95
HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT Oleh: Erta Priadi Wirawijaya 132121090502 KARYA TULIS AKHIR Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN BANDUNG 2014

KTA Erta Akhir.pdf

  • Upload
    erta82

  • View
    185

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KTA Erta Akhir.pdf

HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT

Oleh: Erta Priadi Wirawijaya

132121090502

KARYA TULIS AKHIR

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

Program Pendidikan Dokter Spesialis-1

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJAJARAN

BANDUNG 2014

Page 2: KTA Erta Akhir.pdf

i

HUBUNGAN FRAGMENTASI QRS SEMPIT DENGAN SKOR GRACE

PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT

Oleh:

ERTA PRIADI WIRAWIJAYA 132121090502

KARYA TULIS AKHIR

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian guna memperoleh gelar DOKTER SPESIALIS JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

Program Pendidikan Dokter Spesialis-1

Telah disetujui pada tanggal yang tertera dibawah ini Bandung, 17 Juni 2014

Tim Pembimbing

1. Achmad Fauzi Yahya, dr., SpJP(K) .…………..…………

2. Erwan Martanto, dr., SpPD, SpJP(K) .…………..…………

3. M. Rizki Akbar, dr., MKes, SpJP(K) .…………..…………

Toni Mustahsani Aprami, dr., SpPD., SpJP(K)

NIP. 195705241988031001 Kepala Departemen Kardiologi dan

Kedokteran Vaskular FK UNPAD

Dr. Hj. Augustine P, dr., SpPD., SpJP(K) NIP. 195208271978102001

Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis-1 Ilmu Penyakit Jantung dan

Pembuluh Darah FK UNPAD

Dr.Dwi Prasetyo, dr., SpA(K)., Mkes NIP. 195710021984121001

Ketua Tim Koordinasi Pelaksana Program Pendidikan Dokter Spesialis-1 FK UNPAD

Page 3: KTA Erta Akhir.pdf

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Karya tulis ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan

gelar akademik (sarjana, magister atau doktor), baik di Universitas

Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri

tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan tim pembimbing.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat pendapat atau karya yang telah ditulis

atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas,

dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama

pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Karya tulis ini telah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian

Kesehatan seperti yang dilampirkan dibagian belakang karya tulis ini.

5. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian

hari terdapat penyimpangan danketidakbenaran dalam pernyataan ini,

maka saya bersedia menerima sanksi akademis berupa pencabutan gelar

yang telah diperoleh karena karya tulis ini serta sanksi lainnya sesuai

dengan norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.

Bandung, Juni 2014

Yang membuat pernyataan,

Erta Priadi Wirawijaya, dr.

NPM : 132121090502

Page 4: KTA Erta Akhir.pdf

iii

ABSTRAK

Latar Belakang: Infark miokard akut (IMA) memiliki angka mortalitas dan morbiditas tinggi. Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan menjadi standar baku dalam diagnosis dan stratifikasi risiko. Fragmentasi QRS (fQRS) adalah penanda EKG baru yang berpotensi dapat digunakan memandu tatalaksana pasien IMA, namun informasi mengenai penggunaannya masih terbatas. Penelitian ini berusaha mencari hubungan antara fQRS sempit dengan skor GRACE pada pasien IMA yang datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin. Metode: Bentuk ini penelitian ini adalah retrospektif analitik dengan rancangan penelitian potong lintang. Keberadaan fQRS ditentukan oleh penilai independen. Skor GRACE saat masuk rawat dihitung dengan menggunakan aplikasi mobile resmi skor GRACE 2.0. Data yang terkumpul diolah menggunakan SPSS 20. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square untuk data bersifat kategorik dan t-test untuk data numerik. Hasil: Pasien IMA dengan fQRS memiliki usia (58 banding 56 tahun; p=0,016), laju jantung (median 88 banding 77 kali/menit; p=0,002), ureum darah (median 31 banding 29 mg/dL; p=0,004), kreatinin (median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037), troponin T (median 1,1 banding 3 ng/mL; p=<0,001), CKMB (median 103 banding 66 U/L; p=0,010), kelas killip (p=0,44) yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS. Uji statistik t-test menemukan perbedaan skor GRACE yang bermakna antara kelompok pasien IMA dengan dan tanpa fQRS sempit. Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata 11,7 lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS (median 112 banding 101, p=0,001). Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki risiko 2,2 kali (IK 95% 1,3−3,8) lebih besar mendapatkan skor GRACE >120 dan risiko 1,94 kali (IK 95% 1,1−3,4) lebih besar mengalami gagal jantung. Kesimpulan: Pasien IMA dengan fQRS sempit memiliki skor GRACE rata-rata lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS sempit (p=0.001). Kata Kunci: infark miokard akut, fragmentasi QRS, skor GRACE.

Page 5: KTA Erta Akhir.pdf

iv

ABSTRACT

Background: Acute myocardial infarction (AMI) mortality and morbidity are high. Electrocardiographic examination is easy, inexpensive and became standard in the diagnosis and risk stratification of Acute Coronary Syndrome (ACS). Fragmentation of QRS complex (fQRS) is a new ECG marker that could potentially be used to guide management of patients with myocardial infarction, but information on their use in risk stratification is still limited. This research tries to find the relationship between narrow fQRS and GRACE score in AMI patients who comes to the Dr. Hasan Sadikin Hospital emergency department. Methods: This study research design is retrospective with cross-sectional analysis. Existence of fQRS is determined by an independent appraiser. GRACE scores during admission was calculated using the official mobile application GRACE score of 2.0. The collected data was processed using SPSS 20. Statistical test used was chi-square for categorical nature of data and t-test for numerical data. Results: Acute Myocardial Infaction (AMI) patients with fQRS found to have higher age (58 vs 56 years, p=0.016), heart rate (median 88 vs 77 beats/min, p=0.002), blood urea (median 31 vs 29 mg/dL, p=0.004), creatinine (median 0.96 vs 0.9 mg/dL, p=0.037), troponin T (median 3 vs 1.1 ng/mL, p=<0.001), CKMB (median 103 vs 66 U/L, p=0.010) and Killip class (p=0.44). T-test statistic found a significant difference between AMI patients with and without narrow fQRS. Patient with fQRS has an average of 11.7 higher GRACE score than patients without fQRS (median 112 vs 101, p = 0.001). Patients with fQRS has a 2.2 times (95% CI 1.3 to 3.8) greater risk of getting GRACE score >120 and 1.94 times (95% CI 1.1 to 3.4) more likely to develop heart failure than patients without fQRS. Conclusion: AMI patient with narrow fQRS has higher GRACE score compared with AMI patient without narrow fQRS (p=0.001).

Keywords: acute myocardial infarction, QRS fragmentation, GRACE score.

Page 6: KTA Erta Akhir.pdf

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan

rahmatnya sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Karya tulis ini merupakan

salah satu syarat Program Pendidikan Dokter Spesialis I untuk memperoleh

keahlian dalam bidang Kardiologi dan Kedokteran Vaskular di Fakultas

Kedokteran (FK) Universitas Padjajaran (UNPAD). Penulis pada kesempatan ini

melakukan penelitian mengenai hubungan antara temuan fragmentasi QRS

dengan skor GRACE pada pasien infark miokard akut yang datang ke Instalasi

Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin.

Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, dorongan semangat,

sumbangan pikiran dan bantuan dari banyak pihak maka tugas ini tidak akan

terlaksana.

Melalui tulisan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada Rektor

Universitas Padjadjaran, Dekan FK UNPAD, Direktur Utama RSUP dr. Hasan

Sadikin Bandung, dan ketua Tim Koordinator Pelaksana Program Pendidikan

Dokter Spesialis-I Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, atas kesempatan

yang telah diberikan sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan

Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah dan membuat karya

tulis ini.

Kepada yang terhormat Toni Mustahsani Aprami, dr., SpPD, SpJP(K)

selaku Kepala Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNPAD dan

Dr. Hj. Augustine Purnomowati, dr., SpPD, SpJP(K) selaku Ketua Program Studi

Page 7: KTA Erta Akhir.pdf

vi

Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah FK UNPAD, atas dorongan, arahan,

serta bimbingan selama mengikuti pendidikan hingga penyusunan tesis ini.

Kepada yang terhormat Achmad Fauzi Yahya, dr., SpJP(K), Erwan

Martanto, dr., SpPD, SpJP(K), M. Rizki Akbar, dr., MKes, SpJP(K) selaku

pembimbing I, II dan III karya tulis ini, penulis menyampaikan terimakasih

setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan, petunjuk dan saran yang telah

diberikan sehingga karya tulis ini dapat diselesaikan. Kepada yang terhormat dr.

Dwi Agustian MPH selaku konsultan statistik penulis juga menyampaikan

terimakasih yang setinggi-tingginya atas bantuan, bimbingan petunjuk dan saran

yang telah diberikan.

Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih atas bimbingan dan bekal

yang berharga yang selama ini telah diberikan oleh guru-guru kami di Bagian

Kardiologi dan Kedokteran Vaskular Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran/

RS Dr. Hasan Sadikin Prof. Ernijati Sjukrudin, dr., SpPD, SpJP, PhD; Eko

Antono, dr., SpPD, SpJP(K); Abidin Prawirakusumah, dr., SpJP(K); Pintoko

Tedjokusumo, dr., SpJP(K); Erwinanto dr., SpJP(K); Chaerul Achmad, dr.,

SpJP., Januar Wibawa Martha dr., SpPD-SpJP; Syarief Hidayat, dr., SpPD, SpJP;

Rien Afrianti, dr., SpJP; Badai B. Tiksnadi, dr., SpJP, MM; dan Triwedya Indra

Dewi, dr., SpJP.

Terimakasih kepada seluruh residen KOREJAT atas semua bantuannya dan

dukungannya dalam penelitian ini. Terimikasih teman-teman PPDS penyakit

dalam yang selalu memberikan kesempatan dan ruang berbagi dalam keilmuan

sehingga memperkaya ruang lingkup ilmu kardiologi dan kedokteran vaskular.

Terimkasih kepada Staf administrasi Departemen Kardiologi dan Kedokteran

Page 8: KTA Erta Akhir.pdf

vii

Vaskular FK UNPAD yang banyak sekali membantu segala urusan yang tampak

sederhana tapi bernilai sangat besar.

Penulis juga mengucapkan terimasih yang tidak terhingga kepada ibunda

tercinta Hj. Mutiara Suyadi, drg., ayahanda H. Yedi Suyadi, dr., SpPD., MM,

adik-adik Dear Mochtar Wirawijaya , dr.; Riva Aradi, drg.; dan Dara Metia, dr.;

bapak mertua H. Awang Yogi Suwarto dr., SpA. dan ibu mertua Atty Suryati

Yogi yang selama ini telah memberikan bantuan dan dukungannya selama penulis

menempuh pendidikan PPDS. Kepada istri tercinta Sri Utami Suwarto, dr. dan

anak tercinta Kiera Alisha Wirawijaya penulis mengucapkan terimakasih yang

tidak terhingga atas pengorbanan, pengertian, dorongan dan bantuan selama

penulis menjalani pendidikan.

Kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya tulisan ini, namun

karena keterbatasan sehingga tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis

ucapkan terimakasih.

Semoga Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Pengasih dan Maha

Bijaksana melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua, Amiinn.

Wassalaamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Bandung, Juni 2014

Erta Priadi Wirawijaya, dr.

Page 9: KTA Erta Akhir.pdf

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i  

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... ii  

ABSTRAK ............................................................................................................. iii

ABSTRACT ........................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ............................................................................................ v

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi  

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii  

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi  

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1

1.1. LATAR BELAKANG ..................................................................... 1

1.2. RUMUSAN MASALAH ................................................................. 5

1.3. TUJUAN PENELITIAN ................................................................. 5

1.4. KEGUNAAN PENELITIAN .......................................................... 5

1.4.1. Kegunaan Ilmiah .................................................................... 5

1.4.2. Kegunaan Praktis ................................................................... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, PREMIS DAN

HIPOTESIS ............................................................................................... 6

2.1. KAJIAN PUSTAKA ....................................................................... 6

2.1.1. Sindrom Koroner Akut (SKA) ............................................... 6

Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut .................................... 7

Spektrum Sindrom Koroner Akut .......................................... 7

Patogenesis Sindrom Koroner Akut ....................................... 8

Diagnosis Sindrom Koroner Akut .......................................... 8

2.1.2. Stratifikasi Risiko pada SKA ............................................... 10

Skor Risiko GRACE ............................................................ 12

Page 10: KTA Erta Akhir.pdf

ix

2.1.3. Peranan Elektrokardiografi dalam Stratifikasi Risiko ......... 15

Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST ............. 16

EKG Normal / Non Diagnostik ....................................... 16

EKG dengan Inversi Gelombang T ................................. 17

EKG dengan Depresi Segmen ST ................................... 18

Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST ............ 19

2.1.4. Fragmentasi QRS ................................................................. 20

Definisi & Batasan Fragmentasi QRS ................................. 20

Patofisiologi Fragmentasi QRS ............................................ 22

Fragmentasi QRS pada Penyakit Arteri Koroner ................. 24

Fragmentasi QRS pada Sindrom Koroner Akut .................. 27

Fragmentasi QRS pada Kelainan Jantung Lainnya .............. 30

Pengaturan EKG untuk Deteksi Fragmentasi QRS .............. 32

2.1.4. Hubungan Fragmentasi QRS dengan Skor GRACE ............ 33

2.2. KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................... 33

2.3. BAGAN KERANGKA PEMIKIRAN ........................................... 36

2.4. PREMIS-PREMIS ......................................................................... 37

2.5. HIPOTESIS ................................................................................... 37

BAB III SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN ............................. 38

3.1. SUBJEK DAN BAHAN PENELITIAN ........................................ 38

3.1.1. Ukuran Sampel .................................................................... 38

3.1.2. Kriteria Inklusi ..................................................................... 38

3.1.3. Kriteria Eksklusi .................................................................. 39

3.2. METODE PENELITIAN .............................................................. 40

3.2.1. Bentuk dan Rancangan Penelitian ........................................ 40

3.2.2. Identifikasi Variabel ............................................................. 40

3.2.3. Definisi Operasional ............................................................ 40

3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data .......................... 46

3.2.5. Rancangan Analisis Statistik ................................................ 48

3.2.6. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 48

3.2.7. Perkiraan Biaya .................................................................... 49

3.2.8. Struktur Organisasi .............................................................. 49

Page 11: KTA Erta Akhir.pdf

x

3.3. IMPLIKASI ETIK PENELITIAN ................................................ 50  

BAB III SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN ............................. 38  

3.1.   SUBJEK DAN BAHAN PENELITIAN ....................................... 38  

3.1.1. Ukuran Sampel .................................................................... 38  

3.1.2. Kriteria Inklusi ..................................................................... 39  

3.1.3. Kriteria Eksklusi .................................................................. 39  

3.2.   METODE PENELITIAN .............................................................. 40  

3.2.1.  Bentuk dan Rancangan Penelitian ........................................ 40  

3.2.2.  Identifikasi Variabel ............................................................. 40  

3.2.3.  Definisi Operasional ............................................................ 40  

3.2.4.  Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data .......................... 46  

3.2.5.  Rancangan Analisis Statistik ................................................ 48  

3.2.6.  Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 48  

3.2.7.  Perkiraan Biaya .................................................................... 49  

3.2.8.  Struktur Organisasi .............................................................. 49  

3.3.   IMPLIKASI ETIK PENELITIAN ................................................. 50  

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 51  

4.1.   HASIL PENELITIAN ................................................................... 51  

4.2.   PENGUJIAN HIPOTESIS ............................................................ 55  

4.3.   TEMUAN TAMBAHAN .............................................................. 56  

Analisis Univariat Pengaruh Fragmentasi QRS ............................ 56  

4.4.   PEMBAHASAN ............................................................................ 58  

4.4.   KETERBATASAN PENELITIAN ............................................... 66  

BAB V SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 67  

5.1.   SIMPULAN ................................................................................... 67  

5.2.   SARAN .......................................................................................... 67  

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 68  

Page 12: KTA Erta Akhir.pdf

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Spektrum sindrom koroner akut ......................................................... 8

Gambar 2.2. Gambaran EKG dengan stenosis berat di proximal LAD ................ 19

Gambar 2.3. Gambaran EKG multivessel disease ................................................ 20

Gambar 2.4. Beragam bentuk morfologi fQRS pada EKG 12 sadapan ................ 21

Gambar 2.5. Morfologi fQRS lebar pada EKG 12 sadapan .................................. 22

Gambar 2.6. Temuan fQRS tanpa gelombang Q pada EKG ................................. 26

Gambar 2.7. Gambaran angiografi pasien NSTEMI dengan fQRS ...................... 28

Gambar 2.8. Gambaran fQRS pasien STEMI posterolateral ................................ 29

Gambar 2.9. Dampak pengaturan low pass Filter pada EKG ............................... 32

Gambar 2.10. Kerangka pemikiran ....................................................................... 42

Gambar 3.1. Skema alur penelitian ....................................................................... 47

Page 13: KTA Erta Akhir.pdf

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Komposisi Skor Risiko GRACE untuk SKA ....................................... 13

Tabel 2.2. Skor risiko GRACE dan risiko kematian pada pasien SKA. ............... 14

Tabel 3.1. Jadwal Penelitian. ................................................................................. 49

Tabel 3.2. Perkiraan Biaya. ................................................................................... 49

Tabel 4.1. Karakteristik Dasar Subjek Penelitian. ................................................ 54

Tabel 4.2. Uji Beda Skor GRACE. ....................................................................... 55

Tabel 4.3. Analisis Univariat Pengaruh fQRS ...................................................... 57

Tabel 4.4. Perbandingan Faktor Risiko Kardiovaskular pada IMA ...................... 60

Page 14: KTA Erta Akhir.pdf

xiii

DAFTAR SINGKATAN ACC/AHA American College of Cardiology / American Heart Association

ALQTS Acquired Long QT-Syndrome

ARVD Arrythmogenic Right Ventricular Dysplasia

CFR Case Fatality Rate

CKMB Creatine Kinase-Myoglobin Binding

DCM Dilated Cardiomiopathy / Kardiomiopati Dilatasi

EKG Elektrokardiografi

ESC European Society of Cardiology

FK Fakultas Kedokteran

fQRS Fragmentasi QRS

FRISC Fast Revascularisation in Instability in Coronary disease

Ga-MRI Gadolinium-contrast Magnetic Resonance Imaging / MRI

dengan kontras gadolinium

GDS Gula darah sewaktu

GRACE Global Registry of Acute Coronary Events

GUSTO Global Utilization of Streptokinase and Tissue Plasminogen

Activator for Occluded Coronary Arteries

IGD Instalasi Gawat Darurat

IKP Intervensi Koroner Perkutan

IMA Infark Miokard Akut

ISFC International Society and Federation for Cardiology

LAD Left Anterior Descending / arteri anterior desenden kiri

LBBB Left Bundle Branch Block

LCX Left Circumflex Artery / arteri sirkumflek kiri

MRI Magnetic Resonance Imaging

NQMI Non-Q wave Myocardial Infarction

NSTEMI Non ST segment deviation myocardial infarction / infark

miokard tanpa ST elevasi

NYHA New York Heart Association

PAK Penyakit Arteri Koroner

Page 15: KTA Erta Akhir.pdf

xiv

PERSUIT Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable angina: Receptor

Suppression Using Integrilin

PJB Penyakit Jantung Bawaan

PRELUDE PRogrammed ELectrical stimUlation preDictive valuE

PVC Premature Ventricular Contraction

RBBB Right Bundle Branch Block

RCA Right Coronary Artery / arteri koroner kanan

RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar

SKA Sindrom Koroner Akut

SKRT Survei Kesehatan Rumah Tangga

SPECT Single-Photon Emission Computed Tomography

SPM Sidik Perfusi Miokard

STEMI ST segment deviation myocardial infaction / infark miokard

dengan ST elevasi

TIMI Thrombolysis in Myocardial Infarction

IK Interval Kepercayaan

TMP-Grade TIMI Myocardial Perfusion Grade

TOF Tetralogy of Fallot

UA Unstable Angina

WHO World Health Organization

OR Odd ratio

SD Standar Deviasi

Page 16: KTA Erta Akhir.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit arteri koroner (PAK) merupakan manifestasi utama penyakit

kardiovaskular dan dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas yang

tinggi.1Angka kematian akibat PAK di Amerika pada tahun 2009 sebesar 386.324.

