92
Prologue I: The Ice in the Ocean Samudera Indonesia. Lepas pantai Yogyakarta Masa Kini. Sebuah kapal riset kelautan dan oceanografi terbaru milik TNI-AL, yaitu KRI Baruna berlayar dengan tenang untuk misi mengadakan riset dan pemetaan bawah air atas perairan di lepas pantai Yogyakarta hingga ke tapal batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dengan perairan bebas di Samudera Indonesia. Pekerjaan pemetaan ini amat penting mengingat lepas pantai selatan pulau Jawa diproyeksikan sebagai salah satu garis pertahanan pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia dari semua penyusupan maupun agresi dari pihak asing. KRI Baruna merupakan kapal riset yang merupakan hasil produksi bersama antara Norwegia dengan Korea Selatan, dan merupakan salah satu jenis kapal riset terbaik dan termodern di dunia. Indonesia merupakan konsumen keempat dari kapal ini setelah Norwegia, Korea Selatan, dan Belanda. Oleh Korea Selatan, kapal ini dinamakan sebagai dinamakan sebagai kapal riset lepas-pantai kelas Cheomseongdae, dan dipersenjatai secara mandiri dengan CIWS dan ranjau laut, karena kelas Cheomseongdae bertugas juga untuk melakukan antisipasi atas jalur- jalur infiltrasi kapal-kapal selam mini Korea Utara. Dan varian dari Korea Selatan-lah yang dibeli oleh Indonesia sebanyak dua kapal yang lalu diberi nama KRI Baruna dan KRI Jalanidhi, masing-masing akan ditempatkan Armada Barat dan Armada Timur. Memimpin di atas KRI Baruna adalah Laksda. Adiasa Giovanco, yang juga menjabat sebagai kepala bagian riset kelautan TNI-AL. Seorang kelasi dengan cekatan membawa sebuah nampan berisi sepoci teh hangat lengkap dengan semua pelengkapnya, melalui koridor-koridor sempit kapal dari galley menuju ke teras di depan anjungan. Matahari bersinar dengan cerah pada hari itu dan laut pun sedang dalam keadaan bersahabat, membuat misi pelayaran itu bagaikan pesiar saja. Sebuah meja sudah digelar pada teras anjungan itu, dan Laksda. Adiasa serta nakhoda KRI Baruna, Kolonel Martinus Laina duduk berhadapan pada meja itu dengan sebuah papan catur magnetik digelar di atasnya. Kemudi untuk saat ini dipasrahkan kepada Mualim Satu, Mayor Andoni Zubizarreta Siregar, dan kapal pun melaju mulus di atas ombak ramah. Bahkan saking indahnya hari ini, Laksda. Adiasa memerintahkan semua

Ksatria Pertama

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Cerita Bersambung Dari Agan Stuka Formil Kaskus

Citation preview

Page 1: Ksatria Pertama

Prologue I: The Ice in the Ocean

Samudera Indonesia.Lepas pantai YogyakartaMasa Kini.

Sebuah kapal riset kelautan dan oceanografi terbaru milik TNI-AL, yaitu KRI Baruna berlayar dengan tenang untuk misi mengadakan riset dan pemetaan bawah air atas perairan di lepas pantai Yogyakarta hingga ke tapal batas Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dengan perairan bebas di Samudera Indonesia. Pekerjaan pemetaan ini amat penting mengingat lepas pantai selatan pulau Jawa diproyeksikan sebagai salah satu garis pertahanan pertama Negara Kesatuan Republik Indonesia dari semua penyusupan maupun agresi dari pihak asing.

KRI Baruna merupakan kapal riset yang merupakan hasil produksi bersama antara Norwegia dengan Korea Selatan, dan merupakan salah satu jenis kapal riset terbaik dan termodern di dunia. Indonesia merupakan konsumen keempat dari kapal ini setelah Norwegia, Korea Selatan, dan Belanda. Oleh Korea Selatan, kapal ini dinamakan sebagai dinamakan sebagai kapal riset lepas-pantai kelas Cheomseongdae, dan dipersenjatai secara mandiri dengan CIWS dan ranjau laut, karena kelas Cheomseongdae bertugas juga untuk melakukan antisipasi atas jalur-jalur infiltrasi kapal-kapal selam mini Korea Utara. Dan varian dari Korea Selatan-lah yang dibeli oleh Indonesia sebanyak dua kapal yang lalu diberi nama KRI Baruna dan KRI Jalanidhi, masing-masing akan ditempatkan Armada Barat dan Armada Timur. Memimpin di atas KRI Baruna adalah Laksda. Adiasa Giovanco, yang juga menjabat sebagai kepala bagian riset kelautan TNI-AL.

Seorang kelasi dengan cekatan membawa sebuah nampan berisi sepoci teh hangat lengkap dengan semua pelengkapnya, melalui koridor-koridor sempit kapal dari galley menuju ke teras di depan anjungan. Matahari bersinar dengan cerah pada hari itu dan laut pun sedang dalam keadaan bersahabat, membuat misi pelayaran itu bagaikan pesiar saja. Sebuah meja sudah digelar pada teras anjungan itu, dan Laksda. Adiasa serta nakhoda KRI Baruna, Kolonel Martinus Laina duduk berhadapan pada meja itu dengan sebuah papan catur magnetik digelar di atasnya. Kemudi untuk saat ini dipasrahkan kepada Mualim Satu, Mayor Andoni Zubizarreta Siregar, dan kapal pun melaju mulus di atas ombak ramah. Bahkan saking indahnya hari ini, Laksda. Adiasa memerintahkan semua awak kapal yang tak bertugas jaga untuk bersantai dan menikmati hari ini, walau tanpa mengendurkan kewaspadaan.

Sontak beberapa awak kapal terlihat sudah tersebar di berbagai tempat di geladak kapal. Paling umum adalah memancing atau hanya duduk-duduk saja di dekat haluan atau sisi kapal. Tapi sebagian besar awak terpusat pada geladak helikopter di belakang yang memang berukuran besar, karena entah siapa yang punya ide, awak kapal sepakat untuk mengadakan pertandingan futsal kelas tarkam di sana. Walau jaring pelindung sudah dinaikkan, tetap saja ada satu dua kejadian bola ditendang terlalu keras sehingga jatuh ke laut. Pertandingan futsal ini pun menjadi hiburan bagi para awak kapal riset ini yang jumlahnya hampir mencapai 300 orang.

Page 2: Ksatria Pertama

Kapal KRI Baruna memang kapal yang cukup besar, bahkan kapal ini menjadi kapal terbesar di kalangan Satuan Kapal Bantu. Ini wajar, karena bentuk aslinya, yaitu kapal kelas Cheomseongdae selain dipakai sebagai kapal riset all-for-one juga dipakai sebagai kapal dengan kemampuan kombat terbatas. Buritannya memiliki geladak helikopter yang cukup untuk menampung 2 helikopter dari kelas NBell-412, serta memiliki hanggar untuk menaungi satu helikopter lagi. Aslinya di kelas Cheomseongdae memiliki hanggar yang cukup untuk menaungi dua helikopter, tapi TNI-AL sengaja mengurangi kapasitas hanggar dan menggantinya dengan ruangan penyimpan kapal selam mini. Bergerak ke lambung, kapal Cheomseongdae/Baruna juga dilengkapi dengan berbagai macam laboratorium yang membuatnya bisa melakukan berbagai macam riset, mulai dari pemetaan, oceanologi, geologi, toksikologi, hingga laboratorium untuk biota laut. Selain itu ada beberapa ruang yang digunakan sebagai tempat rekreasi awak kapal yang lebih variatif daripada KRI biasa, karena proyeksi penggunaannya memang bukan eksklusif hanya untuk TNI-AL semata, tapi bisa dipinjamkan kepada instansi sipil lain yang membutuhkan. Perbedaan pun terlihat kembali pada bagian lambung, karena KRI Baruna tak memiliki rel pelepas ranjau serta ruang penyimpan ranjau laut yang dimiliki oleh Cheomseongdae, yang digantikan oleh ruang penyimpan dan pengendali drone selam atau Unmanned Submersible Vehicle (USV), yaitu dari jenis TIRAM-III yang dilengkapi alat seperti las bawah air, tang, dan juga pemotong untuk keperluan penyelidikan reruntuk kapal.

Keistimewaan dari kapal ini adalah adanya stasiun cuaca di aft-structure dan stasiun satelit yang terhubung langsung dengan satelit komunikasi dan cuaca, membuat kapal ini bisa melaksanakan berbagai macam riset yang bervariasi. Juga satu fitur istimewa lain adalah penggunaan sensor bawah air yang berbasis LIDAR atau Light Detection and Ranging di samping sonar dan ekolokasi yang lebih umum. LIDAR yang berbasis sinar laser ini bisa membuat pemetaan topografi bawah air secara tiga dimensi yang lebih teliti dari sekadar sonar biasa. Oleh Korea Selatan, sensor LIDAR inilah yang diandalkan untuk melacak jalur-jalur infiltrasi kapal selam mini Korea Utara, dan menentukan posisi pemasangan ranjau yang tepat, di samping juga bisa untuk mengetahui posisi-posisi mana saja di perairan yang dipasang ranjau oleh Korea Utara; walau Cheomseongdae sendiri tak punya kapabilitas untuk menyapu ranjau. Satu-satunya yang menegaskan bahwa ini adalah kapal militer adalah dengan adanya dua CIWS Phalanx 20mm yang disuplai oleh beberapa titik sarang kanon otomatis baik dari Oerlikon 20mm atau mitraliur Browning 12,7mm. Penggunaan senjata ini juga berbeda pada KRI Baruna, karena pada Phalanx di bagian haluan, TNI-AL menggantinya dengan senjata FH-2000 yang berbasis kanon otomatis S-60 57mm dan 6 peluncur rudal antipesawat QW-3, dan pada Phalanx bagian buritan menggunakan CIWS buatan lokal, Bramasthra Mark-III 20mm, serta beberapa titik sarang mitraliur SMB-QCB .50 cal.

Satu-satunya awak yang bersiaga di hari yang indah ini hanyalah awak pada bagian anjungan dan bagian pemetaan bawah air. Misi pemetaan bawah air ini memang misi istimewa, karena termasuk dalam Operasi Indonesia Satu yang bertujuan untuk menetapkan perimeter pertahanan terluar Indonesia terhadap serangan dari elemen-elemen asing. KRI Baruna dan KRI Jalanidhi sebagai ujung tombak terbaru tentu dikerahkan untuk Operasi ini bersama dengan KRI yang lainnya. Saat ini juga, KRI Jalanidhi tengah melakukan misi serupa namun di wilayah Laut Sulawesi. Namun keistimewaan untuk KRI Baruna adalah bahwa ini merupakan misi

Page 3: Ksatria Pertama

pemetaan bawah air pertamanya, sementara KRI Jalanidhi pernah melakukan hal serupa pada Laut Arafuru dan Selat Ombai. Selama ini, KRI Baruna “baru” mendapatkan misi untuk penelitian atas sesar Mediterania di lepas pantai timur Sumatera, dan penyelidikan aktivitas vulkanis Anak Gunung Krakatau di Selat Sunda.

“Skak,” kata Laksda. Adiasa sambil tersenyum ketika memindahkan kuda putihnya untuk memakan benteng hitam.“Tidak secepat itu, Laksamana,” kata Kol. Laina balas tersenyum sambil menggerakkan gajah raja-nya dan memakan kuda yang baru melakukan skak tadi.

Senyum Laksda. Adiasa sedikit berkurang karena kini posisi gajah Kol. Laina bisa mengancam kedudukan menteri milik Laksda. Adiasa. Bila ditambah dengan fakta bahwa Kol. Laina masih memiliki satu benteng yang bebas, artinya skema Pembelaan Petroff yang digelar oleh Laksda. Adiasa terancam dilibas oleh permainan Gambit Menteri milik Kol. Laina. Andai hari ini tak begitu indah, mungkin raut muka Laksda. Adiasa akan lebih masam lagi.

Sementara itu, jauh dari keriuhan keceriaan di luar, para awak di bagian pemetaan bekerja dengan amat serius. Mereka tak mau ada satupun bentang alam bawah air yang luput untuk dipetakan. Untuk itu, maka sensor LIDAR dan sonar digunakan secara simultan untuk memberikan gambaran lengkap mengenai keadaan di bawah laut. Semua awak yang bertugas di sini amat yakin dengan kemampuan LIDAR ini, mereka menyamakannya dengan sebuah senjata ampuh yang bisa mengalahkan semua tantangan, keyakinan diri yang juga terdapat pada perwira berwenang di sini, Let. Muhammad Raffido. Sejujurnya bagi awak di bagian pemetaan, ini adalah saat yang menjemukan, karena pada saat semua rekan mereka bisa bersantai, mereka justru dituntut harus serius untuk bekerja. Namun semua melakukan ini dengan penuh dedikasi karena mereka yakin bahwa apa yang mereka lakukan pada hari ini akan berguna untuk hari-hari ke depan. Tak ada yang tahu bahwa sebuah hari yang tenang akan segera dipecahkan oleh kehebohan luar biasa.

Sebuah nada peringatan indikasi tiba-tiba berbunyi, asalnya dari stasiun LIDAR. Ini tentu saja membuat Pratu. Rudy Toruan yang bertugas di sana agak keheranan, lebih tepatnya, ada sesuatu yang tertangkap oleh LIDAR itu yang membuatnya terheran-heran. Untuk memastikannya, dia beberapa kali mengubah setelan LIDAR, tapi hasilnya tetap sama. Adanya nada peringatan ini akhirnya menarik perhatian dari Let. Raffido.

“Ada apa?” tanya Let. Raffido.“LIDAR menangkap sesuatu yang aneh, Pak,” kata Pratu. Toruan, “mungkin aku salah, tapi seharusnya hal ini mustahil terjadi, apalagi di sini,”“Apa bagian sonar juga menangkap hal yang sama?” tanya Let. Raffido.“Kurang lebih, Pak, apa pada sektor Alpha-Sierra-3-2-8?” tanya Pratu. Alvian Prakoso pada stasiun sonar.“Benar, sektor Alpha-Sierra-3-2-8,” kata Pratu. Toruan.“Kalau begitu aku setuju, itu memang cukup aneh,” kata Pratu. Prakoso, “mengingat kita bisa menemukan ‘itu’ di sini,”

Page 4: Ksatria Pertama

Penasaran, Let. Raffido kemudian menuju ke stasiun master yang memberi risalah dari semua hasil pengamatan, baik dari LIDAR, sonar, maupun yang lain. Hasil itu, sekali lagi membuat Let. Raffido terdiam dengan pandangan mata tak percaya. Dia pun mengamini pendapat Pratu. Toruan dan Pratu. Prakoso, mustahil hasil pembacaan ini bisa benar karena di titik ini, apa yang ditemukan memang cukup aneh.

“Kunci koordinatnya, lalu berikan laporan tertulisnya,” kata Let. Raffido, “aku akan melapor pada Kapten,”

Dengan cepat laporan tercetak pun diberikan, dan Let. Raffido langsung menyambarnya dan meninggalkan ruangan untuk segera memberikan laporan ini kepada nakhoda kapal, Laksda. Adiasa. Beberapa ABK yang dilewatinya di selasar kapal tampak heran dengan tampang Let. Raffido yang tegang dan langkahnya yang agak terburu-buru, seolah baru saja melihat hantu. Tapi bisa jadi apa yang dia lihat memang hantu, hanya saja hantu apakah?

Laksda. Adiasa, yang sejenak menghentikan permainan caturnya dengan Kol. Laina, tampak mengernyitkan dahi membaca laporan Let. Raffido. Beberapa kali pandangannya beralih dari wajah Let. Raffido ke laporan yang dia baca, seolah berharap bahwa Let. Raffido sedang bercanda, tapi wajah serius dan tegang Let. Raffido justru mengindikasikan hal yang sebaliknya.

“Tapi ini tidak mungkin, Letnan,” kata Laksda. Adiasa, “tidak mungkin bisa ditemukan di sini, kita bahkan belum meninggalkan landas kontinen,”“Saya tahu, Pak,” kata Let. Raffido, “sudah kami coba mengkalibrasikan berkali-kali dan hasilnya tetap sama, ada gumpalan es yang ditemukan di dasar samudra,”“Ini adalah perairan hangat, es seharusnya baru bisa ditemukan setelah jauh ke selatan, dan pastinya bukan pada musim sekarang ini, saat belahan bumi selatan sedang mengalami musim panas,” kata Laksda. Adiaksa.“Bagaimana dengan kemungkinan arus dingin dari Kutub Selatan untuk mencapai tempat ini?” tanya Kol. Laina.“Terlalu jauh,” kata Laksda. Adiaksa, “lagipula arus dingin dari Kutub Selatan semata tak akan cukup untuk mempertahankan es di dasar samudra dari perairan yang cukup dekat dengan khatulistiwa,”“Kalau ini bukan sebuah keanehan alami, pasti ada sesuatu yang ganjil,” kata Kol. Laina.“Aku setuju, Kolonel,” kata Laksda. Adiaksa, “ditambah lagi bila mengingat jaraknya cukup dekat dengan pesisir selatan Jawa,”“Mungkinkah ini reruntuk dari kapal selam KRI Antasena yang tenggelam beberapa waktu lalu?” tanya Kol. Laina.“Tidak mungkin, tempat tenggelamnya KRI Antasena masih ribuan mil dari sini,” kata Laksda. Adiasa, “sebaiknya aku melihat langsung, kau tak keberatan kalau permainan ini ditunda sejenak, ‘kan?”“Tidak, kita bisa lanjutkan kapan saja,” kata Kol. Laina, “lagipula aku akan tetap menang,”“Baiklah, Kolonel, ayo ikut aku ke ruang pemetaan,” kata Laksda. Adiasa sambil bangkit dan mengenakan kembali topinya.

Page 5: Ksatria Pertama

Saat Laksda. Adiasa bersama Kol. Laina dan Let. Raffido kembali memasuki ruang pemetaan, suasana di sana sudah lumayan ramai karena semua orang kali ini berusaha sebaik-baiknya untuk melacak penemuan bidang es yang tidak seharusnya ada di perairan ini.

“Bagaimana statusnya?” tanya Laksda. Adiasa.“Lapor, Pak, kami sedang berusaha mengukur luas bidang esnya,” kata Pratu. Toruan.“Berapa luas wilayah yang ditutup oleh es?” tanya Laksda. Adiasa.“Untuk ukuran ini lumayan kecil, Pak,” kata Pratu. Toruan, “kami masih menunggu proses pemindaian yang lengkap, tetapi aku bisa memberikan gambaran kasar LIDAR mengenai dimensi bidang es itu,”“Kalau begitu tampilkan,” kata Laksda. Adiasa.

Pratu. Toruan mengangguk kemudian menekan beberapa tombol untuk memproyeksikan gambaran LIDAR atas bidang es pada layar besar. Perlahan-lahan, di layar itu muncul tampilan mirip synthesizer beraneka warna yang menunjukkan kedalaman dari bidang tersebut. Walau tampak agak ruwet, tapi semua bisa melihat bahwa bidang itu membentuk suatu bidang bulat yang cukup sempurna dengan kedalaman yang tak begitu tinggi. Saat semua orang masih bingung dengan dimensi benda yang terpindai ini, Laksda. Adiasa tampak terbelalak seolah dia baru saja melihat hantu, melihat sesuatu yang seharusnya sudah lama tidak ada dan sekarang muncul begitu saja di hadapan matanya.

“Cepat, hubungi Jakarta,” kata Laksda. Adiasa, “minta perintah dari markas besar TNI AL segera,”

Hari yang semula tenang pun mendadak pecah dan keriuhan melanda seluruh KRI Baruna. Tanpa terlebih dulu memberitahukan alasannya kepada semua awak kapal, KRI Baruna segera buang sauh dan menghentikan misi mereka. Hanya awak di ruang pemetaan saja yang tahu apa yang sebenarnya terjadi, sementara awak lain tampak bertanya-tanya, apakah tengah terjadi sesuatu yang tak biasa?

Enam jam kemudian

Sebuah helikopter muncul dari balik cakrawala, bersamaan dengan matahari yang sedang tergelincir ke ufuk barat. Sudah enam jam lamanya KRI Baruna berada dalam posisi siaga, dan selama itu pula kebingunan melanda seluruh awak KRI Baruna, karena tak ada satu pun perwira yang mau memberi tahu alasan kenapa mereka berhenti dan bersiaga di sini. Apa yang sebenarnya terjadi? Lalu siapa pula yang akan datang memakai helikopter ini? Pertanyaan yang wajar, karena helikopter yang datang ini tak memakai warna kelabu TNI-AL, hijau TNI-AD, ataupun putih TNI-AU. Alih-alih, helikopter jenis Bell-412 yang muncul ini berwarna hitam legam dan nyaris tanpa tanda pengenal apa pun selain roundel segi lima merah putih.

Dengan suasana yang penuh misteri, helikopter Bell-412 ini pun mendarat di helipad KRI Baruna. Bahkan petugas taxi pun bingung dengan apa yang dilakukan oleh helikopter tanpa tanda pengenal ini. Pendek kata, semua orang masih bertanya-tanya dengan semua kejadian yang terasa amat aneh ini. Tanpa

Page 6: Ksatria Pertama

menunggu rotor berhenti sempurna, pintu di helikopter terbuka, dan dua orang pun turun dari sana, yang pertama turun adalah seorang pria, dan setelah itu diikuti oleh seorang wanita. Si pria ini dikenali sebagai kepala badan intelijen, Hafryn Rahman, sementara wanita di belakangnya, tampak berusaha untuk tetap low-profile dengan pakaian biasa, kacamata lebar, dan rambut ikalnya, dikenali sebagai Maria Elizabeth Aresti, salah satu wakil dari Hafryn Rahman. Laksda. Adiasa pun segera menyambut kehadiran dua orang tamu penting ini.

“Laksamana, aku ingin melihat temuanmu,” kata Hafryn tanpa basa-basi.“Sekarang, Pak?” tanya Laksda. Adiasa.“Ya, aku terbang langsung dari Jakarta karena mendengar soal ini,” kata Hafryn.“Saya tak menyangka bahwa kepala badan intelijen langsung yang datang,” kata Laksda. Adiasa, “kenapa tidak ada perintah dari Mabes AL?”“Sampai ada kejelasan dari status kasus ini, aku sudah minta kepada semua Angkatan untuk menyerahkan semua ini kepada Intelijen, jadi untuk saat ini, kapal KRI Baruna ada di bawah komandoku langsung, kuharap kau tak keberatan,” kata Hafryn, “Presiden, Panglima TNI, dan kepala staf TNI-AL sudah setuju untuk ini,”“Tentu saja, Pak,” kata Laksda. Adiasa, “hanya saja saya tak menyangka masalah ini bisa menjadi seserius ini,”“Bila memang benar, maka ini lebih serius daripada yang kita duga,” tanya Hafryn, “sekarang di mana ruang pemetaannya?”“Ikut saya, Pak,” kata Laksda. Adiasa.

Laksda. Adiasa pun memimpin jalan, sementara Hafryn berbalik pada Maria.

“Perhatikan ini baik-baik, Maria, bila memang benar, ini akan menjadi tanggung jawabmu,” kata Hafryn.

Maria tidak menjawab, hanya mengangguk saja. Entahlah antara pembawaannya memang sependiam itu, atau dia memang harus diam atas perintah.

Tak beberapa lama, mereka pun sampai di ruang pemetaan. Pemindaian lengkap sudah selesai dilakukan, dan kini wujud grafis bidang es misterius itu tampak lebih jelas dan detail. Mirip sebuah kubah cakram kecil, dan cukup aneh karena hanya bagian kubah itu saja yang diliputi es, sementara sekitar-sekitarnya tidak terpengaruh.

“Saya sudah meluncurkan TIRAM untuk pengamatan langsung di bawah laut,” kata Laksda. Adiasa, “terlalu dalam untuk mengirimkan penyelam, dan sebentar lagi kamera TIRAM akan bisa menangkap gumpalan es misterius itu,”“Usahakan jangan merusak kecuali kuperintahkan,” kata Hafryn, “saat ini juga KRI Sangkuriang telah dipersiapkan, seandainya kita harus mengangkat benda itu,”“KRI Sangkuriang juga turut serta?” tanya Laksda. Adiasa dengan heran.“Hanya bila diperlukan,” kata Hafryn.

KRI Sangkuriang adalah kapal jenis salvager yang memiliki kemampuan untuk mengangkat reruntuk kapal di bawah laut. Seperti halnya KRI Baruna, kapal ini pun buatan Korea Selatan, tepatnya masih satu kelas dengan kapal marine-rescue milik Daehanminguk Haegun (Angkatan Laut Korea Selatan), yaitu ROKS Cheonghaejin, namun dengan spek yang khusus sebagai permintaan TNI-AL. Dikerahkannya juga

Page 7: Ksatria Pertama

KRI Sangkuriang, bagi Laksda. Adiasa sudah menjadi tanda jelas bahwa apa pun yang ada di bawah sana pastilah amat penting, setidaknya bagi Intelijen yang tampaknya amat menginginkannya.

“Kita sudah sampai di gumpalan es itu!” teriak operator TIRAM.“Tampilkan di layar,” kata Laksda. Adiasa.

Layar utama pun berganti dari gambaran detail LIDAR menjadi feed langsung yang dilihat oleh TIRAM. Dengan kamera resolusi tinggi yang dimilikinya, TIRAM bisa menampilkan gambar dengan tingkat kecerahan dan kontras yang bagus dari bidang es misterius itu. Dalam samar-samar beningnya es, terlihat bahwa di dalam es itu terdapat sebuah benda ellipsis berwarna gelap, dan tampaknya bentuk bidang es ini mengikuti bentuk benda yang ditutupinya. Sayangnya dari balik tudung es terlalu kabur untuk bisa dilihat dengan lebih jelas benda apa yang sebenarnya ada di sana.

“Laskamana, TIRAM ini punya sejenis alat pemotong, bukan?” tanya Hafryn.“Ya, Pak, semacam las laser untuk pekerjaan bawah air,” kata Laksda. Adiasa.

Hafryn mengangguk kemudian berjalan mendekati layar utama. Maria masih terus mengamati semua gerak-gerik Hafryn, dalam otaknya dia mencatat segala sesuatunya. Sambil mengamati, Hafryn menunjuk satu titik pada layar.

“Tolong potong pada bagian ini, tak perlu besar-besar, cukup sampai kita bisa melihat apa yang ada di baliknya,” kata Hafryn.

Operator TIRAM melihat ke arah Laksda. Adiasa. Tampaknya ide bahwa dia mendapat perintah dari Hafryn, seseorang di luar AL, masih cukup asing baginya. Laksda. Adiasa hanya mengangguk saja, secara halus meminta supaya perintah Hafryn dituruti. Lagi pula seperti dikatakan, saat ini KRI Baruna berada di bawah komandonya.

Dengan cekatan, operator TIRAM menggerakkan TIRAM untuk melakukan pemotongan pada bagian yang ditunjuk oleh Hafryn. Sementara Hafryn sendiri mengawasi dengan ketat, dia sepertinya ingin potongan itu dilakukan sesempurna mungkin sebagaimana yang dia inginkan. Butuh satu jam sebelum akhirnya Hafryn memerintahkan pemotongan dihentikan, dan saat itu TIRAM sudah berhasil mempenetrasi setidaknya hingga 30 cm masuk ke dalam es. Es itu sendiri di luar dugaan cukup sulit untuk dipotong, sehingga tak begitu mirip memotong es, lebih seperti memotong logam ringan. Kamera TIRAM pun segera diarahkan untuk melihat melalui lubang yang dibuat, tempat di mana es yang tipis membuat bayangan yang ada di baliknya lebih jelas. Ditambah lagi, TIRAM menyalakan semua lampu sorotnya sehingga bagian di balik es lebih jelas terlihat.

“Astaga,” kata Hafryn begitu mengenali apa yang ada di balik es itu. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala saja sambil berdecak mendesah.

“Maria, segera hubungi Presiden,” kata Hafryn, “minta otorisasi atas ‘Inisiatif K’, dengan rekomendasi pengaktifan dengan segera,”“Baik, Pak,” kata Maria, kata pertama yang dia ucapkan semenjak naik ke kapal ini.

Page 8: Ksatria Pertama

“Dan seperti kubilang sebelumnya, mulai sekarang ini adalah tanggung jawabmu,” kata Hafryn.“Baik, Pak, tapi apa yang harus kukatakan pada Presiden?” tanya Maria.“Katakan bahwa ‘Yang Pertama’ telah ditemukan,” kata Hafryn.

Maria mengangguk dengan agak gemetaran. Sementara itu di layar utama memperlihatkan apa yang baru saja dilihat oleh Hafryn. Pada dinding benda yang cukup besar itu, sebuah lambang yang telah lama tak dilihat oleh dunia: Swastika raksasa! Namun bukan hanya lambang itu yang ada di sana. Tampak ada semacam struktur mirip jendela di sana, tapi bukan seperti jendela bangunan, lebih mirip jendela kendaraan. Yang agak mencolok adalah di balik jendela itu, walau agak kurang jelas, ada benda bundar warna merah dan putih dengan lambang matahari bersegi delapan warna emas di atasnya. Dan mata Maria, kini memandang lekat pada benda berlambang matahari itu.

“Bagaskara manjing kawuryan,” gumam Maria Aresti nyaris tak kentara.Prologue II: Night Before Market Garden

16 September 1944Luar kota Arnhem, BelandaDaerah Pendudukan Jerman23:29 GMT

Malam yang sepi di Belanda terobek oleh suara satu wing pesawat pembom malam Avro Lancaster milik Grup Bomber ke-3 Royal Air Force. Semua pesawat memakai warna cokelat kehitaman dengan strip hitam putih Normandia pada kedua sayap masing-masing, dan roundel lingkaran merah di dalam lingkaran biru. Cuaca malam itu cerah, sedikit banyak memberi harapan bahwa penerbangan akan berlangsung secara mulus, ditambah lagi dengan fakta bahwa pengeboman Sekutu yang bertubi-tubi telah melemahkan kekuatan pertahanan udara Jerman di Belanda. Plus kekuatan pesawat tempur malam Luftwaffe yang pada awal perang menjadi momok bagi bomber-bomber malam Inggris kini telah berhasil dipatahkan seiring dengan semakin melemahnya penguasaan Luftwaffe atas langit Eropa pasca pendaratan di Normandia. Terbukti, semenjak meninggalkan Inggris beberapa jam lalu, belum ada sambutan dari pihak musuh, baik yang berupa serangan flak maupun cegatan pesawat pemburu.

