30
LAPORAN KASUS CEDERA KEPALA BERAT Disusun oleh : Ayu Indria Paramitha (I11108013) DEPARTEMEN NEUROLOGI RSUD SOEDARSO FAKULTAS KEDOKTERAN

Lapkas Neurologi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cedera kepala berat

Citation preview

Page 1: Lapkas Neurologi

LAPORAN KASUS

CEDERA KEPALA BERAT

Disusun oleh :

Ayu Indria Paramitha (I11108013)

DEPARTEMEN NEUROLOGI RSUD SOEDARSO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2012

Page 2: Lapkas Neurologi

LEMBAR PENGESAHAN

CEDERA KEPALA BERAT

Laporan Kasus

Sebagai Salah Satu Syarat Menyelesaikan Stase Neurologi Di SMF Neurologi

Rumah Sakit Umum Dokter Soedarso Pontianak

Pembimbing Disusun Oleh

dr. Dyan Roshinta, Sp. S Ayu Indria Paramitha (I11108013)

Page 3: Lapkas Neurologi

BAB I

PENYAJIAN KASUS

1.1 Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2012, pukul 11.00 WIB.

A. Identitas

1) Nama : Ny. C

2) Usia : 57 tahun

3) Jenis Kelamin : Perempuan

4) Agama : Katolik

5) Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

6) Pendidikan : -

7) Alamat : Tembawang Bale

8) Tanggal Masuk Rumah Sakit : 29 September 2012

9) No. Rekam Medis : 764260

B. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Ny. C mengalami penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu

lintas. Ny. C menumpangi mobil dengan bak terbuka dan mobil tersebut terbalik.

Kepala Ny. C terbentur dan tidak dapat mengingat kejadian kecelakaan yang

dialaminya. Ny. C datang ke RSUD Soedarso dengan keadaan tidak sadarkan diri

selama kurang lebih 3 jam sebelum dibawa ke RSUD Soedarso. Ny. C juga

beberapa kali muntah sebelum dibawa ke RSUD. Pasien datang dengan keadaan

tidak ada reaksi ketika diperintah membuka mata dan diberikan rangsang nyeri,

tidak ada respon verbal, dan respon motorik dengan rangsang nyeri terjadi

ekstensi pada siku. Ny. C juga tidak mengalami kejang.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Page 4: Lapkas Neurologi

Pasien sebelumnya tidak pernah mengalami gangguan serupa.

E. Riwayat Keluarga

Tidak ada satupun keluarga pasien yang mengalami gangguan serupa.

F. Anamnesis Sistem

Sistem serebrospinal

Pasien mengalami penurunan kesadaran.

Sistem kardiovaskuler

Pasien tidak pernah merasakan sakit pada dada ataupun jantung berdebar

Sistem respiratorius

Pasien tidak sedang batuk dan sesak nafas, pasien juga tidak memiliki riwayat

asma dan TB

Sistem gastrointestinal

Pasien bisa BAB, feses brwarna cokelat dan encer.

Sistem urogenitalis

Pasien bisa BAK, Urin pasien berwarna kuning kecoklatan.

Sistem muskuloskeletal

Ekstrimitas atas sisi kiri tidak dapat digerakkan dicurigai adanya fraktur.

Sistem integumental

Terdapat lecet pada kulit di daerah lengan atas dan bawah, lutut, dan betis.

G. Resume Anamnesis

Ny. C mengalami penurunan kesadaran setelah mengalami kecelakaan lalu

lintas. Kepala Ny. C terbentur dan tidak dapat mengingat kejadian kecelakaan

yang dialaminya. Ny. C datang ke RSUD Soedarso dengan keadaan tidak

sadarkan diri selama kurang lebih 3 jam sebelum dibawa ke RSUD Soedarso. Ny.

C juga beberapa kali muntah sebelum dibawa ke RSUD. Pasien datang dengan

keadaan tidak ada reaksi ketika diperintah membuka mata dan diberikan rangsang

nyeri, tidak ada respon verbal, dan respon motorik dengan rangsang nyeri terjadi

ekstensi pada siku. Ny. C juga tidak mengalami kejang. Tidak ditemukan riwayat

Page 5: Lapkas Neurologi

penyakit dahulu dan keluarga. Pada system serebrospinal terdapat penurunan

kesadaran dan pada system musculoskeletal ektrimitas atas sisi kiri tidak dapat

digerakkan yang dicurigai adanya fraktur.

