21
DIAGNOSIS MALARIA PENDEKATAN BERBASIS KASUS DAN PATOGENESIS Oleh : dr. Soroy Lardo SpPD FINASIM Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto PENDAHULUAN Seperti kita ketahui, Malaria sampai saat ini masih menjadi problematika penyakit infeksi di dunia. Terutama di negara tropis. Dalam perkembangan selama 115 tahun, penyakit ini tetap menjadi ancaman. Pola spesifik malaria adalah keterlibatan dan luasnya penyebaran tidak hanya bertumpu kepada pola agent – host – environment, namun terdapat variasi biomolekuler dan epigenetik serta biososial yang berakibat terhadap sistem lingkungan global dunia dan berkurangnya sumberdaya yang produktif dalam menumbuhkan kehidupan dunia yang lebih baik. Malaria sebagai penyakit yang diakibatkan protozoa, saat ini berjangkit di 107 negara dengan separuh penduduk hidup di tempat beresiko terjadinya malaria. Kondisi ini tentunya akan memberikan pengaruh terhadap angka kesakitan penyakit malaria di suatu negara. Kondisi malaria yang timbul dan menyebar di daerah endemik memiliki variasi yang luas, dengan kondisi malaria tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi. Salah satu bentuk malaria berat disebabkan oleh P Falciparum. Angka kematian malaria falsiparum tanpa komplikasi cukup rendah ( < 0.1%). Sedangkan bila terdapat gangguan organ dan eritrosit yang terinfeksi > 3 %, mortalitas meningkat tinggi. Pada malaria cerebral angka kematian berkisar 20 % pada orang dewasa dan 15 % pada anak-anak. 1 Problematika terkini adalah munculnya resistensi terhadap obat ACT (Artemisinin Combination Therapy). Beberapa penelitan mengungkapkan mulai menurunnya efektifitas ACT terhadap Plasmodium falciparum di perbatasan Thailand – Kambodja dan 1

Kulpak - Malaria (Makalah)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

malaria

Citation preview

Page 1: Kulpak - Malaria (Makalah)

DIAGNOSIS MALARIA

PENDEKATAN BERBASIS KASUS DAN PATOGENESIS

Oleh :

dr. Soroy Lardo SpPD FINASIMDivisi Penyakit Tropik dan Infeksi

Departemen Penyakit Dalam RSPAD Gatot Soebroto

PENDAHULUAN

Seperti kita ketahui, Malaria sampai saat ini masih menjadi problematika penyakit infeksi di dunia. Terutama di negara tropis. Dalam perkembangan selama 115 tahun, penyakit ini tetap menjadi ancaman. Pola spesifik malaria adalah keterlibatan dan luasnya penyebaran tidak hanya bertumpu kepada pola agent – host – environment, namun terdapat variasi biomolekuler dan epigenetik serta biososial yang berakibat terhadap sistem lingkungan global dunia dan berkurangnya sumberdaya yang produktif dalam menumbuhkan kehidupan dunia yang lebih baik.

Malaria sebagai penyakit yang diakibatkan protozoa, saat ini berjangkit di 107 negara dengan separuh penduduk hidup di tempat beresiko terjadinya malaria. Kondisi ini tentunya akan memberikan pengaruh terhadap angka kesakitan penyakit malaria di suatu negara.

Kondisi malaria yang timbul dan menyebar di daerah endemik memiliki variasi yang luas, dengan kondisi malaria tanpa komplikasi maupun dengan komplikasi. Salah satu bentuk malaria berat disebabkan oleh P Falciparum. Angka kematian malaria falsiparum tanpa komplikasi cukup rendah ( < 0.1%). Sedangkan bila terdapat gangguan organ dan eritrosit yang terinfeksi > 3 %, mortalitas meningkat tinggi. Pada malaria cerebral angka kematian berkisar 20 % pada orang dewasa dan 15 % pada anak-anak.1

Problematika terkini adalah munculnya resistensi terhadap obat ACT (Artemisinin Combination Therapy). Beberapa penelitan mengungkapkan mulai menurunnya efektifitas ACT terhadap Plasmodium falciparum di perbatasan Thailand – Kambodja dan perbatasan Thailand Myanmar. Hal ini didapatkan dengan adanya keterlambatan dalam waktu untuk klirens parasit secara invivo. 1,2

EPIDEMIOLOGI

Pada tahun 2008 terdapat 247 juta kasus malaria dan hampir satu juga kematian, terutama anak-anak dari Afrika. Kondisi tersebut menurunkan penghasilan produk domestik 1.3 % negara dengan tingginya angka penyakit. Pelancong yang datang dari area bebas malaria memiliki kerentanan untuk terjadinya infeksi.3 Sedangkan di Indonesia transmisi malaria lebih tinggi di daerah hutan, terutama di daerah timur. Sekitar 113 juta dari 214 juta penduduk memiliki resiko untuk terkena malaria.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Pelatihan Malaria untuk Dokter TNI tgl 27-29 November 2012 di Hotel Salak Bogor

1

Page 2: Kulpak - Malaria (Makalah)

Jumlah kasus yang dilaporkan menurun dari 2.8 juta pada tahun 2001 menjadi 1.2 juta pada tahun 2008, 20 % kasus yang terkonfirmasi, dimana 50 % disebabkan oleh P Falciparum.4

