40
Kualitas Tidur dengan Tingkat Keparahan pada Pasien dengan Rhinosinusitis Kronis Oleh : Gunung Mahameru (G99141077) Aga Suganda (G99141078) Paramita Stella (G99141079) Endang Susilowati N (G99141080) Dyah M. Dewanti (G99141081) Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher Fakultas Kedokteran UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta 2015

Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kualitas tidur

Citation preview

Page 1: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Kualitas Tidur dengan Tingkat Keparahan pada Pasien

dengan Rhinosinusitis Kronis

Oleh :

Gunung Mahameru (G99141077)

Aga Suganda (G99141078)

Paramita Stella (G99141079)

Endang Susilowati N (G99141080)

Dyah M. Dewanti (G99141081)

Bagian Ilmu Telinga Hidung Tenggorok – Kepala LeherFakultas Kedokteran UNS / RSUD Dr. Moewardi

Surakarta2015

Page 2: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan
Page 3: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Abstrak

• untuk mengevaluasi kualitas tidur pada pasien dengan rhinosinusitis kronik (Chronic Rhinosinusitis/CRS) menggunakan hasil pengukuran yang telah tervalidasi dibandingkan dengan pengukuran pada tingkat keparahan rinosinusitis kronik dengan gangguan tidur

Objektif :

• Desain-Cross-sectional dari kelompok multi cohort pusat

Desain studi :

• Pasien dengan CRS sesuai dengan 2007 Adult Sinusitis Guideline yang terdaftar dari empat akademik, pusat perawatan tersier di seluruh Amerika Utara. Masing-masing subjek menyelesaikan instrumen Sleep Indeks Kualitas Pittsburgh (PSQI), ukuran kualitas-hidup (QOL), endoskopi, computed tomography (CT), dan pemeriksaan penciuman. Faktor demografi pasien, kondisi komorbiditas, dan langkah-langkah klinis keparahan penyakit yang dibandingkan antara pasien dengan penilaian "baik" (PSQI; ≤ 5) dan "buruk" (PSQI;> 5) pada kualitas tidurnya.

Metode :

Page 4: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Abstrak• Pasien (n = 268) melaporkan skor PSQI rata 9,4 (kisaran: 0-21). 75,0%

dari pasienskor PSQI dilaporkan menunjukkan kualitas tidur yang buruk. Pasien dengan kualitas tidur buruk ditemukan memiliki skor QOL signifikan lebih buruk pada kedua Rhinosinusitis.Indeks kecacatan (p <0,001) dan 22-item sinonasal Hasil Uji (p <0,001). Tidak ada yang signifikanperbedaan rata endoskopi, CT, atau skor fungsi penciuman yang ditemukan antara pasiendengan kualitas tidur yang baik atau buruk. Perokok tembakau dilaporkan skor total rata PSQI buruk dibandingkan dengan non-perokok (p = 0,030). Pasien yang dilaporkan kurang tidur lebih mungkin untuk memiliki riwayat depresi, bahkan setelah faktor jenis kelamin (p = 0,020).

Hasil :

• Sebagian besar pasien dengan CRS memiliki kualitas tidur yang buruk yang diukur dengan Survei PSQI. Kualitas tidur yang buruk secara signifikan berhubungan dengan-CRS spesifik QOL, jenis kelamin, komorbiditas depresi, dan penggunaan tembakau tetapi tidak pada pemeriksaan CT atau endoskopi.

Kesimpulan :

Page 5: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

PENGANTAR

Hubungan antara kualitas tidur pada pasien dengan rinosinusitis kronis (CRS) masih sangat sedikit diketahui.

Tidur yang buruk secara berkepanjangan dapat memiliki dampak mengejutkan pada kinerja individu, secara keseluruhan kualitas-of-hidup (QOL), dan bahkan kematian.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kualitas tidur dalam kelompok multi-institusi pasien dengan CRS memanfaatkan instrumen penilaian tidur yang telah tervalidasi.