1.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan dilakukan pada tanggal 9 Oktober 2012

A. Status Generalis

Keadaan umum : Tampak lemah

Kesadaran : Kualitatif: Somnolen

Kuantitatif: E4M6V4

Tanda vital : TD 130/80 mmHg

Nadi 80x/ menit, reguler, isi cukup

Respirasi 20x/menit, teratur

Suhu 36,2° C

Kepala : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik - / -,

discharge - / -

Leher : deviasi trakea (-), kelenjar tiroid

tidak membesar, kelenjar limfe tidak membesar.

Dada :

Jantung : bunyi jantung I/II normal, bunyi jantung

tambahan (-)

Paru : Sonor, vesikuler (+) N, RBK (-)

Abdomen : pembesaran hati (-), pembesaran limpa (-)

Ekstremitas : edema (-/-)

B. Status Psikiatris

Tingkah laku : tidak dapat dinilai

Perasaan hati : Sedih

Orientasi : Kurang baik

Kecerdasan : Tidak dapat dinilai

Daya ingat : Jangka panjang : Baik

Page 6: Lapkas Neurologi

Jangka menengah : Baik

Jangka pendek : Baik

Segera : Sulit dinilai

C. Status Neurologis

Sikap tubuh : pasien dalam keadaan berbaring

Gerakan abnormal : tidak ditemukan

Kepala : simetris

pupil isokor ø 3/3 mm, Rc +/+, Rk +/+

Nervi Kraniales Kanan Kiri

N.I Daya Pembau Tidak dilakukan

N.II Daya Penglihatan Dalam batas normal

N.III Ptosis - -

Gerakan mata ke medial + +

Gerakan mata ke atas + +

Gerakan mata ke bawah + +

Ukuran pupil 3 mm 3 mm

Bentuk pupil Isokor

Reflek cahaya langsung + +

Reflek cahaya konsensual + +

Strabismus divergen -

N.IV Gerakan mata ke lateral bawah + +

Strabismus konvergen _

N.V Menggigit + +

Membuka mulut + +

Sensibilitas muka + +

Reflek kornea + +

Trismus -

N.VI Gerakan mata ke lateral + +

Page 7: Lapkas Neurologi

Strabismus konvergen -

N.VII Kedipan mata + +

Lipatan naso-labial + +

Sudut mulut + +

Mengerutkan dahi + +

Menutup mata + +

Meringis + +

Menggembungkan pipi + +

Daya kecap lidah 2/3 depan Tidak dilakukan

N.VIII Mendengar suara berbisik +

Mendengar detik arloji Tidak Dilakukan

Tes Rinne Tidak Dilakukan

Tes Schwabach Tidak Dilakukan

Tes Weber Tidak Dilakukan

N.IX Arkus Faring Tidak Dilakukan

Daya kecap lidah 1/3 belakang Tidak dilakukan

Refleks muntah Tidak dilakukan

Sengau -

Tersedak -

N.X Denyut nadi +

Arkus Faring Tidak Dilakukan

Bersuara +

Menelan Baik

N.XI Memalingkan kepala + +

Sikap bahu Simetris

Mengangkat bahu + -

Trofi otot bahu Normal Normal

N.XII Sikap lidah Tenang

Artikulasi Baik

Tremor lidah -

Page 8: Lapkas Neurologi

Menjulurkan lidah + +

Trofi otot lidah Normal

Fasikulasi lidah -

Leher : kaku kuduk (-), meningeal sign (-)

Ekstremitas :

G K

Tr Tn

RF RP Cl - / -

Sensibilitas (protopatik,proprioseptif) : sensibilitas baik

Vegetatif : Baik

1.3 Diagnosis

Diagnosis klinis : Penurunan kesadaran

Diagnosis topik : Ekstradura

Diagnosis etiologik : Cedera Kepala Berat, ekstradura hematom (EDH)

1.4 Tatalaksana

a. Non Medikamentosa :

- Observasi tanda vital seperti tekanan darah, nadi, frekuensi napas, dan suhu

- Observasi tanda-tanda neurologis pasien seperti GCS, bentuk, ukuran, dan reaksi

pupil terhadap cahaya, kekuatan motorik.

