42
Urbanisa(nk)si Sumber : Kompas, Selasa, 21 Oktober 2008 Oleh : Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah Razia terhadap pendatang baru ke Jakarta pasca-Lebaran sepertinya menjadi kegiatan rutin tahunan Pemda DKI Jakarta. Kegiatan itu selain dinilai tidak efektif juga mengundang reaksi beragam dari berbagai kalangan. Sebagian kalangan menilai pendatang baru memang perlu dibatasi. Alasannya, pendatang baru akan kian menambah kompleks permasalahan Jakarta karena kebutuhan 8,7 juta warganya belum sepenuhnya bisa dipenuhi Pemprov DKI Jakarta, seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan. Jumlah warga DKI sebenarnya jauh lebih besar lagi karena sebagian di antaranya tidak tercatat. PBB memperkirakan jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 13,2 juta jiwa, yang sekaligus menempatkan Jakarta sebagai kota dengan jumlah penduduk terbesar kesembilan di dunia setelah Tokyo, Mexico City, New York, Sao Paulo, Mumbai, New Delhi, Shanghai, dan Calcutta (UN, World Urbanization Prospects, 2006). Tidak sedikit kalangan yang mengkritisi adanya pembatasan urbanisasi ke Jakarta. Alasannya, pembatasan itu dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk menentukan pilihan bertempat tinggal. Selain melanggar HAM, pembatasan urbanisasi itu merupakan penyangkalan terhadap kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bukti empiris menunjukkan bahwa arus urbanisasi searah dengan konsentrasi pembangunan. Maka, konsentrasi pembangunan yang bias ke perkotaan, khususnya Jakarta, akan kian menarik pendatang baru. Fakta ini mengisyaratkan bahwa letak permasalahannya bukan pada urbanisasi, tetapi pada kebijakan pembangunan itu sendiri. Berdasarkan sejarah, momentum urbanisasi terjadi setelah Revolusi Industri yang berlokasi di perkotaan. Sebelum Revolusi Industri, persentase penduduk kota secara global tidak pernah mencapai angka di atas 5 persen (Yaukey, 1985). Namun kini, persentase penduduk kota telah mencapai sekitar 60 persen, dengan rincian persentase penduduk kota di negara-negara maju sekitar 80,8 persen dan negara berkembang sekitar 56,1 persen (UN, World Urbanization Prospects, 2006).

Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Urbanisa(nk)siSumber : Kompas, Selasa, 21 Oktober 2008Oleh : Razali Ritonga Kepala BPS Provinsi Sulawesi Tengah

Razia terhadap pendatang baru ke Jakarta pasca-Lebaran sepertinya menjadi kegiatan rutin tahunan Pemda DKI Jakarta. Kegiatan itu selain dinilai tidak efektif juga mengundang reaksi beragam dari berbagai kalangan.

Sebagian kalangan menilai pendatang baru memang perlu dibatasi. Alasannya, pendatang baru akan kian menambah kompleks permasalahan Jakarta karena kebutuhan 8,7 juta warganya belum sepenuhnya bisa dipenuhi Pemprov DKI Jakarta, seperti perumahan, air minum, pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.

Jumlah warga DKI sebenarnya jauh lebih besar lagi karena sebagian di antaranya tidak tercatat. PBB memperkirakan jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 13,2 juta jiwa, yang sekaligus menempatkan Jakarta sebagai kota dengan jumlah penduduk terbesar kesembilan di dunia setelah Tokyo, Mexico City, New York, Sao Paulo, Mumbai, New Delhi, Shanghai, dan Calcutta (UN, World Urbanization Prospects, 2006).

Tidak sedikit kalangan yang mengkritisi adanya pembatasan urbanisasi ke Jakarta. Alasannya, pembatasan itu dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM) untuk menentukan pilihan bertempat tinggal.

Selain melanggar HAM, pembatasan urbanisasi itu merupakan penyangkalan terhadap kebijakan pembangunan yang telah ditetapkan sebelumnya. Bukti empiris menunjukkan bahwa arus urbanisasi searah dengan konsentrasi pembangunan. Maka, konsentrasi pembangunan yang bias ke perkotaan, khususnya Jakarta, akan kian menarik pendatang baru. Fakta ini mengisyaratkan bahwa letak permasalahannya bukan pada urbanisasi, tetapi pada kebijakan pembangunan itu sendiri.

Berdasarkan sejarah, momentum urbanisasi terjadi setelah Revolusi Industri yang berlokasi di perkotaan. Sebelum Revolusi Industri, persentase penduduk kota secara global tidak pernah mencapai angka di atas 5 persen (Yaukey, 1985). Namun kini, persentase penduduk kota telah mencapai sekitar 60 persen, dengan rincian persentase penduduk kota di negara-negara maju sekitar 80,8 persen dan negara berkembang sekitar 56,1 persen (UN, World Urbanization Prospects, 2006).

Maka, dengan melihat kenyataan global itu tampaknya urbanisasi masih akan terus berlangsung. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa upaya apa pun yang dilakukan, termasuk razia dan pemberian sanksi terhadap pendatang baru, tidak akan efektif karena nyatanya urbanisasi akan terus berlangsung.

Kebijakan nasional

Celakanya, tingkat urbanisasi di Jakarta menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menyebabkan kemampuan Pemda DKI semakin kalah cepat dalam memenuhi kebutuhan warganya. Maka, perlu diambil langkah untuk mengatasi urbanisasi ke Jakarta, tetapi dengan catatan perlu dilakukan dengan cara-cara elegan dan manusiawi.

Page 2: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Namun, untuk mengatasi urbanisasi itu tampaknya tidak mungkin dapat dilakukan seluruhnya oleh Pemda DKI sehingga diperlukan pendekatan secara nasional. Sebab, tingginya tingkat urbanisasi ke Jakarta berkaitan dengan arah kebijakan pembangunan nasional.

Weller and Bouvier (1981) menyebutkan, ada tiga alternatif solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi urbanisasi. Solusi pertama, melarang penduduk pindah ke kota. Namun, cara ini dinilai otoriter. Celakanya, cara ini hampir sama dengan langkah yang diambil oleh Pemda DKI.

Dalam kasus ekstrem, China pernah berupaya tidak hanya melarang penduduk pindah ke kota, tetapi juga berupaya mengurangi tekanan penduduk kota. Hal itu dilakukan dengan cara memindahkan penduduk dari perkotaan ke pedesaan untuk bekerja selama beberapa waktu tertentu. Kebijakan sama pernah diterapkan Kamboja di bawah rezim Pol Pot.

Solusi kedua, menyeimbangkan pembangunan antara desa dan kota. Keseimbangan pembangunan itu bisa dicapai jika ada komitmen untuk melakukan pembangunan hampir semua sektor di pedesaan, seperti industri dan jasa. Selain itu, pemerintah perlu menata reforma agraria, memberdayakan masyarakat pedesaan dan membangun infrastruktur pedesaan.

Solusi ketiga, mengembangkan kota-kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara. Kajian itu didasarkan atas pemikiran bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik.

Lebih jauh, laporan itu menyebutkan bahwa kota menjadi tempat berlangsungnya transformasi hampir di semua aspek, ekonomi, sosial, demografi, dan lingkungan. Diperkirakan, kota-kota di negara-negara berkembang akan menjadi pusat perkembangan secara global pada masa datang; pertumbuhan ekonomi, pengentasan orang dari kemiskinan, kesetaraan jender, dan hak asasi manusia (UNFPA, The State of World Population Report, 2007).

Secara umum, semakin meningkat persentase penduduk suatu kota semakin meningkatkan produk domestik bruto dan capaian pembangunan manusia dari penduduk di kota itu. Namun, bukti empiris hubungan antara urbanisasi dan kemajuan itu bisa terwujud jika urbanisasi berada pada tingkat yang terkontrol (UNDP, Human Development Report, 2005).

Potensi pengembangan kota-kota di daerah tampaknya kini kian terbuka lebar seiring diberlakukannya otonomi daerah. Sebab, pemerintah daerah memiliki otoritas untuk mendesain pengembangan kota-kota di daerahnya secara mandiri.

Untuk mempercepat proses pengembangan kota, tampaknya diperlukan keterlibatan ketiga pilar utama, yakni pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Bagusnya, cara mengatasi masalah urbanisasi seperti itu bernuansa sangat manusiawi dibandingkan, misalnya, dengan penerapan sanksi.

Page 3: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Kebangkitan Revolusi Hijau KeduaPenulis: Razali Ritonga, Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik BPS

Kemajuan teknologi di bidang pertanian melahirkan revolusi hijau pertama pada 1968. Disebut revolusi hijau pertama karena aplikasi teknologi masih terbatas yang sesuai dengan lahan subur dan jenis tanaman tertentu, seperti padi, gandum, dan jagung. Sejumlah negara mengalami sukses setelah mengaplikasikan revolusi hijau pertama itu, khususnya China dan India.

Berkat kesuksesan revolusi hijau pertama itu, China, India, dan sejumlah negara lainnya berhasil mengurangi kemiskinan secara meyakinkan. Tidak sedikit penduduk yang terselamatkan dari serangan penyakit dan kematian yang mengakibatkan meningkatnya jumlah penduduk. Pada gilirannya, peningkatan jumlah penduduk itu menyebabkan bertambahnya angkatan kerja baru, melebihi ambang batas kemampuan dari revolusi hijau pertama. Ketersediaan lahan subur yang tersisa untuk digarap kian menipis. Pada taraf itu pengangguran dan kemiskinan kembali meningkat.

Sebenarnya masih tersisa lahan yang cukup luas untuk digarap, namun celakanya lahan itu kurang subur dan tidak cocok ditanami padi, gandum, dan jagung. Tambahan lagi, teknologi pertanian yang digunakan pada revolusi hijau pertama kurang sesuai diaplikasikan pada lahan yang kurang subur. Fenomena itu selanjutnya melahirkan revolusi hijau kedua. Jenis tanaman pada revolusi hijau kedua berbeda dengan jenis tanaman pada revolusi hijau pertama. Pada revolusi hijau kedua, jenis tanaman yang sesuai antara lain ketela dan shorgum. Tercatat, salah satu negara yang cukup berhasil menjalankan revolusi hijau kedua adalah Sri Lanka (UNDP, 1997).

Maka, di tengah maraknya persoalan kemiskinan dan pengangguran di Tanah Air, perlu terobosan untuk mengatasinya. Salah satu terobosan dimaksud adalah dengan mengaplikasikan revolusi hijau kedua.

Momentum kebangkitan

Aplikasi revolusi hijau kedua itu tampaknya cukup tepat untuk dilakukan karena adanya momentum meningkatnya harga minyak bumi. Jenis tanaman pada revolusi hijau kedua itu potensial secara ekonomis untuk keperluan bioenergi dan pakan ternak. Hal itu ditunjang oleh ketersediaan lahan yang sangat luas di Tanah Air yang kini belum diusahakan karena kurang subur. Berdasarkan hasil Survei Pertanian Tanaman Pangan dan Ubinan 2004, diperoleh catatan bahwa luas lahan yang sementara tidak diusahakan alias menganggur tercatat seluas 12,4 juta hektare, lebih besar jika dibandingkan dengan luas sawah yang tercatat seluas 7,7 juta hektare. Luas lahan itu belum termasuk Maluku, Maluku Utara, dan Papua karena data tidak tersedia (BPS, Statistik Indonesia 2005/2006).

