39
Kontruksi Sosial Pengetahuan & Pendidikan Oleh. Hendra Manurung -------------------------------------------------- I. Pendahuluan ”Seorang intelektual tidak pernah fanatik atau berdendam. Ia tidak akan mengejar pengukuhan diri oleh orang lain ( self recognizition ). Ia berani berpendirian, dan tidak takut mengaku salah atau keliru kalau memang demikian. Ia tidak pernah takut kehilangan gengsi atau wibawa” . (Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, 2005) Menurut penulis, dalam sebuah komunitas ditemukan bahwa, kehidupan dinamis masyarakat atau pembangunan negara yang memiliki peradaban yang sedang bangkit biasanya disertai dengan bermunculannya ide – ide besar dan semangat yang besar dari para penggagas ide – ide tersebut guna dapat mewujudkanya, walaupun bagi sebagian besar orang, ide – ide besar yang dilontarkan seringkali dipandang mustahil, karena sedikitnya infrastruktur pendukung ide tersebut di negara mereka (Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia tahun 1970-1980an). Diakui bahwa, memang masing-masing individu yang sedang membawa peradaban tidak hanya berkutat pada tataran perhitungan mungkin atau tidak mungkin semata yang dilakukan dengan modal yang mereka miliki, namun mereka lebih berkonsentrasi pada tataran kesetiaan atau

Kontruksi Sosial Pendidikan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Upaya Memahami Kontruksi Sosial Pendidikan

Citation preview

Page 1: Kontruksi Sosial Pendidikan

Kontruksi Sosial Pengetahuan & Pendidikan

Oleh. Hendra Manurung

--------------------------------------------------

I. Pendahuluan

”Seorang intelektual tidak pernah fanatik atau berdendam. Ia tidak akan

mengejar pengukuhan diri oleh orang lain ( self recognizition ). Ia berani berpendirian,

dan tidak takut mengaku salah atau keliru kalau memang demikian. Ia tidak pernah

takut kehilangan gengsi atau wibawa”. (Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis

Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, 2005)

Menurut penulis, dalam sebuah komunitas ditemukan bahwa, kehidupan

dinamis masyarakat atau pembangunan negara yang memiliki peradaban yang sedang

bangkit biasanya disertai dengan bermunculannya ide – ide besar dan semangat yang

besar dari para penggagas ide – ide tersebut guna dapat mewujudkanya, walaupun

bagi sebagian besar orang, ide – ide besar yang dilontarkan seringkali dipandang

mustahil, karena sedikitnya infrastruktur pendukung ide tersebut di negara mereka

(Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Malaysia tahun 1970-1980an). Diakui bahwa,

memang masing-masing individu yang sedang membawa peradaban tidak hanya

berkutat pada tataran perhitungan mungkin atau tidak mungkin semata yang dilakukan

dengan modal yang mereka miliki, namun mereka lebih berkonsentrasi pada tataran

kesetiaan atau ketidaksetiaan (faithfull or unfaithfull), sehingga ciri khas orang –

orang yang membawa ide besar tersebut memiliki idealisme tinggi dan tidak dapat

dibatasi oleh ruang dan waktu.

Ketika peradaban telah berada pada tataran kemapanan dan ide – ide besar,

dan kemudian telah mulai terbukti sebagai sesuatu yang bukan hanya bualan belaka,

maka pada posisi ini kematangan pemikiran serta inovasi intelektual akan menjadi

corak utama, dan tataran yang digunakan disini bukan hanya pada ”faithfull or

unfaithfull”, karena sesungguhnya segala ketidakmungkinan telah terbantahkan

dengan bukti peradaban yang telah sedemikian maju, modern, dan mapan, hingga

pada tataran demikian yang sering muncul adalah logis atau tidak logis (logic or

unlogic), dimana hampir segala tindakan yang diambil akan dikalkulasi dan

Page 2: Kontruksi Sosial Pendidikan

diperhitungkan berdasarkan modal kekuatan yang dimiliki atau infrastruktur yang

mendampinginya, sehingga ciri khas orang – orang yang hidup dalam kemapanan

cenderung menjadi orang yang lebih realistis dan kalkulatif, serta mengutamakan ilmu

pengetahuan, keahlian/kompetensi, dan sikap/perilaku normatif dalam lingkungan

masyarakatnya (knowledge, skill, attitude). Namun demikian, apakah pendidikan telah

memiliki unsur humaniora dalam proses pengajarannya ?. Untuk menjawab

pertanyaan ini, maka perlu kita mencermati,”Apa itu Humaniora ?”. Bahkan disiplin-

disiplin ilmu yang tergolong dalam ilmu pengetahuan tentang manusia atau

kedokteran umum (human sciences) belum ada, humaniora telah terbentuk.

Dalam humaniora klasik, bahasa tidak disebut sebagai disiplin. Oleh

karenanya, bahasa Latin bukan unsur humaniora. Bahasa Latin, yang karena

perkembangan historisnya, merupakan bahasa yang dipakai sebagai,”lingua franca”,

seperti halnya bahasa Melayu yang dulu pernah merupakan lingua franca di Indonesia

pada awal abad 20. Bahkan bahasa Latin bukan merupakan bahasa dasar. Bahasa yang

paling tua di Eropa dan sebagian dari Asia adalah bahasa Indo-European.1

Bahasa Yunani, bahasa Celtic, bahasa Italic, bahasa Germanic, bahasa Slavic,

bahasa Baltic, dan bahasa Indo-Iranian merupakan anak bahasa Indo-European.

Bahasa Latin adalah dialek dari bahasa Italic, dimana bahasa Latin tidak pernah

menghasilkan karya filosofis, drama, dan literatur yang berarti. Kebanyakan karya

bahasa Latin adalah mengenai hukum, militer, administrasi, organisasi, dan politik.