Perbedaan demografi, kondisi komorbiditas, langkah-langkah klinis keparahan penyakit, dan kualitas hidup penyakit spesifik yang dibandingkan antara pasien dengan kualitas tidur normal dan berkurang.

Page 6: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

METODE

Subyek penelitian : Pasien dewasa (≥18 tahun) dengan CRS

Menjalani standar klinis pemeriksaan .

Kriteria inklusi.

Menyelesaikan semua kuesioner dan memberikan persetujuan dalam bahasa Inggris.

Menyediakan data demografi, sosial, dan riwayat medis.

Page 7: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

METODE

Pasien yang didiagnosis dengan eksaserbasi saat sinusitis akut berulang dikeluarkan dari analisis akhir.

Pasien didiagnosis dengan apnea tidur obstruktif baik oleh pengujian atau melalui riwayat kesehatan (n = 34) yang juga dikecualikan dari semua pasien yang terdaftar antara Februari 2011 dan September 2012.

Page 8: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

METODE

Pengukuran Kualitas Tidur Semua pasien menyelesaikan Pittsburgh Sleep Quality Indeks (PSQI) pada saat pendaftaran dengan bantuan dari seorang asisten peneliti yang sudah terlatih.

Soal PSQI adalah 18-item, terdiri dari bagaimana kualitas tidur dan durasi selama periode waktu empat minggu sebelum survei selesai.

PSQI menghasilkan tujuh skor komponen atau sub-domain. Skor komponen sub-domain (kisaran: 0-3) yang dinilai menggunakan algoritma scoring tersedia untuk umum dan diringkas untuk memperoleh skor total (kisaran: 0-21).

Skor PSQI lebih tinggi menunjukkan gangguan tidur yang lebih besar. PSQI skor ≤5 dianggap kualitas tidur "baik" sedangkan skor> 5 dikaitkan dengan kualitas tidur "buruk".

Page 9: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Pengukur Kualitas Hidup Penyakit Spesifik

Peserta penelitian juga melengkapi 2 instrumen CRS-spesifik QOL:• Indek Disabilitas Rhinosinusitis (RSDI) • Test Hasil Sinonasal (SNOT-22).

Dapat menangkap dampak kesehatan spesifik CRS pada model pelengkap.

Page 10: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

RSDI• Rentang: 0-120• Terdiri dari 30 item, • Instrument survey penyakit

spesifik• Mengevaluasi dampak dari CRS

pada fisik (rentang:0-44), fungsional (rentang 0-44), emosional (rentang:0-44) subdomain pasien.

• Sub-domain dan total skor yang lebih tinggi menunjukkan dampak yang lebih besar dari penyakit sinonasal kronik.

SNOT-22• telah tervalidasi sebagai

pengukur hasil terapi yang dapat dipakai pada kondisi sinonasal kronis

• Rentang: 0-110.• Total skor yang lebih rendah

menandakan tingkat QOL yang lebih baik dan gejala yang lebih ringan.

Page 11: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Pengukur Keparahan Penyakit

• Evaluasi gambaran CT dengan sistem scoring Lund-Mackay bilateral

• Evaluasi Pemeriksaan endoskopi dengan sistem tingkatan endoskopi Lund-Kennedy (rentang: 0-20)

• Fungsi penciuman (Tes Identifikasi Bau Singkat)

Pengukuran keparahan penyakit dilakukan dengan :

Page 12: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Pengukur Keparahan Penyakit

Evaluasi CT Scan (Sistem skoring Lund-

Mackay bilateral)

• Rentang: 0-24• Skor yang lebih tinggi

menunjukkan keparahan penyakit yang lebih tinggi.

Pemeriksaan endoskopi (Sistem tingkatan

endoskopi Lund-Kennedy )

• Rentang: 0-20• Skor yang lebih tinggi

menunjukkan tingkat keparahan penyakit yag lebih buruk.

• Untuk mengukur : keparahan polyposis nasal bilateral, discharge, edema, luka dan krusta.