Diperkirakan setiap tahunnya kurang lebih 635.000 orang Amerika mendapatkan

serangan koroner baru, sedangkan yang mengalami serangan ulang sebanyak

kurang lebih 280.000 orang. Laporan World Health Organization (WHO)2 tahun

2008 menyebutkan bahwa PAK telah menjadi penyebab kematian utama di dunia

dan diperkirakan setiap menitnya seorang penderita PAK akan meninggal.3 Data

mengenai PAK di Indonesia masih belum banyak, berdasarkan Survei Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, penyakit sirkulasi sudah menggantikan

penyakit infeksi sebagai penyebab kematian utama di Indonesia.4 Riset Kesehatan

Dasar (RISKESDAS) 2007 ditemukan prevalensi penyakit jantung di Indonesia

berkisar antara 0,9-12,5 %.5 Data profil kesehatan Indonesia tahun 2008 yang

diambil dari sistem informasi rumah sakit seluruh Indonesia tahun 2007,

menemukan penyakit jantung iskemik menempati urutan teratas dari seluruh

kasus baru kunjungan rawat jalan dan rawat inap.6

Presentasi klinis PAK dapat berupa iskemia asimptomatik, angina pektoris

stabil, kematian mendadak, gagal jantung dan sindrom koroner akut (SKA)

berupa angina pektoris tidak stabil atau infark miokard.7 Dalam spektrum SKA

Page 17: KTA Erta Akhir.pdf

2

terdapat unstable angina (UA), ST segment deviation myocardial infaction

(STEMI) dan Non ST segment deviation myocardial infarction (NSTEMI). Secara

klinis manifestasi awal SKA seringkali serupa8 dan dapat bervariasi dari tidak

bergejala atau ringan, nyeri dada hebat, hingga kematian mendadak.9 Karena hal

tersebut pasien SKA membutuhkan terapi antitrombotik dan anti-iskemia

secepatnya, stratifikasi risiko yang kemudian dikerjakan memungkinkan klinisi

menentukan tatalaksana selanjutnya. Panduan American College of Cardiology /

American Heart Association (ACC/AHA) dan European Society of Cardiology

(ESC) merekomendasikan pentingnya stratifikasi risiko dini dalam managemen

NSTEMI / UAP. Stratifikasi risiko dapat dikerjakan dengan menggunakan

beberapa skor risiko yang telah dikembangkan seperti PERSUIT, TIMI, GRACE,

FRISC, dan HEART. Diantara semua skor risiko tersebut yang paling sering

digunakan dan disarankan penggunaannya dalam panduan ESC adalah TIMI dan

GRACE.10 Berdasarkan perbandingan langsung kedua skor risiko tersebut skor

risiko GRACE ditemukan lebih akurat.11,12 Implementasi skor GRACE di

Indonesia terhambat banyaknya parameter yang harus diperiksa dan kalkulasi

yang membutuhkan bantuan komputer / smartphone.

Elektrokardiografi (EKG) adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan telah

menjadi standar baku dalam diagnosis dan stratifikasi risiko SKA.13 Karakteristik

abnormilitas EKG dalam SKA tanpa ST elevasi adalah depresi segmen ST,

elevasi segmen ST transien dan/atau perubahan gelombang T.14,15 Temuan elevasi

segmen ST yang persisten >20 menit, dianggap sebagai sebagai STEMI dan

tatalaksananya menjadi berbeda.16,17 Salah satu penanda baru yang berpotensi

Page 18: KTA Erta Akhir.pdf

3

digunakan dalam statifikasi risiko SKA adalah fragmentasi QRS (fQRS) yang

pertama kali diteliti secara oleh Das dkk.18 pada tahun 2006. Definisi fQRS pada

studi tersebut adalah keberadaan gelombang R tambahan (R’) atau bertakik pada

titik terendah gelombang S, atau keberadaan lebih dari >1 R’ (fragmentasi) pada

setidaknya 2 sadapan yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner utama.18

Sejak penelitian pertama Das dkk.18 telah ada penelitian lanjutan yang

mempelajari peranan fQRS pada SKA. Keberadaan fQRS yang menetap pasca

infark miokard meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma ventrikel

kiri,19 ejeksi fraksi yang lebih rendah,20-22 meningkatnya risiko kejadian

kardiovaskular mayor,23,24 dan meningkatnya risiko kematian seiring banyaknya

temuan fQRS pada sadapan jantung.25-28 Penelitian lanjutan Das dkk.25

menemukan fQRS dapat digunakan sebagai penanda infark dengan sensitivitas

sedang (55%) dan spesifitas tinggi (96%). Penelitian Guo dkk.29 menemukan

fQRS pada kasus NSTEMI dapat digunakan untuk memprediksi pembuluh

koroner mana yang bertanggung jawab dengan sensitivitas (77.1%) dan spesifitas

(71.5%) total yang lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T.

Kocaman dkk.30 menemukan fQRS pada STEMI dihubungkan dengan

temuan kelas killip, leukosit, Creatine Kinase-Myoglobin Binding (CKMB) &

Troponin yang lebih tinggi, waktu pain to balloon time yang lebih lama,

gelombang QRS yang lebih lebar, skor Gensini yang lebih tinggi, dan timbulnya

gelombang Q yang lebih sering dibandingkan pasien tanpa fQRS. Pasien STEMI

dengan fQRS ditemukan lebih banyak memiliki lesi anterior di LAD proksimal

sehingga jaringan miokardium yang berpotensi mengalami infark lebih luas.30

Page 19: KTA Erta Akhir.pdf

4

Cetin dkk.31 enemukan keberadaaan fQRS saat masuk rawat yang menetap pasca

Intervensi Koroner Perkutan (IKP) sangat berhubungan dengan rendahnya

penurunan elevasi segmen ST dan parameter reperfusi miokard. Temuan tersebut

serupa dengan temuan Erdem dkk.32 yang menemukan bahwa keberadaan fQRS

dihubungkan dengan kegagalan reperfusi pada pasien STEMI dengan TIMI

Myocardial Perfusion (TMP) grade dan fraksi ejeksi yang lebih rendah.

Beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda. Wang dkk.33 menemukan

bahwa fQRS dan gelombang Q memiliki sensitifitas yang buruk dalam

mendeteksi gangguan perfusi miokard. Penelitian Ahn dkk.34 menemukan fQRS

tidak lebih baik dari gelombang Q dalam memprediksikan infark. Tibrewala

dkk.35 tidak menemukan hubungan bermakna antara fQRS dengan adanya

jaringan parut pada pemeriksaan Single-Photon Emission Computed Tomography

(SPECT) atau tanda suatu PAK yang bermakna pada angiografi.

Berdasarkan uraian diatas maka disusunlah tema sentral penelitian sebagai

berikut; infark miokard akut (IMA) memiliki angka morbiditas dan mortalitas

yang tinggi. Diagnosis dan tatalaksana IMA membutuhkan parameter yang

mudah, murah, tersedia luas dengan kekuatan prognosis yang kuat sehingga dapat

digunakan sebagai salah satu modalitas stratifikasi risiko. Pemeriksaan EKG rutin

dikerjakan pada pasien SKA memenuhi semua syarat tersebut dan fQRS menjadi

penanda baru yang berpotensi dapat digunakan untuk memandu tatalaksana IMA.

Penelitian sebelumnya menemukan pasien IMA dengan fQRS memiliki prognosis

lebih buruk karena dihubungkan dengan daerah infark yang lebih luas dan kelas

killip yang lebih tinggi. Penelitian lain menemukan semakin tinggi kelas killip

semakin tinggi skor GRACE. Berdasarkan penelitian hal tersebut kemungkinan

pasien dengan fQRS akan memilki temuan skor GRACE yang tinggi. Belum ada

penelitian yang secara khusus meneliti hal tersebut, sehingga menjadi menarik

untuk meneliti perbedaan skor GRACE diantara kedua kelompok tersebut.

Page 20: KTA Erta Akhir.pdf

5

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan di atas dapat dirumuskan

masalah sebagai berikut :

Apakah skor GRACE pada pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna

lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis hubungan, dalam hal ini

perbedaan skor GRACE pada kelompok pasien IMA dengan dan tanpa

fragmentasi QRS sempit di RSUP Dr. Hasan Sadikin.

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

tentang fragmentasi QRS pada infark miokard, hubungannya dengan skor risiko

GRACE, serta penggunaannya dalam stratifikasi risiko pasien infark miokard

akut.

1.4.2. Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini menambah bukti ilmiah bahwa temuan

fQRS pada pemeriksaan EKG rutin dapat menjadi salah satu parameter stratifikasi

risiko yang mudah, murah, tersedia luas dan memiliki kekuatan prognosis yang

kuat sehingga dapat digunakan untuk memandu klinisi dalam tatalaksana infark

miokard akut.

Page 21: KTA Erta Akhir.pdf

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,

PREMIS DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Sindrom Koroner Akut

Penyakit arteri koroner (PAK) merupakan penyebab utama kematian dan

kecacatan di negara maju. Meskipun angka kematian PAK telah menurun selama

empat dekade terakhir di Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya

namun PAK tetap menjadi penyebab kematian untuk sekitar sepertiga dari semua

kematian pada individu di atas usia 35 tahun. Angka kematian akibat PAK di

Amerika pada tahun 2009 sebesar 386.324. Diperkirakan setiap tahunnya kurang

lebih 635.000 orang Amerika mendapatkan serangan koroner baru, sedangkan

yang mengalami serangan ulang sebanyak kurang lebih 280.000 orang.

Diperkirakan setiap menitnya seorang penderita PAK akan meninggal.3

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2009 penyakit sistem sirkulasi

darah merupakan penyakit utama penyebab kematian di rumah sakit pada tahun

2007 maupun 2008. Penyakit kardiovaskular menyebabkan kematian sebanyak

21.830 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) 11,02% pada tahun 2007 dan

menyebabkan kematian sebanyak 23.163 orang dengan CFR 11,06% pada tahun

2008.36

Page 22: KTA Erta Akhir.pdf

7

Faktor Risiko Sindrom Koroner Akut

Sebuah studi yang membandingkan dua kelompok IMA dengan elevasi

segmen ST yang menjalani IKP di Indonesia dan di Belanda ditemukan bahwa

pasien infark miokard di Indonesia umumnya lebih muda (54 tahun versus 63

tahun), lebih lama datang ke rumah sakit (49 menit versus 189 menit), lebih

mungkin datang dengan gagal jantung (52% versus 8%), dan lebih mungkin

memiliki kelainan di lebih dari 1 pembuluh darah jantung atau multivessel

disease.37 Beratnya permasalahan kardiovaskular di Indonesia tersebut

kemungkinan besar berhubungan erat dengan temuan lainnya bahwa pasien infark

miokard di Indonesia lebih banyak memiliki faktor risiko PAK seperti diabetes

(36% versus 12%), dislipidemia (46% versus 19%), atau merokok (68% versus

31%) dibandingkan pasien di negara maju seperti Belanda.37

Spektrum Sindrom Koroner Akut

Sejak tahun 2005, American Heart Association (AHA) memperkenalkan

istilah sindrom koroner akut. Spektrum klinisnya berupa angina pektoris tidak

stabil, infark miokard akut, atau kematian mendadak.38 Unstable angina adalah

episode SKA tanpa nekrosis miokard.38 Infark miokard akut terbagi menjadi ST

segment elevation MI (STEMI) dan Non-ST Segment-elevation MI (NSTEMI).

Page 23: KTA Erta Akhir.pdf

8

Gambar 2.1. Spektrum Sindrom Koroner Akut1

Patogenesis Sindrom Koroner Akut

Perbedaan dari dua tipe SKA di atas terletak pada patogenesis dan

gambaran klinis, sehingga terapi dan prognosis menjadi berbeda. Persamaan

keduanya adalah terjadinya ruptur plak yang memicu pembentukan trombus yang

mengawali kejadian SKA.38 Secara praktis istilah IMA digunakan bila terjadi

nekrosis miokard akibat iskemia berkepanjangan yang disertai gejala klinik

iskemia akut. Nekrosis sel tidak langsung terjadi setelah berlangsungnya iskemia,

tapi membutuhkan waktu tertentu sekitar 20 menit (berdasarkan percobaan pada

hewan).39

Diagnosis Sindrom Koroner Akut

Infark miokard akut dapat dinilai melalui gejala klinik; temuan

elektrokardiografi; peningkatan penanda nekrosis miokard; pencitraan; atau

didefinisikan secara patologi.40 Berdasarkan World Health Organization (WHO),

Nyeri Dada

Sindrom Koroner Akut

Abnormalitas Segmen ST / Gelombang T

ST Elevasi Persisten >20 Menit

Normal / Non Diagnostik

Troponin Naik / Turun Troponin Normal

NSTEMI Unstable Angina STEMI

Diagnosis Kerja

EKG

Bio-Kimia

Diagnosis

Masuk Rawat

Page 24: KTA Erta Akhir.pdf

9

kriteria diagnosis SKA adalah setidaknya ditemukan dua dari tiga komponen

berikut: 1. Adanya nyeri dada, 2. Adanya evolusi atau perubahan

elektrokardiografi secara serial, 3. Peningkatan atau penurunan enzim jantung.41

Evaluasi pasien dengan nyeri dada adalah satu hal yang sangat sulit karena

seringkali pasien datang dengan presentasi klinis yang tidak khas (atipikal). Hal

ini umumnya terjadi pada wanita, pasien muda, pasien dengan gagal ginjal dan

pasien dengan diabetes,20 akibatnya diagnosis SKA seringkali tergantung dari

pemeriksaan elektrokardiografi dan enzim jantung. Klinisi harus memeriksakan

enzim jantung secara periodik untuk menegakkan ataupun untuk menyingkirkan

diagnosis infark miokard. Pemeriksaan ekokardiografi, ventrikulografi, EKG dan

enzim juga dapat digunakan untuk memperkirakan ukuran infark secara

kuantitatif.2,42,43

Pasien dengan nyeri dada harus diperiksa EKG 12 sadapan.

Elektrokardiografi berguna untuk mendukung diagnosis akut iskemia dan

menentukan risiko. Gambaran EKG bisa normal atau tak berubah pada 50%

pasien UAP/NSTEMI. Gambaran EKG dapat menunjukkan depresi segmen ST

>0,05 mV (0,5 mm) di sadapan V2 dan V3, depresi >0,1 mV (1 mm) di sadapan

lain, elevasi sementara (<20 menit), dan atau inversi gelombang T >0,2 mV.

Beberapa penelitian menyarankan bahwa deviasi segmen ST walaupun hanya 0,05

mV, adalah spesifik dan penanda penting terjadinya iskemia. Apabila perubahan

itu terjadi pada saat pasien mempunyai gejala dan hilang ketika gejala sembuh,

maka kemungkinan adanya iskemia semakin kuat. Inversi gelombang T yang

baru cukup sensitif tetapi kurang spesifik untuk menunjukkan adanya iskemia.

Page 25: KTA Erta Akhir.pdf

10

Inversi gelombang T >0,3 mV dapat dikatakan spesifik untuk terjadinya iskemia

dan menandakan pasien risiko tinggi, bila amplitudo inversi hanya 0,1 mV

menjadi kurang bermakna.38,44

Kriteria diagnosis STEMI pada EKG ada beberapa. Elevasi segmen ST

dianggap abnormal bila lebih dari 0,2 mV (2 mm) pada sadapan V2 dan V3, dan

lebih dari 0,1 mV (1mm) pada sadapan lain pada pria usia 40 tahun atau lebih.

Untuk pria dibawah 40 tahun ambang batas adalah 0,25 mV (2,5 mm) pada

sadapan V2 dan V3. Untuk wanita ambang batas adalah 0,15 mV (1,5 mm) di

sadapan V2 dan V3, lebih besar dari 0,1 mV (1 mm) di sadapan lain. Untuk

sadapan posterior (V7-V9), elevasi segmen ST 0,05 mV (0,5mm). Pada sadapan

kanan, untuk wanita dan pria di atas 30 tahun, elevasi segmen ST 0,05 mV

(0,5mm) di V3R dan V4R, sedangkan untuk pria dibawah 30 tahun elevasi segmen

ST 0,1 mV (1 mm). Elevasi segmen ST diukur dari J-point dan di dua sadapan

atau lebih yang berdekatan menunjukkan adanya IMA. Kriteria lain adalah

temuan left bundle branch block (LBBB) yang baru dapat dianggap sebagai

diagnosis STEMI pada EKG. 38,44

2.1.2. Stratifikasi Risiko pada SKA

Secara klinis manifestasi awal UA, STEMI, dan NSTEMI seringkali serupa8

dan dapat bervariasi dari tidak bergejala atau ringan, nyeri dada hebat, hingga

kematian mendadak.9 Pasien yang terdiagnosis SKA membutuhkan terapi

antitrombotik dan anti-iskemia secepatnya, stratifikasi risiko yang kemudian

dikerjakan memungkinkan klinisi menentukan tatalaksana selanjutnya. Stratifikasi

Page 26: KTA Erta Akhir.pdf

11

merupakan sebuah proses dinamis yang dimulai saat kontak medis pertama

hingga saat pasien dipulangkan.9 Pasien berisiko tinggi membutuhkan perawatan

untuk terapi agresif berupa revaskularisasi cepat yang dapat dicapai melalui

pemberian fibrinolitik, intervensi koroner perkutan atau pembedahan. Pasien

risiko sedang dapat menjalani terapi konservatif serta evaluasi yang lebih

terencana. Pasien berisiko rendah dapat dipulangkan dengan instruksi jelas untuk

rawat jalan / tindak lanjut.

Prognosis pasien SKA ditentukan oleh setidaknya 3 hal yaitu: 1) Luasnya

kerusakan miokard, 2) Beratnya penyakit arteri koroner, dan 3) Ketidakstabilan

penyakit dan refrakter terhadap terapi yang diberikan.45 Skor yang digunakan

dalam stratifikasi risiko bertujuan untuk mengidentifikasi pasien mana yang

memiliki risiko kematian tinggi di rumah sakit (RS) atau risiko jangka pendek.

Risiko ini terus berubah seiring evolusi faktor penyebab (berkembangnya

trombosis di arteri koroner, obstruksi, embolisasi, dll), berkembangnya

komplikasi, dan respon terhadap terapi yang diberikan. Karena beragam hal

tersebut, stratifikasi merupakan sebuah proses dinamis yang dimulai saat kontak

medis pertama hingga saat pasien dipulangkan.9

Metode skoring untuk membedakan pasien SKA yang akan mendapat

keuntungan terbesesar dari terapi agresif telah banyak dikembangkan. Sistem

skoring tersebut antara lain adalah Platelet glycoprotein IIb/IIIa in Unstable

angina: Receptor Suppression Using Integrilin (PERSUIT), Fast

Revascularisation in Instability in Coronary disease (FRISC), HEART Score,

Thrombolysis in Myocardial Infarction (TIMI), dan Global Registry of Acute

Page 27: KTA Erta Akhir.pdf

12

Coronary Events (GRACE). Temuan EKG berupa depresi atau deviasi segmen ST

menjadi bagian dalam semua sistem skoring tersebut. Panduan American College

of Cardiology / American Heart Association (ACC/AHA) dan European Society

of Cardiology (ESC) merekomendasikan pentingnya stratifikasi risiko dini dalam

managemen NSTEMI / UAP. Diantara semua skor risiko tersebut, yang paling

sering digunakan dan disarankan penggunaannya dalam panduan ESC adalah

TIMI dan GRACE.10 Berdasarkan perbandingan langsung kedua skor risiko

tersebut skor risiko GRACE ditemukan lebih akurat.11,12

Skor Risiko GRACE

Skor risiko GRACE (2003) diambil dari registri 11.389 pasien SKA dari 94

rumah sakit di 14 negara.46,47 Pasien yang meninggal pada 24 jam pertama tidak

dimasukkan kedalam analisis. Analisis regresi logistik multivariat berhasil

mengidentifikasi 8 faktor risiko yang memiliki peranan meningkatkan risiko

kematian saat perawatan dan 6 bulan pasca perawatan. Variabel hemodinamik,

laboratorium, EKG, dan temuan spesifik pada pasien tersebut antara lain: kelas

Killip untuk gagal jantung, tekanan darah sistolik saat masuk, laju jantung saat

masuk, usia, kadar kreatinin, henti jantung saat masuk, deviasi segmen ST, dan

meningkatnya biomarka jantung. Setiap variabel dalam skor risiko GRACE

memiliki nilai masing-masing dan hasil akhirnya bervariasi dari 1 hingga 372.