Namun karena suku Latinum berhasil merebut kekuasaan di Eropa, Timur Tengah,

dan Afrika Utara, mereka telah berhasil menjadikan bahasa Latin sebagai bahasa

pemerintah (state official language), dengan kemudian mendesak bahasa Yunani

sebagai bahasa budaya (language of culture). Sebagian besar karya bahasa Yunani

tidak pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, namun diterjemahkan ke dalam

bahasa Arab, dan melalui Spanyol, dari bahasa Arab diterjemahkan ke bahasa Latin.2

Humaniora, yang menjadikan manusia (humanus) menjadi lebih manusiawi

(humanior) mula-mula terdiri atas gramatika, logika, dan retorika, disebut dengan

trivium. Pada awalnya, segala tekanan dipusatkan pada gramatika yang sering

1 Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 232 Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 24

Page 3: Kontruksi Sosial Pendidikan

dipelajari selama tiga tahun pada sekolah menengah tingkat atas. Hal demikian

terjadi, dikarenakan penguasaan bahasa Latin, yang merupakan bahasa studi dan

pergaulan di lingkungan universitas, dan bukan induk bahasa para mahasiswa, dimana

pada umumnya mereka belum cukup untuk dapat mengkomunikasikan hasil proses

belajar. Dengan demikian, jika bahasa komunikasi tidak dikuasai secara mutlak, maka

kemampuan logika dan retorika tidak mungkin dapat berjalan dengan baik. Pada

akhirnya keadaan ini dapat diubah, dengan lebih menekankan bahasa komunikasi

pada logika dan retorika. Terdapat perkembangan dari trivium menjadi quadrivium,

yaitu: teologi, aritmetika, musik/teori akustik, dan astrologi (astronomi saat ini).3

Dapat dijelaskan bahwa, pendidikan humaniora bukan hanya bahasa sebagai

bahasa. Tata bahasa atau Gramatika, bertujuan untuk membentuk manusia terdidik

yang menguasai sarana komunikasi secara mutlak saat ini (how to communicate).

Kemampuan Logika bertujuan untuk membentuk manusia terdidik yang dapat

menyampaikan apa yang ingin disampaikan sedemikian rupa (how to describe),

sehingga dapat diterima oleh orang lain, karena dapat dimengerti dan masuk akal

(easy to understand & reasonable). Sementara itu, Retorika bertujuan untuk

membentuk manusia terdidik mampu merasakan perasaan dan kebutuhan pendengar,

serta mampu menyesuaikan diri dan menggambarkan berbagai persoalan dengan

perasaan dan kebutuhan yang dimiliki (how to feel).

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, bahasa Indonesia adalah de

facto,”second language”, sementara bahasa Indonesia sendiri sudah hampir tidak

dikuasai secara maksimal. Dapat dimaknai bahwa, bahasa Indonesia untuk para calon

intelektual kita bukan merupakan sarana humaniora yang penting. Bagaimana

mungkin logika dan retorika dapat berkembang, jika secara gramatika kemampuan

berbahasa Indonesia tidak dikuasai secara mutlak. Menurut penulis, pendidikan

humaniora modern dapat diwujudkan di Indonesia, dengan mengakui bahwa bahasa

Indonesia telah menjadi bahasa budaya (language of culture), dimana kita juga akan

mampu menguasai bahasa asing lainnya (contohnya: bahasa Inggris, bahasa

Mandarin, bahasa Jepang, bahasa Korea, bahasa Jerman, bahasa Belanda, bahasa

Rusia, dll). Menjadi hal yang mustahil bilamana berkeinginan mempelajari bahasa

asing, namun ketika kita duduk di bangku SD bahasa Indonesia tidak diajarkan secara

3 Romo J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen Berbasis Sekolah, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2005, hlm. 25

Page 4: Kontruksi Sosial Pendidikan

optimal. Inilah syarat bagi kita orang yang berbudaya, dengan memiliki penguasaan

dua bahasa asing.

Tulisan sederhana ini dibuat atas dasar pemikiran guna menampung mimpi-

mimpi besar pencapaian di bidang pendidikan dan pengajaran, pembentukan serta

pematangan profesi dan pencapaian kemampuan para akademisi. Selain itu pada saat

yang bersamaan juga dapat memberikan sumbangsih besar kepada masayarakat luas

melalui berbagai kegiatan advokasi langsung, pembinaan dan pelatihan para peneliti,

dosen, dan mahasiswa agar supaya dapat menjadi partner pemerintah maupun pihak

swasta dan sektor industri dalam memberikan pemikiran – pemikiran alternatif, solutif

dan aplikatif yang dapat menyelesaikan permasalahan sosial, ekonomi, maupun

politik secara arif dan dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan. Disinilah

peran President University diharapkan dapat semakin mengemuka dan mewujud

menjadi sebuah ”universitas terapan dunia” (global research university) yang akan

mampu menjaga keberlangsungan siklus ilmu pengetahuan dan teknologi melalui

berbagai studi, kajian, dan penelitian ilmiah tersebut di abad millenium ini.

Bilamana melihat upaya pencapaian President University tersebut sejak awal

berdirinya pada tahun 2004 hingga saat ini, memang sepintas hasil pencapaian

penelitian ilmiah sangat luas dan terkesan tidak fokus, namun disinilah karakter

penelitian ilmiah sebenarnya (scientific reserach), dimana ia akan menjadi sebuah

payung besar yang akan selalu menaungi mimpi – mimpi besar itu, dan satu demi

persatu setiap mimpi akan diwujudkan dan diharapkan menjadi hasil yang bermakna

bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Diharapkan pula ketika satu demi satu mimpi -

mimpi itu terwujud, maka keyakinan demi keyakinan para ilmuwan dan penstudi akan

semakin menguat dan menghasilkan energi keilmuan yang lebih besar guna

mendorong ke arah sebuah kemapanan yang selalu dinamis dan up to date bagi

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di masa-masa yang akan datang.

Guna mewujudkan tercapainya tujuan ini, maka diperlukan untuk mencermati

konstruksi sosial pendidikan ditinjau dari disiplin ilmu Sosiologi dan Filsafat Ilmu.