Fungsi penciuman (Tes Identifikasi Bau

Singkat (B-SIT))

• Terdiri dari 12 item yang terstandarisasi

• Tes penciuman quantitative non-invasif yang memakai 12 strip bau mikrokapsul dengan pola “scratch-‘n-sniff”

• Rentang: 0-12• Skor lebih tinggi

menandakan kemampuan membaunya lebih baik

• Skor B-SIT lengkap ≥ 9 didefinisikan sebagai normal

Page 13: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Analisis Statistik

Pengolahan Data statistic menggunakan SPSS ver.21, IBM Corp., Chicago, IL.

Analisis deskriptif (rata-rata, standar deviasi (SD), frekuensi dan rentang nilai) lengkap untuk variabel demografis, pengukuran klinis dari keparahan penyakit CRS dan data kualitas tidur.

Uji T tidak bepasangan dan tes U Mann-Whitney digunakan untuk mengevaluasi perbedaan antara kualitas tidur subkelompok dan pasien dengan karakteristik yang sesuai.

Tes Pearson’s chi-square digunakan untuk mengevaluasi perbedaan frekuensi kualtas tidur sub kelompok.

Page 14: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Analisis Statistik

koefisien korelasi Spearman (rs) untuk mengevaluasi korelasi bivariate non parametric antara semua klinis tingkat keparahan penyakit yang terukur dan skor total PSQI dan sub-domain.

Regresi logistic sederhana digunakan untuk mengidentifikasi dan mengetahui signifikansi, ko-faktor independen atau efek modifikasi yang berhubungan dengan kuaitas tidur yang buruk dan untuk mengetahui kemungkinan pengukuran linier.

Perkiraan dan odds rasio (OR) yang sesuai dengan interval kepercayaan 95% (CI) dilaporkan cocok.

Page 15: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

HASIL

Dari total 268 pasien lengkap dengan semua syarat yang dibutuhkan untuk penelitian termasuk kuisionair PSQI.

Pasien dengan CSR didapatkan rata-rata skor total PSQI yaitu 9.4 (4.4) dengan rentang 0-21.

Page 16: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

HASIL

Penurunan skor PSQI sub-domain dengan skor total PAQI pada pasien dengan karakteristik yang tercantum pada table 1.

Wanita didapatkan secara signifikan memiliki total skor PSQI yang lebih buruk disbanding pria. Selain itu, pasien dengan depresi juga dilaporkan memiliki skor PSQI yang buruk dibndingkan dengan pasin yang tidak memiliki riwayat depresi. Pasien yang merokok memiliki total skor rata-rata PSQI yang buruk disbanding dengan yang tidak merokok.

Page 17: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan
Page 18: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan
Page 19: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

HASIL

Kondisi tidur setiap pasien dievaluasi dan dibagi menjadi dua yaitu kualitas tidur “buruk” (n=201;75.0%) dan ”baik” (n=67;25.0%).

Karakteristik demografis dan pasien didefinisikan pada Tabel 2 dibedakan menurut tingkat keparahan ganguan tidur.

Didapatkan prevalensi kualitas tidur yang buruk pada wanita lebih banyak dari pada pria (58.7% vs. 41.3%) dan depresi didapatkan kebanyakan pada pasien dengan kualitas tidur yang buruk.

Page 20: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan
Page 21: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Keparahan Penyakit diukur dengan Endoscopy, CT, and B-SIT

Rata-rata skor endoskopi Lund-Kennedy untuk kelompok pasien dengan kualitas tidur yang buruk yaitu 6.4 (4.4) dengan rentang 0-20, sedangkan rata-rata skor Lund-Mackay CT yaitu 12.2(5.7) dengan rentang 1–24. Rata-rata skor B-SIT fungsi penciuman yaitu 9.2(3.1) dengan rentang 1–12.

