130

KUMPULAN ABSTRAK - Universitas Udayana...Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta Abdominalis Andi Kusuma, I Wayan Aryabiantara..... 62 P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis

  • Upload
    others

  • View
    29

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    KUMPULAN ABSTRAK

    SUSUNAN PANITIA

    1. Penanggung Jawab

    a. dr. Andi Wahyuningsih Attas, Sp.An, KNA, KIC b. Prof. Dr. dr Eddy Rahardjo, Sp.An, KICc. dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH

    2. Ketua Panitia : Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, KMN, KNA, M.Kes

    3. Sekretaris : dr. I Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An

    4. Bendahara : dr. I Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC

    Sie Acara & Ilmiah

    Sie Publikasi & Humas

    Sie Akomodasi & Transportasi

    Sie Fundrising & Pameran

    Sie Kesekretariatan

    dr. IGN Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR

    Dr. dr. Tjok Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR

    dr. IMG Widnyana, Sp.An, KAR, M.Kes

    dr. I Putu Agus Surya Panji, Sp.An, KIC

    dr. Asmaya Ahadi Permana Duarsa, Sp.An

    dr. Kadek Agus Heryana Putra, Sp.An

    dr. I.G.A.G. Utara Hartawan, Sp.An, MARS

    dr. Tjahya Aryasa E.M., Sp.An

    dr. I Ketut Wibawa Nada, Sp.An, KAKV

    dr. I Gusti Eko Tisna, Sp.An

    dr. Putu Kurniyanta, Sp.An

    dr. Pontisomaya Parami, Sp.An, MARS

    dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN

    dr. Ida Ayu Manik Manuaba, Sp.An

    dr. I Nyoman Widhiartawa, Sp.An

    dr. Komang Adi Kusumajaya, Sp.An

    dr. I.B. Krisnajaya Sutawan, Sp.An, M.Kes

    KPPIAKursus Penyegar dan Penambah I lmu Anes thes ia

    Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    DENPASAR - BALI10 - 13 JUNI 2015

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    SUSUNAN PANITIA

    1. Penanggung Jawab

    a. dr. Andi Wahyuningsih Attas, Sp.An, KNA, KIC b. Prof. Dr. dr Eddy Rahardjo, Sp.An, KICc. dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV, SH

    2. Ketua Panitia : Dr. dr. I Putu Pramana Suarjaya, Sp.An, KMN, KNA, M.Kes

    3. Sekretaris : dr. I Made Agus Kresna Sucandra, Sp.An

    4. Bendahara : dr. I Wayan Aryabiantara, SpAn, KIC

    Sie Acara & Ilmiah

    Sie Publikasi & Humas

    Sie Akomodasi & Transportasi

    Sie Fundrising & Pameran

    Sie Kesekretariatan

    dr. IGN Mahaalit Aribawa, Sp.An, KAR

    Dr. dr. Tjok Gde Agung Senapathi, Sp.An, KAR

    dr. IMG Widnyana, Sp.An, KAR, M.Kes

    dr. I Putu Agus Surya Panji, Sp.An, KIC

    dr. Asmaya Ahadi Permana Duarsa, Sp.An

    dr. Kadek Agus Heryana Putra, Sp.An

    dr. I.G.A.G. Utara Hartawan, Sp.An, MARS

    dr. Tjahya Aryasa E.M., Sp.An

    dr. I Ketut Wibawa Nada, Sp.An, KAKV

    dr. I Gusti Eko Tisna, Sp.An

    dr. Putu Kurniyanta, Sp.An

    dr. Pontisomaya Parami, Sp.An, MARS

    dr. I Gede Budiarta, Sp.An, KMN

    dr. Ida Ayu Manik Manuaba, Sp.An

    dr. I Nyoman Widhiartawa, Sp.An

    dr. Komang Adi Kusumajaya, Sp.An

    dr. I.B. Krisnajaya Sutawan, Sp.An, M.Kes

    KPPIAKursus Penyegar dan Penambah I lmu Anes thes ia

    Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

  • ���Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    KATA PENGANTAR

    Buku abstrak ini merangkum semua abstrak topik yang dipresentasikan pada Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA), 10 - 13 Juni 2015, yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin) di Bali. Adapun pembicara berasal dari seluruh pusat pendidikan Anestesi di Indonesia serta beberapa tempat pelayanan anestesi rujukan.

    Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anestesia (KPPIA) adalah acara tiga tahunan Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia dan kali ini merupakan penyelenggaraan KPPIA yang ketiga. KPPIA meliputi simposium dan kursus Continuing Professional Development (CPD).

    KPPIA 2015 mengambil tema “Tantangan Profesi Mandiri Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif di Era Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan Masyarakat Ekonomi ASEAN” yang memiliki makna dokter spesialis Anestesiologi harus siap berpartisipasi dan mengambil peran dalam Sistem Jaminan Kesehatan Nasional dan siap untuk berkompetisi global dengan adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN.

    Simposium dalam KPPIA 2015 ini terdiri 18 sesi yang meliputi topik kebijakan pelayanan kesehatan, anestesi bedah jantung, anestesi bedah saraf, anestesi pediatrik, anestesi regional, anestesi obstetrik, manajemen nyeri, kedokteran gawat darurat, pengelolaan perioperatif, etika kedokteran dan hukum serta perawatan intensif.

    Atas nama KPPIA 2015 saya menyampaikan terima kasih kepada seluruh peserta, pembicara moderator dan panitia yang telah berpartisipasi mensukseskan pertemuan KPPIA 2015 ini.

    Ketua Panitia

    I Putu Pramana Suarjaya

  • �vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

  • vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    SAMBUTAN

    Assalamualaikum wr wb,

    Selamat datang dan selamat bertemu lagi kepada para teman sejawat diajang Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia (KPPIA) tahun 2015. Kita tidak lupa selalu memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT karena ijinnya kita diberi kesehatan, kesempatan dan berdiskusi diacara ini.

    Saya mengharapkan ajang ilmiah seperti KPPIA ini diikuti dan dipergunakan seoptimal mungkin untuk sharing dan mendapat informasi tentang pelayanan anestesi di Indonesia.

    Sebagai seorang dokter anestesi, kita harus selalu meningkatkan kompetensi melalui pertemuan ilmiah CPD, baik didalam maupun diluar negeri untuk dipergunakan dalam pelayanan anestesi yang dapat meningkatkan kualitas pelayanan, keamanan, serta kenyamanan bagi pasien di rumah sakit.

    Tentunya dalam melakukan pelayanan anestesi bukan saja ilmu yang harus ditingkatkan, tetapi fasilitaspun harus terstandarisasi, oleh karena itu dihimbau kepada seluruh dokter anestesi untuk selalu memberikan masukan kepada manejemen rumah sakit atau pemilik rumah sakit. Selain hal tersebut juga saya ingatkan setiap pelayanan anestesi harus membuat standar pelayanan operasional sesuai kemampuan rumah sakit dan kebutuhan masyarakat yang kita layani.

    Demikian beberapa hal yang saya ingatkan untuk kenyamanan, keamanan, teman sejawat dalam melakukan pelayanan anestesi dan pelayanan intensive care dimasing-masing tempat bekerja. Semoga Allah SWT selalu melindungi dan menuntun kita dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat.

    Wassalamualaikum wr, wb

    Bali, Juni 2015Ketua PERDATIN

    Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn, KIC, MARS

  • v�Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

  • v��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar ............................................................................................................................ iiiSambutan ...................................................................................................................................... vDaftar Isi ....................................................................................................................................... vii

    PLENARY LECTUREPL-01 RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST : Quality of Life Professional DevelopmentAndi Wahyuningsih Attas ............................................................................................................. 1

    PL-02 Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practiceBambang Tutuko ............................................................................................................................. 2

    PL-03 Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatanpada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatangBambang Tutuko ............................................................................................................................. 2

    PL-04 Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical DisputeMade Subagiartha ........................................................................................................................... 3

    SYMPOSIUMS-01 Pain Management in Opioid-Tolerant PatientA.M.Takdir Musba ......................................................................................................................... 4

    S-02 Fast Track NeuroanesthesiaAgus Baratha Suyasa ...................................................................................................................... 4

    S-03 Novel Drug Development And Future Technology In AnesthesiaAkhyar H. Nasution ....................................................................................................................... 5

    S-04 The Role Of Anesthesiologist In Emergency DepartementApril Poerwanto Basoeki, Eddy Rahardjo ...................................................................................... 6

    S-05 Update in DIC ManagementBambang Wahjuprajitno ................................................................................................................. 9

  • v���Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-06 Regional Anesthesia in Obese patient : loss of landmarksChristrijogo SW ............................................................................................................................. 11

    S-07 ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS :Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya?Dedi Fitri Yadi ................................................................................................................................ 12

    S-08 The Anesthesiologist’s Role In The Prevention Of Surgical Site InfectionsDjudjuk R. Basuki .......................................................................................................................... 12

    S-09 Perioperative Management In Peripartum CardiomyopathyGatut Dwidjo Prijambodo .............................................................................................................. 13

    S-10 Anesthesiologist Practice in Urban Area : Group vs IndividualHimendra W ................................................................................................................................... 14

    S-11 Understanding the Future in Perioperative Analgesia in IndonesiaI Gede Budiarta ............................................................................................................................... 15

    S-12 Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit PendidikanI Ketut Sinardja .............................................................................................................................. 16

    S-13 Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical PatientI Made Adi Parmana ...................................................................................................................... 18

    S-14 Spinal Anesthesia In NeonatesI Putu Kurniyanta .......................................................................................................................... 18

    S-15 Postoperative cognitive dysfunction after Anesthesia and SurgeryI Putu Pramana Suarjaya ............................................................................................................... 19

    S-16 Transfusion practice vs patient blood managementI Wayan Aryabiantara .................................................................................................................... 20

    S-17 Role of Dexmedetomidine as Long Term Sedation in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi ........................................................................................................................... 21

  • �xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-18 Tight Glucose Control in Critically Ill PatientsI Wayan Suranadi ........................................................................................................................... 22

    S-19 Management of local anaesthetic systemic toxicityI Wayan Widana ............................................................................................................................. 23

    S-20 Radiofrequency In Knee Osteoarthritic PatientsI Wayan Widana ............................................................................................................................. 27

    S-21 Patient Controlled Analgesia : Not Just an Intravenous Analgesiaatient Controlled Analgesia : Not Just an Intravenous AnalgesiaPatient Controlled Analgesia : Bukan Hanya Sebagai Analgesia IntravenaI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa ................................................................................................. 31

    S-22 TCI in Obese PatientI Gusti Ngurah Mahaalit Aribawa ................................................................................................. 32

    S-23 Hightoracic And Cervical Epidural AnaesthesiaI.G.Ngurah Rai Artika .................................................................................................................... 33

    S-24 Loco-Regional Anesthesia and Analgesia in Critically Ill PatientsI.M.G Widnyana ............................................................................................................................. 36

