28
TUTORI L LEARNING OBJECTIVE “KECELAKAAN LALU LINTAS” DISUSUN OLEH : Nama Mahasiswa : SLAMET WAHID KASTURY Stambuk : G 501 10 005 Kelompok : 3 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TADULAKO PALU 2014

Lalu Lintas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lalu Lintas

TUTORI L

LEARNING OBJECTIVE

“KECELAKAAN LALU LINTAS”

DISUSUN OLEH :

Nama Mahasiswa : SLAMET WAHID KASTURY

Stambuk : G 501 10 005

Kelompok : 3

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS TADULAKOPALU2014

Page 2: Lalu Lintas

Learning objective Scenario 2 blok 21

“kecelakaan lalu lntas”

1. Sistem rujukan dokter umum untuk kasus emergencyJawabanDalam hal rujukan, jika kemampuan dari dokter di rumah sakit tersebut tidak memadai atau keadaan dimana sarana dari rumah sakit tidak banyak membantu maka sebaiknya dirujuk ke rumah sakit dengan Unit penagan intensif (intensif care unit), unit ini merupakan rantai akhir dari penanggulangan penderita dalam sistem critical cara medicine.

Referensi

Purwadiato, agus & Budi Sampurna, 2000, kedaruratan medis edisi revisi, Binarupa Aksara, Jakrata

2. Mekanisme distress respirasi JawabanDistress respirasi disebabkan oleh desakan dari penumpukan udara pada rongga pleura sehingga paru-paru yang terdesak akan menjadi kolaps. Penderita dengan dengan trauma dada, fokus utama yang kita perhatikan pada breathing, gejala harus dapat ditangani pada awal penilaian. Defek pada dindng dada yang merobek pleura parietal, sehingga udara dapat masuk kedalam rongga pleura. Terjadinya hubungan antara udara pada rongga pleura dan udara dilingkungan luar, sehingga menyebabkan samanya tekanan pada rongga pleura dengan udara di diatmosper. Jika ini didiamkan akan sangat membahayakan pada penderita. Dikatakan pada beberapa literatur jika sebuah defek atau perlukaan pada dinding dada lebih besar 2/3 dari diameter trakea ini akan menyebabkan udara akan masuk melalui perlukaan ini, disebabkan tekana yang lebih kecil dari trakea. Akibat masuknya udara lingkungan luar kedalam rongga pleura ini, berlangsung lama kolaps paru tak terhindarkan, dan berlanjut gangguan ventilasi dan perfusi oksigen kejaringan berkurang sehingga menyebabkan sianosis sampai distress respirasi.

Referensi

Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakara: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

3. Tanda & gejala cedera maxillo facial beserta derajatnyaDerajat cedera Maxillofacial

Trauma maksilofasial dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu trauma

jaringan keras wajah dan trauma jaringan lunak wajah. Trauma jaringan lunak biasanya

Page 3: Lalu Lintas

disebabkan trauma benda tajam, akibat pecahan kaca pada kecelakaan lalu lintas atau pisau

dan golok pada perkelahian.

a. Trauma jaringan lunak wajah

Luka adalah kerusakan anatomi, diskontinuitas suatu jaringan oleh karena trauma dari

luar.Trauma pada jaringan lunak wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :

1. Berdasarkan jenis luka dan penyebab

a. Ekskoriasi

b. Luka sayat (vulnus scissum), luka robek(vulnus laceratum) , luka tusuk

(vulnus punctum)

c. Luka bakar (combustio)

d. Luka tembak (Vulnus Sclopetorum)

2. Berdasarkan ada atau tidaknya kehilangan jaringan

a. Skin Avulsion & Skin Loss

3. Dikaitkan dengan unit estetik

Menguntungkan atau tidak menguntungkan, dikaitkan dengan garis Langer.

Gambar 1. (A) Laserasi yang menyilang garis Langer

tidak menguntungkan mengakibatkan penyembuhan

yang secara kosmetik jelek. B. Insisi fasial ditempatkan

sejajar dengan garis Langer (Pedersen GW. Buku ajar

praktis bedah mulut (Oral surgery). Alih bahasa

Purwanto, Basoeseno. Jakarta:EGC, 1987)

4. Berdasarkan Derajat Kontaminasi

a. Luka Bersih.

