Upload
cdma-sity-ssi
View
188
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan salah satu bentuk keganasan kepala
dan leher yang mempunyai karakteristik yang khas baik secara histologi,
epidemiologi dan biologi. Karsinoma nasofaring paling banyak dijumpai di antara
tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima
besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah kepala dan leher
menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada
nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi
epitel skuamosa.
Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai saat ini masih merupakan suatu
masalah, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas
serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.
Seringkali pembesaran kelenjar getah bening leher ditemukan sebagai gejala pertama.
Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang
dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup
tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan kemoterapi yang
dikombinasikan dengan radioterapi.
Untuk kedepannya, peningkatkan pengetahuan para tenaga kesehatan sangat
penting dengan tujuan agar dapat mendiagnosis karsinoma nasofaring asecara dini,
sehingga penatalaksanaan dapat diberikan lebih dini dan prognosis menjadi lebih
baik.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Anatomi
Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung, di atas palatum molle.
Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh korpus ossis sphenoidalis,
basis occiput dan ruas pertama tulang belakang. Kumpulan jaringan limfoid
yang disebut tonsila faringeal terdapat di dalam submukosa daerah ini. Dasar
dibentuk oleh permukaan atas palatum molle. Dinding anterior dibentuk oleh
aperture nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum nasi.1
Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan
dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.
Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke
faring dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma
yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping dari torus
tubarius merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa
rosenmuller. Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft
palatum.1
1.2. Histologi
Mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel bersilia respiratory type5.
Setelah 10 tahun kehidupan, epitel secara lambat laun bertransformasi menjadi
epitel nonkeratinizing squamous, kecuali pada beberapa area (transition zone).
Mukosa membentuk invaginasi membentuk crypta. Stroma kaya akan jaringan
limfoid dan terkadang dijumpai jaringan limfoid yang reaktif. Epitel
permukaan dan kripta sering diinfiltrasi dengan sel radang limfosit dan
terkadang merusak epitel membentuk reticulated pattern. Kelenjar
seromucinous dapat juga dijumpai, tetapi tidak sebanyak yang terdapat pada
rongga hidung.
1.3. Definisi Karsinoma Nasofaring
2
Karsinoma nasofaring adalah karsinoma yang terjadi pada lapisan
epitel di nasofaring. Tumor ini menunjukkan derajat diferensiasi yang
bervariasi dan sering tampak pada fossa Rosenmuller.2
1.4. Epidemiologi Karsinoma Nasofaring
Meskipun banyak ditemukan di Negara dengan penduduk non-
Mongoloid, namun demikian daerah Cina Selatan masih menduduki tempat
tertinggi , yaitu dengan 2.500 kasus baru/ tahun untuk provinsi Guang-dong
atau prevalensi 39.84/ 100.000 penduduk.3
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya kangker
nasofaring. Frekuensi tertinggi ditemukan pada Cina di Hong Kong, diikuti
Singapura dan Filipina. Sedangkan di Osaka (Japan) dan Bombay (India)
sangat jarang.sehingga kekerapan cukup tinggi pada penduduk CIna bagian
selatan, hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura dan Indonesia.
Ditemukan cukup banyak kasus di Yunani, Afrika bagian utara dan Alaska.4
Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas
yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga ,
Hidung dan Tenggorok (THT). Di Indonesia frekuensi penderita ini hampir
merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr.Cipto Mangunkusumo Jakarta saja
ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS Hasan Sadikin Bandung rata-rata
60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, Denpasar 15 kasus,
di Padang dan Bukit Tinggi 11 kasus. Demikian pula angka-angka yang
didapatkan di Medan, Semarang, Surabaya dan daerah lain menunjukkan
bahwa tumor ganas ini terdapat merata di Indonesia. Prevalensi KNF di
Indonesia 3,9 per 100.000 penduduk pertahun.3
Penderita karsinoma nasofaring lebih sering dijumpai pada pria
dibanding pada wanita dengan rasio 2-3 : 1. Penyakit ini ditemukan terutama
pada usia yang masih produktif ( 30-60 tahun ), dengan usia terbanyak adalah
40-50 tahun.3
1.5. Etiologi Karsinoma Nasofaring
3
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, Karena pada semua pasien karsinoma nasofaring
didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr yang cukup tinggi. Titer ini lebih
tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya,
tumor organ tubuh lainnya bahkan pada kelainan nasofaring yang lain
sekalipun.3
Namun infeksi virus ini bukanlah satu-satunya factor penyebab.
Sekarang ini, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa etiologi KNF adalah
multifaktor, termasuk genetik dan lingkungan.
Berbagai faktor lingkungan dan agent yang termasuk dalam etiologi
karsinoma nasofaring adalah; bahan kimia (tembakau, obat-obatan, jamu-
jamuan, produk tanaman, makanan atau diet seperti ikan asin, nitrosamin,
makanan fermentasi), kebiasaan memasak (asap bakaran dan uap), praktek
keagamaan (dupa cina dan harum-haruman), terpapar lingkungan kerja (uap
dan kimia industri, partikel logam, debu kayu, formaldehid), dan lain-lain
(status ekonomi, defisiensi gizi, logam seperti arsenik, kromium, dan nikel).