    S-25 Enhance Recovery After Surgery in Abdominal SurgeryIda Bagus Krisna Jaya Sutawan ..................................................................................................... 37

    S-26 Anesthesia in Major Vascular SurgeryJefferson Hidayat ............................................................................................................................. 38

    S-27 Pediatric Ambulatory AnesthesiaKadek Agus Heryana Putra ............................................................................................................ 38

    S-28 Anesthesia in High Risk Pediatric PatientsHU Kaswiyan Adipradja ................................................................................................................ 39

    S-29 Stress Management In Anesthesiologist : Are We Satisfied Enough?I Made Wiryana .............................................................................................................................. 41

  • xKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-30 Ethics In End Of Life Care In ElderlyMoh. Sofyan Harahap ..................................................................................................................... 42

    S-31 Advanced Airway Management In Difficult Pediatric PatientMuhammad Ramli Ahmad ............................................................................................................. 42

    S-32 Pediatric Traumatic Brain InjuryNazaruddin Umar ......................................................................................................................... 43

    S-33 Advanced Hemodynamic MonitoringPutu Agus Surya Panji .................................................................................................................. 44

    S-34 Direct Marker Of End Organ PerfussionPrananda Surya Airlangga............................................................................................................. 44

    S-35 Chronic Pain : Depression And Somatoform DisordersI Putu Eka Widyadharma ............................................................................................................... 45

    S-36 Pain Management In Day- Case SurgerySugeng Budi Santosa ...................................................................................................................... 46

    S-37 Regional Anaesthesia In Patient On Anticoagulant MedicationSugeng Budi Santoso ...................................................................................................................... 46

    S-38 Major Obstetric Bleeding ManagementSusilo Chandra................................................................................................................................ 47

    S-39 Perioperative NeuroprotectionTatang Bisri .................................................................................................................................... 51

    S-40 Regional Anesthesia Continuous Brachial Plexus Block With Ultrasonography GuidanceT. G. A. Senapathi, M. Wiryana, P. Astawa, N. M. Astawa, S. Maliawan, M. Bakta ................ 55

    S-41 Update In Preoperative Cardiovascular Risk Asessment : Anesthesiologist PerspectiveWidya Istanto Nurcahyo ................................................................................................................ 56

  • x�Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-42 Sepsis in obstetricYusmein .......................................................................................................................................... 57

    S-43 Principles of Medical Consultation and Perioperative MedicineZulkifli ............................................................................................................................................ 58

    S-44 MAC and Sedation outside the Operating RoomArif H.M.Marsaban ........................................................................................................................ 58

    S-45 Target-controlled inhalational anesthesiaDoddy Tavianto .............................................................................................................................. 60

    POSTERP-01 Perbandingan efek metamizol iv, parasetamol iv dan cooling blanket terhadapa penurunan suhu tubuh dan kadar PGE-2 pada pasien cedera otak dengan demam.Ade Irna .......................................................................................................................................... 61

    P-02 Anestesi Epidural Untuk Laparotomi Supravaginal Histerektomi Pada Pasien Dengan Penyakit Katup JantungAgus Adi Yastawa; Wibawa Nada, Kt; Kurniyanta, Pt. ................................................................ 61

    P-03 Managemen Anestesi Pada Pasien Aneurisma Aorta AbdominalisAndi Kusuma, I Wayan Aryabiantara. .......................................................................................... 62

    P-04 Manajemen Anestesi Pada Pasien Epidermolisis BulosaAndri Thewidya , IGN Mahaalit Aribawa ..................................................................................... 63

    P-05 Manajemen Anestesi Pada Trauma Tumpul Abdomen Di Rumah Sakit H Adam MalikAndrias. Dadik, WW. ..................................................................................................................... 64

    P-06 Kombinasi Anestesia Spinal – Epidural Untuk Laparatomi dan Seksio Sesaria Pada Pasien Hamil dengan DisgerminomaAngga Permana Putra, Syamsul Bahri Siregar, Hasanul Arifin................................................... 65

  • x��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    P-07 Difference Of Single Injection And Multiple Injection Paravertebrae Block To Plasma Cortisol And Vas In Breast Cancer Patients Undergoing Excisy BiopsyAnindito Andi Nugroho ................................................................................................................. 66

    P-08 Anestesi Spinal Untuk Dilatasi-kuretase Pada Pasien Dengan Syndrom EisenmengerAsterina Dwi Hanggorowati; Agus Surya, P; Aryabiantara, W ................................................... 67

    P-09 Pengaruh Ketorolak Dan Parecoxib Intramuskuler Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus WistarBayu Residewanto Putro, Anggri Styanugroho, Himawan Sasongko ........................................... 68

    P-10 Case Series : Ketamine Applied As Peritonsillar Infiltration For Post Operative Tonsillectomy Pain ManagementCharismaulana Oloan Harahap, Doso Sutiyono ............................................................................ 69

    P-11 Manajemen anestesi pada pasien pediatrik dengan atresia bilier, hepatitis et causa Cytomegalovirus dan hernia inguinalisDian Irawati, Mohamad Andy Prihartono ..................................................................................... 70

    P-12 Penatalaksanaan Anestesi Pada Aneurisma Aorta AbdominalDian Irawati, Mohamad Andy Prihartono ..................................................................................... 70

    P-13 Serial Kasus Manajemen Anestesia pada Awake CraniotomyDian Rosanti Khalid, Pryambodho ................................................................................................. 71

    P-14 Manajemen anestesi pasien dengan Atrial Septal Defect besar (single atrium), Ventrikel Septal Defect besar (single ventrikel), Atresia Pulmonal, Major Aorto Pulmonary Collateral Artery yang menjalani operasi non-cardiacDita Aryanti Prabandari, Mohamad Andy Prihartono ................................................................. 73

    P-15 Efektivitas Penambahan Dexmedetomidine Pada Bupivacaine Hiperbarik Terhadap Mula Dan Lama Kerja Blokade Sensorik Dan Motorik Anestesi SpinalDonny Yudo Saputra. Yusni Puspita. Rose Mefiana ..................................................................... 73

    P-16 Penanganan Gullain Barre Syndrome dengan plasmapharesis manualEric Makmur, Putu Agus Surya Panji, I Ketut Sinardja .............................................................. 74

  • x���Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    P-17 Perbandingan Efektivitas Blok Unilateral Anestesi Spinal Pada Operasi Ekstremitas Bawah Berdasarkan Durasi Posisi Lateral DekubitusFirmansya, Syafri Kamsul Arif, Syafruddin Gaus ........................................................................ 75

    P-18 Stabilitas Hemodinamik Pada Pemberian Fentanyl Sebagai Koinduksi Propofol Dibandingkan Dengan Midazolam Pada Pemasangan Laryngeal Mask AirwayI Dewa Gede Tresna Rismantara, I Ketut Sinardja, I Made Gede Widnyana .............................. 76

    P-19 Anestesi umum dengan Target Control Infusion (TCI) Propofol dan monitoring Index of Consciousness (IoC) pada pasien yang dikerjakan tindakan Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography (ERCP)I Made Artawan, IB Krisna Jaya Sutawan ..................................................................................... 77

    P-20 Efektifitas Blok Kepala Leher pada operasi hemimandibulektomi wide eksisi parotidektomi pada pasien geriatri untuk mengurangi penggunaan opiat sistemikI Made Handawira Satya, Tjok Gede Agung Senapathi, Tjahya Aryasa EM ............................... 78

    P-21 Penatalaksaan Anestesi Pasien Ibu Hamil Dengan Stroke Hemorhagik Dengan Fetal Iugr Untuk Operasi CaesareaIda Bagus Putu Okta, Ida Bagus Krisna Jaya Sutawan ................................................................. 79

    P-22 Dexmedetomidine Sebagai Agen Hipotensi Kendali Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Tulang Belakang : serial KasusIhsan Affandi, Erwin Syukri, Ardiayuman, Mayang Indah Lestari, Fredi Heru Irwanto ............ 80

    P-23 Perbandingan Efektifitas Cairan Kumur Aspirin 320 mg Dan Cairan Kumur Ketamin 50 mg Dalam Mengurangi Efek Nyeri Tenggorokan Setelah Tindakan Intubasi Pada Pasien Yang Menjalani Operasi Elektif Dalam Anestesi UmumJoan Willy Ansar, Rose Mafiana, Rizal Zainal, Theodorus ........................................................... 81

    P-24 Efektifitas Caudal Thoracic Epidural (CTE) Kontinyu Perioperatif pada Pembedahan Laparotomi InfantKetut Yudi Arparitna, Putu Kurniyanta, I Gede Budiarta............................................................ 82

    P-25 Caudal Thorakal Epidural (CTE) Pada Operasi Laparotomi Pediatri Dengan Tuntunan USG Serial KasusKoko S.Putra I Gede, Kurniyanta Putu, Senapathi Tjokorda Gde Agung ..................................... 84

  • x�vKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    P-26 Seksio Sesarea pada Pasien Hamil yang Menderita Defek Septal Atrial Besar dan Hipertensi Pulmonal dengan Anestesi UmumM. Teguh Prihardi, Dadik Wahyu Wijaya, Hasanul Arifin .......................................................... 85

    P-27 Manajemen Anestesi Pasien Perdarahan Subdural Dengan Gagal Jantung Kronis Dan Atrial Fibrilasi Slow Ventricular ResponseMarilaeta Cindryani, IGAG Utara Hartawan, I Ketut Sinardja ................................................... 86

    P-28 Sensitivitas Dan Spesifisitas Neutrophil Gelatinase Associated Lipocalin Sebagai Penanda Dini Acute Kidney Injury Pada Pasien ICU dan HCUMeili Andriani, Zulkifli, Yusni Puspita, Theodorus ..................................................................... 87

    P-29 Anestesia Berbasis Opioid Pada Tindakan Koreksi Skoliosis Thorakalis : Laporan KasusMohamad Emil Arief Umar, Qodri, Fredi Heru Irwanto .............................................................. 88

    P-30 Perbandingan Dinamika Kadar Kortisol Antara Fentanil Dan Morfin Selama Anestesi Umum Laparoskopi KolesistektomiMuh.lkbal, AM Takdir Musba, Muh. Ramli Ahmad .................................................................... 89

    P-31 Manajemen anesthesia pada wanita hamil dengan hipertensi pulmonal yang dilakukan operasi seksio cesarean dengan anestesi epiduralMuhamad Ibnu, Mohamad Andy Prihartono ................................................................................ 90

    P-32 Manajemen Anestesi Pada Gravida dengan AHF ec Peripartum Cardiomiopati dengan SC Green CodeNovita Pradnyani, Ketut Wibawa Nada, IMG Widnyana ............................................................ 90