Analisis bivariate menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p≥0.190) pada rata-rata endoskopi, CT, atau skor tes B-SIT fungsi penciuman antar pasien dengan kualitas tidur yang bagus dan yang buruk (Tabel 3).

Page 22: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan
Page 23: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Keparahan Penyakit diukur dengan Instrumen QOL

Skor QOL penyakit spesifik diukur dengan instrument RSDI dan SNOT-22 didpatkan seperti pada Tabel 4.

Pasien dengan kualitas tidur yang buruk didapatkan skor yang buruk pada total RSDI maupun RSDI sub-domain jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki kualitas tidur yang bagus. Selain itu, subjek dengan kualitas tidur yang buruk didpatkan memiliki rata-rata skor SNOT-22 yang buruk jika dibandingkandengan pasien dengan kualitas tidur yang bagus.

Page 24: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan
Page 25: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Keparahan Penyakit diukur dengan Instrumen QOL

Korelasi koefisien sedang ditemukan anatara total PSQI, total RSDI (rs

=0.54;p<0.001) dan total skor SNOT-22 (rs =0.63;p<0.001;Tabel 5).

Selain itu, korelasi yang lemah dan sedang ditemukan antara total skor RSDI dan SNOT-22 serta PSQI semua sub-domain.

Tidak ada korelasi yang signifikan yang didapatkan antara pengukuran PSQI, dan pengukuran tingkat keparahan penyakit yang lain seperti skor CT, endoskopi, atau fungsi penciuman, dengan pengecualian lemahnya korelasi antara skor PSQI sub-domain dengan pengobatan tidur dan skor CT (rs =0.15;p=0.012).

Instrument PSQI sub-domain fisik dan SNOT-22 terdiri dari beberapa item spesifik yang berkaitan dengan kualitas dan fungsi tidur, yang kemungkinan memiliki hubungan yag signifikan dengan instrument survey PSQI.

Pengurangan item survey pada dasarnya tidak mengubah korelasi antara total skor dari instrumen PSQI dan RSDI (rs =0.53;p<0.001) maupun SNOT-22 (rs

=0.55;p<0.001).

Page 26: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan
Page 27: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Regresi Logistik untuk Prevalensi Tidur yang Buruk

Dari fakta yang kami temukan prevalensi subjek wanita dengan riwayat depresi lebih tinggi (23.1%) dibandingkan dengan subjek pria (12.4%) dan prevalensi wanita denga kualitas tidur yang buruk lebih tinggi (80.3%) dibanding pria (68.6%), kami menggunakan regresi logistic sederhana untuk mengukur hubungan antara kofaktor dan kualitas tidur pada pasien.

Page 28: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Regresi Logistik untuk Prevalensi Tidur yang Buruk

Riwayat depresi (OR:3.48, 95% CI: 1.32, 9.17;p=0.012) dan jenis kelamin (OR:1.86, 95% CI: 1.07, 3.26;p=0.029) keduanya ditemukan sebagai factor resiko independen untuk kualitas tidur yang buruk pasa pasien CRS.

Setelah menyesuaikan prevalensi jenis kelamin, depresi masih merupakan prediktor independen yang signifikan untuk kualitas tidur yang buruk (OR:3.19, 95% CI: 1.20, 8.48;p=0.020).

Page 29: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Regresi Logistik untuk Prevalensi Tidur yang Buruk

Selain itu, total skor RSDI dan skor SNOT-22 yang buruk secara independen berhubungan dengan hasil tidur yang buruk (p<0.001), namun hubungan linier didapatkan antara pengukuran QOL dan pengukuran klinis depresi, hal yang sama juga ditemukan pada penilitian sebelumnya. Pada akhirnya, pengukuran QOL berhubungan kuat dengan skor total PSQI yang buruk setelah depresi terkontrol.

Page 30: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Pasien dengan CRS dilaporkan mengalami gangguan kualitas tidur di semua subdomain berdasarkan survei PSQI dengan mayoritas pasien yang dilaporkan memiliki skor PSQI di atas tradisional cut-off yang menunjukkan kualitas tidur yang buruk.