Risiko kematian meningkat seiring semakin tinggi skor GRACE, dari <0.2%

hingga >52%. Skor GRACE tidak membagi risiko pasien kedalam sistem grading

seperti sistem skoring yang lainnya.

Page 28: KTA Erta Akhir.pdf

13

Tabel 2.1. Komposisi Skor Risiko GRACE untuk SKA

Kelas Killip Nilai Tekanan Darah Sistolik (mmHg)

Nilai Laju Jantung (x/menit)

Nilai

I II III IV

0 20 39 59

< 80 80-99 100-119 120-139 140-159 160-199 > 200

58 53 43 34 24 10 0

< 50 50-69 70-89 90-109 110-149 150-199 >200

0 3 9

15 24 38 46

Usia (tahun) Nilai Kadar Kreatinin (md/dL)

Nilai Faktor Risiko Lain Nilai

< 30 30-39 40-49 50-59 50-69 70-79 80-89 > 90

0 8

25 41 58 75 91

100

0-0,39 0,40-0,79 0,80-1,19 1,20-1,59 1,60-1,99 2,00-3,99 >4.00

1 4 7

10 13 21 28

Henti Jantung Saat masuk rawat

39

Deviasi Segmen ST 28

Biomarka Jantung Meningkat

14

Fox dkk.47 mempelajari 43.810 pasien dalam registri GRACE antara april

1999 hingga september 2005 menemukan risiko kematian selama perawatan lebih

tinggi pada mereka yang memiliki skor GRACE >140. Penelitian oleh Mehta dkk.

membagi 3.031 pasien SKA kedalam 2 kelompok yaitu yang menjalani strategi

invasif dini (dikerjakan <24 jam, median 14 jam) dan elektif (dikerjakan >24 jam,

median 50 jam). Strategi intervensi dini berhasil menurunkan risiko kematian,

infark miokard, atau stroke hingga 35% (IK95%;p=0.006) pada kelompok pasien

dengan skor risiko GRACE lebih dari 140.48 Berdasarkan temuan tersebut

panduan ESC menyarankan bahwa pada pasien SKA tanpa ST elevasi dengan

skor risiko GRACE > 140 sebaiknya menjalani strategi invasif dini (<24 jam).1

Page 29: KTA Erta Akhir.pdf

14

Angka kematian pasien SKA dengan ST elevasi masih tetap tinggi, 12%

diantaranya akan meninggal dalam 6 bulan.47 Skor GRACE tidak memiliki

peranan dalam memandu tatalaksana akut pasien SKA dengan ST elevasi,49

namun skor GRACE dapat digunakan untuk mengidentifikasi mereka yang

memiliki risiko tinggi mengalami kematian dalam 6 bulan pasca infark miokard.50

Hal tersebut memungkinkan klinisi untuk terus memperbaiki kualitas terapi yang

diberikan pada pasien STEMI dengan skor GRACE yang tinggi.49 Hubungan skor

risiko GRACE dan risiko kematian selama perawatan dan dalam 6 bulan pasca

rawat pada pasien SKA dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 2.2. Skor risiko GRACE dan risiko kematian pada pasein SKA47

Sindrom koroner akut tanpa elevasi segmen ST

Risiko Kematian di RS Risiko Kematian dalam 6 bulan

Skor Risiko GRACE

Risiko Kematian di RS (%)

Skor Risiko GRACE

Risiko Kematian dalam 6 bulan (%)

Rendah 1-108 <1 1-88 <3

Sedang 109-140 1-3 89-118 3-8

Tinggi 141-372 >3 119-263 >8

Sindrom koroner akut dengan elevasi segmen ST

Risiko Kematian di RS Risiko Kematian dalam 6 bulan

Skor Risiko GRACE

Risiko Kematian di RS (%)

Skor Risiko GRACE

Risiko Kematian dalam 6 bulan (%)

Rendah 49-125 <2 27-99 <4.4

Sedang 126-154 2-5 100-127 4.5

Tinggi 155-319 >5 128-263 >11

Page 30: KTA Erta Akhir.pdf

15

Penelitian Khan dkk.51 yang melibatkan 1.033 pasien dengan infark miokard

(STEMI & NSTEMI) menemukan bahwa risiko kematian saat perawatan

ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor GRACE >149, risiko kematian

dalam 6 bulan ternyata ditemukan tinggi pada mereka yang memiliki skor

GRACE > 120. Temuan tersebut didukung oleh penelitian Stavileci dkk.52 yang

menemukan salah satu prediktor mortalitas yang bermakna kuat pada 296 pasien

STEMI adalah skor GRACE >120 dengan OR=4,765.

2.1.3. Peranan Elektrokardiografi dalam Stratifikasi Risiko

Elektrokardiografi adalah pemeriksaan standar baku yang cepat, mudah,

murah yang untuk evaluasi pasien dengan SKA. Sindrom koroner akut disebabkan

oleh terganggunya aliran darah koroner akibat plak atherosklerosis dan trombosis

atau embolisasi distal yang terjadi. Sumbatan yang transien atau inkomplit akan

menyebabkan angina tidak stabil atau non-Q wave myocardial infarction (NQMI).

Karena patogenesis dan presentasi klinis yang sama, pasien dengan UA dan

NQMI juga diklasifikasikan sebagai SKA tanpa elevasi segmen ST.53 Arteri

koroner yang tersumbat total lebih dari 30 menit biasanya akan mengakibatkan ST

elevasi yang terbentuk berujung pada terbentuknya gelombang Q.54,55

Sindrom Koroner Akut Tanpa Elevasi Segmen ST

Elektrokardiografi adalah pemeriksaan yang mudah, murah dan menjadi

standar baku dalam diagnosis SKA. Pemeriksaan EKG istirahat 12 sadapan harus

diambil dalam 10 menit pertama setelah bertemu tenaga kesehatan dan secepatnya

diinterpretasikan oleh dokter yang kompeten.13 Elektrokardiografi juga menjadi

Page 31: KTA Erta Akhir.pdf

16

bagian yang tidak terpisahkan dalam stratifikasi risiko. Karakteristik abnormilitas

EKG dalam SKA tanpa ST elevasi adalah depresi segmen ST, elevasi segmen ST

transien dan/atau perubahan gelombang T.14,15 Temuan elevasi segmen ST yang

persisten >20 menit, dianggap sebagai sebagai STEMI dan tatalaksananya

menjadi berbeda.16,17

Pasien SKA tanpa elevasi segmen ST memiliki gambaran klinis yang sangat

heterogen. Kelompok ini berdasarkan temuan EKG dapat distratifikasikan

kedalam risiko tinggi, sedang atau rendah. Pasien berisiko tinggi adalah pasien

dengan deviasi segmen ST, pasien berisiko sedang dengan inversi segmen ST, dan

pasien risiko rendah umumnya memiliki temuan EKG yang normal atau

nonspesifik. Kriteria non EKG yang masuk kriteria risiko tinggi adalah usia

diatas 65 tahun, riwayat memiliki PAK sebelumnya, nyeri dada pada 24 jam

sebelumnya dan meningkatnya biomarka jantung.54,56

EKG Normal / Non Diagnostik

Gambaran EKG yang awalnya normal atau non diagnostik dapat ditemukan

pada pasien dengan daerah iskemia yang kecil, oklusi pada salah satu cabang

arteri koroner atau oklusi pada arteri sirkumflek kiri.57,58 Selain itu gambaran

EKG normal dapat diakibatkan oleh tertundanya evolusi segmen ST/gelombang

T. Mayoritas pasien dengan gambaran EKG normal atau nondiagnostik memiliki

prognosis jangka pendek dan jangka panjang yang baik.59,60 Menurut Cannon

dkk.59 sebanyak 60% pasien SKA tanpa elevasi segmen ST memiliki EKG yang

normal dan angka kematian setahun pertama sekitar 8,2%. Temuan EKG yang

Page 32: KTA Erta Akhir.pdf

17

normal tidak menyingkirkan kemungkinan PAK, Kantos dkk.57 melalui

penelitiannya menggunakan pencitraan perfusi miokard dengan sestamibi

menemukan bahwa pasien dengan EKG non diagnostik memiliki keterlibatan

miokardium yang tidak jauh berbeda dengan yang memiliki EKG abnormal.

EKG dengan Inversi Gelombang T

Kelompok pasien ini ditemukan memiliki inversi gelombang T sedalam 1-2

mm atau mengalami normalisasi gelombang T. Prognosis temuan EKG ini belum

jelas. Cannon dkk.59 menemukan inversi gelombang T dialami pada 20,5% pasien

dengan SKA dan mortalitasnya pada tahun pertama 6,8%, tidak jauh berbeda

dengan temuan EKG yang normal. Holmvang dkk.61 menemukan bahwa inversi

gelombang T pada >5 sadapan lebih memiliki keluaran yang sama dengan pasien

dengan depresi segmen ST. Nyman dkk.60 menemukan inversi gelombang T

dialami pada 31% pasien SKA dan angka kematian atau infark miokard non fatal

pada setahun pertama hampir dua kali pasien dengan temuan EKG normal.

Savonitto dkk.14 membandingkan prognosis pasien dengan inversi

gelombang T, depresi segmen ST, dan elevasi segmen ST pada penelitian kohort

yang melibatkan 12.142 orang dalam Global Utilization of Streptokinase and

Tissue Plasminogen Activator for Occluded Coronary Arteries (GUSTO) II.

Mereka menemukan pasien dengan inversi gelombang T memiliki insidensi PAK

non obstruktif dan multivessel disease yang terendah. Pasien dengan inversi

gelombang T saja, memiliki angka kematian dan reinfark yang paling rendah pada

30 dan 180 hari pasca infark.

Page 33: KTA Erta Akhir.pdf

18

EKG dengan Depresi Segmen ST

Pasien dengan depresi segmen ST memiliki insidensi kematian, kejadian re-

infark dan terulangnya iskemia miokard yang paling tinggi.14,59,60 Deviasi segmen

ST pada SKA diukur 60-80 ms setelah J point dan insidensinya pada SKA

bervariasi dari 12,4% hingga 46% tergantung kriteria yang digunakan (0,5 atau 1

mm).59,62 Tingkat kematian infark miokard non-fatal dalam 30 hari pertama

bervariasi antara 3,6% hingga 16%, angka kematian tersebut meningkat hingga

9,8-22% dalam setahun pertama.62 Hyde dkk.62 juga menemukan bahwa semakin

dalam depresi yang terjadi (0,5 mm, 1 mm, dan > 2 mm), semakin tinggi angka

kematiannya (12%, 15%, dan 41%). Holvfang dkk.61 juga menemukan korelasi

serupa antara depresi segmen ST dan keluaran klinis. Prognosis pasien juga

ditemukan semakin buruk jika terdapat kombinasi depresi segmen ST dan inversi

gelombang T.

Savonitto dkk.14 menemukan sebanyak 50% pasien dengan depresi segmen

ST mengalami elevasi biomarka jantung. Savonitto dkk.14 juga menemukan angka

kematian dan kejadian reinfark dalam 30 hari pada pasien dengan depresi segmen

ST dan CKMB normal sebesar 9,7%, sedangkan mereka yang mengalami

peningkatan CKMB meningkat menjadi 16,7%. Perbedaan serupa ditemukan 6

bulan sesudahnya yaitu sebesar 14,6% dan 21,7%.14

Elektrokardiografi juga berguna untuk mengidentifikasi pasien berisiko

tinggi dengan left main atau three-vessel disease.63 Depresi segmen ST yang difus

dan elevasi segmen ST di sadapan AVR seperti gambar dibawah dapat terjadi

pada pasien three vessel disease yang ektensif. Pasien dengan temuan EKG

Page 34: KTA Erta Akhir.pdf

19

seperti ini adalah kandidat untuk angiografi koroner dan revaskularisasi dini.64

Gambar 2.2. Gambaran EKG dengan stenosis berat proximal LAD pada three vessel disease

Keterangan : Depresi segmen ST dapat ditemukan disemua sadapan kecuali V1, V2 dan elevasi di aVR.64

Sindrom Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST

Pasien elevasi segmen ST dapat dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok

pertama adalah pasien dengan elevasi segmen ST transien yang tidak berkembang

menjadi gelombang Q patologis. Kelompok ini dapat diklasifikasikan menjadi

unstable angina (UA) atau Non-Q-Wave Myocardial Infarction (NQMI)

berdasarkan temuan meningkat tidaknya biomarka jantung. Insidensi elevasi

segmen ST transien pada pasien SKA sekitar 10%.64 Prognosis kelompok tersebut

serupa dengan pasien SKA dengan depresi segmen ST. Pasien dengan kombinasi

berupa elevasi dan depresi segmen ST memiliki prognosis terburuk.60 Kelompok

yang penting untuk diketahui adalah pasien dengan nyeri dada khas iskemia,

elevasi segmen ST ringan, dan inversi gelombang T yang dalam di V2-4 yang

biasanya diakibatkan obstruksi berat di arteri anterior desenden kiri.65 Gelombang

Q patologis akan timbul pada mayoritas pasien dengan elevasi segmen ST.

Page 35: KTA Erta Akhir.pdf

20

Gambar 2.3. Gambaran EKG Multivessel disease Keterangan : EKG diambil saat nyeri dada, terdapat ST elevasi ringan di V1-3 dan inversi gelombang T dalam di sadapan V2-5. Angiografi menunjukkan adanya stenosis 90% di proksimal LAD dan stenosis 85% di RCA & 90% di LCF.64

2.1.4. Fragmentasi QRS

Fragmentasi QRS (fQRS) adalah penanda elektrokardiogram baru yang

menggambarkan terganggunya konduksi ventrikel saat melalui daerah

miokardium yang perfusinya terganggu.32 Fragmentasi QRS diduga timbul akibat

terbentuknya jaringan parut atau nekrotik pada miokard, beberapa studi telah

menemukan keberadaan fQRS dihubungkan dengan meningkatnya kejadian

kardiovaskular dan kematian.26,70,71,80

Definisi & Batasan Fragmentasi QRS

Penelitian Das dkk.21 tahun 2006 adalah penelitian besar pertama yang

mempelajari fQRS pada pasien PAK. Definisi fQRS pada penelitian tersebut

adalah keberadaan gelombang R tambahan (R’) atau bertakik pada nadir

gelombang S atau gelombang R, atau keberadaan lebih dari >1 R’ (fragmentasi)

pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner yang

pemperdarahinya. Pola bundle branch block yang umum (QRS > 120 ms) dan

Page 36: KTA Erta Akhir.pdf

21

juga incomplete right bundle branch block tidak dianggap sebagai fragmentasi

QRS.

RSR’ rSr’ rSR’ S bertakik R bertakik fQRS

Gambar 2.4. Beragam bentuk morfologi fQRS pada EKG 12 sadapan18

Sejak penelitian pertama tersebut, Das dkk. telah menambahkan definisi

wide complexes fQRS yaitu gelombang R’ >2 atau bertakik dalam gelombang R

atau S pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan dengan komplek QRS yang

lebar (>120 ms) akibat bundle branch block (BBB), pacing, atau premature

ventricular contraction (PVC). Fragmentasi QRS pada premature ventricular

contraction dianggap ada jika takik / fragmentasinya terpisah >40 ms dan terjadi

pada 2 sadapan yang berhubungan.74

Page 37: KTA Erta Akhir.pdf

22

fQRS pada RBBB

fQRS pada LBBB

fQRS pada irama pacing

fQRS pada PVC

Gambar 2.5. Morfologi fQRS lebar pada EKG 12 sadapan74

Patofisiologi Fragmentasi QRS

Proses depolarisasi normal terdiri dari 3 fase yaitu aktivasi septum

interventrikular (fase 1), dinding bebas ventrikel kanan (fase 2) dan dinding bebas

ventrikel kiri (fase 3).66 Fase 2 dan 3 normalnya terjadi secara simultan dan

berjalan hampir berlawanan arah menghasilkan vektor akhir yang terlihat pada

EKG permukaan. Fase 2 akan tertunda dan timbul setelah fase 3 pada Right

Bundle Branch Block (RBBB) sehingga terjadi pemanjangan durasi QRS.

Depolarisasi ventrikel kanan akan menghasilkan potensial listrik yang lebih tinggi

pada EKG permukaan karena tidak ada aktivitas listrik berlawanan akibat

depolarisasi ventrikel kiri yang simultan. Aktivasi ventrikel kanan dengan vektor

tanpa lawan inilah yang akan mengakibatkan hilangnya gelombang S pada V1

Page 38: KTA Erta Akhir.pdf

23

yang dapat hilang sepenuhnya tergantung beratnya gangguan konduksi yang

terjadi. Karena hal tersebut perubahan EKG pada RBBB terutama adalah

pemanjangan gelombang QRS dan depolarisasi terminal yang tertunda yang

dimanifestasikan dengan adanya gelombang R’ tambahan dengan berkurangnya

gelombang S di V1 dan V2 dan juga gelombang S bertakik yang dominan di I, V5

dan V6.66 Fenomena yang serupa tapi dengan vektor yang berlawanan terjadi pada

left bundle branch block (LBBB) dan dimanifestasikan sebagai gelombang

berpola RSR’ pada sadapan prekordial kiri.

Mekanisme yang terjadi pada fQRS masih spekulatif, namun diduga

berbeda dengan mekanisme terjadinya RBBB atau LBBB. Fase 2 dan fase 3

depolarisasi ventrikel pada pasien dengan fQRS tetap berlangsung secara

bersamaan, namun salah satunya akan terganggu akibat adanya daerah ventrikel

yang mengalami fibrosis / iskemia sehingga timbul aktivasi ventrikel yang

inhomogen. Hal tersebut meningkatkan risiko timbulnya aritmia dan juga

kematian. Penelitian sebelumnya menganggap fragmentasi QRS sebagai blok

konduksi peri-infark.67 Mekanisme tersebut didukung oleh temuan post mortem

pasien infark miokard dengan fQRS yang ditemukan mengalami nekrosis miokard

yang berat (fibrous) diantara jaringan miokard yang masih baik.67 Pemetaan

endokardial dan epikardial pada pasien PAK dan kardiomiopati dilatasi dengan

aritmia ventrikel menemukan gambaran EKG yang terfragmentasi disekitar

jaringan parut miokard.68,69 Hal serupa juga ditemukan pasien PAK dan

kardiomiopati dilatasi yang telah menjalani transplantasi jantung dan memiliki

kelompok otot dengan fibrosis intersitial dimana konduksi mengalami

Page 39: KTA Erta Akhir.pdf

24

perlambatan sehingga timbul bentuk “zig-zag” pada EKG yang meningkatkan

kemungkinan timbulnya reentry.70,71 Keberadaan jaringan parut pada miokard

seperti beberapa penelitian diatas dianggap sebagai substrat patologis yang

menyebabkan terganggunya proses depolarisasi sehingga timbul gelombang R

tambahan atau gelombang S atau R yang bertakik.18

Fragmentasi QRS pada Penyakit Arteri Koroner

Penelitian penelitian sebelumnya menemukan salah satu penanda aneurisma

ventrikel adalah pola rsR’ atau fragmentasi QRS pada EKG.19,72 Reddy dkk.19

menemukan fQRS tidak hanya ditemukan pada sadapan prekordial, namun dapat

juga ditemukan pada sadapan ekstremitas. Lokasi timbulnya fQRS ditemukan

berhubungan dengan abnormalitas gerakan dinding regional pada ekokardiografi.