Malam ini cukup istimewa, karena besok paginya, pada tanggal 17 September 1944, Sekutu akan mengadakan salah satu operasi lintas udara terbesar sepanjang perang setelah Operasi Mercury yang digelar oleh pasukan Fallschrimjager Jerman dalam merebut Kreta pada tahun 1941 silam. Nama operasi ini adalah Market Garden, yang merupakan buah pikiran dari commander-in-chief pasukan Inggris, Field Marshall Bernard Law Montgomery, orang yang sama yang pada 2 tahun lalu telah mengalahkan salah satu jenderal terbesar Jerman, Erwin Rommel, di El Alamein, Mesir. Market Garden juga akan menjadi operasi lintas udara terbesar Sekutu pasca pendaratan di Normandia, dengan tujuan ambisius untuk memenangkan perang sebelum Natal 1944. Bila berhasil, maka akan terbuka jalur langsung menembus Rhein dan mengepung wilayah industri Jerman di lembah

Page 9: Ksatria Pertama

sungai Ruhr, mematikan pasokan logistik perang Jerman, dan membuka pintu langsung menuju Berlin tanpa harus menabrakkan diri ke Siegfried Line Jerman yang membentang dari Kleve di perbatasan Belanda hingga ke Weil Am Rhein di perbatasan Swiss.

Tapi dalam grup pembom ini, ada satu bomber yang istimewa, karena di belakangnya, dia menarik sebuah pesawat layang Waco CG-4A dengan roundel Army Air Force Amerika Serikat. Walau beberapa tahun belakangan ini Inggris dan Amerika Serikat sudah bertempur bersama melawan Jerman, namun ditariknya sebuah glider Amerika Serikat oleh bomber Inggris jelas merupakan sesuatu yang baru. Antara 8th Air Force Amerika Serikat pimpinan Carl Spaatz dan Bomber Command Inggris pimpinan Arthur Harris memang memiliki rantai komando yang terpisah. Namun, Waco CG-4S ini tidak ikut dalam rangka “memeriahkan” Operasi Market Garden, karena misi mereka sendiri amat lain dan tak kalah penting.

15 orang yang dibawa oleh pesawat CG-4A bernomor X-044 dipimpin oleh seorang veteran sekaligus pilot, yaitu Letnan Kirk Hammett, dari 323rd Glider Infantry Regiment 82nd Airborne. Lt. Hammet mungkin adalah satu-satunya orang dalam peleton kecil ini yang tahu ke mana mereka akan dibawa. Disebut veteran karena Lt. Hammett sudah pernah melaksanakan misi serupa ketika di Anzio dan Palermo. Dan datangnya misi ini juga bukan dari komando 82nd Airborne, melainkan dari OSS, badan yang menjalankan peran intelijen sepanjang Perang.

Dari 14 belas orang yang bersama Let. Hammett, hanya 4 orang saja yang juga pernah terjun bersamanya di Anzio dan Palermo, yaitu wakilnya merangkap kopilot, Technical Sergeant John D “Johnny” Kowalski, gunner Sergeant James McClusky, medik T4C Herman Welsh, dan penembak jitu PFC George Running Black Steed yang juga seorang berdarah Lakota. Lima orang lagi ikut hanya di Anzio, yaitu PFC Alfred Rizzotti, PFC Santino Marquez, PFC William “Billy” Jackson, PFC Anthony “Ratty” Herzog, dan PFC Ira Carlton. Sisanya adalah rekrutan baru yang dia dapatkan di Inggris, PSC Patrick Willis, PSC Tommy Loomis, PSC Jason Slime, PSC Carlos de Santis dan seorang liaison dari British 1st Para, Lance Corporal Lionel Casterman. Adanya LCp. Casterman yang berdarah Belgia ini cukup penting karena dia adalah satu-satunya personel di regu ini yang bisa berbahasa Belanda, dan beberapa bulan terakhir telah menjalin kontak dengan pihak Gerakan Perlawanan Belanda.

Tak ada suara celotehan dari orang-orang di sini, hanya deru mesin pesawat yang terdengar memekakkan. Memang Waco CG-4A, sebagai sebuah pesawat layang, tidak memiliki mesin. Namun bunyi memekakkan ini terdengar dari grup Lancaster yang terbang di kiri dan kanan mereka. Dengan masing-masing pesawat memiliki 4 mesin, tentu terbang di antara formasi ini menjadi pengalaman yang cukup bising, bahkan mendengar orang di sebelah berbicara pun susah. Oleh karena itu, orang-orang di sana, kecuali pilot dan kopilot memilih untuk tidur, walau di tengah kebisingan rasanya seperti tidur di bawah rel yang terus menerus dilewati oleh kereta api.

“Mereka sudah memberi sinyal, LT,” kata Sgt. Kowalski.“Di mana posisi kita?” tanya Lt. Hammett.

Page 10: Ksatria Pertama

“Di luar kota antara Arnhem dan Nijmegen,” kata Sgt. Kowalski, “sasaran kita ada di sepanjang Sungai Rhine,”

Lt. Hammett pun melongok ke bawah ke arah lansekap yang gelap dan monoton. Namun dia masih bisa melihat bayangan sungai Rhine yang memantulkan cahaya bintang.

“Bersiap untuk melepaskan diri, beri sinyal,” kata Lt. Hammett.“Roger that, memberi sinyal,” kata Sgt. Kowalski.

Sgt. Kowalski pun menekan tombol dan lampu merah di dalam kabin pun menyala, membuat semua orang terbangun dan saling membangunkan rekan mereka. Kemudian mereka segera memakai sabuk pengaman dan menyiapkan senjata. Rata-rata semua memakai senapan standar infanteri jenis M-1 Garand terutama yang rekrutan baru. Lt. Hammett, Sgt. Kowalski, T4C Welsh, PFC Rizzotti, PFC Marquez, dan PFC Carlton sendiri lebih nyaman memakai mitraliur M1A1 Thompson. Yang berbeda adalah milik Sgt. McClusky yang memakai M1918 B.A.R, PFC Black Steed yang menggunakan M1903A4 Springfield dilengkapi teleskop Unertl, dan satu-satunya Englishman, LCp. Casterman yang memilih memakai Sten Mk. III buatan negaranya sendiri, karena dia tak begitu terlatih menggunakan senjata Amerika. Sebagai akibatnya, LCp. Casterman harus membawa sendiri semua peluru 9mm yang dia butuhkan. Tapi ini tak masalah, karena kontaknya di Gerakan Perlawanan Belanda memiliki stok peluru 9mm yang nanti dia butuhkan. Sebagai catatan, Sten menggunakan peluru 9x19mm Parabellum yang juga digunakan oleh mitraliur Jerman. Semua senjata pun diletakkan pada posisi di mana tak akan membahayakan walau terjadi benturan keras dalam pendaratan.

“Bersiap untuk melepas,” kata Lt. Hammett.

Sgt. Kowalski segera mengatur posisi flaps dan aileron kemudian tangannya bersiap di kemudi. Begitu dia memberikan aba-aba siap, Lt. Hammett segera menekan sebuah tombol dan pesawat layang itu pun terlepas dari kabel yang mengaitkannya pada Lancaster di depannya. Di dalam pesawat, rasanya seperti layangan yang tiba-tiba terputus. Efek recoil saat kabel dilepas pun membuat semua di dalam CG-4A limbung. Tapi keadaan masih kritis, karena mereka kini terhembus oleh angin yang ditimbulkan oleh baling-baling pesawat Lancaster, bukan Cuma yang di depan, tapi seluruh Lancaster dalam formasi. Dengan empat mesin, Lancaster memang menghasilkan daya dorong amat besar bila dibandingkan dengan C-47 Skytrain yang hanya memakai 2 mesin saja. Vortex yang dihasilkan di dalam formasi itu membuat CG-4A bergetar bagai mobil yang mengebut di jalanan kasar. Bila tak segera ditangani, angin akan mengembuskan CG-4A hingga menghantam pesawat Lancaster di belakangnya, yang mana ini berbahaya terlebih bila menghantam baling-baling, atau vortex yang terjadi akan merobek struktur kanvas CG-4A, di mana ini lebih berbahaya lagi.

Tapi dengan ketenangan luar biasa, Lt. Hammett dan Sgt. Kowalski mengemudikan CG-4A itu melalui arus angin tenang yang ada di tengah-tengah vortex, sedikit demi sedikit melepaskan diri dari kawanan Lancaster yang bergerak lebih cepat. Lt. Hammett sempat melihat salah seorang turret-gunner Lancaster geleng-geleng kepala melihat pesawat layang yang terlihat rapuh di antara para raksasa ini.

Page 11: Ksatria Pertama

Begitu sudah keluar dari area berbahaya, si CG-4A segera menjauh dan terbang menuju tujuannya sendiri, meninggalkan kawanan Lancaster yang akan bergerak untuk mengebom suatu tempat di tanah Jerman.

Tanpa suara, dengan hanya mengendarai angin, Lt. Hammett mengendalikan si CG-4A menuju titik objektif yang telah ditaklimatkan sebelumnya. Sasarannya adalah sebuah lapangan terbuka yang sebenarnya cukup sempit di bantaran sungai Rhine, atau oleh orang Belanda disebut sebagai sungai Rijn. Gerakan Perlawanan Belanda sudah memastikan bahwa tempat itu cukup aman dan cukup dekat dari tujuan yang sebenarnya. Lebih dipaksakan lagi, mereka akan masuk jarak pandang sebuah baterai meriam antipesawat FlaK 38 Flakvierling yang letaknya relatif tersembunyi. FlaK 38 ini tidak menembaki kawanan Lancaster karena jarak terbangnya terlalu tinggi. Mereka akan lebih suka menyerahkannya pada baterai FlaK 18 yang jarak jangkaunya lebih tinggi. Namun peluru 20mm FlaK 38 jelas lebih dari cukup untuk mengoyak sebuah pesawat layang yang terbang rendah, yang mulai kehilangan dukungan angin. Permasalahan lainnya adalah pihak Inggris sudah mewanti-wanti supaya jangan sampai regu kecil ini tertangkap atau tertembak jatuh, karena sebuah pesawat layang yang ditemukan akan menyiagakan seluruh kekuatan Jerman di Belanda akan kemungkinan terjadinya invasi, dan ini jelas akan sangat merugikan pelaksanaan Operasi Market Garden, yang sudah menjadi obsesi bagi pihak Inggris, terutama Marsekal Montgomery.

Langit pun tiba-tiba menyala, namun bukan karena guntur atau halilintar, melainkan karena peluru. Artileri antipesawat jarak jauh Jerman telah menangkap adanya kawanan Lancaster dan kini menembaki buruan mereka dengan gencar untuk mencegah kawanan pengganggu itu menjatuhkan bomnya ke tanah Jerman. Langit yang menyala-nyala ini jelas membuat semua orang was-was, karena dengan begini, siluet mereka akan mudah ketahuan, dan jika satu saja elemen Jerman di sini ada yang melihatnya, maka alamat kegagalan bagi misi mereka, dan juga Operasi Market Garden yang akan dilaksanakan esok hari.

Namun langit yang menyala juga memberikan keuntungan bagi Lt. Hammett, karena kini dia bisa sedikit melihat lansekap di bawahnya, dan terlebih adalah zona pendaratannya. Pesawat itu dibawanya sejenak menyusur sungai Rijn, memanfaatkan ground-effect untuk mempertahankan ketinggiannya, lalu setelah memastikan zona pendaratan, Lt. Hammett segera masuk dan mendaratkan pesawat itu. Kali ini tanah yang tak rata membuat pendaratan sedikit kasar, namun pada akhirnya pesawat itu berhasil mendarat tepat di tepi sungai Rijn. Orang-orang di dalamnya, dalam komando yang berupa bisikan, langsung berloncatan turun dan segera menyiagakan senjata mereka untuk membuat perimeter. Langit yang menyala dan berkilat-kilat menerpa wajah mereka bagaikan suasana kembang api perayaan 4 Juli.

Mereka menunggu dulu beberapa saat dengan senjata siap tembak sebelum akhirnya memutuskan keadaan aman dan Jerman hanya melihat kawanan Lancaster, tidak lebih. Lt. Hammett, Sgt. Kowalski, dibantu Sgt. McClusky dan PFC Rizzotti dengan segera “merusak” pesawat layang yang tadi membawa mereka dan menjatuhkannya hingga tenggelam ke dalam sungai Rijn. Seperti telah tadi dikatakan, tak boleh ada bukti yang akan membuat Jerman berpikir bahwa akan ada invasi skala besar dari Sekutu. Tentu saja semua perbekalan sudah terlebih

Page 12: Ksatria Pertama

dulu dikeluarkan sebelum pesawat itu ditenggelamkan. Dengan membawa itu, ke-15 orang ini bergerak ke dalam lindungan semak-semak di tepi sungai.

Lt. Hammett mengambil sebuah senter hijau, kemudian menggelar sebuah peta kecil di tanah, dan semua mengerumuninya kecuali beberapa orang yang berjaga.

“Seharusnya kita ada di sini, dan target kita di sini, 2 klik ke arah timur,” kata Lt. Hammett.“Apakah OSS masih menyuruh kita melakukan hal sama yang kita lakukan di biara Palermo atau Anzio?” tanya Sgt. Kowalski.“Benar, Kowalski, misinya sama,” kata Lt. Hammett.“Tapi apa kali ini benar? Dua kali kita menyerbu biara di Anzio dan Palermo, dan dua kali kita gagal menemukan artefak yang disebutkan oleh OSS,” kata Sgt. Kowalski, “kalau yang ini meleset juga, seharusnya tadi kita bergabung saja dengan rekan-rekan Divisi 82nd yang akan menyerbu Nijmegen besok,”“OSS mengatakan kali ini informasi mereka valid,” kata Lt. Hammett, “mereka telah menganalisa laporan yang diberikan oleh Gerakan Perlawanan Belanda; akan ada pengiriman barang yang tak diketahui di sini malam ini, tempat itu jauh dari konsentrasi kekuatan Jerman di Utara dan Tenggara, jadi OSS menduga tak akan ada banyak orang,”“Sepertinya Himmler menyembunyikannya, bahkan dari bangsanya sendiri,” kata Sgt. Kowalski.“Ada rumor bahwa Himmler meminta perintah khusus dari Hitler untuk melakukan ini di luar sepengetahuan Wehrmacht atau pimpinan Waffen SS lain,” kata Lt. Hammett, “laporan Gerakan Perlawanan Belanda menyatakan bahwa keseluruhan operasi kecil ini berada sepenuhnya di tangan Ahnenerbe, dan tak ada elemen SS lain yang terlibat,”“Kalau sudah menyebut Ahnenerbe biasanya valid,” kata Sgt. Kowalski, “tapi menyebut soal orang Belanda, kapan kontak kita akan menemui kita?”“Bagaimana, Lance Corporal Casterman?” tanya Lt. Hammett.“Mereka akan menemui kita dengan sandi yang telah disepakati sebentar lagi,” kata LCp. Casterman dengan logat Inggrisnya yang kental.“Bagus, karena bila tidak, maka kita tamat,” kata Lt. Hammett.“Ada orang!” bisik PFC George Running Black Steed.

Dengan cepat lampu pun dimatikan kemudian semua senjata disiapkan dan diarahkan ke tempat datangnya si orang itu. Tak ada yang bergerak atau berbicara, hanya mata dan jari yang waspada, siap untuk menyerang andai keadaan mengharuskan begitu.

Dan dari tengah keheningan malam, terdengar suara berderit seperti sebuah roda gigi yang berputar. Ini tentu membuat semua semakin tegang, karena roda gigi bisa berarti ada sebuah kendaraan lapis baja yang mendekat. Namun setelah didengar dengan saksama, tak ada suara geraman mesin diesel, sehingga kemungkinannya hanya tinggal satu: sebuah sepeda. Tapi itu tetap tak mengendurkan kewaspadaan, karena patroli Jerman pun bisa saja naik sepeda.

Dalam ketegangan, akhirnya tampaklah si empunya sepeda, yaitu seorang yang terhitung masih bocah. Lt. Hammett pun memberi tanda agar jangan terburu-buru menembak.

Page 13: Ksatria Pertama

“Corporal, apa dia kontak kita?” tanya Lt. Hammett.“Kodenya adalah bunga tulip,” kata LCp. Casterman, “jika dia membawa bunga tulip, maka dia adalah kontak kita,”

Semua mata pun menatap dengan liar ke arah bocah itu. Sebagian melihatnya dari balik aperture pejera, dan pada jarak ini, mereka yakin tak akan meleset. SI bocah sendiri tampak tak takut walau bersepeda malam-malam di tempat seperti ini, meski ini pun sudah cukup mengkhawatirkan, karena bila dia bertemu patroli Jerman, dia pasti langsung ditembak. Jerman sudah cukup menderita dengan aksi-aksi sabotase dan pembunuhan yang dilakukan oleh Gerakan Perlawanan Belanda, cukup untuk membuat mereka bersikap “tembak dulu tanya kemudian”.

Bocah yang tampak tanggung itu berhenti, kemudian dari keranjang yang dia bawa di depan sepeda, dia mengeluarkan sesuatu yang tampak seperti tunas bunga tulip. Tulip adalah bunga yang cukup mahal, dan tak semua orang, bahkan di Belanda sekalipun bisa memilikinya. Dan di bawah cahaya pelita yang ada di sepeda, si bocah dengan jelas membawa tiga jenis tunas tulip, satu warna merah, satu putih, dan satunya biru. Warna-warna ini bila digabungkan adalah warna dari bendera Amerika Serikat, Inggris Raya, dan juga Belanda, dan membawa bunga tulip dengan warna-warna ini jelas sesuatu yang subversif di mata Jerman. Hanya orang pemberani saja yang mau membawa warna-warna ini malam-malam begini di tengah-tengah wilayah Jerman.

“Dia kontak kita, Letnan,” kata LCp. Casterman.“Baik, mari temui dia, Corporal,” kata Lt. Hammett, “tapi ingat, di depan orang-orang Belanda itu, jangan sekali-kali menyebut soal artefak; kita di sini untuk mengambil dokumen,”“Siap, Pak,” kata semua orang.

Dengan hati-hati, LCp. Casterman menurunkan Sten yang dibawanya, kemudian keluar dari persembunyiannya. Si bocah tentu saja terkejut dengan munculnya LCp. Casterman yang tiba-tiba entah dari mana.

“Duitse vlag is zwart, Jongen,” kata LCp. Casterman.

Si bocah tampak takut dan menelan ludah saat LCp. Casterman mendekat. LCp. Casterman sendiri tetap menyiagakan Sten-nya untuk menjaga semua kemungkinan.

“Rood, wit, en blauw is mijn vlag,” kata si bocah.“Niederlander?” tanya LCp. Casterman.“Ja, Engelsman?” kata si bocah balik bertanya.“En Amerikaanse,” jawab LCp. Casterman sambil memberi isyarat kepada semua di persembunyian untuk keluar, “spreken English?”“Sedikit,” kata si bocah.“Bagus, aku Lance Corporal Casterman, bersama rekan-rekan Yankee,” kata LCp. Casterman.

Page 14: Ksatria Pertama

“Emil Zandt,” kata si bocah memperkenalkan diri, “cepat ikut aku, walau wilayah ini berada di bawah pengawasan Gerakan Perlawanan Belanda, tapi patroli Jerman masih sesekali melewati jalan ini,”

Tanpa buang waktu, semua pun segera berjalan mengikuti si bocah yang bernama Emil Zandt ini. Senjata tetap disiagakan, karena seperti dikatakan oleh Emil Zandt, patroli Jerman masih sesekali melewati area ini. Tapi dengan semakin intensifnya aksi dari Gerakan Perlawanan Belanda, Jerman tak berani ambil risiko mengirim patroli kecil ke wilayah panas. Bila ada patroli, tentulah dilakukan setidaknya dengan dukungan kendaraan dan senapan mesin ringan.

“Di mana titik pertemuannya?” tanya Lt. Hammett pada Emil Zandt.“Dekat sini, di rumah pertanian blok berikutnya,” kata Emil Zandt, “komandan kami adalah orang dari K.N.B.P.I (Koninklijke Nederlandse Brigade Prinses Irene), namanya Kapitein Piet Kontermans,”“Apa Captain Kontermans sudah mempersiapkan semua yang kami perlukan?” tanya Lt. Hammett.“Ya, dan kalian bisa bicara dengannya nanti,” kata Emil Zandt.“Bagus, karena waktu kita sempit,” kata Lt. Hammett.

Tak beberapa lama, mereka pun sampai di rumah pertanian yang disebutkan oleh Emil Zandt, dan bertindak sebagai pembuka langkah, Emil Zandt mengetuk pintu salah satu rumah pertanian dengan nada tertentu. Pintu dibuka dan seseorang di dalamnya menyuruh semua orang untuk segera masuk. Seperti yang lain, rumah itu cukup gelap karena lampu sengaja dimatikan, dan orang yang tadi menyambut mereka segera meminta semua untuk turun ke ruang bawah tanah yang biasa dipakai sebagai gudang penyimpanan. Di sana, suasana cukup terang karena ada satu bohlam yang menyala. Di dalam ruang itu ada seorang pria berkumis tipis yang berdiri tegap di dekat sebuah meja di bawah lampu. Dari sikapnya, Lt. Hammett menduga pria ini orang militer juga.

“Kapitein, dit is de Englesman en Amerikaanse,” kata Emil Zandt, “zijn naam is Luitenant Hammett en Korporaal Casterman uit Royal Army,”“Dank u, Emil,” kata orang itu, “nu zitten,”

Emil Zandt mengangguk kemudian duduk di dekat tembok, sementara Lt. Hammett dan si orang berkumis itu saling berhadapan.

“Namaku adalah Piet Kontermans, Kapitein Piet Kontermans dari Prinses Irene Brigade, ” kata si pria berkumis, “aku di sini mengkoordinasikan Gerakan Perlawanan Belanda di wilayah tepian Rijn dekat Arnhem,”“Lieutenant Kirk Hammett, 82nd Airborne,” kata Lt. Hammett, “aku yakin pihak OSS sudah memberi tahu alasan kami ada di sini,”“Ya, Luitenant, meski aku ingin tahu ada urusan apa sampai OSS repot-repot mengirim Airborne untuk mengambil sebuah dokumen,” kata Kpt. Kontermans.“Dokumen itu penting bagi Hitler untuk bisa memenangkan perang, dan apa pun yang penting bagi Hitler, kurasa penting juga bagi Sekutu,” kata Lt. Hammett, “dan semakin kuat alasan kita untuk mengambilnya dari Hitler,”“Ya, tapi kurasa kita cukup bisa memusnahkannya,” kata Kpt. Kontermans, “beberapa hari belakangan pemboman dari Inggris cukup intens, banyak Lancaster

Page 15: Ksatria Pertama

dan Mosquito; salah satunya bisa diperintahkan untuk menghancurkan dokumen itu dari udara,”“Karena isi dokumen itu juga penting bagi kita, Captain,” kata LCp. Casterman, “kabarnya Hitler membutuhkan itu untuk memenangkan perang, jadi bila kita mendapatkannya lebih dulu, kita bisa memenangi perang ini sebelum Hitler,”“Baiklah, cukup adil, dan di mana peran kami orang Belanda dalam rencana ini?” tanya Kpt. Kontermans.“Seperti yang telah disepakati sebelumnya,” kata Lt. Hammett, “bantu kami dalam persiapan dan ekstraksi serta menyediakan transportasi aman ke Antwerp; sisanya serahkan pada kami,”“Baiklah, maka sebaiknya kita segera menuju ke sasaran kalian,” kata Kpt. Kontermans, “semua ada di peta ini,”

Kpt. Kontermans menunjuk peta supaya Lt. Hammett bisa melihatnya.

“Target kalian adalah ini, sebuah bekas gereja yang hancur pada pemboman pertama Jerman saat menguasai Belanda, 4 tahun silam,” kata Kpt. Kontermans, “dan sejak saat itu, gereja ini dipakai Jerman utamanya sebagai tempat penumpukan logistik serta hasil rampasan atau jarahan mereka dari desa-desa sekitar; sempat dikosongkan saat menjadi sasaran tembak dari pesawat Mosquito Inggris, namun baru kemarin ada elemen Jerman yang kembali ke sana dan mengubahnya menjadi tempat berpenjagaan ketat,”“Bagaimana penjagaannya?” tanya Lt. Hammett.“Laporan kemarin menunjukkan tiga sarang mesin di sini, sini, dan sini, kemungkinan MG-42, dan beberapa orang prajurit bersenjata lengkap, mungkin sekitar 50 orang; kebanyakan memakai Karabiner 98 dan MP40,” kata Kpt. Kontermans, “tapi yang agak aneh adalah mereka tidak memakai simbol kesatuan Wehrmacht atau pun Waffen SS, melainkan simbol pedang yang dibalut pita,”“Ahnenerbe,” kata Lt. Hammett, “apa ada simbol lain?”“Ya, beberapa perwira juga memasang emblem tengkorak yang dihunus oleh dua pedang,” kata Kpt. Kontermans.

Lt. Hammett terhenyak sejenak mendengar keterangan itu.

“Apa mereka perwira Totenkopf?” tanya LCp. Casterman.“Bukan, itu perwira dari salah satu pimpinan Ahnenerbe,” kata Lt. Hammett, “dia dikenal sebagai ‘Silberneschadel’, atau ‘Tengkorak Perak’ karena dia selalu menggunakan topeng perak berbentuk tengkorak,”“Siapa dia?” tanya LCp. Casterman.“Wajah aslinya tak ada yang tahu, bahkan jabatannya di Ahnenerbe sendiri masih misteri,” kata Lt. Hammett, “menurut data dari OSS nama aslinya adalah Johann Schlosser, dan dipercaya bahwa di Ahnenerbe, dia adalah tangan kanan langsung dari Himmler,”“Apa urusan Ahnenerbe di sini, kukira mereka hanya mengurusi masalah benda-benda purbakala,” kata Kpt. Kontermans.“Itu bukan untuk kau ketahui, Captain, pastinya OSS sudah mengatakan bahwa dokumen yang kita inginkan dipegang oleh orang ini,” kata Lt. Hammett, “maka target kita adalah orang ini, seandainya dia di sini,”“Kalau pun benar, LT, kita masih harus menghadapi 50 orang bersenjata lengkap di sana,” kata Sgt. Kowalski, “dan jujur saja, peluang 15 lawan 50 tak begitu bagus,”

Page 16: Ksatria Pertama

“Ya, aku juga memikirkan soal itu,” kata Lt. Hammett, “akan amat berbahaya bila kita tertahan, seberapa dekat posisi Jerman dari target?”“Ada beberapa elemen dari Fallschrimjager di jarak beberapa kilometer, tapi yang paling berbahaya adalah ini, konsentrasi dari 2nd SS Panzer Corps di bawah Wilhelm Bittrich, yang isinya adalah elemen dari 9th Panzer Division Hohenstaufen dan 10th SS Panzer Division Frundsberg yang masih memiliki kekuatan lapis baja yang utuh,” kata Kpt. Kontermans, “semua di bawah komando dari Marsekal Model yang bermarkas di sini, Oosterbek, 10 kilometer dari sasaran,”“Astaga, itu kekuatan yang besar sekali, dan terlalu dekat dengan Arnhem,” kata LCp. Casterman, “Leftenant, bila Korps Lapis Baja XXX terhambat perjalanannya di Selatan, maka posisi 1st Parachute Brigade yang akan terjun di Arnhem akan amat berbahaya; mereka tak memiliki senjata untuk menghadapi Korps Lapis Baja Jerman,”“Apakah di sini ada radio, Captain?” tanya Lt. Hammett.“Bukan di sini, tapi di markas lain,” kata Kpt. Kontermans, “ada yang ingin kau kabarkan?”“Ya, tolong berikan pesan kepada Royal Air Force dan sebutkan posisi dari 2nd SS Panzer Corps supaya mereka waspada,” kata Lt. Hammett.“Baik, aku akan menyuruh kurir,” kata Kpt. Kontermans.“Dan aku ingin minta setidaknya 10 orang darimu untuk membantuku,” kata Lt. Hammett, “bila kami terlalu lama dalam menguasai target, maka kamilah yang akan tamat,”“Baik, aku akan siapkan 10 orang, tapi berhubung beberapa pasukan kami tersebar, maka terpaksa kami hanya bisa memberikan seadanya,” kata Kpt. Kontermans.“Tak masalah, setidaknya bisa membantu kami menjaga perimeter,” kata Lt. Hammett.

Kpt. Kontermans mengangguk kemudian memberi isyarat pada Emil Zandt.

“Emil, bijeenroepen van Kloop, Wisel, IJsendorf, de Jong, Boer, Witt, van der Hoeven, en Fahrenhoof,” kata Kpt. Kontermans, “zal toetreden tot de strijd,”“Ik ook?” tanya Emil Zandt berbinar-binar.“Ons allemaal,” kata Kpt. Kontermans.

Dengan segera Emil Zandt segera beranjak dan keluar ruangan.

“Kau akan mengajaknya juga?” tanya LCp. Casterman.“Dia adalah salah satu penembak terbaik kami,” kata Kpt. Kontermans, “kau harus melihatnya saat dia menembak salah satu kapten Jerman itu dari jarak 1 kilometer,”“Kita tak punya banyak pilihan juga, Corporal,” kata Lt. Hammett.“Kurasa kau benar,” kata LCp. Casterman.“Captain, bagaimana dengan ekstraksinya?” tanya Lt. Hammett.“Soal itu sebaiknya kau bicara dengan Heer Smitt,” kata Kpt. Kontermans.

Dan entah datang dari mana, seorang yang sudah separuh baya dan rambutnya sudah memerak sudah ada di ruangan itu. Dia berjalan dengan sedikit agak pincang dan tangannya gemetaran, namun entah kenapa Lt. Hammett merasa penampilan pria ini tak seperti yang terlihat.

Page 17: Ksatria Pertama

“Johannes Smitt, dari Binnenlandse Strijdkrachten,” kata pria itu memperkenalkan diri, “atau kalian lebih suka menyebutnya dengan Gerakan Perlawanan Belanda,”

Dia menjabat tangan Lt. Hammett dan terasa sekali walau gemetaran, namun jabat tangannya mantap, menunjukkan masih ada kekuatan yang cukup besar di dalam tangannya. Mata si pria yang bernama Johannes Smitt ini juga tajam, mirip mata seorang pemburu. Dan yang paling menarik perhatian Lt. Hammett adalah bahwa Kpt. Kontermans sepertinya takzim dengan si van Smit ini, menunjukkan bahwa orang ini pastilah tidak main-main.

“John Smith?” tanya Lt. Hammett.

Memang Johannes Smitt dalam bahasa Inggris bisa disebut sebagai John Smith. Dan John Smith adalah nama yang cukup umum dipakai sehingga Lt. Hammett ragu bahwa mungkin nama itu bukanlah nama aslinya.