Pasien dengan kualitas tidur yang buruk lebih mungkin mengalami depresi dibandingkan pasien dengan kualitas tidur yang baik, dan perbedaan ini tetap ada setelah mengendalikan faktor jenis kelamin.

Secara signifikan kualitas tidur yang buruk juga ditemukan pada pasien perokok. Kualitas tidur yang buruk secara signifikan berkorelasi dengan CRS yang spesifik berhubungan dengan QOL yang diukur dengan RSDI dan instrumen SNOT-22, bahkan setelah menghilangkan pertanyaan terkait tidur dari instrumen ini.

Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam skor endoskopi, CT, maupun fungsi penciuman antara pasien dengan kualitas tidur yang baik atau buruk . Temuan ini signifikan kuat setelah mengeluarkan pasien yang didiagnosis dengan obstructive sleep apnea dari analisis.

Page 31: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Studi ini menunjukkan bahwa pasien dengan gejala CRS memiliki prevalensi tinggi terjadinya pathological sleep dysfunction yang jauh lebih besar dari yang biasanya diidentifikasi dalam populasi umum (15-35%).

Temuan ini sesuai dengan studi sebelumnya yang menyatakan bahwa pada pasien CRS mungkin mengalami gangguan tidur.

Disfungsi tidur umum terjadi pada penyakit kronis, tidak terbatas pada fibromyalgia, rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis, myasthesia gravis, multiple sclerosis, dan fibrosis kistik.

Namun, prevalensi disfungsi tidur dalam kohort kami lebih besar dari yang biasanya diidentifikasi dengan PSQI pada populasi dengan penyakit kronis (range: 50-59%).

Page 32: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Berkurangnya kualitas tidur mungkin multifaktorial pada pasien CRS dan mungkin karena pengaruh jenis kelamin atau depresi. Terdapat korelasi yang kuat antara gangguan tidur dan depresi, yaitu pada pasien depresi dilaporkan mengalami penurunan kualitas tidur.

Depresi dan gangguan tidur keduanya lebih banyak ditemukan pada wanita. Kualitas tidur yang buruk memiliki prevalensi yang tinggi pada wanita, yang diukur secara subjektif maupun objektif. Depresi ditemukan menjadi komorbiditas umum pada pasien CRS dengan prevalensi setinggi 25% dan terkait dengan penyakit yang lebih buruk yang spesifik mempengaruhi QOL. Wanita dengan CRS memiliki kualitas tidur yang lebih buruk.

Berdasarkan fakta, terdapat prevalensi yang lebih tinggi dari depresi dan kualitas tidur yang buruk pada wanita, pada model regresi logistik menunjukkan bahwa depresi merupakan faktor risiko independen untuk kualitas tidur yang buruk setelah mengendalikan jenis kelamin. Gangguan tidur pada akhirnya menunjukkan hubungan 2 arah antara pasien wanita dengan depresi dan CRS.

Page 33: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Merokok telah dikaitkan dengan onset tidur yang lambat, night time arousal, dan mengantuk pada siang hari, sementara penghentian merokok dapat meningkatkan kualitas tidur. Pengukuran objektif dari tidur menggunakan polisomnografi menemukan bahwa merokok secara independen terkait dengan fragmentasi tidur.

Konsumsi nikotin meningkatkan kewaspadaan, latensi tidur dan fragmentasi, dan kantuk di siang hari, mengurangi waktu tidur, tidur gelombang lambat dengan mengurangi efisiensi tidur. Selain itu, terapi pengganti nikotin diberikan untuk terapi penghentian merokok yang dapat menyebabkan gangguan tidur.

Beberapa faktor penting yang berhubungan dengan merokok selain konsumsi nikotin termasuk iritasi hidung, hidung tersumbat, peningkatan resistensi airway dan penurunan aliran inspirasi mungkin berkontribusi dalam menyebabkan gangguan pernapasan ketika tidur pada populasi umum.