Infeksi Virus Epstein Barr
Virus ini pertama kali ditemukan oleh Epstein dan Barr pada tahun
1960 dalam biakan sel limfoblas dari pasien limfoma Burkitt. Virus ini
merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes
(Herpesviridae) yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa
penyakit yaitu, mononukleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt
dan KNF. Genom DNA VEB mengandung 172 kbp dan memiliki kandungan
guanin-plus-sitosin sebesar 59%. Melalui tempat replikasinya di orofaring,
VEB dapat menginfeksi limfosit B yang immortal, sebagai virus laten pada sel
ini, menetap pada pasien yang terinfeksi tanpa menyebabkan suatu penyakit
yang berarti.2
Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara
karsinoma nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV).
Serum pasien-pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring
primer maupun sekunder telah dibuktikan mengandung antibody Ig G
terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB dan seringkali pula terhadap antigen
dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA (VCA-IgA), sering dengan titer
yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien di Amerika yang
4
mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini
berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi
(undifferentiated) dan karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non-
keratinizing) yang aktif (dengan mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak
berhubung dengan tumor sel skuamosa atau elemen limfoid dalam
limfoepitelioma.2
Faktor Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu
relatif lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi
menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim
sitokrom p4502E (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring, mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma
nasofaring.
Faktor Makanan
Ho (1971) yang pertama kali menghubungkan ikan yang diasinkan
yang merupakan makanan kegemaran penduduk Cina Selatan kemungkinan
sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya KNF. Teori ini didasarkan atas
insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan tradisionil di Hongkong
yang mengkonsumsi ikan yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang
mengkonsumsi vitamin, sayur dan buah segar.
Penelitian di Hongkong tahun 1986 menyebutkan bahwa dari 250
pasien KNF dibawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata mengkonsumsi
ikan asin semenjak usia di bawah 10 tahun.Kebiasaan makan ikan yang
diasinkan ini juga terdapat pada penduduk keturunan Cina yang beremigrasi
ke Negara lain seperti Malaysia Timur (Kadazans) dan negara Asia Tenggara
lainnya. Zat nitrosamin juga didapati pada makanan yang dikonsumsi
masyarakat Tunisia, Cina Selatan, dan Greenland dimana angka kejadian KNF
cukup tinggi. Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa makanan yang
mengandung nitrosamin dan nitrit yang dikonsumsi semasa kecil mempunyai
resiko untuk terjadinya KNF pada umur dewasa.2
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya KNF adalah
iritasi oleh bahan kimia, asap sejenis kayu tertentu, kebiasaan memasak
5
dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan kebiasan makan makanan yang
terlalu panas. Terdapat hubungan antara kadar nikel dalam air minum dan
makanan dengan mortalitas karsinoma nasofaring, sedangkan hubungan
dengan keganasan lain tidak jelas.3
1.6. Manifestasi Klinis
Gejala pada karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi:
a. Gejala hidung
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga apabila terjadi iritasi ringan
dapat terjadi epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang,
biasanya jumlahnya sedikit bercampur dengan ingus, sehingga berwarna
merah jambu. Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat
pertumbuhan tumor kedalam rongga nasofaring dan menutupi koana.
Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai dengan
gangguan penciuman dan adanya ingus kental.
b. Gejala telinga
Pada umumnya tumor bermula di fosa Rosenmuller dan pertumbuhannya
dapat menyebabkan penyumbatan muara tuba eustakhius. Pasien
mengeluh rasa penuh ditelinga, rasa berdengung kadang-kadang disertai
dengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat
dini dari karsinoma nasofaring. Perlu diperhatikan jika gejala ini
menetap atau sering timbul tanpa penyebab yang jelas, tidak jarang
pasien dengan gangguan pendengaran ini baru menyadari bahwa
penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.
c. Gejala mata dan saraf
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui
beberapa lubang, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi
sebagai gejala lanjut karsinoma ini. Penjalaran melalui foramen laserum
akan mengenai saraf otak ke III, IV, V, dan VI sehingga gejala klinis
pasien adalah gangguan oftalmologi seperti diplopia atau keterbatasan
gerakan bola mata. Neuralgia trigeminal merupakan gejala yang sering
ditemukan oleh ahli saraf jika belum terdapat keluhan lain yang berarti.
Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X,XI,XII
jika penjalaran melalui foramen jugulare. Dapat pula terjadi sindrom
6
retroparotidian,yaitu terjadi akibat kelumpuhan n.IX,X,XI, dan XII.
Manifestasi kelumpuhan ialah :
n.IX :Kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor
superior serta gangguan pengecap pada sepertiga belakang
lidah.
n.X :Hiper/hipo/anastesi mukosa palatum mole, faring dan
laring disertai gangguan respirasi.
n.XI:Kelumpuhan atau atropi otot-otot trapezius,
sternokleidomastoideus, serta hemiparesis palatum mole.
n.XII :Hemiparalisis dan atropi sebelah lidah.