Dugaan bahwa fQRS merupakan penanda adanya jaringan parut pada miokard

menjadi dasar penelitian Das dkk.18 pada tahun 2006 yang menemukan bahwa

fQRS adalah penanda infark yang memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih

tinggi dari gelombang Q sebagaimana dibuktikan pada pemeriksaan sidik perfusi

miokard (SPM) menggunakan SPECT. Lokasi fQRS pada penelitian tersebut

ditemukan berhubungan dengan lokasi lesi arteri koroner. Fragmentasi QRS pada

>2 sadapan anterior (V1-V5) timbul akibat rusaknya miokard karena lesi di arteri

anterior desenden kiri (LAD). Fragmentasi QRS pada >2 sadapan lateral (I, aVL,

dan V6) diakibatkan lesi pada arteri sirkumflek kiri (LCX). Fragmentasi QRS

pada >2 sadapan inferior (II,III, dan aVF) diakibatkan rusaknya miokard akibat

lesi pada segmen inferior atau arteri koroner kanan (RCA).18

Page 40: KTA Erta Akhir.pdf

25

Penelitian Das dkk.73 selanjutnya melibatkan 998 orang pasien yang

dievaluasi PAK. Kematian akibat semua sebab lebih tinggi (34% banding 26%)

dan kejadian kardiovaskular (infark miokard, kematian jantung, kebutuhan

revaskularisasi) ditemukan lebih tinggi (50% banding 28%) pada pasien dengan

fQRS dibandingkan pasien tanpa fQRS selama periode follow up 57 minggu.

Penelitian Mahenthiran dkk.22 melibatkan 155 pasien dengan fQRS yang

menjalani pemeriksaan SPM. Pasien dengan fQRS ditemukan memiliki gangguan

fungsi (fraksi ejeksi) lebih rendah, gangguan perfusi lebih berat, dan jaringan

parut regional yang sesuai dengan lokasi fQRS pada EKG (sensitivitas 75%,

spesifitas 94%). Penelitian Ozdemir dkk.74 yang melibatkan 261 pasien yang

menjalani pemeriksaan SPM juga menemukan kelompok fQRS memiliki

prevalensi iskemia (defek reversible) dan infark (defek menetap) sebanyak 4,38

kali dan 5,95 kali lebih tinggi dibandingkan group kontrol tanpa fQRS. Penelitian

Tangcharoen dkk.75 dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) jantung

menemukan pasien dengan fQRS memiliki prevalensi lesi miokard yang lebih

tinggi dibandingkan pasien tanpa fQRS (24,5% banding 12,2%). Setelah

disesuaikan dengan faktor risiko kardiovaskular lainnya, analisis regresi

multivariabel keberadaan fQRS pada EKG ditemukan sebagai prediktor kuat

adanya jaringan parut pada miokard (OR 4,26, P=0,026).

Page 41: KTA Erta Akhir.pdf

26

 

Gambar 2.6. Temuan fQRS tanpa gelombang Q pada EKG, pada SPM ditemukan defek di inferior.18

Studi Retrospektif Wang dkk.33 melibatkan 1.151 pasien yang menjalani

SPM memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian Das.18 Wang dkk.33

menemukan fQRS dan gelombang Q memiliki sensitifitas yang buruk dalam

mendeteksi gangguan perfusi miokard. Tibrewela dkk.35 juga tidak menemukan

hubungan bermakna antara fQRS dengan adanya jaringan parut pada pemeriksaan

SPECT ataupun stenosis bermakna pada angiografi. Penelitian Ahn dkk. 34 juga

menemukan bahwa fQRS tidak lebih baik dari gelombang Q dalam

memprediksikan infark (defek menetap) pada pemeriksaan Ga-MRI.

Page 42: KTA Erta Akhir.pdf

27

Fragmentasi QRS pada Sindrom Koroner Akut

Sejak penelitian pertama oleh Das dkk.18 telah ada banyak penelitian yang

mempelajari peranan fQRS pada SKA. Keberadaan fQRS yang menetap pasca

infark miokard meningkatkan kemungkinan terbentuknya aneurisma ventrikel kiri

(sensitivitas 50%, spesifitas 94,5%),19 ejeksi fraksi yang lebih rendah,20,21

meningkatnya risiko kejadian kardiovaskular mayor.23,24,27 dan kematian pada

pasien SKA.25-27 Risiko kematian dan perawatan kembali akibat gagal jantung

pada pasien pasca infark juga semakin tinggi seiring banyaknya temuan fQRS

pada sadapan jantung.28

Penelitian lanjutan Das dkk.25 melibatkan 896 pasien SKA menemukan

fQRS pada 224 pasien (51%) dengan infark miokard dan hanya pada 17 pasien

(3.7%) pasien angina tidak stabil. Gelombang Q baru timbul pada 122 (28%)

pasien dengan infark miokard (23% pada pasien NSTEMI) dan 2 (0.4%) pada

pasien angina tidak stabil. Fragmentasi QRS ditemukan sebagai penanda infark

dengan sensitivitas sebesar 55% pada kasus infark miokard (50% pada NSTEMI)

dengan spesifitas sebesar 96%.25 Studi Guo dkk.29 menemukan fQRS pada kasus

NSTEMI dapat digunakan untuk memprediksi pembuluh koroner mana yang

bertanggung jawab dengan sensitivitas (77,1%) dan spesifitas (71,5%) total yang

lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T.

Page 43: KTA Erta Akhir.pdf

28

Gambar 2.7. Gambaran angiografi dengan aterosklerosis difus pada pasien NSTEMI dengan fQRS pada V2-V4.29

Kocaman dkk.30 menemukan fQRS pada pasien STEMI dihubungkan

dengan temuan hitung jenis leukosit, kadar CKMB dan Troponin yang lebih

tinggi, waktu pain to ballon time yang lebih lama, skor killip yang lebih tinggi,

gelombang QRS yang lebih lebar, skor Gensini yang lebih tinggi, dan timbulnya

gelombang Q yang lebih sering dibandingkan pasien tanpa fQRS.30 Pasien STEMI

dengan fQRS ditemukan lebih banyak memiliki lesi anterior di LAD proksimal

sehingga jaringan miokardium yang mengalami infark lebih luas.30

Page 44: KTA Erta Akhir.pdf

29

Gambar 2.8. Gambaran fQRS pada pasien STEMI posterolateral

Penelitian Cetin dkk.31 menemukan bahwa pasien dengan fQRS yang timbul

saat masuk rawat atau timbul setelah tindakan IKP primer memiliki marka

inflamasi dan biomarka jantung yang lebih tinggi, pain to ballon time yang lebih

lama, durasi QRS lebih panjang, keterlibatan arteri koroner lebih banyak, dan

gelombang Q abnormal yang lebih sering dibandingkan pasien yang tidak

memiliki fQRS atau yang fQRS-nya menghilang. Fragmentasi QRS yang menetap

pasca IKP primer sangat berhubungan dengan rendahnya penurunan elevasi

segmen ST dan parameter reperfusi miokard.31 Temuan tersebut serupa dengan

temuan Erdem dkk. yang menemukan bahwa keberadaan fQRS berhubungan

dengan kegagalan reperfusi pada pasien IMA dengan ST elevasi. Pasien STEMI

dengan fQRS ditemukan memiliki grade TIMI Myocardial Perfusion (TMP) dan

fraksi ejeksi yang lebih rendah.32

Sheng dkk.24 pada sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 300

pasien IMA menemukan insidensi aritmia, disfungsi ventrikel kiri dan kematian

pada pasien yang memiliki fQRS sebesar 13,6%, 29,2% dan 23,7%. Nilai tersebut

secara bermakna lebih besar (nilai p <0,05) dibandingkan pasien yang tidak

Page 45: KTA Erta Akhir.pdf

30

memiliki fQRS. Angka kejadiannya secara bermakna lebih tinggi (nilai p <0,01)

pasien STEMI dengan fQRS dibandingkan NSTEMI. Pasien IMA dengan fQRS

yang menjalani IKP tidak mengalami penurunan kejadian aritmia yang bermakna,

sedangkan gagal jantung dan kematian ditemukan lebih rendah secara bermakna

(nilai p 0,031 dan <0,001).24 Berdasarkan penelitian tersebut, temuan fQRS pada

pasien NSTEMI dapat digunakan sebagai salah satu indikasi tindakan

revaskularisasi segera.

Fragmentasi QRS pada Kelainan Jantung Lainnya

Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien dengan kardiomiopati

dilatasi (DCM), temuan ini meningkatkan kemungkinan timbulnya kontraksi

prematur ventrikel (PVC) dan kematian mendadak.76 Temuan fQRS juga

menandakan keberadaan jaringan parut miokard yang dibuktikan melalui Ga-MRI

pada pasien bukan PAK.77 Homsi dkk. menemukan fQRS dapat ditemukan pada

sarkoidosis jantung dengan sensitivitas sebesar 100% dan spesifitas 80% yang

dibuktikan melalui MRI dengan kontras gadolinium (Ga-MRI).78 Peters dkk.

menemukan bahwa fQRS pada > 2 sadapan dapat ditemukan pada 190 dari 360

orang pasien dengan Arrythmogenic Right Ventricular Dysplasia (ARVD),

sedangkan gelombang epsilon pada amplifikasi sadapan prekodial kanan dan

ekstremitas ditemukan pada 159 kasus.79 Sehingga keberadaan fQRS dapat

dijadikan salah satu penanda EKG pada pasien dengan kecurigaan klinis ARVD.

Fragmentasi QRS sering ditemukan pada pasien dengan sindrom Brugada,

terutama pada kelompok yang pernah mengalami ventrikular fibrilasi.80 Uji klinis

Page 46: KTA Erta Akhir.pdf

31

acak PRogrammed ELectrical stimUlation preDictive valuE (PRELUDE)

menemukan fQRS bermanfaat untuk mengidentifikasi kandidat implantasi ICD

pada pasien sindrom Brugada.81 Pasien dengan Acquired Long QT-Syndrome

(ALQTS) yang rentan mengalami torsade de pointes memiliki gangguan

repolarisasi yang ditandai dengan pemanjangan interval QT dan pemanjangan

puncak hingga akhir gelombang T yang menandakan dispersi transmural atau

intraventrikular.82 Fragmentasi QRS ditemukan pada sebagian besar (81%) pasien

ALQTS dengan riwayat sinkope atau torsade de pointes. Walau onset torsade de

pointes adalah triggered activity akibat early after depolarization, jaringan parut

pada miokard yang muncul sebagai fQRS dapat menjadi subtrat yang

menyebabkan aritmia reentrant pada kelompok pasien tersebut.83

Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien pasca koreksi kelainan

jantung bawaan. Fragmentasi QRS dapat ditemukan pada pasien Tetralogy of

Fallot (TOF) post koreksi dan dihubungkan dengan adanya jaringan parut pasca

operasi yang lebih luas, fraksi ejeksi yang lebih rendah dan ukuran ventrikel

kanan yang lebih besar.84 Fragmentasi QRS dapat juga ditemukan pada stenosis

katup mitral akibat penyakit jantung rematik dan dihubungkan dengan temuan

ejeksi fraksi yang lebih rendah, hipertensi pulmonal, kelas fungsional New York

Heart Association (NYHA) yang lebih rendah dan mitral valve area yang lebih

rendah.85 Proses inflamasi dan degenerasi pada katup jantung diduga

mengakibatkan kerusakan miokardium sehingga timbul fQRS.

Page 47: KTA Erta Akhir.pdf

32

Pengaturan EKG untuk Deteksi Fragmentasi QRS

Pengaturan pemeriksaan elektrokardiografi untuk mendeteksi fQRS pada

beberapa penelitian adalah dengan rentang high-pass filter 0.05-20 Hz (biasanya

0.15Hz), low pass filter 100-150 Hz dan AC Filter 50-60Hz dengan kecepatan 25

mm/s dan amplitudo 10 mm/mV tetap.18,73,77 Low pass filter digunakan untuk

mengurangi bising yang timbul akibat aktivitas listrik dan otot saat perekaman

EKG. Ambang frekwensi yang umum digunakan dapat menyaring spike kecil

yang timbul sehingga fQRS tidak terdeteksi, untuk menghindari hal tersebut Das

menyarankan penggunaan low pass filter dengan frekuensi 100-150 Hz.

Gambar 2.9. Dampak pengaturan low pass filter pada EKG

Keterangan : EKG dengan low pass filter 35Hz hanya menunjukkan 2 spike dalam kompleks QRS

(kiri). Dengan merubah ambang frekwensi dari 35 menjadi 150 Hz, dapat ditemukan 3 spike baru

dalam komplek QRS (kanan).

Page 48: KTA Erta Akhir.pdf

33

2.1.4. Hubungan Fragmentasi QRS dengan Skor GRACE

Pasien IMA dengan fragmentasi QRS pada pemaparan sebelumnya

ditemukan memiliki daerah infark lebih luas,30 hitung jenis leukosit serta

biomarka jantung lebih tinggi,30 kejadian aritmia lebih sering,23,24 dan angka

kematian lebih tinggi.25-28 Semakin banyak sadapan EKG dengan fQRS semakin

tinggi angka perawatan kembali yang terjadi karena gagal jantung jantung dan

kematian pada pasien pasca IMA.28 Beratnya komplikasi gagal jantung yang

terjadi pada SKA tergambarkan dalam klasifikasi killip yang menjadi salah satu

variabel skor GRACE. Penelitian El-Menyar dkk.86 mempelajari klasifikasi killip

pada 6.704 pasien SKA mendapatkan semakin tinggi kelas killip, fraksi ejeksi dan

tekanan darah sistolik ditemukan lebih rendah sedangkan laju jantung, kadar

serum kreatinin, dan nilai GRACE ditemukan lebih tinggi (p<0,001). Berdasarkan

hal tersebut kemungkinan besar terdapat perbedaan yang bermakna antara

kelompok pasien IMA dengan fQRS dibandingkan tanpa fQRS, pasien IMA

dengan fQRS akan memiliki temuan skor GRACE yang lebih tinggi.

Kemungkinan tersebut diperkuat temuan Stavileci dkk.52 yang mempelajari

makna fQRS pada 296 pasien dengan STEMI dan menemukan pasien dengan

fQRS berisiko 2 kali lebih besar memiliki skor GRACE yang tinggi (>120).

2.2. Kerangka Pikiran

Sindrom koroner akut adalah manifestasi akut penyakit kardiovaskular

dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Diagnosis dan tatalaksana pasien

infark miokard dengan ST elevasi sudah jelas. Stratifikasi risiko menjadi bagian

Page 49: KTA Erta Akhir.pdf

34

yang tidak terpisahkan dalam tatalaksana pasien NSTEMI atau unstable angina.10

Skor GRACE disarankan penggunaannya dalam panduan ESC10 karena terbukti

lebih akurat13,14 dibandingkan skor risiko lainnya. Namun penggunaan skor

GRACE terbentur kompleksitas sistem skoring tersebut sehingga membutuhkan

bantuan komputer atau smartphone dan serangkaian pemeriksaan yang jarang bisa

dikerjakan di Indonesia. Dibutuhkan parameter yang mudah, murah, tersedia luas

dengan kekuatan prognosis yang kuat sehingga dapat digunakan sebagai salah

satu modalitas stratifikasi risiko untuk memandu tatalaksana SKA yang optimal.

Pemeriksaan EKG yang rutin dikerjakan pada pasien SKA memenuhi semua

syarat tersebut dan fQRS menjadi salah satu penanda baru yang berpotensi dapat

digunakan untuk memandu tatalaksana SKA.

Fragmentasi QRS timbul akibat gangguan konduksi karena adanya jaringan

miokard yang mengalami fibrosis. Pasca infark keberadaan fQRS ditemukan lebih

sensitif dan spesifik sebagai penanda infark miokard dibandingkan gelombang

Q.18 Depresi segmen ST atau inversi gelombang T adalah penanda iskemia yang

selama ini digunakan untuk diagnosis pasien NSTEMI atau UA.16 Penelitian Das

dkk.25 menemukan bahwa fQRS dapat menjadi penanda infark yang dapat

membedakan pasien NSTEMI dari pasien UA dengan sensitivitas sedang (50%)

dan spesifitas yang tinggi (96%). Guo dkk. bahkan menemukan sensitivitas dan

spesifitas fQRS lebih tinggi dibandingkan inversi gelombang T untuk

memprediksi arteri koroner yang menjadi penyebab SKA.29 Penelitian lainnya

menemukan pasien SKA dengan fQRS memiliki daerah infark yang lebih luas,30

hitung jenis leukosit serta biomarka jantung yang lebih tinggi,30 kejadian aritmia

Page 50: KTA Erta Akhir.pdf

35

yang lebih sering,23,24 dan angka kematian yang lebih tinggi25-28 dibandingkan

pasien SKA tanpa fQRS. Studi terbaru oleh Shen dkk. bahkan menyimpulkan

fQRS dapat digunakan sebagai indikasi perlunya intervensi cepat pada kasus

NSTEMI.24

Fragmentasi QRS telah banyak dihubungkan dengan prognosis yang lebih

buruk pada pasien SKA, walau demikian hingga kini belum ada sistem stratifikasi

risiko yang menggunakan fQRS sebagai salah satu variabel yang bermakna.

Penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara fragmentasi QRS dengan

sistem skoring, khususnya GRACE belum ada. Penelitian retrospektif Stavileci

dkk.52 mencari hubungan temuan fQRS yang sempit pada pasien STEMI dengan

keluaran klinis menemukan fQRS yang sempit meningkatkan risiko mendapatkan

skor GRACE yang tinggi (>120) hingga 2 kali lipat. Penelitian yang menemukan

bahwa pasein IMA dengan fQRS memiliki skor GRACE yang lebih tinggi

dibandingkan tanpa fQRS dapat memperluas khasanah pengetahuan di bidang

tatalaksana SKA dan memungkinkan penggunaan fQRS sebagai parameter EKG

yang mudah dan murah untuk membantu identifikasi pasien infark miokard

berisiko tinggi yang dapat diuntungkan dari terapi yang lebih agresif.

Page 51: KTA Erta Akhir.pdf

36

2.3. Bagan Kerangka Pemikiran

Gambar 2.10. Kerangka Pemikiran

Sindrom Koroner Akut

Unstable Angina STEMI NSTEMI

fQRS (-) fQRS (+)

Leukosit & biomarka jantung lebih tinggi30

Daerah infark lebih luas30,31

Gagal Jantung lebih berat, fraksi ejeksi lebih rendah20,21,23

Kelas Killip yang tinggi89

Laju jantung é

Kadar kreatinin é

Tekanan darah sistolik ê

Risiko terjadinya henti jantung é

Skor GRACE é

STEMI : prognosis

NSTEMI : memandu

tatalaksana dan prognosis1

Hubungan antara

fQRS(+) dan skor GRACE?

