Kuliah Umum -Filsafat Seni Sudjojono

Embed Size (px)

DESCRIPTION

filsasfat seni Sudjojono

Citation preview

Apa itu filsafat seni?Pertanyaan paling mendasar dalam filafat seni ialah: apa itu seni? Tetapi sebelum sampai kepada pertanyaan itu, perlu dipertanyakan terlebih dahulu: apakah seni punya esensi tertentu sehingga dapat didefinisikan?Dikenal dua pandangan besar dalam usaha mendefinisikan seni yaitu esensialisme dan Anti-esensialisme. Esensialisme merupakan pandangan yang meyakini bahwa seni dapat didefinisikan. Antiesensialisme sebaliknya, menyatakan tidak ada pokok-pokok atau esensi dari seni sehingga seni tidak dapat didefinisikan (Davies, 2006:28-29).Pertanyaan apa esensi dari seni? merupakan persoalan ontologi seni. Pertanyaan mendasar lain dalam filsafat seni antara lain ialah: apakah nilai seni itu intrinsik atau ekstrinsik?; Apakah nilai seni ditentukan hanya semata-mata dari bentuk saja atau dari aspek isi seperti kebenarannya atau kepekaan moralnya?; Apakah penilaian terhadap nilai artistik karya seni dapat dibenarkan dengan meletakkan klaim pada kesepakatan universal atau merupakan ekspresi pribadi? (Budd, 2000: 8). Filsafat seni adalah salah satu cabang filsafat khusus yang membicarakan persoalan mengenai penciptaan seni, pengalaman seni, kritik seni, nilai seni dalam kehidupan manusia, dan hubungan seni dengan kegiatan dan kepentingan manusia lainnya (The Liang Gie, 1996:9). Suzanne K. Langer dalam Problem of Art menyatakan bahwa filsafat seni menjawab konsep-konsep pokok dalam seni secara konsisten, seperti konsep wujud atau citra, ekspresi, rasa, motif, transformasi, dan yang konsep-konsep lain yang sebenarnya satu sama lain salingberkaitan (Langer, 2006:4).Apa itu seni: problematika pendefinisian seniBagaimana kita bisa menyebut ini seni dan itu bukan? Apa yang membedakan seni dengan hal-hal lai di muka bumi ini? Pengertian Seni seringkali dikaitkan dengan sifat indah, kreatif, individualitas, ekspresif, dan keabadian. Namun, mari kita teliti sejenak. Apakah jika tidak indah tidak dapat disebut seni? Apakah jika tidak kreatif dan ekspresif tidak dapat disebut dengan seni? Dan Apakah jika tidak memiliki nilai-nilai keabadian masih bisa disebut seni?Seorang tokoh bernama Arthur C. Danto, kritikus dan filsuf seni Amerika, dalam karyanya The Abuse of Beauty Aesthetics and the Concept of Art,2003 membahas mengenai penyimpangan keindahan, estetika dan konsep seni. Danto memulai dengan pembahasan karya Andy Warhol yang berjudul Brillo Box (1964). Ia melontarkan pertanyaan, apakah masih ada keindahan dalam sebuah karya seni? Dengan melihat seni avant garde Avant garde adalah golongan perintis terutama dalam bidang seni. (tidak terikat pada bentuk-bentuk konsensus estetis yang sudah baku, pemberontakan terhadap tradisi, karya-karyanya menjadi semacam provokasi bagi pengamat dan pembaca untuk merekonstruksi sistem-sistem nilai dan kepercayaan mereka) (Mudji Sutrisno, 134-135) apakah kita masih dapat mengatakan tentang keindahan sebagaimana dalam pengertian Immanuel Kant di era Pencerahan? Apa yang dipinggirkan Kant telah menjadi kategori estetik baru dalam seni kontemporer, seperti yang menjijikan, rendah, menakutkan dan memuakkan. (Kenyowati, 24). Bagi Danto sebuah obyek dibedakan sebagai karya seni atau bukan berdasarkan penceritaan tentang sesuatu yang terkandung di dalamnya. Suatu Obyek dianggap sebagai karya seni karena terkandung penceritaan tentang sesuatu, aboutness, dan karena dalam obyek yang meskipun sama dengan benda biasa (Brillo Box), ia mempunyai makna (embodied meaning) (Kenyowati, 26).Persoalan dan Pendekatan dalam filsafat seniPerenungan mengenai seni dimulai dari pertanyaan apa yang bernilai dari seni? (Graham, 1997:149). Filsafat seni tidak hanya mempersoalkan karya seni atau benda seni (hasil atau produk), tetapi juga aktivitas manusia atas produk tersebut, baik keterlibatannya dalam proses produksi maupun caranya mengevaluasi dan menggunakan produk tersebut. Ada tiga pokok persoalan dalam