    P-33Efek Blok Transversus Abdominis Plane Teknik Landmark Terhadap Kebutuhan Analgetik Pascabedah HerniorafiNur Asdarina, Syamsul Hilal Salam, A. Husni Tanra .................................................................. 92

    P-34 Efektivitas Magnesium Sulfat Bolus 30 mg/kgbb/jam Terhadap Nyeri Pascaoperasi Esktremitas Bawah Dengan Anestesi SpinalNurcholis Hendry Nugraha, Yusni Puspita,Zulkifli ..................................................................... 93

    P-35 Anestesi Caudal Kontinyu Pada Pediatrik Dengan Persisten Kloaka, Ctev, Single Kidney Dilakukan Posterior Sagital Anorecto Vaginal UretroplastyPande Nyoman Kurniasari, Putu Kurniyanta ............................................................................... 94

  • xvKumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    P-36 Laporan Kasus Serial : Kaudal Pediatrik dengan Ultrasonografi–Sebaran Obat Anestesi pada Dosis Kaudal Mid ThorakalPradhana, A.P ;Taofik, S.; Senapathi, Tjok. G.A; Aribawa, I.G.N.Mahaalit ................................ 95

    P-37 Pengaruh Pemberian Minuman Karbohidrat dan Protein Whey pra Operasi terhadap Kadar C-Reactive Protein Pasca Operasi Pasien MastektomiPuja Laksana, Erwin Santoso Andreanto, Aria Dian Primatika, Jati Listiyanto Pujo .................. 96

    P-38 Perbandingan Kadar Glukosa Dan Laktat Darah Antara Propofol-fentanil Dengan Sevofluran-fentanil Pada Operasi Kraniektomi Cedera Otak Traumatik SedangRezkita Dwi Oktowati, Syafruddin Gaus, Syafri K. Arif ............................................................... 97

    P-39 General Anestesi Dengan Pendekatan Neuroanestesi Pada Total Tiroidektomi Disertai Space Occupaying Lession IntrakranialRuddy Hardiansyah, Hasanul Arifin ............................................................................................. 97

    P-40 Prosedur Anestesi Timektomi pada Kasus Timoma dengan Gejala Miastenia Gravis Sebuah Laporan KasusSemarawima Gede, Budiarta I Gede ............................................................................................... 99

    P-41Perbandingan Adjuvan Klonidin 45 mcg , Fentanyl 25 mcg, Dan Fentanyl 25 mcg + Klonidin 45 mcg Terhadap Analgesia Intratekal Bupivakain 0,1% 2,5 mg Pada Persalinan PervaginamSitti Salma, Muh. Ramli Ahmad, Syafri K.Arif ............................................................................. 100

    P-42 Laporan Kasus; Manajemen Anestesi Pada Repair Hernia Diafragma Traumatika pada Pediatri dengan DIC dan SepsisStefanus Taofik, Abraham Taofik, Putu Kurniyanta, I Gede Budiarta ......................................... 101

    P-43 Perbandingan Validitas APACHE II, SOFA, dan CSOFA untuk Memperkirakan Mortalitas Pasien non bedah di Ruang Perawatan IntensifStefanus Taofik ; Musa Taofik; Senapathi, Tjok. G.A ; PAS, Panji .............................................. 102

    P-44 Endotracheal Intubation with Flexible Fibreoptic Bronchoscope(FOB) in Case of AmeloblastomaTaor Leonardo Marpaung, Rommy Fransiscus Nadeak ................................................................. 103

    P-45 Transplantasi Hati dari Donor Hidup di RSUPN Cipto MangunkusumoTjues Aryo Agung W., Sidharta Kusuma M., Alfan Mahdi ......................................................... 104

  • xv�Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    P-46 Peranan Teknik Kombinasi Spinal Epidural di dalam Pelayanan Anestesi Kebidanan yang Optimal: Tantangan Kendali Mutu dan Kendali Biaya di era Jaminan Kesehatan Nasional.Tommy N Tanumihardja, Grace Alvina ........................................................................................ 105

    P-47 Tatalaksana nyeri pasca Proximal Femoral Nail Antirotation (PFNA) berbasis blok femoral kontinu di era Jaminan kesehatan Nasional: tantangan kendali mutu dan kendali biaya bagi pelayanan anestesiaTommy N. Tanumihardja, Clementine Natalie .............................................................................. 106

    P-48 Penatalaksanaan Anestesi Pada Congenital Cyst Adenomatoid Malformation (CCAM)Vania Wiyanto, M. Andy Prihartono ............................................................................................ 107

    P-49Perbandingan efek kecepatan injeksi 0.2 ml/dtk dan injeksi 0.4 mL/dtk pada prosedur anestesi spinal terhadap kejadian hipotensi pada seksio sesariaIwan Setiawan, Syafri K Arif, Hisbullah ....................................................................................... 108

    P-50Laporan Kasus:Spinal Anestesi Pada Seksio Sesaria Untuk Gravida DenganSkoliosis-Lordosis Berat Vertebra Lumbal Disertai Jaringan Parut luas di Regio LumbalWarsito; Andriani, Wiwiek; Prahastini, Erawati ........................................................................... 109

    P-51Penatalaksanaan Kasus Intubasi Sulit Pada Pasien dengan Tumor Intraoral Menggunakan Teknik Awake Intubasi dengan Bronchoscop FiberopticI Made Handawira Satya, IGAG Utara Hartawan ........................................................................ 110

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    PL-01

    RURAL VS URBAN ANESTHESIOLOGIST : Quality of Life Professional Development

    Andi Wahyuningsih Attas

    Ketua PERDATIN

    Abstrak

    Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan atau program kesehatan yang ditujukan pada perseorangan atau masyarakat, dengan tujuan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pelayanan Anestesi sebagai salah satu bentuk pelayanan kesehatan yang seharusnya tersedia di rumah sakit daerah(rural) maupun perkotaan (urban). Gambaran kondisi saat ini pelayanan anestesi terjadinya ketidakseimbangan pelayanan di rural dan urban, seperti ketidak tersediaan kamar operasi dan ICU yang sesuai standar dan kurangnya tenaga Dokter Spesialis Anestesi di daerah rural, sehingga cenderung terjadinya penundaan pelayanan (delayed treatment).

    Diperlukan adanya Strategi Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Rural-Urban yaitu penerapan sistem rujukan regional dan komitmen dari Pemerintah Daerah. Persiapan menuju pelayanan Anestesi di daerah Rural dan Urban adalah sebagai berikut :

    1. Tata kelola rujukan dalam Sistem Jaminan Kesehatan : rujukan berjenjang pelayanan dokter anestesi di rumah sakit kelas C,B dan A.

    2. Sistem Pembiayaan dan Sistem Pembayaran : pembiayaan pelayanan Anestesi yang berdasarkan INA CBGs yang sesuai dengan Pedoman Nasional Praktek Klinik (PNPK) dan Clinical Pathway (CP), serta penerapan remunerasi

    3. Investasi Fisik dan Peralatan di RS : pemenuhan standarisasi fasilitas fisik dan peralatan yang mendukung pelayanan anestesi sesuai dengan klasifikasi rumah sakit.

    4. Ketersediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan (termasuk distribusi dokter spesialis anestesi) : standarisan tugas dan fungsi dokter spesialis anestesi.

    Peran Profesi yaitu PERDATIN sangat dibutuhkan untuk merealisasikan pelayanan anestesi yang menerapkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien dengan melakukan beberapa upaya seperti peningkatan kompetensi anggota PERDATIN. Selain itu melakukan Berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan – Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah terkait dengan distribusi dan standarisasi pelayanan anestesi.

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    PL-02

    Contribution of labelling to safe medication administration in anaesthesia practice

    Bambang Tutuko

    Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

    Abstrak

    Data yg diperoleh dari berbagai fasilitas pelayanan, ternyata medication error di RS angkanya cukup tinggi. Pelayanan anestesia bukan sekedar memberikan analgesia, hipnosis, relaksasi dan supresi refleks saja, tetapi juga mempengaruhi homeostasis dan fisiologi tubuh, sehingga pelayanannya merupakan suatu critical care, yg menggunakan intervensi obat-obatan dan tehnik-tehnik anestesia. Sehingga pemberian obat anestesia yg aman merupakan suatu keharusan dalam praktek anestesia. Pemberian obat anestesia adalah tanggung jawab seorang dokter anestesi dan bukan merupakan tanggung jawab perawat atau yg lain.

    Berbagai cara dan prosedur untuk pemberian obat yg aman telah dibuat. ISO 26825 tahun 2009 mengatur tentang pewarnaan, desain dan bentuk bagi alat suntik obat anestesia dan peralatan respirasi. Kekeliruan atau kelalaian pada labelling obat anestesia dapat berakibat fatal bagi pasien.

    Selain itu juga penerapan kiat-kiat 6 sasaran keselamatan pasien yg a.l. terdiri dari high alert medication dan pembacaan ulang setiap sebelum obat diberikan, sangat bermanfaat bagi keselamatan pasien.

    PL-03

    Kiat Dokter Spesialis Anestesiologi Indonesia menghadapi Pelayanan Kesehatan pada Era Masyarakat Ekonomi ASEAN mendatang

    Bambang Tutuko

    Departement of Anaesthesiology and Intensive Care Premier Bintaro Hospital

    Abstrak

    ASEAN yang dibentuk pada tahun 1967 bertujuan a.l. untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dengan semangat persamaan dan kerjasama, dan saling membantu. Salah satu prinsip fundamentalnya adalah saling menghargai, integritas teritorial dan identitas masing-masing nasionalitasnya.

    Untuk mempercepat tercapainya tujuan-tujuan ASEAN, pada tahun 2007 ASEAN membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri dari 3 pilar, yang salah satunya adalah Masyarakat Ekonomi ASEAN.

    MEA mempunyai sasaran suatu integrasi ekonomi regional pada 2015. MEA mempunyai 4 karakteristik, yang salah satunya adalah terbentuknya suatu pasar dan basis produksi tunggal, dimana akan dicapai dengan suatu arus bebas barang, jasa, investasi, modal dan tenaga kerja.

    Pelayanan anestesia adalah bagian dari pelayanan kesehatan. Berbeda dengan berbagai bidang jasa lain yg sudah lebih siap untuk terjun dalam MEA ini, pelayanan kesehatan belum sepenuhnya siap menghadapi karena besarnya jenjang perbedaan antara masing-masing negara ASEAN baik dalam hal kompetensi maupun dalam hal sistim pelayanan kesehatannya,

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    karena a.l. disparitas standar pelayanannya. Arus bebas tenaga kerja, termasuk dokter, belum memungkinkan untuk dilaksanakan karena disparitas kompetensi dan sistim pelayanan kesehatan.