Luka Sayat Elektif.

Steril Potensial Terinfeksi.

Tidak ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur

elementarius, dan traktur genitourinarius.

b. Luka Bersih Tercemar.

Luka sayat elektif.

Potensial terinfeksi : Spillage minimal, Flora normal.

Page 4: Lalu Lintas

Kontak dengan orofaring, traktus respiratorius, traktur elementarius,

dan traktur genitourinarius.

Proses penyembuhan lebih lama.

c. Luka Tercemar.

Potensi terinfeksi Spillage traktur elementarius, dan traktur

genitourinarius dan kandung empedu.

Luka trauma baru : laserasi,fraktur terbuka dan luka penetrasi.

d. Luka Kotor.

Akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi.

Perforasi viscera,abses dan trauma lama.

b. Trauma Jaringan Keras Wajah

Klasifikasi trauma pada jaringan keras wajah di lihat dari fraktur tulang yang terjadi dan dalam hal ini tidak ada klasifikasi yg definitif. Secara umum dilihat dari terminologinya Trauma pada jarinagan keras wajah dapat diklasifikasikan berdasarkan :1. Dibedakan berdasarkan lokasi anatomic dan estetik.

a. Berdiri Sendiri : Fraktur frontal, orbita, nasal, zigomatikum, maxilla,

mandibulla, gigi dan alveolus.

b. Bersifat Multiple : Fraktur kompleks zigoma, fronto nasal dan fraktur

kompleks mandibula

2. Dibedakan berdasarkan kekhususan.

a. Fraktur blow-out (fraktur tulang dasar orbita).

b. Fraktur Le Fort I, Le Fort II, dan Le Fort III.

c. Fraktur segmental mandibula.

Page 5: Lalu Lintas

Le Fort I (Transverse Maxillary = Guirin Fracture): Garis fraktur melalui diatas barisan akar gigi, palatum.

Le Fort II ( Pyramidal Fracture): Garis fraktur melalui os nasal, tulang-tulang lakrimal,  rima orbita inferior, dasar orbita dan padazygomaticomaxillary (dibatasi oleh tepi atas orbita dan tepi bawah baris gigiatas yaitu bagian maksila).

Le Fort III (Craniofacial disjunction / Floating maxillae): Garis-garis fraktur melalui zygomaticofrontal, maxillofrontal dan nasofrontal.

Gambar 4. (A). Le Fort I, Le Fort II, Le Fort III (pandangan anterior) (B). Le Fort I, Le Fort

II, Le Fort III (pandangan sagital) (London PS. The anatomy of injury and its surgical

implication, London: Butterworth-Heinemana Ltd. 1991:5)

Manifestasi Klinis

Gejala klinis gejala dan tanda trauma maksilofasial dapat berupa :

1. Dislokasi,berupa perubahan posisi yg menyebabkan mal oklusi terutama pada fraktur

mandibula.

2. Pergerakan yang abnormal pada sisi fraktur.

3. Rasa nyeri pada sisi fraktur.

4. Perdarahan pada daerah fraktur yang dapat menyumbat saluran napas.

5. Pembengkakan dan memar pada sisi fraktur sehingga dapat menentukan lokasi daerah

fraktur.

6. Krepitasi berupa suara pada saat pemeriksaan akibat pergeseran dari ujung tulang

yang fraktur.

7. Laserasi yg terjadi pada daerah gusi, mukosa mulut dan daerah sekitar fraktur.

8. Numbness, kelumpuhan dari bibir bawah, biasanya bila fraktur terjadi di bawah

nervus alveolaris.

9. Pada fraktur orbita dapat dijumpai penglihatan kabur atau ganda, penurunan

pergerakan bola mata dan penurunan visus.