- Penjelasan kepada pasien dan keluarga mengenai kondisi, tata laksana, dan

prognosis

- Memberikan dukungan dan edukasi pasien

000

-- --

-- - -

--++++

++ --++

000

000 000

000

000

000

000

Page 9: Lapkas Neurologi

- Tirah baring dan pencegahan dekubitus

- Kateterisasi

- Pemasangan NGT

b. Medikamentosa :

- Terapi cairan IV: Infus RL 20 tpm

- Injeksi Ketorolak Drip

- Injeksi Piracetam 3x3gr IV

- Injeksi Seftriakson 3x1 gr IV

- Ranitidin 3x1ampul

- Asam traneksamat 3x500 mg

c. Rencana Follow Up :

- Pantau kesadaran dan tanda vital

- Pantau defisit neurologik

- Pantau status gizi

- Pantau keseimbangan cairan

- Pantau terjadinya ulkus dekubitus

1.5 Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad functionam : dubia ad bonam

Ad sanactionam : dubia ad bonam

Page 10: Lapkas Neurologi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cedera Kepala

2.1.1 Definisi

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara

langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan

fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau

permanent.1 Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah

suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif

dan fungsi fisik.2

2.1.2 Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan

mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di

rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera

kepala ringan (CKR), 10% termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10%

sisanya adalah cedera kepala berat (CKB).3 Insiden cedera kepala terutama terjadi

pada kelompok usia produktif antara 15-4 tahun. Kecelakaan lalu lintas

merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28% lainnya

karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan, kegiatan olahraga

dan rekreasi.4 Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah

satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap,

terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB.

Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS,

sedangkan untuk CKR tidak ada yang meninggal.1

2.1.3 Klasifikasi

Page 11: Lapkas Neurologi

Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga

jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya

cedera kepala serta berdasar morfologi.1

Klasifikasi cedera kepala:1

A. Berdasarkan mekanisme

1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh,

atau pukulan benda tumpul.

2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda

tumpul.

B. Berdasarkan beratnya

1. Ringan (GCS 14-15)

2. Sedang (GCS 9-13)

3. Berat (GCS 3-8)

C. Berdasarkan morfologi

1. Fraktura tengkorak

a. Kalvaria

1) Linear atau stelata

2) Depressed atau nondepressed

3) Terbuka atau tertutup

b. Dasar tengkorak

1) Dengan atau tanpa kebocoran CNS

2) Dengan atau tanpa paresis N VII

2. Lesi intracranial

a. Fokal

1) Epidural

2) Subdural

3) Intraserebral

b. Difusa

1) Komosio ringan

2) Komosio klasik

3) Cedera aksonal difusa

Page 12: Lapkas Neurologi

2.1.4 Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu

cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala

sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan

langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-

deselarasi gerakan kepala.5 Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi

peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya

benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada

daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut

contrecoup.1 Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara

mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak

(substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak

lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa

otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari

benturan (contrecoup).6

Gambar 1. Coup dan countercoup7

Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis

yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa

perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan

tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.6

Page 13: Lapkas Neurologi

2.1.5 Patofisiologi Cedera Kepala

a. Fraktura Tengkorak

Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada fraktur

kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau stelata, depressed

atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos

dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan

lokasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan

tengkorak (> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi.

Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung

antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura

ini memerlukan operasi perbaikan segera.8

Frekuensi fraktura tengkorak bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan

bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera

berat. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar

400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.

Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400

kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk

alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah

sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut.3

b. Lesi Intrakranial

Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau

kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma

epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien

pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal

namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular

cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun terakhir ini.3

2.2 Lesi Fokal

2.2.1 Hematoma Epidural

Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk di ruang potensial antara

tabula interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau

Page 14: Lapkas Neurologi

temporalparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan

biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena

pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya

sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma

epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma

cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.

Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya

biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum

operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9%

pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.6,8

2.2.2 Hematoma Subdural

Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi di antara duramater dan

arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30%

penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena

bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan

dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau

tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya

sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas

umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera

dan pengelolaan medis agresif.8

2.2.3.Kontusi dan hematoma intraserebral.

Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya, kontusi otak

hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi

terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat

termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma

intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun, terdapat zona

peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral

dalam beberapa hari.8

Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan

(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan

otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam

Page 15: Lapkas Neurologi

jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan

temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi

lainnya (countrecoup). Defisit neurologi yang didapatkan sangat bervariasi dan

tergantung pada lokasi dan luas perdarahan.9

2.3 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi

anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis dan pemeriksaan

radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang harus ditanyakan adalah

mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik secara lengkap dapat dilakukan

bersamaan dengan secondary survey. Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem

organ.9 Penilaian GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting

untuk menilai derajat kegawatan cedera kepala.4 Pemeriksaan neurologis, selain

pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam, mencakup pemeriksaan fungsi

batang otak, saraf kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik, dan refleksrefleks.9

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah

rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan

lateral.9 Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan, terutama bila

dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup bermakna, amnesia, atau sakit

kepala hebat.3 Indikasi pemeriksaan CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :9

1. Bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala sedang dan

berat.

2. Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak

3. Adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii

4. Adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan kesadaran

5. Sakit kepala yang hebat

6. Adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi jaringan otak

7. Kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.

Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa

cedera kepala ringan, sedang, atau berat.3 Tidak semua pasien cedera kepala perlu

di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain :9

Page 16: Lapkas Neurologi

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer

dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang

diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure,

yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala

khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk

mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.3

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh

kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara

umum digunakan panduan sebagai berikut :9

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial atau

lebih dari 20 cc di daerah infratentorial

2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta gejala

dan tanda fokal neurologis semakin berat

3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat

4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm

5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan

7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak

8. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

Page 17: Lapkas Neurologi

BAB III

PEMBAHASAN

Ny. C mengalami cedera kepala berat. Hal ini dikarenakan pada saat dibawa

ke RS Ny. C memiliki nilai GCS 4 dimana berdasarkan klasifikasi cedera kepala

menurut beratnya pasien dengan GCS 3-8 dapat dikatakan mengalami cedera

kepala berat.

Pada Ny. C cedera kepala merupakan cedera primer yang diakibatkan oleh

adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup.

Dengan bantuan CT-scan terlihat adanya perdarahan pada epidural sehingga dapat

disimpulkan penurunan kesadaran pada Ny. C disebabkan karena terjadinya

perdarahan pada epidural.

Pada kasus ini perdarahan yang terjadi terbentuk di ruang potensial antara tabula

interna dan duramater. Paling sering terletak diregio temporal atau temporalparietal

dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Perdarahan biasanya

dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada

sepertiga kasus. Dan pada kasus ini terjadi interval lucid yaitu mula-mula tidak sadar,

lalu menjadi sadar dan kahirnya menjadi tidak sadar yang merupakan ciri khas namun

tidak patognomonik untuk ekstradura hematom. Disamping itu, pada kasus tidak

terjadi hemiparese dan dilatasi pupil pada pasien.

Selama dirawat di rumah sakit kondisi neurologis Ny. C mengalami

perbaikan. Tanda-tanda vital dan neurologis semakin membaik. Terdapat

peningkatan nilai GCS terutama setelah dilakukan craniotomy.

Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya

biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum

operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9%

pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.

Rekomendasi terapi yang diberikan adalah infus RL, ketorolak, piracetam,

ranitidine, asam traneksamat dan seftriakson. Ringer laktat diberikan mengingat

kondisi pasien yang tidak dapat minum sehingga sangat beresiko untuk terjadi

Page 18: Lapkas Neurologi

dehidrasi. Ringer laktat merupakan cairan kristaloid yang bersifat isotonis dan

berfungsi untuk menjaga keseimbangan cairan tubuh pada pasien.