    Berbagai hal perlu diupayakan dan dimulai untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN, a.l. persamaan kompetensi dasar para dokter spesialis anestesiologi. Selain itu juga standar pelayanan yg tentunya harus disamakan terlebih dahulu. Upaya-upaya dalam bidang anestesiologi telah berulang kali dibicarakan, tetapi belum mencapai hasil yang konkrit, dan tentunya upaya ini memerlukan waktu yang cukup untuk dapat dipersiapkan. Akhir tahun 2015 sebaiknya dipandang sebagai tahapan awal untuk mewujudkan suatu pasar tunggal dan basis produksi.

    PL-04

    Medicolegal Aspect In Anesthesia And Medical Care Services And Medical Dispute

    Made Subagiartha

    Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

    AbstrakSengketa atau yang sering disebut juga dengan kata perselisihan sering dan hampir selalu

    kita jumpai dalam kehidupan sehari hari, dalam rumah tangga, antar negara atau di dalam pekerjaan kita. Dasar dari perselisihan atau sengketa biasanya diawali dengan adanya dua atau lebih kepentingan yang berbeda yang ingin didahulukan penyelesaiannya atau dua belah pihak bertahan terhadap apa yang menjadi argumentasinya sehingga dapat dibayangkan bila keras melawan keras akan hancur jadinya.

    Hal sengketa seperti yang digambarkan di atas mungkin dan pernah terjadi di lingkungan pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran disebut dengan “Sengketa Medik” yang biasanya diawali dengan adanya rasa tidak puas dari salah satu pihak (biasanya pasien ) atas layanan dan kondisi akhir yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk mencegah timbulnya konflik yang berujung sengketa, hendaknya sejak terjadinya kontak pertama antara Pasien dan Dokter, kedua belah pihak harus sama sama memahami akan posisi dan kedudukannya, baik dari segi medis maupun dari segi hukum melalui suatu jalinan komunikasi yang baik saling menghormati dan saling percaya. Niscaya bila terjadi sesuatu perasaan tidak puas, dengan komunikasi yang baik kemungkinan terjadinya sengketa dapat diminimalisasi

    Menjadi sangat penting melakukan komunikasi dengan baik dari pihak dokter atau rumah sakit tentang masalah kesehatan pasien secara lengkap dan detail sehingga Pasien mengerti tentang kondisi kesehatan dan hak-haknya sebagai seorang pasien yang juga dilindungi oleh hukum. Hal lain yang menguntungkan dengan dilakukan komunikasi yang baik adalah Pasien mengetahui bahwa sampai dimana tingkat kesehatannya atau keparahan penyakitnya serta kemampuan dokter untuk membantu masalahnya sesuai dengan kondisi yang ada saat itu.

    Peluang terbuka lainnya kemungkinan bakal terjadinya sengketa medik adalah bahwa pihak dokter atau rumah sakit kurang memahami aturan hukum kesehatan yang merupakan integral dari Sistim Hukum Nasional, yang menerapkan standar benar atau salah berdasarkan aturan yang ada, sementara paradigma yang ada pada seorang dokter adalah mengurangi penderitaan pasien atau mencegah kecacatan atau kematian hanya dengan berlandaskan niat baik sehingga masih banyak para dokter hanya berbicara pada tatanan moral, yaitu mengedepankan fungsi luhur profesi untuk berbuat baik kepada sesama, walaupun secara hukum banyak yang tidak dibenarkan atau dilarang.

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-01

    Pain Management in Opioid-Tolerant Patient

    A.M.Takdir Musba

    Department of Anesthesiology, Intensive Care and Pain ManagementFaculty of Medicine, Hasanuddin University

    Abstract

    Opioid-tolerance mostly found in the use of opioid, especially in chronic or cancer pain but its not least can be found in the anesthesia practice for surgical. Opioid-tolerance in chronic or cancer pain management associated with analgesia and opioid- side effects which may occur, but opioid-tolerance in acute pain, especially in anesthesia can lead to inadequate anesthesia that will increase morbidity and mortality if not promptly dealt rapidly and appropriately, particularly in opioid-based general anesthesia.

    The occurrence of opioid-tolerance in individuals varies greatly and many mechanisms could explain the occurrences, especially on chronic use, but for acute pain patients is still poorly understood the processes that underline them. Some mechanisms that may occur generally based in the nervous system plasticity involves a number of substrates and endogenous mediators which cause the reduced of the effectiveness opioid analgesia.

    Ability to recognize the tolerance earlier is the key of good management and help to provide better perioperative management planning. Chronic opioid uses in patient before surgery is one that can be led to the tolerance in the perioperative period. Generally, opioid-tolerance in perioperative setting will lead to an increase of opioid needed to achieve adequate analgesia for surgery. The use of opioid as a single modality on perioperative analgesia is better avoided especially in patients with conditions that are likely to be opioid-tolerance. Perioperative multimodal analgesia concept and opioid rotation become important in the management of perioperative analgesia to the opioid-tolerance patients.

    Multimodal analgesia with opioid and non-opioid analgesic such as Paracetamol, NSAIDs, Gabapentin/Pregabalin, α-2 agonist and NMDA antagonists such as ketamine and also the use of Neuraxial and Regional anesthesia techniques will be very helpful in providing adequate perioperative analgesia for opioid-tolerance patient where can be given in pre-, intra- and postoperatively.

    Keywords : opioid-tolerance, perioperative analgesia, multimodal analgesia

    S-02

    Fast Track Neuroanesthesia

    Agus Baratha Suyasa

    Abstrak

    Peningkatan efisiensi dan luaran perioperatif menjadi sangat penting pada praktek anestesi modern. Pembedahan fast track membutuhkan pendekatan secara multidisiplin untuk meningkatakan efisiensi perioperatif dengan memfasilitasi pemulihan baik setelah operasi mayor maupun operasi minor.

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    Konsep pembedahan fast track menggunakan program rehabilitasi perioperative multimodal telah diperkenalkan pada awal tahun 1990, untuk memfasilitasi percepatan keluar dari rumah sakit dan mempercepat kemampuan pasien untuk beraktivitas normal. Karenanya prosedur fast track mengimplementasikan paradigma perawatan pasien perioperative untuk mengurangi waktu perawatan setelah pembedahan. Dalam neuroanestesia saat melakukan ekstubasi dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya : faktor pasien, faktor pembedahan dan faktor anestesi. Ekstubasi dini pada pasien yang menjalani pembedahan intracranial memiliki beberapa keuntungan termasuk deteksi awal jika terjadi komplikasi pembedahan, pelepasan katekolamin minimal, dan menurunkan biaya perawatan ICU. Lagipula hiperkarbia dan hipoksia pada pasien dengan hipoventilasi merupakan masalah yang harus di kenali. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan fast track yaitu faktor preoperative (premedikasi, control suhu, control gula, status hidrasi) dan faktor postoperative (manajemen nyeri, kontrol mual muntah, suplemen nutrisi. Pada kenyataanya keputusan untuk melakukan ekstubasi dini tergantung pada beberapa faktor invidual.

    Kata Kunci : Fast Track, Neuroanesthesia

    S-03

    Novel Drug Development And Future Technology In Anesthesia

    Akhyar H. Nasution

    Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK USU/RSUP Adam Malik Medan

    Abstract

    Anesthetic practice is unique unlike other branches of clinical medicine requiring rapid onset and offset of pharmacological action. Anesthesia is a dynamic state of the brain with wide variations and fluctuations, requiring continuous adjustment of drug dosing. Maintenance of the fine balance between the antagonistic forces of drug dosage and stimulus applied thereby ensuring adequate depth is a clinical challenge. The profound physiologic alterations of the anaesthetized state (and their reversal) to be produced on demand makes anesthesiologists to increasingly rely on drugs with rapid onset and predictable offset of effect. The future of anesthetic pharmacology will be towards the development of drugs and routes of administration with faster and predictable effects with easy reversibility of action and lesser side effect profiles.The future technology of anesthesia nowadays is developed in many equipment include in intubation equipment, monitoring for adequate anesthesia, and so for the anesthesia machine. The future of anesthesia technology will be towards the development of anesthesia machine and equipment, including the high technology robotic anesthesia machines“the da vinci”. For these developments, physician especially anesthesiologist will work safer, minimal invasive, and provide a good monitoring during the operation.

    Keywords : novel drugs, future technology, anesthesia

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-04

    The Role Of Anesthesiologist In Emergency Departement

    April Poerwanto Basoeki

    Eddy Rahardjo

    Departemen Anestesiologi & ReanimasiFK Unair – RSUD dr. Soetomo Surabaya

    Anestesiologi adalah bagian dari profesi kedokteran yang sangat unik, lahir ketika Dr. William T.G. Morton membuktikan bahwa eter dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Semula Ilmu Bedah saja yang memanfaatkan keberadaan Anestesia. Berbagai macam pembedahan yang semula tidak terfikir untuk dapat dilakukan, menjadi dapat dilakukan dengan lancar, mudah dan berhasil baik. Bigelow seorang Ahli Bedah memberikan penghormatan kepada beliau, menulis pada batu nisan monumen Dr. William T.G. Morton. “Before whom, in all time, surgery was agony. By whom, pain in surgery was averted and annulated. Since whom, science has controlled of pain”. Di Indonesia sempat berkembang periode dimana perawat difungsikan untuk melaksanakan tindakan anestesi. Hal ini dapat dimengerti didalam konteks kurangnya jumlah dokter pada saat itu. Walaupun tidak banyak lagi namun masih ada beberapa kalangan bahkan di lingkungan dokter masih mempunyai anggapan bahwa kemampuan dokter ahli Anestesi hanyalah memberikan pembiusan di-kamar operasi untuk membuat pasien tidur agar dapat dilakukan operasi. Anggapan tersebut ada benarnya mungkin pada awal Anestesi dikenal. Di-zaman modern ini ruang lingkup ahli anestesi sudah sangat jauh berbeda. Hal tersebut sudah diramalkan tahun 1970-an oleh Peter Safar (April 12,1924 – Agust 2, 2003) bapak Resusitasiologi atau yang lebih dikenal sebagai Cardiopulmonary Resuscitation. Beliau yang seorang ahli Anestesi sekaligus dokter Bedah meramalkan: The Anesthesiologists had the possibility (and responsibility) to extend our professional work, knowledge and duty to serve the public, beyond the hospital wall. Tanggung jawab Anestesiologist telah meluas; bukan hanya dilingkungan per- Rumah Sakit-an namun telah melebar menembus dinding Rumah Sakit. Tanggung jawab Anestesiologist bukan hanya di kamar operasi namun sejak pasien di bangsal (pre-op visite), diruang pulih sadar (Recovery Room), ruang rawat intensif (ICU, HCU) bahkan sejak ditempat kejadian, pada saat masuk Rumah Sakit sebagai pasien gawat darurat di IGD (Emergency Department) dan pada kejadian musibah masal (mass casualties) maupun bencana (disaster). Penata laksanaan kegawatdaruratan tidak lepas dari 3 hal penting yaitu Resuscitation, Emergency Care and Intensive Care (Triads of Critical Care), juga merupakan gagasan Peter Safar.