Referensi

Mansjoer A Suprohaita.Wardhani WI,Setiowulan. 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakara: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syaiful Saanin. 2010, Cedera Kepala. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Sumatra Barat. Diakses dari: http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Penyerta.html

Page 6: Lalu Lintas

5. Komplikasi dari cedera maxillofacial Jawaban

Komplikasi yang paling sering timbul berupa:

a. Aspirasi.

b. Gangguan Airway.

c. Scars.

d. Deformitas wajah sekunder permanen akibat pengobatan yang tidak tepat.

e. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah,

bau, rasa.

f. Kronis sinusitis.

g. Infeksi.

h. Gizi Buruk & Penurunan Berat badan.

i. Fraktur non union atau mal union.

j. Mal oklusi.

k. Perdarahan.

Referensi

Tania Parsa,MD. 2010, Initial Evaluation and Management of Maxillofacial Injuries. Attending Physician, Eastern Maine Medical Center.E medicine Journal

6. Penanganan cedera maxillofacialJawaban

Penatalaksanaan awal pada pasien dengan kecurigaan trauma masilofasial yaitu

meliputi :

1. Periksa Kesadaran pasien.

2. Perhatikan secara cermat wajah pasien :

Apakah asimetris atau tidak.

Apakah hidung dan wajahnya menjadi lebih pipih.

3. Apakah ada Hematoma :

Page 7: Lalu Lintas

a. Fraktur Zygomatikus

Terjadi hematoma yang mengelilingi orbita, berkembang secara cepat

sebagai permukaan yang bersambungan secara seragam.

Periksa mulut bagian dalam dan periksa juga sulkus bukal atas apakah ada

hematoma, nyeri tekan dan krepitasi pada dinding zigomatikus.

b. Fraktur nasal

Terdapat hematoma yang mengelilingi orbita, paling berat ke arah medial.

c. Fraktur Orbita

Apakah mata pasien cekung kedalam atau kebawah ?

Apakah sejajar atau bergeser ?

Apakah pasien bisa melihat ?

Apakah dijumpai diplopia ?

d. Fraktur pada wajah dan tulang kepala.

Raba secara cermat seluruh bagian kepala dan wajah : nyeri tekan,

deformitas, iregularitas dan krepitasi.

Raba tulang zigomatikus, tepi orbita, palatum dan tulang hidung, pada

fraktur Le Fort tipe II atau III banyak fragmen tulang kecil sub cutis pada

regio ethmoid. Pada pemeriksaan ini jika rahang tidak menutup secara

sempurna berarti pada rahang sudah terjadi fraktur.

e. Cedera saraf

Uji anestesi pada wajah ( saraf infra orbita) dan geraham atas (saraf gigi

atas).

f. Cedera gigi

Raba giginya dan usahakan menggoyangkan gigi bergerak abnormal dan

juga disekitarnya.

2. Palatum Mole tertarik ke arah lidah

Kait dengan jari tangan anda mengelilingi bagian belakang palatum

durum, dan tarik tulang wajah bag tengah dengan lembut kearah atas dan

depan memperbaiki jalan napas dan sirkulasi mata. Reduksi ini

diperlukan pengetahuan dan ketrampilan yang baik juga gaya yang besar

jika fraktur terjepit dan jika reduksi tidak berhasil lakukan Tracheostomi.

Page 8: Lalu Lintas

Untuk melepaskan himpitan tulang pegang alveolus maksilaris dengan

forcep khusus (Rowe’s) atau forcep bergerigi tajam yang kuat dan

goyangkan

3. Jika lidah atau rahang bawah jatuh ke arah belakang

Lakukan beberapa jahitan atau jepitkan handuk melaluinya, dan secara

lembut tarik kearah depan, lebih membantu jika posisi pasien berbaring,

saat evakuasi sebaiknya dibaringkan pada salah satu sisi.

Catatan : jika pernapasan membahayakan dan perlu dirujuk maka sebaiknya

dilakukan tracheostomi, tetapi jika perlu dilakukan pembebasan airway segera

dilakukan krikotirodotomi.

4. Jika cedera rahang yang berat dan kehilangan banyak jaringan

Pada saat mengangkutnya, baringkan pasien dengan kepala pada salah

satu ujung sisi dan dahinya ditopang dengan pembalut diantara

pegangan.