Biasanya beberapa saraf otak terkena secara unilateral, tetapi pada
beberapa kasus pernah ditemukan bilateral. Nervus VII dan VIII, karena
letaknya agak tinggi serta terletak dalam kanalis tulang, sangat jarang
terkena tumor.
d. Gejala di leher
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar
limfe leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan
pertahanan pertama agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke
bagian tubuh yang lebih jauh. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh
dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak
sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini tidak
dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-
sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai
otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan.
Keadaaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati
servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke
dokter.
1.7. Diagnosis
Diagnosis Karsinoma Nasofaring ditegakkan dengan:
a. Anamnesis
Keluhan penderita karsinoma nasofaring sangat bervariasi. Pada stadium
dini keluhan sering tidak menimbulkan kecurigaan atas adanya tumor
ini. Keluhan tersebut biasanya berupa keluhan telinga, hidung atau
7
keduanya. Pada stadium lanjut, kecurigaan pada penyakit ini akan mudah
timbul dan sering ditemukan ialah pembesaran kelenjar limfe leher,
gejala kelainan saraf kranial atau gejala akibat metastase jauh yang
sangat berat dirasakan pasien.
b. Pemeriksaan Nasofaring
Nasofaring merupakan daerah yang tersembunyai atau daerah buta.
Karsinoma nasofaring biasanya berasal dari lapisan epitel fossa
Rosenmuller, biasanya bersembunyi di dekat muara tuba eustakhius.
Pemeriksaan nasofaring secara konvensional adalah dengan
menggunakan kaca rinoskopi posterior. Pemeriksaan yang lebih
sempurna adalah dengan menggunakan nasofaringoskopi baik yang
fleksibel maupun yang kaku.
c. Biopsi nasofaring
Biopsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung dan dari
mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (
blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung
menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke
lateral dan dilakukan biopsi. Biopsi melalui mulut dengan memakai
bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung
kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-
sama dengan ujung kateter yang dihidung. Demikian juga dengan kateter
disebelahnya sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan
kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat
tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi
tumor nasofaring umunya dilakukan dengan anestesi topikal dengan
xylocain 10%. 3
d. Radiologi
Tujuan utama pemeriksaan radiologi adalah untuk memberikan diagnosis
yang lebih pasti pada kecurigaan adanya carcinoma pada daerah
nasopharynx, menetukan lokasi yang lebih tepat dari carcinoma tersebut,
mencari dan menentukan luasnya penyebaran carcinoma ke jaringan
sekitarnya.
8
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-
Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang
tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto
tengkorak potongan anteroposterior, lateral dan Waters menunjukan
massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak
memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri
media.
e. Serologi
Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang
berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar dari
pemeriksaan serologis ini. Pemeriksaan antibodi yang banyak dipakai
dan diyakini paling menyokong adalah immunoglobulin A (lgA)
terhadap virus Epstein Barr (Epstein Barr virus / EBV) spesifik untuk
kapsul virus (viral capsid antigen / VCA) dan antigen awal (early antigen
/ EA). IgA EBV VCA mempunyai sensitifitas / kepekaan yang tinggi
tetapi tingkat spesifitasnya kurang terutama pada titer yang rendah,
sedangkan lgA EBV EA nilai sensifitasnya/kepekaannya kurang tetapi
lebih spesifik dan titernya akan menurun mendekati normal pada
karsinoma nasofaring stadium lanjut dan titer yang tinggi dapat
merupakan indikator karsinoma nasofaring. Antibodi ini hanya meninggi
pada penderita karsinoma nasofaring tipe WHO-2 (non keratinizing
carcinoma) dan tipe WHO-3 (undifferentiated carcinoma), sedangkan
pada tipe WHO-1 (Squamous cell carcinoma) tidak ditemukan atau pun
kalau ada dalam titer yang rendah.
1.8. Histopatologi
Menurut WHO terdapat tiga bentuk histopatologi Karsinoma
Nasofaring, yaitu:3
WHO Tipe 1 : Karsinoma sel skuamosa keratinisasi
9
WHO Tipe 2 : Karsinoma sel skuamosa tanpa keratinisasi
WHO Tipe 3 : Karsinoma sel tidak berdiferensiasi
1.9. Stadium 3
Untuk penentuan stadium dipakai sistem TNM menurut UICC (2002).
10
T = Tumor primer
T0 = tidak tampak tumor
T1 = tumor terbatas di nasofaring
T2 = tumor meluas ke jaringan lunak
T2a = perluasan tumor ke orofaring dan atau rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring
T2b = disertai perluasan ke parafaring
T3 = tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal
T4 = tumor dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf
kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator.
N = pembesaran kelenjar getah bening regional
Nx = pembesaran kelenjar getah bening tidak dapat dinilai
N0 = tidak ada pembesaran
N1 = metastasi kelenjar getah bening unilateral, dengan ukuran terbesar
kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula.
N2 = metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar
kurang atau sama dengan 6 cm, di atas fossa supraklavikula.
N3 = metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran lebih besar
dari 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula.