Untuk mencegah nyeri yang sering dikeluhkan oleh pasien maka diberikan

ketoroloak. Ketorolak merupakan suatu analgesik non-narkotik. Obat ini

merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas antipiretik

yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac menghambat sintesis prostaglandin dan

dapat dianggap sebagai analgesik yang bekerja perifer karena tidak mempunyai

efek terhadap reseptor opiat. Mulai timbulnya efek analgesia setelah pemberian

kira-kira 30 menit, dengan maksimum analgesia tercapai dalam 1 hingga 2 jam.

Durasi median analgesia umumnya 4 sampai 6 jam

Untuk menjaga dan memperbaiki saraf pasien diberikan piracetam dan

citicolin. Piracetam merupakan golongan nootropic agents yang bekerja dengan

cara meningkatkan fungsi neurotransmiter kolinergik, menstimulasi glikolisis

oksidatif, meningkatkan konsumsi oksigen pada otak, serta mempengaruhi

pengaturan cerebrovaskular dan juga mempunyai efek antitrombotik. Sehingga

pemberian piracetam diharapkan akan merangsang transmisi sel-sel saraf,

merangsang metabolisme otak, dan memperbaiki mikrovaskular tanpa efek

vasodilatasi.

Karena pada pasien terdapat luka-luka dan post craniotomi sehingga

diperlukan pemberian antibiotik untuk mencegah terjadinya infeksi secara

sistemik yang dapat menyebabkan perburukan kondisi pasien. Antibiotik yang

direkomendasikan untuk pasien ini adalah seftriakson. Seftriakson adalah

antibiotik golongan sepalosporin generasi ketiga. Seftriakson bekerja dengan cara

menghambat sintesis peptidoglycan yang diperlukan kuman sehingga sel

mengalami lisis dan sel bakteri akan mati. Seftriakson sangat stabil terhadap

bakhteri penghasil beta laktamase,  penisilinase dan cefalosporinase bakhteri

garam negative dan bakteri gram positif. Selain itu diberikan ranitidine sebagai

proteksi lambung karena penggunaan obat dalam jangka waktu lama yang

memiliki efek samping ke lambung. Dan pemeberian asam traneksamat yang

merupakan antifibrinolitik dikarenakan Ny. C post craniotomy untuk mencegah

terjadinya perdarahan.

Page 19: Lapkas Neurologi

Selain itu juga perlu dilakukan follow-up terhadap kesadaran dan tanda vital,

defisit neurologik, status gizi, keseimbangan cairan, fokus infeksi di lecet pada

kulit yang terjadi untuk memantau dan mencegah perburukan dari pasien. Lecet

pada kullit yang terjadi pada pasien dapat berkembang menjadi ulkus dekubitus.

Ulkus dekubitus dapat dicegah dengan cara mengubah posisi pasien minimal dua

jam sekali untuk mengurangi tekanan, melindungi bagian tubuh yang tulangnya

menonjol dengan bahan-bahan yang lembut, mengkonsumsi makanan sehat

dengan zat gizi yang seimbang, dan menjaga kebersihan dan kekeringan kulit.

Page 20: Lapkas Neurologi

DAFTAR PUSTAKA

1. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury.

Http://www.biausa.org [diakses 12 Oktober 2012]

2. American College of Surgeon Committee on Trauma. Cedera Kepala. Dalam :

3. Advanced Trauma Life Support fo Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia.

Komisi trauma IKABI, 2004.

4. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma. Dalam :

5. Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.

6. Gennarelli TA, Meaney DF. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:

Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill, 1996.

7. Hickey JV. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of

Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot

William & Wilkins, 2003.

8. Findlaw Medical Demonstrative Evidence. Closed head traumatic brain injury.

9. Http://findlaw.doereport.com [diakses 12 Oktober 2012]

10. Saanin S. Cedera Kepala. Http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery. [diakses

12 Oktober 2012]

11. Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan. Cedera Kepala. Jakarta :

Deltacitra Grafindo, 2005.