Kondisi Malaria di South East Asia Region juga menjadi problema kesehatan regional terutama di daerah Afrika Sub Sahara. Jumlah Malaria di daerah South East Asia Region mencakup 687 juta jiwa memiliki resiko malaria dengan estimasi 90 -120 juta jiwa terinfeksi malaria. Diperkirakan 120 ribu kematian setiap tahunnya. Hal tersebut berdampak terhadap kondisi sosial, dan produktivitas. Tipe predominan malaria adalah Plasmodium Falciparum dan Vivax dimana Plasmodium malaria dapat menyebabkan malaria cerebral dan merupakan 50 % dari kasus malaria yang ada. Dalam beberapa tahun terakhir ini, beberapa kasus malaria disebabkan oleh Plasmodium knowlesi di area hutan South East Asia. Untuk daerah Afrika dengan berbagai kendala , sudah dilakukan berbagai langkah dan resolusi untuk mengintensifkan kontrol dan prevensi, eliminasi area malaria, perubahan pola hidup dan lingkungan. 4,5

PATOGENESIS

Karakteristik infeksi Malaria ditentukan oleh jenis plasmodium. Terdapat empat genus plasmodium yang dapat menimbulkan infeksi pada manusia yaitu P. Falciparum, P vivax, P ovale dan P malariae. 1,

Karakteristik asing masing ditentukan dalam tabel dibawah ini :

Tabel 1 Karakteristik spesies Plasmodium yang menginfeksi manusia : (White et al. 2002; Procop et al : 2001)

Karakteristik Penemuan spesiesP. Falciparum P. vivax P. ovale P. malariae

Fase intra hepatic (hari) 5,5 8 9 15Jumlah merozoit yang dilepaskan dari hepatosit terinfeksi

30.000 10.000 15.000 15.000

Siklus eritrositik (jam) 48 48 50 72Preferensi sel darah merah Sel muda (dapat

menginfeksi seluruh tingkatan sel)

Retikulosit Retikulosit Sel tua

Morfologi Biasanya berbentuk ring forma, banana shaped gametosit

Bentuk ireguler dengan ring besar dan tropozoit, eritrosit membesar dan schufners’dot

Menginfeksi eritrosit, membesar, schufner’s dot

Bentuk band atau rectangular dari trophozoit

RingMuatan Parasit 1 organisme/ sel

Sering tinggiYa

IntermediateTidak

IntermediateTidak

Sering rendahTidak

Bentuk Lanjut

2

Page 3: Kulpak - Malaria (Makalah)

-Bentuk lanjut

-Bentuk Ameboid

Biasaya tidak ada, kecuali pada kasus beratN/A

Ada

Bentuk tidak jelas/kabur

Ada

Bentuk tidak jelas/kabur

Ada

Basket, band dan bentuk ameboid (indistinct)

Warna Hitam Kuning –coklat Coklat gelap Coklat hitamKemampuan untuk relaps Tidak Ya Ya TidakGambaran Lain

- Hypnozoit Tidak ada Ada Ada Tidak ada

dikutip dari 1

a Parasitemia kadang kadang melebihi 2 % dengan infeksi multiple terhadap eritrosit tunggal

Pendekatan patogenesis terhadap infeksi malaria dimulai dari perjalanan siklus nyamuk Anopheles betina menginokulasi sporozoit Plasmodium saat menghisap darah manusia. Individu yang terkena infeksi, sporozoit ludah nyamuk akan mengikuti sirkulasi darah. Dalam waktu 30 menit masuk ke dalam parenkim hati oleh pengikatan reseptor hepatosit dengan protein serum thrombospondin dan properdin . Didalam hati (hepatosit) terjadi fase eksoeritrositik primer (fase pre eritsositik) dimana sporozoit membelah diri secara aseksual, berubah menjadi sizon hati (sizon kriptozoik). Siklus ini memerlukan waktu 2 minggu untuk menjadi lengkap, tergantung spesies parasit malaria yang menginfeksi. Setelah sizon kriptozoik matang, bentuk ini bersama sel hati yang diinfeksi yang mengalami multiplikasi pecah dan mengeluarkan 5000-30000 merozoit (aseksual dan bentuk haploid), tergantung spesiesnya dan segera masuk ke dalam sel darah merah. Pada P. vivax dan P ovale sebagian trofozoit hati tidak langsung berkembang menjadi sizon, terdapat bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit dapat tinggal di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Bila imunitas menurun akan menjadi aktif dan menimbulkan relaps (kambuh). 6,7

Saat dilepaskan dari hati, Plasmodium merozoit diikat oleh parasite lectin like molecule terhadap residu asam sialik pada molekul glikoporin di permukaan sel darah merah. Dalam sel darah merah parasit tumbuh pada membrane-bound digestive vacuola, hydrolizyng hemoglobin melalui enzim-enzim yang disekresikan. Merozoit pada tahap awal akan mengalami perubahan menjadi trofozoit muda (single chromatin mass) tumbuh menjadi trofozoit dewasa kemudian membelah diri menjadi sizon (multiple chromatin mass). Sizon yang sudah matang, dengan merozoit di dalamnya pecah bersama sel darah merah yang diinfeksi. Merozoit yang dilepas kembali menginfeksi sel darah merah berikutnya. Keseluruhan siklus yang terjadi berulang di dalam sel darah merah disebut siklus eritrositik aseksual atau sizogoni. Setelah siklus sizogoni darah berulang kali , beberapa merozoit tidak lagi menjadi sizon, tetapi berubah menjadi gametosit dalam sel darah yang terdiri dari gametosit jantan dan betina. Siklus terakhir disebut siklus eritrositik seksual atau gametogoni. 6,7