N3a = ukuran lebih dari 6 cm
N3b = terletak di dalam fossa supraklavikula
M = metastasis jauh
Mx = metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 = tidak ada metastasis jauh
M1 = terdapat metastasis jauh
Stadium 0 = T1s N0 M0
Stadium I = T1 N0 M0
Stadium IIA = T2a N0 M0
Stadium IIB = T1 N1 M0
T2a N1 M0
11
T2b N0,N1 M0
Stadium III = T1 N2 M0
T2a,T2b N2 M0
T3 N2 M0
Stadium IVa = T4 N0,N1,N2, M0
Stadium IVb = Semua T N3 M0
Stadium IVc = Semua T semua N M1
1.10. Tatalaksana
1. Radioterapi
Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada
penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan
tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin,
faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua
pengobatan tambahan ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi
masih tetap terbaik sebagai terpai adjuvant (tambahan). 3
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna dan interna. Radiasi
eksterna bisa menghancurkan hampir semua jenis kanker dan bisa dijalani oleh
pasien rawat jalan (tidak perlu opname). Juga bisa digunakan untuk
menghilangkan nyeri dan gangguan lain yang lazim dialami oleh penderita
kanker yang sudah metastase (menyebar). 5
Radiasi ini dapat menggunakan pesawat kobal (Co60 ) atau dengan
akselerator linier(linier Accelerator atau linac). Radiasi pada jaringan
dapat menimbulkan ionisasi air dan elektrolit dari cairan tubuh baik intra
maupun ekstra seluler, sehingga timbul ion H+ danOH- yang sangat
reaktif. Ion itu dapat bereaksi dengan molekul DNA dalam
kromosom,sehingga dapat terjadi :
1. Rantai ganda DNA pecah
2. Perubahan cross-linkage dalam rantai DNA
3. Perubahan base yang menyebabkan degenerasi atau kematian sel.
Radiasi interna ( Brachytherapy ), Sumber radiasi berupa
susuk/implant berbentuk seperti kabel, pita, kapsul, kateter, atau butiran kecil
berisi isotop radioaktif iodine, strontium 89, fosfor, palladium, cesium,
iridium, fosfat, atau cobalt yang ditanamkan tepat di jaringan kanker atau di
12
dekatnya. Cara ini lebih efektif membunuh sel kanker sekaligus memperkecil
kerusakan jaringan sehat di sekitar sasaran radiasi.5
Radioisotope yang digunakan:
1. Sinar AlfaSinar alfa ialah sinar korpuskuler atau partikel dari inti atom.
Inti atom terdiridari proton dan neutron. Sinar ini tidak dapat menembus
kulit dan tidak banyak dipakai dalam radioterapi.
2. Sinar BetaSinar beta ialah sinar elektron. Sinar ini dipancarkan oleh zat
radioaktif yangmempunyai energi rendah. Daya tembusnya pada kulit
terbatas, 3-5 mm.Digunakan untuk terapi lesi yang superfisial.
3. Sinar Gamma Sinar gamma ialah sinar elektromagnetik atau foton. Sinar
ini dapatmenembus tubuh. Daya tembusnya tergantung dari besar energi
yangmenimbulkan sinar itu. Makin tinggi energinya atau makin tinggi
voltagenya,makin besar daya tembusnya dan makin dalam letak dosis
maksimalnya.
2. Kemoterapi
Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-
fluorouracil saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup
memuaskan. Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring
ternyata dapat meningkatkan hasil terapi, terutama diberikan pada stadium
lanjut atau pada keadaan kambuh.
Agen kemoterapi tidak hanya menyerang sel tumor tapi juga sel
normal yang membelah secara cepat seperti sel rambut, sumsum tulang dan sel
oada traktur gastrointestinal. Akibat yang timbul bisa berupa perdarahan
depresi sum-sum tulang yang memudahkan terjadinya infeksi. Pada
traktus gastro intestinal bisa terjadi mual, muntah anoreksia dan ulserasi
saluran cerna. Sedangkan pada sel rambut mengakibatkan kerontokan rambut.
Folikel rambut, mukosa saluran pencernaan mudah terkena efek obat
sitostatika. Untungnya sel kanker menjalani siklus lebih lama dari sel normal,
sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh sitostatika dan sel normal lebih
cepat pulih dari pada sel kanker.
Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi
praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping
yang cukup berat, tetapi memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik.
13
Kombinasi kemoterapi dengan mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari
sebelum diberikan radiasi yang bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil
yang memberi harapan akan kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring.
Berdasarkan saat pemberiannya kemoterapi adjuvan pada
tumor ganas kepala leher dibagi menjadi :
- Neoadjuvant atau induction chemotherapy ( yaitu pemberian kemoterapi
mendahului pembedahan dan radiasi).
- Concurrent, simultaneous atau atau concomitant chemoradiotheraphy
(diberikan bersamaan dengan penyinaran atau operasi).
- post definitive chemotherapy (sebagai terapi tambahan paska pembedahan
dan atau radiasi ).
Respon dapat dinilai menggunakan petunjuk dari buku WHO
handbook for reporting results of cancer treatment:
- Complete response: tumor menghilang yang ditentukan oleh 2 orang
observer < 4 minggu
- Partial response: ukuran total tumor mengecil > 50% yang ditentukan oleh
2 observer < 4 minggu dan tidak ditemukan adanya lesi yang baru.