Fokus studi ilmu Sosiologi adalah sebuah interaksi antara individu dengan

masyarakat, demikian menurut Peter Ludwig Berger. Lebih tepatnya, interaksi dalam

kehidupan sehari-hari. Disamping itu, menurut Berger, Sosiologi berbeda dengan ilmu

alam. Ilmu alam mempelajari gejala alam, sedangkan Sosiologi mempelajari gejala

Page 5: Kontruksi Sosial Pendidikan

sosial yang sarat oleh makna para aktor yang terlibat dalam gejala sosial itu.4

Sosiologi pengetahuan Peter Ludwig Berger menekuni makna yang ada dalam

masyarakat. Lalu, makna yang bagaimana yang harus dicermati Sosiologi Berger ?.

Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi ”teori makna” Peter Ludwig Berger. Untuk

memudahkan pembahasan, maka tulisan ini diawali dengan pembahasan tentang

aliran-aliran pemetaan teori dalam Sosiologi. Kemudian; mencari jawaban dari;

dimana pemosisian teori Berger? Dan bagaimana menggeluti makna perspektif Berger

dalam masyarakat ?

II. Ragam Aliran Teori Sosiologi

Secara sistematis, George Ritzer mengembangkan paradigma dalam disiplin

sosiologi.5 Ritzer memetakan tiga paradigma besar dalam disiplin sosiologi, yaitu:

paradigma fakta sosial, definisi sosial, dan perilaku sosial. Sementara itu Ilyas Ba

Yunus dan Farid Ahmad memaparkan bahwa paradigma besar dalam sosiologi

kemudian berkembang menjadi tiga, yaitu: Pertama, Struktural Konflik; Kedua,

Struktural Fungsional; Ketiga, Interaksi Simbolik.6 Sedangkan ilmuwan mazhab

Frankfurt, Jürgen Habermas, membagi menjadi tiga aliran tersebut berdasarkan

kepentingannya, yaitu: Positivis, Interpretatif, dan Kritis.7 Sedikit berbeda dengan

Habermas, Poloma membagi sosiologi kontemporer menjadi; naturalis, interpretatif,

dan evaluatif.8

III. Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

Dalam pandangan Ritzer, paradigma fakta sosial memusatkan perhatiannya

pada fakta sosial atau struktur dan institusi sosial berskala makro. Model yang

4Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993), hlm. 195 Ritzer, George, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980, hlm. 56Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988, hlm. 117 Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi, Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, 2004, hlm. 38 Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 44

Page 6: Kontruksi Sosial Pendidikan

digunakan teoritisi fakta sosial adalah karya Emile Durkheim, terutama The Rules of

Sociological Method dan Suicide.9 Emile Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial

sosial terdiri atas dua tipe, yaitu struktur sosial (social structure) dan pranata sosial

(social institution). Pendahulu Durkheim, August Comte, “Bapak Sosiologi/Father of

Sociology” dan pencetus “Positivisme” dalam ilmu-ilmu sosial yang memiliki

pengaruh besar dalam pengembangan paradigma fakta sosial ini. Terutama dalam

usaha menerapkan “rumus-rumus” ilmu alam dan biologi ke dalam wilayah kajian

ilmu-ilmu sosial.

Teori-teori yang mendukung paradigma fakta sosial ini adalah: Teori

Fungsionalisme Struktural, Teori Konflik, Teori Sistem, dan Teori Sosiologi Makro.

Teori Fungsionalisme Struktural dicetuskan oleh Robert K. Merton. Teoritisi

struktural fungsional cenderung melihat fakta sosial memiliki kerapian antar

hubungan dan keteraturan yang sama dengan yang dipertahankan oleh konsensus

umum. Sedangkan teoritisi konflik cenderung menekankan kekacauan antar fakta

sosial, serta; gagasan mengenai keteraturan dipertahankan melalui kekuasaan yang

memaksa dalam masyarakat. Teori sistem Talcott Parson juga termasuk dalam

paradigma ini.

Paradigma kedua adalah Definisi Sosial. Analisa Max Weber tentang tindakan

sosial (social action) adalah model yang menyatukan para penganut paradigma ini.

Bagi Max Weber, persoalan utama sosiologi adalah, ”bagaimana memahami tindakan

sosial dalam interaksi sosial”, dimana “tindakan yang penuh arti” ini ditafsirkan

untuk sampai pada penjelasan kausal. Untuk mempelajari tindakan sosial, Max Weber

menganjurkan metode analitiknya melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative

understanding) atau menurut terminologinya disebut dengan verstehen.10 Selain Teori

Aksi Max Weber, Teori Fenomenologis Alfred Schutz, Interaksionalisme Simbolis

(diantaranya; G. H. Mead), etnometodologi (Garfinkel) termasuk dalam aliran ini.

Juga, teori eksistensialisme.

9 Ritzer, George, Sosiologi: Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda/Sociology: A Multiple Paradigm Science, 1980, hlm. 6-7

10 Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003, hlm. 65

Page 7: Kontruksi Sosial Pendidikan

Paradigma Perilaku Sosial, ini yang ketiga. Model bagi penganut aliran ini

adalah B. F. Skiner. Teori Behavioral Sociology dan Teori Exchange adalah

pendukung utama “behaviorisme sosial” ini. Sosiologi model ini mencermati

”perilaku individu yang tak terpikirkan”. Fokus utamanya pada imbalan (rewards)

sebagai stimulus berperilaku, yang diinginkan, dan hukuman atau sanksi (punishment)

sebagai pencegah perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Berbeda dengan paradigma

fakta sosial yang cenderung menggunakan interview-kuesioner dalam metodologinya,

juga definisi sosial dengan observasi, paradigma perilaku sosial menggunakan metode

eksperimen. Ada dua teori yang masuk dalam “behaviorisme sosial”, yakni; sociology

behavioral, dan teori pertukaran (theory of change).

Dari ketiga paradigma itu, Ritzer mengusulkan paradigma integratif.