Patogenesis Malaria berat melibatkan faktor Parasit, faktor pejamu, faktor sosial dan lingkungan, yang saling terkait dalam manifestasi klinis malaria. Faktor Parasit terdiri dari : (1) Resistensi obat, (2) Kecepatan Multiplikasi, (3) Cara invasi, (4) Sitoadherens, (5) Rosetting, (6) Polimorfisme antogenik, (7) Variasi antigenic (Pf-EMP1) dan (8) Toksin Malaria. Faktor parasit

3

Page 4: Kulpak - Malaria (Makalah)

yang berperan dalam malaria berat adalah resistensi plasmodium falciparum terhadap obat anti malaria, kemampuan parasit menghindari respon imun spesifik melalui variasi antigenik dan polimorfisme antigenik, berbagai strain parasit yang virulen dengan tingkat multiplikasi yang tinggi. Faktor Pejamu (Host) terdiri dari : (1) Imunitas, (2) Sitokin proinflamasi, (3) Genetik, (4) Usia, (5) Kehamilan. Faktor sosial dan geografi : (1) Akses mendapat pengobatan, (2) Faktor-faktor budaya dan ekonomi, (3) Stabilitias politik, (4) Intensitas transmisi nyamuk. 8,9

Saat terjadinya infeksi parasit malaria akan terjadi sitoadherens berupa ikatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit dengan endotel vaskuler terutama kapiler post venula, menyebabkan terjadinya sekuesterasi parasit pada kapiler-kapiler organ. Mekanismenya terjadi sebagai berikut : Eritrosit yang terinfeksi parasit akan timbul tonjolan yang disebut Knob. Pada knob tersebut terdapat berbagai protein seperti HRP-1, PfEMP-1, PfEMP-2 (MESA) . PfEMP-1 merupakan protein yang berperan penting dalam sitoadherens. Protein ini akan melekat dengan berbagai molekul adhesi pada permukaan endotel pembuluh darah sebagai reseptornya, yaitu CD36,CD31,ICAM-1, ELAM-1 (E – Selectin), VCAM-1, trombospodin, asam hialuronat, kondroitin sulfat (CSA). Selanjutnya pada tingkat molekul adhesi terjadi ikatan PfEMP-1 dengan molekul adhesi menyebabkan eritrosit yang terinfeksi melekat pada kapiler organ tubuh, menimbulkan gangguan aliran darah lokal, pada kondisi kondisi berat menimbulkan iskemia dan hipoksia dengan hasil akhir kegagalan organ. Protein parasit lain yang diduga ikut berperan pada sitoadherens adalah pfalhesin, sekuesterin, rifins, stevors dan clags. PfEMP-1 merupakan protein berperan memberatnya malaria . Karena protein ini bervariasi, satu parasit dengan yang lain dapat mengekspresikan protein pfEMP-1 yang berbeda. Hubungan dari ekspresi PfEMP-1 dengan sekuesterasi dapat mengekspersikan jenis reseptor molekul adhesi yang berbeda dan jumlah/banyaknya reseptor adhesi juga berbeda. PfEMP-1 yang diekspresikan pada permukaan eritrosit terinfeksi parasit dapat berikatan secara simultan dengan berbagai reseptor sekaligus, namun parasit satu dengan yang lain dapat mengekspresikan PfEMP-1 yang lebih dominan berikatan dengan molekul adhesi tertentu, misalnya parasit yang menginfeksi plasenta mengekspresikan PfEMP-1 yang mampu berikatan dengan CSA namun tidak dengan CD36. Contoh lain ekspresi PfEMP-1 yang lebih dominan dengan ICAM-1 yang merupakan molekul adhesi pembuluh darah otak sehingga parasit tersebut akan lebih banyak tersekuesterasi di otak. Hal tersebut yang menyebabkan malaria cerebral. Sekuesterasi pada malaria berat tidak ditemukan pada semua malaria falciparum. Sebagian besar sekuesterasi tidak menimbulkan malaria berat. Sekuesterasi yang terlalu padat pada satu atau beberapa organ akan menimbulkan obstruksi total aliran darah yang menyebabkan hipoksia dan gangguan metabolik di organ tersebut dan menimbulkan malaria berat.7,8,9

Proses sitoadherens menyebabkan sekuesterasi parasit di jaringan perifer dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah kapiler menimbulkan gangguan mikrosirkulasi, hipoksia dan iskemik sel dengan akibat akhir kerusakan sel dan gangguan fungsi organ. Faktor yang berperan perubahan malaria ringan menajdi berat, belum diketahui. Diduga kemampuan parasit untuk mengekspresikan molekul tertentu guna membuat ikatan dengan molekul adhesi tertentu, menimbulkan pola sekuesterasi khusus yang mungkin berdampak patologis. Misalnya Malaria dengan kehamilan, ditemukan PfEMP-1 yang dapat berikatan dengan CSA, tidak dapat berikatan dengan CD36 yang merupakan reseptor utama sitoadheren pada umumnya. Demam dapat meningkatkan sekuesterasi, karena suhu yang tinggi dapat meningkatkan pergerakan EMP-1 menuju permukaan eritrosit sehingga dapat meningkatkan sitoadherens.7,8,9

4

Page 5: Kulpak - Malaria (Makalah)

Gambar 1 Dampak plasmodium terhadap metabolik dan imunologi (Bashroum, 2000)