- No Change: ukuran total tumor mengecil < 50 % atau ditemukan
peningkatan ukuran tumor > 25%
- Progressive disease: didapatkan peningkatan > 25% ukuran tumor atau
adanya lesi baru.
3. Kemoradiasi
Kemoradioterapi kombinasi adalah pemberian kemoterapi bersamaan
dengan radioterapi. dalam rangka mengontrol tumor secara lokoregional dan
meningkatkan survival pasien dengan ara mengatasi sel kanker secara sistemik
lewat mikrosirkulasi.
Manfaat pemberian kemoterapi adjuvan antara lain :
1. Mengecilkan massa tumor, karena dengan mengecilkan tumor
akan memberikan hasil terapi radiasi lebih efektif. Telah diketahui
bahwa pusat tumor terisi sel hipoksik dan radioterapi konvensional tidak
14
efektif jika tidak terdapat oksigen. Pengurangan massa tumor akan
menyebabkan pula berkurangnya jumlah sel hipoksia.
2. Mengontrol metastasis jauh dan mengontrol mokrometastase.
3. Modifikasi molekul DNA oleh kemoterapi menyebabkan sel lebih
sensitive terhadap radiasi yang diberikan ( radiosensitizer)
Terapi kombinasi ini selain bisa mengontrol sel tumor yang
radioresisten, memiliki manfaat radioresisten, juga untuk menghambat
pertumbuhan kembali sel tumor yang sudah sempat terpapar radiasi.
4. Operasi
Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap
benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul
kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah
hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi
sisa tumor induk (residu) atau kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering
timbul komplikasi yang berat akibat operasi.3
Diseksi leher adalah tindakan untuk membuang kelenjar limfe leher
dan jaringan sekitarnya dalam rangka penatalaksanaan kanker. Jaringan-
jaringan yang dibuang dipertimbangkan situasional sesuai kondisi klinis
pasien, dengan berbagai pertimbangan sehingga diseksi leher ini ada berbagai
macam variasi berdasarkan strukur-strukur yang dibuang.6
Tujuan diseksi leher adalah untuk menghilangkan sel kanker yang
berada pada kelenjar limfe serta untuk melakukan diagnostik pemeriksaan
kelenjar limfe yang diambil. Dari penelitian dinyatakan apabila masih
didapatkan pembesaran kelenjar limfe leher pada karsinoma yang berasal dari
traktus respiratorius ataupun traktus digestivus bagian atas maka akan
mempengaruhi survival sampai 50 %. Hal ini merupakan tantangan bagi
klinisi dengan segala pertimbangan untuk melakukan diseksi leher dengan
segala konsekuensi dan kontroversi yang mengiringinya.6
Klasifikasi yang dipakai secara luas adalah klasifikasi menurut
American Head and Neck Society dengan pembagian sbb :
1. Diseksi leher radikal (RND) : melakukan pembuangan kelenjar leher
pada level I-V, termasuk struktur non kelenjar yaitu vena jugularis interna,
m. sternokleidomastoid dan nervus spinasi asesori.
15
2. Diseksi Leher Modifikasi (MND) : seperti RND masih menyisakan satu
atau dua dianata v. jugularis interna, m. sternokleido mastoid dan nervus
aspinalis asesori.
3. Diseksi Leher selektif (SND) : Menyisakan satu atau lebih grup dari
kelenjar limfe leher dan tetap mempertahankan 3 strukur non limfari
diatas.
4. Diseksi leher diperluas (Extended ND) : seperti RND namun juga
membuang kelenjar leher diluar grup level I-V dan atau beberapa struktur
diluar struktur non limfatik diatas.
Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan
radiasi. Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor
maupun minor sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain
menasihatkan pasien untuk makan dengan banyak kuah, membawa minuman
kemanapun pergi dan mencoba memakan dan mengunyah bahan yang rasa
asam sehingga merangsang keluarnya air liur. Gangguan lain adalah mukositis
rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah leher karena fibrosis jaringan
akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang
muntah atau rasa mual.3
16
Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan
lengkap dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif).
Dapat pula timbul metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru,
hati, otak. Pada kedua keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis
yang dapat diberikan selain pengobatan simtomatis untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya meninggal dalam keadaan umum yang
buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring yang tidak dapat dihentikan dan
terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis tumor.3
1.11. Prognosis
Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada
pertumbuhan lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi
cenderung lebih agresif daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi,
walau metastase limfatik dan hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang
disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila dijumpai limfadenopati, stadium
lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus berkeratinasi. Prognosis juga
diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang
Sangat mencolok perbedaan prognosis (angka bertahan hidup 5 tahun)
dari stadium awal dengan stadium lanjut, yaitu 76,9% untuk stadium I, 56,0%
untuk stadium II, 38,4% untuk stadium III dan hanya 16,4% untuk stadium
IV.3
BAB III
PENYAJIAN KASUS
I. ANAMNESIS
Identitas
Nama : Ny. T
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 55 tahun
Alamat : Jl. Danau Sentarum, Gg Mufakat, No 19 A, Pontianak
Pekerjaan : -
17
Anamnesis dilakukan pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 16.50 WIB
Keluhan Utama
Hidung tersumbat dan benjolan pada leher sebelah kiri.