Menggabungkan semua paradigma, dengan unit analisis meliputi semua tingkatan

realitas; makro-obyektif (masyarakat, hukum, birokrasi, arsitektur, teknologi, dan

bahasa), makro-subyektif (nilai, norma, dan budaya), mikro-obyektif (pola perilaku,

tindakan, dan interaksi), dan mikro-subyektif (persepsi, keyakinan; berbagai segi

konstruksi sosial tentang realita). Integrasi paradigma ini bukanlah murni pemikiran

Ritzer. Sejumlah pendahulunya, Abraham Edel (1959) dan George Gurvitch (1964)

telah mengupayakan pengintegrasian makro-mikro ini. Integrasi paradigma Ritzer

sebagian dimotivasi oleh kebutuhan untuk membangun sebuah model analisis yang

lebih sederhana berdasarkan pemikiran Gurvitch. Dimulai dengan kontinum mikro-

makro (tingkat horizontal model Gurvitch) bergerak dari pemikiran dan tindakan

individual ke sistem dunia.11 Dalam karya Ritzer Expressing Amerika: A Critique of

the Global Credit Card Society, ia menggunakan gagasan C. Wright Mills (1959)

tentang hubungan antara persoalan personal tingkat mikro dan personal publik tingkat

makro untuk menganalisis persoalan yang ditimbulkan oleh kartu kredit.

IV. Kritik Multi - Paradigma Ritzer

11 Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004, hlm. 60-61

Page 8: Kontruksi Sosial Pendidikan

Penempatan perspektif konflik dalam paradigma yang sama dengan struktural

fungsional oleh Ritzer adalah sasaran kritik sosiolog lain. Struktural konflik yang

mengasumsikan bahwa masyarakat senantiasa berada dalam konflik dan menuju

perubahan, dimana berlawanan dengan struktural fungsional yang mengasumsikan

bahwa, masyarakat terdiri dari substruktur-substruktur dengan fungsinya masing-

masing yang saling terkait dan aktif, serta senantiasa membawa masyarakat menuju

keseimbangan. Pendekatan konflik lebih menekankan pada pertentangan dan

perubahan sosial, sementara pendekatan struktural-fungsional memusatkan

perhatiannya pada stabilitas. Kelemahan meta teori Ritzer bermula dari pengabaian

terhadap gejolak perkembangan filsafat ilmu di abad ke-20. Pengabaian inilah yang

menyebabkan adanya kontradiksi antar teori dalam satu paradigma, dan di sisi lain,

menempatkan secara terpisah antar teori yang berakar pada filsafat yang sama,

misalnya; antara fungsionalisme dengan teori pertukaran.

Selain itu, paradigma integratif sebagai kesepakatan bersama, ”konsensus”

antar paradigma, atau sebagaimana paradigma yang lebih lengkap, sehingga lebih

akurat sebagai sebuah perspektif sosiologi yang patut diperdebatkan. Merumuskan

teori berparadigma integratif sama halnya memaksakan berbagai aliran untuk

bersepakat. Tentu hal ini akan mengakibatkan pendistorsian pada teori-teori yang ada,

yang bermunculan dari berbagai paradigma. Karena itu, lebih tepat menempatkan

paradigma integratif ini sebagai paradigma tersendiri yang berbeda dengan

paradigma-paradigma sebelumnya. Atau, menempatkan sebagai paradigma ke-empat

setelah; paradigma fakta sosial, paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku

sosial.

Meta teori Ritzer ternyata tidak mampu menampung tumbuhnya berbagai teori

alternatif baru dewasa ini. Kemunculan berbagai teori kritis dengan bermacam

alirannya, tidak serta merta mampu ditampung dalam kerangka meta teori Ritzer.

Karena itu, pemetaan Ritzer tidak lagi tepat untuk menggambarkan bagaimana

perkembangan teori saat ini. Kemunculan teori kritis juga semakin menampakkan

bahwa pendekatan tripartit (konflik, struktural-fungsional, dan interaksi sombolik) tak

lagi relevan.

V. Empiris-Analitis, Historis-Hermeneutis, dan Emansipatorik Jurgen

Habermas

Page 9: Kontruksi Sosial Pendidikan

Jurgen Habermas membagi menjadi tiga aliran berdasarkan kepentingannya,

yaitu: Positivis, Interpretatif, dan Kritis. Pertama, Positivisme ditujukan untuk

kepentingan teknis ilmu-ilmu empiris analitis; Kedua, Humanisme ditujukan untuk

praktis ilmu-ilmu historis hermeneutis; dan Ketiga, Emansipatoris untuk ilmu-ilmu

kritis. Tiga aliran ini berangkat dari perkembangan filsafat ilmu. Positivisme berakar

pada filsafat Rasionalisme Plato yang dipadukan Empirisme Aristoteles. Humanisme

mengambil Epistemologi Transedental Immanuel Kant. Sedangkan Teori Kritis,

bermula dari upaya mencari jalan keluar dari perdebatan panjang positivisme dan

humanisme ilmu sosial (Felix Weil, Freiderick Pollock, Carl Grudenberg, Karl

Wittgovel, Henry Grossman, dan Mazhab Frankfurt). Dalam metodologi ilmu

pengetahuan (scientific methodology), ilmu sosial positivisme menggunakan metode

empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survei,

statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan

metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian

kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian

partisipatorik dan metode kualitatif.

VI. Positivisme Plato

Plato menganggap bahwa pengetahuan murni dapat diperoleh dari rasio itu

sendiri (a priori). Penerus gagasan ini diantaranya adalah Rene Descartes. Sedangkan

Aristoteles menganggap empiris berperan besar terhadap obyek pengetahuan

(aposteriori). Filsafat empirisme ini semakin berkembang berkat Thomas Hobbes dan

John Locke. Rasionalisme dan empirisme ini berpengaruh besar terhadap

perkembangan ilmu alam murni. Dengan menjadikan ilmu alam sebagai ilmu

pengetahuan murni, ”pure science”, maka ilmu alam dapat melepaskan diri dari

berbagai kepentingan, sehingga menjadi lebih obyektif.12

Adopsi saintisme ilmu alam ke dalam ilmu sosial dilakukan oleh Auguste

Comte (1798-1857). Gagasannya tentang fisika sosial yang berlanjut ke penemuan

istilah ilmu sosiologi menandai positivisme awal ilmu sosial. Sosiologi yang ”bebas

nilai” adalah ciri utama pemikiran Auguste Comte. Karena itu, positivisme ilmu

12Ahmad Zainul Hamdi (Redaktur Pelaksana), Jurnal Gerbang, No.14, Vol.V. Februari-April

2003, Menafsirkan Hermeneutika. hlm. 15

Page 10: Kontruksi Sosial Pendidikan

mengandaikan suatu ilmu yang bebas nilai, obyektif, terlepas dari praktik sosial dan

menjunjung nilai-nilai moralitas. Pengetahuan harus terlepas dari kepentingan praktis.