5. Jika pasien merasakan lebih enak dengan posisi duduk

Biarkan posisi demikian mungkin jalan napas akan

membaik dengan cepat ketika ia melakukannya.

Hisap mulutnya dari sumbatan bekuan darah.

Jalan napas buatan (OPA, ETT) mungkin tidak membantu.

6. Jika hidungnya cedera parah dan berdarah

Hisap bersih (suction) dan pasang NPA atau pipa karet tebal yang sejenis

ke satu sisi.

Indikasi dilakukan Tracheostomi Jika :

1. Tidak dapat melepaskan himpitan fraktur atau mereduksi fraktur

pada sepertiga wajah pasien.

2. Tidak dapat mengontrol perdarahan yang berat.

3. Edema glotis.

4. Cedera berat dengan kehilangan banyak jaringan.

Jika terjadi Perdarahan :

Ikat pembuluh darah yang besar atau jika terjadi perdarahan yang sulit

gunakan tampon yang direndam adrenalin yang dipakai untuk ngedep

perdarahan yang hebat. Tampon post nasal selalu dapat menghentikan

perdarahan, Jika perlu gunakan jahitan hemostasis sementara.

Tujuan Perawatan pasien trauma maksilofasial :

Page 9: Lalu Lintas

1. Memperbaiki jalan napas.

2. Mengontrol perdarahan.

3. Dapat menggigit secara normal reduksi akan sempurna.

4. Cegah deformitas reduksi pada fraktur hidung dan zigoma.

7. Pemeriksaan Intra Oral.

Yang harus di perhatikan pada saat melakukan pemeriksaan intra oral adalah

adanya floating pada susunan tulang-tulang wajah, seperti :

Mandibular floating.

Maxillar floating.

Zygomaticum floating.

Yang dimaksud dengan floating disini adalah keadaan dimana salah satu dari

struktur tulang diatas terasa seperti melayang saat dilakukan palpasi, jika terbukti

adanya floating, berarti ada kerusakan atau fraktur pada tulang tersebut.

Pasien dengan trauma maksilofasial harus dikelola dengan segera, dimana dituntut

tindakan diagnostik yang cepat dan pada saat yang sama juga diperlukan juga tindakan

resusitasi yang cepat. Resusitasi mengandung prosedur dan teknik terencana untuk

mengembalikan pulmonary alveolaris ventilasi, sirkulasi dan tekanan darah yang efektif

dan untuk memperbaiki efek yang merugikan lainya dari trauma maksilofasial. Tindakan

pertama yang dilakukan ialah tindakan Primary Survey yang meliputi pemeriksaan vital

sign secara cermat, efisien dan cepat. Kegagalan dalam melakukan salah satu tindakan ini

dengan baik dapat berakibat fatal.

Jadi secara umum dapat disimpulkan, penderita trauma maksilofasial dapat dibagi dalam

2 kelompok :

Kelompok perlukaan maksilofasial sekunder pada relative trauma kecil, misalnya dipukul

atau ditendang, dapat di terapi pada intermediate atau area terapi biasa pada ruang gawat

darurat.

Kelompok perlukaan maksilofasial berat sekunder kedalam trauma tumpul berat,

misalnya penurunan kondisi secara cepat dari kecelakaan lalulintas atau jatuh dari

ketinggian, harus diterapi di tempat perawatan kritis pada instalasi gawat darurat :

1. Trauma maksilofasial berat harus di rawat di ruang resusitasi atau kritis area

diikuti dengan teknik ATLS.

2. Yakinkan dan jaga potensi jalan napas dengan immobilisasi tulang leher.

Page 10: Lalu Lintas

a. Setengah duduk jika tidak ada kecurigaan perlukaan spinal, atau jika

penderita perlu melakukannya.

b. Jaw trush dan chin lift.

c. Traksi lidah : Dengan jari,O-slik suture atau dengan handuk

3. Endotrakel intubasi : oral intubasi sadar atau RSI atau krikotiroidotomi

4. Berikan oksigenasi yang adekuat .

5. Monitor tanda vital setiap 5 – 10 menit, EKG, cek pulse oximetry.

6. Pasang 1 atau 2 infus perifer dengan jarum besar untuk pengantian cairan.

7. Laboratorium : Crossmatch golongan darah, darah lengkap, ureum / elektrolit /

kreatinin.