Riwayat Penyakit Sekarang
Ny. T mengeluh hidung sebelah kiri terasa tersumbat dan adanya benjolan
pada leher sebelah kiri sebesar telur puyuh tidak sakit, keras dan tidak bisa
digerakkan. Keluhan tersebut yang membawa pasien ke dokter tahun 2009 lalu.
Pasien didiagnosa menderita karsinoma nasofaring pada tahun tersebut setelah
menjalani beberapa pemeriksaan ( nasofaringoskopi, biopsi, patologi anatomi dan
radiologi).
Keluhan pertama saat datang adalah hidung kiri terasa tersumbat dan adanya
benjolan di leher kiri yang mulai muncul sejak bulan Februari 2009, berukuran
sebesar telur puyuh yang semakin lama semakin membesar.tidak sakit, keras, tidak
bisa digerakkan. Keluhan lainnya adalah pasien mengeluh telinga kiri terasa
berdengung.
Saran radioterapi tidak dilakukan pasien, hingga tahun 2011 pasien mengeluh
wajah bagian kiri pasien terasa sebal dan terdapat gangguan pada mata kiri pasien
(penglihatan ganda). Suara serak (-)
Akhirnya pada taun 2011 pasien menjalani kemoterapi tahap pertama dan
setelah dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil berupa benjolan di leher sebelah kiri
yang masih ada namun dengan ukuran yang lebih kecil (1-2 cm) dan tumor primer
masih ada. Pada tanggal 14 juni 2012 lalu pasien menjalani kemoterapi tahap kedua
untuk pertama kali (direncanakan 6 x kemoterapi). Pasien mengeluh rambut menjadi
rontok, pusing , mual, tidak napsu makan dan lemah pasca menjalani kemoterapi.
Pusing dan mual di rasakan sangat mengganggu.
Pasien senang mengkonsumsi ikan asin, mengkonsumsi sejak kecil. Bekerja
sebagai nelayan + selama 28 tahun.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Namun saat
pasien remaja, mengaku pernah mengalami infeksi pada telinga yang mengeluarkan
18
caira berwarna putih namun tidak diobati. Riwayat Hipertensi (+). Riwayat penyakit
lain (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa.
II. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal 20 Juni 2012 pukul 17.00 WIB
STATUS GENERALIS
Keadaan umum : Baik
Tan da-tanda vital :
Tekanan darah : 130/100
Frekuensi nadi : 80
Frekuensi napas : 24
Suhu : 36,3 oC
Mata : konjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Leher : terdapat pembesaran limfonodi servikal
superfisialis kiri ɵ 1-2 cm, teraba keras, nyeri tekan
(-), dan tidak dapat digerakkan.
Jantung : bunyi jantung I/II normal, murmur (-), gallop (-)
Paru : bunyi dasar vesikular, rhonki (-/-) , wheezing (-/-)
STATUS LOKALIS
Telinga
Inspeksi, Palpasi
Telinga kanan Telinga kiri
Aurikula Hiperemis : -
Edema : -
Massa : -
Hiperemis : -
Edema : -
Massa : -
Preaurikula Hiperemis : - Fistula : -
Edema : -
Hiperemis : - Fistula : -
Edema : -
19
Massa : - Massa : -
Retroaurikula Hiperemis : - Fistula : -
Edema : -
Massa : -
Hiperemis : - Fistula : -
Edema : -
Massa : -
Palpasi Nyeri pergerakan : -
Nyeri tekan tragus : -
Nyeri tekan aurikula : -
Nyeri pergerakan : -
Nyeri tekan tragus : -
Nyeri tekan aurikula : -
Otoskopi :
Telinga kanan Telinga kiri
MAE Edema : -
Hiperemis : -
Massa : -
Furunkel : -
Sekret : -
Serumen : +
Edema : -
Hiperemis : -
Massa : -
Furunkel : -
Sekret : -
Serumen : -
Membran
Timpani
Perforasi : -
Warna : -
Hiperemis : -
Refleks Cahaya : +
Perforasi : -
Warna : -
Hiperemis : -
Refleks Cahaya : +
Hidung dan Sinus Paranasal
Inspeksi, Palpasi :
- Kemerahan pada daerah hidung (-)
- Deviasi tulang hidung (-)
- Bengkak daerah hidung (-) dan sinus paranasal (-)
- Krepitasi tulang hidung (-), nyeri tekan hidung (+) dan sinus paranasal (frontal
(-); maksilaris (-); ethmoidalis (-))
Rinoskopi Anterior :
20
Rinoskopi anterior Cavum nasi dextra Cavum nasi sinistra
Mukosa hidung Hiperemis : -
Massa : -
Sekret : -
Atrofi : -
Mukus : -
Pucat : -
Hiperemis : -
Massa : -
Sekret : -
Atrofi : -
Mukus : -
Pucat : -
Septum Deviasi : -
Dislokasi : -
Deviasi : -
Dislokasi : -
Konka inferior dan
media
Hipertrofi : -
Atrofi : -
Sekret : -
Hipertrofi : -
Atrofi : -
Sekret :
Meatus inferior dan
media
Sekret : -
Polip : -
Sekret : +
Polip : -
Rinoskopi Posterior : -
Tenggorokan
Inspeksi, Palpasi :
Mukosa Orofaring : -
Hiperemis : -
Massa : -
Nyeri : -
Tonsil T1 / T1
Laringoskopi Indirek : tidak dilakukan.