Dikutip dari 6

Gambar 2 Pengaruh Malaria terhadap ginjal (Achtman 2005)5

Plasmodium

Immunology

Red Cell Change

Metabolic

TH2 TH1

Rosetting Hemolysis Hypoglycemia

B CellsEndothelial Activation

Platelet Adhesion

Anemia Jaundice Bleeeding

Antibodies

ClumpsPeripheral

pooling

DIC Trombocytopenia

Immune Complexes

AR

Cerebral Shock Acidosis

Hyponatremia

Antigen

Membrane Change

Disturbed Rheology

Cytokines

Page 6: Kulpak - Malaria (Makalah)

Dikutip dari 6

Gambar 3 Nekrosis tubular akut akibat intervensi plasmodium falciparum

6

Plasmodium falciparum

Parasitized erythrocyte

↑ TNF ↓IL-10

In tubular epithelial cell

Inflammatory cell infiltration in interstitium

Altered tubular transport

Tubular damage and dysfunction

Acute Tubular Necrosis

1

Page 7: Kulpak - Malaria (Makalah)

Dikutip dari 6

Karakteristik Klinis dan Keterlibatan Gangguan Fungsi Organ

7

Plasmodium falciparum

Acute Tubular Necrosis

GPI & CD 14Other Falciparum antigent

Cytokines & Mediators

Adhesion molecules

PfEMP-1

↓SVR, ↑RVR

Cytoadherence Rossette

Sequestration

↓Tissue Perfusion

↓Renal Blood Flow

Parasitized erythrocytes

APR and NSF Hypovolemia Hemolysis Hyperviscosity Jaundice Intravasc. Coagulation Fever ROS

2

3

Page 8: Kulpak - Malaria (Makalah)

Malaria sebagai penyakit demam akut, gejala klinis yang muncul umumnya tujuh hari atau lebih (biasanya 10-15 hari) setelah infeksi gigitan nyamuk. Gejala pertama tidak spesifik diantaranya demam, menggigil, sakit kepala, rasa tidak nyaman, rasa tidak enak di perut, nyeri otot disertai panas adalah gejala yang serupa dengan infeksi virus, muntah – yang mungkin dapat ringan dan sulit dikenali sebagai malaria dan dapat berakhir dengan kematian. Dalam beberapa keadaan dapat disertai dengan nyeri kepala yang sangat, nyeri dada, nyeri perut, artralgia, mialgia atau diare yang dapat diduga akibat penyakit lain, walaupun nyeri kepala pada malaria mungkin lebih berat. Gejala klasik malaria seperti panas tinggi , menggigil dan kekakuan yang terjadi secara regular sesuai interval, relatif jarang dan diduga disebabkan oleh P vivax atau P ovale. Panas yang irregular pada P Falciparum pada penderita yang kekebalannya menurun sering mencapai diatas 40 ºC disertai takikardi, terkadang delirium. Kejang dapat disebabkan oleh P Falciparum dan merupakan petanda adanya malaria cerebral. Beberapa gejala lain adalah anemia dan pembesaran limpa. Limpa merupakan organ retikuloendothelial, Plasmodium dihancurkan oleh makrofag dan limfosit. Penambahan sel radang ini menyebabkan limpa membesar. Anemia terjadi karena pecahnya SDM yang terinfeksi oleh P Falciparum, sehingga anemia dapat bersifat akut dan kronis. P vivax hanya menginfeksi SDM muda yang jumlahnya hanya 2 % dari seluruh SDM. P malariae menginfeksi sel darah tua yang jumlahnya hanya 1 % dari SDM sehingga anemia yang ditimbulkan P vivax dan P malariae merupakan anemia kronis. Anemia sering terjadi pada individu yang tinggal di daerah dengan transmisi terus menerus dan parasit yang resisten terhadap klorokuin. Pembesaran limpa sering didapatkan di daerah endemic yang menunjukkan adanya infeksi berulang. Pembesaran hati dan ikterus ringan dapat terjadi pada orang dewasa yang disebabkan P Falciparum dan umumnya sembuh dalam 1- 3 minggu. Jika tidak diobati dalam 24 jam, P Falciparum malaria dapat berkembang menjadi penyakit berat sering menyebabkan kematian. Anak anak di daerah endemik dengan penyakit berat sering berkembang satu atau lebih presentasi sindroma sebagai berikut yaitu yaitu : anemia berat (Hb < 5 gr% atau hematokrit < 15 %, gagal ginjal akut, edema paru, hipoglikemia, syok, kejang berulang, ikterus, hiperpireksa, distress berhubungan dengan asidosis metabolik atau malaria cerebral. Keterlibatan multiorgan juga sering terjadi. Kejadian relaps oleh P vivax dan P ovale re mungkin terjadi dalam minggu sampai dengan bulan sesudah infeksi pertama, bahkan pada pasien yang sudah meninggalkan area malaria. Episode pertama dari bentuk “ dorman dihati ( tidak didapatkan pada P Falciparum dan P malariae) dan pengobatan spesifik untuk target di hati merupakan mandat untuk pengobatan yang tuntas. 1,4,6

Karakteristik Kelompok Resiko

Hampir setengah populasi dunia memiliki resiko malaria. Kasus kematian terbanyak dari malaria adalah di daerah Sub Sahara Afrika. Namun demikian Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan sebagian Eropa termasuk dalam 108 negara teritori yang terkena malaria. Karakteristik kelompok resiko mencakup: (1) Anak anak. Pada area transmisi stabil yang sebelumnya tidak berkembang imunitas protektif menghadapi bentuk penyakit malaria berat dapat berkontribusi kematian akibat malaria di seluruh dunia. (2) Wanita hamil non imun : memiliki resiko tinggi malaria menyebabkan tingginya angka keguguran ( 60 % pada infeksi falciparum) dan kematian ibu mencapai 10-15 %. (3) Wanita hamil semi immun pada area transmisi yang tinggi. Malaria dapat menyebabkan keguguran, berat badan lahir, khususnya saat trimester satu dan kedua kehamilan. Diperkirakan 200.000 bayi meninggal setiap tahunnya saat