Data kami melengkapi literatur yang sudah ada saat ini bahwa merokok dikaitkan dengan kualitas tidur yang buruk, walaupun masih terdapat pertanyaan yang belum terjawab dengan temuan ini. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menentukan mekanisme merokok dan / atau nikotin mempengaruhi kualitas tidur pada pasien dengan CRS. Terakhir, konsentrasi nikotin perifer dan pusat perlu dievaluasi dan dikorelasikan dengan pengukuran tidur secara objektif.

Page 34: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Secara subjektif kualitas hidup dan kualitas tidur akan berkurang pada orang dengan penyakit kronis dan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kualitas tidur tampaknya memainkan peran penting dalam merusak kualitas hidup. Lebih lanjut, orang yang mempunyai kualitas tidur buruk dapat meningkatkan keparahan penyakit kronisnya, dengan kualitas tidur yang secara langsung berhubungan terhadap kecacatan.

Pada pasien dengan gagal jantung yang stabil, kualitas tidur berhubungan dengan keparahan gagal jantungnya, seperti yang diklasifikasikan oleh New York Heart Association, dan global PSQI yang telah terbukti menjadi prediktor independen dari kualitas hidup. Kualitas hidup spesifik yang diukur dengan RSDI dan SNOT 22 pada pasien dengan penyakit parah berkorelasi secara signifikan dengan kualitas tidur subjektif.

Namun pada penelitian kohort kami kualitas tidur yang buruk tidak ditemukan adanya hubungan dengan tingkat keparahan penyakit yang diukur dengan endoskopi, skor CT, atau fungsi penciuman. Hal ini konsisten dengan publikasi sebelumnya yang diterbitkan berulang kali menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat keparahan penyakit CRS, skor CT atau endoskopi.

Belum diketahui jika dengan meningkatkan kualitas hidup atau keparahan penyakit dapat meningkatkan kualitas tidur. Hubungan antara keparahan penyakit, kualitas hidup dan kualitas tidur yang buruk adalah seperti dua arah, kecacatan diprediksi memperburuk kualitas tidur dan kualitas tidur yang buruk mungkin dapat menjadi prediktor dari kualitas hidup.

Page 35: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Hal ini dapat dihipotesiskan bahwa sumbatan hidung berkontribusi terhadap disfungsi tidur pada pasien CRS dengan mengganggu aliran udara hidung dan membuat gangguan bernafas saat tidur. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa polip hidung berhubungan dengan obstruksi hidung dan gangguan tidur dengan rasio risiko 2 kali lipat lebih tinggi dari gangguan tidur.

Dengan demikian, pasien CRS dengan sumbatan hidung karena polip hidung mengalami penurunan yang signifikan rata – rata kualitas kantuk di siang hari, diukur dengan Epworth Sleepiness Scale (ESS) setelah operasi, namun tidak ada perubahan yang terlihat pada indeks apnea hiponea diukur dengan polysomnogram.

Hal ini menunjukkan gangguan aliran udara hidung mungkin bukan satu – satunya penentu kualitas tidur pada pasien CRS. Kami juga menemukan bahwa tidak ada perbedaan kualitas tidur antara pasien dengan dan tanpa polip nasal. Tidak diketahui seberapa objektif pengukuran aliran udara hidung dan hal tersebut tidak menunjukkan bahwa pasien dengan polip mempunyai aliran udara lebih sedikit dibandingkan dengan pasien tanpa polip.

Page 36: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Ada banyak hipotesis yang masuk akal mengenai patofisiologi tidur pada orang sehat dan sakit. Penelitian kami menunjukkan bahwa kualitas tidur berkurang pada pasien CRS, namun etiologi yang mendasari dan patofisiologi disfungsi tidur ini tidak diketahui.