“Dalam posisiku, kau tak ingin namamu diketahui, Luitenant,” kata Johannes Smitt.“Heer Smitt ini adalah kepala sektor di Arnhem dan Oosterbek,” kata Kpt. Kontermans, “seluruh wilayah ini di bawah kepemimpinannya,”“Kukira kaulah pemimpinnya, Captain Kontermans?” tanya Lt. Hammett.“Aku hanyalah orang yang ditugaskan oleh P.I.B untuk mengampu pasukan di sini, melatih mereka supaya memiliki kemampuan tempur yang mumpuni untuk melawan Jerman,” kata Kpt. Kontermans.“Dan dia melakukannya dengan amat baik,” kata Johannes Smitt, “pasukanku adalah salah satu yang terbaik, dan di wilayah ini kami memberi mimpi buruk bagi Jerman,”“Baiklah, Heer Smitt, bagaimana rencanamu untuk ekstraksi?” tanya Lt. Hammett.“Kami akan siapkan sebuah truk yang bisa disamarkan sebagai truk Jerman,” kata Johannes Smitt, “aku sendiri yang akan mengemudikan truk itu,”“Melewati pos Jerman?” tanya Lt. Hammett.“Bahasa Jerman-ku cukup baik,” kata Johannes Smitt, “lagi pula kita akan melewati wilayah yang akan dijaga oleh 13th Batallion dari 23rd SS Panzergrenadier Nederland; seluruh batalion itu berpihak kepada kita, hanya saja mereka belum berani memberontak karena kehadiran 2nd SS Panzer Corps. Itu adalah sisa-sisa batalion yang tak dibawa oleh Seyffardt ke Front Timur, ditambah ada lagi Resimen Grenadier ke-85 dari 34th SS Friwilligen Landstorm Nederland, yang juga berpihak pada kita,”“Tenanglah, masa bersembunyi sudah hampir usai,” kata LCp. Casterman, “setelah Sekutu menyerang, maka batalion kalian boleh membuang senjata dan bergabung dengan Sekutu,”“Aku senang kalau begitu, dan kurasa mereka pun akan senang,” kata Johannes Smitt, “tapi kita bicarakan itu nanti, sekarang aku akan menyiapkan transportasi kalian, dan kurasa kalian harus pergi bersama Kpt. Kontermans,”“Baiklah, terima kasih atas bantuannya, Heer Smitt,” kata Lt. Hammett.“Tak masalah, Luitenant, cukup usir saja para babi Jerman itu dari tanah ini,” kata Johannes Smitt, “veel succes,”

Johannes Smitt pun segera meninggalkan tempat itu, sementara Lt. Hammett beserta regunya naik bersama Kpt. Kontermans. Di luar rumah, 8 orang yang diminta oleh Kpt. Kontermans sudah berkumpul, dan masing-masing membawa

Page 18: Ksatria Pertama

senjata. Rata-rata senjata yang dibawa adalah Lee-Enfield No. 4 yang memang banyak sekali dipasok oleh Inggris kepada Gerakan Perlawanan Belanda. Turut juga adalah Emil Zandt yang tengah mengisi magasin pada Lee-Enfield yang dia pegang. Satu-satunya yang berbeda adalah Kpt. Kontermans, karena dia membawa Sten Mk. III, sama seperti LCp. Casterman. Bahkan Kpt. Kontermans memberi ekstra magasin Sten pada LCp. Casterman. Selain para infanteri, tak ada yang memakai seragam, karena sifat mereka yang merupakan partisan, bukan tentara reguler.

“Waktu semakin sempit, ayo kita berangkat,” kata Lt. Hammett, “kalian berada di bawah komandoku sekarang, tolong tunjukkan jalannya,”“Emil, pimpin jalannya, kau yang paling mengerti wilayah ini,” kata Kpt. Kontermans.“Siap, Pak,” kata Emil Zandt tersenyum senang.

Keduapuluhlima orang itu pun segera bergerak sambil berjalan kaki berlindungkan keheningan malam. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi dan mereka harus sudah menyelesaikan misi tepat pada pukul 05.00 nanti, artinya tak boleh ada hambatan dalam misi kali ini atau akibatnya akan fatal. Dalam perjalanan, mereka tetap harus berhati-hati siapa tahu bertemu dengan patroli Jerman, namun hingga setengah jalan lebih, tak ada tanda-tanda Jerman melakukan patroli. Ini sedikit banyak membuat Lt. Hammett merasa agak aneh, meski Kpt. Kontermans menegaskan bahwa di wilayah ini, aksi dari Gerakan Perlawanan Belanda cukup intens sehingga Jerman hanya berani berdiam di pos-nya saja.

Kekhawatiran Lt. Hammett yang kedua adalah keberadaan 2nd SS Panzer Corps yang berada tak jauh dari Arnhem di bawah pimpinan Wilhelm Bittrich yang menginduk pada Feldmarschall Walther Model, salah satu jenderal top di Jerman. Kali ini lebih pada nasib pasukan invasi Sekutu yang besok akan terjun dalam Operasi Market Garden. 2nd SS Panzer Corps terdiri dari dua divisi elite, yaitu 9th SS Hohenstaufen dan 10th SS Frundsberg, yang meskipun kekuatannya sudah berkurang semenjak petaka di Falaise Pocket, namun masih menjanjikan perlawanan yang cukup hebat. Apalagi seperti tadi disebutkan oleh LCp. Casterman, 1st Parachute Brigade yang akan diturunkan di Arnhem, dan akan langsung beradu otot dengan 2nd SS Panzer Corps tidak memiliki senjata antitank yang memadai. Bila Army Corps XXX tidak bisa sampai di Arnhem tepat waktu, maka alamat buruk bagi 1st Parachute Brigade, karena mereka yang akan paling lama harus menahan serangan Jerman.

Harapan satu-satunya adalah Royal Air Force akan menerima laporan mereka mengenai keberadaan 2nd SS Panzer Corps, dan mengirimkan pesawat-pesawat serang-nya untuk menghabisi tank-tank 2nd SS Panzer Corps yang memang amat berbahaya. Bila RAF bisa turut campur tepat pada waktunya, maka situasi akan lebih ringan, karena RAF punya pesawat-pesawat penghancur tank semacam Blenheim, Mosquito, dan Typhoon. Ditambah lagi perlawanan dari Luftwaffe diperkirakan akan minimum, itu pun mereka harus terlebih dulu menghadapi pesawat pemburu kawal semacam Spitfire yang jelas akan melindungi pesawat-pesawat serang mereka.Satu setengah jam kemudian, mereka pun sampai pada target mereka, gereja yang sebagian bangunannya sudah tak utuh, katanya akibat terkena bom Jerman saat Jerman menjajah Belanda pada tahun 1940 lalu. Lt. Hammett dengan saksama

Page 19: Ksatria Pertama

melihat gereja yang besar itu dengan teropongnya, Bila tidak hancur atau compang-camping di sana sini, tentulah itu gereja yang besar dan bagus, dengan tembok setinggi 1,5 meter mengelilinginya. Tapi kini hanya berupa bangunan yang sudah tidak utuh dan bolong di sana-sini, bahkan tembok yang semula mungkin mengelilingi gereja itu dengan indah kini sudah tinggal beberapa segmen saja yang masih tersisa di tempatnya. Tapi di reruntuhan itulah pasukan Jerman, yang dikenali sebagai Ahnenerbe membuat pertahanannya.

Ada empat sarang senapan mesin MG-42 dengan posisi tiga di bawah membentuk segitiga yang melindungi bangunan utama, dan satu di atas atap bangunan. Dari personel yang masih bersiap-siap, terlihat bahwa pertahanan itu belum lama dibangun. Semua masih sibuk di luar membuat defilade, yang anehnya, bila dilihat sepintas bentuknya mengelilingi gereja. Memang aneh, karena biasanya pasti ada jalan belakang yang dibiarkan tak dijaga, tapi ini rapat, menandakan bahwa siapa pun yang ada di sini mengharapkan terjadinya serangan dari semua sisi, yang mana ini aneh karena pada sisi seberang adalah wilayah yang dijaga oleh Jerman, jarang sekali ada serangan yang akan muncul dari sana, pun satu sarang senapan mesin mengarahkan moncongnya ke arah kuadran itu. Padahal sebenarnya mereka bisa mengkonsentrasikan sarang senapan mesin ke kuadran yang paling berbahaya saja. Siapa pun yang menatanya, tentulah orang bodoh, atau jangan-jangan mereka juga takut akan diserang dari garis Jerman juga? Tentunya itu ketakutan yang tak beralasan. Untuk apa Jerman saling membunuh pada saat tengah terdesak oleh Sekutu seperti sekarang ini?

“Ada tiga truk di bagian depan,” kata Sgt. Kowalski yang juga melihat memakai teropong, “kalau dilihat dari gelagatnya sepertinya mereka siap untuk berpindah,”“Tapi mereka baru saja sampai, untuk apa mereka berpindah lagi?” tanya Kpt. Kontermans.“Entahlah, tapi itu artinya waktu kita yang sedikit sudah semakin sempit,” kata Lt. Hammett, “George, kau di mana?”

PFC George Black Steed pun maju sambil membawa senapan M1903A4-nya yang dilengkapi teleskop Unertl.

“George, kau lihat yang di atas atap itu?” tanya Lt. Hammett.“Ya, LT,” jawab George Black Steed, “aku melihatnya dengan jelas,”“Bagus, itu harus kaulenyapkan dulu karena paling berbahaya, selanjutnya mulai bersihkan sarang senapan mesin dari kiri ke kanan,” kata Lt. Hammett, “kami akan mulai menyerang dari tembakan pertamamu,”“Siap, LT,” kata George Black Steed.“Bentuk 4 tim, masing-masing menangani dua sarang senapan mesin, buat gerakan mengapit,” kata Lt. Hammett, “siapkan granat, pada jarak lempar segera habisi dengan granat,”

Lt. Hammett pun membagi pasukannya menjadi 5 regu, masing-masing 3 orang. Satu regu, yaitu Sgt. McClusky, PFC Black Steed, dan PSC Willis akan menjadi base-of-fire, bersama dengan rekan-rekan mereka dari Belanda. Total ada dua base-of-fire, dengan masing-masing memiliki penembak jitu, yaitu PFC Black Steed dan si pemuda Emil Zandt. Sisanya akan menyerbu perkubuan Jerman itu habis-habisan dengan mengandalkan perlindungan dari base-of-fire. Terlebih dahulu Lt. Hammett

Page 20: Ksatria Pertama

memberi instruksi siapa-siapa saja yang harus ditembak dulu, sehingga saat tiba saatnya, setidaknya 30% musuh sudah berhasil dieliminasi sebelum regu Lt. Hammett menyerbu.

“Untuk para runner, bawa magasin dan senjata saja, sisanya tinggalkan di sini,” kata Lt. Hammett, “Jackson, pasang granat M7-mu, kita akan membutuhkannya,”“Aye, LT,” kata PFC Jackson yang langsung memasang spigot peluncur granat M7 pada M1 Garand-nya.“Bagus, George, kapan pun kau siap,” kata Lt. Hammett.

George tidak menjawab, matanya kini sudah sepenuhnya berfokus pada sasarannya yang terlihat dari teleskop Unertl-nya. Orang Lakota memang sejak dulu dikenal memiliki mata yang tajam, bahkan kepiawaian mereka dalam menembak diakui oleh Pasukan Amerika Serikat pada masa Manifest Destiny. Sasaran George Black Steed kali ini terkunci pada operator senapan mesin MG-42 di atas atap. Posisi itu amat strategis karena bisa menembak ke semua arah sekaligus. Dan malam ini, tanpa adanya angin dan cuaca yang relative cerah, seolah alam pun membantu George Black Steed untuk melaksanakan misinya. Dan…

“DOOR!!”

Bunyi letusan senapan M1903A4 memecah keheningan malam dan si operator MG-42 di atap langsung jatuh ke bawah dengan kepala berlubang. Masih kaget, rekannya pun langsung mengalami nasib serupa sebelum sempat berpikir. Letusan itu segera disusul letusan lain, baik dari M1 Garand, maupun dari Lee-Enfield, dan para prajurit Jerman yang memang tidak siap langsung bertumbangan satu per satu. Lainnya dengan panik segera menuju pada posisi pertahanan masing-masing, santapan empuk bagi George dan juga Emil Zandt.

Para runner pun segera maju ke posisi sasaran mereka, dan berlindung di balik gundukan tanah ketika senapan mesin Jerman akhirnya menyalak. Tidak beberapa lama, suara tembakan senapan Kar98K pun menyusul bertalu-talu. Sgt. McClusky segera membalas dengan memberondongkan B.A.R-nya ke salah satu posisi sarang senapan mesin. Dia bekerja amat rancak dengan PSC Willis yang menjadi loader. Apiknya kerjasama ini membuat kelemahan B.A.R yang hanya memakai magasin 20 peluru, alih-alih rantai peluru seperti milik MG-42, tidak begitu terasa. Di sisi lain, para pejuang Belanda menghujani posisi senapan mesin Jerman lainnya dengan tembakan beruntun yang dilakukan oleh 5 pemegang Lee-Enfield. Orkestrasi penembakan ini begitu tanpa cela sehingga seolah-olah mereka memiliki senapan mesin alih-alih senapan kokang.

Peluru-peluru Jerman pun berjatuhan di tanah, melemparkan butiran-butiran tanah tempat Lt. Hammett dan sub-regu-nya berlindung. Gundukan tanah itu terasa amat rapuh diterjang peluru senapan mesin MG-42, membuat Lt. Hammett tidak bisa bergerak lebih maju lagi.

“Jackson, gunakan granat senapan-mu!” kata Lt. Hammett.

Jackson pun segera memasukkan granat M7 pada spigot di ujung laras M1 Garand-nya, kemudian memasukkan peluru balistite tanpa proyektil, dan menyiagakannya

Page 21: Ksatria Pertama

dalam sudut 45 derajat dan popor ditahankan ke tanah. Lt. Hammett segera memberi komando lewat isyarat tangan dan pelatuk pun ditekan. Letusan peluru balistite segera meluncurkan granat M7 bagai mortir, dan meledak tepat ketika menghantam di posisi belakang sarang senapan mesin. Tentara Jerman yang berada di jarak dekat ledakan langsung tewas seketika, dan MG-42 itu berhenti menembak.

“Maju! Maju!” kata Lt. Hammett.

Dua tim yang ditugaskan merangsek ke arah senapan mesin itu langsung saja beranjak dan menyerbu sebelum ada orang lain yang menggantikan posisi penembak MG-42. Tanpa dukungan tembakan di atas, lumpuhnya satu sarang ini benar-benar menjadi lubang yang menganga. Lt. Hammett yang sampai terlebih dahulu di mulut defilade segera menembakkan Thompson-nya ke arah tentara Jerman yang baru saja tiba untuk mengambil alih posisi senapan mesin yang kosong.

Dua hingga tiga ledakan lagi terdengar, dan kali ini tim Sgt. Kowalski telah melemparkan granat ke sarang senapan mesin satunya. Dua debuman granat lagi bahkan melemparkan MG-42-nya hingga terlihat jelas di udara. Dengan cepat tembak menembak jarak jauh pun menjadi jarak dekat setelah baik tim Lt. Hammett dan Sgt. Kowalski masuk ke garis Jerman.

“George, aku dan Willis akan maju!” kata Sgt. McClusky.“Majulah, Sarge, aku akan berjaga di sini,” kata George Black Steed.“Baik, George, lindungi kami,” kata Sgt. McClusky yang langsung mengambil B.A.R-nya dan langsung ikut menyerbu bersama PSC Willis.

Jerman langsung memberi perlawanan sengit pada penyerbu yang masuk ke perimeter mereka, namun hasilnya sudah jelas. Tembakan sana sini dan ditambah kegigihan para penyerang, akhirnya dalam tempo hanya 15 menit semenjak George pertama kali menembak, seluruh gereja itu sudah berhasil dilumpuhkan. Tim Sgt. Kowalski bahkan berhasil masuk ke dalam gereja dan menawan semua perwira yang ada di dalamnya. Beberapa Jerman yang tidak mati pun di luar kini sudah meringkuk berkumpul di bawah todongan senjata para prajurit Amerika maupun orang-orang Belanda. Setelah situasi aman, Kpt. Piet Kontermans pun mendekati Lt. Hammett yang sedang memeriksa situasi pasca-serangan.

“Bagaimana laporan korban, Captain?” tanya Lt. Hammett.“Di pihak kami hanya beberapa yang luka ringan,” kata Kpt. Kontermans, “dan satu orang gugur,”“Gugur? Siapa?” tanya Lt. Hammett.“Emil Zandt,” kata Kpt. Kontermans lirih, “sepertinya dia terkena peluru nyasar,”“Ya ampun,” kata Lt. Hammett sambil menarik napas panjang.“Sudahlah, dia mati dengan gagah berani,” kata Kpt. Kontermans.

Dari nada bicaranya, sepertinya Kpt. Kontermans juga sering mengalami peristiwa anak buahnya mati, sehingga dia cenderung bisa menerima satu lagi kematian.

“Bagaimana denganmu, Luitenant,” kata Kpt. Kontermans.

Page 22: Ksatria Pertama

“Casterman tertembak di kaki, dia yang paling parah,” kata Lt Hammett, “lainnya hanya luka ringan, dan medis-ku sedang merawatnya,”“Baguslah kalau begitu,” kata Kpt. Kontermans.

Pembicaraan mereka terhenti ketika PFC Loomis, yang ikut dalam tim Sgt. Kowalski yang menyerbu ke dalam gereja, melapor pada Lt. Hammett.

“Pak, Sgt. Kowalski meminta Anda untuk segera ke dalam,” kata PFC Loomis, “mungkin Anda ingin menanyai tawanan,”“Baiklah,” kata Lt. Hammett, “Maaf, Captain, aku harus masuk, bisa tolong jaga situasi di luar?”“Ya, tentu saja, aku sekalian memberi tahu Heer Smitt untuk memulai prosedur ekstraksi,”“Terima kasih, Captain,” kata Lt. Hammett.

Lt. Hammett menghormat pada Kpt. Kontermans, kemudian dia bersama dengan PFC Loomis segera masuk ke dalam gereja. Semua itu tak luput dari pandangan retikula teleskop Unertl George Black Steed yang memang belum beranjak, mengawasi andai ada masalah. Untuk menenangkan diri, George pun mengambil sebatang rokok yang ada di sakunya. Dalam keadaan tempur, tak mungkin dia bisa merokok sebebas ini. Dia pun mulai menyalakan pemantiknya.

“Hati-hati kalau merokok, George,” kata Sgt. McClusky dari jauh di dekat gereja, “kami bisa melihat apimu dari sini, dan jika aku tak tahu kau ada di sana, aku pasti sudah menembakmu,”“Kau tak akan bisa menembakku, Sarge,” balas George, “tidak bila aku bisa menembakmu dulu,”“Aku tak akan mendebat itu,” kata Sgt. McClusky sambil tertawa, “sudahlah, nikmati saja rokokmu, tapi waspadalah,”“Tentu saja, Sarge,” kata George.

George segera mengisap rokoknya dalam-dalam lalu menghembuskan asapnya sambil menenangkan diri. Dia tak sadar ada orang yang tengah mengendap-endap di belakangnya sambil membawa sebuah pisau terhunus. Dan dengan sekali tebas, George pun langsung ambruk tak bernyawa, tanpa sempat mengeluarkan suara sedikit pun.Sementara itu, di dalam gereja, Sgt. Kowalski, PFC Rizzotti, PFC Herzog, dan PSC de Santis tengah menghadapi 5 orang tawanan Jerman yang mengangkat tangannya. Lt. Hammett bersama PSC Loomis masuk dan melihat ke arah perwira Jerman itu.

“Ada 5 orang perwira Krauts di sini, orang Ahnenerbe,” kata Sgt. Kowalski, “seperti diduga, menggunakan emblem Silberneschadel,”“Ada korban di pihak kita?” tanya Lt. Hammett.“Tidak, LT, mereka langsung menyerah begitu kami masuk,” kata Sgt. Kowalski, “aku bahkan tak perlu menembakkan satu pun peluru,”“Tetap waspada, Kowalski, dan di mana pemimpinnya?” tanya Lt. Hammett.“Sepertinya yang jangkung itu, kulihat dia memakai tanda pangkat Hauptsturmfuhrer atau apa pun itu,” kata Sgt. Kowalski.

Page 23: Ksatria Pertama

Sgt. Kowalski menunjuk pada seorang Jerman yang tampak tegap dengan tanda pangkat SS-Hauptsturmfuhrer atau setara dengan Kapten (Hauptmann) pada kepangkatan Wehrmacht. Memang orang itu tampak berwibawa.

“Sie sind Silberneschadel?” tanya Lt. Hammett dalam bahasa Jerman, “sie sind Johann Schlosser?”“Silberneschadel ist nicht hier!” jawab si Hauptsturmfuhrer.“Wo ist Silberneschadel?” tanya Lt. Hammett.“Er ist tot!” kata si Hauptsturmfuhrer.“Lugner! Wo ist Silberneschadel?” tanya Lt. Hammett.“Ich bin ehrlich, Silberneschadel ist tot!” kata si Hauptsturmfuhrer.“Menurutku dia berbohong, Letnan,” kata Sgt. Kowalski, “kita bunuh saja dia lalu ambil artefaknya,”“Aku bicara jujur!” kata si Hauptsturmfuhrer dalam bahasa Inggris, “dan kalian mencari artefak?”

Lt. Hammett saling berpandangan dengan Sgt. Kowalski.

“Rupanya si Krauts ini bisa bahasa Inggris juga,” kata Sgt. Kowalski.“Artefak, untuk itulah kalian datang?” tanya si Hauptsturmfuhrer.

Lt. Hammett menatap tajam ke arah Sgt. Kowalski yang telah secara tak sengaja membocorkan soal artefak yang mereka cari.

“Siapa kau?” tanya Lt. Hammett, “tadi kau bilang Silberneschadel sudah mati, bagaimana?”“Aku Hauptsturmfuhrer Karl-Heinz Roebber,” kata si Hauptsturmfuhrer, “perwira eksekutif di Ahnenerbe, tadinya di bawah Standartenfuhrer Schlosser atau yang kalian sebut sebagai Silberneschadel,”“Dan si Silberneschadel sudah mati?” tanya Lt. Hammett.“Jawohl, kami membunuhnya, menyabotase pesawatnya yang sedang dalam perjalanan kembali ke Berlin,” kata Hpt. Roebber, “Silberneschadel hendak melakukan percobaan yang berbahaya dengan artefak yang diambil dari biara di Anzio.”“Katamu Anzio?” tanya Lt. Hammett, “1943?”“Ya, kami mengambilnya terlebih dulu sebelum kalian,” kata Hpt. Roebber, “itu sebelum kami tahu bahwa Silberneschadel memiliki rencana lain yang jauh lebih mengerikan daripada rencana Fuhrer kami,”“Di mana artefak itu?” tanya Lt. Hammett.“Kumohon, hancurkan segera artefak itu, itu bukan untuk dipakai oleh siapa-siapa,” kata Hpt. Roebber, “kekuatan yang ada dalam artefak itu terlalu besar untuk dipakai oleh manusia,”“Bukan tugas kami untuk memutuskan itu,” kata Lt. Hammett, “sekarang di mana artefaknya atau kalian semua akan kubunuh di sini,”“Bunuh saja kami kalau begitu, dan biarkan rahasia artefak itu mati bersama kami,” kata Hpt. Roebber.“Aku tak keberatan melakukannya, LT,” kata Sgt. Kowalski.“Kita bukan orang biadab, Kowalski,” kata Lt. Hammett, “dan tujuan kita adalah artefak itu, bukan orang-orangnya,”

Page 24: Ksatria Pertama

“Ya, tapi kita tak punya banyak waktu, LT,” kata Sgt. Kowalski, “aku tak mau tiba-tiba saja ada panzer Krauts yang membokong kita saat ini, kalau kau dengar kata si Kapten Belanda itu, ada konsentrasi Krauts yang cukup besar tak jauh dari kita,”

Pembicaraan pun berhenti ketika Kpt. Kontermans masuk ke dalam ruangan. Kpt. Kontermans hanya diam saja sambil melihat ke seluruh ruangan.

“Semua baik-baik saja, di sini?” tanya Kpt. Kontermans.“Ya, Captain, dan bukankah sudah kubilang supaya menunggu di luar,” kata Lt. Hammett.“Transportasinya sudah datang, Luitenant, dan Heer Smitt memaksa masuk,” kata Kpt. Kontermans.“Heer Smitt tak ada urusannya dengan semua ini, Captain,” kata Lt. Hammett, “jadi kumohon…”“Mungkin memang ada, Luitenant,” kata Johannes Smitt yang tiba-tiba saja sudah ada di dalam ruangan.

Kedatangan orang-orang Belanda ini jelas membuat Lt. Hammett amat jengkel. Baginya saat ini, mereka sudah mencampuri lebih dari yang mereka perlu tahu. Namun ada satu hal yang rupanya cukup menarik perhatian Lt. Hammett mengenai Johannes Smitt: kini tak ada lagi orang tua pincang dengan tangan gemetaran sebagaimana yang terakhir kali diketahui oleh Lt. Hammett. Kini Johannes Smitt terlihat jangkung dan tegap serta memakai sepatu bot kavaleri yang cukup mencolok. Andai tak mengenali wajahnya, mungkin Lt. Hammett akan menganggap dia adalah orang yang berbeda dengan yang ditemuinya belum beberapa lama berselang.

“Heer Smitt, boleh kuingatkan kalau kau saat ini telah turut campur terlalu jauh pada urusan Sekutu,” kata Lt. Hammett, “jadi tolong keluar sekarang juga selagi kami menginterogasi tawanan kami,”“Lebih tepatnya, sekarang menjadi tawanan kami,” kata Johannes Smitt.

Tahu-tahu saja, turut masuk beberapa orang yang memakai senjata otomatis jenis Sten dan juga Lee-Enfield, tanpa seragam namun memakai ban lengan warna oranye, menunjukkan mereka anggota Gerakan Perlawanan Belanda. Orang-orang ini langsung saja menodong semua yang ada di sana, termasuk regu Lt. Hammett dan Sgt. Kowalski yang tampaknya masih terkejut dengan apa yang terjadi.

“Tuan-tuan, jatuhkan senjata kalian dan Luitenant, bergabunglah dengan si tuan Hauptsturmfuhrer ini,” kata Johannes Smitt.“Heer Smitt? Apa yang kaulakukan?” tanya Lt. Hammett, “Captain, ada apa ini sebenarnya? Apa yang kaulakukan?”“Aku menuruti perintahku sendiri, Luitenant,” kata Kpt. Kontermans yang ikut menodongkan Sten-nya ke Lt. Hammett, “dan perintahku tak berasal dari Komando Tertinggi Sekutu, melainkan dari Heer Smitt,”

Kpt. Kontermans memberi isyarat dengan Sten miliknya supaya Lt. Hammett bergeser hingga ke sebelah Hpt. Roebber. Cepatnya perubahan situasi yang terjadi membuat tak satu pun orang Amerika yang siap dengan kejadian ini, sehingga mereka hanya bisa pasrah.

Page 25: Ksatria Pertama

“Sebelumnya, kalau boleh aku akan memperkenalkan diriku dengan layak, dan Anda benar, Heer Luitenant, bahwa Johannes Smitt memang bukan nama asliku, dan nama asliku sengaja kurahasiakan untuk melarikan diri dari Hauptsturmfuhrer Roebber dan kawan-kawannya,” kata Johannes Smitt, “verrater!”

Suara Johannes Smitt mendadak berubah dan hal itu membuat mimik muka Hpt. Roebber mendadak pucat bagai melihat hantu.

“Du? Du bist immer noch am leben?” tanya Hpt. Roebber dengan gemetaran, “Herr Standartenfuhrer?”

Kali ini berganti Lt. Hammett yang terkejut luar biasa.

“Das stimmt,” kata Johannes Smitt, “plot sabotase pesawat bodoh itu adalah hal terbaik yang bisa kaulakukan untuk membunuhku? Aku sudah mengetahui kalau kau dan kawan-kawan pengkhianatmu berencana untuk membawa artefak itu untuk kaumusnahkan, tapi tentu saja akan butuh waktu lama, karena Himmler akan menjaga ketat artefak itu, dan sementara itu memberiku waktu juga untuk mengumpulkan kekuatanku di Belanda, di tanah kelahiran nenekku, menunggu hingga kalian kemari, karena kalian tak akan punya pilihan lagi, dan sungguh suatu kebetulan OSS memberi tahu bahwa artefak itu sudah ditemukan dan meminta Stridjkrachten membantu mengambilnya, tentu saja mereka hanya katakan bahwa itu ‘dokumen’, tapi kami tahu lebih baik,”“Siapa dia?” tanya Lt. Hammett pada Hpt. Roebber.“Dia adalah pemimpin kami, Standartenfuhrer Johann Schlosser,” kata Hpt. Roebber.“Sebut aku dengan nama agungku,” kata Johannes Smitt alias Johann Schlosser.“Silberneschadel,” kata Lt. Hammett.“Benar, Luitenant, Schlosser adalah nama dari kakekku, orang Jerman, tapi nenekku orang Belanda, dan aku lama tinggal di Belanda, hingga akhirnya Hitler memanggil semua keturunan Arya untuk kembali pada Reich,” kata Johannes Smitt, “dan aku pun bergabung dengan Ahnenerbe hingga mencapai tahap ini sebelum si Fuhrer berengsek itu memutuskan memasuki Belanda,”

Johannes Smitt bergerak cukup dekat dengan Hpt. Roebber dan Lt. Hammett dengan dia masih memainkan tongkat yang sedari tadi dibawanya.

“Kesetiaanku tak pernah berada pada Reich Ketiga atau Hitler, atau Himmler, atau SS, karena kesetiaanku tetap pada tanah air nenekku, Belanda, dan tak ada satu hari pun terlewat bagiku berusaha memikirkan cara mengusir orang-orang Jerman ini keluar dari Belanda, hingga akhirnya Louis Beel dari Gerakan Perlawanan Belanda menghubungiku, memintaku untuk tetap berada di Ahnenerbe dan membantu Gerakan Perlawanan Belanda dari sana,” kata Johannes Smitt, “dan saat itulah aku menemukan artefak ini, artefak yang kalian sembunyikan, yang bisa membawa Belanda untuk mengulangi kejayaan sebagai salah satu negara adidaya di Eropa,”“Kau tak setia pada siapa pun, tujuanmu hanyalah untuk membuat kejayaanmu sendiri,” kata Hpt. Roebber, “dan aku tahu kenapa kau membutuhkan Belanda, Silberneschadel!”