8

Page 9: Kulpak - Malaria (Makalah)

kehamilan. Wanita dengan infeksi malaria pada plasenta memiliki resiko lebih tinggi mendapatkan infeksi HIV terhadap kelahirannya. (4) Penderita HIV/AIDS memiliki resiko tinggi penyakit malaria jika terinfeksi. (5) Pelancong dari dari area non endemik memiliki resiko tinggi malaria dan hal ini merupakan konsekuensi kelemahan imunitas. (6) Imigran dari area endemik dan anak anak mereka tinggal di area non endemik dan kembali ke negara mereka untuk mengunjungi kerabat secara bersamaan memiliki resiko karena adanya penurunan/ kehilangan imunitas.4

DIAGNOSIS BERBASIS KASUS

Pendekatan diagnosis malaria membutuhkan kemampuan dan kejelian terhadap gejala klinis berdasarkan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik yang akurat dan laboratorium yang mendukung ditemukannya parasit malaria. Dalam kenyataan dilapangan, ternyata tidak mudah untuk menegakkan diagnosis malaria. Berbagai varian klinik dapat muncul sehingga kecepatan dan ketepatan diagnosis sangat diperlukan, sehinga pengobatan dapat diberikan sedini mungkin. Hal ini dapat dikaji dari beberapa kasus yang sudah dipresentasikan dalam pertemuan nasional dan internasional di bidang infeksi dari RSPAD Gatot Soebroto.

Kasus pertama adalah seorang prajurit TNI Tn J umur 29 tahun masuk ke RSPAD Gatot Soebroto tgl 25 Februari 2009 dengan keluhan demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Tiga hari sebelum demam penderita menggigil, sakit kepala, mual dan muntah. Penderita pindah dari Papua sejak 4 tahun yang lalu dan masih menderita malaria. Penderita menderita malaria sejak kecil dan sudah tidak minum obat malaria sejak 14 hari sebelum masuk rumah sakit. Pemeriksaan fisik pada lien : Pembesaran suffner 1. Laboratorium didapatkan : Hb: 13.5 gr %, Leukosit : 9500 /mm3, Trombosit : 96.000, Bilirubin 1.6 mg %, SGPT 57 mg %, USG Abdomen ditemukan splenomegali. Pemeriksaan mikroskopis malaria ditemukan : plasmodium vivax. Diagnosis : Malaria Relaps vivax. Pada pasien diberian pengobatan ACT (Military trial) : Artemisin 1000 mg dan Napthoquine 400mgn dan Primaquine 15 mg selama 14 hari. Pasien mengalami perbaikan. Pemeriksaan mikroskopis hari ke 3, 7, 14 dan 28 negatif.10

Kasus kedua adalah seorang prajurit berumur 25 tahun bertempat tinggal di Papua datang ke RSPAD Gatot Soebroto dengan demam sejak tiga hari yang lalu. Penderita juga mengalami menggigil, sakit kepala, mual dan mialgia. Penderita memiliki riwayat malaria falciparum dan vivax. Pemeriksaan fisik ditemukan Temperatur : 39 ºC tanpa manifestasi pendarahan di kulit. Abdomen : Hepatomegali dan Splenomegali Suffner II. Pemeriksaan laboratorium : Hb : 11.4 gr/dl, Ht : 35 %, Leukosit : 4200 /uL dan Trombosit 107.000. Diagnosis waktu itu ditegakkan sebagai infeksi virus dengan Diagnosis Banding Demam Dengue dan Malaria. Penderita mendapatkan antipiretik, antasida dan infus kristaloid. Pada hari berikutnya penderita yang tidak demam pada pagi hari mengalami demam kembali pada sore hari dengan suhu 38 ºC. Pada fase demam tersebut dilakukan pemeriksaan mikroskopis darah tepi yang memperlihatkan adanya Pasmodium vivax (trofozoit dan gametosit form). Kemudian diberikan Artesumoon blisterTM

(Amodiakuin dan Artesunat) 4 tablet selama tiga hari dan primakuin 15 mg / hari selama 14 hari. Sesudah pengobatan antimalaria pasien mengalami perbaikan dan tidak demam kembali. Pada hari keempat perawatan trombosit penderita menurun 60.000/ul kemudian dilakukan pemeriksaan Dengue dengan Ig M anti Dengue positif dan Ig G anti Dengue negatif. Pada Hari ke 9 pasien pulang untuk rawat jalan dengan hasil laboratorium Hb : 9 gr/dl, Ht 29 %, Leukosit

9

Page 10: Kulpak - Malaria (Makalah)

2300/uL dan Trombosit 127.000 /ul dan pemeriksaan apus darah tepi negatif untuk plasmodium. Diskusi dari kasus ini bahwa Dengue dan malaria harus dicuriga pada pasien demam yang bertempat tinggal dari daerah infeksi endemik. Diagnosis infeksi ganda malaria dengue hendaknya menjadi suatu perhatian kita berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang akurat. Sehigga penanganan infek.si ganda DBD dan Malaria dapat komprehensif. 11