FOKUS PENELITIAN

Page 52: KTA Erta Akhir.pdf

37

2.4. Premis-premis

Berdasarkan fakta-fakta empiris objektif yang telah dijabarkan diatas, maka

disusun premis-premis sebagai berikut :

Premis 1 :

Fragmentasi QRS adalah penanda EKG baru akibat proses depolarisasi ventrikel

inhomogen pada daerah infark29 atau fibrosis.18,76

Premis 2 :

Pasien IMA dengan fQRS memiliki daerah infark lebih luas, biomarka jantung

lebih tinggi,30 fraksi ejeksi lebih rendah,21 komplikasi gagal jantung lebih sering

dan berat, kejadian aritmia lebih sering,23,24 dan angka kematian lebih tinggi.25-28

Premis 3 :

Panduan ESC10 menyarankan penggunaan skor GRACE karena lebih akurat.13,14

Premis 4 :

Risiko mendapatkan skor GRACE yang tinggi (>120) dua kali lebih besar pada

pasien STEMI dengan fQRS.52

Premis 5 :

Semakin banyak sadapan EKG dengan fQRS (> 3) pada pasien IMA, semakin

tinggi angka kematian dan perawatan kembali akibat gagal jantung.28

2.5. Hipotesis

Berdasarkan premis-premis diatas dapat disusun hipotesis sebagai berikut :

Skor GRACE pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna akan lebih tinggi

dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.

Page 53: KTA Erta Akhir.pdf

38

BAB III

SUBJEK / BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1. Subjek dan Bahan Penelitian

Subjek penelitian adalah pasien yang terdiagnosis infark miokard akut

(STEMI dan NSTEMI) berdasarkan kriteria European Society of Cardiology /

American Heart Association yang datang ke Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr.

Hasan Sadikin yang memenuhi kriteria inklusi.

3.1.1. Ukuran Sampel

Penetapan besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan

formula estimasi besar sampel untuk uji beda dan rata-rata sebagai berikut:

𝑛 =  𝜎!! + 𝜎!! 𝑍!!!/! + 𝑍!!!

!

𝜇2− 𝜇1    

Keterangan : n = jumlah sampel yang dibutuhkan dalam penelitian ini, σ1= Standar deviasi grup 1, σ2= Standar deviasi grup 2, µ1 = rata - rata grup 1, µ2 = rata - rata grup 2

Penelitian ini menggunakan taraf kepercayaan 95% (𝑍!!!/! = 1,96) dan

kekuatan uji 80% (𝑍!!! = 0,84), µ1 = 115, SD1=22,7, µ2= 103, SD1=25,36.

Berdasarkan rumus diatas maka diperoleh jumlah sampel minimal sebanyak 75

subjek penelitian untuk masing-masing kelompok.

Page 54: KTA Erta Akhir.pdf

39

3.1.2. Kriteria Inklusi

Subjek pada penelitian ini adalah pasien RSUP Dr. Hasan Sadikin yang

terdiagnosis infark miokard akut (STEMI dan NSTEMI) berdasarkan kriteria

ESC/AHA dengan rekam medis lengkap yang memungkinkan dilakukannya

analisis skor risiko GRACE dan hasil pemeriksaan EKG berkualitas yang

memungkinkan identifikasi fragmentasi QRS.

3.1.3. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah faktor perancu yang diduga

dapat mempengaruhi temuan skor GRACE skor atau fQRS29,31 yaitu pasien

dengan :

- Riwayat infark miokard lama.

- Kelainan jantung valvular organik (penyakit jantung rematik).

- Kelainan konduksi jantung bundle branch block (LBBB & RBBB).

- Gangguan irama : atrial fibrilasi, total AV block atau irama junctional,

penggunaan alat pacu jantung dengan pacing ventrikular.

- Pasien wolff-parkinson-white syndrome, kardiomiopati, miokarditis, dan

penyakit jantung kongenital.

- Pasien yang meninggal dalam 24 jam pertama (tidak menjadi bagian dalam

register GRACE).46,47

- Komorbiditas lain yang dapat mempengaruhi laju jantung, tekanan darah

sistolik dan kerenanya mempengaruhi temuan skor GRACE (proses infeksi,

pendarahan, gagal ginjal kronis, keganasan, stroke, dsb.)

Page 55: KTA Erta Akhir.pdf

40

3.2. Metode Penelitian

3.2.1. Bentuk dan Rancangan Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah retrospektif analitik dengan rancangan

penelitian potong lintang.

3.2.2. Identifikasi Variabel

Variabel pada penelitian ini terdiri atas variabel bebas dan variabel

tergantung :

- Variabel bebas (independen) pada penelitian ini adalah temuan fragmentaasi

QRS pada elektrokardiografi 12 sadapan.

- Variabel terikat (tergantung) pada penelitian ini adalah skor risiko GRACE.

3.2.3. Definisi Operasional

Definisi Operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

- Fragmentasi QRS sempit (<120 ms) adalah keberadaan gelombang R

tambahan (R’) atau bertakik pada nadir gelombang S atau gelombang R,

atau keberadaan lebih dari >1 R’ (fragmentasi) pada setidaknya 2 sadapan

yang berhubungan sesuai wilayah arteri koroner yang pemperdarahi.18

- Fragmentasi QRS dinilai ada jika ditemukan pada 2 sadapan yang

bersebelahan sesuai lokasi arteri koroner yang mempedarahinya. Lokasi

tersebut disamakan dengan penelitian awal Das dkk. yaitu : Temuan fQRS

pada >2 sadapan anterior (V1-V5) karena lesi di arteri anterior desenden kiri

(LAD), fQRS pada >2 sadapan lateral (I, aVL, dan V6) karena lesi arteri

Page 56: KTA Erta Akhir.pdf

41

sirkumflek kiri (LCX), dan fQRS pada >2 sadapan inferior (II,III, dan aVF)

karena lesi arteri koroner kanan (RCA).18

- Kriteria tambahan yang digunakan untuk memastikan ada tidaknya fQRS

jika meragukan adalah fQRS ditemukan pada >60% kompleks QRS pada

sadapan yang sama.

- Keberadaan fQRS dalam penelitian ini tentukan oleh penilai independen

yang tidak mengetahui diagnosis ataupun nilai dari Skor Risiko GRACE.

Parameter fQRS yang diperhitungkan dalam penelitian ini yaitu ada atau

tidaknya fQRS dan jumlah sadapan dengan fQRS apakah 2 sadapan atau

lebih dari >3 sadapan.

Skor Risiko GRACE dihitung dengan menggunakan aplikasi resmi untuk

smartphone bernama GRACE ACS Risk Model dari www.outcomes.org saat

pasien masuk rawat berdasarkan 8 variabel dibawah ini :

- Tekanan darah sistolik adalah tekanan darah tertinggi yang dihasilkan saat

jantung berkontraksi. Variablel tekanan darah sistolik yang digunakan

dalam penelitian ini adalah tekanan darah sistolik saat masuk rawat yang

tercantum dalam rekam medik pasien.

- Laju jantung yang dijadikan variabel dalam penelitian ini adalah laju

jantung saat masuk rawat yang tercantum dalam rekam medik pasien.87

- Variabel usia yang digunakan dalam penelitian ini adalah usia pasien yang

tercantum dalam rekam medik pasien saat masuk rawat.

- Variabel kadar kreatinin yang digunakan dalam penelitian ini adalah kadar

kreatinin yang tercantum dalam rekam medik pasien.

Page 57: KTA Erta Akhir.pdf

42

- Kelas killip adalah parameter klinis yang umum digunakan untuk

menggambarkan beratnya gagal jantung dalam SKA. Pasien dengan kelas

killip I tidak mengalami gagal jantung. Pasien dengan kelas killip II

memiliki temuan klinis gagal jantung ringan-sedang (terdengar S3, dan

ronkhi di basal <½lapang paru). Kelas killip III memiliki temuan edema

paru akut / gagal jantung berat (ronkhi > ½ lapang paru). Kelas killip IV

adalah edema paru disertai syok kardiogenik.88

- Henti jantung pada penelitian ini henti jantung adalah adanya riwayat

ventrikular fibrilasi atau ventrikular takikardia yang mengakibatkan

gangguan sirkulasi mendadak saat pasien datang atau selama perawatan di

IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin.

- Deviasi segmen ST dalam skor risiko GRACE adalah elevasi atau depresi

segmen ST yang terjadi pada pasien SKA.89 Variabel ada tidaknya deviasi

segmen ST pada penelitian ini ditemukan pada rekam medis EKG pasien

yang terdiagnosis SKA.

- Biomarka jantung pada penelitian ini adalah pemeriksaan troponin-T dan

CKMB yang dikerjakan saat pasien datang ke IGD RSUP Dr. Hasan

Sadkin. Nilai normalnya mengacu pada nilai normal yang telah ditetapkan

laboratorium patologi klinik RSUP Dr. Hasan Sadikin.

Definisi operasional yang digunakan dalam kriteria eksklusi penelitian ini

antara lain :

- Fragmentasi QRS lebar adalah gelombang R’ >2 atau bertakik dalam

gelombang R atau S pada setidaknya 2 sadapan yang berhubungan dengan

Page 58: KTA Erta Akhir.pdf

43

komplek QRS yang lebar dengan durasi >120 ms akibat Bundle Branch

Block (BBB), pacing, atau premature ventricular contraction (PVC).

Fragmentasi QRS pada PVC dianggap ada jika takik / fragmentasinya

terpisah >40 ms dan terjadi pada 2 sadapan yang berhubungan.76

- Infark miokard lama dalam penelitian ini adalah pasien yang memiliki

riwayat perawatan karena infark miokard dengan pengantar pulang yang

jelau, atau temuan defek irreversible pada sidik perfusi miokard, atau

temuan ekokardiografi sebelumnya dengan gerakan regional dinding

jantung akinetik / diskinetik, atau temuan EKG sebelumnya yang

menunjukkan adanya gelombang Q yang bermakna pada 2 sadapan yang

berhubungan, atau tim dokter yang menangani mendiagnosis infark miokard

lama / old myocardial infaction.

- Kelainan jantung valvular organik, khususnya penyakit jantung rematik

dapat memiliki temuan fragmentasi QRS pada EKG.85 Pasien yang diduga

memiliki kelainan jantung valvular organik dikeluarkan dari penelitian ini

jika ada temuan ekokardiografi yang menunjang atau tim dokter yang

menangani mendiagnosis adanya suatu kelainan valvular.

- Kelainan konduksi jantung berupa bundle branch block yang disingkirkan

dalam penelitian ini adalah left bundle branch block (LBBB) dan right

bundle branch block (RBBB) baik komplit atau inkomplit. Dengan definisi

dibawah ini :

- Definisi LBBB komplit yang digunakan pada penelitian ini mengacu

pada definisi yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO)

Page 59: KTA Erta Akhir.pdf

44

bersama International Society and Federation for Cardiology (ISFC)

yaitu : 1) Durasi QRS >120 ms, 2) Sadapan V5, V6 dan aVL

menunjukkan gambaran gelombang R yang lebar dan bertakik atau

slurred, 3) Kecuali aVL, gelombang Q tidak ditemukan pada sadapan

sebelah kiri, 4) Puncak gelombang R memanjang hingga lebih dari 60 ms

di sadapan V5 dan V6 tapi normal di sadapan V1 dan V2.90

- Definisi RBBB komplit pada penelitian ini mengacu pada definisi WHO

dan ISFC yaitu 1) Durasi QRS >120 ms, 2) Gelombang dengan pola rsr’,

rsR’, atau rSR’ di sadapan V1 atau V2 dan kadang disertai gelombang R

yang lebar dan bertakik, 3) Gelombang S lebih lama dari 40 ms atau

lebih dibandingkan durasi gelombang R di sadapan V6 dan I, dan 4)

waktu puncak gelombang R normal di sadapan V5 dan V6 namun

memanjang > 50 ms di sadapan V1.

- Definisi LBBB inkomplit pada penelitian ini mengacu pada definisi

WHO dan ISFC yaitu : 1) Durasi QRS lebih dari > 100 ms tapi <120 ms,

2) Pemanjangan puncak gelombang R hingga 60 ms atau lebih pada

sadapan prekordial kiri, 3) Tidak adanya gelombang Q pada sadapan V5,

V6, dan I.90

- Definisi RBBB inkomplit pada penelitian ini adalah adanya temuan EKG

dengan pola rSr’ di sadapan V1 yang disertai dengan inversi gelombang

T dan durasi QRS < 120 ms.91

- Pasien dengan kelainan irama jantung tidak dimasukkan kedalam penelitian

karena ada kekhawatiran kelainan yang terjadi dapat mengganggu proses

Page 60: KTA Erta Akhir.pdf

45

depolarisasi ventrikel. Pasien dengan temuan EKG atrial fibrilasi, total AV

blok, dan irama junctional tidak dimasukkan kedalam penelitian ini.

- Pasien dengan alat pacu jantung yang dikeluarkan dalam penelitian ini

adalah pasien yang memiliki riwayat pernah dipasang alat pacu jantung

sebelumnya.

- Pasien yang dimaksud memiliki sindrom WPW pada penelitian ini adalah

pasien yang pernah terdiagnosis WPW atau memiliki gambaran EKG

dengan pola sebagai berikut : 1) Interval PR <120 ms dengan gelombang P

yang normal, 2) Gelombang QRS lebar dengan durasi lebih dari 110 ms

atau lebih, 3) Ada slurring pada permulaan gelombang QRS atau ada

gelombang delta, 4) Perubahan sekunder pada segmen ST dan gelombang

T.91

- Pasien kardiomiopati pada penelitian ini adalah pasien yang sebelumnya

terdiagnosis kardiomiopati dilatasi pada rekam medis / pengantar rawat

jalan, atau ada temuan ekokardiografi berupa dilatasi ruang-ruang jantung

dan kontraktilitas jantung yang menurun (hipokinetik global) atau

didiagnosis kardiomiopati dilatasi saat masuk rawat.

- Pasien miokarditis yang dikeluarkan dari penelitian ini adalah pasien

dengan diagnosis kerja atau diagnosis banding miokarditis.

- Pasien dengan kelainan bawaan yang kompleks dapat memiliki fQRS, hal

ini ditemukan pada pasien tetralogy of fallot pasca koreksi.84 Data yang

tersedia mengenai fQRS pada populasi PJB masih sangat terbatas,

karenanya diambil keputusan untuk mengeluarkan seluruh populasi PJB dari

Page 61: KTA Erta Akhir.pdf

46

penelitian ini. Pasien yang diduga memiliki PJB pada ekokardiografi atau

tercatat memiliki PJB sebelumnya, atau didiagnosis PJB saat masuk rawat.

- Pasien dengan komorbiditas lain seperti gagal ginjal, pneumonia, asma,

sepsis, stroke, dsb dinilai dapat mempengaruhi skor GRACE dengan

mempengaruhi tekanan darah sistolik, laju jantung, ureum, kreatinin, dan

biomarka jantung sehingga tidak dimasukkan dalam penelitian ini.

- Faktor risiko kardiovaskular adalah faktor risiko yang tercatat dalam rekam

medik pasien.

3.2.4. Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data

Pasien yang terdiagnosis infark miokard akut (STEMI dan NSTEMI) di

Instalasi Gawat Darurat RSUP Dr. Hasan Sadikin dicari rekam mediknya. Pasien

dengan catatan rekam medik yang lengkap, dan pemeriksaan EKG yang

berkualitas dimasukkan kedalam penelitian. Rekam medik lengkap yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah rekam medik dengan identitas yang jelas

(nama, jenis kelamin, umur) dan mengandung data yang dibutuhkan penelitian ini,

yaitu anamnesa (riwayat henti jantung), tanda vital (tekanan darah sistolik dan laju

jantung), pemeriksaan fisik (tanda gagal jantung), pemeriksaan penunjang (hitung

jenis leukosit, kreatinin, troponin, CKMB, ekokardiografi). Pemeriksaan EKG

yang berkualitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah EKG dengan

identitas, waktu, dan gambar yang jelas. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi

dan tidak memiliki kriteria eksklusi akan diikut sertakan dalam penelitian.

Page 62: KTA Erta Akhir.pdf

47

Skor GRACE dihitung dengan menggunakan aplikasi mobile resmi skor

GRACE (www.outcomes.org) yang dapat di unduh dari apple application store.

Pembacaan EKG dilakukan oleh dokter spesialis penyakit jantung dan pembuluh

darah yang ditunjuk departemen kardiologi dan kedokteran vaskular. Data yang

diperoleh akan dianalisis menggunakan program Microsoft Excel 2011 dan IBM

SPSS Ver 20 untuk Mac.

Gambar 3.1. Skema Alur Penelitian

Memenuhi kriteria inklusi dan tidak

memenuhi kriteria eksklusi

Pasien IMA di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin

Pengumpulan Data

Kelompok fQRS (-) Dihitung skor GRACE

Analisis Data

Kelompok fQRS (+) Dihitung skor GRACE

Laporan Hasil Penelitian

Page 63: KTA Erta Akhir.pdf

48

3.2.5. Rancangan Analisis Statistik

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis secara statistik. Analisis

deskriptif akan dilakukan pada jenis data kategorik untuk menghitung besaran

jumlah dan persentase. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov akan dikerjakan

terhadap data numerik mengingat jumlah subjek penelitian lebih dari 50 orang.

Data numerik berdistribusi normal akan ditampilkan dalam bentuk rata-rata dan

simpangan baku, sedangkan data yang tidak berdistribusi normal akan

ditampilkan dalam bentuk median dan rentang. Variabel yang bersifat kategori

(jenis kelamin, waktu kedatangan, faktor risiko, kelas killip) akan dianalisis

menggunakan tabel kontingensi dan uji statistik chi-square. Variabel yang bersifat

numerik atau kontinyu akan dianalisis menggunakan uji rata-rata independent

samples t-test.

3.2.6. Tempat dan Waktu Penelitian

Pemilihan subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dilaksanakan di

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Variabel yang dianalisis didapat dalam rekam

medik pasien dengan IMA. Pemeriksaan EKG akan diperiksa adalah pemeriksaan

EKG yang telah dikerjakan di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung dan

tersimpan didalam rekam medik / arsip digital. Penelitian ini direncanakan pada

bulan Maret sampai dengan Juni 2014.

Page 64: KTA Erta Akhir.pdf

49

Tabel 3.1. Jadwal Penelitian

September 2013 -

Februari 2014

Maret

2014

April - Juni

2014

Persiapan

Pengambilan sampel dan data

Pengolahan data dan analisis statistik

Presentasi Hasil

3.2.7. Perkiraan Biaya

Perkiraan biaya dalam penelitian ini dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 3.2. Perkiraan Biaya

Perkiraan Biaya

Percetakan, Foto Kopi, Alat Tulis dan lain-lain Rp. 3.000.000,00

Konsultasi statistik dan analisis statistik Rp. 2.000.000,00

Total :   Rp. 5.000.000,00

3.2.8. Struktur Organisasi

Penelitian ini merupakan karya tulis akhir pendidikan spesialis I Program

Studi Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran RSUP Dr. Hasan Sadikin yang dilaksanakan dengan

bimbingan dari :

1. dr. Achmad Fauzi Yahya, SpJP(K)

2. dr. Erwan Martanto, SpPD, SpJP(K)

3. dr. M. Rizki Akbar, SpJP(K)

Page 65: KTA Erta Akhir.pdf

50

3.3. Implikasi Etik Penelitian

Implikasi etik penggunaan rekam medik dalam penelitian ini terkait

kerahasiaan pasien yang harus dijaga. Penelitian ini akan menyamarkan nama

pasien kedalam kode berupa inisial dan nomor sehingga hasil penelitian yang

akan dipaparkan nanti tidak dapat dihubungkan dengan rekam medik pasien yang

dijadikan subjek penelitian. Pasien tidak akan terganggu karena pemeriksaan

variabel yang dibutuhkan untuk menghitung skor risiko GRACE dan pemeriksaan

EKG merupakan hal rutin yang biasa dikerjakan pada semua pasien dengan

keluhan nyeri dada dan diduga SKA. Penelitian ini akan dikerjakan setelah

mendapatkan persetujuan komite etik RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung.