Fungsi tidur diatur oleh sistem saraf pusat yang tersusun dari kumpulan saraf yang saling terkoneksi yang ditandai dengan perubahan sinyal input dan output seperti yang dikemukakan Krueger et al. Hal ini dikontrol lewat sinyal lokal oleh faktor pertumbuhan dan sitokin, yang dapat mempengaruhi neuron untuk menyesuaikan dan bahkan mengubah input dan output dari kumpulan saraf, pada pusat tidur dan kortek CNS.

Menariknya, CRS adalah penyakit inflamasi kronis yang berhubungan dengan perubahan sitokin, reseptor, dan produknya. Peningkatan sitokin diregulasi oleh infeksi atau termasuk peradangan yang menimbulkan perilaku kesakitan tetapi tidak terbatas pada peningkatan tidur, melalui sinyal yang menuju aksis hipotalamus hipofisis.

Page 37: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Pada manusia, kurang tidur dan perubahan level sitokin pro inflamasi saling berhubungan tetapi tidak terbatas pada kelelahan, nyeri, depresi, gangguan kognisi, dan ingatan. Ada bukti yang menghubungkan sitokin pro inflamasi seperti TNF-α dan IL1- β pada CRS dan regulasi tidur.

Mekanisme tentang sitokin inflamasi sistemik yang mungkin memberikan sinyal ke sistem saraf pusat pada pasien CRS masih belum diketahui, meskipun bukti awal menunjukkan mungkin bekerja merangsang otak melalui stimulasi atau perubahan transmisi aferen, ditransportasi melewati sawar darah otak, merubah level atau aktivitas dari substansi lain yang memberi sinyal otak, dan atau langsung melintasi sawar darah otak.

Kenyataan bahwa sitokin bertindak di otak untuk menginduksi adaptasi fisiologi, mungkin mulai dapat menjelaskan patofisiologi CRS dan patologi umum yang terkait termasuk depresi, kelelahan, gangguan kognisi, memori, gangguan tidur. Pertanyaan tambahan dalam hubungan antara tidur dan zat pengatur tidur, dan bagaimana zat tersebut memberi sinyal ke CNS pada pasien dengan CRS, harusnya memberi kita wawasan tentang patofisiologi dari disfungsi tidur.

Page 38: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

DISKUSI

Kekuatan penelitian ini meliputi prospektif, desain multi institusional, dan pemanfaatan instrumen yang tervalidasi untuk menilai disfungsi tidur. Namun, pasien yang terdaftar dari praktek dan tempat perawatan tingkat tersier bidang rhinologi harusnya dilakukan ekstrapolasi sepenuhnya temuan ini untuk semua pasien dengan CRS.

PSQI belum divalidasi secara khusus untuk pasien dengan CRS meskipun telah divalidasi pada kontrol yang sehat di berbagai usia, pria berumur, pasien dengan depresi berat, dan pasien klinik gangguan tidur. Hubungan antara PSQI, ESS, dan pemeriksan objektif masih belum jelas.

PSQI tidak selalu berkorelasi positif dengan polisomnografi yang berguna menilai kualitas tidur atau tingkat kantuk di siang hari yang diukur dengan ESS. Demikian pula, ESS tidak selalu berkorelasi dengan istrumen objektif dari disfungsi tidur.

Page 39: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

KESIMPULAN

Pasien dengan CRS mempunyai prevalensi tinggi mempunyai kualitas tidur yang buruk diukur dengan survei PSQI.

Kualitas tidur yang buruk berhubungan signifikan dengan kualitas hidup spesifik pada CRS, depresi, dan pengunaan tembakau, tetapi tidak berkorelasi dengan keparahan penyakit yang diukur dengan endoskopi atau penilaian CT.

Disfungsi tidur harus dipertimbangkan pada pasien dengan CRS, bersama dengan potensial kontribusi dari depresi dan tembakau. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk lebih menjelaskan baik etiologi dan patofisiologi disfungsi tidur pada pasien CRS.

Page 40: Kualitas Tidur Dengan Tingkat Keparahan Pada Pasien Dengan

Terima Kasih