Page 26: Ksatria Pertama

Johannes Smitt berbalik dan menatap Hpt. Roebber dengan tajam. Entah sejak kapan, Johannes Smitt sudah mengenakan topeng perak berbentuk tengkorak, sehingga wajahnya kini terlihat mengerikan. Dia berjalan hingga ke suatu sudut, kemudian mengambil sebuah kotak yang tampaknya terbuat dari bahan timbal hitam yang cukup berat. Dia membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya, sebuah benda berbentuk bulat mirip bola kaca, namun memancarkan cahaya warna biru bagai bayangan pada salju. Saat benda itu dikeluarkan, Lt. Hammett merasakan ada hawa dingin yang seolah menusuk.

“Mata Thiazi, atau mungkin kau biasa menyebutnya Mata Skadi,” kata Johannes Smitt dengan suara teredam topeng tengkorak, “artefak yang hilang dari Thrymheim, kekuatannya sangat besar hingga ditakuti oleh dewa-dewa Asgard,”

Johannes Smitt, yang kini telah menjadi Silverneschadel memperlihatkan artefak itu pada Lt. Hammett dan Hpt. Roebber.

“Kau tahu kenapa kau dari semua arah membawa lari artefak ini ke sini? Karena kau melihat dokumenku bahwa artefak ini hanya bisa dihancurkan di “Tanah Rendah Sungai Rhein”, yang mengacu pada Belanda,” kata Silverneschadel, “padahal kau tak tahu bahwa dokumen itu kurekayasa; kekuatan Mata Skadi terlalu besar untuk bisa dihancurkan,”“Bagiku itu hanya bola kaca biasa,” kata Hpt. Roebber.“Mau bertaruh, Verrater? Kalau hanya bola kaca biasa, kenapa kau repot-repot membawanya ke Belanda? Kenapa tak kau hancurkan saja di Jerman?” tanya Silberneschadel, “apa kau takut dengan Himmler? Himmler itu bodoh, dia mengepalai Ahnenerbe tapi tak sedikit pun percaya bahwa barang-barang yang ditemukan memiliki kekuatan; baginya, dia hanya menjaga barang koleksi milik Hitler; tapi aku butuh orang bodoh yang berani membawanya keluar dari penyimpanan Himmler, dan setelah aku tahu kau berniat membunuhku, aku sadar bahwa kaulah orang yang tepat.

“Maka sebelum kau melakukan aksimu untuk membunuhku, aku sudah menyiapkan dokumen palsu itu, dengan harapan kau akan sedemikian bodohnya percaya dan membawanya ke Belanda, tepat pada perangkap yang telah kusiapkan,” sambung Silberneschadel, “dan kabar kedatangan tim Luitenant Hammett dari OSS membuat semua makin mudah, karena Himmler tak akan mengusut lebih lanjut bila laporannya adalah benda itu hilang akibat serangan pasukan khusus Amerika; dan kini aku akan bebas melakukan segalanya dengan benda ini,”“Bitte, sie konnen das...” kata Hpt. Roebber.

“DORR!”

Suara pistol menyalak dan sepucuk P08 Luger di tangan Silberneschadel sudah tampak berasap. Hpt. Roebber langsung saja ambruk, yang langsung dibantu oleh Lt. Hammett.

“Keine gnade fur verrater,” kata Silberneschadel.

Page 27: Ksatria Pertama

Tembakan dari Silberneschadel itu telak mengenai bagian lambung Hpt. Roebber. Tarikan napasnya kini hanya bisa mulai dihitung mundur, dan Hpt. Roebber melihat ke arah Lt. Hammett dengan pandangan mata menghiba.

“Dengan Mata Skadi ini, aku akan menguasai kembali sebuah imperium, dan kau, Kontermans, kau dan semua yang mendukungku akan mendapatkan balas budiku,” kata Silberneschadel sambil mengangkat Mata Skadi tinggi-tinggi dan tertawa menyeramkan.“Kehormatan bisa mengabdi padamu, Tuan,” kata Kpt. Kontermans.“Bagaimana dengan kabar dari Heer Beel?” tanya Silberneschadel.“Sudah saya berikan petisi Anda pada Heer Louis Beel, dan beliau berjanji membawanya kepada Paduka Yang Mulia Ratu Wilhelmina,” kata Kpt. Kontermans, “tapi secara lisan Heer Beel sudah menjamin bahwa Paduka Yang Mulia Ratu Wilhelmina siap untuk memberikan pengampunan kepada Anda dan rekan-rekan Anda yang telah membantu Strijdkrachten dari balik garis musuh,”“Dan seluruh Batalion ke-13 ? Juga Resimen Grenadier ke-85?” tanya Silberneschadel.“Heer Beel menjamin semua akan mendapat amnesti,” kata Kpt. Kontermans.

Hpt. Roebber, dengan sisa-sisa napasnya menunjukkan pada Lt. Hammett sepucuk pistol Walther P38 yang berada di balik saku jaketnya. Dia menghiba kembali pada Lt. Hammett.

“Bitte...” kata Hpt. Roebber pelan, “akhiri kegilaan ini, selamatkan dunia,”

Setelah berkata seperti itu, Hpt. Roebber menghembuskan napas terakhirnya dan tewas. Lt. Hammett menutup mata almarhum Hpt. Roebber, tapi pada saat bersamaan, dia mencabut pistol Walther P38 milik Hpt. Roebber dan dengan cepat mengarahkannya pada Mata Skadi yang tengah dipegang Silberneschadel.

“Tuan, awas!” jerit Kpt. Kontermans.

Tapi terlambat, dengan refleks dan akurasi luar biasa, Lt. Hammett sudah menembak dan tepat mengenai Mata Skadi. Kontan saja sebuah kilat warna biru muncul dari Mata Skadi dan langsung menyambar Silberneschadel yang berada di bawahnya. Silberneschadel berteriak kesakitan dengan amat menyayat seolah tengah menahan sebuah derita yang tak terperi. Mata Skadi terus meluncurkan kilatnya ke arah Silberneschadel.

“Bunuh mereka!” kata Kpt. Kontermans.

Anak buah Silberneschadel yang tadi tertegun pun segera tersadar kembali dan langsung memberondong semua tawanan mereka termasuk Lt. Hammett. Di luar pun anak buah Silberneschadel membantai juga semua yang ada di sana, menghabisi seluruh regu Lt. Hammett yang tersisa. Pembantaian itu berlangsung dengan singkat, namun sadis. Sementara itu, Silberneschadel masih menderita dari serangan kilat Mata Skadi hingga topengnya membara merah. Kpt. Kontermans berusaha menolong tapi tak tahu harus berbuat apa.

“Kotaknya! Kotaknya!” perintah Silberneschadel.

Page 28: Ksatria Pertama

Dengan segera Kpt. Kontermans mengambil kotak hitam yang tadi dipakai untuk menyimpan Mata Skadi, dan dalam suatu gerakan refleks langsung menangkupkan kotak itu ke Mata Skadi yang kini terlepas dari genggaman Silberneschadel. Kpt. Kontermans menahan kotak timbal yang masih bergetar akibat serangan Mata Skadi selama beberapa saat sebelum akhirnya Mata Skadi kembali tenang, dan Kpt. Kontermans menutup kembali kotak itu bersama Mata Skadi di dalamnya.

Kpt. Kontermans melihat ke arah Silberneschadel yang kini terbujur kaku dan berasap. Topeng tengkoraknya kini terlihat mulai mendingin, tapi asap yang muncul membuat Kpt. Kontermans tidak yakin apakah dia masih hidup atau sudah mati.

“Heer Smitt,” kata Kpt. Kontermans.

Tapi tak ada jawaban. Ketika Kpt. Kontermans mencoba menyentuhnya, ternyata tubuh itu amat panas hingga jari Kpt. Kontermans melepuh. Kpt. Kontermans lalu mengambil sebuah batang dan menggoyang-goyangkan tubuh Silberneschadel itu.

“Herr Smitt,”

Masih tidak ada jawaban...World News

25 September 1944Operasi Market Garden yang dilaksanakan sejak tanggal 17 September 1944 di Belanda akhirnya menemui kegagalan. Objektif Sekutu untuk menguasai jalur langsung menembus sungai Rhein gagal setelah kekalahan 1st Airborne Division Inggris dalam pertempuran di Arnhem. Kegagalan ini terjadi karena Korps Lapis Baja XXX pimpinan Brian Horrocks terhambat dalam perjalanannya untuk memberi bantuan pada Arnhem. Dengan gagalnya Operasi Lintas Udara terbesar milik Sekutu ini, maka Jerman bisa memperkuat kembali posisi di Rhein dan cita-cita Sekutu untuk bisa menyelesaikan perang sebelum Natal 1944 pun pupus sudah. Kegagalan Operasi Market Garden juga membuat posisi front di Eropa menjadi stagnan selama beberapa bulan.

16 Desember 1944Jerman melakukan Operasi Wacht am Rhein, konterofensif terbesar atas wilayah Sekutu di Ardennes dengan tujuan untuk memotong garis Sekutu dan menguasai Antwerp. Kemajuan Jerman ini berusaha ditahan mati-matian oleh pasukan Amerika Serikat. Konterofensif ini akhirnya berhasil dipatahkan pada 25 Januari 1945 dan Jerman kehilangan sebagian besar pasukan cadangannya, membuat sebuah lubang yang akhirnya bisa dieksploitasi oleh Sekutu dalam memecah kebuntuan peperangan.

25 Maret 1945Pasukan Sekutu akhirnya berhasil menyeberangi sungai Rhein setelah 1st Army di bawah Jenderal Courtney Hodges merebut Jembatan Ludendorff di Remagen. Peristiwa ini membuat pasukan Amerika Serikat akhirnya berhasil memasuki jantung Jerman di Ruhr, lebih cepat daripada upaya Inggris untuk menembus

Page 29: Ksatria Pertama

melalui Jerman Utara. Kemenangan Amerika Serikat ini membuat pertahanan Jerman di tanah airnya menjadi berantakan, ini masih ditambah dengan gerak maju pasukan Soviet di timur. Hari-hari Reich Ketiga pun mendekati akhir.

8 Mei 1945Presiden interim Jerman, Groszadmiral Karl Donitz yang menggantikan Adolf Hitler yang bunuh diri pada tanggal 30 April menyerah tanpa syarat pada Sekutu di Reims. Posisi Jerman yang sudah semakin terjepit antara Sekutu di Barat dan Soviet Russia di Timur menjadi salah satu faktor penentu. Penyerahan ini akhirnya diikuti oleh Marsekal Wilhelm Keitel yang menyerah pada komandan Soviet, Giorgy Zhukov pada tanggal 9 Mei 1945. Ini secara efektif mengakhiri Perang Eropa dan oleh Sekutu diperingati sebagai “Hari V-E” (Victory over Europe). Namun peperangan masih belum berakhir karena di Pasifik, Jepang masih belum menyerah.

9 Agustus 1945Pesawat pembom berat B-29 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Nagasaki, setelah sebelumnya melakukan hal yang sama pada tanggal 6 Agustus di Hiroshima. Serangan besar di jantung tanah Jepang ini membuat Kaisar Showa memerintahkan evaluasi kembali atas kekuatan Jepang pada Perang Dunia II.

15 Agustus 1945Atas desakan Kaisar Showa untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak, dan juga berkaca pada peristiwa peledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang akhirnya menyatakan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Pernyataan penyerahan Jepang ini ditandatangani di atas kapal tempur AS USS Missouri. Hari ini disebut sebagai "Hari V-J" (Victory over Japan) dan secara efektif mengakhiri Perang Dunia II yang telah berkobar selama 6 tahun.

17 Agustus 1945Memanfaatkan kevakuman kekuasaan pasca-menyerahnya Jepang, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta dengan didukung oleh para pemuda, akhirnya memproklamasikan kemerdekaan atas negeri bekas jajahan Belanda dan Jepang. Pada tanggal ini pulalah, langkah sejarah dari sebuah negara baru yang bernama Republik Indonesia akan dimulai.

End of Prologue

"I don't know whether war is an interlude during peace, or peace an interlude during war."

- Georges Clemenceau -

Book I: Birth of a Nation, Birth of a Hero

“Proklamasi,

Page 30: Ksatria Pertama

Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Republik Indonesia.Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.Jakarta, hari 17 bulan 8 tahun 05.Atas nama bangsa Indonesia,Soekarno Hatta.”

19 Agustus 1945Seiring dengan mulai dibentuknya badan-badan ketatanegaraan Republik Indonesia, Badan Keamanan Rakyat atau BKR dibentuk dengan tujuan untuk menjaga keamanan dan ketertiban rakyat, dan belum bertujuan sebagai sebuah tentara kebangsaan. BKR ini akan mengambil alih posisi beberapa milisi bentukan Jepang yang telah dibubarkan pasca-menyerahnya Jepang kepada Sekutu. BKR yang baru terbentuk bersama dengan elemen-elemen rakyat lainnya akan langsung terlibat dalam beberapa kali clash dengan sisa-sisa elemen Jepang yang bertugas menjaga posisi Status Quo dan atau yang menolak menyerahkan senjata kepada para pemuda Indonesia. Sementara itu, pasukan Inggris di bawah Lord Louis Mountbatten yang bertanggung jawab atas wilayah Asia Tenggara mulai melakukan konsolidasi di Indonesia Timur dalam upaya memfasilitasi transfer kekuasaan antara Jepang kepada Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau NICA.

September 1945Inggris yang dipimpin oleh Let.Gen. Phillip Christison akhirnya mendarat di Jawa setelah cukup lama melakukan konsolidasi di Indonesia Timur. Sebelum itu, dengan bantuan Inggris dan Sekutu, Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau NICA telah terlebih dahulu menegakkan kembali wewenang mereka di Indonesia Timur. NICA menuduh bahwa Republik Indonesia yang baru lahir adalah negara boneka bentukan para antek-antek dan kolaborator Jepang, dan dengan itu meminta supaya pembentukan negara boneka ini digagalkan dan menegakkan kembali hegemoni Belanda seperti saat sebelum Perang Pasifik. Masuknya Inggris dan NICA ini disambut dengan perlawanan dari kekuatan Republik di berbagai tempat di Jawa.

5 Oktober 1945Sebagai embrio pembentukan tentara kebangsaan Indonesia, maka di bawah usul Oerip Soemoharjo, BKR dan laskar-laskar perjuangan rakyat dilebur menjadi Tentara Keamanan Rakyat atau TKR. TKR ini akan menjadi embrio dari terbentuknya tentara resmi Republik Indonesia. Dalam perkembangannya, TKR akan berubah nama kembali menjadi Tentara Rakyat Indonesia, kemudian menjadi Tentara Republik Indonesia, hingga pada bentuk akhirnya, yaitu Tentara Nasional Indonesia atau TNI pada 1947.

10 November 1945Inggris melakukan serangan besar-besaran atas posisi pasukan Republik di kota Surabaya. Aksi yang dipicu oleh tewasnya Brigadir Jenderal Inggris, Aubertin Mallaby ini mendapat perlawanan dari TKR Surabaya dibantu oleh milisi dan rakyat sipil. Pertempuran Surabaya berlangsung sengit dan berlarut-larut, melebihi perkiraan Inggris yang mengira bisa menaklukkan perlawanan rakyat dalam tempo 3 hari saja. Pertempuran ini langsung diikuti pula oleh perlawanan pasukan Republik

Page 31: Ksatria Pertama

di berbagai tempat lain, membuat Inggris memutuskan untuk mulai menarik aksi militer atas Hindia Belanda.

15 November 1946Atas prakarsa Inggris, Perjanjian Linggadjati antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda ditandatangani dengan salah satu isinya adalah Belanda mengakui kedaulatan de facto Republik Indonesia atas Jawa, Sumatera, dan Madura. Selain itu adalah poin pembentukan Republik Indonesia Serikat atau United States of Indonesia yang tergabung dalam Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Perjanjian ini ditandatangani oleh Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Hubertus van Mook dan Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir.

21 Juli 1947Belanda melaksanakan Operatie Product untuk menguasai wilayah-wilayah perkebunan dan industri penting di dalam wilayah kedaulatan de facto Republik Indonesia di Jawa dan Sumatera, dan secara efektif melanggar Perjanjian Linggadjati. Oleh Indonesia, aksi ini disebut sebagai Agresi Militer Belanda dan memulai babak baru revolusi nasional Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.

“Dari semua perjalanan yang pernah kulakukan, ceritaku dimulai dari sini, pada suatu tempat di Jawa Barat, ketika aku dan pasukanku, Divisi Siliwangi, bergerak mundur dari serangan Belanda. Entah berapa banyak peluru yang telah kami buang, dan semenjak beberapa hari lalu kami dihujani peluru dari kiri kanan maupun dari udara. Tank-tank Belanda mengejar kami, dan dari atas langit, pesawat-pesawat mereka memberondong kami tanpa ampun. Kami sendiri tidak tahu mengapa kami bertempur, padahal beberapa bulan sebelumnya dikatakan bahwa Republik telah mencapai kesepahaman dengan Belanda. Tetapi sebagai prajurit, bukan tempat kami untuk mempertanyakan perintah yang kami dapatkan. Memang, kami lebih senang bila perang sudah benar-benar selesai, karena itu berarti semakin cepat pula kami bisa kembali pada kehidupan kami yang dulu.

Namun bagaimana pun juga, kami pun sadar bahwa kami tengah mengampu sebuah negara yang baru lahir, negara kami sendiri, bukan yang dibentuk oleh Belanda atau Jepang, dan sebagaimana seorang ibu yang tengah membesarkan anaknya, maka akan ada saat-saat kami harus berperang melawan segala marabahaya yang mengancamnya. Ini seperti kata-kata Meneer Hogendorp yang selalu terngiang di telingaku, ‘bahwa seorang penggembala harus melindungi ternaknya, dan bila perlu, melawan serigala’. Aku tak pernah mengerti arti kata-kata itu sampai akhirnya di akhir hayatnya, Hattori-san menjelaskan semuanya kepadaku. Bagi kami, hujan badai dan peluru sudah bukan lagi sebuah halangan, hanya satu seruan yang membara di dada kami semua, ‘Rawe-rawe rantas, malang-malang putung’, demi negara baru kami, Republik kami tercinta, yang akan terus kami jaga kesaktiannya,”

Chapter I: Politionele Actie

1 Agustus 1947Suatu Tempat di Jawa Barat

Page 32: Ksatria Pertama

15.18 WIB

Hujan gerimis baru saja berhenti di salah satu wilayah di Jawa Barat, namun keadaan tak menjadi lebih tenang di sini. Di atas langit, merobek angkasa yang hening, empat buah pesawat jenis North-American P-51D Mustang dari Skuadron-11 Militaire Luchtmacht terbang dalam formasi fingertip melalui wilayah angkasa yang sebagian kecil masih tertutup awan. Pimpinan formasi itu adalah Luitenant Tom de Zeeuw, diikuti oleh masing-masing Sergeant Johan van der Laan, Sgt. Louis de Venter, dan Sgt. Jaap Nieuwenhuize. Terkadang mereka miring sejenak supaya bisa melihat apa yang ada di bawah.

“Ada barisan di bawah!” kata Sgt. Nieuwenhuize kepada Lt. de Zeeuw, “aku akan masuk,”“Jaap, jangan ceroboh, kita tak tahu kekuatan mereka!” kata Lt. de Zeeuw.“Mereka hanya ekstremis, Luitenant,” kata Sgt. Nieuwenhuize, “hancurkan saja sekarang dan untuk selamanya,”“Jaap! Verdome zeeg!” umpat Lt. de Zeeuw.

Terlambat, Jaap Nieuwenhuize sudah memanuverkan Mustang-nya dalam posisi menukik untuk menyerang. Dari semua yang dibawa, memang Lt. de Zeeuw hanya khawatir pada sersannya yang berusia paling muda dan paling berangasan ini. Bukan sekali ini pula Lt. de Zeeuw pernah kehilangan anggota regu, tapi untuk yang satu ini sepertinya dia tak akan keberatan. Pun, akhirnya Lt. de Zeeuw memerintahkan semua dalam regunya untuk mengikuti gerak pesawat Sgt. Jaap Nieuwenhuize.

Jauh di bawah sana, adalah elemen pasukan Republik dari Divisi Siliwangi yang tengah mundur dari serangan Belanda pada 27 Juli lalu. Serangan Belanda yang kuat dan cepat yang dikemas dalam apa yang dinamakan sebagai Operatie Product dan diluncurkan atas wilayah-wilayah pasukan Republik di Jawa Barat membuat Divisi Siliwangi, yang bertanggung jawab atas wilayah Jawa Barat, menjadi kocar-kacir. Di bawah pimpinan Kolonel Abdul Haris Nasution, Divisi Siliwangi tengah melakukan gerak mundur taktis sambil menunggu perintah selanjutnya dari Komando Tertinggi TNI di Yogyakarta. Dalam gerak mundur ini, Kol. Nasution juga berharap untuk bisa menyatukan kembali Divisi Siliwangi yang tengah tercerai-berai.

Elemen dari pasukan Siliwangi yang kini berada di sini adalah Batalion ke-129 pimpinan Kapten Amir Amrullah yang selama beberapa hari ini bergerak paralel dengan elemen pasukan utama yang langsung dipimpin oleh Kol. Nasution. Penting untuk menjaga supaya pasukan ini tetap bergerak paralel namun terkoordinasi, untuk memecah konsentrasi pasukan Belanda yang tengah mengejar. Dan Batalion ke-129 melakukan aksi penting dengan memancing gerak korps lapis baja Belanda agar tak mengejar kolone pasukan utama Kol. Nasution. Saat ini, mereka tengah beristirahat sebentar di salah satu sisi gunung ini sebelum kembali bergerak. Masa istirahat ini akan dipecahkan segera ketika deru mesin Rolls-Royce milik Mustang terdengar mulai mendekat.

“Pesawat Belanda!!” teriak Kapt. Amrullah tepat ketika melihat ada 4 titik di angkasa yang bergerak memburu pesawat mereka.

Page 33: Ksatria Pertama

Sontak para anggota Batalion ke-129 segera kalang-kabut mencari posisi bersembunyi dan keluar dari jalan. Keempat Mustang yang telah berada di posisi tembak segera menghujani elemen pasukan itu dengan masing-masing keenam senapan Browning 12,7 mm, yang langsung mencangkuli tanah di sepanjang garis penyerangan dan menghajar siapa pun yang terlambat untuk berlindung. Beberapa orang Republikan yang tak sempat berlindung langsung habis, tewas dengan anggota badan putus akibat tembakan bertubi-tubi itu. Serangan sporadis segera dilancarkan begitu keempat pesawat sudah lewat, namun tak ada satu pun yang kena.

“Jaap, berengsek kau! Kau terlalu rendah tadi!” bentak Lt. de Zeeuw.“Aku bisa menembak lebih baik dari ketinggian ini, Luitenant!” bantah Sgt. Nieuwenhuize.“Tapi kau juga bisa ditembak oleh mereka!” kata Lt. de Zeeuw.“Tidak akan,” kata Sgt. Nieuwenhuize, “aku akan menyerang lagi,”“Tidak bisa! Bahan bakar kita semakin menipis, kita harus kembali ke Andir,” kata Lt. de Zeeuw.“Aku akan menyerang lagi,” kata Sgt. Nieuwenhuize.“Verdome zeeg, aku harus bilang apa lagi supaya kau menurut, Jaap?” tanya Lt. de Zeeuw.“Tak apa-apa kalau kau tak mau ikut, Luitenant,” kata Sgt. Nieuwenhuize.“Biarkan saja dia, Luitenant,” kata Sgt. van der Laan yang juga sudah jengah dengan kelakuan juniornya itu.“Ya, sebaiknya kita lindungi saja dia dari atas,” kata Sgt. de Venter, “nanti setelah dia menyerang, kita akan memaksanya untuk ikut,”“Baiklah,” kata Lt. de Zeeuw, “ayo kalian yang masih waras cepat naik,”

Tiga pesawat Mustang segera naik ke ketinggian aman, sementara satu lagi, milik Sgt. Nieuwenhuize kembali berputar untuk kembali menyerang. Gerak putar ini tak hanya diamati oleh Kapt. Amrullah di bawah, namun ada dua pasang mata lagi yang juga tak jauh dari Kapt. Amrullah.

“Dia akan menyerang lagi, dan kali ini tanpa rekan-rekannya,” kata salah seorang prajurit yang bertubuh kurus dan memegang senapan Mannlicher M95 bekas buatan tahun 1895.“Itu pesawat yang dari kemarin membayangi kita, ya?” tanya rekannya yang kali ini memegang sebuah senapan Arisaka Type-99 yang relatif masih baru.“Benar, nomornya sama,” kata si pemegang Mannlicher.“Aku nggak ngerti soal nomor-nomor gitu,” kata pemegang Arisaka.“Makanya sekolah,” kata si Mannlicher.“Aku sekolah, tapi di pesantren, diajarinnya ya pake angka Arab, bukan angka Latin,” kata si Arisaka.“Ya sudah, cukup ributnya, kamu bisa nembak dia?” tanya si Mannlicher.

Si Arisaka melihat ke arah yang ditunjuk oleh si Mannlicher. Dan memang benar, dia menunjuk ke arah pesawat yang tengah melakukan putaran balik itu.

“Susah, kesempatannya cuman satu,” kata si Arisaka.“Tapi bisa, ‘kan?” tanya si Mannlicher.

Page 34: Ksatria Pertama

“Bisa, tapi aku butuh dudukan yang stabil,” kata si Arisaka.“Pake pundakku kalau gitu,” kata si Mannlicher.“Tapi itu bahaya,” kata si Arisaka.“Lebih bahaya lagi kalau dia terus dibiarin lolos, dia bisa kasih tahu lokasi kita ama pasukan tank,” kata si Mannlicher, “ayo cepetan, bisa nggak?”“Ya sudah, ayo, tapi bilang kapten dulu?” tanya si Arisaka.“Udah, nggak ada waktu, cepet sekarang!” kata si Mannlicher.

Si Mannlicher segera meninggalkan senapannya, lalu menarik si Arisaka keluar dari pematang yang menjadi perlindungan mereka. Kapt. Amrullah amat kaget dengan kelakuan anak buahnya, tapi dengan semakin mendekatnya pesawat Mustang Sgt. Nieuwenhuize, dia hanya bisa mengumpat saja.

Sementara itu, kedua orang nekad ini sudah berdiri di jalan, si Mannlicher berdiri di depan si Arisaka, sementara laras si Arisaka ditempatkan di pundaknya. Si Arisaka sengaja meletakkan moncong senapan Arisaka miliknya agak jauh dari muka si Mannlicher agar tak terkena residu tembakan. Dia lalu melihat dari balik aperture pejera-nya saat pesawat Mustang itu bergerak mendekat bagaikan bayangan Dewa Kematian yang tengah terbang untuk menjemput mereka berdua. Pada saat ini, konsentrasinya sudah maksimal dan dia pun serasa terputus dengan dunia. Rekan-rekan kedua orang ini melihat aksi mereka dengan penuh kengerian.

“Dasar bodoh,” kata Sgt. Jaap Nieuwenhuize sambil memposisikan kedua orang ini pada reflex-sight pada Mustang-nya.

Sekali serangan, dan satu peluru 12,7 mm cukup untuk menembus kedua orang bodoh ini. Ini bagai Mexican Stand-off yang tidak adil. Di satu sisi ada P-51D Mustang yang memiliki 6 senapan mesin Browning 12,7mm, dan di sisi lainnya hanya ada dua orang nekad bersenjatakan sepucuk Arisaka Type-99 dengan peluru 7,7mm yang hanya bisa menembak sekali. Jari Sgt. Nieuwenhuize pun disiapkan pada tombol senapan mesin.

“DOOR!”

Arisaka itu menyalak, dan tanpa terdengar oleh Sgt. Jaap Niuwenhuize, tahu-tahu sebuah peluru 7,7mm Arisaka sudah menyelonong menembus sela-sela baling-baling, memecahkan kaca kokpit, menembus reflex-sight, dan mendarat tepat di antara kedua mata Sgt. Nieuwenhuize yang langsung mati di tempat. Si Mannlicher dan si Arisaka segera melompat menghindar saat pesawat yang kini tanpa kendali bergerak liar, naik melakukan manuver setengah loop di udara sebelum menghujam langsung ke arah jurang dan meledak di sana. Si Mannlicher bahkan sempat merasakan betapa baling-baling dan sayap Mustang itu melesat terlalu dekat dengan kepalanya. Beberapa inci saja, dan dia pasti akan tewas. Seluruh pasukan Batalion ke-129 pun bersorak sorai dengan hancurnya Mustang itu.

“Luitenant, kau lihat itu tadi?” tanya Sgt. van der Laan yang masih takjub dengan pemandangan yang baru dilihatnya.“Aku melihat, dan masih berusaha percaya,” kata Lt. de Zeeuw.“Perintah, Pak?” tanya Sgt. van der Laan.

Page 35: Ksatria Pertama

“Kembali ke markas, bahan bakar kita sudah menipis,” kata Lt. de Zeeuw, “nanti tulis dalam laporan kalau pasukan mereka dilengkapi senapan mesin ringan yang menjatuhkan Sgt. Nieuwenhuize yang terbang dengan ketinggian terlalu berbahaya,”“Baik, Luitenant,” kata Sgt. van der Laan dan Sgt. de Venter.

Ketiga Mustang segera meninggalkan tempat, yang disambut dengan sorak-sorai lebih keras dari pasukan Siliwangi. Semua segera merubungi si Mannlicher dan si Arisaka yang kali ini menjadi pahlawan. Namun entah bagaimana pujian hanya dialamatkan pada si Arisaka yang berhasil menembak jatuh Mustang, mungkin semua belum menyadari peranan penting dari si Mannlicher, tapi dia sendiri tak begitu peduli, dia tak haus akan pujian. Keramaian itu baru pecah saat Kapt. Amrullah mendekat.

“Kapten,” kata si Mannlicher.“Kalian ini bener-bener tolol!” bentak Kapt. Amrullah, “apa yang kalian pikirkan??”“Sudahlah, Kapten, mereka kan sudah berbuat baik,” kata Sers. Suhaemi yang merupakan wakilnya.“Tetap saja itu tolol!!” kata Kapt. Amrullah, “untung yang kali ini kena, coba kalau tidak?? Aku sudah kehilangan banyak orang, dan aku tak mau ketambahan dua korban lagi yang mampus gara-gara berbuat tolol macam tadi! Apa kalian juga nggak mikir kalau bisa saja ada yang meniru ketololan kalian??”

Baik si Mannlicher maupun si Arisaka hanya diam saja didamprat oleh Kapt. Amrullah. Memang, mereka bersalah, bodoh dan membahayakan diri, dan walau trik itu berhasil, tetap saja itu trik yang bodoh.