8. Fasilitas penghentian perdarahan yang berlangsung.

a. Penekanan langsung.

Jepitan hidung,Tampon hidung atau tenggorokan.

b. Bahan haemostatic asam tranexamid (cyclokapron).

Dosis : 25mg/kg BB IV bolus pelan selam 5 – 10 menit.

Beberapa pegangan pada bedah plastik dapat digunakan dalam menangani trauma dan

luka pada wajah :

Asepsis.

Debridement, bersihkan seluruh kotoran dan benda asing.

Hemostasis, sedemikian rupa sehingga setetes darah pun tidak bersisa sesudah dijahit.

Hemat jaringan, hanya jaringan yang nekrosis saja yang boleh dieksisi dari pinggir luka.

Atraumatik, seluruh tindakan bedah dengan cara dan bahan atraumatik.

Approksimasi, penjahitan kedua belah sisi pinggir luka secara tepat dan teliti.

Non tensi, tidak boleh ada tegangan dan tarikan pinggir luka sesudah dijahit. Benang

hanya berfungsi sebagai pemegang.

Eksposur, luka sesudah dijahit sebaiknya dibiarkan terbuka karena penyembuhan dan

perawatan luka lebih baik, kecuali ditakutkan ada perdarahan di bawah luka yang harus

ditekan (pressure).

Perawatan Cedera maksilofasial

a. Jika pasien sadar.

Dudukkan pasien menghadap ke depan sehingga lidahnya, saliva dan darah mengalir

keluar.

Page 11: Lalu Lintas

b. Jika pasien tidak sadar

Saat perawatan perlu ditidurkan pada posisi recovery, hati – hati bila ada cedera lain

yang membahayakan.

Bila akan dilakukan operasi tetap siapkan sebagai operasi dengan general

anestesi.

Kebersihan dan desinfeksi. Jika sadar suruh untuk kumur – kumur dengan :

o Cairan kumur clorheksidin 0,5 %

o larutan garam 2 %

o jika tidak mungkin kumur dengan air bersih.

c. Obat-obatan

Tergantung dokter yang merawatnya,dengan pertimbangan kondisi dan keparahan

traumanya :

Antibiotika, diberikan golongan penisillin selama seminggu, harus diberikan

segera.

Jika terjadi kebocoran CSS diberikan sulfadimidin 1 gr setiap 6 jam s/d 48

jam. Kebocoran berhenti secara spontan. Kebocoran tidak boleh di hentikan.

Jika gelisah berikan diazepam.

Berikan anti tetanus jika diperlukan.

Referensi

Annonimous. 2010, Maxillofacial Trauma. Diakses dari : http://www.healthofchildren.com/M/Maxillofacial-Trauma.html.

Eliastam M,Sternbach GL,Blesler MJ. 1998, Penuntun Kedaruratan Medis. Alih Bahasa Humardja Santasa.5th ed.. Jakarta : EGC.

Woodruff M,Berry HE. 1966, Surgery For Dental Student.4 th ed . Newyork : Blackwell Scientific Publication. Hal:156 -68

7. Jelaskan tentang kondisi emergency dari gangguan penapasan dan penanganannya Jawaban

Tension Pneumothorax

Page 12: Lalu Lintas

Adalah pneumotoraks yang disertai peningkatan tekanan intra toraks yang semakin lama

semakin bertambah (progresif). Pada pneumotoraks tension ditemukan mekanisme ventil

(udara dapat masuk dengan mudah, tetapi tidak dapat keluar).

Ciri:

Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi : kolaps total paru,

mediastinal shift (pendorongan mediastinum ke kontralateral), deviasi trakhea → venous

return ↓ → hipotensi & respiratory distress berat.

Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,

JVP ↑, asimetris statis & dinamis

Merupakan keadaan life-threatening → tdk perlu Ro

Penatalaksanaan:

1. Dekompresi segera: large-bore needle insertion (sela iga II, linea mid-klavikula)

2. WSD

Open Pneumothorax

Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar dan

masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan tekanan

udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound. Terjadi kolaps total paru.

Penatalaksanaan:

1. Luka tidak boleh ditutup rapat (dapat menciptakan mekanisme ventil)

2. Pasang WSD dahulu baru tutup luka

3. Singkirkan adanya perlukaan/laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.

4. Umumnya disertai dengan perdarahan (hematotoraks)

HEMATOTHORAX

Definisi: Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus

pada dada.

Sumber perdarahan umumnya berasal dari A. interkostalis atau A. mamaria interna. Perlu

diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien

hematotoraks dapat syok berat (kegagalan sirkulasi) tanpa terlihat adanya perdarahan

yang nyata, oleh karena perdarahan masif yang terjadi terkumpul di dalam rongga toraks.

Penampakan klinis yang ditemukan sesuai dengan besarnya perdarahan atau jumlah darah

yang terakumulasi. Perhatikan adanya tanda dan gejala instabilitas hemodinamik dan

depresi pernapasan

Pemeriksaan

Page 13: Lalu Lintas

Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)

Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru

Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks

Indikasi Operasi

Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD):

Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah

kejadian trauma.

Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut

Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut

Penatalaksanaan

Tujuan:

Evakuasi darah dan pengembangan paru secepatnya.

Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.

 Tindakan Bedah : WSD (pada 90% kasus) atau operasi torakotomi cito (eksplorasi) untuk

menghentikan perdarahan

Referensi

Wim De Jong,Sjamsuhidajat. 2005, Buku ajar ilmu bedah, edisi 2 EGC : Jakarta

8. Jelaskan tentang obstruksi jalan napas (parsial ataupun total) beserta penanganannyaJawabanPenanganan jalan nafas terutama ditujukan pada penderita tidak sadar, yang memerlukan tindakan cepat sampai sumbatan teratasi. Sambil meminta pertolongan orang lain dengan cara berteriak kita harus tetap disamping penderita. Pertama-tama yang kita lakukan pada penderita tidak sadar dan mengalami sumbatan jalan nafas adalah ekstensi kepala karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah akan terangkat dari dinding belakang farings. Disamping ekstensi kepala kadang-kadang masih diperlukan pendorongan mandibula ke depan untuk membuka mulut karena kemungkinan adanya sumbatan pada hidung. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan mulut disebut gerak jalan nafas tripel (Safar). Orang yang tidak sadar rongga hidung dapat tersumbat selama ekspirasi, karena palatum mole bertindak sebagai katup (Sabiston, 2005).

Penanganan obstruksi jalan napas partial

Segera panggil bantuan

Page 14: Lalu Lintas

Lakukan hentakan mendadak dan keras pada titik silang garis antar belikat danpada titik silang garis antar belikat dan garis punggung tulang belakang garis punggung tulang belakang.

Rangkul korban dari belakang dengan kedua lengan dengan mempergunakan kepala dan kedua tangan, hentakan mendadak pada ulu hati (abdominal thrust). Hemlich Manuver

Ulangi hingga jalan napas bebas atau korban jatuh tidak sadar.

Penanganan obstruksi jalan napas total

Pasien tidak sadar

Tidurkan terlentang buka jalan napas. Beri napas dengan mulut ke mulut. Ulangi napas mulut ke mulut. Ulangi abdominal thrust 6-10 kali. Ulangi buka mulut, bersihkan mulut dengan jari/fingersweep. Ulangi periksa jalan napas. Ulangi abdominal thrust 5-7 kali hingga jalan napas bebas. Bila jalan napas tetap tersumbat pikirkan crichothyrotomy. Berikan segera oksigen pada pasien distress napas.

Referensi

David Sabiston, 2005. Buku ajar Bedah bagian 1. EGC, Jakarta.