Meski demikian, tidak mudah untuk mengaplikasikan revolusi hijau kedua itu. Diperlukan sejumlah upaya agar hal itu bisa terwujud. Pertama, diperlukan inovasi teknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi tanah yang kurang subur, terkait dengan pengolahan lahan dan sarana produksi. Terkait dengan itu, tampaknya kita perlu mengadopsi teknologi yang dilakukan Sri Lanka yang telah sukses dalam mengaplikasikan revolusi hijau kedua.

Kedua, terkait dengan ketersediaan tenaga kerja. Ketersediaan lahan kurang subur itu diketahui mayoritas berada di luar Jawa. Dari luas lahan sebesar 12,4 juta hektare yang berstatus menganggur, sekitar 12,3 juta hektare atau sekitar 99,7% berada di luar Jawa (BPS, 2006). Celakanya, ketersediaan tenaga kerja di luar Jawa terbilang jarang. Terkait dengan itu, tampaknya perlu mengintensifkan kembali

Page 4: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

program transmigrasi yang kondisinya kini tidak segencar seperti semasa Orde Baru. Itu dimaklumi karena pemberlakuan otonomi daerah mengakibatkan program transmigrasi dilakukan antardaerah. Selain itu, kehadiran penduduk pendatang kerap menimbulkan konflik dengan penduduk lokal terkait dengan status penguasaan tanah dan kecemburuan sosial. Maka, agar program perpindahan penduduk bisa berjalan mulus, kiranya perlu dilakukan persiapan secara matang.

Ketiga, pembangunan infrastruktur untuk menunjang kelancaran revolusi hijau kedua. Pengalaman dalam membangun infrastruktur pada revolusi hijau pertama dapat dijadikan acuan untuk membangun infrastruktur revolusi hijau kedua. Infrastruktur mendasar yang perlu dibangun antara lain jalan, jembatan, pengadaan sarana produksi, dan pemasaran.

Desentralisasi pembangunan

Aplikasi revolusi hijau kedua tampaknya sejalan dengan prinsip desentralisasi pembangunan, hal yang selama ini banyak dituntut oleh masyarakat. Meski otonomi daerah telah dilaksanakan sejak 2001, pemerataan pembangunan belum optimal. Kesenjangan pembangunan masih terjadi, terutama antara desa dan kota. Indikasinya, perpindahan penduduk untuk mencari pekerjaan ke daerah kota masih terus berlangsung.

Ditengarai, perpindahan penduduk itu disebabkan minimnya kesempatan kerja di pedesaan. Lahan yang tersisa tidak cukup subur untuk digarap. Celakanya, di daerah kota, kesempatan kerja juga terbatas. Tambahan lagi, penduduk yang pindah itu belum cukup siap bekerja pada sektor nonpertanian terkait dengan minimnya pendidikan.

Atas dasar itu, revolusi hijau kedua sesuai dengan kondisi ketenagakerjaan kita yang minim pendidikan. Lebih setengah angkatan kerja kita berpendidikan sekolah dasar atau kurang dan mayoritas menetap di pedesaan. Maka, revolusi hijau kedua itu tampaknya sejalan dengan triple track strategy yang digagas oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. Adapun substansi dari triple track strategy yang dimaksud adalah pro-job, pro-poor dan pro-growth.

Agar aplikasi revolusi hijau kedua itu tidak menjadi sekadar wacana, pemerintah perlu memasukkan program revolusi hijau kedua itu ke dalam kebijakan pembangunan, baik pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk jangka pendek, revolusi hijau kedua perlu diarahkan untuk penurunan angka kemiskinan dan pengangguran. Di sisi lain, untuk jangka panjang, perlu disertai dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Peningkatan sumber daya manusia diperlukan untuk menyongsong era industrialisasi yang maju. Itu akan tercapai manakala ditunjang sektor pertanian yang tangguh. Pada era Orde Baru, strategi seperti itu pernah dicanangkan, akan tetapi hasilnya kurang memuaskan. Kita terlalu cepat melompat ke sektor industri dan kurang memerhatikan sektor pertanian. Akibatnya, sektor industri berjalan lambat dan sektor pertanian terpuruk, disusul meningkatnya pengangguran dan kemiskinan.

Sumber : http://www.mediaindonesia.com/berita.asp?id=156628

Page 5: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Program KB dan Komitmen DaerahRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RIMEDIA INDONESIA, 22 Agustus 2014

UPAYA pemerintahan baru untuk menyejahterahkan masyarakat barangkali akan menemui hambatan jika pertumbuhan penduduk tidak bisa diturunkan. Sebab, upaya peningkatan kesejahteraan yang dilakukan akan bersaing dengan bertambahnya jumlah penduduk. Jika upaya yang dilakukan, misalnya, lebih kecil dibandingkan pertambahan jumlah penduduk, kesejahteraan akan memburuk.

Kekhawatiran akan memburuknya kesejahteraan itu tampaknya cukup beralasan mengingat pertumbuhan penduduk yang terjadi saat ini masih terbilang cukup tinggi. Bahkan, dibandingkan dengan periode sebelumnya (1990-2000), pertumbuhan penduduk pada periode setelahnya, terutama pada 20002010 menunjukkan kecenderungan meningkat. Adapun pertumbuhan penduduk se lama 1990-2000 sebesar 1,44% per tahun, kemudian meningkat pada periode 2000-2010 sebesar 1,49% per tahun.

Salah satu faktor penyebab cukup tingginya pertumbuhan penduduk di Tanah Air terutama diakibatkan angka kelahiran yang terbilang masih tinggi. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, misalnya, menunjukkan bahwa angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) masih sebesar 2,6. Celakanya, angka TFR sebesar itu (2,6) telah bertahan selama satu dasawarsa (2002-2012).

Maka, atas dasar itu, pemerintahan baru perlu bekerja keras untuk menggalakkan kembali program KB. Hal ini tidak berarti bahwa pemerintahan SBY-Boediono tidak berupaya keras untuk meningkatkan program KB.Namun, upaya pemerintahan baru diharapkan dapat menyempurnakan upaya pemerintahan selama ini.

Patut diketahui, upaya yang dilakukan pemerintah selama ini untuk menggalakkan program KB, antara lain, melalui upaya peningkatan anggaran.Selama 2007-203, misalnya, anggaran BKKBN untuk pembangunan kependudukan dan KB meningkat tajam dari Rp1,1 triliun pada 2007 menjadi Rp2,6 triliun pada 2013 (BKKBN, 29/08/2012).

Peningkatan anggaran memang diperlukan, terutama untuk penyediaan alat/cara KB dan pelayanan KB. Lavine.et.al (2006), misalnya, dalam salah satu studinya memperkirakan bahwa biaya per kapita untuk penyediaan alat/ cara KB secara global sebesar US$1,55 per tahun. Sementara biaya infrastruktur layanan KB berkisar antara US$2US$35 per kapita per tahun tergantung pada faktor kesulitan lokasi layanan.

Namun, peningkatan anggaran belum menjamin bahwa program KB akan berhasil.Sebab, hal itu masih ditentukan komitmen pemerintah daerah, khususnya pada level kabupaten/kota yang melaksanakan program KB. Maka, selain menyiapkan anggaran secara memadai, pemerintahan baru harus mampu meyakinkan pemerintah daerah tentang perlunya melaksanakan program KB.

Komitmen pemda

Perlunya meningkatkan komitmen pemerintah daerah untuk melaksanakan program KB secara intensif karena ditengarai sejak diberlakukannya otonomi daerah pada 2001 program KB mengendur.Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi diperkirakan turut berkontribusi terhadap melemahkan komitmen sejumlah daerah dalam melaksanakan program KB. Hal ini, antara lain, ditandai

Page 6: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

tidak adanya instansi atau dinas khusus yang menangani pelaksanaan program KB. Meskipun ada, keberadaannya digabung dengan institusi lainnya, seperti catatan sipil, kependudukan, dan pemberdayaan perempuan.

Boleh jadi, faktor penyebab lemahnya komitmen sebagian daerah kabupaten/kota melaksanakan program KB itu adalah karena terputusnya garis institusi BKKBN. Diketahui, institusi BKKBN saat ini bersifat vertikal hingga level provinsi. Hal ini tentu cukup merepotkan dalam pelaksanaan koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan program KB di level kabupaten/kota.

Padahal, koordinasi dan pengawasan amat diperlukan mengingat tidak sedikit pemerintah kabupaten/kota yang menempatkan program KB bukan sebagai prioritas pembangunan. Hal ini mungkin disebabkan karena jumlah penduduk di daerahnya sedikit dibandingkan dengan luasnya wilayah pemerintahan. Bahkan, kemungkinan ada daerah menginginkan jumlah penduduk diperbanyak agar dapat mengoptimalkan potensi wilayahnya untuk pengembangan ekonomi daerah.

Meski penilaian itu cukup logis, barangkali kurang tepat jika ditilik dari kepentingan pembangunan kependudukan dan KB secara nasional. Sebab, tujuan mendasar pembangunan kependudukan dan KB secara nasional adalah bukan semata soal kuantitas, tapi juga kualitas penduduk. Artinya, daerah dengan jumlah penduduk sedikit justru memiliki ruang yang cukup besar guna meningkatkan kualitas penduduknya.

Sebenarnya, jika pemerintah daerah memahami pentingnya program KB sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kependudukan, komitmen untuk melaksanakannya diyakini akan tumbuh dengan sendirinya.Adapun pentingnya program KB, selain untuk menurunkan angka kelahiran dan meningkatkan kualitas penduduk, juga untuk menghindari kehamilan yang tidak diinginkan.

Pengalaman di sejumlah negara menunjukkan bahwa kehamilan yang tidak diinginkan bertalian dengan terjadinya kasus aborsi. Fenomena ini antara lain ditemukan di sejumlah negara yang persentase penggunaan alat/cara KB-nya rendah, seperti Azerbaijan, Georgia, dan Armenia (Westoff, 2005).

Bahkan, urgensi pelaksanaan program KB kini memasuki ranah kepentingan untuk penghematan anggaran pembangunan periode berikutnya. Di Bolivia, misalnya, dengan alokasi anggaran program KB sebesar US$5 juta, dapat menghemat anggaran pembangunan untuk pendidikan, kesehatan, sanitasi dan air bersih, serta imunisasi sebesar US$45 juta (Constella future, Policy Project and Health Policy Initiative, 2005-2007).

Dengan potensi penghematan anggaran yang demikian besar sebagai dampak pelaksanaan program KB, pemerintah tentunya memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa pengendalian pertumbuhan penduduk hingga mengerucut ke tanpa pertumbuhan dengan TFR sebesar 2,1 perlu segera diwujudkan.