“Ya sudah, semoga saja itu pesawat nggak kembali lagi,” kata Kapt. Amrullah, “jangan diulangi lagi, dan kali ini aku serius,”“Baik, Kapten,” kata si Mannlicher dan si Arisaka bersamaan.

Sepeninggal Kapt. Amrullah, si Mannlicher dan si Arisaka hanya tersenyum saja dan tertawa kecil, berusaha supaya tak terdengar oleh Kapten. Mereka kembali diam saat Sers. Suhaemi mendekat. Namun wajah Sers. Suhaemi jauh lebih ramah daripada wajah Kapt. Amrullah.

“Bagaimana pun juga, tetap dengarkan kata Kapten,” kata Sers. Suhaemi, “dia berbuat seperti itu demi kebaikan kalian juga, nggak selamanya kalian bisa semujur itu,”“Baik, Sersan,” kata si Mannlicher dan si Arisaka.“Tapi itu tembakan yang amat bagus, semoga si Belanda berengsek itu kini sadar sedang berhadapan dengan siapa,” kata Sers. Suhaemi, “dan segera kemasi barang kalian, kita akan segera bergerak lagi,”“Kali ini kita ke mana, Sersan?” tanya si Mannlicher.“Kita akan bergabung dengan pasukan Kolonel Nasution di titik pertemuan kedua,” kata Sers. Suhaemi, “Batalion kita sudah kehilangan banyak orang, kita tidak bisa terus menerus menghadapi musuh dengan kekuatan yang compang-camping seperti ini,”“Baik, Sersan,” kata si Mannlicher dan si Arisaka.

Page 36: Ksatria Pertama

“Oh ya, ini dia,” kata Sers. Suhaemi sambil melemparkan senapan Mannlicher M95 kepada si Mannlicher, “lain kali jangan meninggalkan senjatamu sembarangan, bagi prajurit senjata adalah nyawanya, kamu nggak mau kehilangan nyawa, ‘kan?”“Siap, tidak, Sersan,” kata si Mannlicher.“Bagus, ingat itu baik-baik,” kata Sers. Suhaemi.

Semua pun langsung mengepak peralatan mereka masing-masing. Beberapa orang mengumpulkan peralatan dan amunisi dari rekan mereka yang sudah gugur, karena amunisi-amunisi ini jauh lebih berharga bagi mereka yang masih hidup. Sementara itu, si Arisaka merangkul sahabatnya si Mannlicher sambil berbincang seru, sepertinya masih membicarakan tembakan yang sempurna tadi.

“Si pemegang Arisaka ini adalah sahabatku, namanya adalah Rojali, dan atas alasan tertentu aku memanggilnya ‘Rozak bin Jali’. Mungkin karena ayahnya bernama Jali sehingga aku agak aneh untuk mengucapkan Rojali bin Jali, atau mungkin juga karena waktu itu aku belum bisa mengucapkan kata Rojali dengan benar, sehingga yang keluar adalah ‘Rozak’. Apa pun itu, pertemuan kami ketika kecil bagaikan sebuah takdir, di sebuah tempat di pinggiran kota antara Batavia dengan Buitenzorg. Orangnya sebenarnya tampan, bahkan walau dia sering memelihara jenggot dan cambangnya, serta posturnya, untuk ukuran seorang Bumiputera, amat baik. Tidak heran kalau banyak gadis yang tergila-gila padanya. Namun aku mengenal kelebihannya yang sesungguhnya, yaitu dia memiliki bidikan yang amat luar biasa. Aku mulai tahu kelebihannya itu karena saat kecil, kami sering bermain kelereng bersama, dan dia bisa menembak sebuah kelereng bahkan walau jaraknya jauh atau sulit. Tak hanya kelereng, bahkan dengan ketapel, atau saat melempar batu kerikil sekali pun, dia bisa selalu mengenai sasarannya tak peduli apa pun itu. Bakat yang kemudian amat berguna saat dia memegang senapan.

Tapi aku juga tahu bahwa dia punya kelemahan yaitu lidahnya selalu jadi kelu tiap kali berada di dekat gadis, itu yang membuatnya tidak pernah bisa mendapatkan kekasih. Kadang dia sering menutupi kelemahannya itu dengan membual atau menyombongkan diri, namun itu malah memperparah kesan yang selalu ditangkap oleh para gadis. Bagaimana pun, dia adalah orang yang sensitif, setia kawan, dan sebenarnya rendah hati. Aku mengenal hal itu lebih baik daripada siapa pun, kecuali mungkin bagi Nonik Maria, putri majikan kami yang juga kawan sepermainan kami. Nonik Maria selalu menyebut kami sebagai ‘Ishmael dan Queequeg’, diambil dari nama-nama tokoh pada cerita Moby Dick karangan Herman Melville yang menjadi buku kesukaannya. Dan Rozak, bisa dipastikan adalah Queequeg.

Lalu bagaimana denganku sendiri? Yang oleh Nonik Maria disebut sebagai Ishmael? Namaku adalah Rusman, lengkapnya Rusman Suhadi. Secara fisik, aku dan Rozak berbeda jauh. Aku tergolong orang yang kurus, bahkan boleh dibilang kurus kering, hanya bagai kulit dan tulang saja. Kulitku juga lebih legam daripada Rozak, dan dari segi fisik, tak ada satu pun dari dalam diriku yang bisa disebut menarik. Aku dan Rozak selalu menjadi bujang kesepian saat anak-anak laki-laki yang lain bercengkerama dengan anak-anak gadis. Satu-satunya wanita yang mau dekat denganku hanyalah Nonik Maria yang juga majikanku. Pun, kata Nonik Maria, aku memiliki kelebihan, yaitu sikapku yang keras seperti batu dan tak pernah menyerah. Dengan sikapku ini, aku lebih banyak menyerap pelajaran daripada

Page 37: Ksatria Pertama

Rozak yang hampir selalu suka bermain-main saja. Untuk alasan inilah maka Nonik Maria lebih suka untuk belajar denganku daripada dengan Rozak, atau saat kami belajar bertiga.

Namun, dalam masa-masa perang seperti sekarang ini, terbukti bahwa kelebihan Rozak lebih berguna daripada kelebihanku. Dia bisa menembak dengan tepat pada jarak yang jauh, sementara aku? Aku cukup bisa bersyukur sudah diberikan senapan, itu pun terkadang dalam perjalanan jauh, aku sudah cukup kepayahan. Beberapa orang di Divisi Siliwangi menganggapku hanya sebagai beban mati mereka saja, meski aku selalu berusaha untuk tak merepotkan orang lain. Hanya Kapt. Amrullah dan Sers. Suhaemi saja yang mungkin masih mau memandangku. Mereka mengatakan bahwa aku dan Rozak adalah dua serangkai yang tidak bisa dipisahkan. Ya, akhirnya kata-kata Nonik Maria pun terbukti, aku adalah Ishmael dan Rozak adalah Queequeg, dan pasukan ini, Batalion ke-129 adalah kapal Pequod kami. Dan saat ini kami tengah berlayar untuk memburu si ikan paus putih kejam, Moby Dick, yaitu orang-orang Belanda yang berusaha merenggut kembali kemerdekaan kami.”

“Kami cinta damai, tapi lebih cinta kemerdekaan,”Ir. Soekarno

Chapter II: The Enemy of My Enemy

1 Agustus 1947Den Haag, Belanda09:14 GMT

Sebuah mobil Cadillac Limousine warna hitam dengan di dekat lampu terdapat bendera merah-putih-biru Belanda berhenti di sebuah pondokan di pinggiran kota Den Haag, Belanda. Seorang pengawal yang duduk di sebelah sopir dengan terburu-buru turun dan membukakan pintu bagi si tuan besar yang duduk di belakangnya. Saat pintu dibuka, seorang dengan kepala botak dan berkacamata tipis langsung berdiri dan keluar. Dilihat dari wibawanya, orang ini tentulah bukan orang sembarangan. Dan memang benar, karena dia adalah Louis Joseph Maria Beel yang saat ini tengah menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda.

Seorang wanita berpakaian perawat dengan buru-buru segera keluar dari pondok dan menyambut PM Beel.

“Mijn Heer, Anda tak memberitahukan kalau akan datang,” kata si perawat.“Aku tak selalu bisa terlebih dulu memberi tahu,” kata PM Beel, “bagaimana keadaannya sekarang?”“Masih seperti biasa, dia ada di taman di belakang,” kata si perawat.“Bagus, aku akan menemuinya,” kata PM Beel sambil melangkah ke pondok itu.“Apakah ada masalah yang penting, Mijn Heer?” tanya si perawat.“Bukan urusanmu,” kata PM Beel sambil meninggalkan si perawat.

Page 38: Ksatria Pertama

PM Louis Beel sudah sering memasuki pondok ini sehingga dia tak begitu canggung lagi. Tinggal di dalamnya adalah seseorang yang selama ini telah dia andalkan cukup lama. Dan orang itu saat ini tengah duduk di taman, di bawah payung dengan menggunakan jubah cokelat mirip jubah yang dikenakan para rahib yang menutup seluruh tubuhnya. PM Beel pun berhenti di dekat orang itu, kemudian tanpa menunggu dipersilakan langsung saja duduk di dekatnya. Mata di balik jubah berkerudung itu menatap sejenak ke arah PM Beel sebelum akhirnya pandangannya diarahkan kembali pada taman.

“Ada kabar apa dari Binnenhof?” tanya si pria berkerudung, “tentu bukan kabar baik mengingat caramu mendatangiku,”

Suara si pria berkerudung itu terdengar serak mengerikan.

“Aku berhak mendatangi penasihatku kapan saja aku membutuhkan nasihatnya,” kata PM Beel.“Ah, tapi sepertinya kali ini kau tak hanya datang untuk sekadar nasihat,” kata si pria berkerudung, “ada masalah yang besar, kuduga ini disebabkan oleh perkembangan di Hindia,”

PM Beel melihat ke arah si pria berkerudung ini.

“Seolah tak ada yang lain saja saat ini selain masalah dari Hindia,” kata PM Beel, “tapi dari awal permasalahan ini memang sudah pelik,”“Ceritakanlah,” kata si pria berkerudung.“Kemerdekaan Hindia, atau mereka menyebutnya sebagai Indonesia, sudah menjadi masalah yang hangat di kalangan parlemen dan banyak dari mereka yang terbagi antara akan mengakui kemerdekaan Hindia, atau melakukan operasi militer atasnya,” kata PM Beel.“Bukankah Spoor sudah menjalankan operasi militer atas Hindia?” tanya si pria berkerudung.“Itulah yang membuat semua menjadi rumit,” kata PM Beel, “Perjanjian Linggadjati adalah perjanjian yang diakui secara internasional, dan dengan melaksanakan Operatie Product, maka kita menempatkan diri kita sebagai negara yang melanggar perjanjian berkekuatan hukum internasional; Australia dan Amerika Serikat pun juga sudah mulai ikut masuk dalam masalah ini,”“Tampaknya itu bukan sesuatu yang dipikirkan oleh Wim Schemerhorn saat memberi wewenang pada van Mook untuk menandatangani perjanjian itu,” kata si pria berkerudung.“Saat itu kekuatan Belanda masih amat lemah pasca Wereldoorlog, Jerman dan Sekutu menghancurkan sebagian besar Belanda, membuat Belanda tak bisa bertahan bila tanpa bantuan dalam jumlah besar oleh Amerika Serikat,” kata PM Beel, “kita tak mampu mempertahankan wilayah koloni kita dengan kekuatan kita saat itu, sehingga Wim Schemerhorn lebih dari siap untuk bernegosiasi dengan para Republikan; tapi kini keadaannya sudah berbeda,”“Jadi kekuatan Belanda sekarang sudah cukup untuk merebut kembali Hindia dan menumbangkan kekuasaan Republikan?” tanya si pria berkerudung, “setahuku kekuatan kita masih belum bisa pulih seperti sebelumnya, dan pada sebelum Wereldoorlog pun kita sebenarnya masih belum mampu mempertahankan seluruh wilayah koloni kita di Hindia Timur; Jepang sudah membuktikannya,”

Page 39: Ksatria Pertama

“Masalahnya koloni kita di Hindia Timur terlalu berharga untuk dilepas; berkali-kali Belanda mengalami kelesuan ekonomi dan berkali-kali pula koloni Hindia kita menyelamatkan negara kita dari kebangkrutan,” kata PM Beel, “namun ongkos kita dalam mempertahankan koloni ini sebenarnya cukup besar, mau tak mau kita harus melepasnya, mengakuinya sebagai sebuah negara merdeka,”“Lalu apa masalahnya?” tanya si pria berkerudung.“Masalahnya adalah saat Republik itu merdeka, ada satu nama yang tak ingin kulihat tengah memimpinnya,” kata PM Beel.

Si pria berkerudung hanya tertawa terkekeh-kekeh mendengar perkataan PM Beel.

“Soekarno,” kata si pria berkerudung.“Benar, si bajingan kolaborator Jepang itu sudah jadi duri dalam daging sejak awal masalah Hindia ini mencuat,” kata PM Beel, “Wim Schemerhorn bahkan lebih suka berbicara dengan Sjahrir daripada Soekarno; tapi masalahnya pengaruh Soekarno di kalangan rakyat Hindia amat besar, dan selama ini Soekarno mengendalikan kata-kata yang dinegosiasikan oleh Sjahrir kepada kita, dus secara de facto dia yang menguasai semuanya dalam Republik, meskipun di atas kertas semua masalah tatanegara berada di bawah Sjahrir,”“Jadi kau ingin masalah bernama Soekarno itu dilenyapkan?” tanya si pria berkerudung.“Bukan dilenyapkan, hanya kurangi pengaruhnya, penduduk Hindia terbagi menjadi beberapa kelompok yang mirip seperti kotak mesiu; Nasionalis, Islam, Cina, India, dan Komunis,” kata PM Beel, “di bawah Soekarno, kekuatan-kekuatan itu menyatu, dan ini akan mengancam menggagalkan pembentukan Republik Indonesia Serikat, tapi bila Soekarno tak bisa mencegah kotak mesiu ini untuk meledak; maka dengan cara itu Soekarno akan lebih cenderung menerima konsesi pembentukan Republik Indonesia Serikat dengan posisinya dalam Uni Indonesia-Belanda akan kecil,”

Si pria berkerudung kali ini kembali tertawa mendengar perkataan PM Beel. Ini tentu saja membuat PM Beel tak habis pikir.

“Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?” tanya PM Beel.“Mijn Heer, kau tentu sadar bukan, jika sedari awal kau mengabulkan permohonanku untuk dikirim ke Hindia, dan bukan malah mengirimkan Westerling, maka pada saat ini, kita tak akan berada di sini tengah membicarakan masalah bernama Soekarno ini,” kata si pria berkerudung.“Aku tak punya pilihan, keadaan tak memungkinkan; Schemerhorn tak mengizinkan semua yang terkait dengan Jerman semasa Wereldeoorlog untuk memiliki ruang gerak,” kata PM Beel, “apalagi dengan ruang gerak sebesar Hindia,”“Sekarang yang menjadi Perdana Menteri bukan Schemerhorn, tetapi kau,” kata si pria berkerudung, “aku menghabiskan banyak waktu, membahayakan keselamatanku sendiri untuk bisa memberikanmu banyak bahan intelijen dari Berlin, di tengah Hitler dan Himmler, dan kini aku ingin pembayaran dari jerih payahku itu; kirimkan aku ke Hindia sekarang,”

PM Beel berdiri dan berjalan berputar-putar sambil berpikir.

Page 40: Ksatria Pertama

“Bila masalah mengenai Hindia tak kunjung usai, maka aku akan terpaksa menyerahkan posisi Perdana Menteri kepada Willem Drees, dan aku akan menangani masalah ini langsung ke Batavia,” kata PM Beel.“Apakah ini keputusan dari Yang Mulia Ratu Wilhelmina?” tanya si pria berkerudung.“Bukan, keadaan kesehatan Yang Mulia Ratu tengah memburuk, sekarang urusan kerajaan dan kenegaraan ditangani oleh Putri Juliana,” kata PM Beel, “dan Putri Juliana mengatakan hal itu, karena beliau tak yakin bahwa beliau bisa mempercayai van Mook untuk menyelesaikan krisis di Hindia,”“Dengan memburuknya kesehatan Yang Mulia Ratu Wilhelmina, bukankah itu berarti setiap waktu beliau bisa mengundurkan diri dan menunjuk Putri Juliana sebagai ratu?” tanya si pria berkerudung, “dan seingatku, Putri Juliana begitu mendukung kemerdekaan Hindia, dan tak begitu mempermasalahkan meski Soekarno yang naik sebagai penguasanya,”“Benar, beliau mengagumi prinsip Soekarno dan itu membuat waktu kita untuk mengambil keputusan semakin sempit,” kata PM Beel, “saat ini Putri Juliana tengah mempercayaiku untuk urusan Hindia, dan itu berarti aku tidak bisa secara terbuka mengumumkan keberatanku atas pemerintahan Soekarno, karena Putri tahu bahwa setiap penolakan kita atas Soekarno membuat proses diplomasi antara kedua negara semakin memburuk,”“Kalau begitu tunggu apa lagi?” tanya si pria berkerudung, “kirim aku ke Hindia sekarang,”

PM Beel menarik napas panjang.

“Apa kau yakin kau bisa mengatasi Soekarno?” tanya PM Beel.“Aku akan membuat kotak mesiumu itu meledak,” kata si pria berkerudung, “baik van Mook, Spoor, maupun Westerling tak tahu pasti apa yang mereka lakukan, terutama Westerling; si bodoh itu hanya tahu soal jagal menjagal saja,”“Perbuatan Westerling di Celebes akan memiliki dampak buruk bagi kita, aku yakin itu,” kata PM Beel, “apa saja yang akan kaubutuhkan?”“Berikan aku Batalion ke-13 dan Resimen Grenadier ke-85,” kata si pria berkerudung.“Itu permintaan yang sulit, Heer Smitt,” kata PM Beel.

Si pria berkerudung membuka kerudungnya dan tampaklah di dalamnya, sebuah wajah yang tertutup topeng tengkorak warna perak. Namun kali ini bukan hanya wajah, namun seluruh kepalanya pun terbungkus lapisan perak sehingga seperti terlihat bahwa pria ini memiliki kepala berupa tengkorak perak. Ya, ini memang Johannes Smitt alias Johann Schlosser alias Silberneschadel, rupanya dia selamat saat terkena serangan Mata Skadi. Walau begitu kekuatan Mata Skadi membuat topeng tengkorak perak itu kini secara permanen menutupi kepalanya sehingga dia kini memiliki kepala berupa tengkorak yang mengerikan. Untunglah pada saat itu Kpt. Kontermans memilih untuk membawa tubuh Silberneschadel alih-alih meninggalkannya, karena saat perjalanan itulah baru diketahui bahwa Silberneschadel sebenarnya tidak mati.

“Batalion ke-13 dan Resimen Grenadier ke-85 adalah pasukan terpilih yang dilatih dengan amat keras dalam Waffen SS; kalau Westerling boleh memakai Depot Speciale Troepen-nya, maka aku ingin kedua pasukan itu di bawah komandoku,”

Page 41: Ksatria Pertama

kata Silberneschadel, “mereka tahu apa yang mereka hadapi, dan tahu pula harus bagaimana cara menghadapinya; lagi pula semenjak Wereldoorlog usai, meski Yang Mulia Ratu Wilhelmina telah memberi amnesti, pihak Koninklijke Leger sendiri tidak suka menggunakan mereka dan hanya mengasingkan mereka sampai mereka membusuk,”“Baiklah, akan kukirimkan juga mereka,” kata PM Beel, “kau akan ke Hindia dalam pangkatmu yang lama,”“Bagaimana dengan Kontermans?” tanya Silberneschadel, “aku juga ingin dia berada di bawah komandoku,”“Bisa kuatur, Mayor Kontermans kini sudah berada di Hindia, kalian akan menyatukan pasukan di sana,” kata PM Beel.“Bagus, aku akan segera berangkat ke Hindia, dan sepanjang kau menuruti syaratku, kau akan mendapatkan Soekarno,” kata Silberneschadel.“Kau hanya punya waktu setahun untuk membereskan Soekarno,” kata PM Beel, “tapi aku tak mau ada skandal internasional yang merugikan Belanda sebagaimana dilakukan oleh Spoor dengan Operatie Product-nya,”“Anggap saja beres,” kata Silberneschadel.“Kita bertemu lagi nanti di Batavia,” kata PM Beel, “sekarang aku akan ke Istana untuk mendiskusikan masalah ini pada Putri Juliana; Amerika Serikat sudah meminta keran diplomasi dibuka kembali, dan dalam waktu dekat mereka akan kembali mengatur sebuah perundingan dengan dibawahi oleh PBB,”

PM Beel pun segera berbalik dan meninggalkan Silberneschadel. Tapi baru beberapa langkah, dia pun menoleh kembali.

“Ada satu yang dari dulu ingin kutanyakan, Smitt,” kata PM Beel, “kau selama ini menghabiskan hidupmu di Eropa, kenapa kau begitu inginnya untuk ke Hindia?”“Tak bolehkah seorang pria mendapatkan suasana yang berbeda, Mijn Heer?” tanya Silberneschadel, “lagi pula aku adalah orang yang memperbaiki masalah, dan kini masalah Belanda terletak pada Hindia, jadi ke sanalah tujuanku,”“Baiklah,” kata PM Beel yang kembali beranjak pergi.

Sepeninggal PM Beel, Silberneschadel di balik wajah tengkoraknya menyunggingkan senyum yang licik. Ya, mungkin alasan yang dia berikan pada PM Beel memang sungguh ada benarnya, namun bukan itu alasan utamanya. Ada hal lebih besar lain yang kini tengah dirancang oleh Silberneschadel, hal yang sungguh mengerikan.

“The only thing necessary for the triumph of evil is that good men do nothing.”Edmund Burke.

Chapter III: The Lost Batallion

2 Agustus 1947Suatu Tempat di Jawa Barat10:39 WIB

Page 42: Ksatria Pertama

Setelah berjalan selama semalaman, akhirnya Batalion ke-129 bertemu dengan pasukan utama Divisi Siliwangi yang berada di bawah Kol. Nasution. Keadaan Batalion ke-129 pun sudah tak bisa lagi dibilang baik. Gara-gara serangan Mustang dari Skuadron ke-11 kemarin, sekitar 10 orang tewas mengenaskan, sehingga membuat total mereka yang gugur dari Batalion ini adalah sekitar 75 orang, dengan 30 orang terluka. Sebelum diburu oleh Mustang milik Militaire Luchtmacht, terlebih dahulu memang Batalion ini sempat bersitegang dengan Korps Lapis Baja Belanda yang berkekuatan tank M-4 Sherman dan M-3 Stuart. Untunglah tank-tank Belanda tak bisa mengikuti gerak laju Batalion ke-129 yang memanfaatkan kontur dataran untuk cepat menghilang dari kejaran.

Rusman Suhadi dan Rozak beristirahat sejenak sambil duduk-duduk di tanah di bawah lindungan hutan tebal yang menghalangi mereka dari pandangan mata musuh di atas. Mereka, terutama Rusman, sudah merasa amat lelah akibat berjalan semalaman. Memang, tubuh Rusman lebih ringkih dari siapa pun yang ada di pasukan ini, dan banyak yang mempertanyakan kenapa Rusman ada di sini, kenapa dia bisa masuk pasukan Siliwangi. Walau begitu, akibat aksi nekat mereka berdua kemarin, kini pasukan Batalion ke-129 sudah mulai bisa menghargai Rusman.

“Minum nih,” kata Rozak sambil memberikan tempat minumnya kepada sahabatnya itu.“Aku nggak haus,” kata Rusman, “sudah cukup tadi minum,”“Tumben sekali?” tanya Rozak.

Rozak memperhatikan bahwa Rusman sedari tadi melihat ke arah sebuah pohon. Di sana, komandan mereka, Kapt. Amir Amrullah tengah berdiskusi serius dengan semua komandan batalion lain dan juga Kolonel Nasution. Mereka tengah membicarakan jalan berikutnya yang akan ditempuh, sekaligus saling bertukar informasi. Dengan seluruh Divisi Siliwangi berada di sini, petak hutan ini tiba-tiba menjadi amat ramai.

“Ke mana ya, Batalion ke-125?” tanya Rusman.“Apa katamu?” tanya Rozak yang kali ini ganti memakan nasi bungkus pemberian penduduk.

Memang ada desa di sekitar sini, namun dengan banyaknya pasukan Divisi Siliwangi yang berkumpul, Kol. Nasution tidak mau mengambil risiko posisi mereka diketahui oleh Belanda, sehingga mereka lebih memilih berkumpul di dalam hutan. Penduduk desa yang mendukung perjuangan pun membuat banyak nasi bungkus dan diselundupkan ke dalam hutan untuk diberikan pada pasukan Republik.

“Aku tadi bilang, di mana Batalion ke-125,” kata Rusman.“Apa mereka belum datang?” tanya Rozak.“Belum, jadi dari tadi kamu tidak memperhatikan?” tanya Rusman.“Mana bisa perhatian kalau perut lapar,” kata Rozak kembali memakan nasinya.“Kamu itu yang kamu pikirkan cuma makanan saja,” gerutu Rusman.“Hari masih panjang, mereka masih akan datang,” kata Rozak, “makanlah,”

Rusman pun membuka nasi bungkusnya dan makan. Karena tangan yang kotor akibat perjalanan selama semalam, nasi itu pun berasa tanah, tapi itu adalah

Page 43: Ksatria Pertama

makanan ternikmat dalam beberapa hari ini setelah lama hanya berkutat dengan makanan yang disediakan oleh alam. Dalam hati, Rusman masih mempertanyakan kenapa Batalion ke-125 tidak kunjung muncul, karena dari semua batalion Divisi Siliwangi, tinggal mereka saja yang masih belum kelihatan, bahkan satu elemen pun tidak ada. Apakah terjadi sesuatu? Apakah perjalanan mereka terhambat oleh Belanda?

5 Agustus 1947Lapangan Udara AndirBandung, Jawa Barat14:47 WIB

Sebuah pesawat pembom medium B-25 Mitchell milik ML-KNIL dengan anggun mendarat di lapangan udara Andir, Bandung, Jawa Barat. Di apron lapangan udara itu telah berjejer pesawat-pesawat dengan roundel ML-KNIL seperti B-25, Martin 133, DC-3 Dakota, dan banyak pesawat tempur P-51 Mustang. Pesawat B-25 itu mendarat dekat dengan serombongan pasukan yang sepertinya tengah menyambut siapa pun yang dibawa oleh pesawat tersebut.

Tanpa menunggu baling-baling berhenti secara sempurna, pintu B-25 pun terbuka dan dari dalamnya keluarlah seseorang yang amat mencolok, karena dia memakai trench-coat panjang dengan tanda pengenal Koninklijke Landmacht dan satu emblem asing, yaitu tengkorak yang terhunus oleh dua pedang. Ya, tak perlu mata terlatih untuk bisa mengenali Johannes Smitt alias Silberneschadel, karena wajah tengkorak peraknya yang tak bisa dilepas itu. Satu hal yang cukup aneh adalah pakaiannya yang seperti berada di Eropa pada musim dingin, dengan trench-coat dan sarung tangan serta visor cap, padahal suhu di Bandung cukup panas untuk seukuran Eropa. Silberneschadel pun segera membalas hormat dari seorang mayor yang berdiri di depannya.

“Piet Kontermans,” kata Silberneschadel, “sekarang sudah jadi mayor rupanya,”“Welkom in Oost-Indisch, Heer Smit,” kata Mayor Kontermans.

Silberneschadel pun segera menyalami sobat lamanya ini, dan suasana kekakuan pun cair sudah. Beberapa perwira menengah pun langsung berkumpul menghampiri komandannya ini.

“Aku ingat kalian, de Kloop, Wisel, van der Hoeven, IJsendorf, dan siapa ini?” tanya Silberneschadel menunjuk pada orang yang tak dikenalnya.“Dia Letnan Tom de Zeeuw dari korps udara,” kata Mayor Kontermans memperkenalkan Lt. de Zeeuw.“Aku sering mendengar soal Anda,” kata Lt. de Zeeuw, “walau semua berkata lain, tapi kurasa butuh keberanian lebih untuk bermain di belakang garis musuh,”“Nah, ini adalah orang yang berpikiran maju,” kata Silberneschadel yang disambut gelak tawa dari semuanya.

“Aku pernah punya bawahan bernama de Zeeuw juga, asalnya dari Oosterbeek, apa dia keluargamu?” tanya Silberneschadel, “namanya Jan de Zeeuw,”“Benar, Mijn Heer, dia kakakku, meninggal ditembak Jerman saat mencoba menyerang patroli Jerman sekitar Grave,” kata de Zeeuw.

Page 44: Ksatria Pertama

“Berarti kalian sekeluarga dikutuk untuk berada di bawahku, Letnan,” kata Silberneschadel.

Kembali semua menyambut perkataan ini dengan penuh gelak tawa. Tapi mendadak saja gelak tawa itu berhenti ketika sebuah jeep datang mendekat, dan seseorang berpangkat letnan kolonel turun dari jeep itu. Dia berjalan dengan sedikit pongah sambil bertepuk tangan pelan.

“Rupanya kalian semua sudah reuni, bukan begitu, Heer Kolonel,” kata si letnan kolonel, “atau haruskah kupanggil kau dengan sebutan ‘Herr Unterscharfuhrer’?”

Kata-kata itu membuat semua orang yang mendengarnya terlihat naik pitam, tapi Silberneschadel berusaha untuk tetap tenang.

“Sepertinya kau adalah orang suruhan Jenderal Spoor yang ditugaskan untuk menemaniku,” kata Silberneschadel, “tapi aku tak butuh bantuan tambahan,”“Ini perintah dari Jenderal Spoor, dan aku adalah Letnan Kolonel Lodewijk van Hooijdonk,” kata si letnan kolonel, “Jenderal Spoor khawatir Anda yang masih baru di Hindia belum begitu mengenal medan, karena itulah aku diperintahkan untuk mendampingi Anda, karena aku sudah cukup lama di Hindia, terhitung sejak datang bersama dengan Jenderal Spoor sendiri,”“Jenderal Spoor cukup baik hati,” kata Silberneschadel, “tolong sampaikan itu kepada beliau,”“Pasti, dan apa lagi yang akan Anda lakukan saat ini?” tanya Letkol. Van Hooijdonk.“Saat ini? Aku baru terbang dari Belanda dan mampir ke Batavia, Letnan Kolonel, dan sudah lama aku tak bertemu dengan kawan-kawanku ini, jadi aku ingin bernostalgia dulu untuk hari ini,” kata Silberneschadel, “tentu saja kau boleh ikut bila kau tak ada kesibukan,”“Tidak, terima kasih, Mijn Heer,” kata Letkol. Van Hooijdonk, “ada laporan yang harus kukerjakan untuk kusampaikan pada Jenderal Spoor besok pagi,”“Kau yang rugi, Letnan Kolonel,” kata Silberneschadel.“Akan kutanggung itu,” kata Letkol. Van Hooijdonk, “baiklah, Mijn Heer, aku harus pergi dulu dan kurasa kau akan berada di tangan yang baik bersama kawan-kawanmu,”

Letkol. Van Hooijdonk segera menghormat, kemudian berbalik dan pergi dengan jip miliknya. Barulah setelah dia agak jauh, Mayor Kontermans berbicara pada Silberneschadel.

