita untuk memberikan neuroprotektan. Manfaat obat-obat tersebut masih diteliti pada penderita cedera kepala berat antara lain, antagonis kalsium, antagonis glutamat dan sitikolin.

3.9. Komplikasi (Penyulit) pada Trauma Kapitis1. Gangguan Faal ParuPneumonia aspirasi: Suatu infeksi paru karena isi saluran makanan atau sekret trachea masuk ke dalam paru paru, disebabkan gangguan kesadaran pada trauma kapitis, penderita tidak dapat menelan atau mengeluarkan sisa makan dan dahak.2. Gangguan Faal Hepar dapat mengakibatkan Gagal Hepar (Hepatic Failure)3. Gangguan Faal Ginjal dapat mengakibatkan Gagal Ginjal (Renal Failure)4. Gangguan Faal Kelenjar Hypophyse (misalnya Diabetes Insipidus)5. Gangguan Faal Sistim Kardiovaskular6. Gangguan Hemostasis

3.10. Penilaian NyeriVisual Analogue Scale (VAS)Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus 10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan.Penggunaan skala VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya. Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 4 cm dianggap sebagai tingkat nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat (rescue analgetic). Nilai VAS 0-4= nyeri ringan, 4-7= nyeri sedang, dan 7-10= nyeri berat. Praktik dalam tatalaksana nyeri, secara garis besar strategi farmakologi mengikuti three step analgesic ladder yaitu:a. Tahap pertama dengan menggunakan obat analgetik nonopiat seperti NSAID atau COX2 spesific inhibitors.b. Tahap kedua, dilakukan jika pasien masih mengeluh nyeri. Maka diberikan obat-obat seperti pada tahap 1 ditambah opiate secara intermiten.c. Tahap ketiga, dengan memberikan obat pada tahap 2 ditambah opiate yang lebih kuat.

BAB 4DISKUSI KASUS

Pada kasus ini, pasien didiagnosa mengalami trauma kapitis sedang. Hal ini ditegakkan pada pasien ini dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan:1. Ada riwayat kecelakaan lalu lintas dan terbentur benda tumpul2. Adanya temuan lesi pada bagian frontalis

TEORIKASUS

PENYEBABMenurut teori, cedera kepala dapat terjadi sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa yang disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun proses dari akselerasi deselerasi gerakan kepalaPasien di diagnosis dengan trauma kapitis karena ditemukan riwayat benturan langsung kepala dengan benda keras, dalam kasus ini terbentur dengan aspal pada saat kecelakaan.

DIAGNOSISBerdasarkan teori, untuk mendiagnosa trauma kapitis diperlukan anamnesa yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik untuk menentukan apakah ada gangguan pasien,Pada kasus, berdasarkan anamnesa, ditemukan bahwa pasien mengalami kejang sebanyak 4 kali dan sakit kepala. Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi pada bagian frontalis.

Pemeriksaan Head CT-scan perlu dilakukan untuk menegakkan trauma kapitis secara pasti.Pada kasus, telah dilakukan pemeriksaan CT-scan pada pasien

PENATALAKSANAAN

Pada teori, untuk mencegah kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intracranial diberikan analgetika.Pada pasien telah diberikan analgetika yaitu asam mefenamat.

PROGNOSISPrognosis setelah cedera kepala sering mendapat perhatian besar, terutama pada pasien dengan cedera berat. Skor GCS waktu masuk rumah sakit memiliki nilai prognostik yang besar: skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS 12 atau lebih kemungkinan meninggal atau vegetatif hanya 5 10%. Sindrom pascakonkusi berhubungan dengan sindrom kronis nyeri kepala, keletihan, pusing, ketidakmampuan berkonsentrasi, iritabilitas, dan perubahan kepribadian yang berkembang pada banyak pasien setelah cedera kepala. Sering kali berturnpang-tindih dengan gejala depresi.Semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi seorang ahli bedah saraf. Terutama pada penderita anak-anak yang biasanya memiliki daya pemulihan yang baik. Penderita berusia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebih rendah untuk pemulihan dari cedera kepala.17

BAB 5KESIMPULAN

Pada kasus ini, Os mengendarai sepeda motor, disenggol mobil lalu terjatuh ke aspal. Kepala os membentur aspal. Os memakai helm. pasien mengalami muntah sebanyak 1 kali. Muntah yang dialami os akibat rasa pusing yang os rasakan. Riwayat kejang (-). Diagnosa pasien ini berasal dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, dan hasil head CT-scan sehingga akhirnya di diagnosa sebagai Moderate Head Injury.Pasien diberikan terapi antikonvulsan yaitu fenitoin dan diazepam apabila terjadi serangan kejang dan juga terapi analgetik berupa asam mefenamat.

DAFTAR PUSTAKA1. Rowland, Lewis P. Head injury. Merritt's Neurology, 11th Edition. New York:Lippincott Williams & Wilkins. 2005. p.1,6-8.2. Riyanto, B. Penatalaksanaan fase akut cedera kepala. Cermin Dunia Kedokteran No. 77. 1992. [cited on : May 11th, 2011]. Available from : http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/16PenatalaksanaanFaseAkut077.pdf3. Anonymous. Updated on February 8th, 2011. [cited on : May 11th,2011]. Available from : http://ilmubedah.info/cedera-kepala-20110208.html4. Crippen, DW. Head Trauma. Updated on November 1st, 2010. [cited on : May 11th, 2011]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/433855-overview5. Rohkamm R.Color Atlas of Neurology. New York: Thieme. 2004. p.5,7.6. Anonymous. Anatomy of the brain. [serial online]. Updated on June 2006 [cited on : May 11th, 2011]. Available from: URL: http://www.neurosurgerytoday.org/ 7. Luhulima JW. Anatomi susunan saraf pusat. Makassar: FK UH; 2003. p 1-4, 56-58.8. James F. Board review series: Neuroanatomy. 2nd edition. United States: Lippincott Williams & Wilkins. 1995. p 2,6,12.9. Mumenthaler M, Mattle H. traumatic brain injury. In: Fundamentals of neurology. Germany: Georg Thieme Verlag; 2006. p 87-89, 91, 114-118.10. Martuza RL, Coumans JV. Trauma : Severe Head Injury, Spinal Cord Injury. In : Manual of Neurology. United States: Saunders. 1998. p. 13.11. Price DD. Epidural Hematoma in Emergency MedicineClinical Presentation. 2010. [cited on : May 11th, 2011]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/824029-clinical.12. Qauliyah A. Epidural Hematoma. 2007. [cited on : May 11th, 2011]. Available from : http://astaqauliyah.com/2007 /02/referat-epidural-hematoma.13. Anonymous. Subarachnoid Hemorrhage (Traumatic). 2010. [cited on : May 11th, 2011]. Available from : http://www.mdguidelines.com/subarachnoid-hemorrhage-traumatic.14. Gershon, Abner. Imaging in Subarachnoid Hemorrhage. 2009. [cited on : May 11th, 2011]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article/344342-overview.15. Marjono M, Sidartha P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. 2008. p 255.16. PERDOSSI. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal. Jakarta: CV. Prikarsa Utama. 2006 ; p 1-18.17. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support. USA: First Impressions, 1997. p.221, 226.18. Morgan B. Basal Skull Fractures. Updated on November 19th, 1999. [cited on : May 11th, 2011]. Available from : http://www.lhsc.on.ca/Health_Professionals/CCTC/edubriefs/baseskull.htm.19. Bagian SMF. Ilmu penyakit Saraf FK Unhas. Standar Pelayanan Medik. Makassar: FK. Unhas. 2007. p. 20.

18