Page 7: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Kesehatan Penduduk Daerah RemoteRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPSMEDIA INDONESIA, 03 Juli 2014 MESKI Visi Indonesia Sehat 2010 di Tanah Air telah dicanangkan pada 1999, hingga kini layanan kesehatan belum menjangkau seluruh masyarakat. Selain karena ketidakmampuan sebagian masyarakat mengakses layanan kesehatan akibat kemiskinan, belum optimalnya layanan kesehatan itu juga diakibatkan oleh faktor daerah sulit, terpencil dan pedalaman (remote areas).

Penduduk Indonesia yang tersebar di daerah amat luas dan bertempat tinggal di ribuan pulau memang tidak mudah untuk dijangkau layanan kesehatan. Diperkirakan, sekitar 33,7% penduduk di Tanah Air mengalami kendala dalam mengakses layanan kesehatan akibat jarak tempat tinggal yang jauh dari lokasi layanan kesehatan dan mahalnya biaya yang diperlukan untuk mengunjungi layanan kesehatan (http://www.bappenas.go.id).

Namun, sepatutnya mereka tidak dibiarkan dalam kondisi demikian karena mendapatkan pelayanan kesehatan dasar adalah hak semua warga, dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melaksanakannya. Masyarakat, terutama yang selama ini tidak terjangkau layanan kesehatan, telah lama menantikan kehadiran layanan kesehatan secara memadai. Tumpuan harapan itu terutama berada di pundak pemimpin yang baru hasil pilihan rakyat 9 Juli mendatang.

Potential loss

Patut dicatat, tidak ter penuhinya layanan kesehatan bagi penduduk di daerah remote akan menghambat dalam mewujudkan kesehatan untuk semua, dan menyulitkan penduduk di daerah itu meningkatkan kesejahteraan. Dengan derajat kesehatan rendah umumnya menyebabkan produktivitas rendah sehingga akan mengakibatkan hilangnya peluang (potential loss) dalam meningkatkan pendapatan. Pentingnya kesehatan bagi penduduk di daerah remote itu terutama agar kegiatan mereka tidak terganggu, mengingat penduduk di daerah remote umumnya bertumpu pada kondisi fi sik sebagai nelayan, petani, dan pengolah hasil alam.

Boleh jadi, hilangnya potensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah remote turut berkontribusi terhadap melebarnya kesenjangan pendapatan masyarakat. Tercatat, selama 2008-2012, kesenjangan pendapatan, yang diukur dengan angka rasio Gini, melebar dari 0,35 pada 2008 menjadi 0,41 pada 2012.

Pada tahap lanjut, hilangnya potensi itu akan berkontribusi negatif terhadap pencapaian pembangunan milenium atau MDGs secara nasional, terutama dalam penurunan angka kemiskinan, angka kematian ibu, bayi, dan balita. Dengan menurunnya angka kematian itu pada gilirannya akan meningkatkan angka umur harapan hidup penduduk.

Meningkatnya angka harapan hidup merupakan indikasi membaiknya derajat kesehatan penduduk, yang dapat menjadi motor penggerak untuk meningkatkan kualitas penduduk, terutama dalam soal pendidikan dan daya beli masyarakat. Hal ini pada tahap lanjut akan meningkatkan capaian pembangunan manusia. Sebab, ketiga dimensi pembangunan manusia, yaitu kesehatan, pendidikan, dan daya beli, akan bersifat saling menguatkan (mutually reinforcing).

Page 8: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Jika aspek kesehatan terabaikan, akan menyebabkan persoalan sistemik dalam pembangunan manusia di daerah remote. Adapun besarnya potensi yang hilang akibat masalah kesehatan itu sebesar 20% terhadap pencapaian pembangunan manusia (Grantham-Mc Gregor.et.al, 2007).

Prioritas daerah remote

Maka, sejatinya, siapa pun yang akan terpilih menjadi presiden dan wakil presiden pada 9 Juli mendatang perlu memprioritaskan pembangunan kesehatan. Pertama, pemerintah perlu konsisten untuk memenuhi UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang mensyaratkan agar alokasi anggaran sebesar 5% dari anggaran belanja nasional. Adapun anggaran kesehatan yang dialokasikan selama ini hanya berkisar 2%2,5% dari belanja nasional.

Kedua, pemerintah perlu taat asas dalam menyeleng garakan BPJS kesehatan sehingga menjangkau seluruh penduduk. Pemerintah perlu menyediakan anggaran yang cukup untuk mereka yang tidak mampu mengiur dalam kepesertaan BPJS. Ketiga, pemerintah perlu membangun infrastruktur pelayanan kesehatan hingga ke daerah remote. Disadari, memang ini tidak mudah dilakukan mengingat mahalnya biaya yang diperlukan. Untuk itu barangkali perlu dilakukan substitusi dengan memperbanyak, misalnya, mobil layanan kesehatan, perahu, dan kapal rumah sakit untuk menjangkau daerah remote.

Secara faktual, pemenuhan layanan kesehatan hingga menjangkau seluruh masyarakat ke daerah remote tidak semata untuk memenuhi hak setiap warga, tapi juga untuk pemerataan aksesibilitas yang diberikan pemerintah, seperti halnya subsidi kesehatan.

Diketahui, masyarakat di daerah remote selama ini tidak dapat menikmati subsidi kesehatan yang diberikan pemerintah karena sulit mengakses layanan kesehatan.Bank Dunia (2004) memperkirakan layanan kesehatan masyarakat lebih banyak dinikmati penduduk kaya. Berdasarkan studi di 21 negara ditemukan bahwa sekitar 25% anggaran kesehatan dinikmati oleh 20% penduduk terkaya, sementara 20% penduduk termiskin hanya menikmati 15% anggaran kesehatan.

Secara faktual, hal itu sepatutnya dapat menginspirasi pemerintah dalam penyelenggaraan BPJS kesehatan agar memprioritaskan penduduk di daerah remote. Sebab, jika tidak dimulai dari daerah remote, dikhawatirkan mereka akan menjadi kelompok terakhir yang mendapatkan layanan kesehatan (2019).

Diketahui, program BPJS kesehatan dimulai pada 1 Januari 2014 dan berakhir pada 2019 sehingga diharapkan seluruhnya tercakup dalam program.Atas dasar itu, pemerintah yang baru nantinya diharapkan memiliki komitmen yang tinggi untuk menyelenggarakan layanan kesehatan bagi semua penduduk. Kita perlu mewaspadai berbagai jenis penyakit yang berpotensi menyerang masyarakat. Diketahui, tidak kurang dari 93% penduduk di negara-negara berkembang saat ini menanggung beban penyakit global (Jutling, Innovations Ensuring the Poor, 2009).

Page 9: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Tuntutan Pekerjaan LayakRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RIREPUBLIKA, 17 Juni 2014 Meski banyak pihak mengapresiasi kemajuan ekonomi makro yang dicapai Indonesia, namun sayangnya kemajuan ekonomi makro itu belum berdampak banyak bagi kesejahteraan buruh. Hal ini terdeteksi dari tuntutan buruh yang kerap mereka kumandangkan dalam berbagai kesempatan.

Dalam kesempatan memperingati Hari Buruh Sedunia (May Day) 1 Mei lalu, misalnya, ada 10 tuntutan yang disampaikan buruh. Adapun ke-10 tuntutan itu dapat dikelompokkan pada soal upah, jaminan sosial, dan kesejahteraan anak dan keluarganya. Secara keseluruhan, ke-10 tuntutan itu merepresentasikan tuntutan buruh yang mendambakan hidup sejahtera dan bermartabat.

Ternyata bak gayung bersambut, tun tutan buruh itu cepat diakomodir para calon presiden dan wakil presiden dalam kampanye mereka untuk nantinya direalisasikan jika mereka terpilih. Meski demikian, tak sedikit pihak yang belum cukup memahami bagaimana mengimplementasikan kebijakan ketenagakerjaan untuk memenuhi tuntutan buruh dimaksud?

Pekerjaan layak

Secara faktual, tuntutan buruh itu tampaknya baru bisa dipenuhi jika pemerintah berhasil menciptakan pekerjaan yang layak (decent work) bagi buruh. Adapun pekerjaan layak menurut Badan Perburuhan Internasional (ILO) secara konseptual memenuhi empat aspek, yakni hak dasar pekerja, promosi, perlindungan sosial, dan kesetaraan dalam tripartit.

Patut dicatat bahwa pekerjaan layak telah dikumandangkan ILO sejak 1999. Namun, celakanya, hingga kini pekerjaan layak itu masih jauh dari yang diharapkan. Hal ini tecermin dari jam kerja yang terlalu panjang, perlindungan minim, jaminan sosial rendah, promosi kurang jelas, status pekerjaan tidak pasti, pelatihan minim, dan tempat bekerja kurang representatif.

Secara faktual, pekerjaan tidak layak lebih banyak ditemukan pada sektor informal ketimbang di sektor formal. Di sektor informal, pekerjaan tidak layak terutama pada pekerja bebas, yaitu mereka yang bekerja pada orang lain/majikan/institusi yang tidak tetap (lebih dari satu majikan dalam sebulan terakhir) dengan menerima upah berupa uang dan atau barang dengan sistem pembayaran harian atau borongan.

Hasil Sakernas Februari 2014, misalnya, menunjukkan sekitar 11,49 juta pen duduk bekerja pada status pekerjaan tergolong pekerja bebas. Pekerja bebas dinilai kurang layak karena pekerjaannya tidak stabil dan kurang aman (precarious work).

Sementara pada sektor formal, pekerjaan tidak layak terutama teridentifikasi pada pekerja dengan sistem outsourcing. Diketahui, pekerjaan outsourcing tergolong kurang layak kerena rentan di PHK dan tanpa pesangon, serta tidak memperoleh perlindungan sosial.

Sejatinya, mereka yang bekerja pada pekerjaan tidak layak umumnya memperoleh gaji yang kurang memadai, pekerjaan bersifat jangka pendek, tidak menerima jaminan kesehatan dan perlindungan sosial

Page 10: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

lainnya, posisi tawar rendah, dan ketidakpastian bekerja. Bahkan, mereka rentan mengalami kecelakaan dan menderita sakit.

Kapabilitas rendah

Namun, hadirnya pekerjaan tak layak itu tidak dapat dilepaskan dari kondisi sumber daya manusia (SDM) kita yang kapabilitasnya tergolong rendah.Sebagai ukuran kapabilitas adalah pendidikan dan kesehatan. Pada aspek pendidikan, misalnya, hal itu terlihat dari rendahnya pendidikan yang ditamatkan.

Hasil Sakernas Februari 2014, misalnya, menunjukkan bahwa lebih dari dua pertiga (64,6 persen) penduduk yang bekerja berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Dengan pendidikan rendah umumnya produktivitas yang dihasilkan juga rendah sehingga pendapatan yang diterima menjadi kurang layak.

Salah satu aspek penting dalam menyiapkan pekerjaan layak adalah melalui pendidikan, baik melalui pendidikan formal maupun melalui pelatihan keterampilan. Di Inggris, misalnya, meski negara itu tergolong negara maju, namun pemerintahnya terus mengupayakan agar pekerjaan semakin layak. Adapun upaya yang dilakukan adalah pelatihan untuk meningkatkan keterampilan, khususnya pada pekerja rentan.