“Dia memang selalu menjengkelkan,” kata Mayor Kontermans.“Aku tahu, tapi aku tak bisa menyingkirkannya begitu saja,” kata Silberneschadel, “Spoor dan van Mook menugaskannya untuk memata-mataiku, dan menyingkirkannya akan mengundang kecurigaan mereka,”“Lagi pula kita membutuhkannya,” kata Mayor Kontermans, “dia memegang komando dari sebagian besar unit bantuan tempur yang kita butuhkan, termasuk artileri dan serangan udara,”“Bersabarlah, Kawanku, dia masih berguna untuk saat ini,” kata Silberneschadel.

Beberapa jam kemudian, mereka semua sudah berada di sebuah rumah besar yang disiapkan oleh Mayor Kontermans sebagai tempat tinggal bagi Silberneschadel

Page 45: Ksatria Pertama

selama dia di Hindia. May. Kontermans langsung memerintahkan pelayan pribumi mengambilkan minum dan membuka sedikit kancing bajunya. Namun anehnya, Silberneschadel sama sekali tak membuka trench-coatnya.

“Bagaimana keadaanmu? Topeng itu masih tak bisa lepas,” kata May. Kontermans.“Sekarang sudah jadi bagian dari wajahku,” kata Silberneschadel, “aku hanya tinggal menerimanya saja,”“Termasuk kau yang tak kepanasan walau memakai jaket berlapis?” tanya May. Kontermans.“Bagiku sudah tak ada lagi rasa panas, karena semua terasa sedingin es,” kata Silberneschadel, “tapi itu harga yang harus kubayar,”

Silberneschadel membuka sarung tangannya, dan tampaklah di dalamnya sebuah tangan yang anehnya tak seperti tangan manusia, lebih mirip cakar yang mengkilap bagaikan es. Ada semacam aura dingin keluar dari tangan itu dan kilatan listrik pun menari-nari di antara ujung cakarnya.

“Mata Skadi memberiku kekuatan yang jauh di luar mimpi terliarku,” kata Silberneschadel, “jadi mudah saja bagiku untuk membunuh si letnan kolonel berengsek itu, andai saja kita tak membutuhkannya,”“Itulah masalahnya, saat ini yang berada di bawah komandoku hanyalah satu regu kendaraan lapis baja dan tank, sementara semua artileri medan dan pesawat pembom dikuasai oleh Letkol. Van Hooijdonk. Si de Zeeuw juga hanya bisa memberikanmu paling banyak 4-5 Mustang, dan cukup itu saja,” kata May. Kontermans, “kaki kita terantai dengan erat,”“Spoor dan van Mook tak ingin kita menjadi kuat, karena dia tahu kita akan bisa menghancurkan ekstremis Republik itu dengan lebih efektif,” kata Silberneschadel, “pada saat yang tepat, aku akan mengambil alih semua hakku dari si letkol sialan itu, tapi sekarang masih belum saatnya,”“Mungkin jika kau memakai Mata Skadi sekali lagi, kekuatanmu akan bisa cukup hingga kita tak memerlukan semua itu,” kata May. Kontermans, “atau mungkin kau bisa memberikan sedikit kekuatan itu pada kami,”“Tidak bisa, Skadi hanya memberikan kekuatan sebanyak sekali, dan aku masih belum mendapatkan cara aman untuk mengeluarkan kekuatan itu kepada kalian,” kata Silberneschadel, “yang terakhir hampir saja membunuhku bila kau tak cepat tanggap,”“Kalau begitu sia-sia saja kita mendapatkan Mata Skadi ini dari orang-orang Amerika itu,” kata May. Kontermans.“Aku masih belum dapatkan caranya, tapi bukan berarti aku tak tahu,” kata Silberneschadel, “dan untuk alasan itulah maka aku mati-matian berusaha ke Hindia,”“Jadi kuncinya ada di sini?” tanya May. Kontermans.“Benar, dan untuk saat ini kekuatan kita belum cukup,” kata Silberneschadel, “Batalion ke-13 akan diterbangkan dari Belanda ke Andir mulai besok, dan Resimen Grenadier ke-85 akan menyusul dalam tempo sebulan, baru kita akan punya cukup kekuatan untuk memulai tujuan kita yang sebenarnya,”“Itukah yang dahulu dirancang oleh Ahnenerbe?” tanya May. Kontermans.“Benar, yang diberikan oleh Ahnenerbe kepada Jepang untuk dibuat di Hindia, demi menghindari serangan Sekutu,” kata Silberneschadel, “dan rahasia ini sudah

Page 46: Ksatria Pertama

terkubur sejak 3 tahun lalu, tak tercatat bahkan dalam dokumen Ahnenerbe sendiri,”

Silberneschadel mengambil sebuah gulungan peta dan menggelarnya di meja, dan dia serta May. Kontermans melihatnya sambil mengangguk-angguk.5 Agustus 1947Atas desakan dari wakil Australia dalam Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menuntut dilakukannya solusi damai antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia, maka Letnan Gubernur Jenderal Hindia-Belanda, Hubertus Johannes van Mook menyerukan gencatan senjata, yang secara de jure mengakhiri konflik bersenjata yang mengikuti Aksi Polisionil Belanda sejak 21 Juli 1947 atau yang oleh Republik Indonesia disebut sebagai Agresi Militer.

14 Agustus 1947Mantan Perdana Menteri Indonesia, Sutan Sjahrir, berbicara di depan Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengecam aksi kolonialisme Belanda atas Republik Indonesia dan menuntut supaya PBB turun tangan dalam menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda. Sjahrir berkali-kali mematahkan argumen Belanda yang diwakili oleh Eelco van Kleffens, yang berupaya untuk menjadikan masalah Indonesia sebagai masalah internal negeri Belanda. Kemenangan diplomasi Sjahrir memiliki dampak politis yang luar biasa karena untuk pertama kalinya, PBB menggunakan nama “Republik Indonesia” dan bukan lagi “Hindia-Belanda” dalam resolusi selanjutnya untuk menyelesaikan konflik ini. Ini, secara de facto, menjadi pengakuan dari PBB atas berdirinya negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh serta terpisah dari Belanda.

25 Agustus 1947Atas usulan dari Amerika Serikat, untuk menyelesaikan pertikaian antara Indonesia dan Belanda, maka dibentuklah Komisi Jasa Baik yang anggotanya terdiri dari Australia (dipilih oleh Republik Indonesia), Belgia (dipilih oleh Belanda), dan Amerika Serikat (dipilih oleh Australia dan Belgia). Tujuan dari Komisi Jasa Baik adalah untuk mengadakan perundingan damai selambat-lambatnya pada akhir tahun 1947 untuk menyelesaikan kasus Indonesia-Belanda.

29 Agustus 1947Belanda menarik garis demarkasi yang disebut sebagai “Garis van Mook” yang membatasi wilayah Republik Indonesia dengan wilayah Belanda pasca Agresi Militer Juli 1947. Garis van Mook ini memperkecil wilayah Republik Indonesia hingga tinggal sepertiganya dari wilayah Republik menurut Perjanjian Linggadjati. Sebagai tambahan untuk lebih memperlemah posisi Republik, maka Belanda menerapkan blokade atas bahan pangan dan juga senjata. Sementara proses diplomasi terus berlangsung, tanpa mengindahkan perintah gencatan senjata, konflik dalam skala kecil pun terus terjadi.2 Oktober 1947Luar Kabupaten Cianjur17:53 WIB

Pasukan dari Batalion 129 baru saja memasuki desa ini dan menjadikannya sebagai markas aju sementara. Dengan jalan utama dari Batavia ke Bogor dan Bandung dikuasai dan diperkuat oleh Belanda, gerakan Divisi Siliwangi hanya terbatas pada

Page 47: Ksatria Pertama

kota-kota kecil dan desa-desa. Bila nekat menyerbu posisi Belanda, maka sama saja cari mati, karena senjata pasukan Belanda lebih lengkap daripada senjata Divisi Siliwangi. Satu hal yang vital adalah dengan dikuasainya jalan raya, maka pasokan logistik dan munisi Belanda dari Batavia ke Bandung relatif lebih lancar bila dibandingkan pasokan logistik Siliwangi yang harus dibawa lewat jalan kecil dan tak jarang harus menerjang medan berat.

Saat ini ada isu yang sedang merebak di kalangan pasukan Siliwangi yaitu kedatangan seorang komandan baru tentara Belanda yang karena wajah tengkoraknya membuatnya dikenal dengan berbagai nama, antara lain “de Schedel”, “Zilveren Schedel”, “Hoopf van de Dood”, atau kalau orang Republikan biasa memanggilnya dengan nama “Jerangkong” seperti nama sebuah hantu lokal yang berwujud tengkorak. Kedatangan si Jerangkong ini diikuti oleh kedatangan pasukan baru yang kemampuannya dianggap di atas kemampuan prajurit-prajurit Koninklijke Landmacht.

Pasukan baru ini, oleh para perwira Siliwangi kemudian disebut sebagai “Pasukan Kematian” atau dalam bahasa Belanda adalah “Dood Leger”. Selain karena kemampuan tempurnya yang luar biasa, juga karena pasukan ini menggunakan emblem berupa kepala tengkorak dengan pedang bersilang. Dari keterangan salah satu batalion dari brigade Letkol. Alex Kawilarang yang pernah bentrok dengan pasukan ini mengungkapkan bahwa kemampuan tempur para prajurit Doodleger memang tidak bisa dianggap remeh. Mereka bergerak, bermanuver, dan bertempur dengan amat baik. Satu hal menarik yang dilaporkan oleh Letkol. Kawilarang kepada Kol. Nasution adalah gelaran tempur Doodleger tidak memakai gelaran standar yang pernah dipelajari semasa masih di KNIL. Bahkan semboyan-semboyan dan komando yang digunakan pun berbeda dengan komando baik dari KNIL maupun Koninklijke Landmacht. Lebih aneh lagi adalah bahwa semua perintah disampaikan dalam bahasa Jerman, bukan bahasa Belanda.

Bahkan tanpa gelaran yang masih amat asing ini, menghadapi pasukan ini sudah sulit bukan main, karena tak seperti pasukan Belanda yang lain, pasukan ini adalah pasukan yang berani mati dan bergerak dengan amat agresif untuk memanuver dan memukul lambung lawan. Padahal mereka hanya didukung minim oleh artileri ringan, lapis baja, serta serangan udara. Tapi Letkol. Kawilarang menilai bahkan hanya dengan ini pun mereka bisa bertempur 5 kali lebih baik daripada pasukan Belanda yang mendapat bantuan tempur lengkap. Andai saja pasukan ini dilengkapi dengan bantuan tempur yang lebih baik… Bahkan Letkol. Kawilarang pun ngeri menyampaikan kemungkinan ini pada Kol. Nasution.

Tapi di desa kecil ini, kekhawatiran mengenai “Pasukan Kematian” belum terlalu terpikirkan. Pasukan Siliwangi baru saja tiba di sini, dan saat malam mulai merayap naik, pertahanan pun mulai diketatkan dengan masing-masing prajurit berjaga bergiliran, walau selama ini Belanda nyaris tak pernah mengambil risiko untuk menyerang pasukan Republikan di malam hari. Pun, Doodleger kadang sering bertindak di luar doktrin umum KNIL, sehingga semua kemungkinan harus dipikirkan.

Sebagai salah satu prajurit yang bertugas jaga, Rusman duduk bersandar pada pohon sambil menimang senapan Mannlicher M95 yang dibawanya. Bahkan

Page 48: Ksatria Pertama

senapan ini pun awalnya bukan miliknya, karena dia hanya mengambil milik pejuang lain yang sudah gugur. Pada saat masuk TKR, karena tubuhnya yang ringkih dan tidak meyakinkan, Rusman dulu hanya mendapat tugas untuk membawa peluru dan memberikan pada para penembak. Tapi takdir pun akhirnya menentukan dia menjadi penembak dengan memberikan Mannlicher M95 ini kepadanya. Meski usia senapan ini sudah 50 tahun lebih, setidaknya memegangnya ada rasa aman karena ada sesuatu yang bisa dia andalkan. Dan selama setahun memilikinya, Rusman sudah beberapa kali menembakkan senapan ini, namun dia tidak tahu apakah ada dari satu tembakannya yang kena lawan. Dia memang bukan seperti Rozak yang punya bidikan sejati, meskipun sebenarnya Rozak sendiri berpendapat bahwa bidikannya tak kalah baiknya. Kalau Rusman meleset, itu karena kadang dia kesulitan mengatasi efek tolak balik senapan, terutama setelah menembak sekian kali.

Rozak dengan senapan Arisaka Type-99-nya masih tertidur, dalam jarak pandang Rusman. Rusman tersenyum karena senapan Arisaka Type-99 itu sebenarnya adalah miliknya, yang diberikan kepadanya oleh Hattori-san, seorang perwira Jepang tempat dia pernah menjadi asisten. Saat bertemu Rozak, dia sengaja memberikan senapan itu kepadanya karena tahu bahwa bidikan Rozak lebih baik dan pasti senapan itu akan berguna banyak baginya. Apalagi senapan Arisaka yang diberikan padanya adalah salah satu yang terbaik, pembuatannya paling halus karena dibuat pada tahun-tahun awal Perang Pasifik, jadi bukan seperti senapan periode akhir yang kasar dan oleh karena itu akurasinya sedikit diragukan. Melihat betapa mematikannya senapan itu di tangan Rozak, Rusman tak pernah merasa menyesal untuk memberikannya pada sahabatnya itu.

Suasana sepi itu kembali membuat pikiran Rusman melayang ke masa lalu, dan setiap kali hanya satu orang yang dia ingat, yaitu Nonik Maria. Entahlah, jika ada orang yang dia kenal lama selain Rozak, pasti itu adalah Nonik Maria, bukan, dia tak begitu suka dipanggil Nonik...

“Maria,” gumam Rusman.

Nama lengkapnya adalah Maria Catharina Isabel Hogendrop, anak kedua dari pasangan Edward dan Margriet Hogendrop, keluarga Belanda tempat dulu Rusman pernah mengabdi. Rusman mengenal Maria sebagai anak yang periang dan gadis yang cantik, dan selalu mengenakan pakaian atau pita rambut warna kuning. Meneer Hogendrop, begitu Rusman menyebut Edward, lahir dan besar di Hindia, meski dia berkali-kali pulang ke Belanda, dan konon ibu Tuan Meneer adalah orang Hindia. Karena sisilah itu, meski Maria berkulit putih, tapi putihnya kulit Maria tak seputih kulit ibunya yang memang asli orang Belanda. Total keluarga itu punya 4 orang anak, yaitu si sulung Albert yang pemberani, Maria yang cantik, dan dua adik kembarnya Willem dan Renee yang menyenangkan dan nakal. Dari semua anggota keluarga Tuan Meneer ini, hanya Willem dan Renee yang kemungkinan masih hidup meskipun Rusman sendiri tak pernah mengetahui keberadaan mereka, karena beberapa bulan sebelum pecah Perang Pasifik, Tuan Meneer sempat mengungsikan mereka bersama nenek mereka ke Australia.

Rusman memegang saku bajunya, kemudian mengeluarkan sebuah liontin, satu-satunya peninggalan dari Maria Hogendrop selain sebuah buku Moby Dick yang

Page 49: Ksatria Pertama

menjadi kesayangannya. Saat liontin itu dibuka, di sana ada foto Maria yang tengah tersenyum. Ya, pada akhir hayatnya, Maria sempat menitipkan liontin dan buku itu kepadanya. Pikiran Rusman pun tertarik kembali pada masa itu.

“Buku ini untuk kau baca supaya kau bisa tahu bagaimana akhir perjalanan Ishmael,” kata Maria.

Maria kemudian mengecup pipi Rusman, lalu melepas liontinnya dan meletakkannya di dalam genggaman tangan Rusman.

“Dan ini supaya kau bisa terus mengingatku,” kata Maria sambil tersenyum manis.

Tapi lamunan Rusman buyar ketika tiba-tiba dia mendengar suara semak bergemerisik. Dengan segera dia mengantongi liontin dan menyiapkan Mannlicher-nya. Suara itu cukup dekat dengannya dan membuat Rusman agak gugup. Bagaimana bila ternyata itu adalah Belanda? D bawah keremangan sinar rembulan, Rusman pun melihat semak di depannya bergoyang, dan dia segera bersiap membidikkan senapannya ke arah itu.

“Siapa?” teriak Rusman.

Tak ada jawaban, tapi ada suara langkah yang semakin mendekat. Rusman semakin mempererat genggaman pada senapannya dan jarinya bersiap pada picu. Napasnya pun memburu saat ketegangan memuncak, namun Rusman masih tetap bisa tenang.

Perlahan-lahan sesosok orang pun muncul dari balik semak-semak itu, masih tanpa bicara. Rusman melihat dia tak memakai topi baja atau baret, melainkan topi kain mirip peci, menandakan dia bukan orang Belanda, namun salah satu pejuang juga. Rusman melepas bidikannya, namun senapannya masih dalam posisi siaga.

“Indonesien?” tanya Rusman agak keras.

Orang itu hanya mengangkat tangan lemah saja. Dia berjalan sempoyongan, seolah berusaha amat keras supaya bisa tetap seimbang. Tangan kirinya menjuntai ke bawah, memegang sling pada Sten Mk.II miliknya yang ujung larasnya diseret saja di tanah. Dia lebih mirip orang mabuk daripada seorang prajurit, maka Rusman pelan-pelan mendekatinya.

“Indonesien?” tanya Rusman lagi.“Mer... de... ka...” kali ini orang itu menjawab lemah.

Terkejutlah Rusman karena begitu sudah dekat, wajah orang ini penuh darah dan luka yang sebagian sudah mengering. Bahkan bajunya compang-camping penuh darah dan bekas luka, serta jalannya pincang akibat luka pada kaki yang sudah mulai dikerubuti oleh lalat. Orang itu langsung saja ambruk dan pingsan di hadapan Rusman.

Dan perkemahan darurat itu pun gempar. Si prajurit yang malang langsung saja dibawa ke bawah tenda bivak milik Kolonel Nasution, dan beberapa prajurit coba

Page 50: Ksatria Pertama

merawat lukanya, meski sejujurnya mereka tak yakin dia akan masih bisa bertahan esok hari. Di seputar tenda itu ada komandan Brigade IV Divisi Siliwangi, Letkol. Daan Jahja, dan juga semua komandan batalion yang masih ada, termasuk Kapt. Amrullah. Rusman pun ada di sana karena dia yang menemukan si prajurit itu. Semua ingin mengetahui kabar apa yang dibawa oleh si prajurit malang itu yang membuatnya jauh-jauh berjalan kemari dengan luka separah itu.

Semua orang pun berdiri saat Kol. Nasution keluar dari tenda itu dengan wajah kuyu.

“Bagaimana, Pak Nas?” tanya Letkol. Daan Jahja.“Buat si prajurit itu, tak ada lagi yang bisa kita lakukan,” kata Kol. Nasution atau akrab dipanggil dengan nama Pak Nas.“Tapi benar dia orang kita?” tanya Letkol. Jahja.“Benar, dia adalah salah satu dari regu pengintai yang dikirimkan oleh Kapten Burham Jaelani untuk mencapai posisi kita dan mengirimkan kabar penting, namun di tengah jalan, mereka harus kucing-kucingan dengan unit Verkenning Doodleger di wilayah Garut,” kata Pak Nas.“Berarti wilayah Garut sekarang sudah dikuasai oleh Doodleger?” tanya Letkol. Jahja.“Itu yang menjadi kekhawatiranku,” kata Pak Nas, “prajurit itu juga mengatakan bahwa Doodleger tengah melakukan sesuatu di Jawa Barat, sepertinya mereka merazia beberapa desa dan menangkapi para penduduknya,”“Kenapa mereka melakukan itu?” tanya Letkol. Jahja.“Mungkin untuk melemahkan gerakan kita, gerilya kita memang menggantungkan diri dengan simpati rakyat di wilayah perjuangan,” kata Pak Nas, “tangkap rakyatnya, dan kita akan lemah, walau entah mengapa aku merasa ada yang aneh,”“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Letkol. Jahja.“Nah, di sinilah peliknya, dia dan regunya diserang oleh elemen dari Verkenning Belanda, dalam perjalanan menuju ke sini, artinya posisi ujung tombak Belanda sekarang sudah berada dekat dengan posisi kita, dan otomatis kita harus segera bergerak kembali,” kata Pak Nas, “Pilihannya antara bergabung dengan Brigade Letkol. Kawilarang di timur atau Brigade Letkol. Sukma Brata di utara,”“Lalu dengan Doodleger sendiri?” tanya Letkol. Jahja.“Kita harus tahu apa yang sedang mereka lakukan dengan para penduduk sipil,” kata Pak Nas, “saat ini meski Mr. Amir Sjarifudin tengah berunding dengan pihak Belanda, Markas Besar TNI sendiri belum mengakui keberadaan Garis van Mook, artinya wilayah ini masih dalam tanggung jawab kita, dan begitu pula dengan rakyatnya,”“Tugaskanlah Batalion ke-129 untuk menyelidikinya,” celetuk Kapt. Amrullah tiba-tiba.

Celetukan Kapt. Amrullah membuat mata semua orang, termasuk Pak Nas dan Letkol. Jahja melihat ke arahnya.

“Bukankah Batalion ke-129 sudah kehilangan banyak orang, dan kini sebelum diatur kembali, masih ingin maju?” tanya Letkol. Jahja.“Justru itu, saat ini jumlah pasukan dari Batalion ke-129 adalah yang paling sedikit, jadi kami bisa bergerak dengan lebih leluasa,” kata Kapt. Amrullah, “dan kalau pun

Page 51: Ksatria Pertama

kami tumpas, maka kerugian bagi Divisi Siliwangi akan lebih sedikit bila dibandingkan battalion lain yang maju,”

Pak Nas hanya menghela napas panjang saja.

“Ini bukan perkara sembarangan, Amir,” kata Letkol. Jahja, “kalian akan bergerak di luar wilayah gerilya kita dengan tanpa sokongan satu pun dan melawan pasukan Belanda yang paling berbahaya, Doodleger,”“Kami siap, Pak Jahja,” kata Kapt. Amrullah, “aku yakin semua anak-anak 129 pun siap,”“Kau bicara sembarangan saja, sudah kau tanyakan anak buahmu?” tanya Pak Nas.

Pak Nas pun melempar pandangan kepada semua yang ada di sana. Rusman dan Rozak saling berpandangan. Dalam hati mereka, mereka tentu tahu ini adalah misi berbahaya, tapi bagaimana pun juga, Batalion adalah saudara mereka, dan negeri ini adalah keluarga mereka. Apa pantas bila mereka menolak?

“Siapa yang dari Batalion ke-129?” tanya Pak Nas.

Rusman langsung berdiri nyaris tanpa jeda, langsung diikuti oleh Rozak 2 detik kemudian.

“Siapa namamu?” tanya Pak Nas menunjuk ke arah Rusman.“Rusman Suhadi, Kolonel!” kata Rusman.“Kau dari Batalion ke-129 Brigade IV?” tanya Pak Nas.“Siap, Kolonel, benar!” kata Rusman.“Kau siap mengikuti kaptenmu pada misi yang berbahaya ini?” tanya Pak Nas.“Siap, saya siap berkorban demi Batalion dan bangsa,” kata Rusman.“Lalu kau, siapa namamu?” tanya Pak Nas sambil menunjuk Rozak.“Rojali bin Jali, dari Batalion ke-129, dan saya siap untuk berkorban!” teriak Rozak.

Beberapa orang yang tersisa dari Batalion ke-129 pun langsung berdiri dan menyatakan kesiapan mereka untuk berkorban. Bahkan Sers. Suhaemi pun ikut serta, ini membuat Pak Nas merasa senang, namun sekaligus juga prihatin.

“Kapten Amir, kau punya anak buah yang luar biasa, bahkan dalam keadaan terdesak, moril mereka masih tinggi,” kata Pak Nas, “tapi dari semua, justru Batalion kalian yang paling kukhawatirkan, karena rata-rata masih terdiri dari anak-anak muda, dan kalian baru mengalami kehilangan yang cukup besar,”“Pak Nas, biarkanlah kami pergi,” kata Kapt. Amrullah, “lagi pula, apa lagi ajang penggemblengan yang lebih baik daripada medan pertempuran bagi anak-anak muda ini? Mungkin secara fisik kami lemah, tapi semangat kami akan membara untuk membakar musuh,”“Itulah hal kedua yang kukhawatirkan,” kata Pak Nas, “tapi bagaimana pun juga, argumenmu masuk akal, hanya saja aku ingin kau untuk ingat beberapa hal,”

Pak Nas terdiam sejenak.

“Pasukan yang kalian hadapi ini adalah Doodleger, yang bahkan Letkol. Kawilarang sendiri merasa jeri, dan misi kalian hanya mencari tahu apa yang dilakukan oleh

Page 52: Ksatria Pertama

Doodleger,” kata Pak Nas, “jangan sekali-kali mengadakan pertempuran terbuka dengan Doodleger kecuali terpaksa; jumlah orang dan amunisi kalian tak banyak, jadi manfaatkan sebaik-baiknya untuk kesuksesan misi kalian,”“Siap, Kolonel,” kata Kapt. Amrullah.“Begitu misi kalian berhasil, segera melapor dan bergabung dengan pasukan gabungan Brigade II dan Brigade IV, sekali lagi jangan mengadakan perlawanan dengan Doodleger entah itu unit Verkenning atau unit utama tanpa sebab,” kata Pak Nas, “camkan ini baik-baik,”“Siap, Kolonel,” kata Kapt. Amrullah.“Baiklah, mulai siapkan perbekalan dan amunisi,” kata Pak Nas, “kalian berangkat besok subuh,”

Persetujuan Pak Nas ini membuat perasaan semua orang di Batalion ke-129 membuncah dan campur aduk. Banyak kekhawatiran yang menggelayut mengingat dengan kekuatan yang cukup minim, mereka akan kembali berperang. Namun mengingat ini misi yang mulia, maka semua orang pun bersemangat untuk menyongsongnya.

“Kami adalah anak muda yang bersemangat, dan kami bagai menemukan rumah kami dalam pertempuran. Semakin berbahaya misi ini, semakin kami tertantang untuk maju. Apalagi denganku. Rusman yang dulu lemah dan menjadi olok-olokan banyak orang kini sudah tumbuh dewasa dan menjadi orang yang pemberani. Bila melihat bagaimana masa kecil kami, tentu saja perjalanan yang telah kami jalani terasa sudah amat jauh. Almarhum orang tuaku tentu akan bangga, juga Nonik Maria yang sejak awal selalu percaya padaku. Ini membuatku merasa amat ringan dalam melangkah pada satu lagi tantangan di depan, tanpa menyadari bahwa tantangan ini akan mengubah lagi hidupku untuk selamanya.”

“Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia”Ir. SoekarnoChapter IV: First Blood

7 Oktober 1947Perbatasan Kabupaten Cianjur-Bandung08.27 WIB

Hujan baru saja reda ketika batalion ke-129 Siliwangi bergerak menerabas hutan sepanjang perbatasan Cianjur dengan Bandung, yang sebenarnya merupakan rute yang berbahaya. Setelah agresi, Belanda menguasai wilayah-wilayah perkotaan atau yang memiliki infrastruktur teratur, sehingga bergerak menuju Bandung boleh dibilang tindakan nekad. Ini belum ditambah kehadiran pasukan maut, Doodleger, yang bergentayangan entah di mana. Tapi, alasan kedua inilah yang membuat pasukan batalion ke-129 harus bergerak menuju Bandung.

Laporan mengenai Doodleger yang menangkapi para penduduk jelas merupakan sesuatu yang mengganggu bagi Kol. Nasution. Meski sudah ada gencatan senjata, bagaimana pun wilayah yurisdiksi Divisi Siliwangi adalah di Jawa Barat, dan oleh

Page 53: Ksatria Pertama

sebab itu keselamatan penduduknya pun berada di bawah tanggung jawab dari divisi ini. Dan gerakan pasukan Doodleger ini dirasakan memang aneh, karena hanya Doodleger saja yang melakukan penangkapan warga sipil, sementara pasukan Belanda yang lain tidak. Dan untuk mencari tahu itu, adalah tugas dari batalion ke-129.

Sejauh beberapa hari berjalan, pasukan kecil ini (karena sudah tidak lengkap sebagai satu batalion utuh) menghindari jalan dan terutama patroli pasukan Belanda, dan terus berupaya melacak jejak Doodleger. Batalion ke-129 sendiri belum pernah secara langsung menghadapi Doodleger, baru pasukan dari Brigade ke-2 di bawah pimpinan Letkol. Kawilarang yang pernah bersirobok dengan pasukan maut ini, dan laporan dari mereka tidaklah menyenangkan. Divisi Siliwangi adalah salah satu divisi yang disegani oleh pasukan Belanda, dan baru kali ini mereka kerepotan menghadapi sebuah kesatuan Belanda di wilayah gerilya mereka sendiri.

Semua orang pun berjalan kembali, saling bahu membahu sebagaimana saudara. Bahkan Rusman yang bertubuh paling lemah pun dibantu kawan-kawannya dengan senang hati, walau Rusman sendiri merasa tak enak. Pun setelah insiden kemarin, kawan-kawannya telah menjuluki Rusman dengan nama “si kancil berhati singa”, karena badannya yang kecil namun keberaniannya menyala-nyala. Jarang ada orang yang berani berhadapan dengan sebuah pesawat Belanda kecuali Rusman dan Rozak.

Jalan yang licin membuat Rusman terpeleset dan jatuh. Dengan susah payah dia berusaha untuk menjaga supaya Mannlicher-nya tidak terkena lumpur yang memenuhi jalanan setapak. Memang mereka harus menghindari jalan besar, mengingat Belanda sering berpatroli dan pesan dari Pak Nas adalah jelas: hindari kontak dengan Belanda!