    Tragedi tenggelamnya kapal Pelni Tampomas tahun 1981 di perairan kepulauan Masalembo menantang anestesi harus sudah dapat memberikan pertolongan sejak di-tempat kejadian. Time saving is life saving. Sejak itulah dikembangkan dan dibina suatu pengertian Gawat Darurat Terpadu pada bencana yang diprakarsai oleh Prof. Karjadi Wirjoatmodjo, dr.SpAn.KIC yang kemudian terangkum dalam suatu konsep Kedokteran Gawatdarurat (Critical Care Medicine) dan konsep Kedokteran Bencana atau Disaster Medicine. Di Kementerian Kesehatan RI masalah penanggulangan kegawatdarutan ini ada didalam Sistem Kesehatan Nasional (Siskesnas) RI sebagai Sistem Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Terpadu (SPGDT). Semua pertolongan medik yang bersifat life support pada musibah masal dan bencana hakekatnya merupakan replikasi dan eskalasi secara kwantitatif kedokteran gawat darurat

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    tersebut. Michael Dobson dalam buku Anesthesia for District Hospitals menuliskan: “Many techniques originally developed for use during anesthesia are now widely recognized as applicable to the care of a variety of critically ill patients, for example those with severe head injuries, asthma, tetanus or neonatal asphyxia. Skills such as the rapid assessment and management of unconscious patients, control of airway, endotrachel intubation, and cardiopulmonary resuscitation have their origins in anesthesia, but are now recognized as essential for all doctors.” Sekarang Anestesiologi menjadi lebih berkembang lagi dari Pre-operative Care, Anestesi di-OK, Anestesi di-luar OK, Recovery Room, Resusitasi, Emergency Medicine, ICU, Pain Management, Pain Clinic, Labor Analgesia, hingga musibah masal dan bencana. Dari paparan sejarah tidaklah berlebihan apabila yang tersebut diatas adalah domain Anestesiologi dan Reanimasi.

    Emergency Medical Service in Indonesia, where are we now? Seruan atau gaung klasik sering kita dengar didengungkan berulang kali dalam gelar Seminar atau Simposium yang beberapa tahun kemudian didengungkan atau dikemas lagi supaya bernuansa beda, namun pada hakekatnya adalah sama yaitu kegundahan terhadap penanganan kegawatdaruratan di IGD. Bagi individu yang sudah terbiasa menangani dan berkecimpung dalam bidang kegawatdaruratan sudah tidak akan bertanya lagi tetapi lebih pada langkah konkrit apa yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan korban. Dengan melihat sejarah, kita tidak perlu mempersoalkan apa yang pernah terjadi sebagai suatu kebenaran atau kesalahan. Yang penting bagi kita adalah memberi penghargaan kepada siapapun yang sudah membuka jalan bagi terbentuknya fondasi penanggulangan kegawatdaruratan negeri ini. Di Indonesia ada lebih dari 2000 Rumah Sakit yang diharuskan memiliki IGD (Instalasi Gawat Darurat, dulu UGD). IGD memerlukan tempat, alat, obat, dokter, perawat. Lokasi atau tempat, alat, obat sudah tersedia. Dokter Umum Indonesia masih kurang, apalagi Dokter Spesialis Emergensi. Perawat juga masih kurang, apalagi Perawat mahir / D3-D4 Gawat Darurat. Rumah Sakit yang sudah dilengkapi IGD dijaga 24 jam oleh Dokter Umum. Para sejawat Dokter Umum tersebut mendapat pendidikan ketika mahasiswa, mungkin masih memadai kemampuannya untuk penanganan gawat darurat tergantung daya ingat mahasiswa atau pengajarnya, atau kondisi-kondisi lain. Peran Dokter Umum mungkin sudah banyak membantu di IGD tetapi untuk kasus berat, kompleks atau serius mungkin pasien tidak tertolong. Dengan maraknya berbagai macam sistem akreditasi Rumah Sakit, mensyaratkan para Dokter Umum yang bekerja di-IGD harus memiliki sertifikat PPGD, GELS, ATLS, ACLS dan lain-lain ternyata belum dapat diandalkan untuk mampu memberi pelayanan kegawatdaruratan sesuai standar. Hasil survei Kemenkes RI (1995, 2005) diberbagai Provinsi di Indonesia tentang kemampuan dokter umum yang bertugas di berbagai daerah, Kementerian Kesehatan RI menyimpulkan bahwa bekal yang dipunyai dokter di Puskesmas dalam melaksanakan Penanggulangan Penderita Gawat Darurat (PPGD) belum memadai. Untuk menangani kasus gawatdarurat berat, kompleks dan sulit apakah cukup dengan memoles para Dokter Umum tersebut dengan kursus 2-3 hari sudah mumpuni? Walaupun tidak semua kasus trauma memerlukan operasi namun trauma harus dapat ditolong oleh semua dokter. Survey Depkes (2005) di – 10 Propinsi di Indonesia didapat data bahwa 20% pasien yang datang di UGD adalah trauma, sisanya kasus non trauma. Di Inggris, dari semua kasus trauma di IGD, hanya 56% memerlukan tindakan operasi sedangkan kasus trauma berat 65%-nya. Dokter Emergensi terlibat dalam semua kasusDokter Emergensi terlibat dalam semua kasus trauma, Dokter Anestesi terlibat dalam semua kasus trauma berat (Pullimood, Park: Trauma Care Vol 10, No 2, 2000, p76). Di-RSUD dr. Soetomo Surabaya, selain di Recovery Room dan ICU Gedung Bedah Pusat, Departemen/ SMF Anestesiologi & Reanimasi memiliki ”markas” Anestesi di-IGD yaitu di-Kamar Operasi, Ruang Resusitasi (RES), Ruang Observasi Intensif

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    (ROI). PPDS Anestesi menangani secara aktif semua jenis kegawatdarutan 24 jam dibawah supervisi Senior Anestesiologi 24 jam juga. Sebelum tindakan definitif maka pasien gawat dengan label biru dari Ruang Triage dirawat di Ruang Resusitasi untuk tindakan Resusitasi dan Stabilisasi dengan mengikut sertakan bidang minat lain yang berkompeten. Pada fase ini sebagai leader adalah Anestesiologi. Setelah kondisi stabil dan dilakukan tindakan definitif maka sebagai leader adalah bidang minat terkait dan Anestesi sebagai anggota tim, terjadilah apa yang Prof. Karjadi Wirjoatmodjo, dr.SpAn.KIC sebut sebagai ”shifting leadership”. Hal tersebut dapat dilakukan karena RSUD dr. Soetomo adalah ”teaching Hospital” FK Unair.

    Kondisi sekarang, selain karena tidak terdistribusi merata di negeri ini, Dokter Anestesi yang ada disibukkan dengan beban kerja di Kamar Operasi dan ICU baik di RS Pemerintah maupun RS. Swasta. Berdasar kenyataan ini mestinya di-IGD diperlukan peran profesi Dokter Emergensi (Sp-1), bukan sekedar Dokter Umum yang dipoles dengan kursus 2-3 hari. Yang menjadi kendala adalah bahwa Dokter Emergensi yang Pendidikan Spesialisasinya 4 tahun tersebut hanya ada di Universitas Brawijaya Malang dengan alumni ± 30 orang. Disamping itu Pendidikan Spesialis Emergensi juga mengalami banyak hambatan formal karena kurangnya pengakuan dari profesi lain, terhambat tata kerja di Rumah Sakit pengampu (RSUD Syaiful Anwar); atas desakan profesi lain yang sudah lebih dulu established, kurangnya staf pengajar dan tidak adanya kolegium. Untuk mendirikan kolegium sendiri masih terhalang syarat MKKI bahwa 70% materi profesionalnya tidak overlap dengan profesi lain. Dengan Anestesiologi dan Reanimasi overlap bisa 40-50%. Dengan profesi 4 dasar lain sekitar 10-20%. Jika mengikuti mekanisme pengampuan maka masalah ini mungkin dapat lebih mudah diselesaikan, tergantung bagaimana dengan KATI dan Perdatin? Berbagai bentuk atau model pelayanan kegawatdaruratan di IGD dapat dipandang sebagai upaya menemukan bentuk pelayanan standar yang sesuai untuk negeri dimasa depan. Keadaan ini dapat dipercepat apabila kita saling bekerja sama. Anestesiologi lahir dan berkembang mempunyai arti yang luas meliputi kompetensi dan ruang lingkup Anestesiologi kini dan saat mendatang.

    Kepustakaan :

    1. Baskett PJ, Peter J, Safar, 2001. The early years 1924-1961, the birth of CPR. Resuscitation. 2001 50: 17–22.

    2. Baskett PJ, Peter J, Safar, 2002. Part two. The University of Pittsburgh to the Safar Centre for Resuscitation Research 1961-2002. Resuscitation 2002;55:3–7.

    3. Departemen Kesehatan RI. Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik. ”Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu”, 2009. Cetakan - 4.Cetakan - 4.

    4. Koeshartono: “Anestesiologi dan Reanimasi membina kedokteran gawat darurat dan membina Masyarakat Mandiri Siaga Mengatasi Bencana” , Pidato Disampaikan pada Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Anestesiologi Pada Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga di Surabaya, Sabtu, Tanggal 8 September 2007.

    5. Michael B. Dobson,: “Anaesthesia at the Distric Hospital”. World Health Organization (in Collaboration with the World Federation of Societies, 1989:68; 424-30)

    6. Sitasi : tgl. 12 Agustus 2013, woodlibrarymuseum.org/library/pdf/S_AYB.pdf. Morton TG William, Historical Memoranda relative to the Discovery of Etherization and To The Connection With it of the late DR. William T.G. Morton , Printed by Rand, Avery & Frye, 3 Cornhill, 1871.

  • �Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-05

    Update in DIC Management

    Bambang Wahjuprajitno

    Dept. anestesiologi dan ReanimasiFK Unair – RSUD Dr. Soetomo– RSUD Dr. SoetomoRSUD Dr. Soetomo

    Surabaya

    Abstrak

    Menurut definisi dari The International Society on Thrombosis and Haemostasis (ISTH), DIC adalah sindroma yang didapat oleh pasien yang timbul `dari berbagai penyebab penyebab-penyebab yang berbeda dan ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya lokalisasi. Keadaan ini dapat berasal dari kerusakan pada mikrovaskulatur dan kemudian menyebabkan kerusakan berlanjut, yang jika cukup parah, dapat menyebabkan disfungsi organ.