Kasus ketiga adalah serial kasus tentang Malaria yang mengalami ko infeksi di rumah sakit rujukan. RSPAD Gatot Soebroto sebagai rumah sakit rujukan di daerah tropis sering menerima pasien malaria dengan ko infeksi yang tidak terdiagnosis dan sering tidak respon dengan terapi dari rumah sakit daerah. Disebabkan tidak adekuatnya terapi dari rumah sakit sebelumnya, pasien yang dirujuk umumnya dengan gejala tanda yang tidak khas. Epidemiologi terjadinya infeksi dari daerah pasien berasal menjadi pertimbangan adanya suatu infeksi ganda. Kasus pertama adalah : Seorang pria datang dengan gejala penyakit flu sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien baru datang dari daerah endemik Pantai Gading Afrika. Tidak ada riawayat kontak binatang. Namun saat itu sedang terjadi pandemik H1N1. Pemeriksaan dari rumah sakit didapatkan hasil laboratorium pansitopenia. Hasil pemeriksaan swab orofaringeal positif H1N1. Namun dalam perjalanan klinis pasien tetap demam sampai dengan hari ke 15. Sebelumnya pasien diperiksa mikroskopis malaria selama tiga kali pemeriksaan negatif dan Tubek TF positif 6. Setelah mendapatkan antibiotik untuk penanganan demam tifoid penderita masih demam. Kemudian pasien diajukan pemeriksaan mikroskopis malaria ke Departemen Parasitologi FKUI didapatkan positif . Diskusi kasus ini adalah tidak mudah untuk mendiagnosis malaria, walaupun gejala klinis mendukung untuk itu. Kemampuan dan keakhlian mikroskopis malaria sangat dibutuhkan untuk kasus ini. Kasus ke dua adalah seorang mahasiswa ITB yang sedang menjalani tugas lapangan di Kalimantan datang ke RSPAD Gatot Soebroto dengan Infeksi Malaria campuran falciparum dan vivax. Pada kedatangan pertama pasien masuk dengan Malaria Berat dan ditemukan hasil pemeriksaan mikroskopis sebagai falciparum. Setelah menjalani pengobatan satu bulan kemudian pasien datang berobat dengan gejala demam kembali. Hasil pemeriksaan pada pengobatan kedua kali didapatkan plasmodium vivax (+). Plasmodium vivax tidak ditemukan pada pemeriksaan pertama karena telah mendapatkan pengobatan dengan kina dari rumah sakit daerah. 12,13

Kasus keempat adalah seorang prajurit berusia 29 tahun yang bertugas di Kongo Afrika mengalami prolong trombositopenia berat. Penderita masuk ke RSPAD dengan kelelahan kronik dan pendarahan pada gusi dan kulit, tetapi tidak dijumpai demam, menggigil dan berkeringat. Ia baru kembali dari tugas di Kongo Afrika dimana dua bulan sebelumnya memiliki riwayat malaria vivax. Sebelumnya penderita sudah mendapatkan artesunat. Kadar trombosit mencapai 5000/uL dan hasil malaria darah tepi negatif. Pada awalnya di diagnosis sebagai immune thrombocytopenic purpura (ITP) disebabkan berat dan lamanya trombositopenia . Trombosit tetap rendah dengan nilai maksimum 12.000/Ul sesudah pemberian steroid dan terapi imunosupresan. Untuk mencegah pendarahan, diberikan transfusi trombosit. Setelah satu bulan dilakukan pemeriksaan ulang malaria darah tepi dengan ditemukan positif plasmodium vivax. Sesudah diberikan pengobatan malaria dengan artesunat dan primakuin, trombosit meningkat menjadi 47.000/uL dengan kecenderungan meningkat. Dari kasus ini kita dapat belajar bahwa prolong trombositopenia berat dapat terjadi sebagai komplikasi malaria vivax. Tidak adanya

10

Page 11: Kulpak - Malaria (Makalah)

manifestasi klinis hasil malaria darah tepi negatif tidak menyingkirkan status infeksinya. Dari pemeriksaan dan laboratorium akurat kita mendapatkan diagnosis pasti dan memberikan pengobatan yang definit untuk malaria vivax. 14

Kasus kelima adalah Tn S 29 tahun prajurit TNI masuk RSPAD 4 November 2012 dirujuk dari RS Marthin Indey Papua dengan diagnosis malaria berat, suspek gagal ginjal akut pre renal et causa sepsis dan gangguan fungsi hati. Pasien belum pernah terkena malaria. Pasien mengalami penurunan kesadaran setelah perawatan 3 hari di ICU. Penderita mengeluh kencing berwarna coklat seperti teh sejak 8 hari SMRS dan BAK sedikit sejak 7 hari yang lalu. Di RS Marthin Indey pasien sudah mendapatkan Artem Injeksi selama 2 hari namun disebabkan hasil pemeriksaan mikroskopis negatif, pemberian Artem dihentikan. Pemeriksaan Fisik : Kesadaran Koma, Konjunctiva Pucat, Sklera ikterik. Thorax Paru terdapat ronkhi basah halus kedua lapangan paru. Abdomen ditemukan hepatomegali dan lien tidak teraba. Pemeriksaan Laboratorium didapatkan anemia normokrom, leukositosis, trombositopenia,hipoalbuminemia, protein uria, hematuria , Ureum dan kreatinin meningkat ( 180/ 13.4), PT APTT memanjang, asidosis metabolik dan fungsi hati yang meningkat (SGPT : 117 dan SGOT 87), glukosa darah 98 mg%. Pasien didiagnosis sebagai Sepsis + AKI + DIC+ Edema Paru dan MODS. Penatalaksanaan adalah Sepsis dengan MODS dengan melaksanakan hemodialisis. Tiga kali pemeriksaan mikroskopis malaria ditemukan hasil negatif. Pada hari ke 5 perawatan hasil pemeriksaan serologi malaria positif falciparum. Kemudian pasien diberikan Injeksi Artesunat. Namun pasien meninggal dunia dua hari setelah pemberian artesunat. Belajar dari kasus ini sedemikian sulitnya menentukan diagnosis malaria sehingga pemberian artesunat yang terlambat ternyata tidak mampu untuk memperbaiki kondisi pasien yang sudah dengan MODS.