Hari pun semakin siang dan masih belum ada tanda-tanda dari buruan mereka, Doodleger. Pasukan ini benar-benar pasukan yang amat mobil dan terus menerus bergerak. Menurut informasi yang disampaikan oleh Brigade II, mereka dilengkapi kendaraan-kendaraan yang memungkinkan mobilisasi pasukan dengan cepat untuk bergerak dari satu titik ke titik lainnya. Terbukti bahwa memburu pasukan ini pun bukan masalah yang mudah. Sudah berhari-hari mereka mencari, tapi belum menemukan satu pun jejak Doodleger, sementara mereka semakin dekat ke daerah berbahaya di Bandung. Dengan konsentrasi pasukan Belanda di sini, mereka akan mengambil risiko yang amat besar kalau sampai ketahuan.

Seiring hari yang semakin siang, seluruh batalion pun beristirahat sambil membagi bekal makanan mereka yang kian menipis. Kapt. Amrullah sudah bertekad bahwa bila hari ini tak mendapatkan apa-apa, maka mereka akan mundur kembali dan bergabung dengan kekuatan utama Brigade IV pimpinan Letkol. Jahja. Pun, rencana ini masih tak menyurutkan semangat para pasukan. Bagi mereka, pulang merupakan alternatif yang tak kalah bagus bila misi tak tercapai. Kapt. Amrullah dan Lt. Suhaemi pun sudah mulai membicarakan soal rute terbaik dan tercepat untuk bisa kembali. Sayangnya, perkembangan yang datang kemudian menjauhkan bayang-bayang rumah dari hadapan mereka.

Page 54: Ksatria Pertama

Pengintai yang sejak tadi disebar oleh Kapt. Amrullah pun kembali dengan tergopoh-gopoh. Semua orang yang beristirahat pun tahu bahwa ini biasanya bukan pertanda bagus. Sebelum komando diberikan, mereka dengan segera mengemasi barang dan mulai mempersiapkan senjata. Rusman dan Rozak yang kebetulan berposisi dekat dengan Kapt. Amrullah dan Lt. Suhaemi tak sengaja mencuri dengar laporan dari pengintai itu.

“Dua kendaraan Belanda, satu jenis jeep dan satu lagi sepeda motor berkereta samping, jumlahnya 5 orang total,” kata Kapt. Amrullah mengulang laporan si pengintai.“Pengintai kah?” tanya Lt. Suhaemi.“Mungkin, tapi kalau mereka diam di jalan, apa bisa disebut sedang mengintai?” tanya Kapt. Amrullah.“Sepertinya mereka menunggu kedatangan seseorang,” kata si pengintai.“Apa kamu ketahuan atau mereka tahu kedatanganmu?” tanya Kapt. Amrullah.“Tidak, Kapten, posisi kami jauh, dan saat kami melihat mereka, mereka sudah dalam posisi menunggu,” kata si pengintai.“Ada tanda kesatuannya? Jangan-jangan mereka berasal dari Batalion Andjing NICA,” tanya Lt. Suhaemi.“Bukan, Letnan, mereka tak memakai emblem anjing, melainkan tengkorak dengan pedang bersilang, dan corak seragam mereka berbeda dengan seragam tentara Belanda yang pernah kita kenal,” kata si pengintai.

Kapt. Amrullah dan Lt. Suhaemi hanya saling berpandangan saja sambil menarik napas panjang.

“Doodleger,” gumam Kapt. Amrullah.“Akhirnya buruan yang kita cari ketemu juga,” kata Lt. Suhaemi, “bagaimana kalau kita ke sana?”“Ya, tapi jangan gegabah, siapa tahu mereka menunggu sisa pasukan yang lebih besar lagi,” kata Kapt. Amrullah, “dan Pak Nas sudah berpesan agar kita jangan sampai membuka kontak dengan pasukan Belanda mana pun, jadi termasuk pula dengan Doodleger,”“Baik, aku akan siapkan semua pasukan,” kata Lt. Suhaemi.

Lt. Suhaemi pun menghormat dan meninggalkan Kapt. Amrullah. Sementara itu Rusman dan Rozak masih termenung.

“Kau dengar tadi? Doodleger,” kata Rusman.“Ya, akhirnya senapanku bisa makan korban juga,” kata Rozak, “lebih bagus lagi kalau pemimpin mereka sendiri yang datang,”“Hus, jangan bicara sembarangan,” kata Rusman, “ada alasan kenapa Letkol. Kawilarang membicarakan mengenai Doodleger dengan nada yang penuh kehati-hatian; bila Letkol. Kawilarang sendiri menganggap tinggi Doodleger, maka seharusnya kita tak boleh meremehkan mereka,”“Bagiku, Belanda adalah tetap Belanda,” kata Rozak, “dan tentara Belanda adalah sasaran dari peluru-peluruku,”

Rusman, meski tak begitu suka dengan nada bicara Rozak, dia pun memilih tak berdebat lebih jauh, karena panggilan untuk berkumpul sudah diserukan.

Page 55: Ksatria Pertama

Doodleger, buruan mereka selama berhari-hari telah ditemukan, dan entah apa yang harus diharapkan dari sebuah pasukan Belanda yang ditakuti bahkan oleh Letkol. Kawilarang yang terkenal jago itu.

7 Oktober 1947Perbatasan Kabupaten Cianjur-Bandung12.36 WIB

Dengan cepat, pasukan Batalion ke-129 bergerak senyap mencoba untuk tak membuat tanaman yang mereka lewati beriak. Sasaran mereka adalah sebuah persimpangan jalan di mana mobil dan motor sespan yang dilaporkan oleh para pengintai tadi berada. Mereka sendiri akan berada pada posisi di bukit di atas jalan tersebut, cukup jauh untuk bisa diketahui, namun masih masuk dalam jarak pandang mereka, sehingga mereka bisa mengawasi area itu dengan leluasa tanpa takut ketahuan. Bila pun ketahuan, maka jarak antara mereka dengan Belanda berarti mereka masih bisa melakukan perlawanan singkat dan lari berpencar untuk menghindari kejaran, setidaknya teorinya seperti itu.

Pasukan pun bergerak menempati posisi mereka masing-masing dengan senjata dalam posisi siap tembak. Pun, gerakan mereka yang senyap mengindikasikan mereka tak mengharapkan terjadinya kontak senjata kecuali bila benar-benar perlu. Berkali-kali berusaha bersembunyi dan lari dari musuh berarti Batalion ke-129 sudah amat fasih dalam hal bergerak secara senyap. Masing-masing di posisinya segera berjongkok dan berlindung di balik tabir tanaman yang menyembunyikan mereka dari jarak pandang musuh.

Agak jauh di depan, sedikit menurun, adalah persimpangan jalan yang dimaksud, dan kedua kendaraan itu memang masih ada di sana. Kapt. Amrullah melihat lewat teropongnya, dan sadar bahwa seragam pasukan Belanda itu memang berbeda dengan seragam tentara Belanda yang dia kenal. Biasanya, tentara Belanda atau KNIL memakai baju olive drab polos atau loreng M1942 pattern Amerika Serikat yang mirip dengan loreng macan tutul, tapi kelima serdadu ini menggunakan pola doreng yang jauh lebih rumit, pola yang disebut sebagai Leibermuster ex-Waffen SS. Hanya emblem bendera Belanda saja yang membuat mereka dikenali sebagai pasukan Belanda. Kelima serdadu juga dalam keadaan siaga dan memegang senjata mereka masing-masing, termasuk sepucuk senapan mesin berat Browning M2HB 12,7mm pada jeep dan senapan mesin serbaguna Browning M1919 7,62mm pada sespan motor. Sikap mereka yang siap siaga membuat Batalion ke-129 yang mengintai pun tak kalah tegangnya. Komando pun diberikan tanpa suara supaya tak membocorkan posisi mereka kepada musuh. Bila memang kelima serdadu ini ingin bertemu dengan pasukan induk, maka membocorkan posisi bukanlah hal yang bijaksana, meski jumlah Batalion ke-129 jelas lebih banyak.

Benar saja, karena tak lebih dari 15 menit setelah Batalion ke-129 berada di posisi intai, terdengar suara gemuruh mesin kendaraan yang bertalu-talu. Lalu dari arah berhadapan dengan posisi kelima prajurit Belanda itu, mulai muncul konvoi kendaraan, 5 buah jeep dan 8 buah truk ditambah 2 buah halftrack buatan Jerman SdKfz 251/21 antiserangan udara bersenjatakan masing-masing triple MG151/20mm autokanon. Satu hal yang diamati berbeda oleh Batalion ke-129

Page 56: Ksatria Pertama

adalah konvoi ini diam, padahal biasanya di wilayah yang dianggap “aman”, tentara Belanda biasa dalam konvoi sering bergumam atau bernyanyi-nyanyi. Seluruh tentara di konvoi ini, kebalikannya, memasang tampang serius dan selalu siap tempur. Kebanyakan mereka menggunakan senjata-senjata yang masih asing di mata Batalion ke-129, seperti senapan semi-otomatis G43 alih-alih M1 Garand regular, serta mitraliur MP-40 yang menggantikan Thompson.

Namun perhatian tertuju pada jeep yang paling depan, karena di sana, duduk di bangku sebelah pengemudi, satu-satunya orang yang memakai trench-coat pada cuaca sepanas ini. Bersama dengan visor-cap dan topeng tengkorak warna perak metalik, dialah Silberneschadel, atau oleh TNI dikenal sebagai “Si Jerangkong”. Silberneschadel duduk dengan mata menatap tajam ke depan, pandangan mata seorang pemburu. Di tangan kirinya, dekat dengan pintu jeep, tergenggam sebuah pedang lurus sepanjang 80 cm yang merupakan simbol kebanggan dari perwira SS Jerman, sebilah Ehrendegen-Reichsfuhrer-SS, atau yang biasa disebut sebagai SS Degen saja. Kesemua itu menambah aura kengerian dari si pemimpin Doodleger ini, yang bahkan melihatnya saja cukup untuk membuat orang bergidik ketakutan.Konvoi pun berhenti di depan patroli yang sudah sedari tadi menunggu, dan beberapa orang prajurit dari jeep segera turun disusul oleh Silberneschadel yang menyandang pedangnya. Tampaknya Silberneschadel ingin mendengar laporan dari patrolinya.

“Si Jerangkong,” kata salah satu prajurit Siliwangi di dekat Rusman.“Bikin merinding ya, tampangnya,” timpal rekannya.

Memang, dengan postur tinggi tegap, langkah yang mantap dan trench-coat serba hitam, membuat penampilan Silberneschadel tampak amat mengerikan. Selain dari tampilannya, aura yang dibawanya memang menampilkan aura malaikat maut yang tengah berjalan. Prajurit patroli pun memberinya hormat dengan mengangkat tangan kanannya, kemudian dia menunjukkan sebuah peta kepada Silberneschadel.

“Mereka punya peta,” kata Lt. Suhaemi, “tahu begitu kita serang saja tadi, rebut petanya, lalu mundur,”“Tak akan cukup waktunya,” kata Kapt. Amrullah, “lagi pula kita tak tahu kalau mereka memegang peta,”“Ya, dan peta itu akan menunjukkan apa sebenarnya rencana dari si Jerangkong itu,” kata Lt. Suhaemi, “dan itulah yang selama ini kita cari,”

Rusman hanya mendengarkan diskusi kedua komandannya ini hingga dia nyaris tak sadar bahwa Rozak sudah meninggikan tubuhnya dan membidik dengan senapan Arisaka-nya. Tentu saja begitu sadar, Rusman menjadi amat terkejut.

“Kamu mau ngapain, Zak?” tanya Rusman lirih, “cepet turun, bahaya kalau kelihatan!”“Aku sudah membidiknya, si Jerangkong,” kata Rozak dingin, “sekali tembak dan hilang satu kekhawatiran,”“Terlalu berisiko! Jangan main-main kamu, kita belum diperintahkan menembak,” kata Rusman, “cepat kembali merunduk!”“Satu tembakan saja, dan aku tak akan meleset,” kata Rozak.

Page 57: Ksatria Pertama

“Aku tahu kamu tak akan meleset, tapi itu bisa membahayakan seluruh batalion, Zak!” kata Rusman, “ayo cepat kamu…”

Silberneschadel tiba-tiba menoleh, dan sontak Rusman serta Rozak pun langsung merunduk, begitu pula semua pasukan di Batalion ke-129. Gerakan ini benar-benar tiba-tiba, seolah ada sesuatu yang mengganggu Silberneschadel. Dia kembali menoleh dan melempar pandangan ke arah perbukitan seolah tengah mencari sesuatu. Apakah Silberneschadel mengetahui bahwa mereka ada di sini? Apa dia mendengar keributan kecil antara Rusman dan Rozak itu? Tidak mungkin, jaraknya terlalu jauh untuk bisa didengar, dan juga untuk dilihat, apalagi Silberneschadel tidak menggunakan teropong. Akan tetapi pandangan matanya yang tak terlihat di balik rongga topeng tengkorak itu tak ayal menebar rasa ngeri yang menusuk hingga ke dalam tulang siapa yang melihatnya.

Ketegangan memuncak di sisi Batalion ke-129, dan secara isyarat, Kapt. Amrullah memerintahkan semua senjata dipersiapkan, berjaga-jaga dari segala kemungkinan. Bila memang benar Silberneschadel mengetahui posisi mereka, maka mereka akan memberi perlawanan ringan sebelum lari dan menghilang memanfaatkan jarak yang cukup besar antara kedua pasukan. Tapi di saat-saat menegangkan itu, Silberneschadel kembali menoleh ke arah peta dan melanjutkan diskusinya dengan pasukan pengintainya.

Semua menarik napas lega, kecuali Rusman. Firasatnya mengatakan bahwa bahaya masih belum berlalu, tapi tak mungkin meyakinkan Kapt. Amrullah atau Lt. Suhaemi hanya berdasar firasat. Hanya dia satu-satunya yang masih memasang mata secara khusus ke arah Silberneschadel, walau dengan jantung yang terus berdegup kencang dan keringat dingin yang terus menerus mengalir.

Silberneschadel memanggil salah satu ajudannya. Sepertinya dia sudah menemukan cara terbaik untuk melakukan pendekatan atas apa pun yang tadi ditunjuknya di atas peta, dan si ajudan segera berlari dari truk ke truk untuk menyampaikan yang diperintahkan oleh komandannya itu. Sementara perhatian Silberneschadel sendiri kembali tertuju pada peta, seolah tengah merenung, dan baru beralih setelah ajudannya kembali lagi. Berikutnya, dia memanggil salah satu prajurit pengintainya, cukup mencolok karena dia satu-satunya yang menyandang senapan semiotomatis G-43 di tengah-tengah kawan satu regunya yang memakai mitraliur MP-40. Prajurit itu menyerahkan senapannya kepada Silberneschadel, dan Silberneschadel pun memeriksa senapan itu, sepertinya tengah melakukan inspeksi senjata. Rusman pun semakin erat memegang senapannya.

Tanpa diduga, tiba-tiba Silberneschadel berputar dengan senapan di tangannya terbidik, mengarah ke posisi Batalion ke-129, dan dengan tempo tak kalah cepatnya, senapan G-43 itu langsung meletus diikuti teriakan seorang prajurit Batalion ke-129 yang tertembus pelurunya saat bersembunyi di balik perdu.

“Kita ketahuan!!” teriak Kapt. Amrullah.

Pemberitahuan itu terlambat, karena tak sampai dua detik setelah Silberneschadel menembak, seluruh pasukannya segera saja melepaskan tembakan senapan mesin berat 12,7mm dan juga artileri MG-151/20mm ke arah persembunyian Batalion ke-

Page 58: Ksatria Pertama

129, menimbulkan hujan proyektil peluru yang berukuran sebesar bola pingpong, menembus kayu, memotong rumput dan dedaunan, dan mengiris daging manusia semudah mentega yang dibelah pisau panas. Amat gencar serangan itu sehingga para pasukan Batalion ke-129 langsung kocar-kacir dan tak mampu memberikan serangan balasan apa pun.

Masih belum cukup, beberapa orang prajurit Doodleger turun sambil membawa senjata yang serupa dengan pipa besi, sebuah Raketenpanzerbuchse 88mm, atau biasa disebut sebagai Panzerschreck. Mereka langsung membidik dan tahu-tahu beberapa roket berdaya ledak tinggi berdiameter 88mm langsung meluncur dan membabat habis semua yang dihantamnya. Ledakan-ledakan terjadi amat dekat dan potongan tubuh manusia pun ikut turun bersama material-material yang dihantam roket itu hingga terbang ke udara.

“Lari!! Berpencar!!” kata Kapt. Amrullah, “kita bertemu di rendesvouz!!”

Rusman nyaris tak bisa mendengar aba-aba kaptennya itu akibat bunyi ledakan dan desingan peluru yang sudah cukup memekakkan telinga. Hanya berdasar naluri saja saat dia mengambil senapannya dan mulai berlari menyelip di antara hujan peluru kaliber besar. Pandangan matanya kabur dan telinganya berdenging amat kencang, dan satu-satunya yang bisa dia lakukan hanyalah bergerak mengikuti bayangan kelebat warna khaki yang dia tahu adalah rekan sebatalionnya yang terlebih dulu bergerak. Dia sudah tak mengurus lagi di mana Rozak, di mana Kapt. Amrullah atau Lt. Suhaemi. Semua yang terjadi di sekitarnya bagaikan film yang diputar secara slow-motion, tak ada suara, dan gambarnya pun tak jelas, hanya bau kordit, darah, hawa panas, dan bumi yang terus bergetar akibat ledakanlah yang memberitahukan bagaimana keadaan lapangan yang sebenarnya.

“Granat!!” teriak salah seorang prajurit.

Rusman secara refleks tiarap, dan benda-benda besi bertangkai pun seolah berjatuhan dari angkasa. Lima buah, enam buah, tahu-tahu sudah sekitar 13 buah yang turun dan mendarat di berbagai tempat. Semuanya meledak bersamaan dan menimbulkan syok suara serta getaran yang amat dahsyat. Shrapnel dan pecahan pun bertebaran di mana-mana. Teriakan kengerian serta kesakitan kembali terdengar memilukan, dan belum hilang rasa keterkejutannya, sebuah potongan lengan bawah yang bersimbah darah langsung jatuh berdebum tepat di depan wajah Rusman yang sedang bertiarap. Entah tangan siapa itu, tapi cukup membuatnya syok sejenak.

Pandangan mata Rusman tertuju pada sosok di depannya, yang perlahan-lahan bisa dia kenali sebagai Rozak, kawannya. Rozak segera membantu Rusman untuk bangkit, lalu menariknya hingga mereka berdua tersembunyi di balik batu besar.

“Sudah kubilang, aku bisa menembaknya tadi; kalau saja kau dengar, kita tak akan serepot ini,” kata Rozak.

Rusman diam saja, tubuhnya gemetaran akibat semua yang terjadi. Dia hanya memandang Rozak yang masih berusaha menarik napas sambil bertumpu pada Arisaka-nya.

Page 59: Ksatria Pertama

“Tapi belum terlambat untuk itu,” kata Rozak.

Tanpa sempat dicegah, dan sejujurnya Rusman tak sedang dalam keadaan baik untuk melakukan itu, Rozak menjulurkan badannya dari balik lindungan batu besar itu dan membidikkan senapan Arisaka-nya kembali. Dia kali ini tak mengincar siapa-siapa kecuali satu orang, Silberneschadel, yang berdiri tampak menonjol dengan topeng tengkorak perak dan baju trench-coat-nya yang berbeda dari yang lain. Rozak sepertinya sudah gatal ingin membunuh komandan Doodleger ini yang telah menyebabkan banyak rekan mereka mati. Rusman pun turut mengintip dari balik batu, tak berani menampakkan tubuhnya lebih banyak lagi. Melihat Rozak yang serius, Rusman tahu bahwa Rozak telah membidik sasarannya.

“Cepetan, Zak,” kata Rusman terbata-bata, “kalau ada granat dilempar, artinya mereka sudah dekat,”“Sabar, sedikit lagi,” kata Rozak.

Rusman bergidik ngeri melihat bayangan-bayangan yang bergerak mendekat. Bayangan-bayangan itu adalah pasukan Doodleger yang kini sudah semakin dekat, bergerak dengan cepat memanfaatkan tabir tembakan. Komando dalam bahasa Jerman pun terdengar sayup-sayup sementara suasana menjadi sedikit lebih tenang akibat senapan mesin 12,7mm dan kanon MG-151/20mm sudah menghentikan aksinya. Mereka tak ingin salah menghantam pasukan mereka sendiri yang kini semakin mendekati garis musuh. Suara letusan G-43 dan MP-40 kini menjadi lebih sering terdengar, dan Rozak masih diam mematung dengan mata terpancang pada pejera.

“Cepat, Zak!” kata Rusman tak sabar.“Baik, sebentar lagi,” kata Rozak.

Rozak pun menarik napas panjang kemudian menahannya. Perlahan-lahan jarinya dia selipkan di depan picu senapan Arisaka-nya, dan dengan tanpa sekalipun membuat gerakan tak perlu, Rozak menekan picu dan peluru 7,7mm Arisaka pun langsung meletus melesat menuju ke arah sasarannya, yaitu Silberneschadel. Peluru melesat dengan amat cepat, dan kali ini bahkan seorang Silberneschadel pun tak akan bisa lolos. Rusman pun ikut menahan napas sambil mulutnya komat-kamit membaca doa sementara peluru semakin mendekat.

Tapi tanpa dinyana, dalam tempo sepersekian detik, Silberneschadel mencabut pistol Luger P08 yang dia bawa, dan langsung dia tembakkan sekilas tanpa dia melakukan pembidikan. Letupan kecil pun terjadi di udara, dan bagi Rozak serta Rusman, pemandangan itu amat sangat mengejutkan karena memang di luar nalar sehat. Silberneschadel, telah dengan tepat menembak ke arah peluru yang melesat ke arahnya! Bahkan meski Rozak bisa membidik dengan amat tepat, jenis bidikan Silberneschadel ini serasa bukan bidikan manusia. Tak salah lagi, karena hanya setanlah yang bisa membidik setipis dan setepat itu. Tak ada lagi penjelasan lain yang masuk akal.

“Zak, ayo pergi!” kata Rusman begitu dia terkesiap kembali dari keterkejutannya.

Page 60: Ksatria Pertama

Rozak pun mengangguk, dan dia segera berlari mengikuti Rusman yang sudah terlebih dahulu beranjak. Tapi belum begitu jauh, setangkai Stielhandgranate tiba-tiba saja jatuh di antara mereka berdua. Rozak melihatnya dengan penuh kengerian.

“Man, granat!!!” teriak Rozak sambil melompat menjatuhkan diri.

Rusman menoleh ke belakang sejenak dan terbelalak melihat granat tangkai yang tergeletak di tanah. Kontan saja dia langsung melompat untuk menjatuhkan diri, namun sebelum sempurna sampai di tanah, granat sudah meledak dan energi ledakan itu mendorong Rusman hingga terlempar lebih jauh lagi dan langsung terperosok ke dalam turunan di sisi lain bukit. Tubuh Rusman langsung menggelinding bagai bola, menghantam semak dan ranting sebelum akhirnya berhenti setelah tertahan sebuah semak rimbun di bawah turunan. Rusman mengerang, seluruh badannya sakit dan penuh dengan luka lecet dan gores. Tapi dia beruntung, karena bila jatuhnya meleset, dia bisa saja menghantam batu karang di dekat semak itu dan akan mendapat cedera lebih serius.

“Rozak!!” teriak Rusman memanggil sahabatnya itu.

Tak ada jawaban…

Belum sempat Rusman memanggil untuk kedua kalinya, sebuah tangan sudah membantunya berdiri. Bukan Rozak, tapi prajurit Batalion ke-129 dari kompi yang lain. Langsung saja dia menyeret Rusman untuk ikut berlari bersamanya, dan juga beberapa prajurit lain. Rusman yang tak sempat berpikir apa-apa lagi pun ikut berlari, karena desingan peluru Mauser 7,92mm dari G-43 serta 9mm Parabellum dari MP-40 sudah semakin gencar, tanda musuh semakin dekat. Dengan terpaksa, Rusman pun berlari meninggalkan sahabatnya ini bersama beberapa anggota Batalion yang masih tersisa. Dia tak tahu apakah saat ini Rozak masih hidup atau sudah mati. Yang dia tahu adalah bahwa saat ini, dia sedang berlari demi menyelamatkan nyawanya sendiri, tak ada waktu untuk memikirkan nyawa orang lain, betapa pun Rusman ingin melakukannya.

Tapi Rozak belum mati. Dia sempat terlempar saat granat meledak dan jatuh terjerembap amat keras hingga dia tak mampu bangun sendiri, tapi dia masih hidup. Saat Rozak membuka mata, sepucuk G-43 sudah ditodongkan tak beberapa jauh dari mukanya oleh seorang prajurit Doodleger. Ingin sekali Rozak bergerak menelikung dan merampas senjata prajurit ini, ada kesempatan untuk itu, tapi tubuhnya terlalu sakit, bahkan untuk melakukan gerakan-gerakan kecil sekalipun. Lagi pula bila Rozak macam-macam, kawan-kawan prajurit ini yang berada tak jauh pasti tak akan berpikir dua kali untuk membunuhnya.

Dengan kasar Rozak dan beberapa prajurit Siliwangi lain yang masih hidup langsung diseret dan dikumpulkan di jalan, di depan Silberneschadel dengan dikelilingi para prajurit Doodleger bersenjata lengkap. Rupanya atas perintah Silberneschadel, sebisa mungkin untuk tidak membunuh musuh dan alih-alih, musuh yang masih bisa bergerak harus ditahan. Untuk urusan apa, hanya Silberneschadel yang tahu. Cukup banyak juga anggota Batalion ke-129 yang tertangkap, sementara sisanya masih diburu oleh anggota Doodleger lainnya.

Page 61: Ksatria Pertama

Setiap menit ada saja orang yang dibawa, tapi dilihat dari jumlah mereka yang dikumpulkan, sepertinya banyak yang entah mati atau berhasil kabur dari pertempuran ini.

Salah satu yang ditahan adalah Kapt. Amrullah. Dia tampak memasang tampang bengis, meski lukanya membuatnya tak bisa melawan lagi. Kedua tangannya diikat ke belakang, sementara ada luka terbuka cukup parah pada pahanya. Selain itu, secara umum keadaan Kapt. Amrullah baik-baik saja.

“Kapten…” kata Rozak lirih saat seorang prajurit juga mengikat tangannya.

Kapt. Amrullah hanya menoleh dan melihat saja, namun dia tak sempat menjawab karena Silberneschadel tahu-tahu sudah ada di dekatnya, dan pedang Ehrendegen-nya yang masih berada di dalam sarungnya disentuhkan pada dagu Kapt. Amrullah. Silberneschadel mengangkat pedangnya sehingga kepala Kapt. Amrullah ikut terdorong hingga melihat ke arah topeng perak Silberneschadel yang mengerikan.

“Kau komandannya?” tanya Silberneschadel dalam bahasa Belanda kepada Kapt. Amrullah.

Kapt. Amrullah tidak menjawab dan rasanya dia tak perlu menjawab karena hanya dia satu-satunya yang berpangkat kapten di kelompok ini.

“Tadinya kuharap kalian akan memberikan perlawanan yang lebih sengit, tapi rupanya begini sajakah kekuatan Divisi Siliwangi Republik yang disegani itu?” kata Silberneschadel, “sungguh kisah-kisah mengenai kehebatan kalian benar-benar dilebih-lebihkan.”

Silberneschadel diam sejenak sebelum akhirnya menarik Ehrendegen-nya dan kembali memasangnya pada trench coat.

“Berapa orang anggotamu, Kapten?” tanya Silberneschadel dengan suara parau mengerikan.

Kapt. Amrullah pun mendongak sejenak, dan membuka mulutnya. Tapi bukan kata-kata yang keluar dari mulut Kapt. Amrullah, melainkan sebuah nyanyian.

“Wilhelmus van Nassouwe, ben ik van Indonesien bloed.Den Soekarno getrouwe blijf ik tot in den dood…”

DOOR!!

Tanpa peringatan, pistol Luger yang dibawa oleh Silberneschadel meletus dan Kapt. Amrullah langsung tersungkur dengan kepala berlubang. Dia langsung mati sebelum menyentuh tanah. Tampaknya nyanyian Kapt. Amrullah, yang memang merupakan versi plesetan dari lagu kebangsaan Belanda, Het Wilhelmus, terdengar cukup menyakitkan di telinga Silberneschadel.

“Verdammt!” teriak Silberneschadel seolah menyumpahi jenazah Kapt. Amrullah, “berani sekali kau merusak kesucian lagu itu!”

Page 62: Ksatria Pertama

Baik di pihak tawanan maupun para prajurit Doodleger sendiri semuanya hening, tak ada yang berani membuka suara. Silberneschadel kembali menyarungkan pistol Luger-nya yang moncongnya masih berasap, kemudian dia memberi perintah kepada ajudannya.

“Bawa semua tahanan masuk ke dalam truk, begitu semua regu kita sudah kembali, kita langsung berangkat,” kata Silberneschadel, “dan katakan pada semua regu, dalam 1 jam semua harus sudah siap di sini,”

Sang Ajudan pun menghormat sementara Silberneschadel kembali ke jipnya masih dengan mulutnya meluncurkan sumpah serapah.Chapter V: Chrysalis

Rusman dan kawan-kawannya yang berhasil dia temukan terus berlari dengan salah satu grup Doodleger mengejar tak jauh di belakang. Sejujurnya, ini sudah melebihi kekuatan fisik Rusman, tapi demi menyelamatkan hidupnya, dia terus saja berlari. Para Belanda ini benar-benar mengejar, tak ada yang menembak, tapi entah bagaimana dalam hutan-hutan, kawasan yang seharusnya menjadi taman bermain bagi pasukan Siliwangi, justru kali ini pasukan Siliwangi yang tengah dikejar-kejar oleh Belanda.

Begitu kembali masuk ke jajaran hutan dengan vegetasi lebat, Rusman dan semua kawan-kawannya segera bersembunyi di balik sebuah batu yang besar. Persembunyian ini sebenarnya amat buruk, karena dengan cepat pasukan Belanda yang tiba akan segera menemukan mereka, tinggal soal waktu saja. Tapi bagaimana pun, semua sudah lelah dengan pengejaran ini dan harus berhenti sebentar untuk beristirahat.