Namun, untuk menciptakan pekerjaan layak juga perlu memperhatikan sisi usaha/perusahaan tempat buruh bekerja, terutama soal regulasi terkait dengan hak pekerja. Pemerintah perlu membuat regulasi yang mendukung kelayakan bekerja bagi buruh. Meski demikian, perlu kehati-hatian dalam mendesain regulasi, mengingat regulasi yang terlalu banyak dan kompleks akan semakin menurunkan kemampuan dunia usaha guna mengimplementasikannya (Bernstain.et.al, 2006).

Penciptaan pekerjaan layak memang perlu terus diupayakan untuk mengikuti perkembangan kemajuan ekonomi. Indonesia yang kini masuk kelompok negara G-20 diharapkan tidak hanya merefleksikan kemajuan dan kekuatan ekonominya tapi juga mencerminkan martabat buruhnya.

Sangat diharapkan siapa pun presiden dan wakil presiden terpilih pada Juli mendatang akan mengagendakan program pembangunan ketenagakerjaan yang salah satu di antaranya meningkatkan kesejahteraan dan martabat buruh dengan menyiapkan pekerjaan yang layak.

Namun, untuk jangka panjang, pemerintah yang baru nantinya perlu lebih komprehensif dalam meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, antara lain, melalui peningkatan jenjang pendidikan formal. Sebab, dengan tingkat pendidikan yang kian tinggi, buruh memiliki posisi tawar yang semakin besar untuk memperoleh pekerjaan yang layak.

Page 11: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Keutuhan Komitmen Pembangunan ManusiaRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RIKOMPAS, 24 Maret 2014 PRESIDEN SBY telah mencanangkan triple track strategy atau progrowth, projob, dan propoor sebagai basis pembangunan pada awal pemerintahannya tahun 2004. Lalu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development), strategi itu ditambah dengan proenvironment.

Pencanangan keempat pilar strategi pembangunan itu cukup memberikan optimisme bahwa kinerja ekonomi akan maju dan berdampak pada turunnya angka pengangguran, angka kemiskinan, sekaligus melestarikan alam.

Kemudian, Presiden SBY dalam penyampaian RAPBN 2014 dan Nota Keuangan di DPR (16/8) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 5,5 persen per tahun selama 2004-2009 menjadi rata-rata 5,9 persen per tahun pada 2009-2013.

Angka pengangguran turun dari 9,86 persen tahun 2004 menjadi 5,92 persen tahun 2013, angka kemiskinan turun dari 16,66 persen tahun 2004 menjadi 11,37 persen tahun 2013.

Sayang, kemajuan itu belum signifikan mengakselerasi kualitas hidup penduduk. Laporan Pembangunan Manusia oleh Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) menunjukkan bahwa peringkat HDI Indonesia masih di posisi 108 dari 177 negara tahun 2004, turun ke posisi 121 dari 186 negara tahun 2013.

Komitmen parsial

Rendahnya pencapaian pembangunan manusia itu antara lain akibat komitmen pembangunan masih bersifat parsial.

Triple track strategy dari sisi pembangunan manusia secara umum baru menyentuh satu dimensi, yakni peningkatan daya beli, dan tidak bersentuhan langsung dengan dua dimensi lainnya: pendidikan dan kesehatan.

Secara faktual, hal itu juga bisa dimaknai bahwa triple track strategy masih berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai obyek pembangunan, dan belum berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai subyek pembangunan.

Untuk meningkatkan kualitas penduduk sebagai subyek pembangunan, perlu pencanangan pembangunan yang berorientasi pada kapabilitas penduduk, yaitu pendidikan dan kesehatan atauproeducation dan prohealth.

Memang pemerintah telah berupaya memajukan pendidikan dan kesehatan, tetapi pencananganproeducation dan prohealth penting sebagai wujud dari komitmen politik dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan dan kesehatan.

Page 12: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Boleh jadi, dampak tidak adanya pencanangan proeducation dan prohealth adalah lemahnya komitmen politik, terutama di level pemerintahan daerah.

Kapabilitas rendah

Akibatnya, penduduk Indonesia memiliki kapabilitas rendah. Berdasarkan Laporan UNDP (2013), diketahui bahwa rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS) hanya sebesar 5,8 tahun, setara dengan sekolah dasar. Capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN.

Rata-rata lama sekolah di Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun.

Selain pendidikan, capaian derajat kesehatan di Tanah Air juga rendah. Hal ini termanifestasi dari rendahnya angka umur harapan hidup penduduk Indonesia yang hanya 69,8 tahun. Bandingkan dengan Singapura 81,2 tahun, Brunei 78,1 tahun, Vietnam 75,4 tahun, Malaysia 74,5 tahun, dan Thailand 74,3 tahun (UNDP, 2013).

Bahkan, dibandingkan dengan pencapaian pendidikan dan kesehatan pada tataran global, Indonesia masih tertinggal. Tercatat, pada tingkat global, rata-rata lama sekolah sebesar 7,5 tahun, dan angka harapan hidup sebesar 70,1 tahun (UNDP, 2013).

Pandangan keliru

Lemahnya komitmen pembangunan manusia, khususnya pada dimensi pendidikan dan kesehatan, boleh jadi karena adanya pandangan bahwa dengan dilaksanakannya triple track strategy akan sekaligus dapat memajukan pendidikan dan kesehatan.Dalam kenyataannya, meskipun ekonomi tumbuh, serta angka pengangguran dan kemiskinan turun, pencapaian derajat pendidikan dan kesehatan belum berjalan seiring.

Lebih jauh, lemahnya komitmen pembangunan manusia berdasarkan laporan UNDP (1995), antara lain, disebabkan oleh kekeliruan pandangan penyelenggara pemerintahan di banyak negara.

Pertama, pembangunan manusia kerap disalahtafsirkan bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi (anti growth). Padahal, pembangunan manusia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Kedua, pembangunan manusia kerap disalahtafsirkan akan meningkat dengan sendirinya seiring pertumbuhan ekonomi.

Kenyataannya, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak selalu linier, tergantung kemampuan pemerintah menerjemahkan pembangunan ekonomi ke dalam pembangunan manusia.

Ketiga, pembangunan manusia sering disalahartikan sebagai pembangunan sektoral. Ini terkait dengan dimensi-dimensi yang mendasari pembangunan manusia, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli.

Kekeliruan terjadi, misalnya, untuk meningkatkan derajat kesehatan kerap diartikan sebagai tanggung jawab Kementerian Kesehatan semata.

Page 13: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Keempat, pembangunan manusia disalahtafsirkan hanya untuk daerah tertinggal. Pemahaman seperti itu jelas keliru karena pembangunan manusia ditujukan bagi semua daerah karena pembangunan manusia merupakan upaya memperluas pilihan hidup (enlarging the people’s choices) yang sifatnya tak berhingga (infinity).Kekeliruan pandangan itu memicu kekeliruan dalam menyusun rancangan pembangunan manusia.

Meningkatkan angka rata-rata lama sekolah, misalnya, hanya dengan membangun infrastruktur pendidikan, seperti gedung sekolah dan kelengkapannya. Padahal, anak-anak bisa bersekolah dan melanjutkan pendidikan apabila ekonomi keluarga mendukung. Tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa bersekolah (lagi) karena tenaga mereka diperlukan untuk menambah penghasilan keluarga.

Dengan demikian, sekolah gratis belum menjamin anak bersekolah dan atas dasar itu diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk memajukan kualitas penduduk.

Page 14: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Peluang Perempuan BekerjaRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RIREPUBLIKA, 18 Maret 2014 Turunnya angka kelahiran sejak 1970-an menggeser penduduk ke usia produktif dan secara perlahan menuju penuaan penduduk (aging). Tercatat, angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) turun dari 5,6 pada 1970-an menjadi 2,6 persen pada 2000-an.

Dengan turunnya angka kelahiran itu, selanjutnya memunculkan fenomena bonus demografi yang terjadi pada 2012 dan penuaan penduduk yang diperkirakan terjadi pada 2020. Hal ini sekaligus mengisyaratkan bahwa dinamika penduduk hingga beberapa dekade ke depan amat menentukan perjalanan bangsa ini ke periode selanjutnya.

Maka, pemerintah perlu responsif untuk segera melakukan pengelolaan dinamika penduduk itu agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa. Salah satu aspek yang perlu segera ditangani adalah soal bertambahnya penduduk usia produktif.

Jika dikelola dengan baik, bertambahnya penduduk usia produktif merupakan jendela peluang (window opportunity) untuk memajukan bangsa ke level lebih tinggi.Hasil Proyeksi 2010-2035, menunjukkan penduduk usia produktif (15-64 tahun) laki-laki bertambah dari 85,14 juta pada 2014 menjadi 99,93 juta pada 2028 atau pada saat puncak bonus demografi. Sementara, penduduk usia produktif perempuan bertambah dari 84,19 juta pada 2014 menjadi 98,86 juta pada 2028.

Partisipasi perempuan

Celakanya, pengalaman lalu menunjukkan tidak mudah memberdayakan penduduk secara keseluruhan, terutama perempuan. Ini terdeteksi dari tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan yang jauh lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Hasil Sakernas Februari 2013, misalnya, menunjukkan TPAK laki-laki85,12 persen, sedangkan TPAK perempuan 53,36 persen.

Bahkan, ketidaksetaraan TPAK antara laki-laki dan perempuan cenderung tidak berubah dalam lima tahun terakhir. Hasil Sakernas Agustus 2008 mencatat, TPAK laki-laki sebesar 83,5 persen dan TPAK perempuan 51,1 persen.

Dengan masih rendahnya partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, pada gilirannya menyebabkan potensi yang hilang (potential loss) untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB). Artinya, jika TPAK perempuan dapat ditingkatkan hingga setara dengan TPAK laki-laki, akan berkontribusi besar terhadap PDBD. Di negara maju, seperti Jepang, jika kesetaraan partisipasi laki- laki dan perempuan dalam angkatan kerja dapat diwujudkan, akan mendongkrak PDB negara itu sebesar 9 persen (Aguirre, 2012).

Maka, jika tidak dilakukan upaya serius untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam angkatan kerja, bertambahnya penduduk usia produktif perempuan yang hampir setara dengan pertambahan penduduk usia produktif laki-laki akan menyebabkan potential loss yang luar biasa besarnya terhadap PDB di Tanah Air.

Page 15: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Iklim pasar kerja Salah satu upaya untuk meningkatkan TPAK perempuan adalah dengan memperbaiki iklim pasar kerja, terutama yang berkaitan dengan perluasan kesempatan perempuan bekerja di berbagai sektor, perbaikan upah, dan perpanjangan jam kerja.

Hingga kini, perempuan banyak bekerja pada lapangan pekerjaan tertentu di sektor jasa dan perdagangan, seperti juru rawat, guru, pekerja sosial, dan pedagang kecil. Dominasi perempuan dalam pekerjaan seperti itu yang telah berlangsung lama selanjutnya melahirkan stereotip feminisasi profesi. Celakanya, feminisasi profesi umumnya disertai dengan upah atau pendapatan yang rendah (World Economic Forum, 2005).