Teori untuk teori, dan bukan praksis. Dengan terpisahnya teori dari praksis, maka

pemaknaan ilmu pengetahuan akan menjadi suci dan universal, dan tercapailah

pengetahuan yang excellent. Selain Comte, Emille Durkheim (1858-1917) adalah

tokoh yang berpengaruh terhadap pijakan-pijakan dasar sosiologi positivistik,

terutama sumbangannya tentang fakta sosial. W.L. Resee (1980) menyatakan bahwa

pemikran positivisme pada dasarnya mempunyai pijakan; logiko empirisme, realitas

obyektif, reduksionisme, determinisme, dan asumsi bebas nilai.

VII. Pemahaman Humanisme dan Pendidikan

Berbeda dengan positivis yang berusaha memproduksi hukum sosial yang

berlaku abadi, teori interpretatif humanis mencoba memahami tindakan sosial pada

level makna yang relatif, plural, dan dinamis. Sewajarnya, sosiologi bukan mencoba

untuk menjadi mirip fisika sosial, melainkan harus berusaha menemukan pemaknaan

arti yang dibangun orang melalui tindakan mereka sehari-hari. Pandangan ini berakar

dari epistemologi Immanuel Kant yang menjelaskan refleksi atas syarat-syarat

kemungkinan dari pengetahuan, perkataan dan tindakan kita sebagai subyek yang

mengetahui, berbicara dan bertindak, dan bahwa dunia adalah suatu kejadian-kejadian

yang tak pernah diketahui arahnya. Ada dunia subyektif yang mengikuti konteks dan

proses historis tertentu. Hal itu sekaligus menolak rumusan positivis yang

mengasumsikan masyarakat sebagai benda yang diamati (obyek). Penentangan

saintisme ilmu ini dipelopori oleh Max Weber dan Wilhelm Dilthey.13 Kemudian

disusul Alfred Schutz dengan sosiologi fenomenologinya.

Weber menekankan pada fenomena ”spiritual” atau ”ideal” manusia, yang

merupakan ciri khas melekat manusia, dan tidak dapat dijangkau oleh ilmu-ilmu alam.

Karena itu, sosiologi perlu menekuni realitas kehidupan manusia, dengan cara

memahami dan menafsirkan atau verstehen. Sedangkan Dilthey, lebih memusatkan

perhatiannya pada usaha menemukan struktur simbolis atau makna dari produk-

produk manusiawi, seperti; sejarah, masyarakat, candi, dan interaksi. Sementara

Schutz memfokuskan pada pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dunia 13 Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory, Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik, Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi, Surabaya: Insan Cendekia, 2002. hlm. 20-21

Page 11: Kontruksi Sosial Pendidikan

sehari-hari adalah dunia yang terpenting dan paling fundamental bagi manusia,

sekaligus sebagai realitas yang memiliki makna subyektif. Perkembangan

fenomenologi Schutz berimplikasi pada lahirnya etnometodologi (Harold Garfinkel),

interaksionisme simbolik (Herbert Blumer), dramaturgi (Erving Goffman), dan

konstruksi sosial (Peter L. Berger).14

VIII. Teori Kritis

Kunci dari teori kritis terletak pada upaya pembebasan (pencerahan). Ilmuwan

maupun akademisi tidak selayaknya mengacuhkan masyarakat beserta

kepentingannya, dan hanya bertujuan demi mengejar obyektivitas ilmu semata.

Ilmuwan harus menyadari posisi dirinya sebagai aktor perubahan sosial (actor for

social change). Karena itu, teori kritis menolak tegas positivisme, dan ilmuwan sosial

wajib mengkritisi masyarakat, serta mengajak masyarakat untuk semakin kritis.

Sehingga, teori kritis bersifat melibatkan semua pihak atau emansipatoris. Emansipasi

mutlak diperlukan, untuk membebaskan masyarakat dari struktur penindasan (new

colonialism). “Kesadaran palsu” senantiasa muncul dan melekat dalam masyarakat,

dan itu harus diungkap dan diperangi. Selain itu, ciri lain dari studi kritis adalah

interdispliner.

Ben Agger menyebutkan ciri-ciri utama teori kritik sebagai berikut:15

1. Teori Kritis berlawanan dengan Positivisme. Pengetahuan bukanlah refleksi

atas dunia statis “di luar sana”, namun konstruksi aktif oleh ilmuwan dan teori

yang membuat asumsi tertentu tentang dunia yang mereka pelajari sehingga

tidak sepenuhnya bebas nilai. Selain itu, jika positivis mengharuskan untuk

menjelaskan hukum alam, maka teori kritis percaya bahwa masyarakat akan

terus mengalami perubahan secara dinamis.

2. Teori Sosial Kritis membedakan masa lalu dan masa kini, yang secara umum

ditandai oleh adanya dominasi, eksploitasi, dan penindasan. Oleh karena itu,

ilmuwan kritis harus berpartisipasi untuk mendorong perubahan sosial (social

change).

14 Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. hlm. 6815 Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. hlm. 58

Page 12: Kontruksi Sosial Pendidikan

3. Teori Kritis berasumsi bahwa dominasi bersifat struktural. Tugas teori sosial

kritis adalah mengungkap struktur itu, guna membantu masyarakat dalam

memahami akar global dan rasional penindasan yang mereka alami.