METODA SKORING PENENTUAN BERATNYA MALARIA

Upaya mengembangkan prediksi skoring beratnya malaria sudah direkomendasikan oleh WHO terkait dengan penanganan kasus malaria yang tidak memiliki fasilitas ICU dan memiliki fasilitas terbatas. Mayoritas kematian malaria terjadi 48 jam setelah perawatan di rumah sakit dan membutuhkan perawatan suportif untuk mempertahankan untuk hidup. Terlambatnya rujukan ke rumah sakit khususnya ICU meningkatkan angka kematian, walaupun sudah mendapatkan obat malaria. Oleh karena itu diperlukan suatu alat yang dapat menjadi skoring prediksi dalam menentukan kondisi klinik dan penatalaksanaan. Sebelumnya terdapat MSA (Malaria Severity Assesment ) Score suatu skor sederhana yang memiliki nilai prediktif namun hanya berlaku satu lokasi tidak dapat diaplikasikan di rumah sakit. Skor MSA terdiri dari 1 X (anemia berat [Hb < 5 g/dl]) + 3 x ( distress pernafasan, memerlukan ventilasi mekanik) + 4 x (cerebral malaria [GCS < 11]). Masing masing variabel diskoring 0 atau 1 tergantung ada atau tidaknya tanda tersebut. CAM (Coma Acidosis Metabolik) Score penentuan skoring beratnya malaria yang dikembangkan dari penelitian SEAQUAMAT di Asia dyang divalidasi dari data di Vietnam dan Bangladesh. CAM Score berguna pada pasien dengan GCS dan defisit basa memiliki prediktif kuat untuk mortalitas. CAM Score berguna dalam identifikasi pasien dengan prognosis baik namun tidak memerlukan perawatan ICU. CAM Score dapat memberikan keuntungan dalam triage malaria dapat menurunkan 26 % untuk perawatan di ICU. Pasien dengan CAM Score < 2 saat masuk rumah sakit lebih baik dirawat di ruangan perawatan umum dengan memonitor fungsi ginjal. 15

11

Page 12: Kulpak - Malaria (Makalah)

Tabel 2. Derivation of the Coma Acidosis Malaria (CAM Score),Bicarbonat-Base Came Score and Respiratory Rate- Based CAM Score (Assessed at Hospital Admission)

Score

Variable 0 (normal) 1 (deranged) 2 (very deranged)

Base deficit < 2 2 to < 10 ≥ 10

GCS 15 10-14 10

Bicarbonat Score ≥ 24 15 to 24 15

Respiratory rate score 20 20 to 40 40

Note : CAM Score (0-4) is calculated as the base deficit score (0-2) plus GCS (0-2). Bicarbonat – base came score (0-4) is calculated as the bicarbonate score (0-2) plus GCS (0-2). Respiratory rate base CAM score (0-4) is calculated as the respiratory score (0-2) plus the GCS score (0-2)

Dikutip dari 15

DUKUNGAN DIAGNOSTIK LABORATORIUM

Diagnosis malaria didasarkan gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Diagnosis pasti malaria ditegakkan sesuai dengan standar baku emas, yaitu ditemukannya parasit malaria pada pemeriksaan mikroskopis sediaan darah tepi. Saat ini terdapat beberapa pemeriksaan seperti uji imunofloresens (Quantitative Buffy Coat), Rapid Diagnostic Test (RDT)/ Immunochromatography test (ICT), Polymerase Chain Reaction (PCR), EIA Enzyme Immuno Assay) / ELISA dan kultur malaria. Pemerikaan RDT sangat dibutuhkan terutama pada daerah tidak didapatkan tenaga mahir. RDT /ICT digunakan untuk memeriksa target antigen yang terdapat di dalam darah penderita malaria. 15

Pemeriksaan Mikroskopis

Pemeriksaan Mikroskopis merupakan pemeriksaan baku emas malaria. Pemeriksaan parasit pada hapusan darah sensitifitasnya hanya 50 par/mL = parasitema 0.001 % atau 1/10 dari tetes tebal. Parasitemia pada tetes tebal adalah jumlah parasit per 200 leukosit, sedangkan hapusan adalah jumlah parasit per 1000 eritrosit. Parasit tidak terdeteksi secara mikroskopik (negatif palsu). Jika parasitemia kurang 0.01 % atau adanya sekuesterasi sitoadheren P Falciparum yaitu parasit berada di deep vein (sequestered di otak,limfa, hati, plasenta).16

Rapid Diagnostic Test (RDT)

12

Page 13: Kulpak - Malaria (Makalah)