Untuk meningkatkan upah kerja perempuan, antara lain, dapat dilakukan dengan menambah kerja. Hasil Sakernas Februari 2013 menunjukkan bahwa tidak sedikit perempuan yang bekerja paruh waktu dengan jam kerja kurang dari 35 jam seminggu, yakni sebesar 28,72 persen. Sementara, laki-laki yang bekerja paruh waktu hanya sebesar 13,62 persen (BPS, 2013).

Perbaikan iklim pasar kerja itu diharapkan sekaligus dapat memperbaiki peringkat kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Tanah Air yang saat ini masih tergolong rendah. Indonesia berdasarkan Wolrd Economic Forum (2013) berada di peringkat ke-95 dari 136 negara dalam soal kesenjangan laki-laki dan perempuan. Salah satu faktor penyebab buruknya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di Tanah Air adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pemanfaatan peluang ekonomi (economic opportunity).

Maka, atas dasar itu, sangat diharapkan upaya para perencana dan pengambil keputusan untuk melakukan terobosan agar iklim bekerja semakin kondusif bagi perempuan. Upaya itu terutama diharapkan datang dari wakil rakyat yang terpilih dalam Pemilu 2014, yang kebetulan kehadiran mereka tidak lama berselang dengan kehadiran era bonus demografi di Tanah Air.

Dengan keterwakilan perempuan di parlemen yang diperkirakan kian baik dibandingkan periode sebelumnya, diharapkan dapat memengaruhi kebijakan untuk mengubah nasib, tidak hanya untuk perempuan, tapi juga bagi bangsa ini.

Terbukanya jendela peluang atas bertambahnya usia produktif sepatutnya dapat dioptimalkan pemanfaatannya secara keseluruhan untuk kemajuan bangsa, dengan mengupayakan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam berusaha dan bekerja.

Page 16: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

BPJS Ketenagakerjaan dan Sektor InformalRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RIMEDIA INDONESIA, 15 Maret 2014 SETIAP kali buruh berdemonstrasi menuntut penaikan upah minimum dan perbaikan nasib, ada sekelompok pekerja yang hanya menjadi penonton karena tidak mungkin melakukan hal yang sama. Mereka itu ialah kelompok pekerja informal.

Bekerja di sektor informal memang harus siap menerima risiko absennya sejumlah aspek perlindungan sosial, seperti upah minimum, uang pesangon, cuti, upah lembur, jaminan kecelakaan, kematian, hari tua, dan pensiun. Sebaliknya, pekerja di sektor formal dapat menegosiasi upah minimum, cuti, dan upah lembur dari perusahaan tempat mereka bekerja, serta memperoleh sejumlah jaminan sosial sebagai keanggotaan Jamsostek.

Secara faktual, rendahnya aspek perlindungan sosial pekerja di sektor informal menyebabkan mereka hidup dalam ketidakpastian. Kegiatan sektor itu umumnya cenderung tidak stabil dan pekerjanya rentan terperangkap dalam pengangguran dan kemiskinan.

Sektor formal terdistorsi

Celakanya, hadirnya pekerja sektor informal tidak bisa dihindari karena hal itu berkaitan dengan kinerja ekonomi yang belum mampu menciptakan kesempatan kerja formal secara memadai. Secara faktual, hanya sepertiga penduduk yang bekerja di sektor formal. Sisanya (sekitar 62,7%) penduduk bekerja di sektor informal (BPS, 2012).

Di pihak lain, rendahnya kualitas angkatan kerja cukup menyulitkan pemerintah untuk menciptakan peluang bekerja di sektor formal guna memenuhi permintaan pasar tenaga kerja. Lebih dari setengah angkatan kerja kita hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah.

Bahkan, keberadaan sektor tersebut diperkirakan terus tumbuh seiring dengan kian mengglobalnya sistem ekonomi. Dengan globalisasi, meski suatu usaha diuntungkan akibat berkurangnya regulasi, usahanya dituntut melakukan efisiensi agar berdaya saing guna memenangi pasar global.

Untuk mewujudkan efisiensi dimaksud, perusahaan umumnya tidak menjalankan usaha secara mandiri karena harus menanggung biaya perlindungan sosial. Semakin besar usaha yang dijalankan akan menanggung biaya yang kian besar karena semakin banyak tenaga kerja yang dipekerjakan.

Bahkan, untuk pengembangan usaha secara mandiri, semakin besar risiko yang harus dihadapi. UNDP (2002) menyebutkan sejumlah faktor yang berpotensi mendistorsi dalam membuka kesempatan usaha formal, yaitu regulasi, administrasi, waktu memulai usaha, biaya, sosial budaya, korupsi, dan aspek kriminal.

Maka, untuk menyiasatinya, banyak perusahaan terutama berskala multinasional menggandeng sektor informal dalam menjalankan usaha. Perusahaan multinasional itu tidak perlu menghadapi berbagai macam risiko dan biaya perlindungan sosial bagi pekerja sektor informal yang digandengnya.

Page 17: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Secara faktual, fenomena itu akan mendistorsi perkembangan sektor formal dan kian menyuburkan sektor informal. Dampaknya, kesejahteraan pekerja sektor informal sulit untuk ditingkatkan sehingga hal ini tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berpihak pada penurunan jumlah penduduk miskin.

BPJS ketenagakerjaan

Celakanya, kehadiran arus globalisasi di Tanah Air tidak bisa dihentikan karena hal itu akan menyebabkan Indonesia tersisih dari konektivitas ekonomi global. Maka, salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan dari arus globalisasi dengan meningkatkan kesejahteraan pekerja sektor informal.

Namun, mengupayakan aspek perlindungan sosial berkaitan dengan pendapatan, seperti upah minimum dan uang pesangon, tampaknya sulit dilakukan karena karakter usaha sektor informal memang belum memungkinkan untuk melakukan hal seperti itu.

Hal yang masih mungkin dilakukan ialah mengupayakan aspek pelindungan berupa jaminan kematian, kecelakaan kerja, hari tua, dan pensiun. Diketahui, kematian, kecelakaan kerja, usia tua, dan pensiun yang dialami pekerja sektor informal akan berakibat fatal terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarganya.

Atas dasar itu, hadirnya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan diharapkan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja sektor informal dan keluarganya. Peningkatan kesejahteraan pekerja di sektor itu sangat dimungkinkan karena BPJS ketenagakerjaan memuat program jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun.

Hadirnya BPJS ketenagakerjaan, pada tahap lanjut, diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan bagi pekerja sektor informal yang selama ini terabaikan sehingga menyebabkan kesenjangan kesejahteraan yang kian melebar antara sektor formal dan sektor informal.

Boleh jadi, terabaikannya sektor informal merupakan salah satu faktor penyebab melebarnya kesenjangan pendapatan di Tanah Air. Diketahui, angka rasio Gini sebagai ukuran kesenjangan menunjukkan kecenderungan meningkat, yakni dari 0,35 pada Maret 2008 menjadi 0,41 pada Maret 2012 (BPS, 2012).

Lebih jauh, tersedianya jaminan hari tua dan pensiun dalam BPJS ketenagakerjaan diharapkan dapat memberikan peluang bekerja bagi penduduk usia muda. Dengan jaminan itu, penduduk yang sudah pensiun tidak perlu terus bekerja dan pekerjaan yang ditinggalkan dapat diisi generasi yang lebih muda. Hal itu sekaligus sebagai salah satu solusi untuk mengantisipasi kian meningkatnya pencari kerja akibat meningkatnya jumlah penduduk usia produktif sebagai dampak kehadiran bonus demografi.

Maka, pemerintah sangat diharapkan dapat melaksanakan BPJS ketenagakerjaan pada Juli mendatang sesuai dengan yang diharapkan. Belajar dari penerapan BPJS kesehatan pada 1 Januari 2014, pemerintah sepatutnya dapat menyempurnakan penyelenggaraan BPJS ketenagakerjaan, seperti target keanggotaan, tata cara mendaftarkan diri, besarnya iuran, dan cara mengklaim jaminan. Semoga ingar-bingar persiapan Pemilu 2014 tidak menyurutkan pemerintah untuk menyelenggarakan BPJS ketenagakerjaan secara baik.

Page 18: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Grand Design PembangunanRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI

Proyeksi Penduduk (PP) memegang peranan penting bagi Pemerintah dalam membuat rencana pembangunan di segala bidang. Secara teknis BPS bertanggung jawab atas metodologi dan pengumpulan data di lapangan. Akan tetapi PP ini merupakan think tank dari sejumlah pihak seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan, UNFPA, dan para ahli demografi dengan menggunakan asumsi kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk.

Berbicara mengenai proyeksi, artinya kita bicara mengenai perkiraan yang dibalut dengan pendekatan-pendekatan eksak yang di atas kertas dapat diperhitungkan. Apakah nantinya akan akurat? Belum tentu, karena masalah kependudukan itu sesuatu yang dinamis dan unpredictable. Dalam proyeksi 2000-2025 misalnya, jika dibandingkan dengan hasil lapangan Sensus Penduduk 2010 terdapat selisih 3,5 juta. Dimana jumlah penduduk tahun 2010 diproyeksikan 234 juta jiwa,

namun pada kenyataannya mencapai angka 237,6 juta jiwa. Proyeksi 2000-2010 menggunakan asumsi angka kelahiran sebesar 2,1 pada tahun 2015, namun sampai saat ini angka kelahiran nyatanya stagnan di 2,6.

Merujuk pada pandangan Razali Ritonga, “Proyeksi penduduk ini ibarat mercusuar. Pemerintah harus punya grand design untuk pembangunan di seluruh sektor dan terkait kebutuhan dasar

penduduk. Hasil proyeksi ini dapat digunakan untuk investasi jangka panjang pemerintah.” Dengan PP, paling tidak pemerintah dapat bersiap menghadapi berbagai kemungkinan yang saat ini dapat kita lihat dari hasil PP. Jelasnya, perencanaan berdasarkan hasil PP dapat memperkecil kemungkinan terburuk di masa depan.

Isu Kependudukan di Masa Mendatang

Berbicara mengenai kependudukan, melalui PP kita dapat melihat berbagai problema kependudukan yang mungkin akan atau sedang kita alami. Isu kependudukan yang paling menarik salah satunya adalah bonus demografi. Sebuah negara dikatakan mengalami bonus demografi jika dua orang penduduk usia produktif (15-64) menanggung satu orang tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun atau lebih). Indonesia, menurut perhitungan, sudah mengalami bonus demografi sejak tahun 2012, dan puncaknya akan terjadi di tahun 2028-2030. “Untuk level nasional sebetulnya hanya rangkuman, karena setiap daerah keadaannya berbeda-beda. DKI Jakarta misalnya, sudah menikmati bonus demografi sejak tahun 1980an. Faktornya karena migrasi, usia produktif dari luar masuk ke Jakarta. Dampaknya, daerah pengirim migran akan kehilangan usia produktif, misalnya Nusa Tenggara Timur. Daerah penerima migran sebenarnya diuntungkan untuk penyediaan tenaga kerja asal dapat dikelola secara baik, jika tidak dikelola bisa menjadi musibah, misalnya kesempatan kerja yang terbatas, pengangguran, dan konflik sosial,” jelas pria yang tulisannya sering dimuat berbagai surat kabar nasional ini.