4. Pada level struktur itu, teori sosial kritis yakin bahwa struktur didominasi oleh

kesadaran palsu manusia, dilanggengkan oleh Ideologi (Karl Marx), Reifikasi

(Lukacs), Hegemoni (Gramsci), Pemikiran Satu Dimensi (Marcuse), dan

Metafisika Keberadaan (Derrida).

5. Teori Sosial Kritis berkeyakinan bahwa perubahan dimulai dari rumah, pada

kehidupan sehari-hari manusia, misalnya; seksualitas, peran keluarga, dan

tempat kerja. Disini, teori sosial kritis menghindari determinisme dan

mendukung voluntarisme.

6. Mengikuti pemikiran Karl Marx, teori sosial kritis menggambarkan hubungan

antara struktur manusia secara dialektis.

7. Teori Sosial Kritis menolak asumsi bahwa kemajuan adalah ujung jalan

panjang yang dapat dicapai dengan mengorbankan kebebasan dan hidup

manusia. Di sisi lain, teori sosial kritis juga menolak pragmatisme

revolusioner.

IX. Humanisme: Antara Positivisme dan Teori Kritis

Menurut Agger, apakah teori interpretatif lebih dekat kepada teori positif atau

kritis, tergantung pada bidang apa orang memberikan tekanan.16 Teoritisi

interaksionisme simbolis dari Mazhab Iowa juga memberikan konsepsi sosiologi

interpretatif sebagai struktur berharga dari survai kuantitatif. Bahkan, teori

interpretatif dapat memberi kontribusi bagi pemahaman atas keajegan kalau dilakukan

secara cukup terarah. Namun konsepsi ini ditentang keras oleh para fenomenolog,

etnometodolog, dan konstruksionis sosial, yang menyatakan sosiologi interpretatif

sebagai counter atas penelitian survai. Penelitian survai gagal memahami makna yang

dijalin masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, penelitian survai sebagai

turunan dari positivis lebih sebagai ilmu sosial yang bermazhab ilmu fisika prediktif,

sehingga hal itu melanggar prinsip inti Neo-Kantianisme.

16Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003. hlm. 62

Page 13: Kontruksi Sosial Pendidikan

Sangat berbeda dengan Mazhab Iowa, Denzin dan Patricia Clough

berpandangan bahwa teori interpretatif telah melebur bersama kajian budaya (cultural

studies) dan teori feminis. Menurut mereka, teori interpretatif adalah cabang dari teori

kritis. Clough dan Smith (1987), melacak keterkaitan antara kehidupan sehari-hari dan

struktur sosial politik. Hasilnya, kehidupan sehari-hari (termasuk kehidupan dalam

rumah tangga) tak bisa dilepaskan dari struktur sosial politik yang menaunginya.17

Menurut Agger, semakin teoritis teori interpretatif maka semakin kritis secara politis

kecenderungannya. Masih menurut Ben Agger, persamaan fundamental antara

humanisme dengan teori kritis terletak pada upaya penentangannya pada positivisme

eksistensi hukum sosial. Sementara perbedaan fundamentalnya terletak dalam

menyikapi ”kesadaran palsu/false consciousness”.18Interpretatif berpandangan bahwa

sangat arogan bagi analisis sosial untuk mengandaikan bahwa, masyarakat memiliki

”kesadaran palsu” atau ”kesadaran sejati”. Sedangkan teori kritik secara tegas

menjelaskan bahwa, masyarakat memiliki ”kesadaran palsu”, yang harus dilawan,

dihancurkan dan diperbaiki.

X. Metodologi Pengetahuan

Epistemologi yang berbeda menjadikan setiap aliran memiliki metodologi

pengetahuan yang berbeda. Secara kasar; positivis menggunakan teknik-teknik

kuantitatif, interpretatif dengan kualitatif, dan teori kritis dengan kualitatif-

emansipatorik. Dalam metodologi, ilmu sosial positivisme menggunakan metode

empiris-analitis; menggunakan logika deduksi, teknik-teknik penelitian survai,

statistika, dan berbagai teknis studi kuantitatif. Humanisme ilmu sosial menggunakan

metode historis-hermeneutis; mencakup logika induktif, dan metode penelitian

kualitatif. Ilmu sosial kritis mencakup pendekatan emansipatorik; penelitian

partisipatorik dan metode kualitatif.19Dengan demikian, secara spesifik masing-

masing sosiolog memiliki penekanan yang berbeda-beda, walaupun masuk dalam satu

aliran. Terlebih dalam humanisme ilmu sosial dan teori kritik. Walaupun sama-sama

menekuni makna, Harold Garfinkel menggunakan etnometodologi yang memiliki

perbedaan dengan fenomenologi Schutz. Peter Ludwig Berger, yang membidik makna 17 Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 56

18 Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 3219 Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003. hlm. 17

Page 14: Kontruksi Sosial Pendidikan

dalam skala lebih luas, menggunakan studi pendekatan sejarah sebagai bagian dari

metodologinya (historical approch as his methodology).

XI. Pemosisian Teori Berger

Perspektif Peter Ludwig Berger tak dapat dilepaskan dari situasi sosiologi

Amerika pada tahun 1960an. Saat itu, dominasi fungsionalisme berangsur menurun,

seiring mulai ditinggalkannya pendekatan fungsionalisme oleh para penstudi sosiolog

muda. Sosiolog muda beralih ke perspektif konflik atau teori kritis dan humanisme.

Karena itu, gagasan Peter L. Berger yang lebih humanis (Max Weber dan Schutz)

akan mudah diterima, dan di sisi lain mengambil fungsionalisme (Emille Durkheim)

dan konflik (dialektika Marx). Berger mengambil sikap berbeda dengan sosiolog lain

dalam menyikapi ‘perang’ antar aliran dalam sosiologi. Berger cenderung tidak

melibatkan dalam pertentangan antar paradigma, namun mencari benang merah, atau

mencari titik temu gagasan Marx, Durkheim dan Weber. Benang merah itu pada

akhirnya bertemu pada tatanan sejarah. Selain itu, benang merah itu yang kemudian

menjadikan Berger menekuni pemaknaan arti Schutz yang menghasilkan watak ganda

masyarakat, dimana masyarakat sebagai kenyataan subyektif menurut Max Weber,

dan juga masyarakat sebagai kenyataan obyektif menurut Emille Durkheim, yang

terus berdialektika (Karl Marx). Lalu, dimana pemosisian teori Berger? Apakah

masuk dalam positif, humanis, atau kritis?