9. Penanganan lanjutan pada kasus di skenario (obat-obatan maupun pembedahan)Jawaban

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara

dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada

prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :

1. Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan

rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura

tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan

tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial

tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk

pneumotoraks tertutup dan terbuka

2. Tindakan dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus

pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk

mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga

pleuradengan udara luar dengan cara:

Page 15: Lalu Lintas

a) Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan

demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi

negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut

b) Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :

1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam

rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan

tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka,

akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada

di dalam botol.

2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan

jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding

toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap

ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set.

Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem

penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung

infuse set yang berada di dalam botol

3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril,

dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan

bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah

yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada linea mid

aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela

iga ke-2 di garis mid klavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter

segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga

hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya

ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan

melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol

sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara

dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut. Penghisapan

dilakukan terus-menerus apabila tekanan intrapleura tetap positif.

Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20

cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah

mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali,

maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara

pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga

Page 16: Lalu Lintas

pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan

WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.

3. Torakoskopi

Suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu

torakoskop.

4. Torakotomi

5. Tindakan bedah

a) Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang

yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit

b) Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan

paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.

c) Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian

kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel

6. Non medikamentosa

a) Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan

terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT,

terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan

bronkodilator

b) Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat.

c) Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat

dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema

7. Rehabilitasi

a) Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan

secara tepat untuk penyakit dasarnya.

b) Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu

keras.

c) Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan

ringan.

d) Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak

napas.

Referensi

Page 17: Lalu Lintas

Prabowo A.Y. 2010. Water Seal Drainage pada pneumothorax post trauma dinding thorax.bagian ilmu penyakit dalam. RSUD Panembahan Senipati Bantul : 2010

Sudoyo et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed IV Jakarta : EGC

10. Tanda & gejala, serta tipe dari dari trauma pada thoraxJawaban

Trauma toraks dapat dibagi dalam dua kelompok besar, yaitu trauma tembus atau tumpul 

1. Trauma tembus (tajam)- Terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma- Terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, dsb) atau peluru- Sekitar 10-30% memerlukan operasi torakotomi.

 2. Trauma tumpul

- Tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks.- Terutama akibat kecelakaan lalu-lintas, terjatuh, olahraga, crush atau blast

injuries.- Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru- Sekitar <10% yang memerlukan operasi torakotomi

a. TRAUMA TUMPULTrauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus,kira-kiralebih

dari 90% trauma thoraks. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul: (1)transfer energi secara direk pada dinding dada dan organ thoraks dan (2) deselerasi deferensial, yang dialami oleh organ thoraks ketika terjadinya impak. Benturan yangsecara direk yang mengenai dinding torak dapat menyebabkan luka robek dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang seperti tulang iga. Cedera thoraks dengantekanan yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorakal sehinggamenyebabkan ruptur dari organ-organ yang berisi cairan atau gas.

b. TRAUMA TEMBUSTrauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan secara

direk yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau atau projectile, misalnya, akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan stretching dan crushing dan cedera biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan yang tembus pada jaringan. Berat ringannya cidera internal yang berlaku tergantung pada organ yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut.

11. Pemeriksaan laboratorium u/ kasus skenario

Page 18: Lalu Lintas

Jawabana. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto Rontgen

Gambaran radiologis yang tampak pada foto röntgen kasus pneumotoraks

antara lain:

a) Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan

tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps

tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus

paru.

b) Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang

berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali.

Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang

dikeluhkan.

c) Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals

melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada

pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar

telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

d) Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai

berikut:

1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung,

mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel

mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di

mediastinum.

2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal

ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang

tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah

yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak

jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara

yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut,

bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.

3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak

permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Page 19: Lalu Lintas

Foto Rontgen pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan anak

panah merupakan bagian paru yang kolaps.

2. Analisa Gas Darah

m e m b e r i k a n   g a m b a r a n hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien

sering tidakdiperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang beratsecara

signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%

3. CT-scan thorax

CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa

dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan

ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer

dan sekunder.

Referensi

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08PneumonatorakVentil101.pdf/

08PneumonatorakVentil101.html