Page 66: KTA Erta Akhir.pdf

51

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Maret hingga Mei 2014.

Berdasarkan data rekam medis RSUP Dr. Hasan Sadikin dari akhir 2011 hingga

awal 2014 ditemukan 425 IMA. Sebanyak 40 pasien datanya ditemukan tidak

lengkap sehingga tidak memenuhi kriteria inklusi dan tidak dimasukkan kedalam

penelitian. Sebanyak 129 pasien memenuhi kriteria eksklusi sehingga dikeluarkan

dari penelitian. Akhirnya didapat 256 pasien yang menjadi subjek penelitian.

Berikut alur proses mendapatkan sampel penelitian.

Gambar 4.1. Alur proses mendapatkan subjek penelitian

425 pasien IMA 40 pasien dengan data tidak lengkap

385 memenuhi kriteria inklusi

Subjek Penelitian 256 pasien

129 pasien memenuhi kriteria eksklusi : - 59 pasien dengan infark miokard lama - 26 pasien dengan bundle branch block - 33 pasien dengan gangguan irama (26

pasein TAVB, 2 pasien atrial fibrilasi, 5 pasien dengan irama junctional)

- 8 pasien dengan komorbitas berat lain (6 pasien gagal ginjal kronis, 1 haematemesis melena pada sirosis hepatis, 1 pasien PPOK eksersebasi akut, dan 1 pasien asma eksersebasi akut)

- 3 pasien meninggal dalam 24 jam pertama

Page 67: KTA Erta Akhir.pdf

52

Data rekam medik pasien seperti usia, jenis kelamin, kedatangan sejak onset

nyeri di RSUP Dr. Hasan Sadikin, faktor risiko yang dimiliki, tekanan darah

sistolik, laju jantung, nilai leukosit, gula darah sewaktu, nilai ureum, kreatinin,

troponin T, CKMB, kelas killip dan riwayat henti jantung dicatat. Data mengenai

ada tidaknya fQRS dalam EKG dibaca oleh penilai independen. Skor GRACE dan

risiko kematian selama perawatan di RS dan dalam 6 bulan kedepan dihitung

menggunakan aplikasi resmi GRACE 2.0. Seluruh data yang diperoleh kemudian

diolah dengan menggunakan program SPSS ver 20.

Uji normalitas data numerik menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov

mengingat data yang digunakan berjumlah >50. Hasil uji normalitas menunjukkan

seluruh variabel numerik dalam penelitian ini tidak terdistribusi normal, sehingga

data numerik disajikan menggunakan nilai median dan rentang (minimum-

maksimum). Data kategorik disajikan menggunakan nilai frekuensi dan

persentase. Karakteristik dasar 256 subjek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1.

Setelah dilakukan analisis data didapatkan median usia 56 (31 – 86) tahun,

jenis kelamin laki-laki lebih banyak dari perempuan (200 (78,1%) banding 56

(21,9%)). Median waktu kedatangan ke RSUP Dr. Hasan Sadikin adalah 8 (1-

168) jam. Sebanyak 112 (43,8%) orang datang <6 jam setelah timbul keluhan

nyeri dada. Faktor risiko utama PAK yang dimiliki subjek penelitian adalah

merokok 76,2% diikuti oleh hipertensi 55,5%, diabetes 12,1%, dan riwayat

keluarga memiliki penyakit jantung atau meninggal mendadak 10,2%. Faktor

risiko dislipidemia tidak bisa dihitung karena data yang tidak lengkap. Sebanyak

52% subjek penelitian memiliki 2 faktor risiko atau lebih (multipel).

Page 68: KTA Erta Akhir.pdf

53

Median tekanan darah sistolik 130 (70-230) mmHg, median laju jantung 80

(42-128) kali/menit. Median nilai leukosit sebesar 12.100 (4.080-27.300)/mcL,

median gula darah sewaktu (GDS) sebesar 135 (74-633) mg/dL, median ureum 29

(4-197) mg/dL, median kreatinin 0,92 (0,1-19,3) mg/dL, troponin-T 0,5 (0,01 – 2)

ng/mL, CKMB 72 (12-989) U/L. Riwayat henti jantung didapatkan pada 9 (3,5%)

subjek penelitian. Sebanyak 189 (73,8%) orang memiliki kelas killip I, 49

(19,1%) memiliki kelas killip II, dan 9 (3,5%) memiliki kelas killip III dan IV.

Median skor GRACE 106 (48-194), median risiko kematian selama di RS 2%

(0,2-44%) dan median risiko kematian dalam 6 bulan pertama 4,85% (0,8-116).

Subjek penelitian dengan skor GRACE >120 ditemukan sebanyak 74 (28,9%)

orang, sedangkan fQRS ditemukan pada 105(41%) orang.

Pasien NSTEMI datang lebih lama ke RS dibandingkan pasien STEMI

(11,5 banding 7 jam; p=0,010%). Faktor risiko hipertensi (70,6% banding 50%,

p=0,003) dan faktor risiko multipel (64,7% banding 47,3%; p=0,014) lebih sering

ditemukan pada NSTEMI dibanding STEMI. Tekanan darah sistolik (138,5

banding 122,5 mmHg; p=0,007) ditemukan lebih tinggi pada NSTEMI. Nilai

leukosit (10.550 banding 12.650/μL, p=0,000), GDS (122 banding 141 mg/dL,

p=0,001), troponin-T (0,4 banding 0,6 ng/mL; p=0,016) dan CKMB (53 banding

86,5 U/L; p=<0,001) ditemukan lebih tinggi pada kelompok STEMI. Pasien

STEMI lebih banyak yang mengalami gagal jantung dan memiliki kelas Killip

yang lebih tinggi dibandingkan pasien NSTEMI (Kelas killip I: 67,6% pada

NSTEMI banding 75,5% pada STEMI; p=0,001).

Page 69: KTA Erta Akhir.pdf

54

Tabel 4.1. Karakteristik dasar penelitian

Variabel Kelompok Infark Miokard

Total N = 256(100%) NSTEMI

N=68 (26,6%) STEMI

N=188 (73,4%) Usia (tahun) 58 (37-80) 56 (31-86) 56 (31 – 86) Jenis Kelamin

Laki-laki 48 (70,6%) 152 (80,9%) 200 (78,1%) Perempuan 20 (29,4%) 36 (19,1%) 56 (21,9%)

Kedatangan sejak onset nyeri 11.5 (1 - 168) 7 (1 - 144) 8 (1 - 168) 1-6 jam 23 (33,8%) 89 (47,3%) 112 (43,8%) 7-12 jam 19 (27,9%)   32 (17%)   51 (19,9%)  >12 jam 26 (38,2%) 67 (35%) 93 (36,3%)

Faktor Risiko Merokok 37 (69,1%) 148 (78,7%) 195 (76,2%) Diabetes 11 ( 16,2%) 20 (10,6%) 31 (12,1%) Hipertensi 48 (70,6%) 94 (50%) 142 (55,5%) Riwayat Keluarga 9 (13,2%) 17 (9%) 26 (10,2%) Faktor Risiko Multipel 44 (64,7%) 89 (47,3%) 133 (52%)

Tekanan darah sistolik 138,5 (70-190) 122,5 (70-230) 130 (70 -230) Laju jantung 86,5 (45-128) 78,5 (42 -127)   80 (42 – 128)

Nilai leukosit 10.550

(4080-24.600) 12.650

(4800-27.300) 12.100

(4080 – 27.300) GDS 122 (77 - 480) 141 (74-633) 135 (74-633) Ureum 31,5 (15-192) 29 (4 – 197) 29 (4 – 197) Kadar kreatitinin 0,92 (0,17–10.85) 0,98 (0,10–19) 0.92 (0,10-19,3) Kadar troponin T 0,4 (0,01-2) 0,6 (0,01-2) 0.5 (0,01 – 2) Kadar CKMB 53 (12 – 348) 86,5 (15 – 989) 72 (12 - 989) Kelas killip  

I 46 (67,6%) 142 (75,5%) 188 (73,4%) II 19 (27,9%) 30 (16%) 49 (19,1%) III 1 (1,5%) 9 (4,8%) 10 (3,9%) IV 2 (2,2%) 7 (3,7%) 9 (3,5%)

Riwayat henti jantung 1 (1,5%) 8 (4,3%) 9 (3,5%) Skor GRACE 108,5 (66 – 178) 104,5 (48 – 194) 106 (48-194) Risiko Kematian di RS 2,1% (0,6 -37%) 2 (0,2-44%) 2 (0,2-44) Risiko Kematian / 6 bulan 5,3% (1,4-44%) 4,4%(0,8-62%) 4,85(0,8-116) Skor GRACE > 120 23 (33,8)%) 51 (27,1%) 75 (29,3%) Fragmentasi QRS

Tidak 39 (57,4%) 112 (59,6%) 145 (56,6%) Ada 29 (42,6%) 76 (40,4%) 105 (41%)

fQRS >3 sadapan 18 (26,6%) 54 (28,7%) 72 (28,1%) Keterangan : n = jumlah sampel

Page 70: KTA Erta Akhir.pdf

55

4.2. Pengujian Hipotesis

Pemeriksaan hubungan antara fragmentasi QRS dengan skor GRACE

dilakukan dengan menggunakan uji komparasi independent samples t-test karena

yang dicari hubungannya adalah data kategorik berupa ada / tidaknya fQRS

dengan data numerik skor GRACE yang tidak terdistribusi normal. Hasil yang

didapatkan dapat dilihat pada tabel 4.2 dibawah.

Tabel 4.2. Uji Beda Skor GRACE

N Rata-rata Standar Deviasi

Nilai p (2 arah)

IK 95% Rentang

fQRS Tidak Ada 151 103,85 22,65

0,001 5 – 18,5 Ada 105 115,59 29,36

Keterangan: uji beda menggunakan independent t-test, p bermakna bila <0,05

Analisis statistik independent t-test menemukan pasien IMA tanpa fQRS

memiliki skor GRACE rata-rata 103,8 dengan standar deviasi (SD) 22,6

sedangkan pasien IMA dengan fQRS memiliki rata-rata skor GRACE 115,6

dengan SD 29,4. Diantara kedua kelompok tersebut terdapat perbedaan rata-rata

11,7 dengan t-hitung -3,446 dan p=0,001. Null hipotesis (H0) bahwa populasi

kedua kelompok tersebut sama ditolak karena nilai p<0,05; artinya terdapat

perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok tersebut. Hipotesis penelitian

bahwa pasien IMA dengan fQRS memiliki skor GRACE rata-rata lebih tinggi

dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS berhasil dibuktikan.

Page 71: KTA Erta Akhir.pdf

56

4.3. Temuan Tambahan

Analisis Univariat Pengaruh Fragmentasi QRS

Fragmentasi QRS ditemukan memiliki hubungan bermakna dengan

beberapa variabel lainnya. Pasien IMA dengan fQRS ditemukan memiliki usia (58

banding 56 tahun; p=0,016), laju jantung (median 88 banding 77 kali/menit;

p=0,002), ureum (median 31 banding 29 mg/dL; p=0,004), kadar kreatinin

(median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037), troponin T (median 1,1 banding 3

ng/mL; p=<0,001), CKMB (median 103 banding 66 U/L; p=0,010), kelas killip

(p=0,044), skor GRACE (median 112 banding 101; p=0,001), risiko kematian di

RS (median 2,5 banding 1,8%; p=0,002), dan risiko kematian dalam 6 bulan

(median 5,95 banding 4,3; p=<0,001) yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA

tanpa fQRS. Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan dengan adanya

fragmentasi QRS semakin besar usia, nilai laju jantung, kadar ureum, kreatinin,

troponin T, CKMB, kelas killip, risiko kematian selama perawatan di RS dan

dalam 6 bulan pertama. Hal ini dapat dilihat pada tabel 4.3. yang menyajikan data

analisis univariat pengaruh fragmentasi QRS.

Page 72: KTA Erta Akhir.pdf

57

Tabel 4.3. Analisis Univariat Pengaruh fQRS

Variabel Kelompok

Nilai P fQRS(-) n=151(59%)

fQRS(+) n=105 (41%)

Usia (tahun) 56 (31-82) 58 (34-86) 0,016 Jenis Kelamin

Laki-laki 121 (81,1%) 79 (75,9%) 0,351  

Perempuan 30 (19,9%) 26 (24,8%) Kedatangan sejak onset nyeri 8 (1-168) 8 (1-168) 0,337

1-6 jam 68 (45%) 44 (41,9%) 0,578 7-12 jam 32 (21,2%) 19 (18,1%)

>12 jam 51 (33,8%) 42 (40%) Faktor Risiko

Merokok 118 (78,1%) 77 (73,3%) 0,374 Diabetes 19 (12,6%) 12 (11,4%) 0,781 Hipertensi 82 (54,3%) 60 (57,1%) 0,653 Riwayat Keluarga 15 (9,9%) 11 (10,5%) 0,888 Faktor Risiko Multipel 81 (53,6%) 52 (49,5%) 0,517

Tekanan darah sistolik 130 (70-230) 130 (70-200) 0,587 Laju jantung 77 (44-127) 88 (42-128) 0,002

Nilai leukosit 11.800

(4080-27.300) 12.900

(4800-21.400) 0,074

GDS 134 (74-633) 136 (81-594) 0,795 Ureum 29 (4-102) 31 (14-197) 0,004 Kadar kreatitinin 0,9 (0,1-3,99) 0,96 (0,44-19) 0,037  Kadar troponin T 0,3 (0,1-2) 1,1 (0,1-2) <0,001 Kadar CKMB 66 (15-786) 103 (12-989) 0,010 Riwayat Henti Jantung 5 (3,3%) 4 (3,8%) 0,831 Komplikasi Gagal Jantung (Kelas Killip II-IV)

32 (21,2%) 36 (34,3%) 0,02

Skor GRACE 101 (48-162) 112 (67-194) 0,001 Risiko Kematian di RS (%) 1,8 (0,2-23) 2,5 (0,6-44) 0,002 Risiko Kematian/6 bulan (%) 4,3 (0,8-23) 5,95 (1,4-62) <0,001 Skor GRACE > 120 34 (22,5%) 41 (39%) 0,004 Keterangan : Analisis statistik menggunakan chi-square untuk data kategorik dan t-test untuk data numerik, p bermakna bila nilainya < 0,05

Pasien IMA dengan fQRS berjumlah 105 (41%) orang, mereka yang

memiliki skor GRACE >120 ditemukan lebih banyak dibandingkan pasien IMA

tanpa fQRS (39% banding 22,5%; p=0,004). Setelah dilakukan perhitungan

estimasi risiko pasien IMA dengan fQRS memiliki risiko lebih besar (OR 2,2 kali;

Page 73: KTA Erta Akhir.pdf

58

IK 95% 1,3−3,8) mendapatkan skor GRACE >120 dibandingkan pasien IMA

tanpa fQRS. Kejadian gagal jantung ditemukan tebih tinggi pada pasien IMA

dengan fQRS (34,3% banding 21,2%; p=0,02). Pasien IMA dengan fQRS

memiliki risiko 1,94 kali (IK 95% 1,1−3,4) lebih besar mengalami gagal jantung

dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.

4.4. Pembahasan

Rata-rata usia pasien IMA dalam penelitian ini adalah 56 tahun, lebih tinggi

dibandingkan usia rata-rata pasien STEMI dalam penelitian Juwana dkk.37 di RS

Puri Cinere Jakarta yaitu 54 tahun. Usia rata-rata tersebut lebih rendah

dibandingkan pasien STEMI di klinik Isala Belanda (mean 63 tahun) dan juga

pasien IMA di perancis dalam penelitian Montalescot dkk.92 (mean 61 tahun).

Rata-rata usia pasien STEMI ditemukan lebih muda dibandingkan pasien

NSTEMI (mean 60 banding 65 tahun; p=<0,0001) pada penelitian Montaleskot

dkk.92 Usia rata-rata pasien STEMI pada penelitian ini juga ditemukan lebih muda

dibandingkan pasien NSTEMI.

Mayoritas pasien dalam penelitian ini berjenis kelamin pria (78,1%),

temuan ini serupa dengan proporsi di Belanda (75%)37 dan Perancis (76%).92

Secara tradisional PAK dianggap sebagai penyakit yang terutama dialami laki-

laki, risiko laki-laki mendapatkan PAK di usia 40 tahun lebih besar dibandingkan

wanita (50% banding 33%).93 Hal tersebut mengakibatkan wanita lebih jarang

menjalani pemeriksaan atau terapi untuk SKA dibandingkan laki-laki.94,95 Pasien

wanita dengan infark miokard memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan

laki-laki.96,97 Penelitian terbaru yang dikerjakan oleh Shacham dkk.98 menemukan

Page 74: KTA Erta Akhir.pdf

59

pasien wanita dengan infark miokard mengalami gangguan fungsi sistolik dan

diastolik yang lebih berat dibandingkan laki-laki walau telah mendapat perlakuan

yang sama.

Pasien IMA yang merokok dalam penelitian ini jauh lebih banyak (76,2%)

dibandingkan pasien IMA di Belanda (31%)37 atau Perancis (36,6%).92 Salah satu

alasan yang menyebabkan tingginya hal tersebut adalah regulasi anti-terbakau

yang buruk dan cukai rokok yang relatif murah di Indonesia, akibatnya konsumsi

rokok di Indonesia terus meningkat dari 173 milyar rokok di 2004 menjadi 265

milyar rokok di 2010. Prevalensi perokok di Indonesia merupakan yang tertinggi

di dunia dimana 67,4% pria dan 4,5% wanita merokok.99

Profil faktor risiko kardiovaskular pasien IMA di RSUP Dr. Hasan Sadikin

yang memiliki kemiripan dengan pasien IMA di RS Puri Cinere dalam penelitian

Juwana dkk.37 adalah merokok (76,2% dan 68%) dan tekanan darah tinggi (55,5%

dan 46%), faktor risiko lainnya seperti diabetes (12,1% dan 36%) dan riwayat

keluarga (10,2% dan 32,%) berbeda cukup jauh. Faktor yang dapat menjelaskan

adanya perbedaan tersebut adalah kelas sosioekonomi yang dimiliki pasien. RSUP

Dr. Hasan Sadikin adalah RS pemerintah yang banyak mengelola pasien tidak

mampu, sedangkan pasien RS Puri Cinere adalah RS Swasta yang kebanyakan

pasiennya memiliki status sosioekonomi menengah keatas. Penelitian Adedoyin

dkk.100 di Nigeria menemukan semakin tinggi kelas sosial ekonomi semakin

tinggi tekanan darah sistolik (r=0,255; p<0,01) dan gula darah puasa (r=0,270;

p<0,01). Penelitian tersebut memiliki hasil yang berbeda dengan penelitian yang

dikerjakan di negara maju dimana kelas sosial ekonomi justru berbanding terbalik

Page 75: KTA Erta Akhir.pdf

60

dengan kejadian sindroma metabolik101 dan timbulnya beragam faktor risiko

kardiovaskular.102 Faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah akses

terhadap pendidikan dan informasi yang lebih baik di negara maju. Minnesota

heart study103 menemukan pendidikan memiliki hubungan terbalik dengan

tekanan darah, merokok, indek massa tubuh dan berhubungan positif dengan

kebiasaan berolah raga dan pengetahuan kesehatan.

Pasien IMA di RSUP Dr. Hasan Sadikin dan RS Puri Cinere umumnya

memiliki faktor risiko lebih banyak jika dibandingkan dengan pasien IMA dalam

penelitian Montalescot dkk.92 dimana faktor risiko utamanya adalah dislipidemia

(49%) diikuti oleh tekanan darah tinggi (47,1%), merokok (36,6%), diabetes

(15,6%), dan riwayat keluarga (11,1%). Faktor risiko kardiovaskular yang lebih

banyak tersebut mungkin menjadi penyebab mengapa pasien IMA di RSUP Dr.