    Aktivasi koagulasi yang masif, berlebihan dan berkepanjangan selanjutnya menimbulkan pembentukan mikrotrombi yang tersebar luas menyebabkan hipoperfusi dan iskemia jaringan. Konsumsi komponen-komponen yang diperlukan untuk pembekuan darah akhirnya menyebabkan komponen-komponen tersebut habis terpakai. Bersamaan dengan proses koagulasi terjadi aktivasi fibrinolisis yang diperlukan untuk menghancurkan mikrotrombi. Konsumsi trombosit dan faktor-faktor pembekuan darah disertai Proses fibrinolisis disertai habisnya faktor-faktor pembekuan inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya perdarahan-perdarahan pada tubuh.

    DIC bukan merupakan penyakit yang berdiri sendiri, tetapi merupakan suatu penyulit sekunder atau perkembangan dari suatu penyakit lain. Morbiditas dan mortalitas DIC tergantung dari penyakit yang mendasari dan berat ringannya koagulopati yang timbul. Ada beberapa pemicu-pemicu yang berbeda yang dapat menyebabkan gangguan keseimbangan hemostasis, yang menyebabkan keadaan hiperkoagulasi. Mediator-mediator inflammasi (sitokin) dikatakan merupakan pemicu tersering. Telah diketahui ada komunikasi silang antara sistem-sistem koagulasi dan inflammasi, dimana inflammasi akan meningkatkan kaskade pembekuan darah dan hasil koagulasi akan merangsang aktivitas inflammatori selanjutnya yang lebih hebat.

    Ada empat mekanisme utama yang berbeda yang bertanggung jawab akan kekacauan fungsi hematologis pada DIC antara lain adalah terbentuknya trombin, supresi anticoagulant pathways, gangguan fibrinolisis dan aktivasi inflammasi.

    Penyebab DIC tersering adalah sepsis, neoplasma, trauma, penyulit-penyulit obstetrik seperti solutio plasenta, preeclampsia/eclampsia, emboli air ketuban, aborsi septik, kematian foetus intrauterine), gigitan ular.

    Gambaran-gambaran klinis dari DIC antara lain berupa trombosis disertai kegagalan organ-organ dan kemudian perdarahan spontan. Perdarahan dapat terjadi pada luka pembedahan, tempat tusukan jarum, perdarahan gastrointestinal, SSP, hematuria atau ecchymosis. Trombosis dapat berupa, purpura fulminans (mikrotrombi subdermal dengan nekrosis kulit), acral dingin dengan nadi yang sulit teraba, kehilangan penglihatan, oliguria, gangguan mental, kejang-kejang.

  • �0Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    Pada pemeriksaan hematologi didapat pemanjangan PPT dan PTT, peningkatan D-dimer, dan FDP, penurunan trombosit dan fibrinogen. Gangguan fungsi organ dapat berupa peningkatan BUN/kreatinin dan enzim-enzim jantung. Diperlukan studi-studi fungsi koagulasi serial untuk mengetahui perjalanan DIC.

    Pada saat ini terdapat 3 pedoman dalam hal diagnosis dan terapi DIC, masing-masing berasal dari British Committee for Standards in Haematology (BCSH), Japanese Society of Thrombosis and Hemostasis (JSTH), dan Italian Society for Thrombosis and Haemostasis(SISET). Meskipun ketiga pedoman ini pada garis besarnya mirip, tetapi terdapat perbedaan-perbedaan tentang rekomendasi terapi DIC. Karena itu kemudian subcommittee for DIC of the Scientific and Standardization Committee/International Society of Thrombosis and Haemostasis (SSC/ISTH) mencoba melakukan harmonisasi ketiga pedoman ini.

    Tidak ada test tunggal yang dapat digunakan untuk diagnosis DIC secara akurat, karena itu subkomite menganjurkan pemakaian scoring system yang terdiri dari sekumpulan test-test yang diperiksa secara berulang dan bersama –sama observasi klinik digunakan untuk men-diagnosa dan memantau perubahan-perubahan dinamik.

    Kelainan pada sistim hemostasis pada DIC pada dasarnya tergantung dari resultan vektor-vektor yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis. Manifestasi DIC tergantung yang berperan dalam hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis. Manifestasi DIC tergantunghiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis. Manifestasi DIC tergantung DIC tergantung dari vector mana yang lebih berperan dan menonjol, karena itu jenis DIC bisa berupa:

    1. DIC tipe perdarahan (bleeding): bila hiperfibrinolisis lebih dominan. Tipe DIC ini ditandai dengan adanya perdarahan-perdarahan dan sering timbul pada pasien dengan leukemia, seperti acute promyelocytic leukemia (APL), penyakit-penyakit obstetrik, atau aneurisma aortae

    2. DIC tipe gagal organ: bila hiperkoagulasi yang lebih menonjolTipe ini gejala utamanya adalah gagal organ sebagai gejala utama. Sering juga disebut sebagai hypercoagulation predominance type atau hypofibrinolysis type of DIC. Bentuk DIC ini sering disebabkan karena infeksi, terutama sepsis

    3. DIC tipe perdarahan masif: bila kedua vektor-vektor hiperkoagulasi dan hiperfibrinolisis sama-sama menonjol maka akan terjadi perdarahan yang masif diikuti kematian bila pasien tidak mendapat transfuse yang adekuat. Bentuk DIC jenis ini disebut sebagai DIC tipe konsumtif . Serimg timbul pada pasien-pasien yang menunjukkan perdarahan banyak setelah pembedahan major atau pasien-pasien dengan penyakit-penyakit obstetrik.

    4. DIC tipe asimptomatik: bila kedua faktor sama-sama lemahnya.Pada DIC jenis ini tidak ada gejala-gejala yang timbul, meskipun tampak ada abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium. Disebut juga dengan tipe pre-DIC. Terapi pada pre-DIC ini hasilnya lebih efektifDiagnosis dan terapi dari keempat tipe DIC ini berbeda-beda dan seringkali kenyataannyakenyataannya tipe DIC dapat bergeser dan berubah menjadi tipe yang lain.Pengelolaan DIC pada dasarnya tergantung dari tipe DIC pada waktu diketemukan dan berupa:

    • Terapi primer ditujukan untuk mengatasi penyebabnya• Terapi penunjang (suportif) ditujukan untuk mengatasi gangguan hemostasisnya,

    meliputi :o penggantian faktor-faktor hemostasis yang menurun dengan plasma, FFP,

    thrombosit dan faktor-faktor koagulasi yang lain

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    o memberi inhibitor-inhibitor koagulasi endogen antara lain dengan recombinant human activated protein C (rhAPC), recombinant human tissue factor pathway inhibitor (rhTFPI), recombinant human thrombomodulin (rhTM), dan atau menghambat koagulasi dengan berbagai strategi antikoagulasi, misalnya dengan (low molecular weight heparin (LMWH) atau unfractionated heparin (UFH)

    o memanipulasi sistim fibrinolitik, misalnya dengan tranexamic acid

    Sayang sekali, berdasarkan studi-studi yang telah dilakukan, meskipun berdasarkan pemikiran sangat masuk akal, namun terapi terapi-terapi diatas tidak selalu memberikan hasil yang memuaskan.

    Dapat disimpulkan bahwa DIC adalah suatu gangguan fungsi hemostasis yang masif dan tidak terkendali yang didasari oleh suatu penyakit lain yang berbeda. Diagnosis dini dengan menggunakan sistim skor yang ada disertai terapi dini pada tipe pre-DIC akan lebih efektif dibandingkan pada tipe-tipe DIC yang lain.

    S-06

    Regional Anesthesia in Obese patient: loss of landmarks

    Christrijogo SW

    Anesthesiology and Reanimation Dapartement Medicine FakultyAirlangga University /Soetomo Hospital

    Abstract

    Obesity is associated with a number of anaesthetic-related risks. Regional anaesthesia offers many potential advantages for the obese surgical patient.

    Basically regional anaesthesia offers a lot of advantages compared with general anaesthesia for obese patients, e.g. avoiding airway manipulation and systemic application of opioids. Advantages include a reduction in systemic opioid requirements and their associated side effects, and possible avoidance of general anaesthesia in select circumstances, with a lower rate of complications. Anesthesiologists are increasingly faced with obesity, regional anaesthesia poses a challenge because of missing landmarks, increased depth of nerval structures and difficulties in positioning these patients Historically, performing regional anaesthesia procedures in the obese has presented challenges due to difficulty in identifying surface landmarks and availability of appropriate equipment. While obesity is not associated with an increased risk for severe complications in regional anaesthesia, a higher failure rate can be observed because of difficulties in performing the blocks .Ultrasound guidance may aid the regional anaesthesia practitioner with direct visualisation of underlying anatomic structures and real-time needle direction. Further research is needed to determine optimal regional anaesthesia techniques, local anaesthetic dosage avoiding block failures as well to improve the patients’ safety and perioperative outcomes in obese patients.

    Keywords : Regional anesthesia. Obesitas, landmark

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    S-07

    ANESTESI DENGAN LOW FLOW PADA BPJS : Dapatkah menurunkan kebutuhan biaya?

    Dedi Fitri Yadi

    Departemen Anestesiologi dan Terapi IntensifFakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

    RSUP. Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Abstrak

    Teknik anestesi dengan low-flow dapat menurunkan biaya yang diperlukan untuk anestesi. Mesin anestesi, obat-obat inhalasi dan monitor yang semakin baik semakin memungkinkan untuk melaksanakan anestesi dengan low-flow dengan aman. Teknik anestesi dengan aliran fresh gas flow 1 L/menit dapat dilakukan pada hampir semua mesin anestesi. Monitor yang direkomendasikan meliputi multigas monitor, inspired oxygen concentration, minute ventilation, airway pressure. Penurunan polusi dari sisi personal dan lingkungan dari gas anestesi dapat dihasilkan dari mesin anestesi dengan fresh gas flow yang rendah. Perubahan pada total gas flow dalam penatalaksanaan anestesi dapat menghasilkan penurunan kebutuhan biaya.

    Kata kunci : Low flow anesthesia, anesthesia cost reduction

    S-08

    The Anesthesiologist’s Role In The Prevention Of Surgical Site Infections

    Djudjuk R. Basuki

    Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK Universitas Brawijaya Malang

    Abstrak

    Latar Belakang. Surgical site infection (SSI) merupakan infeksi perioperatif yang paling sering, yaitui meliputi 38% dari semua infeksi pada pasien pembedahan dan 14-16% dari semua infeksi hospital-acquired. SSI dihubungkan dengan peningkatan risiko kematian, waktu MRS, dan biaya RS.