III. RESUME
Ny. T mengeluh hidung sebelah kiri terasa tersumbat dan adanya benjolan
pada leher sebelah kiri tahun 2009 lalu. Benjolan berukuran sebesar telur puyuh yang
semakin lama semakin membesar tidak sakit, keras dan tidak bisa digerakkan.
Kemudian pasien didiagnosa menderita karsinoma nasofaring di tahun tersebut
setelah menjalani beberapa pemeriksaan (nasofaringoskopi, biopsi, patologi anatomi,
21
radiologi). Keluhan lainnya adalah pasien mengeluh telinga kiri terasa berdengung
yang berlangsung hingga sekarang.
Pasien tidak menjalani terapi yang disarankan, hingga pada tahun 2011 pasien
mengeluh wajah bagian kiri pasien terasa sebal dan terdapat penglihatan ganda dan
membawanya ke dokter kembali. Suara serak (-)
Pada tahun 2011 pasien menjalani kemoterapi tahap pertama dengan hasil
berupa benjolan di leher sebelah kiri yang masih ada namun dengan ukuran yang
lebih kecil (1-2 cm) dan tumor primer masih ada. Pada tanggal 14 juni 2012 lalu
pasien menjalani kemoterapi tahap kedua untuk pertama kali. Pasien mengeluh
rambut menjadi rontok, pusing , mual, tidak napsu makan dan lemah pasca menjalani
kemoterapi.
Pasien senang mengkonsumsi ikan asin, mengkonsumsi sejak kecil. Bekerja
sebagai nelayan + selama 28 tahun.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat
Hipertensi (+). Riwayat penyakit lain (-)
.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT Scan : massa pada daerah nasofaring kiri, massa pada leher kiri. Invasi ke
jaringan lunak dan tulang tidak ditemukan.
Rencana pemeriksaan tambahan:
o Hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit
o Foto Thoraks
o Foto Abdomen
V. DIAGNOSIS
Diagnosis kerja : Karsinoma nasofaring stadium IV ( T4 N0,N1,N2 M0)
Diagnosis banding : -
VI. TATALAKSANA
Non Medikamentosa :
Tirah baring
Diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein) konsistensi lunak
22
Medikamentosa :
Cisplatin 50 mg/m2/hari
Paxus 30 mg/m2/hari
Ondansentron 2 x 8mg
VII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
Ny. T mengeluh hidung sebelah kiri terasa tersumbat dan adanya benjolan
pada leher sebelah kiri sebesar telur puyuh tidak sakit, keras dan tidak bisa
digerakkan. Keluhan tersebut yang membawa pasien ke dokter tahun 2009 lalu.
Keluhan pada pasien ini merupakan keluhan yang sering dialami pasien karsinoma
nasofaring. Gejala awal KNF tidak khas bahkan lebih banyak mirip dengan gejala
rhinitis ataupun sinusitis. Keluhan penderita baru tampak jelas saat tumor sudah
membesar dan sudah berada pada stadium lanjut, ini disebabkan sulitnya pemeriksaan
23
nasofaring karena letak anatomisnya yang berada didaerah cekungan yng sulit untuk
dijangkau.
Adapun gejala-gejala yang biasa dikeluhkan oleh penderita KNF antara lain
adanya benjolan dileher(76%), gangguan di hidung (73%), gangguan telinga (62%),
sakit kepala (35%), penglihatan ganda (11%), rasa kebas diwajah (8%), penurunan
berat badan (7%) dan trismus (3%). Pasien didiagnosa menderita karsinoma
nasofaring pada tahun tersebut setelah menjalani beberapa pemeriksaan (biopsi,
radiologi).
Saran radioterapi tidak dilakukan pasien, hingga tahun 2011 pasien mengeluh
wajah bagian kiri pasien terasa sebal dan terdapat gangguan pada mata kiri pasien
(penglihatan ganda). Hal tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi penyebaran
kangker ke saraf otak yang biasanya melalui foramen laserum dan mengenai grup
anterior saraf otak yaitu n.II s/d n.VI. Perluasan ke atas lebih sering ditemukan di
Indonesia, tersering mengenai n.VI dengan keluhan berupa diplopia, kemudian n.V
cabang 1 dengan keluhan berupa hipestesia pipi/wajah.
Melalui aliran pembuluh limfe, sel-sel kanker dapat sampai di kelenjar limfe
leher dan tertahan di sana karena memang kelenjar ini merupakan pertahanan pertama
agar sel-sel kanker tidak langsung mengalir ke bagian tubuh yang lebih jauh. Di
dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar
menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini
tidak dirasakan nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Untuk stadium yang
lebih lanjut, sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai
otot dibawahnya.
Karena pasien mengabaikan pengobatan yang harusnya beliau lakukan,
keadaan pasien menjadi lebih buruk dengan adanya peningkatan stadium kangker
( stadium II menjadi stadium IV) dimana kanker telah menyebar mengenai saraf otak.