Hasan Sadikin dan RS. Puri Cinere dalam penitian Juwana dkk.37 memiliki usia

lebih muda dibandingkan penelitian serupa di negara maju.

Tabel 4.4. Perbandingan Faktor Risiko Kardiovaskular pada Pasien IMA

RS Dr. Hasan Sadikin

RS Puri Cinere

Klinik Isala Belanda

Perancis (OPERA)

Merokok 76,2% 68% 31% 36,6%

Tekanan Darah Tinggi 55,5% 46% 42% 47,1%

Diabetes 12,1% 36% 12% 15,6%

Dislipidemia - 46% 19% 49%

Faktor Risiko Keluarga 10,2% 32% 37% 11,1%

Faktor Risiko >2 52% - - - Sumber: 1) Juwana dkk. Primary coronary intervention for ST-elevation myocardial infarction in

Indonesia and the Netherlands: a comparison. Netherlands heart journal. 2) Montalescot dkk. STEMI and NSTEMI: are they so different? 1 year outcomes in acute

myocardial infarction as defined by the ESC/ACC definition (the OPERA registry). European heart journal.

Page 76: KTA Erta Akhir.pdf

61

Profil faktor risiko pasien NSTEMI ditemukan berbeda dibandingkan pasien

STEMI. Faktor risiko tekanan darah tinggi ditemukan lebih banyak pada pasien

NSTEMI dibandingkan STEMI (70,6 banding 50%; p=0,003). Pasien NSTEMI

juga ditemukan memiliki faktor risiko kardiovaskular >2 lebih banyak

dibandingkan STEMI (64,7 banding 47,3%; p=0,014). Temuan ini serupa dengan

penelitian di perancis92 yang menemukan pasien NSTEMI memiliki faktor risiko

hipertensi (54,3 banding 44%; p=<0,0001) dan diabetes (19,7 banding

13,8%;p=<0,001) yang lebih banyak dibandingkan STEMI. Faktor yang diduga

mempengaruhi profil faktor risiko yang berbeda tersebut adalah usia pasien

NSTEMI yang umumnya lebih tua dibandingkan pasien STEMI sehingga faktor

risiko yang dimilikinya pun menjadi lebih banyak.

Median waktu kedatangan ke RS setelah timbul keluhan nyeri pada

penelitian ini sekitar 8 jam, lebih lama dibandingkan median waktu kedatangan

pasien IMA ke RS di perancis yaitu 5,9 jam.92 Temuan tersebut serupa dengan

temuan Juwana dkk.37 yang menemukan pasien STEMI yang datang ke RS Puri

Cinere lebih lama dibandingkan ke klinik Isala Belanda (6,9 banding 3,6 jam).

Sebanyak 36% pasien IMA datang ke RSUP Dr. Hasan Sadikin lebih 12 jam,

hanya 43% pasien yang datang dibawah 6 jam. Faktor yang diduga dapat

menyebabkan faktor kedatangan ke RS yang lebih lama di Indonesia

dibandingkan negara maju adalah sarana dan infrastruktur transportasi yang masih

terbatas serta pengetahuan masyarakat yang masih kurang mengenai sindrom

koroner akut.37

Page 77: KTA Erta Akhir.pdf

62

Waktu kedatangan pasien ke RS sejak timbul keluhan nyeri ditemukan lebih

cepat pada pasien STEMI dibandingkan NSTEMI (median 7 banding 11,5 jam;

p=0,010). Temuan itu serupa dengan waktu kedatangan pasien STEMI di perancis

yang lebih cepat dibandingkan pasien NSTEMI (median 4 banding 6,5 jam;

p=<0,0001). Waktu kedatangan pasien STEMI yang lebih cepat dibandingkan

pasien NSTEMI diduga akibat presentasi klinis pasien STEMI yang lebih buruk

dibandingkan pasien NSTEMI. Gagal jantung lebih banyak terjadi pada pasien

STEMI dibandingkan NSTEMI (32,4 banding 24,5%; p=0,001). Kelas killip pada

penelitian ini secara bermakna ditemukan lebih tinggi pada pasien STEMI

dibandingkan NSTEMI (p=0,001). Temuan tersebut diikuti oleh temuan leukosit

(median 10.550 banding 12.650; p=0,000), troponin-T (median 0,4 banding 0,6

ng/mL; p=0,016), CKMB (median 53 banding 86,5 U/L; p=0,000) yang lebih

tinggi dan tekanan darah yang cenderung lebih rendah (mean 136 banding 126

mmHg; p=0,007) pada pasien STEMI dibandingkan NSTEMI. Semua temuan

tersebut diduga berhubungan dengan proses patofisiologi atherothrombotik yang

mengakibatkan oklusi total pada pasien STEMI sehingga proses infark yang

terjadi lebih luas dibandingkan pasien NSTEMI.

Skor GRACE pada STEMI ditemukan lebih tinggi dibandingkan NSTEMI

namun secara statistik tidak bermakna (median 108,5 banding 104,5; p=0,225).

Prevalensi fragmentasi QRS pada STEMI ditemukan lebih tinggi dibandingkan

NSTEMI namun secara statistik tidak bermakna (42,6 banding 40%; p=0,926).

Berdasarkan temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa prevalensi fQRS pada

IMA cukup tinggi dan tidak dipengaruhi oleh perbedaan diagnosa STEMI atau

Page 78: KTA Erta Akhir.pdf

63

NSTEMI. Prevalensi fQRS pada IMA dalam penelitian ini lebih rendah

dibandingkan temuan oleh Das dkk.25 yang menemukan prevalensi fQRS pada

IMA sebesar 51%, namun lebih tinggi dibandingkan temuan Stavileci dkk.52 yang

menemukan prevalensi sebesar 27% pada pasien STEMI. Faktor yang dapat

menyebabkan hal tersebut diduga adalah metodologi penelitian yang berbeda.

Penelitian Das dkk.25 melakukan pemeriksaan EKG sesuai pengaturan yang

direkomendasikan Das dkk.18 dalam penelitian sebelumnya. Penelitian ini dan

penelitian Stavileci dkk.52 menggunakan data retrospektif sehingga ada

kemungkinan fQRS tidak terdeteksi karena pemeriksaan EKG yang dilakukan

tidak sesuai rekomendasi Das dkk.18

Penelitian ini menemukan bahwa pasien IMA dengan fQRS memiliki usia

yang lebih tua dibandingkan pasien tanpa fQRS (p=0,016). Temuan ini serupa

dengan temuan Guo dkk.29 yang menemukan bahwa pasien NSTEMI berusia

lanjut (>65 tahun) memiliki frekuensi fQRS yang lebih tinggi (p=0,005). Literatur

lain yang mendukung pernyataan bahwa fQRS memiliki hubungan dengan usia

tidak ada. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara faktor risiko

kardiovaskular dengan fQRS, sedangkan Guo dkk.29 menemukan pasien dengan

fQRS memiliki faktor risiko diabetes yang lebih banyak (p=0,033). Literatur lain

yang menemukan hubungan antara fQRS dengan faktor risiko yang dimilikinya

tidak ditemukan.

Penelitian ini menemukan perbedaan skor GRACE yang bermakna antara

kelompok pasien IMA dengan dan tanpa fQRS, pasien IMA dengan fQRS sempit

Page 79: KTA Erta Akhir.pdf

64

memiliki rata-rata skor GRACE yang lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa

fQRS sempit. Temuan ini sesuai dengan hipotesis awal penelitian.

Penelitian mengenai peranan fQRS dalam SKA masih terbatas, belum ada

penelitian yang secara khusus mencari hubungan antara fQRS dengan skor

GRACE pada pasien IMA. Stavileci dkk.52 meneliti kegunaan fQRS untuk

memprediksi prognosis jangka pendek pasien STEMI menemukan bahwa pasien

STEMI dengan skor GRACE >120 memiliki keluaran klinis yang lebih buruk

(OR = 4,765). Pasien STEMI dengan fQRS pada penelitian tersebut memiliki

risiko hampir 2 kali lebih besar untuk memiliki skor GRACE >120 dibandingkan

pasien STEMI tanpa fQRS. Pasien IMA dengan fQRS pada penelitian ini

memiliki risiko 2,2 kali (IK 95% 1,3−3,8) lebih besar untuk mendapatkan skor

GRACE >120 sehingga dapat disimpulkan terdapat konsistensi antara penelitian

ini dan pelelitian Stavileci dkk.52

Faktor yang dapat menyebabkan adanya hubungan antara fQRS dengan skor

GRACE diduga berhubungan dengan daerah infark yang lebih luas pada pasien

IMA dengan fQRS. Biomarka jantung (troponin-T dan CKMB) secara bermakna

ditemukan lebih tinggi pada pasien IMA dengan fQRS. Pasien IMA dengan fQRS

memiliki infark yang lebih luas sehingga mengakibatkan gangguan fungsi

ventrikel yang lebih berat dibandingkan dengan pasien IMA tanpa fQRS. Pasien

IMA dengan fQRS ditemukan memiliki risiko 1,94 (IK 95% 1,1−3,4) kali lebih

besar mengalami gagal jantung.

Pasien IMA dengan fQRS pada penelitian ini umumnya memiliki kelas

killip yang lebih tinggi (p=0,011), laju jantung yang lebih cepat (median 88

Page 80: KTA Erta Akhir.pdf

65

banding 77 kali/menit; p=0,000), ureum yang lebih tinggi (median 31 banding 29;

p=0,004), kreatinin yang lebih tinggi (median 0,96 banding 0,9 mg/dL; p=0,037),

troponin-T yang lebih tinggi (median 1,1 banding 0,3 ng/mL; p=<0,001), CKMB

yang lebih tinggi (median 103 banding 66 U/L; p=0,01) dan skor GRACE yang

lebih tinggi (112 banding 101; p=0,001) dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.

Temuan ini serupa dengan temuan oleh Kocaman dkk.30 yang menemukan bahwa

pasien STEMI dengan fQRS yang menjalani IKP primer memiliki nilai leukosit

(p=0,001), CKMB (p=0,001), troponin-T (p=0,005), dan kelas killip (p=0,001)

yang lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa fQRS. Nilai leukosit pada penelitian

ini ditemukan lebih tinggi pada pasien IMA dengan fQRS namun secara statistik

tidak bermakna (12.900 banding 11.800; p=0,074). Pasien IMA dengan fQRS

pada penelitian Kocaman dkk.30 ditemukan memiliki laju jantung (mean 82

banding 86 kali/menit) dan kreatinin (mean 1 banding 1,1 mg/dL) yang lebih

tinggi namun secara statistik tidak bermakna (p=0,16 dan p=0,26). Berdasarkan

temuan yang konsisten pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa keberadaan fQRS pada pasien IMA berhubungan erat dengan

luasnya infark, hal tersebut dapat meningkatkan beragam parameter yang pada

akhirnya meningkatkan skor GRACE.

Page 81: KTA Erta Akhir.pdf

66

4.4. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan data sekunder berupa

hasil EKG yang dikerjakan di IGD RSUP Dr. Hasan Sadikin sehingga terdapat

beberapa keterbatasan sebagai berikut :

1) Pembacaan EKG pada penelitian ini dikerjakan oleh satu orang kardiologis

penilai independen sehingga interobserver variability tidak diketahui.

2) Pemeriksaan EKG dilakukan dengan menggunakan beberapa mesin EKG

dengan standard dan pengaturan yang berbeda sehingga hasil dan kualitas

EKG menjadi beragam. Das dkk.18 merekomendasikan pemeriksaan yang

ideal untuk mendeteksi fQRS dengan pengaturan high pass filter 0,15 Hz

dan low pass filter dengan frekuensi 100-150 Hz.

3) Pemeriksaan EKG yang dikerjakan umumnya adalah pemeriksan EKG 12

sadapan, pada beberapa kasus terdapat kemungkinan infark miokard yang

terjadi di anterior / lateral dapat disertai temuan fQRS di posterior atau

kanan.

Keterbatasan diatas dapat menyebabkan tidak terdeteksinya fQRS dan dapat

mengurangi kekuatan penelitian.

Page 82: KTA Erta Akhir.pdf

67

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Skor GRACE pasien IMA dengan fQRS sempit secara bermakna ditemukan

lebih tinggi dibandingkan pasien IMA tanpa fQRS.

5.2. Saran

Penelitian mengenai fQRS masih terbatas sehingga masih diperlukan

penelitian lanjutan di bidang ini. Kualitas EKG dalam penelitian ini dapat

diperbaiki melalui penelitian yang bersifat prospektif dengan mesin EKG yang

sama dengan pengaturan sesuai rekomendasi Das dkk.

Temuan tambahan penelitian ini adalah pasien IMA di RSUP Dr. Hasan

Sadikin memiliki faktor risiko kardiovaskular yang lebih banyak, lebih muda,

datang lebih lama ke RS dengan presentasi klinis yang lebih buruk dibandingkan

pasien IMA di negara maju. Pemerintah khususnya kementrian kesehatan

karenanya perlu menjadikan upaya penanggulangan penyakit kardiovaskular

sebagai salah satu prioritas pembangunan kesehatan. Upaya prevensi primer harus

lebih intensif dikerjakan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai

penyakit kardiovaskular dan mengendalikan faktor risikonya.

Page 83: KTA Erta Akhir.pdf

68

DAFTAR PUSTAKA

1. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC

Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients

presenting without persistent ST-segment elevation: The Task Force for the

management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting

without persistent ST-segment elevation of the European Society of

Cardiology (ESC). Eur Heart J. 2011;32(23):2999-3054.

2. World Health Organization (WHO), Factsheet 310 : The top 10 causes of

death. 2008.

3. Go AS, Mozaffarian D, Roger VL, Benjamin EJ, Berry JD, Borden WB, et

al. Heart disease and stroke statistics--2013 update: a report from the

American Heart Association. Circulation. 2013;127(1):e6-e245.

4. Tim Survey Kesehatan Nasional. Laporan Studi Mortalitas 2001 : Pola

Penyakit Penyebab Kematian di Indonesia. Jakarta2001.

5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2007.

6. Dharma S, Juzar DA, Firdaus I, Soerianata S, Wardeh AJ, Jukema JW.

Acute myocardial infarction system of care in the third world. Neth Heart J.

2012;20(6):254-9.

7. Antman EM. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction : Pathology,

Pathophysiology, and Clinical Features. In: Bonow RO, Mann DL, Zipes

DP, Libby P, editors. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of

Cardiovascular Medicine Ninth ed. Philadelphia: Elsevies Saunders; 2012.

p. 1178-90.

8. Achar SA, Kundu S, Norcross WA. Diagnosis of acute coronary syndrome.

Am Fam Physician. 2005;72(1):119-26.

9. Brener SJ, Weisz G, Maehara A, Mehran R, McPherson J, Farhat N, et al.

Does clinical presentation affect outcome among patients with acute

coronary syndromes undergoing percutaneous coronary intervention?

Page 84: KTA Erta Akhir.pdf

69

Insights from the Providing Regional Observations to Study Predictors of

Events in the Coronary Tree study. Am Heart J. 2012;164(4):561-7.

10. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H, et al. ESC

Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients

presenting without persistent ST-segment elevation: The Task Force for the

management of acute coronary syndromes (ACS) in patients presenting

without persistent ST-segment elevation of the European Society of

Cardiology (ESC). Eur Heart J.32(23):2999-3054.

11. Aragam KG, Tamhane UU, Kline-Rogers E, Li J, Fox KA, Goodman SG, et

al. Does simplicity compromise accuracy in ACS risk prediction? A

retrospective analysis of the TIMI and GRACE risk scores. PLoS One.

2009;4(11):e7947.

12. de Araujo Goncalves P, Ferreira J, Aguiar C, Seabra-Gomes R. TIMI,

PURSUIT, and GRACE risk scores: sustained prognostic value and

interaction with revascularization in NSTE-ACS. Eur Heart J.

2005;26(9):865-72.

13. Diercks DB, Peacock WF, Hiestand BC, Chen AY, Pollack CV, Jr., Kirk

JD, et al. Frequency and consequences of recording an electrocardiogram

>10 minutes after arrival in an emergency room in non-ST-segment

elevation acute coronary syndromes (from the CRUSADE Initiative). Am J

Cardiol. 2006;97(4):437-42.

14. Savonitto S, Ardissino D, Granger CB, Morando G, Prando MD, Mafrici A,

et al. Prognostic value of the admission electrocardiogram in acute coronary

syndromes. JAMA. 1999;281(8):707-13.

15. Thygesen K, Alpert JS, White HD, Jaffe AS, Apple FS, Galvani M, et al.

Universal definition of myocardial infarction. Circulation.

2007;116(22):2634-53.

16. Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, et

al. ESC guidelines on management of acute myocardial infarction in

patients presenting with persistent ST-segment elevation. Rev Esp Cardiol.

2009;62(3):293, e1-47.

Page 85: KTA Erta Akhir.pdf

70

17. Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstrom-Lundqvist C, Crea F, Falk V, et

al. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with

persistent ST-segment elevation: the Task Force on the Management of ST-

Segment Elevation Acute Myocardial Infarction of the European Society of

Cardiology. Eur Heart J. 2008;29(23):2909-45.

18. Das MK, Khan B, Jacob S, Kumar A, Mahenthiran J. Significance of a

fragmented QRS complex versus a Q wave in patients with coronary artery

disease. Circulation. 2006;113(21):2495-501.

19. Reddy CV, Cheriparambill K, Saul B, Makan M, Kassotis J, Kumar A, et al.

Fragmented left sided QRS in absence of bundle branch block: sign of left

ventricular aneurysm. Ann Noninvasive Electrocardiol. 2006;11(2):132-8.

20. Akbarzadeh F, Pourafkari L, Ghaffari S, Hashemi M, Sadeghi-Bazargani H.

Predictive value of the fragmented QRS complex in 6-month mortality and

morbidity following acute coronary syndrome. Int J Gen Med. 2013;6:399-

404.

21. Canga A, Kocaman SA, Durakoglugil ME, Cetin M, Erdogan T, Kiris T, et

al. Relationship between fragmented QRS complexes and left ventricular

systolic and diastolic functions. Herz. 2013;38(6):665-70.

22. Mahenthiran J, Khan BR, Sawada SG, Das MK. Fragmented QRS

complexes not typical of a bundle branch block: a marker of greater

myocardial perfusion tomography abnormalities in coronary artery disease.

J Nucl Cardiol. 2007;14(3):347-53.

23. Pietrasik G, Goldenberg I, Zdzienicka J, Moss AJ, Zareba W. Prognostic

significance of fragmented QRS complex for predicting the risk of recurrent

cardiac events in patients with Q-wave myocardial infarction. Am J Cardiol.

2007;100(4):583-6.

24. Sheng QH, Hsu CC, Li JP, Hong T, Huo Y. Correlation between

fragmented QRS and the short-term prognosis of patients with acute

myocardial infarction. J Zhejiang Univ Sci B. 2014;15(1):67-74.

Page 86: KTA Erta Akhir.pdf

71

25. Das MK, Michael MA, Suradi H, Peng J, Sinha A, Shen C, et al. Usefulness

of fragmented QRS on a 12-lead electrocardiogram in acute coronary

syndrome for predicting mortality. Am J Cardiol. 2009;104(12):1631-7.

26. Guo R, Zhang J, Li Y, Xu Y, Tang K, Li W. Prognostic significance of

fragmented QRS in patients with non-ST elevation myocardial infarction:

results of a 1-year, single-center follow-up. Herz. 2012;37(7):789-95.

27. Lorgis L, Jourda F, Hachet O, Zeller M, Gudjoncik A, Dentan G, et al.

Prognostic value of fragmented QRS on a 12-lead ECG in patients with

acute myocardial infarction. Heart Lung. 2013;42(5):326-31.

28. Torigoe K, Tamura A, Kawano Y, Shinozaki K, Kotoku M, Kadota J. The

number of leads with fragmented QRS is independently associated with

cardiac death or hospitalization for heart failure in patients with prior

myocardial infarction. J Cardiol. 2012;59(1):36-41.