Page 19: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Menurut Razali, bonus demografi ini merupakan fenomena unik yang akan terjadi hanya sekali dalam setiap peradaban bangsa. “Apa untungnya? Sepertiga dari pertumbuhan ekonomi itu disumbang oleh bonus demografi,” tambah Razali. Isu lainnya adalah aging population, yang akan terjadi di Indonesia pada tahun 2020. Suatu negara mengalami aging population jika 10 persen dari jumlah penduduknya berusia 60 tahun ke atas.

“Kondisi ini berdampak pada peningkatan ketersediaan jaminan hari tua dan tunjungan kesejahteraan di suatu negara harus dipersiapkan pemerintah dari sekarang,” jelasnya. Terakhir berkaitan dengan komposisi penduduk. Pada tahun 2013, pertama kali jumlah penduduk

kota akan melebihi penduduk desa. “Ini sudah terjadi di Indonesia.Efeknya, pembangunan akan terpusat di kota-kota,” tegas Razali. Isu kependudukan ini tidak lain dapat dilihat dari PP. Inilah

mengapa banyak stakeholder yang berkepentingan terhadap hasil data PP. Dan sekali lagi PP merupakan mercusuar yang berguna untuk pembangunan suatu negara.

Bagi BPS sendiri, data PP sangat bermanfaat untuk memperkirakan angka absolut pengangguran, angka kemiskinan, menghitung pendapatan per kapita, dan masih banyak lagi. Mengutip

ucapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada launching Proyeksi Penduduk Indonesia 2010-2035, “Ada implikasi yang menantang dari proyeksi penduduk ini. Saya memberi penghargaan bagi yang menyusun buku ini, Bappenas, BPS, dan pihak yang ikut berkontribusi untuk memikirkan Indonesia 20 tahun mendatang. Mari kita hidupkan tradisi pemikiran seperti ini, berpikirlah, sehingga bangsa ini tidak kehabisan gagasan dan perencanaan.”

Page 20: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Kemiskinan KronisOleh: Razali Ritonga

Perhatian pemerintah untuk menanggulangi penduduk miskin tampaknya kian besar, terindikasi dari kian besarnya anggaran yang digelontorkan.

Pada tahun 2007, besar dana yang diku- curkan untuk penduduk miskin sebesar Rp 54 triliun dan tahun 2008 direncanakan menjadi Rp 62 triliun. Selain anggaran be- sar, pemerintah juga menyiapkan berbagai program pengentasan penduduk miskin, tersebar di berbagai instansi pemerintah. Program-program itu antara lain berupa bantuan cash, bantuan pendidikan dan kesehatan, serta pemberdayaan.

Celakanya, meski bantuan untuk penduduk miskin itu datang bertubi-tubi, hasil yang diperoleh belum memuaskan. Selama Maret 2006-Maret 2007, angka kemiskinan hanya turun 0,17 persen, yaitu dari 17,75 persen pada Maret 2006 menjadi 16,58 persen pada Maret 2007. Atau, secara absolut penduduk miskin turun sebanyak 2,13 juta orang, yaitu dari 39,30 juta pada Maret 2006 menjadi 37,17 juta pada Maret 2007 (BPS, 2007).

Ditengarai, penurunan penduduk miskin umumnya terjadi pada penduduk miskin sementara (transient poverty), tetapi tidak banyak menyentuh penduduk miskin kronis (chronic poverty). Terjadinya miskin sementara karena krisis ekonomi, kebijakan pemerintah yang tak populis, dan bencana alam. Jumlah penduduk yang terperangkap miskin sementara meningkat saat krisis tahun 1997, kenaikan harga BBM, serta bencana alam, seperti banjir, longsor, gempa, dan tsunami pada waktu lalu.

Sementara miskin kronis hadir meski tanpa krisis, kebijakan tak populis dan/ atau bencana. Namun, krisis ekonomi dan fenomena lain memperparah kehidupan penduduk yang tergolong miskin kronis itu. Atas dasar itu, upaya penurunan miskin sementara lebih mudah dilakukan dibandingkan miskin kronis. Ini mengisyaratkan upaya penurunan penduduk miskin di masa datang kian sulit dilakukan karena mengerucut pada miskin kronis.

Kurang percaya diri

Ditengarai, salah satu faktor penyebab sulitnya mengentaskan penduduk miskin kronis adalah kurang percaya diri. Umumnya, penduduk yang terjerat kemiskinan kronis merasa tidak yakin nasibnya dapat berubah. Tidak sedikit yang beranggapan, menjadi miskin merupakan takdir. Ditengarai, ketidakpercayaan diri penduduk miskin kronis itu terkait rendahnya kapabilitas yang dimiliki.

Ada dua unsur penting yang mendasari kapabilitas penduduk, pendidikan, dan kesehatan. Umumnya, penduduk miskin kronis memiliki derajat pendidikan dan kesehatan rendah, menyebabkan mereka selalu kalah bersaing, yang pada gilirannya menimbulkan rasa tidak percaya diri.

Pada kasus ekstrem penduduk miskin kronis tidak dapat melakukan kegiatan apa pun terkait rendahnya derajat kesehatan yang dimiliki. Pemulihan kesehatan penduduk miskin kronis dimaksud memerlukan biaya amat besar. Pemerintah India mengeluarkan biaya 30 miliar dollar AS untuk mengatasi kekurangan zat besi bagi penduduk miskin agar pulih dari ketidakberdayaan (UNDP, Asia-Pacific Human Development Report, 2006).

Page 21: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Dengan kapabilitas rendah, tak heran jika pemberdayaan penduduk miskin kronis dalam pembangunan dan kegiatan sosial-ekonomi menjadi rendah. Cukup masuk akal sebab bagaimana mungkin mampu berpartisipasi jika perut kosong, tenaga kurang, dan otak sulit berpikir.

Perlu perhatian

Agar program pengentasan penduduk miskin pemerintah "nyambung" dengan karakter penduduk miskin kronis, lebih dulu perlu dilakukan pemulihan kepercayaan diri. Ini bukan perkara mudah karena menyangkut perubahan habitus, yaitu perubahan dari soft ke strong culture. Istilah strong culture termanifestasi dalam kebiasaan tidak mudah menyerah, disiplin, bersemangat, dan bekerja keras.

Pentingnya strong culture sebagai kunci kemajuan mengingatkan kita pada Korea Selatan. Huntington dalam bukunya, Culture Counts, menulis, kunci kemajuan Korea Selatan adalah pada semangat, kerja keras, disiplin, suka berinvestasi, dan menghargai pendidikan. Maka, agar penduduk miskin kronis memiliki strong culture antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kapabilitas dasar penduduk melalui pendidikan dan kesehatan.

Namun, peningkatan kapabilitas dasar dimaksud tidak mudah dilakukan penduduk miskin kronis. Meski pemerintah memfasilitasi peningkatan kapabilitas dasar itu, misalnya melalui bantuan pendidikan dan kesehatan gratis, tidak mudah bagi penduduk miskin mengakses fasilitas dimaksud. Sebab, untuk mengakses fasilitas itu, penduduk miskin harus memiliki bukti identitas diri, seperti kartu tanda penduduk dan kartu keluarga.

Celakanya, bukti identitas diri itu jarang dimiliki penduduk miskin. Ditengarai, ketidakberadaan surat-surat keterangan diri itu antara lain disebabkan ketidaktahuan dan ketidakmampuan ekonomi penduduk miskin.

Maka, atas dasar itu, pemerintah perlu mengkaji ulang berbagai program pengentasan penduduk miskin yang dijalankan. Misalnya, untuk memperoleh bantuan dari program apakah bukti identitas diri demikian penting?

Diperkirakan, program pengentasan penduduk miskin akan berjalan efektif jika substansi program memuat dua dimensi awal dan satu dimensi akhir. Dua dimensi awal sebagai persiapan, yaitu bantuan agar penduduk miskin dapat bertahan hidup, dan peningkatan kapabilitas dasar agar penduduk miskin memiliki kepercayaan diri. Sementara dimensi akhir adalah pemberdayaan agar penduduk miskin dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.

URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0801/12/opini/4153556.htm

Page 22: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Keutuhan Komitmen Pembangunan ManusiaRazali Ritonga; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RIKOMPAS, 24 Maret 2014

PRESIDEN SBY telah mencanangkan triple track strategy atau progrowth, projob, dan propoor sebagai basis pembangunan pada awal pemerintahannya tahun 2004. Lalu, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable economic development), strategi itu ditambah dengan proenvironment.

Pencanangan keempat pilar strategi pembangunan itu cukup memberikan optimisme bahwa kinerja ekonomi akan maju dan berdampak pada turunnya angka pengangguran, angka kemiskinan, sekaligus melestarikan alam.

Kemudian, Presiden SBY dalam penyampaian RAPBN 2014 dan Nota Keuangan di DPR (16/8) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat dari rata-rata 5,5 persen per tahun selama 2004-2009 menjadi rata-rata 5,9 persen per tahun pada 2009-2013.

Angka pengangguran turun dari 9,86 persen tahun 2004 menjadi 5,92 persen tahun 2013, angka kemiskinan turun dari 16,66 persen tahun 2004 menjadi 11,37 persen tahun 2013.

Sayang, kemajuan itu belum signifikan mengakselerasi kualitas hidup penduduk. Laporan Pembangunan Manusia oleh Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) menunjukkan bahwa peringkat HDI Indonesia masih di posisi 108 dari 177 negara tahun 2004, turun ke posisi 121 dari 186 negara tahun 2013.

Komitmen parsial

Rendahnya pencapaian pembangunan manusia itu antara lain akibat komitmen pembangunan masih bersifat parsial.

Triple track strategy dari sisi pembangunan manusia secara umum baru menyentuh satu dimensi, yakni peningkatan daya beli, dan tidak bersentuhan langsung dengan dua dimensi lainnya: pendidikan dan kesehatan.

Secara faktual, hal itu juga bisa dimaknai bahwa triple track strategy masih berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai obyek pembangunan, dan belum berorientasi pada peningkatan kualitas penduduk sebagai subyek pembangunan.

Untuk meningkatkan kualitas penduduk sebagai subyek pembangunan, perlu pencanangan pembangunan yang berorientasi pada kapabilitas penduduk, yaitu pendidikan dan kesehatan atauproeducation dan prohealth.

Memang pemerintah telah berupaya memajukan pendidikan dan kesehatan, tetapi pencananganproeducation dan prohealth penting sebagai wujud dari komitmen politik dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan dan kesehatan.

Page 23: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Boleh jadi, dampak tidak adanya pencanangan proeducation dan prohealth adalah lemahnya komitmen politik, terutama di level pemerintahan daerah.