Akhirnya pada taun 2011 pasien menjalani kemoterapi tahap pertama dan setelah
dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil benjolan pada leher yang ukurannya menjadi
lebih kecil 1-2 cm namun tumor primer masih ada. Pada tanggal 14 juni 2012 lalu
menjalani kemoterapi tahap kekedua (direncanakan 6 x kemoterapi).
Keluhan yang dialami pasien paca kemoterapi adalah efek samping dari
kemoterapi itu sendiri yang pada pasien ini berupa rambut menjadi rontok, pusing,
lemah, hilangnya napsu makan, mual dan muntah.
24
Rontok/ alopecia adalah keadaan hilangnya rambut secara sementara atau permanen.
Obat kemoterapi atau obat lain tertentu merusak DNA dari stem cell, akibatnya terjadi
atrophy dari folikel rambut yang berakibat lemah, brittle hair yang akan berakibat tercabutnya
dari scalp. Rontoknya rambut yang peling sering terjadi adalah rambut dikepala
Hilangnya napsu makan/ anoreksia dapat terjadi dan menyebabkan turunnya berat badan
bahkan dapat terjadi malnutrisi. Selain itu dapat pula terjadi perubahan pengecapan, dapat disebabkan
oleh:
Tingginya“mitotic rate”dari sel-sel indra pengecapan yang akansangat sensitif
terhadap obat kemoterapi.
Adanya nausea dan vomiting
Adanya stomatitis
Efek samping lain adalah mual dan muntah (nausea dan vomiting). Nausea
adalah perasaan subyektif atas rasa tidak enak dilambungakibat rangsangan dari area di
medulla yang biasanya erat kaitannyadengan vomiting. Sedangkan vomiting sendiri
adalah pengeluaran isilambung atau jejunum melalui mulut, secara kuat dan
disemprotkan.Biasanya disertai dengan kondisi air liur berlebihan, takikardi sebelumterjadi
vomiting, bradikardi pada waktu terjadi vomiting, penurunantekanan darah, pusing, dan
pucat.
Untuk keluhan lain biasanya dapat berupa stomatitis dan dysphagia. Gejala
system GI biasanya bermula dari mulut, yang mana pada daerah ini terdapat
pembelahan sel yang cepat (efek samping kemoterapi terlihat disini). Kemoterapi
akan menyebabkan iritasi sampai inflamasi dimukosa mulut, ysng diberi nama
stomatitis dan bila berkelanjutan dapat menyebabkan kesulitan menelan (dysphagia). Stomatitis
menyebabkan nyeri, ulkus, perdarahan, dan terjadi infeksi sekunder.
Diare adalah keluarnya tinja lunak atau cair disertai/ tanpadisertai rasa tidak
enak. Hal ini disebabkan karena destruksi dari sel-sel mukosa gastrointestinal
yang aktif membelah sehingga fungsi pencernaaan dan absorbsi teerganggu.
Karsinoma nasofaring yang diderita pasien sudah mencapai stadium IV. Untuk
menentukan adanya metastasis jauh diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti foto
thoraks dan foto abdomen. Dan diperlukan pemeriksaan laboratorium berkala untuk
menilai kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit selama pasien menjalani
kemoterapi.
25
Tatalaksananya dapat berupa nonmedikamentosa dan medikamentosa. Pada
pasien dapat disarankan untuk tirah baring dan diet tinggi kalori tinggi lemak dengan
konsistensi lunak. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP), yang sering juga disebut
dengan diet Energi Tinggi Protein Tinggi (ETPT) yaitu diet yang mengandung energi
dan protein di atas kebutuhan normal. Pemberian diet TKTP ini bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan
mengurangi kerusakan jaringan tubuh, dan untuk menambah berat badan hingga
mencapai berat badan normal.
Kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Kemoterapi dilakukan dengan
pemberian cisplatin 50 mg yang dikombinasikan dengan paxus 30 mg. Untuk
mengurangi rasa mual dan muntah akibat kemoterapi diberikan ondansentron.
BAB V
KESIMPULAN
Pasien Ny. T, Perempuan, 50 tahun dengan keluhan hidung tersumbat dan
benjolan di leher sebelah kiri. Pasien didiagnosis karsinoma nasofaring stadium IV
berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Tatalaksana pada pasien berupa tatalaksana nonmedikamentosa dan medikamentosa.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Snell, Richard S. Anatomi Kepala dan Leher dalam Anatomi Klinik Untuk
Mahasiswa Kedokteran. Edisi keenam. Jakarta: EGC. Hal: 796
2. Nasution II. 2007. Hubungan Merokok dengan Karsinoma Nasofaring. Medan:
FK USU. Tesis
27
3. Soepardi EA, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. edisi keenam. Jakarta: FKUI
4. Pringgoutomo, Sudarto. Bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Beberapa
Segi epidemiologi Pola Penyakit Kanker di Berbagai Benua
5. Radioterapi. http://id.wikipedia.org/wiki/Radioterapi
6. Kartikawati, Henny. 2007. Diseksi Leher. Bagian IK THT-KL FK Undip Rs Dr.
Kariadi Semarang
28