29. Guo R, Li Y, Xu Y, Tang K, Li W. Significance of fragmented QRS

complexes for identifying culprit lesions in patients with non-ST-elevation

myocardial infarction: a single-center, retrospective analysis of 183 cases.

BMC Cardiovasc Disord. 2012;12:44.

30. Kocaman SA, Cetin M, Kiris T, Erdogan T, Canga A, Durakoglugil E, et al.

The importance of fragmented QRS complexes in prediction of myocardial

infarction and reperfusion parameters in patients undergoing primary

percutaneous coronary intervention. Turk Kardiyol Dern Ars.

2012;40(3):213-22.

31. Cetin M, Kocaman SA, Kiris T, Erdogan T, Canga A, Durakoglugil ME, et

al. Absence and Resolution of Fragmented QRS Predict Reversible

Myocardial Ischemia With Higher Probability of ST Segment Resolution in

Patients With ST Segment Elevation Myocardial Infarction. Korean Circ J.

2012;42(10):674-83.

32. Erdem FH, Tavil Y, Yazici H, Aygul N, Abaci A, Boyaci B. Association of

fragmented QRS complex with myocardial reperfusion in acute ST-elevated

myocardial infarction. Ann Noninvasive Electrocardiol. 2013;18(1):69-74.

Page 87: KTA Erta Akhir.pdf

72

33. Wang DD, Buerkel DM, Corbett JR, Gurm HS. Fragmented QRS complex

has poor sensitivity in detecting myocardial scar. Ann Noninvasive

Electrocardiol. 2010;15(4):308-14.

34. Ahn MS, Kim JB, Yoo BS, Lee JW, Lee JH, Youn YJ, et al. Fragmented

QRS complexes are not hallmarks of myocardial injury as detected by

cardiac magnetic resonance imaging in patients with acute myocardial

infarction. Int J Cardiol. 2013;168(3):2008-13.

35. Tibrewala AV, Khan A, Ananthsubramaniam K. Is Fragmented QRS on

Surface Electrocardiogram a Reliable Correlate for Myocardial Scar on

SPECT or Anatomic Disease on Coronary Angiography? JACC Cardiovasc

Interv. 2011;57(14).

36. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). 2008.

37. Juwana YB, Wirianta J, Ottervanger JP, Dambrink JH, van 't Hof AW,

Gosselink AT, et al. Primary coronary intervention for ST-elevation

myocardial infarction in Indonesia and the Netherlands: a comparison. Neth

Heart J. 2009;17(11):418-21.

38. Cannon CP. Contemporary Diagnosis and management of the Acuter

Coronary Syndrome. Newtown, Pennsylvania, USA: Handbook in Health

Care Co.; 2007.

39. Jennings RB, Ganote CE. Structural changes in myocardium during acute

ischemia. Circ Res. 1974;35 Suppl 3:156-72.

40. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, Simoons ML, Chaitman BR, White HD, et

al. Third universal definition of myocardial infarction. Eur Heart J. 2012.

41. Tunstall-Pedoe H, Kuulasmaa K, Amouyel P, Arveiler D, Rajakangas AM,

Pajak A. Myocardial infarction and coronary deaths in the World Health

Organization MONICA Project. Registration procedures, event rates, and

case-fatality rates in 38 populations from 21 countries in four continents.

Circulation. 1994;90(1):583-612.

42. Panteghini M, Cuccia C, Bonetti G, Giubbini R, Pagani F, Bonini E. Single-

point cardiac troponin T at coronary care unit discharge after myocardial

Page 88: KTA Erta Akhir.pdf

73

infarction correlates with infarct size and ejection fraction. Clin Chem.

2002;48(9):1432-6.

43. Licka M, Zimmermann R, Zehelein J, Dengler TJ, Katus HA, Kubler W.

Troponin T concentrations 72 hours after myocardial infarction as a

serological estimate of infarct size. Heart. 2002;87(6):520-4.

44. Wagner GS, Macfarlane P, Wellens H, Josephson M, Gorgels A, Mirvis

DM, et al. AHA/ACCF/HRS recommendations for the standardization and

interpretation of the electrocardiogram: part VI: acute ischemia/infarction: a

scientific statement from the American Heart Association

Electrocardiography and Arrhythmias Committee, Council on Clinical

Cardiology; the American College of Cardiology Foundation; and the Heart

Rhythm Society: endorsed by the International Society for Computerized

Electrocardiology. Circulation. 2009;119(10):e262-70.

45. Khalill R, Han L, Jing C, Quan H. The use of risk scores for stratification of

non-ST elevation acute coronary syndrome patients. Exp Clin Cardiol.

2009;14(2):e25-30.

46. Granger CB, Goldberg RJ, Dabbous O, Pieper KS, Eagle KA, Cannon CP,

et al. Predictors of hospital mortality in the global registry of acute coronary

events. Arch Intern Med. 2003;163(19):2345-53.

47. Fox KA, Dabbous OH, Goldberg RJ, Pieper KS, Eagle KA, Van de Werf F,

et al. Prediction of risk of death and myocardial infarction in the six months

after presentation with acute coronary syndrome: prospective multinational

observational study (GRACE). BMJ. 2006;333(7578):1091.

48. Mehta SR, Granger CB, Boden WE, Steg PG, Bassand JP, Faxon DP, et al.

Early versus delayed invasive intervention in acute coronary syndromes. N

Engl J Med. 2009;360(21):2165-75.

49. Task Force on the management of STseamiotESoC, Steg PG, James SK,

Atar D, Badano LP, Blomstrom-Lundqvist C, et al. ESC Guidelines for the

management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-

segment elevation. Eur Heart J. 2012;33(20):2569-619.

Page 89: KTA Erta Akhir.pdf

74

50. Fox KA, Carruthers KF, Dunbar DR, Graham C, Manning JR, De Raedt H,

et al. Underestimated and under-recognized: the late consequences of acute

coronary syndrome (GRACE UK-Belgian Study). Eur Heart J.

2010;31(22):2755-64.

51. Khan SQ, Narayan H, Ng KH, Dhillon OS, Kelly D, Quinn P, et al. N-

terminal pro-B-type natriuretic peptide complements the GRACE risk score

in predicting early and late mortality following acute coronary syndrome.

Clin Sci (Lond). 2009;117(1):31-9.

52. Stavileci B, Cimci M, Ikitimur B, Barman HA, Ozcan S, Ataoglu E, et al.

Significance and Usefulness of Narrow Fragmented QRS Complex on 12-

Lead Electrocardiogram in Acute ST-Segment Elevation Myocardial

Infarction for Prediction of Early Mortality and Morbidity. Ann

Noninvasive Electrocardiol. 2014.

53. O'Rourke RA, Hochman JS, Cohen MC, Lucore CL, Popma JJ, Cannon CP.

New approaches to diagnosis and management of unstable angina and non-

ST-segment elevation myocardial infarction. Arch Intern Med.

2001;161(5):674-82.

54. Savonitto S, Fusco R, Granger CB, Cohen MG, Thompson TD, Ardissino

D, et al. Clinical, electrocardiographic, and biochemical data for immediate

risk stratification in acute coronary syndromes. Ann Noninvasive

Electrocardiol. 2001;6(1):64-77.

55. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute myocardial infarction:

collaborative overview of early mortality and major morbidity results from

all randomised trials of more than 1000 patients. Fibrinolytic Therapy

Trialists' (FTT) Collaborative Group. Lancet. 1994;343(8893):311-22.

56. Antman EM, Cohen M, Bernink PJ, McCabe CH, Horacek T, Papuchis G,

et al. The TIMI risk score for unstable angina/non-ST elevation MI: A

method for prognostication and therapeutic decision making. JAMA.

2000;284(7):835-42.

57. Kontos MC, Kurdziel KA, Ornato JP, Schmidt KL, Jesse RL, Tatum JL. A

nonischemic electrocardiogram does not always predict a small myocardial

Page 90: KTA Erta Akhir.pdf

75

infarction: results with acute myocardial perfusion imaging. Am Heart J.

2001;141(3):360-6.

58. Caceres L, Cooke D, Zalenski R, Rydman R, Lakier JB. Myocardial

infarction with an initially normal electrocardiogram--angiographic

findings. Clin Cardiol. 1995;18(10):563-8.

59. Cannon CP, McCabe CH, Stone PH, Rogers WJ, Schactman M, Thompson

BW, et al. The electrocardiogram predicts one-year outcome of patients

with unstable angina and non-Q wave myocardial infarction: results of the

TIMI III Registry ECG Ancillary Study. Thrombolysis in Myocardial

Ischemia. J Am Coll Cardiol. 1997;30(1):133-40.

60. Nyman I, Areskog M, Areskog NH, Swahn E, Wallentin L. Very early risk

stratification by electrocardiogram at rest in men with suspected unstable

coronary heart disease. The RISC Study Group. J Intern Med.

1993;234(3):293-301.

61. Holmvang L, Luscher MS, Clemmensen P, Thygesen K, Grande P. Very

early risk stratification using combined ECG and biochemical assessment in

patients with unstable coronary artery disease (A thrombin inhibition in

myocardial ischemia [TRIM] substudy). The TRIM Study Group.

Circulation. 1998;98(19):2004-9.

62. Hyde TA, French JK, Wong CK, Straznicky IT, Whitlock RM, White HD.

Four-year survival of patients with acute coronary syndromes without ST-

segment elevation and prognostic significance of 0.5-mm ST-segment

depression. Am J Cardiol. 1999;84(4):379-85.

63. Gorgels AP, Vos MA, Mulleneers R, de Zwaan C, Bar FW, Wellens HJ.

Value of the electrocardiogram in diagnosing the number of severely

narrowed coronary arteries in rest angina pectoris. Am J Cardiol.

1993;72(14):999-1003.

64. Schweitzer P, Keller S. The role of the initial 12-lead ECG in risk

stratification of patients with acute coronary syndrome. Bratisl Lek Listy.

2001;102(9):406-11.

Page 91: KTA Erta Akhir.pdf

76

65. de Zwaan C, Bar FW, Janssen JH, Cheriex EC, Dassen WR, Brugada P, et

al. Angiographic and clinical characteristics of patients with unstable angina

showing an ECG pattern indicating critical narrowing of the proximal LAD

coronary artery. Am Heart J. 1989;117(3):657-65.

66. Agarwal AK, Venugopalan P. Right bundle branch block: varying

electrocardiographic patterns. Aetiological correlation, mechanisms and

electrophysiology. Int J Cardiol. 1999;71(1):33-9.

67. Flowers NC, Horan LG, Wylds AC, Crawford W, Sridharan MR, Horan CP,

et al. Relation of peri-infarction block to ventricular late potentials in

patients with inferior wall myocardial infarction. Am J Cardiol.

1990;66(5):568-74.

68. Wiener I, Mindich B, Pitchon R. Fragmented endocardial electrical activity

in patients with ventricular tachycardia: a new guide to surgical therapy. Am

Heart J. 1984;107(1):86-90.

69. Stevenson WG, Soejima K. Catheter ablation for ventricular tachycardia.

Circulation. 2007;115(21):2750-60.

70. de Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, Tasseron S, Vermeulen JT, de

Jonge N, et al. Slow conduction in the infarcted human heart. 'Zigzag'

course of activation. Circulation. 1993;88(3):915-26.

71. de Bakker JM, van Capelle FJ, Janse MJ, Tasseron S, Vermeulen JT, de

Jonge N, et al. Fractionated electrograms in dilated cardiomyopathy: origin

and relation to abnormal conduction. J Am Coll Cardiol. 1996;27(5):1071-8.

72. el-Sherif N. The rsR' pattern in left surface leads in ventricular aneurysm. Br

Heart J. 1970;32(4):440-8.

73. Das MK, Saha C, El Masry H, Peng J, Dandamudi G, Mahenthiran J, et al.

Fragmented QRS on a 12-lead ECG: a predictor of mortality and cardiac

events in patients with coronary artery disease. Heart Rhythm.

2007;4(11):1385-92.

74. Ozdemir S, Tan YZ, Colkesen Y, Temiz A, Turker F, Akgoz S. Comparison

of fragmented QRS and myocardial perfusion-gated SPECT findings. Nucl

Med Commun. 2013;34(11):1107-15.

Page 92: KTA Erta Akhir.pdf

77

75. Tangcharoen T, Wiwatworapan W, Praserkulchai W, Apiyasawat S,

Yamwong S, Sritara P. Fragmented QRS on 12-lead EKG is an independent

predictor for myocardial scar: a cardiovascular magnetic resonance imaging

study. Journal of Cardiovascular Magnetic Resonance. 2013;15(1):192.

76. Das MK, Suradi H, Maskoun W, Michael MA, Shen C, Peng J, et al.

Fragmented wide QRS on a 12-lead ECG: a sign of myocardial scar and

poor prognosis. Circ Arrhythm Electrophysiol. 2008;1(4):258-68.

77. Das MK, Maskoun W, Shen C, Michael MA, Suradi H, Desai M, et al.

Fragmented QRS on twelve-lead electrocardiogram predicts arrhythmic

events in patients with ischemic and nonischemic cardiomyopathy. Heart

Rhythm. 2010;7(1):74-80.

78. Homsi M, Alsayed L, Safadi B, Mahenthiran J, Das MK. Fragmented QRS

complexes on 12-lead ECG: a marker of cardiac sarcoidosis as detected by

gadolinium cardiac magnetic resonance imaging. Ann Noninvasive

Electrocardiol. 2009;14(4):319-26.

79. Peters S, Trummel M, Koehler B. QRS fragmentation in standard ECG as a

diagnostic marker of arrhythmogenic right ventricular dysplasia-

cardiomyopathy. Heart Rhythm. 2008;5(10):1417-21.

80. Takagi M, Yokoyama Y, Aonuma K, Aihara N, Hiraoka M. Clinical

characteristics and risk stratification in symptomatic and asymptomatic

patients with brugada syndrome: multicenter study in Japan. J Cardiovasc

Electrophysiol. 2007;18(12):1244-51.

81. Priori SG, Gasparini M, Napolitano C, Della Bella P, Ottonelli AG, Sassone

B, et al. Risk stratification in Brugada syndrome: results of the PRELUDE

(PRogrammed ELectrical stimUlation preDictive valuE) registry. J Am Coll

Cardiol. 2012;59(1):37-45.

82. Antzelevitch C. Role of transmural dispersion of repolarization in the

genesis of drug-induced torsades de pointes. Heart Rhythm. 2005;2(2

Suppl):S9-15.

Page 93: KTA Erta Akhir.pdf

78

83. Haraoka K, Morita H, Saito Y, Toh N, Miyoshi T, Nishii N, et al.

Fragmented QRS is associated with torsades de pointes in patients with

acquired long QT syndrome. Heart Rhythm. 2010;7(12):1808-14.

84. Park SJ, On YK, Kim JS, Park SW, Yang JH, Jun TG, et al. Relation of

fragmented QRS complex to right ventricular fibrosis detected by late

gadolinium enhancement cardiac magnetic resonance in adults with repaired

tetralogy of fallot. Am J Cardiol. 2012;109(1):110-5.

85. Yuce M, Davutoglu V, Ozbala B, Ercan S, Kizilkan N, Akcay M, et al.

Fragmented QRS is predictive of myocardial dysfunction, pulmonary

hypertension and severity in mitral stenosis. Tohoku J Exp Med.

2010;220(4):279-83.

86. El-Menyar A, Zubaid M, AlMahmeed W, Sulaiman K, AlNabti A, Singh R,

et al. Killip classification in patients with acute coronary syndrome: insight

from a multicenter registry. Am J Emerg Med. 2012;30(1):97-103.

87. Akasheva DU. [Heart rate and acute coronary syndrome: crosslink

mechanisms and possibilities of drug intervention]. Kardiologiia.

2009;49(9):82-9.

88. Katsuki T, Saito M. [Killip and Forrester classifications of patients with

acute myocardial infarction]. Nihon Rinsho. 1994;52 Suppl(Pt 2):705-9.

89. Eagle KA, Lim MJ, Dabbous OH, Pieper KS, Goldberg RJ, Van de Werf F,

et al. A validated prediction model for all forms of acute coronary

syndrome: estimating the risk of 6-month postdischarge death in an

international registry. JAMA. 2004;291(22):2727-33.

90. Willems JL, Robles de Medina EO, Bernard R, Coumel P, Fisch C, Krikler

D, et al. Criteria for intraventricular conduction disturbances and pre-

excitation. World Health Organizational/International Society and

Federation for Cardiology Task Force Ad Hoc. J Am Coll Cardiol.

1985;5(6):1261-75.

91. Surawicz B, Gering LE, Knilans TK, Tavel ME. Chou’s

electrocardiography in clinical practice. 6'th ed. Philadelphia: Sounders

Elsevier; 2008.

Page 94: KTA Erta Akhir.pdf

79

92. Montalescot G, Dallongeville J, Van Belle E, Rouanet S, Baulac C,

Degrandsart A, et al. STEMI and NSTEMI: are they so different? 1 year

outcomes in acute myocardial infarction as defined by the ESC/ACC

definition (the OPERA registry). Eur Heart J. 2007;28(12):1409-17.

93. Lloyd-Jones DM, Larson MG, Beiser A, Levy D. Lifetime risk of

developing coronary heart disease. Lancet. 1999;353(9147):89-92.

94. Steingart RM, Packer M, Hamm P, Coglianese ME, Gersh B, Geltman EM,

et al. Sex differences in the management of coronary artery disease.

Survival and Ventricular Enlargement Investigators. N Engl J Med.

1991;325(4):226-30.

95. Ayanian JZ, Epstein AM. Differences in the use of procedures between

women and men hospitalized for coronary heart disease. N Engl J Med.

1991;325(4):221-5.

96. Nettleman MD, Banitt L, Barry W, Awan I, Gordon EE. Predictors of

survival and the role of gender in postoperative myocardial infarction. Am J

Med. 1997;103(5):357-62.

97. Marrugat J, Sala J, Masia R, Pavesi M, Sanz G, Valle V, et al. Mortality

differences between men and women following first myocardial infarction.

RESCATE Investigators. Recursos Empleados en el Sindrome Coronario

Agudo y Tiempo de Espera. JAMA. 1998;280(16):1405-9.

98. Shacham Y, Topilsky Y, Leshem-Rubinow E, Laufer-Perl M, Keren G,

Roth A, et al. Comparison of Left Ventricular Function Following First ST-

Segment Elevation Myocardial Infarction Treated With Primary

Percutaneous Coronary Intervention in Men Versus Women. Am J Cardiol.

2014;113(12):1941-6.

99. Kosen S, Hardjo H, Kadarmanto, Sinha DN, Palipudi KM, Wibisana W, et

al. Global Adult Tobacco Survey : Indonesia Report 2011. In: National

Institute of Health Research and Development MoH, editor. Jakarta2011.

100. Adedoyin RA, Afolabi A, Adegoke OO, Akintomide AO, Awotidebe TO.

Relationship between socioeconomic status and metabolic syndrome among

Nigerian adults. Diabetes Metab Syndr. 2013;7(2):91-4.

Page 95: KTA Erta Akhir.pdf

80

101. Ramsay SE, Whincup PH, Morris R, Lennon L, Wannamethee SG. Is

socioeconomic position related to the prevalence of metabolic syndrome?:

influence of social class across the life course in a population-based study of

older men. Diabetes Care. 2008;31(12):2380-2.

102. Kaplan GA, Keil JE. Socioeconomic factors and cardiovascular disease: a

review of the literature. Circulation. 1993;88(4 Pt 1):1973-98.

103. Luepker RV, Rosamond WD, Murphy R, Sprafka JM, Folsom AR,

McGovern PG, et al. Socioeconomic status and coronary heart disease risk

factor trends. The Minnesota Heart Survey. Circulation. 1993;88(5 Pt

1):2172-9.