RDT /ICT merupakan kombinasi antara immunologi dan kromatografi, merupakan uji kualitatif, cepat,mudah , tanpa tenaga teknisi mahir, namun relatif mahal. Prinsip ICT adalah migrasi larutan melewati membrane nitroselulosa (fase tetap) bersamaan dengan capture antigen parasit terhadap antibodi monoclonal yang mengandung pewarnaan selenium/ partikel emas fase gerak. Kemudian dilakukan capture dengan Ab monoclonal ke 2 atau ke 3 yang ditempelkan pada strip/pita nitroselulosa yang berfungsi sebagai fase tetap. Migrasi Ag-Ab sepanjang strip memungkinkan Ag berlabel ditangkap Ab monoklonal, menghasilkan garis berwarna, membedakan jenis parasit. Terdapat tiga antigen yang dapat dideteksi degan RDT yaitu HRP2 yang spesifik untuk falciparum, pLDH ( spesifik P Falciparum pLDH,pan specific pLDH, spesifik P vivax pLDH dan Aldolase (pan spesifik. 16

Hasil pemeriksaan RDT/ICT kadang tidak sesuai dengan hasil mikroskopik dapat positif palsu /negatif palsu. Parasit yang sequestered di deep vein atau organ dalam misalnya plasenta, hati, limfa , otak akan memberikan hasil RDT/ICT positif tetapi mikroskopik negatif. Kesesuaian hasil pemeriksaan RDT /ICT dengan hasil pemeriksaan mikroskopik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :Prevalensi parasit, ada tenaga teknisi mahir pembaca hapusan di mirkroskop dan talt, kemamuan mempertahankan mutu RDT, pengukuran derajat parasitemia adanya cytoadherens / sequestered P Falciparum/ tidak. RDT diperlukan pada keadaan tidak terdapatnya tenaga teknis mahir pembaca hapusan di mikroskop, parasit rusak / sequestered, adanya febris di daerah dengan epidemi malaria.16

KESIMPULAN

Diagnosis Malaria berbasis kasus dan patogenesis merupakan jalan tengah untuk meangaplikasikan proses patogenesis dan kenyataan yang terjadi di lapangan. Pemahaman patogenesis baik dari aspek perjalanan klinis dan biomolekuler menjadi kunci untuk meningkatkan pemahaman tentang perjalanan klinis malaria prediksi untuk menjadi memberat. Diagnosis ini didukung melalui pendekatan skoring dan pemeriksaan laboratorium yang akurat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Suharto. Terapi Malaria Cerebral. Dalam : Nasronudin, Hadi U, Vitanala, Erwin AT, Bramantono dkk (Eds). Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang. Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair, 2007. H 441-47.

2. A. Dondorp Mahidol University, Mahidol Oxford Tropical Medicine Research Unit, angkok/TH. Artemisinin resistance in falciparum malaria. Abstract 25.001 International Congress Of Infectious Diseases (ICID) 2012

3. WHO Report 20104. . World Malaria Report 20095. Editorial Malaria in the South-East Asia Region: Myth & the reality Indian J Med Res

128, July 2008, pp 1-36. Nasronudin . Patogenesis dan Penatalaksanaan Malaria. Biologi Molekuler Penyakit

Infeksi. Institute Of Tropical Disease Airlangga University. 2008.h 68-81. 7. Mc Adam A, Sharpe AH. Parasitic Infections. In : Robbin, Cotran, Kumar, Abbas,Fausto

et al. (Eds). Phatologic Basis Of Disesease. 8th Edition. Saunder Elsiver 2004 ; pp: 386-888. Nugroho A. Patogenesis Malaria Berat . Dalam Buku Malaria dari Molekuler ke Klinis.

Penerbit Buku EGC 2008. H 38 – 6313

Page 14: Kulpak - Malaria (Makalah)

9. Rowe JA, Claessens A, Corrigan RA, Arman M. Adhesion Morecule Of Plasmodium falciparum – infected erythrocites to human cells: molecular mechanisms and theurapeutic Implications. Expert reviews in molecular medicine. Cambridge Universitiy Press 2009 : pp. 1-26

10 Andree K, Dina O, Soroy Lardo, Khie Chen. Treatmen Of Relapsing Malaria Vivax. Podium Presentation Asia Pasific Military Medicine (APMMC) Jakarta, 3 – 7 Mei 2010.

11. Lumban Gaol D*, Setyawan W*, Nurliana D**, Lardo S Case Report: Concurrent infection of Dengue and Plasmodium Viva. Abstrak Poster Presentasi Konas Petri Bali, 15 -17 Juli 2010

12. H. Habib, S. Lardo. Malaria and co-infection among traveller in a refferal hospital: a case series. International Conggres Of Infectious Diseases (ICID) 2012.

13. H Habib , S Lardo. Inge Sutanto. Relaps Vivax Infection Complete Treatment Of Severe Falciparum. Abstrak Poster Presentasi Konas Petri Semarang 8-11 Juli 2011

14. Laurentius A. Pramono,1 Nikko Darnindro,1 Jerry Nasaruddin,1 Mala Hayati,1Bhanu Kumar,1Prima Yuriandro,1Rizki Y. Pradwipa,1Nyoto W. Astoro,2Soroy Lardo2. Prolonged severe thrombocytopenia as complication of African vivax malaria resembled immune thrombocytopenicpurpura . Abstrak Presentasi Poster Konas Petri Bandah Aceh 14 – 16 Juni 2012

15. Hanson J, Lee SJ, Mohanty S, Faiz MA, M Anstey N et al. A Simpel Score to Predict the Outcome of Severe Malaria in Adults. Clinical Infectious Diseases 2010 ; 50: 679-85.

16. Widijanti A. Update On Laboratory Diagnostic Of Malaria Infection. Dalam Simposium Nasional Penyakit Tropik – Infeksi dan HIV dan AIDS. ITD Unair. 2008 ; h: 68 -75.

14

Page 15: Kulpak - Malaria (Makalah)

15