    Tinjauan Pustaka. Literatur medis mengidentifikasi banyak hal dimana anestesiologis dapat mempengaruhi risiko infeksi pada pasien, termasuk waktu pemberian dan pemilihan antibiotik preoperatif, normotermia perioperatif, hiperoksia, normoglikemia, transfusi darah, dan mencuci tangan. Hipotermia. Hubungan utama antara hipotermia dan peningkatan SSI diduga akibat penurunan perfusi jaringan subkutan yang dimediasi oleh vasokonstriksi. Pencegahan hipotermia perioperatif dapat menurunkan insiden SSI secara signifikan, kemungkinan efeknya lebih besar daripada profilaksis antibiotik. Pendekatan anestesiologis dalam menghangatkan pasien pada periode perioperatif penting dalam keselamatan pasien. Hiperoksia. Terapi oksigen pada periode perioperatif dilakukan terutama oleh anestesiologis. Tekanan oksigen yang adekuat pada luka penting tidak hanya untuk produksi radikal oksigen oleh netrofil, tetapi juga untuk pembentukan kolagen dan epithel, faktor penting dalam

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    penyembuhan luka. Manajemen Cairan Peioperatif. Meskipun jaringan subkutan memerlukan sedikit total oksigen, penyembuhan luka dan pencegahan infeksi sangat bergantung pada perfusi yang adekuat untuk mengantarkan oksigen. Selain penghantaran oksigen, yang juga penting adalah menjaga kondisi perfusi adekuat dengan menjaga euvolemia. Hiperglikemia. Telah diketahui bahwa pasien dengan hiperglikemia; baik diabetes maupun non-diabetes memiliki risiko infeksi yang lebih tinggi, termasuk SSI. Transfusi Darah. Saat ini, tidak ada data klinis yang adekuat untuk mendukung pertimbangan infeksi luka dalam analisis risiko-keuntungan dari transfusi. Profilaksis Antimikroba. Peran anestesiologis dalam mencegah SSI yang paling sederhana dan efektif adalah memastikan pemberian profilaksis antimikroba yang sesuai. Anestesiologis seharusnya terlibat dalam pemilihan antibiotik yang sesuai. Cuci Tangan dan Infeksi Akses Vena. Infeksi darah akibat akses sentral dihubungkan dengan peningkatan waktu MRS dan tingkat mortalitas, dan infeksi paling sering terjadi pada akses sentral yang dipasang oleh anestesiologis. Anestesiologis tetap merupakan vektor yang penting dalam kontaminasi, dan cuci tangan serta menjaga teknik yang steril setelah insersi akses sentral penting dilakukan.

    Kesimpulan. Pencegahan SSI merupakan usaha multidisipliner, mayoritas usaha profilaktik dimulai dan diakhiri di kamar operasi dan dipengaruhi secara langsung oleh anestesiologis.

    S-09

    Perioperative Management In Peripartum Cardiomyopathy

    Gatut Dwidjo PrijambodoDept. Anestesiologi dan Reanimasi

    FK Unair – RSUD Dr. Soetomo– RSUD Dr. SoetomoRSUD Dr. SoetomoSurabaya

    Abstract

    Cardiomyopathy pada kehamilan dibagi menjadi :1. Peripartum Cardiomyopathy ( PPCM ).2. Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (COVM).

    PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY, ada empat kriteria, antara lain :• Kegagalan jantung pada periode enam bulan / bulan akhir kehamilan sampai, lima

    bulan pasca persalinan.• Tidak ada penyebab yang ditemukan• Tidak ada penyakit jantung sebelumnya.• Echocardiography ditemukan disfungsi ventrikel kiri. Ejection Fraction < 45% dan LV

    end diastolic dimension > 2,7 cm/m2.

    Penyebab PPCM tidak diketahui. Mortalitas 15 - 50 %. PPCM dapat berhubungan dengan hipertensi pulmonal dan kegagalan organ multipel.

    Prinsip manajemen PPCM seperti manajemen gagal jantung, antara lain : Restriksi cairan, Pemberian Diuretika dan obat Inotropik, Penggunaan Defibrilator pada aritmia tertentu, Perlu Antikoagulan dan Immunosupressif, kadang perlu Hemofiltrasi atau Exchange Transfusi. Pilihan anestesi dapat digunakan anestesi Epidural. Anestesi General, digunakan obat yang cardiostable. Pasca operasi perlu monitoring invasif dan intensif.

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    HYPERTROPHIC OBSTRUCTIVE CARDIOMYOPATHY.HOCM ditandai adanya obstruksi dynamic LV out flow yang disebabkan contracting

    hypertrophied ventricle dan septum selama sistolik. Terjadi pada pasien usia 20 - 30 tahun. Pada kehamilan, HOCM meningkatkan resiko aritmia dan kematian mendadak. Dapat asimtomatik / simtomatik ringan. Dapat progresif terjadi kegagalan jantung kongestif.

    Prinsip manajemen pasien HOCM : Perlu monitoring invasif dan intensif, Hindari penurunan preload, Perlu terapi agresif adanya aritmia yang berbahaya, Pemakaian Beta-Blocker dapat bermanfaat, Hindari penururnan mendadak SVR, Terapi hipotensi dengan Alpha Agonist. Pilihan anestesi pada persalinan dapat digunakan Epidural maupun CSE. Adanya hipotensi diterapi dengan Phenyl Ephrine. Sedang Ephedrine merupakan kontraindikasi. Epidural dan CSE dapat digunakan pada Sectio Caesaria pada pasien HOCM. Anestesi General dapat digunakan juga pada pasien HOCM, harus hati-hati untuk menghindari penurunan mendadak Hemodinamik. Pasca operasi dapat terjadi Edema Paru, maka perlu monitoring ketat dan perawatan yang intensid 48 - 72 jam pasca operasi.

    S-10

    Anesthesiologist Practice in Urban Area: Group vs Individual

    Himendra WDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif

    Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

    Abstrak

    Kualitas dari sebuah pelayanan anestesia tidak saja ditentukan dari prasarana yang dimiliki oleh masing-masing pusat pelayanan kesehatan, namun lebih menitikberatkan pada aspek tenaga kerja yakni ahli anestesi itu sendiri. Dalam era BPJS dan akan menuju MEA ini, kualitas seorang ahli anestesi yang mampu bekerja dengan profesional adalah hal yang paling dibutuhkan.

    Harapan pasien sudah berubah. Banyak yang ingin terlibat dalam proses pelayanannya. Beberapa menginginkan input terhadap obat-obatan apa yang digunakan dan langsung menyatakan ketidakpuasan pelayanan apabila keinginan mereka tidak dipenuhi. Selain itu keterlibatan keluarga pasien dalam penentuan tindakan medis juga semakin tinggi.

    Di samping itu pembayar jasa pelayanan (provider) mengharapkan outcome yang lebih baik dan bersedia untuk membayar lewat insentif, misalnya dibayar sesuai performa. Terdapat dua filosofi berbeda untuk pedoman dibayar sesuai performa : (a) memfokuskan pada outcomenya saja dan (b) memfokuskan pada proses pelayanan yang terkait dengan outcome yang lebih baik. Pusat kesehatan akan semakin mengharapkan staf medisnya untuk aktif berpartisipasi dalam program untuk meningkatkan outcome dan keselamatan pasien.

    Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan oleh anestesiologis harus berfokus pada pengembangan tidak saja prasarana kesehatan di tempat kerja namun juga pada pengembangan diri selaku pelaku kerja medis yang profesional sesuai standar praktik yang berlaku.

    Dalam praktik anestesia di perkotaan, terdapat variasi praktik ahli anestesi di berbagai rumah sakit swasta maupun negeri yang tergantung dari jenis praktik, apakah praktik pribadi atau berkelompok yang manakala juga ditentukan oleh jenis pemberi pelayanan kesehatan, entah itu rumah sakit umum, rumah sakit bersalin, ataupun rumah sakit untuk penyakit yang khusus seperti jantung atau paru.

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    Banyak hal yang dapat diamati pada praktik ahli anestesi misalnya saja pada praktik privat, ahli anestesi memiliki kebebasan untuk bekerja sesuai waktu kerja yang dimiliki, kontrak kerja yang dipunyai dan dengan imbalan fee yang dapat disesuaikan dengan praktik kerja yang bersangkutan. Adapun di lain pihak, praktik berkelompok juga memiliki keuntungan untuk saling bekerja sama dalam menangani kasus sulit, kemudahan dalam mencari pengganti personil apabila salah seorang sedang berhalangan untuk bekerja serta jaminan untuk memperoleh sejumlah income apabila sudah tidak mampu aktif bekerja lagi sesuai dengan kesepakatan kelompok kerja tersebut juga menjadi hal menarik yang dapat diamati.

    Menurut Joint Commision on Accreditation of Healthcare Organization dalam Tujuan Keselamatan Pasien pada Periode Perioperatif (2003-2006), standar dan tujuan bervariasi tergantung dari situasi pelayanan kesehatan. Yang penting di sini adalah keselamatan pasien adalah yang utama yang akan diterapkan dalam standar pelayanan medis dan standar pelayanan di kamar operasi dari rumah sakit yang bersangkutan. Oleh sebab itu praktik seorang ahli anestesi apakah secara pribadi atau berkelompok harus dapat tetap menjaga poin keselamatan pasien tersebut serta menyesuaikan dengan kode etik kedokteran serta Undang-undang Praktik Kedokteran yang berlaku.

    S-11

    Understanding the Future in Perioperative Analgesia in Indonesia

    I Gede Budiarta

    Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUD/RSUP SanglahDenpasar

    Abstrak

    Penanganan nyeri di zaman ini sudah tidak lagi melulu pada nyeri pascaoperatif saja melainkan sudah berkembang menjadi beragam teknik modern mulai dari analgesia preemptif, analgesia multimodal dan rehabilitasi perioperatif. Apalagi saat ini sudah terdapat berbagai kemajuan di bidang penanganan nyeri lain seperti obat-obatan adjuvan analgesia baik NSAID maupun non NSAID, infiltrasi blok perifer, teknik regional analgesia, hipnoterapi, radiofrekuensi, stimulasi saraf dan sebagainya yang semakin memperluas pilihan terapi untuk analgesia perioperatif.

    Tonggak penatalaksanaan nyeri perioperatif di Indonesia masih dipegang oleh ahli anestesi, meskipun bidang lain sudah mulai mengambil bagian dalam penanganan nyeri di bidang lain seperti paliatif, neurologi, rehabilitasi medik maupun hematoonkologi. Tumpuan manajemen nyeri ini adalah Acute Pain Service berbasis anestesia yang mampu melakukan penilaian berkala untuk skala nyeri. Yang lebih penting lagi adalah sudah diakuinya nyeri menjadi tanda vital kelima sehingga penilaian nyeri adalah wajib dilakukan untuk semua pasien, tidak saja yang mengeluhkan hal tersebut.

    Di Amerika Serikat sudah mulai menerapkan adanya sistem PSH (Perioperative Surgical Home) yang menitikberatkan pada ahli anestesi sebagai manajer perioperatif semua pasien yang akan dilakukan pembedahan sampai 30 hari pascaoperasi atau sampai pasien pulang. Pada sistem ini jelas diperlukan seorang ahli anestesi terlatih yang mampu melakukan tidak saja penatalaksanaan nyeri dengan mantap, namun juga kemampuan organisasi dan komunikasi interpersonal dengan operator dan segala pihak yang terkait.