filsafat seni yaitu seniman sebagai penghasil seni, karya seni atau benda seni, dan kaum penerima seni (Sumardjo, 2000:29).Estetika filosofis tradisional berusaha mencari definisi seni dan menganalisis konsep seni. Segala usaha yang dilakukan estetika filosofis tradisional untuk menemukan definisi melalui necessary dan sufficient conditions disebut sebagai pendekatan deskriptif. Pendekatan deskriptif ini mengalami kesulitan, karena setiap aliran tidak pernah menghasilkan definisi yang memadaisetiap aliran meninggalkan beberapa necessary atau sufficient conditions (Graham, 1997:152).Pendekatan teori sosiologis kemudian berkembang sebagai reaksi dari kesulitan yang dihadapi estetika filosofis tradisional. Pendekatan teori sosiologis timbul dari observasi bahwa setiap bahasa adalah produk kultural dengan masing-masing sejarah yang membentuknya. Seni, menurut teori sosiologis, ialah hasil dari pengaruh sosial, bukan dari sifat alamiah objek seni (Graham, 1997:154).Pembedaan seni dan bukan seni, kitsch dan seni yang layak, membutuhkan usaha penyingkapan perbedaan dari sisi metafisik. Dibutuhkan pendekatan yang mengatasi kekurangan pemikiran kaum esensialis dan teori sosiologis. Pendekatan normatif terhadap seni kemudian muncul sebagai pendekatan alternatif dalam estetika. Pendekatan normatif memberikan dasar untuk mengindentifikasi seni yang layak, seni yang baik, atau seni yang sejati. Pendekatan normatif bertujuan untuk memformulasikan konsep seni yang layak.Berdasarkan tiga pendekatan tersebut membagi pisau analisis menjadi empat unsur sebagai berikut: nilai seni, bentuk dan ekspresi seni, seniman, dan konteks seni. Pokok masalah benda seni dilihat dari pendekatan normatif dan deskriptif sehingga menghasilkan unsur nilai seni dan bentuk dan ekspresi seni, pokok masalah seniman dilihat dari pendekatan normatif dan deskriptif menghasilkan unsur analisis seniman, sedang pokok masalah seniman dan penerima karya seni dilihat dari pendekatan teori sosiologis menghasilkan unsur konteks seni.Perbedaan filsafat seni dengan estetikaKajian filsafat seni seringkali tumpang tindih dengah estetika, seperti nampak dalam pengertian estetika menurut John Hosper, estetika adalah renungan tentang objek estetis atau karya seni, di samping juga membuat analisis mengenai konsep-konsep yang digunakan dalam perenungan itu (Ali, 2011:2). Estetika oleh beberapa penulis lain juga seringkali ditempatkan sebagai bagian dari filsafat seni. Filsafat seni dalam penelitian ini dibedakan dari estetika sekalipun keduanya mempunyai objek formal yang sama yaitu filsafat. Objek material filsafat seni ialah seni, sedangkan objek material estetika adalah keindahan. Pembedaan kajian filsafat seni dan estetika terjadi sekitar pertengahan abad 20 yaitu saat filsuf Anglo-Amerika mulai berpikir tentang seni. Teori estetik dianggap tidak dapat mengakomodasi kualitas yang membuat karya seni sebagai seni itu sendiri. Identitas dan isi karya seni tidak hanya timbul dari aspek keindahannya tetapi juga dari relasi dengan aspek situasi tempat karya seni tersebut diciptakan. Teori estetik pada paruh pertama abad ke 20 tidak menerima masalah seperti latar belakang historis seni, praktek sosial, kesepakatan, dan institusi tempat seni dibuat dan dikonsumsi. Masalah-masalah tersebut dijelaskan sebagai antitesis atau lawan dari kenikmatan dan persepsi estetis. Pemikir pada paruh pertama abad 20 ini fokus pada inner psychology dari subjek yang mempresepsi. Filsafat baru yang timbul di akhir abad 20 menantang dan menolak teori lama. Sasaran filsafat seni ini hanya pada seni, bukan kategori perluasan dari estetika (Davies, 2006:52).Sejarah diskursus filsafsat seniPertanyaan mengenai hakikat seni sebenarnya telah berusaha dijawab oleh berbagai tokoh dan aliran dari masa ke masa. Plato membicarakan seni dalam pengertian techn, yang lebih dekat dengan pengertian craft (keahlian) daripada seni seperti yang dikenal sekarang. Techn adalah ketrampilan dalam melakukan sesuatu yang memerlukan kemampuan