Bersama Rusman, kini hanya ada 5 orang yang masih tersisa. Nasib yang lainnya sendiri tak ada yang tahu. Apa yang tadinya adalah sebuah batalion ke-129 yang walau sudah tak utuh namun masih merupakan sebuah kekuatan tempur yang lengkap, kini hanya tinggal mereka berlima, prajurit-prajurit yang lelah dan tak bersenjata. Ya, tak ada yang memegang senjata satu pun, bahkan sebutir peluru pun tidak. Senapan Mannlicher yang menjadi andalan Rusman pun telah hilang entah di mana, mungkin terjatuh pada saat hujan tembakan, atau pada saat ledakan granat yang telah memisahkannya dengan Rozak. Jadi satu-satunya pilihan adalah antara menyerah dan menyerahkan nasib mereka di tangan Belanda, atau tetap lari, karena untuk balik melawan pun sudah tak mungkin. Menyerbu dengan tangan kosong a la serangan Banzai Jepang sama saja cari mati, dan tak ada gunanya. Jika mereka terus lari, ada kemungkinan mereka bisa selamat walau kecil. Dan bila mereka selamat, maka setidaknya ada yang bisa melaporkan nasib batalion ke-129 kepada markas Siliwangi.

Tapi bagi Rusman sendiri, tidak ada pilihan yang bisa dia pilih. Dia sudah amat lelah dan tubuhnya serasa sakit semua hingga ke tulang-tulang. Luka-lukanya terasa perih menyengat dan pandangan matanya mulai kabur. Saat teman-temannya bicara soal pergi ke rendesvouz, dia bahkan nyaris tak bisa menyimaknya. Rusman pun berpikir, keadaannya kini sudah amat payah dan hanya tinggal bertumpu pada

Page 63: Ksatria Pertama

sisa-sisa kekuatannya yang kini sudah amat menipis. Dia melihat ke arah teman-temannya dan sadar bahwa bila teman-temannya masih memaksakan untuk membawanya, maka dia bisa membahayakan semua orang. Mereka lebih berkesempatan selamat bila tak bersama Rusman.

“Bila mereka datang, aku akan memancing mereka,” kata Rusman tiba-tiba, “segera setelah mereka mengejarku, kalian pergilah ke arah lain, dan langsung ke rendesvouz,”

Mereka yang sedang membicarakan soal rute terbaik menuju rendesvouz pun terkejut dengan perkataan Rusman itu.

“Jangan bercanda, kita tak akan meninggalkan siapa pun,” kata seorang kawannya yang diamini oleh yang lain.

“Tapi kalian juga tahu kalau tetap membawaku, kalian lebih berisiko untuk tertangkap,” kata Rusman, “tak ada waktu lagi, mereka semakin dekat,”

Rusman benar, karena kemudian terdengar suara semak tersibak dan orang berbicara dalam bahasa Jerman. Para Doodleger ini segera membentuk sebuah perimeter, dan begitu perimeter itu sudah selesai terbentuk, maka peluang mereka untuk lari akan nyaris nihil.

“Tidak ada cara lain, aku akan mengalihkan perhatian mereka, dan begitu mereka mengejarku, kalian segera lari ke arah berbeda,” kata Rusman.

Kawannya yang tampaknya menjadi pimpinan kelompok kecil itu tampak gamang mendengar perkataan Rusman itu. Di satu sisi dia tak ingin meninggalkan barang seorang pun sisa dari batalion ke-129, tapi di sisi lain dia sadar bahwa perkataan Rusman ini amat benar. Bila tak bersama Rusman, kemungkinan selamat keempat orang lainnya lebih besar. Tak jauh dari sini ada jalan mendaki yang dengan keadaan Rusman sekarang, pasti susah untuk dia ikut.

“Sudahlah, jangan berpikir lagi, tak ada cara lain,” kata Rusman.

Kali ini Rusman memang sudah siap untuk menjadi tumbal demi keselamatan teman-temannya. Dan sekali lagi, keberanian Rusman ini membuat kagum semua temannya. Dengan berat hati, mereka pun menyetujuinya.

“Baiklah,” kata si kawan, “tapi dengan satu syarat, kau tak boleh mati; kita harus bertemu lagi,”“Tenang saja, Belanda juga akan rugi membuang peluru untuk membunuhku,” kata Rusman sambil tersenyum.

Semuanya pun langsung menyalami Rusman dengan penuh haru. Rusman sendiri hanya pasrah dan memberi senyuman sekadar untuk berpantas saja. Bila memang Belanda harus membunuhnya hari ini, setidaknya teman-temannya bisa selamat dan bisa memberikan kabar mengenai nasib batalion ke-129 pada Kolonel Nasution.

Page 64: Ksatria Pertama

“Merdeka, Bung!” kata Rusman sambil mengepalkan tinjunya.

Dengan menghimpun kekuatan terakhirnya, Rusman segera beranjak dan lari membabi buta, membuat keriuhan yang cukup supaya seluruh grup Belanda yang mengejarnya tahu. Dan memang siasat itu berhasil, karena seluruh regu itu langsung saja mengejar Rusman yang berlari dengan serampangan.

“Stopp!!” teriak para Doodleger itu kepada Rusman.

Tapi Rusman tetap bergeming dan lari tanpa menoleh. Dalam hati dia hanya berharap supaya rekan-rekannya bisa memanfaatkan celah kesempatan ini dan kabur. Tapi bagaimana nasib mereka, sudah di luar sepengetahuan Rusman.

“Stopp!! Umgeben!!”

Betapa pun cepatnya Rusman berlari, semakin lama pasukan Doodleger yang memang lebih segar dan juga sehat semakin mendekat. Semakin sering pula Rusman menoleh ke belakang melihat para pengejarnya tak hanya sekadar mengejarnya, namun juga bermanuver untuk mengepungnya. Beberapa orang menuju ke sisi kanan, sementara lainnya ke sisi kiri. Rusman pun secara naluriah berusaha bermanuver, tapi kekuatannya semakin lama sudah semakin menipis sementara para pengejarnya sudah semakin dekat.

Rusman kembali menoleh ke belakang untuk melihat seberapa dekat kini pengejarnya, dan tiba-tiba pijakannya menginjak tanah kosong dan dia langsung terjerumus masuk ke dalam sebuah turunan curam, dan menggelinding cepat bagaikan bola. Rupanya saat dia menoleh tadi dia tak sadar bahwa larinya mengarah ke sebuah turunan. Sekali lagi, dia merasakan tubuhnya terbanting-banting di tanah yang keras, tajam dan berbatu sebelum akhirnya terhempas di dasar turunan.

Kali ini benar-benar skakmat bagi Rusman. Tubuhnya sudah tak lagi bisa digerakkan, walau dia masih cukup sadar. Pandangannya sudah kabur dan berkunang-kunang, serta semua luka yang merajam tubuhnya kini semakin menyayat dan membara. Hanya sayup-sayup dia mendengar suara perintah dalam bahasa Jerman yang dia sama sekali tak mengerti artinya, hanya sedikit dengan cara mendeduksi sesuai kata-kata dalam bahasa Belanda yang pernah dia pelajari. Inilah dia, mungkin ini akhir dari seorang Rusman Suhadi. Bila dia tak tewas oleh peluru Belanda, luka-luka yang dia dapat rasanya cukup untuk membuatnya menghadap sang Khalik.

“Anjeun henteu nanaon?”

Kata-kata dalam bahasa Sunda halus ini membuat Rusman sedikit terhenyak. Dia mengedip-ngedipkan mata saat sesosok kabur menutupi pandangannya dari cahaya luar.

“Kisanak, kau tak apa-apa?” tanya si sosok ini lagi dengan nada penuh kebapakan.

Page 65: Ksatria Pertama

Ya, pastilah ini bukan orang Belanda, karena setelah pandangan matanya agak jernih, dia bisa melihat sosok sayup seorang kakek tua yang ceking dan berjenggot putih serta dari matanya tampak dia sudah mengalami banyak sekali pergantian musim. Dia memakai baju warna hitam terbuka khas orang desa. Entah apa yang dia lakukan di sini, tapi yang jelas nada bicaranya membuat Rusman sedikit merasa nyaman.

“Kisanak? Kau tak apa-apa?” tanya si kakek lagi.

Rusman, dengan lemah tiba-tiba teringat bahwa dia tengah dikejar oleh pasukan Doodleger, dan bila mereka menemukan kakek ini tengah bersama dengannya, pasti kakek ini dikira simpatisan Republik, dan mungkin akan ditawan atau dibunuh.

“Kakek, cepat pergi, Kek, tinggalkan saya…” kata Rusman lemah, “Belanda sudah dekat,”Tapi si kakek tidak beranjak, dan malah terus menunggui Rusman. Sementara sayup-sayup suara komando berbahasa Jerman semakin terdengar keras.

“Kakek, cepat pergi,” kata Rusman nyaris lirih, “tinggalkan saya, selamatkan diri Kakek, Belanda sudah dekat,”

Si Kakek hanya tersenyum saja.

“Kakek henteu aya urusan sama orang Belanda,” kata si Kakek tegas, “tapi kamu harus segera ditolong,”

Tanpa mempedulikan Rusman yang terus dengan separuh napas berusaha menghalaunya, si Kakek langsung mengangkat Rusman dan dengan sekali angkat, tubuh Rusman langsung berpindah di atas punggung si kakek. Cukup mengherankan bahwa dengan badan seceking itu, si kakek bisa dengan mudah mengangkat tubuh Rusman. Rusman sendiri sampai mengira bahwa sebagian besar dirinya pasti sudah berada di alam sana, sehingga yang tersisa di sini hanya sebagian kecil saja, karena itu dia jadi amat ringan.

“Sekarang kamu diam saja,” kata Kakek, “dan jangan mati dulu,”

Sebelum Rusman sempat menjawab, dia seolah tengah dibawa terbang lebih cepat daripada angin. Cahaya matahari, bumi, dan dedaunan seolah berlalu dengan amat cepat, dan pandangan Rusman semakin lama semakin gelap dan kabur sebelum akhirnya hitam sama sekali.

Tak beberapa lama kemudian, pasukan Doodleger pun sampai di dasar turunan itu, tapi terkejut setelah mengetahui bahwa di ujung itu hanya ada jurang yang amat dalam. Sambil berpegangan pada pohon terdekat, mereka melongok ke dalam jurang itu dan nyaris tak bisa melihat dasarnya selain puncak hijau pepohonan yang lebat. Mereka saling berpandangan.

“Wast ist?” tanya seorang prajurit.“Sepertinya dia tadi menggelinding dan langsung jatuh ke dalam jurang, untung saja kita waspada dan tidak ikut jatuh juga,” kata kopral atasannya.

Page 66: Ksatria Pertama

“Sekarang kita kembali, Kopral?” tanya prajurit lainnya.“Ya, tak ada gunanya lagi kita di sini,” kata si kopral, “kita masih punya urusan lain dan Herr Standartenfuhrer tak suka bila ada yang terlambat,”

Maka mereka pun segera naik kembali untuk kemudian bergabung kembali dalam kesatuan mereka, meninggalkan Rusman yang kini entah di mana.Jadi ke mana sebenarnya si Kakek membawa Rusman? Tidak, Rusman belum mati, tapi keadaannya saat ini tak lebih baik daripada mati. Dia sama sekali tak awas dengan keadaan sekitar dan mengira semua ini adalah bagian dari perjalanannya ke akhirat.

Di sebuah tempat yang agak jauh dari situ, dan letaknya tersembunyi di balik tebing serta bebatuan karang, terdapat sebuah pelataran yang dipenuhi rumput hijau serta bunga berwarna-warni. Ada sebuah rumah sederhana yang terbuat dari kayu beratap rumbia, kecil saja, dan di halamannya ada seorang nenek tua yang tengah menyapu halaman. Suasana rumah ini sungguh amat damai dengan kupu-kupu beterbangan dan burung-burung menyanyi, ditambah suara si Nenek yang menyenandungkan kidung-kidung Sunda kuno.

“Nenek! Nenek!”

Si Nenek tentu saja terkejut mendengar namanya dipanggil, dan lebih terkejut lagi ketika si Kakek tiba-tiba sudah ada di depan pagar sembari memanggul seorang pemuda yang tengah berada di ambang maut.

“Kakek? Siapa atuh itu anak muda dibawa?” tanya si Nenek keheranan.“Kakek menyelamatkannya dari kejaran orang Belanda,” kata si Kakek.“Belanda? Kita tidak berurusan dengan orang Belanda, juga dengan siapa pun yang mereka kejar,” kata si Nenek tidak setuju.“Euleuh-euleuh, denger dulu atuh si Nenek,” kata Kakek.“Kita sudah sepakat, Kek, untuk mengasingkan diri dari dunia luar, dan kenapa setelah sekian lama tiba-tiba Kakek bawa ini anak muda ke sini?” tanya Nenek, “Euleuh-euleuh, mana sudah sekarat ini juga sebentar lagi tewas pasti, Kek,”“Justru itu, Nek, kita harus segera menyelamatkan anak muda ini,” kata Kakek, “firasat Kakek mengatakan bahwa dialah orang yang selama ini kita tunggu,”“Dia? Orang ceking begini? Ini juga mah ama Kakek masih lebih kekar Kakek,” kata Nenek.

Tanpa terlebih dahulu menggubris perkataan si Nenek, Kakek pun segera masuk ke dalam rumah dan meletakkan Rusman yang sudah sekarat di atas balai-balai bambu. Si Nenek kemudian memeriksa Rusman sejenak sebelum mendengus sambil menggelengkan kepala.

“Nenek jangan meremehkan dia, ingat ramalan mengatakan bahwa Ksatria Pertama akan tiba dalam wujud yang tak disangka-sangka,” kata Kakek, “kerang dengan penampilan terjelek akan memiliki mutiara yang paling berharga,”“Iya, Kek, Nenek masih ingat ramalan itu, dan Nenek tidak meremehkan dia,” kata Nenek, “tapi supaya bisa menjadi Ksatria, dia terlebih dahulu harus selamat dulu, dan dengan luka separah ini, Nenek tidak yakin bisa menyelamatkannya,”

Page 67: Ksatria Pertama

“Dicoba saja dulu, Nek, bukankah dulu ilmu pengobatan Nenek paling hebat di seluruh tanah Pasundan?” kata Kakek, “lagi pula bila dia memang seorang ksatria, maka dia akan bisa selamat walau dihantam dengan luka separah ini,”“Nenek coba sekuat tenaga, tapi Nenek tidak berani berjanji,” kata Nenek.

Nenek pun kemudian mengambil sebuah kendi yang sepertinya di dalamnya berisi ramuan obat dan meminumkannya seteguk kepada Rusman, dan memakai sisanya untuk membalur tubuh Rusman yang penuh luka. Asap tipis keluar dari cairan obat itu dan terlihat semua luka di tubuh Rusman bagai air yang mendidih. Entah apa yang dirasakan oleh Rusman karena tiba-tiba dia berteriak bagai didera kesakitan yang tak terperi. Si Kakek pun dengan sigap menahannya supaya tidak bergerak. Tubuh Rusman memerah bagai terbakar, dan seluruh ototnya menegang.

“Bagaimana ini, Nek?” tanya Kakek yang dengan susah payah menahan tubuh Rusman agar tak bergerak.“Itu normal,” kata Nenek, “cairan di kendi ini adalah racun yang amat kuat,”

Sontak perkataan si Nenek mengejutkan Kakek.

“Hadeuh, Nenek ini bagaimana sih, masa dikasih racun?” tanya Kakek tak mengerti.“Kalau mau cepat sembuh memang cuma ini caranya, tapi rasa sakitnya memang tak tertahan,” kata Nenek, “kalau memang dia bisa bertahan setidaknya hingga besok pagi, maka masa kritisnya telah terlewati dan Nenek bisa mengobati dia dengan ramuan yang lebih ringan,”“Lha tapi kalau dia mati bagaimana, Nek?” tanya Kakek khawatir.“Berarti memang belum jodohnya, Kek,” kata Nenek pasrah, “kalau dia memang benar orangnya, maka sesakit apa pun, dia pasti akan bisa menahannya,”

Nenek terus memperhatikan Rusman yang menggeliat kesakitan bagaikan dipanggang dengan bara api yang amat panas. Asap dan uap keluar dari sekujur tubuhnya disertai dengan bau tak enak bagai daging yang terbakar gosong. Saking panasnya, balai-balai bambu tempat tidur Rusman sampai menghitam.

“Bila dia memang benar ksatria dan mewarisi pusaka itu, maka dia akan selamat,” kata Nenek, “dan dengan begitu juga, maka tugas kita pun sudah selesai,”“Benar, Nek, sudah terlalu lama kita mengemban tugas ini,” kata Kakek, “kini kita bisa beristirahat dan lepas dari beban yang telah menggelayuti kita selama ini,”“Semoga saja firasatmu benar, Kakek,” kata Nenek.

Erangan dan teriakan kesakitan Rusman pun terus menerus membahana mengusik ketenangan dari lembah yang indah itu, sementara di ufuk barat, matahari sudah semakin menggelincir masuk ke peraduan. Malam ini adalah malam yang amat menentukan hidup mati Rusman, karena bila dia tak kuat menahan rasa sakit itu untuk malam ini, maka dia tak akan bisa lagi melihat matahari esok hari.

“From my rotting body, flowers shall grow and I am in them and that is eternity.”- Edvard Munch -

THE END

Page 68: Ksatria Pertama

=============Einde van Het Boek Een

Book III: The Knight And The Devil

Prologue: A Strange Dream

“Kata orang, saat kita hampir meninggal, maka kilasan balik dari kisah hidup kita akan tergambar tepat di depan mata kita, jelas sebagaimana kita melihat sinema langsung di bioskop yang sunyi. Aku tak pernah tahu, aku belum pernah meninggal sebelumnya, tapi perasaan yang saat ini kurasakan adalah sama. Bahwa aku duduk di sebuah bioskop seperti satu yang ada di Buitenzorg, lengkap dengan musik dan penganan, namun tak ada orang sama sekali yang menyaksikan selain aku. Lalu terdengar suara derik mesin proyektor yang menyinarkan sinar berkelip sesuai dengan gambar yang terpampang di layar. Aku hanya diam dan tertegun menyaksikan, tak ada kata-kata atau apa pun yang biasa dilakukan orang saat menonton sebuah film. Dan satu hal yang aku tahu, adalah bahwa pada saat itu, film yang diputar itu adalah film tentang kehidupanku sendiri…”

Gambar dan adegan pun silih berganti, menampilkan orang-orang paling berarti yang pernah mampir dalam hidupku. Ibuku, di ranjang kematiannya saat aku masih berusia 10 tahun, kemudian Meneer dan Mevrouuw Hoogendrop yang mengasuhku, menganggapku bukan sebagai pembantu inlander, melainkan sebagaimana anak sendiri. Lalu si sulung, Michael Hoogendrop, yang sering kuanggap sebagai First Mate Starbuck seperti dalam cerita Moby Dick, dan Nonik Maria… Maria, yang selalu kusayangi, yang mencintaiku meski ada perbedaan di antara kami. Lalu adegan-adegan bahagia sirna, diganti dengan masa-masa sedih ketika semua orang di atas direnggut dariku, dibunuh oleh Balatentara Nippon yang menyerang Hindia.

Dan seketika itu, muncul wajah eksekutor mereka yang membuat darahku menggelegak, Rikugun Chusa Nakamura Taiki. Terbayang pedangnya yang berkilat bersimbah darah saat nyawa orang-orang yang kukasihi itu melayang di ujungnya. Dan saat paling menakutkan bagiku tiba ketika ujung pedang si Rikugun Chusa nyaris turut pula mengantarku ke alam baka, bila bukan karena pertolongan orang penting berikutnya dalam kehidupanku, Rikugun Taisa Hattori Shoichiro. Sepanjang Nippon berkuasa di Hindia, hampir sepanjang itu pula aku berada di bawah perlindungan Rikugun Taisa Hattori, yang juga menganggapku sebagai anak dan mengajariku apa yang perlu kuketahui untuk bertahan, termasuk cara bela diri. Hal penting yang akhirnya akan membawaku berhasil membalaskan dendam keluarga Hoogendrop, dan membunuh Rikugun Chusa Nakamura, pada hari-hari terakhir kekuasaan Nippon di bumi kelahiranku tercinta. Sayangnya saat itu pula aku harus kembali merelakan Rikugun Taisa Hattori, yang meninggal akibat luka fatal yang ditorehkan oleh Rikugun Chusa Nakamura, yang memberontak dan melanggar perintah Hattori-san untuk menghormati keputusan Kaisar Showa yang menyerah kepada Sekutu setelah pemboman Nagasaki.

Aku pun menguburkan Hattori-san dengan tanganku sendiri, di sebuah tempat yang sunyi dan asri di pegunungan, tempat yang paling disukai oleh Hattori-san semasa dia hidup. Sebelum meninggal dia berpesan padaku bahwa sudah saatnya kami,

Page 69: Ksatria Pertama

para penduduk Hindia, untuk berdiri dan menentukan nasib kami sendiri, bukan oleh orang lain, termasuk Belanda atau Jepang. Pesan itulah yang akhirnya membuatku mendaftar masuk TKR, dan ditempatkan di Divisi Siliwangi.

Tiba-tiba bioskop itu menghilang, dan aku menyadari aku tengah tertidur di sebuah lantai kayu dengan wangi bunga dan suara ombak dan burung camar yang menenangkan terdengar di latar belakangnya. Cahaya putih yang menentramkan menyelimuti semua tempat itu, membuatku hangat dan nyaman, seolah untuk pertama kalinya, tak ada yang harus kukhawatirkan dalam hidupku. Apakah ini surga? Apakah ini adalah taman yang dijanjikan bagi mereka yang pemberani dan mati syahid?

Dan sayup-sayup, dari balik cahaya itu muncul sesosok wajah yang amat kukenal. Senyumnya yang indah dari balik bibir merahnya, rambutnya yang gelap, dan kulitnya yang putih bagaikan pualam dengan lekuk tubuh yang menggoda. Dia mendekatiku dan seketika itu juga, mencium bibirku, dan aku pun merasakan suatu kekuatan baru yang mengalir di seluruh tubuhku. Ini adalah perasaan yang sudah lama tak pernah kurasakan lagi, dan hanya satu orang saja yang membuatku merasa begitu.

“Maria…” kataku.“Benar, ini aku,” jawab Maria Hoogendrop, cinta pertamaku dan satu-satunya.“Apakah ini surga? Apakah akhirnya kita bersatu kembali?” tanyaku.

Maria hanya menggeleng saja sambil tersenyum manis.

“Bukan, dan masih akan lama sebelum akhirnya kita akan bersatu, Ishmael,” kata Maria.

Maria memang sering memanggilku dengan nama “Ishmael”, seperti nama tokoh utama dalam cerita Moby Dick.

“Tapi kenapa? Aku bisa melihatmu, tidakkah berarti ini aku telah mati?” tanyaku tak mengerti.

Hatiku berontak menerima perkataan Maria bahwa aku belum bisa bersatu denganmu.

“Masa hidupmu masih panjang dan belum akan berakhir, Sayangku,” kata Maria, “dan ada hal yang harus kaulakukan, takdir yang harus kau terima, misi yang harus kuselesaikan, dan setelah itu semua terwujud, maka aku berjanji bahwa saat dirimu sudah siap, aku akan menyambutmu di sini,”“Tapi kapan hal itu akan terwujud?” tanyaku.“Hanya Tuhan saja yang tahu sampai mana garis kehidupan manusia akan berakhir,” kata Maria, “satu hal yang kutahu adalah bahwa garismu belum berakhir,”

Aku termenung saja mencoba mencerna perkataan Maria, sementara Maria tampak berada di udara dengan cahaya putih meliputi tubuhnya, dan setelah kuperhatikan dengan saksama, ada dua berkas cahaya yang membentuk sepasang sayap

Page 70: Ksatria Pertama

menyemburat dari balik punggungnya. Mungkinkah Maria telah diterima sebagai bidadari di surga?

“Kesatriaku,” kata Maria, “maaf bahwa pertemuan kita kali ini hanya akan sesingkat ini, karena memang sudah keinginan dari Tuhan bahwa aku hanya boleh bertemu denganmu dalam waktu yang telah Dia tentukan,”

Sayap Maria mengepak, dan seketika itu pula angin lembut berhembus meniupku, menyibakkan sebuah jalan yang ada di belakangku, yang tertutup oleh kabut putih sehingga aku tak bisa melihat ke mana arah tujuan jalan ini. Maria memberiku isyarat supaya aku mengikuti jalan itu.

“Ke mana tujuannya?” tanyaku.“Takdirmu,” kata Maria, “dan juga masa depanmu,”“Dan bila kulewati jalan itu, apakah itu artinya aku tak akan lagi bisa bertemu denganmu?” tanyaku.“Masih panjang waktu yang harus kita lewati sebelum cinta kita akan bisa bersatu dalam keabadian, Sayangku,” kata Maria, “tapi hingga saat itu, aku akan selalu menemanimu, walau kau tak bisa melihatku, aku akan tetap ada, karena suara dan wajahku akan selalu berada di hatimu, menemanimu hingga nanti kita akan bertemu kembali,”

Aku pun tersenyum kepada Maria yang mulai terbang membubung. Hatiku sedih bahwa aku akan berpisah dengan Maria, tapi aku senang mendengar janji bahwa kelak kami akan bertemu kembali.

“Tunggulah aku,” kataku.“Aku akan selalu menunggumu, Ishmael,” kata Maria, “walau apa pun yang nanti terjadi, karena kini aku sudah menjadi milikmu,”

Aku berbalik dan akhirnya berjalan memasuki kabut putih itu, dan itulah saat perpisahanku dari Maria.Kabut pun perlahan memudar dan sampailah aku di sebuah gerbang yang sepertinya merupakan gerbang-gerbang zaman kerajaan dulu. Aku langsung masuk melewati gerbang itu, dan menemukan diriku berada di hadapan sebuah rumah dengan taman yang besar dan asri. Suara seorang wanita menyanyikan kidung Sunda tampak terdengar saat aku berada di halaman rumah itu. Rumah siapakah sebenarnya ini, dan mengapa aku ada di sini?

“Ki Sanak, masuk dan duduklah,” kata sebuah suara lembut, “kami sudah menunggumu,”

Aku menoleh dan melihat seorang kakek tengah duduk bersila di dalam sebuah saung, dan di sebelahnya ada seorang nenek tengah menjahit kain sambil bernyanyi.

“Kenapa diam saja, Ki Sanak?” tanya si kakek, “ayo, kemari dan duduklah,”

Page 71: Ksatria Pertama

Dengan agak ragu, aku pun mendekat dan duduk di hadapan si kakek. Aku sayup-sayup bisa mengingat wajah si kakek ini. Ya, bukankah dia yang menyelamatkanku dari kejaran Belanda?

“Siapa namamu, Ki Sanak?” tanya si kakek.“Nama saya Rusman, Kek,” jawabku, “apakah kakek ini yang pernah menyelamatkan saya?”“Benar, kulihat kau dikejar oleh Belanda, walau dalam keadaan luka parah, karena itu Kakek membawamu ke sini,” kata si kakek, “dan sejujurnya, kaulah orang yang sudah lama kami tunggu-tunggu,”“Menunggu saya? Untuk apa?” tanyaku tak mengerti.“Maaf, sebelumnya Kakek perkenalkan dulu diri kakek,” kata si Kakek, “nama Kakek adalah Arya Sambar, panggil saja Aki Sambar, dan ini adalah Nini Bayang; kami berdua sebenarnya adalah hulubalang dan dayang utama dari Sri Baduga Maharaja dari Kerajaan Padjajaran,”“Kerajaan Padjajaran? Tapi bukankah…” kataku.“Benar, Kerajaan Padjajaran sudah dihancurkan oleh Majapahit setelah peristiwa di Bubat, tapi sebelum mangkat, Sri Baduga Maharaja meminta Kakek dan Nenek untuk menjaga pusaka terakhirnya, untuk diberikan kepada siapa pun yang dipilih oleh pusaka itu sebagai tuannya nanti,” kata Aki Sambar, “kekuatan pusaka itu dan juga wasiat raja kamilah yang membuat kami bisa hidup selama ratusan tahun menunggu pewaris dari pusaka itu untuk datang, hingga kau akhirnya tiba,”“Jadi maksud Kakek…”

Belum sempat aku meneruskan perkataanku, Aki Bayang mengeluarkan pusaka yang dimaksud. Bukan berupa keris, pedang, atau tombak, melainkan sebuah perisai yang berbentuk bulat sempurna dengan warna perak dan ada simbol matahari emas menghiasi permukaannya. Bagaskara Manjing Kawuryan.

“Ini adalah pusaka Tameng Bagaskara, pelindung kerajaan Pasundan,” kata Aki Sambar, “tameng ini tak akan tembus oleh senjata sesakti apa pun, dan akan memberikan warisan kekuatan kepada setiap pewarisnya, dari setiap kesatria yang pernah menyandangnya; konon ini adalah leburan dari senjata-senjata para Pandawa dan menjadi pusaka dari Prabu Parikesit dari Hastinapura sebelum akhirnya diturunkan ke tanah Jawa, tepatnya ke Pasundan,”

Aki Sambar menyodorkan perisai itu kepadaku.

“Ambillah, Ki Sanak,” kata Aki Sambar, “perisai ini sudah memilihmu sebagai pewarisnya,”

Dengan ragu-ragu aku pun menerimanya, tapi begitu tanganku menyentuh perisai itu, ada aliran kekuatan yang sontak mengalir dari perisai melewati tanganku yang seolah mengisi setiap celah dalam tubuhku, membuat tubuhku terasa semakin ringan dan bertenaga.

“Terima kasih, Kakek,” kataku sambil menjura, disambut oleh senyuman dari Aki Sambar.“Kini setelah pusaka ini berhasil diwariskan, maka tugas kami menjaganya sudah usai, dan kini kami bisa moksa meninggalkan dunia ini,” kata Aki Sambar.

Page 72: Ksatria Pertama

“Maksud Kakek?” tanyaku.“Kami sudah terlalu lama hidup, hanya karena untuk melaksanakan wasiat terakhir dari raja kami, kami sudah lelah menyaksikan pergantian masa di dunia ini, karena tak ada seorang pun yang boleh menyaksikan lebih dari satu masa kehidupan,” kata Nini Bayang, “moksanya kami adalah untuk mengikuti hukum yang berlaku pada alam, dan mengembalikan keseimbangan alam, sekaligus untuk melapor pada Sri Baduga Maharaja bahwa tugasnya telah berhasil kami emban dengan baik,”“Semoga perisai itu akan menjagamu dari segala marabahaya, Ki Sanak,” kata Aki Bayang, “kita akan berjumpa lagi di lain kehidupan,”

Belum sempat aku berkata apa-apa, tiba-tiba angin bertiup dan seluruh rumah itu seolah lenyap bersama dengan angin. Aku pun kehilangan pijakan atas dunia yang tiba-tiba runtuh, dan akhirnya terjatuh dalam sebuah ketiadaan…