Kapabilitas rendah

Akibatnya, penduduk Indonesia memiliki kapabilitas rendah. Berdasarkan Laporan UNDP (2013), diketahui bahwa rata-rata lama sekolah (mean years schooling/MYS) hanya sebesar 5,8 tahun, setara dengan sekolah dasar. Capaian ini jauh di bawah sejumlah negara ASEAN.

Rata-rata lama sekolah di Singapura 10,1 tahun, Malaysia 9,5 tahun, Filipina 8,9 tahun, Brunei 8,6 tahun, dan Thailand 6,6 tahun.

Selain pendidikan, capaian derajat kesehatan di Tanah Air juga rendah. Hal ini termanifestasi dari rendahnya angka umur harapan hidup penduduk Indonesia yang hanya 69,8 tahun. Bandingkan dengan Singapura 81,2 tahun, Brunei 78,1 tahun, Vietnam 75,4 tahun, Malaysia 74,5 tahun, dan Thailand 74,3 tahun (UNDP, 2013).

Bahkan, dibandingkan dengan pencapaian pendidikan dan kesehatan pada tataran global, Indonesia masih tertinggal. Tercatat, pada tingkat global, rata-rata lama sekolah sebesar 7,5 tahun, dan angka harapan hidup sebesar 70,1 tahun (UNDP, 2013).

Pandangan keliru

Lemahnya komitmen pembangunan manusia, khususnya pada dimensi pendidikan dan kesehatan, boleh jadi karena adanya pandangan bahwa dengan dilaksanakannya triple track strategy akan sekaligus dapat memajukan pendidikan dan kesehatan.Dalam kenyataannya, meskipun ekonomi tumbuh, serta angka pengangguran dan kemiskinan turun, pencapaian derajat pendidikan dan kesehatan belum berjalan seiring.

Lebih jauh, lemahnya komitmen pembangunan manusia berdasarkan laporan UNDP (1995), antara lain, disebabkan oleh kekeliruan pandangan penyelenggara pemerintahan di banyak negara.

Pertama, pembangunan manusia kerap disalahtafsirkan bertentangan dengan pertumbuhan ekonomi (anti growth). Padahal, pembangunan manusia sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas hidup dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Kedua, pembangunan manusia kerap disalahtafsirkan akan meningkat dengan sendirinya seiring pertumbuhan ekonomi.

Kenyataannya, hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidak selalu linier, tergantung kemampuan pemerintah menerjemahkan pembangunan ekonomi ke dalam pembangunan manusia.

Ketiga, pembangunan manusia sering disalahartikan sebagai pembangunan sektoral. Ini terkait dengan dimensi-dimensi yang mendasari pembangunan manusia, yaitu pendidikan, kesehatan, dan daya beli.

Kekeliruan terjadi, misalnya, untuk meningkatkan derajat kesehatan kerap diartikan sebagai tanggung jawab Kementerian Kesehatan semata.

Page 24: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Keempat, pembangunan manusia disalahtafsirkan hanya untuk daerah tertinggal. Pemahaman seperti itu jelas keliru karena pembangunan manusia ditujukan bagi semua daerah karena pembangunan manusia merupakan upaya memperluas pilihan hidup (enlarging the people’s choices) yang sifatnya tak berhingga (infinity).Kekeliruan pandangan itu memicu kekeliruan dalam menyusun rancangan pembangunan manusia.

Meningkatkan angka rata-rata lama sekolah, misalnya, hanya dengan membangun infrastruktur pendidikan, seperti gedung sekolah dan kelengkapannya. Padahal, anak-anak bisa bersekolah dan melanjutkan pendidikan apabila ekonomi keluarga mendukung. Tidak sedikit anak-anak yang tidak bisa bersekolah (lagi) karena tenaga mereka diperlukan untuk menambah penghasilan keluarga.

Dengan demikian, sekolah gratis belum menjamin anak bersekolah dan atas dasar itu diperlukan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk memajukan kualitas penduduk.

Page 25: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Dana Alokasi DesaOleh Razali Ritonga Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPSSumber: Kompas, 25 Juni 2012

Pemberlakuan otonomi daerah antara lain dimaksudkan untuk menjembatani kesenjangan pembangunan antardaerah, terutama antarprovinsi dan kabupaten/kota, di Tanah Air.

Namun, pendelegasian wewenang ke daerah itu belum mampu mewujudkan pemerataan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan. Secara faktual, pembangunan masih bias ke perkotaan, sedangkan wilayah pedesaan tertinggal.

Tertinggalnya pedesaan antara lain termanifestasi dari angka kemiskinannya yang jauh lebih tinggi dibanding di perkotaan. Pada Maret 2011, misalnya, angka kemiskinan di pedesaan 15,72 persen, sementara di perkotaan sebesar 9,23 persen (BPS, 2011).

Salah satu konsekuensi dari tertinggalnya kesejahteraan masyarakat desa adalah urbanisasi, yang mayoritas merupakan perpindahan kemiskinan ke perkotaan. Penduduk kota kian padat. Selama tiga dasawarsa terakhir, persentase penduduk kota meningkat dari 17,29 persen (1970) menjadi 49,79 persen (2010).

Maka, untuk mengatasi ketertinggalan pedesaan, pemerintah berupaya mengajukan RUU Desa guna ditetapkan menjadi UU Desa. Setidaknya ada dua misi yang ingin diwujudkan dari RUU Desa. Pertama, melestarikan adat-istiadat. Kedua, memajukan ekonomi pedesaan melalui pembentukan pemerintahan desa.

Untuk memajukan ekonomi desa, pemerintah berencana mengalokasikan dana 5 persen dari APBN untuk membiayai kegiatan pembangunan desa. Jika dana itu dialokasikan pada 2012, maka setiap desa rata-rata akan menerima sekitar Rp 922 juta. Diketahui, APBN 2012 sebesar Rp 1.439 triliun dan jumlah desa diperkirakan 78.000.

Namun, realisasi dana alokasi suatu desa bisa berada di rata-rata, lebih besar dari rata-rata, atau lebih kecil dari rata-rata dana alokasi desa (DAD). Besarnya DAD bergantung pada kondisi desa dan pengalokasian yang digunakan. Dalam RUU Desa tidak dijelaskan bagaimana pemerintah menetapkan pengalokasian DAD. Padahal, alokasi dana kerap memunculkan kekisruhan, terutama dalam soal keadilan pendistribusian dana.

Jika pengalokasian mengikuti perumusan dana alokasi umum (DAU), kendalanya adalah soal ketersediaan data. Untuk DAU, ketersediaan data pada level provinsi dan kabupaten/kota, yang umumnya bisa dipenuhi. Namun, tidak demikian untuk DAD karena level ketersediaan data adalah desa. Adapun pengalokasian DAU terdiri atas lima faktor: jumlah penduduk, luas wilayah, produk domestik regional bruto (PDRB), indeks pembangunan manusia (IPM), dan indeks kemahalan konstruksi (IKK).

Sebenarnya, pemenuhan data penduduk desa bisa disiapkan dengan melakukan registrasi penduduk secara baik dan benar. Hal ini amat bergantung pada institusi penyelenggara registrasi penduduk, yang dalam hal ini berada di bawah institusi Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan.

Page 26: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Ketersediaan data registrasi penduduk akan memudahkan penghitungan angka umur harapan hidup sebagai salah satu dimensi IPM. Sementara pemenuhan data dua dimensi lainnya dari IPM, pendidikan dan daya beli, pemerintah perlu melakukan survei khusus, yaitu survei sosial ekonomi daerah (suseda) sebagai perluasan dari susenas.

Metode Pengalokasian

Namun, untuk menyelenggarakan suseda diperlukan biaya besar. Hal sama terjadi pada penyediaan data untuk penghitungan PDRB dan IKK. Maka, dengan mempertimbangkan faktor kesulitan itu, untuk pengalokasian DAD perlu dicari metode lain.

Salah satu metode yang bisa digunakan adalah sejumlah indikator yang bersesuaian dengan keberadaan data potensi desa (podes), yang memuat berbagai jenis data mengenai desa. Jika podes memang akan digunakan, maka pendataan podes perlu dilakukan setiap tahun. Sebab, pendataan podes selama ini dilakukan tiga tahun sekali mengikuti sensus penduduk, sensus pertanian, dan sensus ekonomi.

Meski penetapan DAD dapat dilakukan, hal itu belum menjamin seluruh wilayah di suatu desa akan tersentuh pembangunan pedesaan. Terutama daerah terpencil, terisolasi, dan pedalaman, serta daerah terluar dan daerah perbatasan.

Keberadaan daerah terpencil dan perbatasan tampaknya belum secara spesifik dijelaskan dalam RUU Desa. Mencermati syarat-syarat yang diajukan RUU Desa untuk pembentukan suatu desa, maka daerah terpencil dan perbatasan cukup sulit untuk menjadi pemerintahan desa tersendiri. Hambatan utamanya adalah soal jumlah penduduk.

Daerah terpencil dan perbatasan umumnya berpenduduk jarang, tetapi menyebar secara berkelompok. Untuk jadi sebuah desa, dalam RUU Desa ditetapkan persyaratan: untuk Jawa-Bali paling sedikit 1.500 jiwa atau 300 keluarga, Sumatera dan Sulawesi sedikitnya 1.000 jiwa atau 200 keluarga, Kalimantan, NTB, NTT 375 jiwa atau 75 keluarga, serta Maluku dan Papua sedikitnya 200 jiwa atau 50 keluarga.

Jika penduduk daerah terpencil dan perbatasan itu digabung dengan daerah lain agar memenuhi syarat jadi sebuah pemerintahan desa, hal itu akan terkendala dalam soal adat-istiadat, komunikasi, transportasi, dan koordinasi pembangunan desa.

Tampaknya, dalam kaitan ini pemerintah perlu melakukan pendekatan khusus untuk melakukan pembangunan di daerah terpencil dan perbatasan. Maka, atas dasar itu, pembahasan RUU Desa—yang kini sedang digodok di DPR—perlu dilakukan secermat mungkin sebelum ditetapkan menjadi undang-undang.

Page 27: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Memanfaatkan Bonus DemografiRazali Ritonga ; Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RIREPUBLIKA, 01 Maret 2014 Hasil proyeksi penduduk tahun 2010-2035 menunjukkan bahwa Indonesia kini tengah memasuki era bonus demografi dengan puncaknya pada 2028-2030. Adapun angka beban tanggungan pada saat puncak bonus demografi tercatat sebesar 46,9, yang artinya untuk setiap 100 penduduk usia produktif (15- 64 tahun) menanggung beban sebanyak 46,9 atau sekitar 47 penduduk usia non- produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun ke atas).

Dengan rasio penduduk usia produktif dan nonproduktif dua berbanding satu itu, merupakan jendela peluang dengan potensi yang sangat luar biasa untuk menggerakkan pembangunan di berbagai sektor. Tentunya, potensi itu perlu disertai catatan bahwa pertambahan penduduk usia produktif cukup berkualitas.