khusus dan luar biasa. Plato membedakan craft (keahlian) menjadi dua macam yaitu acquisitive, misalnya mencetak uang dan productive, misalnya pertukangan kayu, permainan seruling, melukis, arsitektur, menenun, atau membuat furniture. Keahlian productive menciptakan sesuatu yang sebelumnya belum ada (Breadsley, 1966:32). Media material harus dimanipulasi dengan beberapa cara yang membutuhkan keahlian dan pengetahuan khusus guna menciptakan sesuatu. Manusia yang melakukan kerja productive memiliki tujuan dan mengikuti rencana sebagai pemandunya, oleh karena itu semua produksi dalam pengertian luas dapat disebut imitasi (Breadsley, 1966:33).Segala produksi ialah imitasi dari tujuan dalam pikiran. Imitasi dalam filsafat Plato dikenal dengan istilah mimesis. Pengertian mimesis sebenarnya lebih dekat dengan pengertian representasi daripada imitasi, sebab yang ditiru bukanlah kemiripan gambaran saja tetapi bentuk (form) dari suatu objek (Breadsley, 1966:34). Bentuk di sini berarti esensi dari objek, yang menjadikan suatu objek menjadi objek tersebut. Seni, dalam pemikiran Plato, adalah tiruan dari kenyataan duniawi, sedang kenyataan duniawi adalah cerminan semu dari dunia Ide atau Bentuk sempurna (The Liang Gie, 2004: 21). Aristoteles menanggapi pemikiran Plato. Seni, bagi Aristoteles juga merupakan imitasi, tapi imitasi dari tindakan. Aristoteles dalam Poetics, menyatakan bahwa karya seni diproduksi dengan metode imitasi. Epic poetry,Comedy, Dythrambic, permainan seruling atau berbagai jenis seni yang lain merupakan ragam dari imitasi. Tiga hal yang menjadi pembeda dari ragam tersebut ialah medium (medium), objects (objek), dan the manner or mode of imitation (cara mengimitasi) (Aristotle, 2007: 2). Beberapa seni menggunakan medium yang sama, seperti warna dan bentuk, misalnya pada seni lukis dan teater. Beberapa jenis seni yang lain lagi memadukan semua medium misalnya dithyrambic dan nomic poetry, tragedy dan comedy yang memadukan sarana rhythm, melody,dan syair. Pembeda kedua, ialah objek. Objek yang diimitasi adalah manusia yang melakukan tindakan (men in action). Sama dalam mediumdan jenis objek tetapi berbeda cara mengimitasi menghasilkan karya yang berbeda pula (Aristotle, 2007: 3), sebagai contoh: salah satu peristiwa diungkapkan dalam bentuk narative sedang yang lain dalam bentuk dramatic. Aristoteles kemudian membandingkan puisi dengan sejarah, puisi adalah sesuatu yang lebih filosofis daripada sejarah, karena pernyataan-pernyataannya universal, sedangkan dalamsejarah pernyataan bersifat partikular. Universal yang dimaksud di sini ialah sifat puisi yang dapat menyatakan hal yang akan terjadi atau kemungkinan kuat akan manusia katakan atau lakukan (Aristotle, 2007:8). Fungsi puisi adalah untuk menjelaskan, bukan tentang sesuatu yang telah terjadi, tapi suatu jenis kejadianyang mungkin akan terjadi, sedang sejarah menjelaskan sesuatu yang telah terjadi. Seniman, dengan demikian, tidak sekedar merepresentasi tetapi mempunyai peran untuk menambahkan pikirannya mengenai peristiwa yang mungkin terjadi. Perdebatan mengenai hakikat seni tetap aktual dan abadi. Teori imitasi, pada awal abad ke-19, mulai ditinggalkan. Pandangan yang dominan dalam seni saat itu ialah pandangan bahwa seni merupakan ekspresi emosi sang seniman. Munculnya teori ekspresi seni terkait erat dengan gerakan Romantisme, sebuahperkembangan intelektual dan filosofis di abad ke 18 dan ke 19. Filsafat Romantik merupakan reaksi terhadap filsafat empiris (Inggris) dan mentalitas ilmiah, serta sebagai usaha untuk menggapai yang di balik pengetahuan inderawi sehari-hari, karena itu Masa Romantik dipenuhi oleh atmosfir religius dan mistik yang kuat. Filsafat Romantik dalam dunia seni menghasilkan sebuah peran baru bagi seniman dan minat baru dalam kreasi artistik. Seniman dianggap sebagai sarana untuk mencapai sumber-sumber vital dan mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diberikan oleh sains. Kreasi artistik diidentifikasikan atau terkait dengan