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    Sudah bukan zamannya lagi bagi seorang ahli anestesi menyerahkan kapabilitasnya dalam penanganan nyeri perioperatif kepada operator. Dalam menyongsong era BPJS dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) ahli anestesi harus mampu menyuarakan kemampuannya lewat penatalaksanaan hospital-based acute pain service yang baik, penanganan konsul nyeri yang seksama, serta evaluasi ulang berkala yang menjadikannya mampu menjamin penatalaksanaan nyeri yang memadai namun tetap menjamin keselamatan pasien dan efikasi biaya perawatan rumah sakit.

    Dengan memahami luasnya situasi dan bidang kerja pada nyeri perioperatif tersebut, diharapkan masa depan analgesia perioperatif dan peran serta ahli anestesi akan semakin berkembang di Indonesia. Operator maupun dokter penanggung jawab bidang lain akan memberikan porsi yang sesuai pada anestesi dan tidak segan memohon pertimbangan anestesi dalam manajemen pasiennya. Masa depan kerja profesi yang nyaman serta penghasilan yang memadai di samping keselamatan pasien yang hakiki pada akhirnya akan menjadi tujuan yang dapat kita capai bersama.

    S-12

    Sistem Blue Code and Resusitasi pada Rumah Sakit Pendidikan

    I Ketut Sinardja

    Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNUD/RSUP SanglahDenpasar

    Abstrak

    Sistem blue code dan resusitasi secara umum bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas di rumah sakit dan secara fleksibel dapat dikembangkan sesuai dengan sistem pendidikan dan standar pelayanan medis rumah sakit yang berlaku. Sayangnya hingga saat ini definisi IHCA (Intra Hospital Cardiac Arrest) yakni henti jantung yang disaksikan dan terjadi di dalam rumah sakit, secara internasional masih belum disepakati oleh semua pihak. Banyak hal seperti kebijakan wilayah, politis, serta masalah akreditasi yang membuat definisi tersebut tidak seragam.

    Sesuai data dari National Registry for Cardiopulmonary Resuscitation di Amerika Serikat, angka henti jantung yang tercatat adalah mendekati 6.65 dan 3.26 per 1000 pasien untuk pasien dewasa dan pasien pediatri. Berdasarkan kesepakatan umum, angka insiden IHCA pada pasien yang dirawat harus dihitung dengan membagi jumlah total pasien yang mendapat kompresi dada, defibrilasi, atau keduanya dengan jumlah keseluruhan pasien yang masuk rumah sakit, dengan tidak lupa menyingkirkan sejumlah pasien yang dikatakan DNAR (do not resuscitate-tidak dilakukan resusitasi). Kadangkala keberadaan DNAR ini agak sulit ditegakkan, karena sebelumnya saat pasien datang ternyata sudah telanjur diaktivasi lewat sistem kedaruratan tersebut. Selain itu terdapat pula kasus OHCA (Out-of-Hospital Cardiac Arrest) yang terjadi di luar rumah sakit namun setelah sempat teresusitasi ternyata mengalami henti jantung kembali saat di rumah sakit. Kadang juga terdapat kasus IHCA yang mengalami lebih dari 1 kali henti jantung saat masuk rumah sakit. Sehingga hal-hal tersebut harus dieksklusikan dari perhitungan jumlah kasus.

    Dari studi di Amerika Serikat didapatkan bahwa terdapat peningkatan 3% angka ketahanan hidup dari pasien-pasien IHCA antara tahun 2000-2004, dengan angka ketahanan hidupnya

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    lebih tinggi pada pediatri dibanding orang dewasa (27% versus 18%) namun angka ini tidak memasukkan henti jantung yang terjadi di ruang bersalin dan di ruang terapi intensif.

    Untuk ketahanan jangka pendek dan jangka panjang setelah terjadinya IHCA, ditemukan bahwa sekitar 6.6% kembali hidup setelah ROSC (Return of Spontaneous Circulation), 5.2% masih hidup dalam 1 tahun, dan 3% masih bertahan dalam 3 tahun setelahnya. Untuk fungsi neurologis pasien post IHCA dengan memakai pengukuran performa serebral ternyata didapatkan angka sebesar 64% pada anak-anak dan 75% pada orang dewasa. Pada studi lain ditemukan ternyata angka ketahanan hidup pasca IHCA di antara pasien penyakit kritis adalah sekitar 15.9% namun hanya sebesar 3.9% pada pasien yang saat henti jantung sempat mendapatkan vasopresor. Selain itu didapatkan pula bahwa angka ketahanan hidup lebih rendah pada grup pasien geriatri yang masuk ke fasilitas perawatan tingkat tinggi pada rumah sakit perkotaan atau rumah sakit pendidikan. Temuan ini dicurigai akibat lebih banyaknya pasien dengan penyakit kritis atau komorbid yang bervariasi dalam jumlah besar yang diterima di rumah sakit tersebut. Intinya kemampuan bertahan hidup sampai keluar dari rumah sakit adalah menjadi standar minimum untuk keberhasilan sistem resusitasi ini (rata-rata dipilih 30 hari).

    Praktik resusistasi dan blue code ini terbagi menjadi tiga bagian : prearrest, intra-arrest, dan postarrest. Tiap bagian tersebut akan melingkupi adanya alur pengenalan, aspek struktural dari sistem (personel, pelatihan, peralatan), care pathway selama interval tersebut (identifikasi dini bertumpu pada RJP dan defibrilasi dini, serta penanganan postarrest yang komprehensif), serta isu yang terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan (umpan balik harian, perangkat alat bantu otomatis untuk menggantikan kerja staf, serta yang paling akhir adalah penentuan penundaan atau penghentian perawatan).

    Pengertian sistem resusitasi menurut RSUP Sanglah adalah panggilan gawat daruratanggilan gawat darurat dengan masalah jalan nafas yang tidak lapang, pernafasan tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil serta penurunan tingkat kesadaran yang ditujukan kepada Tim Resusitasi RSUP Sanglah Denpasar. Adapun resusitasi dilakukan di ruang resusitasi yang dilengkapi dengan troli emergensi, monitor ECG, DC-Shock, suction, oksigen dan kelengkapan lain untuk mendukung kestabilan pasien. Tujuan dari sistem resusitasi ini adalah terbentuknya kerjasama tim yangerbentuknya kerjasama tim yang baik dalam mendukung pelayanan kesehatan dan kestabilan pasien serta memberikan tindakan resusitasi secara cepat, tepat dan profesional dengan pendekatan multidisiplin kepada pasien yang datang ke IGD RSUP Sanglah Denpasar, sehingga diharapkan angka keselamatan pasien meningkat.

    Sedangkan pengertian sistem blue code adalah suatu sistem emergensi yang terdiri atasuatu sistem emergensi yang terdiri atas Tim Medis Reaksi Cepat Code Blue (TMRCCB) yang bertugas memberikan pertolongan segera pada pasien dengan kegawatdaruratan sebelum dan saat henti nafas dan atau henti jantung (pre-arrest dan arrest). Tujuan dari sistem blue code ini adalah untuk mengurangi angka kejadian morbiditas dan mortalitas di RSUP Sanglah Denpasar, menurunkan angka kejadian henti nafas dan/atau henti jantung di bangsal atau unit lain di lingkungan rumah sakit, menurunkan angka kejadian masuk RTI (Ruang Terapi Intensif) atau HCU (High Care Unit) yang tidak terencana, serta mengidentifikasi pasien yang tidak perlu diresusitasi dan kelengkapan dokumen yang terkait.

    Kesuksesan sistem blue code dan resusitasi tidak saja bergantung pada ketersediaan dan kemampuan personel terlatih beserta segala sarana dan prasarana yang mendukung di unit gawat darurat maupun di ruangan. Namun juga diperlukan suatu kebijakan rumah sakit yang mantap namun dapat diterapkan secara fleksibel menyesuaikan dengan ketersediaan perangkat serta kesiapan rumah sakit yang berlaku. Kebijakan mulai dari awal penerimaan, pihak yang melakukan, bahkan sampai tempat tujuan akhir dari pasien pasca resusitasi dan blue code entah ke ruang terapi intensif atau ke instalasi pemulasaraan jenazah, atau sampai

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu Anesthesia

    Denpasar, 10 - 13 Juni 2015

    permasalahan kode etik hingga sengketa hukum yang dapat menyertai harus sudah dipikirkan dan ditetapkan oleh suatu rumah sakit pendidikan sebelum menerapkan kebijakan resusitasi dan blue code.

    S-13

    Perioperative Tranesophageal Echocardiography (TEE) for the Noncardiac Surgical Patient

    I Made Adi Parmana

    RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta

    Abstract

    Since the introduction of intraoperative echocardiography into clinical practice in the 1980s, its popularityhas steadily increased. Although not as well established as for cardiac surgery, the benefit of perioperative echocardiography for non-cardiac surgery is becoming increasingly more appreciated. Selective or emergent intraoperative transesophageal echocardiography (TEE) has been reported as beneficial in 40% to 80% of patients respectively. In over one-third of patients, intraoperative TEE may be associated with a change in medical therapy, including treatment of myocardial ischemia, valvular pathology, and/or right ventricular (RV) and left ventricular (LV) failure. Based upon these findings, intraoperative echocardiography is rapidly becoming recognized for its impact on perioperative decision-making during non-cardiac surgery.

    TEE can be an important tool during the perioperative period for monitoring patients with significant comorbiditiesor if hemodynamic instability is anticipated or occurs intra operatively. Patients with potential benefit of TEE monitoring include those with known or suspected cardiovascular compromise, patients with unexplained persistent hypotension, or unexplained persistent hypoxemia, as well as patients with major thoracic or abdominal trauma.

    However, as with any tool, the risks and benefits need to be carefully evaluated. Although the complication rate from TEE placement is low, it is important to ascertain that each patient does not have pharyngeal, esophageal, or gastric pathology that will preclude its use. Increased availability of ultrasound technology and a rapidly growing number of trained personnel will significantly contribute to the expanding popularity and indications of TEE in the perioperative noncardiac surgical setting.

    S-14

    Spinal Anesthesia In Neonates

    I Putu Kurniyanta

    Departement Anesthesiology and Intensive Care Udayana University/ Sanglah Hospital Denpasar

    Abstract

    Spinal anesthesia (SA) is one of anesthesia technique in neonates is mainly limited to specialized pediatric centers. It is usually practiced on preterm infants (

  • ��Kumpulan Abstrak Kursus Penyegar dan Penambah Ilmu AnesthesiaDenpasar, 10 - 13 Juni 2015

    conception) to reduce the incidence of post-operative apnea when compared to general anesthesia (GA). SA sometimes combined with general anesthesia. It is most successful as a single shot technique, limited to surgery lasting less than ninety minutes. Spinal anaesthesia in neonates requires the technical skills of experienced anaesthesia