Pengalaman Cina, misalnya, menunjukkan bahwa faktor bonus demografi di negara itu berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonominya. Untuk setiap satu persen penurunan rasio angka beban tanggungan diperkirakan menyumbang 0,115 persen pertumbuhan ekonomi di negeri Tirai Bambu itu. Secara akumulatif, sekitar sepertiga pertumbuhan ekonomi Cina disumbang oleh keberadaan bonus demografi di negara itu (Zhang Monan, 2012).

Disparitas momentum

Namun, celakanya, hingga dua dekade mendatang sejumlah daerah di Tanah Air tidak dapat menikmati momentum bonus demografi, yakni Sumatra Utara, Sumatra Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara. Jika ditilik menurut daerah kabupaten/kota, boleh jadi cukup banyak daerah-daerah yang tidak mengalami bonus demografi. Bahkan, meski suatu provinsi mengalami momentum bonus demografi dalam rentang saat ini hingga 2035, sejumlah kabupaten/kota di provinsi itu boleh jadi tidak mengalami bonus demografi. Sebab, seperti halnya pada level na sional yang merangkum keadaan provinsi, level provinsi juga merangkum keadaan kabupaten/kota.

Fenomena bonus demografi di suatu daerah memang sangat dipengaruhi oleh dinamika penduduk, terutama akibat kelahiran dan perpindahan penduduknya. Daerah-daerah dengan penurunan angka kelahiran yang kian cepat akan semakin awal mengalami momentum bonus demografi dibandingkan daerah- daerah lain yang lambat penurunan angka kelahirannya.

Meski demikian, penurunan angka kelahiran yang cepat di suatu daerah bukan satu-satunya faktor yang menghadirkan fenomena bonus demografi di daerah itu. Hal lain yang turut memengaruhi adalah perpindahan penduduk.

Daerah-daerah dengan arus perpindahan keluar usia produktif yang lebih besar dibandingkan dengan arus perpindahan masuknya, akan mengalami pelambatan atau bahkan tidak mengalami momentum bonus demografi. Sebaliknya, daerah-daerah dengan perpindahan penduduk usia produktifnya keluar lebih kecil dibandingkan yang masuk, maka akan mengalami bonus demografi yang momentumnya kian cepat jika penduduk usia produktif yang masuk kian besar.

Page 28: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Secara umum, daerah-daerah maju seperti Jawa mengalami momentum bonus demografi lebih awal dibandingkan daerah luar Jawa. Bahkan, DKI Jakarta mengalami bonus demografi paling awal karena daerah ini sejak lama menjadi tujuan terfavorit penduduk usia produktif pindah dari luar Jakarta. Diperkirakan, DKI Jakarta telah mengalami momentum bonus demografi sejak 1980-an.

Selain Jakarta, daerah-daerah yang mengalami percepatan momentum bonus demografi adalah daerah pertumbuhan ekonomi baru, seperti Kepulauan Riau dan Kalimantan Timur. Sebaliknya, daerah-daerah pengirim migran mengalami pelambatan momentum bonus demografi atau bahkan tidak sama sekali. Nusa Tenggara Timur, misalnya, dengan arus keluar penduduk usia produtif yang cukup besar mengakibatkan daerah ini tidak mengalami momentum bonus demografi hingga 2035.

Kesenjangan antardaerah

Pada gilirannya, suatu daerah yang tidak mengalami bonus demografi, yang umumnya daerah tertinggal tidak akan memperoleh jendela peluang untuk meningkatkan kemajuan daerahnya. Sebaliknya, daerah maju akan semakin maju mengingat arus perpindahan penduduk cendrung mengalir dari daerah yang kurang maju ke daerah lain yang lebih maju. Hal ini pada gilirannya berpotensi menyebabkan kesenjangan tingkat kemajuan yang kian melebar antardaerah.

Mengacu pada pembentukan otonomi daerah yang dimaksudkan untuk mempercepat kemajuan daerah dan mewujudkan pemerataan antardaerah, maka persoalan bonus demografi ini penting untuk dicermati. Pemerintah pusat barangkali perlu mempertajam pengalokasian dana alokasi khusus untuk pem biayaan yang sifatnya khusus, seperti fenomena bonus demografi agar ke senjangan kemajuan antardaerah tidak terjadi.

Pengalokasian dana alokasi khusus perlu diperbesar pada daerah-daerah tertinggal, terutama untuk membangun infrastruktur guna meningkatkan kinerja perekonomian dan pembukaan kesempatan kerja. Diharapkan dengan cara itu, dapat menjadi faktor penarik agar penduduk usia produktif di daerah-daerah tertinggal tidak melakukan perpindahan ke daerah-daerah lain yang lebih maju.

Maka, atas dasar itu, meski Indonesia tersekat-sekat menurut pemerintahan daerah, sebagai bangsa adalah satu. Terbukanya jendela peluang atas hadirnya bonus demografi sepatutnya tidak menjadi monopoli daerah maju, tetapi merupakan aset bangsa untuk diberdayakan guna meningkatkan kesejahteraan bersama.

Page 29: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Persoalan Gizi dan Masa Depan BangsaRazali Ritonga Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI

HIRUK pikuk pemilihan calon anggota legislatif pada April lalu dan persiapan pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden tampaknya menyedot perhatian hampir seluruh pihak sehingga tidak banyak yang dilakukan dalam memperingati Hari Anak Internasional pada 1 Juni lalu. Padahal, salah satu inti pemilihan wakil rakyat dan pemimpin bangsa ialah untuk memperbaiki masa depan bangsa yang diawali dari pembangunan generasi anak-anak yang berkualitas.

Sejatinya, pemerintahan yang akan datang perlu bekerja lebih keras mengingat masih rendahnya kualitas anak-anak. Secara faktual, hal itu tecermin dari masih cukup banyaknya prevalensi anak yang bertubuh pendek (stunting). Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan prevalensi anak balita yang mengalami stunting sekitar 37,2%.

Di tengah hadirnya bonus demografi hingga puncaknya 2020—2030, rendahnya kualitas anak-anak itu akan menjadi ancaman serius karena mereka akan sulit diberdayakan dan berpotensi menjadi beban pembangunan. Secara faktual, jika dibandingkan dengan sejumlah negara pada tataran global, hingga kini kualitas anak Indonesia masih tertinggal jauh.

Hal itu diketahui dari rendahnya indeks perkembangan anak Indonesia, yakni pada peringkat ke-82 dari 141 negara pada 2012. Malaysia berada di peringkat ke-42, Thailand ke-49, Vietnam ke-79, dan Filipina ke-80. Penghitungan indeks perkembangan anak (The Child Development Index) itu didasarkan pada tiga dimensi, yakni kesehatan, pendidikan, dan nutrisi (Save the Children, 2012).

Masalah Kualitas Pangan

Hadirnya anak-anak yang mengalami kekurangan gizi itu sekaligus mengisyaratkan bahwa konsep ketahanan pangan belum cukup sensitif digunakan untuk mengetahui kecukupan gizi. Ketahanan pangan yang selama ini digunakan ditengarai masih terfokus pada pemenuhan kebutuhan kalori dengan penjaminan ketersediaan dan aksesibilitas bahan pokok, terutama beras.

Padahal, dalam pembukaan Widyakarya Nasional X 2012 di Jakarta, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi secara tegas menyebutkan bahwa ketahanan pangan dan perbaikan gizi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Penegasan itu dapat dimaknai bahwa soal pangan tidak hanya menyangkut soal kuantitas, tapi juga kualitas pangan yang dikonsumsi. Boleh jadi, kurang sensitifnya ketahanan pangan sebagai indikator kecukupan pangan bergizi menyebabkan pemerintah kurang tanggap atas kasus kurang gizi yang menimpa masyarakat, khususnya anak-anak, sehingga tumbuh kembang mereka tidak optimal.

Dengan tumbuh kembang yang tidak optimal, anak-anak kelak ketika dewasa akan menyebabkan masalah serius dalam kualitas angkatan kerja yang akan berdampak negatif terhadap produktivitas tenaga kerja dan pendapatan nasional. Di Afrika, misalnya, malanutrisi menyebabkan hilangnya potensi (potential loss) sekitar 50% dari produk domestik bruto (PDB) di benua itu. Potential loss akibat malanutrisi secara global tercatat sebesar 16 miliar dolar AS per tahun (Bank Dunia, 1999).

Page 30: Kumpulan Tulisan Razali Ritonga

Selain menyebabkan potential loss, masalah kekurangan gizi juga akan menyebabkan beban pembangunan yang sangat besar. Di India, misalnya, pemerintah di negara itu terpaksa mengalokasikan anggaran sebesar 2% dari PDB-nya untuk mengatasi penderita kekurangan gizi (Horton, 2001).

Bahkan, akibat masalah kekurangan gizi akan berpotensi menghadirkan fenomena generasi yang hilang (lost generation). Fenomena itu terjadi karena keterlambatan penanganan penduduk yang kekurangan gizi secara berlarut-larut, terutama pada wanita. Diketahui, wanita yang menderita kekurangan gizi cenderung melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah atau kurang dari 2.500 gram (BBLR).

Studi terhadap BBLR di Finlandia, misalnya, menemukan bahwa ketika mereka dewasa rentan terkena serangan jantung (Eriksson, 2001). Studi yang sama di Jepang menunjukkan anak berstatus BBLR ketika dewasa cenderung mengalami tekanan darah tinggi dan rentan terkena kolesterol (Miura, 2001).

Ketahanan Pangan dan Gizi

Atas dasar itu, pemerintah perlu berupaya ekstrakeras untuk melindungi masyarakat, terutama anak-anak, dari penderitaan kekurangan gizi. Untuk itu, pemerintah perlu menindaklanjuti konsep ketahanan gizi selaras dengan konsep ketahanan pangan.Artinya, pemerintah perlu memenuhi ketersediaan dan aksesibilitas pangan selain kalori, seperti protein dan vitamin.

Untuk meningkatkan konsumsi protein, misalnya, diperkirakan masih cukup banyak yang bisa dilakukan, yang tidak hanya bersumber pada kacang-kacangan dan daging, tapi juga ikan.

Namun, sangat disayangkan, meski Indonesia memiliki laut yang luas dengan potensi ikan melimpah, tingkat konsumsi ikan per kapitanya rendah.

Laporan Helgi Library tentang konsumsi ikan di berbagai negara menunjukkan bahwa konsumsi ikan di Indonesia masih cukup rendah. Pada 2009, misalnya, konsumsi ikan di Tanah Air hanya sebesar 25,4 kilogram per kapita per tahun. Sementara itu, konsumsi ikan di Malaysia telah mencapai 53,2 kg, Filipina 36,4 kg, dan Vietnam 32,6 kg per kapita per tahun.

Sepatutnya, berbagai fakta yang diungkap itu dapat menginspirasi para wakil rakyat dan pemimpin bangsa ini untuk segera meningkatkan asupan gizi masyarakat, terutama anak-anak. Kita perlu meningkatkan kualitas hidup anak-anak agar tidak tertinggal dari negara lain yang lebih maju. Sangat diharapkan, dengan cara itu, Indonesia dapat meningkatkan daya saingnya, dan bisa memetik keuntungan atas keberadaan bonus demografi yang kehadirannya hanya sekali dalam kehidupan suatu bangsa