Dalam bukunya, Peter Ludwig Berger secara tegas mengatakan bahwa

Sosiologi, ”merupakan suatu disiplin yang humanistik”.20 Hal ini senada dengan

Poloma yang menempatkan teori konstruksi sosial Berger dalam corak interpretatif

atau humanis.21 Hanya saja, pengambilan Peter L. Berger terhadap paradigma fakta

sosial Emille Durkheim menjadi kontroversi ke-humanisan-nya. Pengambilan itu pula

yang membuat Douglas dan Johnson menggolongkan Peter L. Berger sebagai

Durkheimian, dimana, ”Usaha Berger dan Luckmann merumuskan teori konstruksi

sosial atas realitas, pada pokoknya merupakan usaha untuk memberi justifikasi

gagasan Durkheim berdasarkan pada pandangan fenomenologi”.22 Selain itu,

20 Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 26521 Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003. hlm. 3022 Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 42

Page 15: Kontruksi Sosial Pendidikan

walaupun Berger mengklaim bahwa pendekatannya adalah non-positivistik, namun ia

mengakui jasa positivisme, terutama dalam mendefinisikan kembali aturan

penyelidikan empiris bagi ilmu-ilmu sosial.23

Upaya yang paling aman dan lebih tepat dalam menggolongkan sosiolog

tertentu, adalah dengan menempatkan sosiolog dalam pemosisian dirinya sendiri.

Dengan mendasari dari pemikiran interaksionisme simbolik, bahwa setiap orang

adalah spesifik dan unik. Demikian halnya sosiolog, sebagai seorang manusia, tentu

memiliki pemikiran yang unik dan spesifik. Namun hal ini bukan menempatkan

sosiolog terpisah dan tidak tercampuri oleh sosiolog lain. Karena itu yang lebih tepat

dilakukan adalah dengan mencari jaringan pemikiran dan teori antar sosiolog, bukan

menggolong-golongkannya. Dalam kasus Berger, maka pemikiran sosiolog

sebelumnya yang begitu mempengaruhi teorinya sebagaimana digambarkan di atas

adalah Max Weber, Emile Durkheim, Karl Marx, dan Schutz, serta George Herbert

Mead. Pengaruh Weber nampak pada penjelasannya akan makna subyektif yang tak

bisa diacuhkan ketika mengkaji gejala yang manusiawi. Tentang dialektika (individu

adalah produk masyarakat, masyarakat adalah produk manusia), Peter L. Berger

rupanya meminjam gagasan Marx. Sedangkan masyarakat sebagai realitas obyektif,

yang mempunyai kekuatan memaksa, sekaligus sebagai fakta sosial, adalah

sumbangan pemikiran Emille Durkheim. Schutz rupanya lebih mewarnai dari tokoh

lainnya, terutama tentang makna dalam kehidupan sehari-hari (common sense). Secara

umum, dalam masalah internalisasi, termasuk tentang ’I’ and ’Me’ dan significant

others, Mead menjadi rujukan Peter L. Berger.24

XI. Menekuni Makna dengan Sosiologi Pengetahuan

Selain konsep diri atau self concepts, makna adalah istilah yang sentral dari

sosiologi humanis. Pembahasan mengenai makna sangat nampak dalam

Interaksionisme Blumer. Teori Blumer bertumpu pada tiga premis utama yang

melibatkan makna, yaitu :25

23 Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 26824Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 269 25 Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 112

Page 16: Kontruksi Sosial Pendidikan

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada

sesuatu itu bagi mereka

2. Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang

lain

3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Bagi Harold Garfinkel, setiap orang bergulat untuk menangkap pengalaman

sosialnya sedemikian rupa sehingga pengalaman itu “punya/memiliki arti”.

Etnometodologi Harold Garfinkel menyangkut isu realitas common sense di tingkat

individual. Hal itu berbeda dengan Berger, yang menganalisa pada tingkat kolektif.

Berger banyak “berhutang budi” pada fenomenologi Alfred Schutz,

sebagaimana juga Harold Garfinkel, terlebih dalam hal “pengetahuan” dan

”pemaknaan arti”. Schutz menjelaskan tiga unsur pengetahuan yang membentuk

pengertian manusia tentang masyarakat, yakni: dunia sehari-hari, sosialitas, dan

makna.26 Dunia sehari-hari adalah orde tingkat satu dari kenyataan (the first order of

reality). Ia menjadi dunia yang paling fundamental dan esensial bagi manusia.

Sosialitas berpijak pada teori tindakan sosial Max Weber. Social action yang terjadi

setiap hari selalu memiliki makna-makna. Atau, berbagai makna senantiasa

mengiringi tindakan sosial, dimana di balik tindakan sosial pasti muncul dan ada

berbagai makna yang bersembunyi atau melekat (hidden agenda).

Sumbangan Schutz yang utama bagi gagasan fenomenologi, terutama tentang

makna dan bagaimana makna membentuk struktur sosial, adalah tentang “makna” dan

“pembentukan makna”. Orde asasi dari masyarakat adalah dunia sehari-hari,

sedangkan makna dasar bagi pengertian manusia adalah dunia akal sehat (common

sense). Dunia akal sehat terbentuk dalam percakapan sehari-hari. Common sense

merupakan pengetahuan yang ada pada setiap orang dewasa yang sadar. Pengetahuan

ini didapatkan individu secara sosial melalui sosialisasi dari dan melalui orang-orang

sebelumnya, terlebih dari orang-orang lain yang dikenalnya (significant others).