pelepasan emosi. Emosi kemudian mendapat peran penting yang belum pernah terjadi sebelumnya, yaitu terlibat untuk mencapai suatu pengetahuan yang lebih unggul (Ali, 2011:127).Realisme muncul di abad 19 sebagai reaksi terhadap Romantikisme. Abad 19 merupakan masa ilmu pengetahuan alam berkembang. Metode Ilmu pengetahuan alam masuk ke dalam sistem ekonomi, universitas, dan kesadaran masyarakat luas, juga tercemin dalam seni yaitu dengan munculnya gerakan realisme (Breadsley, 1966:290). Seniman, dalam semangat realisme, tidak akan mengabaikan aspek-aspek kehidupan yang dapat membantu menjelaskan alasan masyarakat berperilaku, sekalipun itu buruk. Seniman realis sangat tertarik pada detail konkrit dari perlengkapan dan lingkungan sekitar, walaupun bukan berarti tidak selektif, karena pusat ketertarikannya ialah pada manusia, dan objek yang menjadi perhatiannya ialah psikologi manusia (Breadsley, 1966:294-295).Diskursus mengenai hakikat seni terus berlanjut. Sekolah Frankfurt di paruh terakhir abad 19 menangkap terjadinya krisis kultural yang disebabkan kegagalan karya seni memainkan posisi kritis. Karya seni, menurut mazhab Frankfurt, sebagaimana filsafat terlempar dalam dua jebakan. Jika filsafat terpecah ke dalam ilusi alternatif yang dibuat Heidegger sehingga menjadi filsafat yang serba abstrak dan ke dalam positivistik, demikian juga yang terjadi dalam seni, ia terlempar ke dalam dua jebakan yang berbeda dari filsafat tapi memiliki substansi yang sama. Jebakan pertama, pararel dengan gagasan abstraksi Heidegger, konsep estetis mempunyai akar-akar sebagai abstraksi penuh dan terasing dari dunia riil. Horkheimer mengamati bahwa di zaman modern keindahan seni patung dan lukis dipisahkan dari tata kota dan arsitektur. Ini menggambarkan bahwa keindahan seni merupakan sesuatu yang independen, terlepas dari ketakutan dan kecemasan masyarakat. Estetika menjadi sesuatu yang seakan hadir dalam ruang vakum. Konsep seni untuk seni atau art for arts sake, menurut analisis Sekolah Frankfurt, lahir dari gagasan modern mengenai individuasi, yang tidak lain muncul dari ontologi Heidegger. Konsep ini mengisolasi karya seni dari konteks sosial-historis. Jebakan kedua, pararel dengan filsafat yang terjebak dalam postivisme, karya seni terjebak harus identik dengan realitas dunia itu sendiri. Proses diaklektis antara karya seni dan realitas tidak berlangsung lagi. Karya seni hanya mengafirmasi realitas yang ada, kehilangan kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi kritisnya. Peranan dan fungsi karya seni di sini ialah hanya memproduksi kembali realitas secara terus-menerus. Seni terjebak dalam baik ultrarealisme ala Zhdanov dari kubu sosialis, atau ultrarealisme ala Warhol dari kubu kapitalis. Di tengah perdebatan antara abstraksionisme dan ultrarealisme yang satu sama lain mengklaim dirinya yang paling benar, Sekolah Frankfurt membangun idealisme untuk menciptakan kembali momen-momen historis di mana seni mampu mengatasi segala kemandulan tadi dan kembali bersikap kritis (Soetomo, 2003: 14-15).Herbert Marcuse, salah satu tokoh Sekolah Frankfurt, dalam disertasinya yang berjudul Der deutsche Knstlerroman (The German Artist Novel), menggambarkan bahwa masyarakat modern ditandai dengan hilangnya keutuhan. Keadaan yang mengakibatkan hilangnya keutuhan digambarkan sebagai situasi di mana persamaan sosial tidak terwujud, terjadi perkembangan dan pembedaan kelas-kelas, berbagai profesi, yang kemudian diikuti dengan terbentuknya kebudayaan yang kompleks. Dalam situasi seperti ini pula timbul pertentangan antara seni dan hidup sosial. Para seniman terpisah dari konteks sosialnya, pemahaman seniman akan kultural yang terpecah-pecah memaksanya untuk masuk pada ketidaksadaran akan adanya semangat sosial universal untuk membangun identitas. Marcuse, dalam karya-karyanya, memperjuangkan penyatuan kembali seni dengan kehidupan lewat sebuah ide yang lebih mendalam mengenai keberadaan spiritual yang utuh melalui bentuk estetika baru (Soetomo, 2003: 130).