Common sense terbentuk dari tipifikasi yang menyangkut pandangan dan tingkah

laku, serta pembentukan makna. Hal ini terjadi karena individu-individu yang terlibat

26Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6, Jakarta: Kencana, 2004. hlm. 81

Page 17: Kontruksi Sosial Pendidikan

dalam komunikasi melalui bahasa dan interaksi sosial kemudian membangun

semacam sistem relevansi kolektif.27

XII. Aktualisasi Sosiologi Pengetahuan

Walaupun Peter L. Berger berangkat dari pemikiran Schutz, namun Berger

jauh keluar dari fenomenologi Schutz, yang hanya berkutat pada makna dan sosialitas.

Karena itu garapan Berger tak lagi fenomenologi, melainkan sosiologi pengetahuan.

Namun demikian, Berger tetap menekuni makna, tapi dalam skala yang lebih luas,

dan sekali lagi menggunakan studi sosiologi pengetahuan. Dalam studi ini, Berger

juga memperhatikan makna tingkat kedua, yakni legitimasi. Legitimasi adalah

pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan

membenarkan tatanan sosial.28 Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat

kedua, dan merupakan pengetahuan yang berdimensi kognitif dan normatif, karena

tidak hanya menyangkut penjelasan tetapi juga nilai-nilai moral (morality values).

Legitimasi, dalam pengertian fundamental, memberitakan apa yang seharusnya ada

atau terjadi dan mengapa terjadi. Berger mencontohkan, tentang moral-moral

kekerabatan, “Kamu tidak boleh tidur dengan X”, karena “X adalah saudarimu, dan

kamu adalah saudari X”.29 Jika dikaitkan dengan norma dalam Islam, maka legitimasi

itu misalnya, “Kamu tidak boleh ‘berhubungan’ dengan X, karena dia bukan istrimu,

dan jika engkau melakukan itu, maka engkau telah berzina, telah melakukan

perbuatan dosa yang besar”.30

Penelitian makna melalui sosiologi pengetahuan, mensyaratkan penekunan

pada “realitas” dan “pengetahuan”. Dua istilah inilah yang menjadi istilah kunci teori

konstruksi sosial Peter L. Berger dan Thomas Luckmann (1990).31 “Kenyataan”

adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomen-fenomen yang memiliki

keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak individu manusia (yang

kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan). “Pengetahuan” adalah

kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-

27 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003. hlm. 1728 Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 3629 Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 3730Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988. hlm. 22 31 Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 28

Page 18: Kontruksi Sosial Pendidikan

karakteristik yang spesifik. Kenyataan sosial adalah hasil eksternalisasi dari

internalisasi dan obyektivasi manusia terhadap pengetahuan dalam kehidupan sehari-

sehari. Atau, secara sederhana, dapat diartikan bahwa eksternalisasi dipengaruhi oleh

cadangan sosial pengetahuan (stock of knowledge) yang dimilikinya. Cadangan sosial

pengetahuan adalah akumulasi dari pengetahuan akal sehat (common sense

knowledge). Common sense adalah pengetahuan yang dimiliki individu bersama

individu-individu lainnya dalam kegiatan rutin yang normal, dan sudah jelas dengan

sendirinya, dalam kehidupan sehari-hari.32Dalam Tafsir Sosial atas Kenyataan:

sebuah Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan Berger dan Luckmann (1990)

merumuskan teori konstruksi sosial atau sosiologi pengetahuan. Buku ini terdiri dari

tiga bab, yaitu: dasar-dasar pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat

sebagai realitas obyektif, dan masyarakat sebagai realitas subyektif.

XIII. Dasar-dasar Pengetahuan dalam Kehidupan Sehari-hari

Kehidupan sehari-hari telah menyimpan dan menyediakan kenyataan,

sekaligus pengetahuan yang membimbing perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Kehidupan sehari-hari menampilkan realitas obyektif yang ditafsirkan oleh individu,

atau memiliki makna-makna subyektif. Di sisi lain, kehidupan sehari-hari merupakan

suatu dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individu, dan

dipelihara sebagai ”yang nyata” oleh pikiran dan tindakan itu. Dasar-dasar

pengetahuan tersebut diperoleh melalui obyektivasi dari proses-proses dan makna-

makna subyektif, yang membentuk dunia akal-sehat intersubyektif.33 Pengetahuan

akal sehat adalah pengetahuan yang dimiliki bersama (oleh individu dengan individu-

individu lainnya) dalam kegiatan rutin yang normal dalam kehidupan sehari-hari.

Realitas kehidupan sehari-hari merupakan taken for granted. Walaupun ia bersifat

memaksa, namun ia hadir dan tidak (jarang) dipermasalahkan oleh individu

(Misalnya; civitas akademika President University jarang, bahkan belum pernah,

menanyakan; mengapa gedung universitas terletak di Jalan Ki Hajar Dewantara,

mengapa kantor dekan di lantai tiga, mengapa kantin makan kampus di sebelah

selatan. Hal ini sudah dianggap alamiah, sehingga tidak perlu dibuktikan

kebenarannya. Selain itu, realitas kehidupan sehari-hari pada pokoknya merupakan;

32 Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 3433Berger, Peter L, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan; Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990. hlm. 29

Page 19: Kontruksi Sosial Pendidikan

realitas sosial yang bersifat khas dan individu tak mungkin untuk mengabaikannya,

serta totalitas yang teratur dan terikat struktur ruang dan waktu, dan obyek-obyek

yang menyertainya.34

Realitas kehidupan sehari-hari selain terisi oleh obyektivasi, juga memuat

signifikasi. Siginfikasi atau pembuatan tanda-tanda oleh manusia, merupakan

obyektivasi yang khas, yang telah memiliki makna intersubyektif, walaupun

terkadang tidak ada batas yang jelas antara signifikasi dan obyektivasi. Sistem tanda

meliputi sistem tanda tangan, sistem gerak-gerik badan yang berpola, sistem berbagai

perangkat artefak material, dan sebagainya. Bahasa, sebagai sistem tanda-tanda suara,

merupakan sistem tanda yang paling penting. Signifikasi tingkat kedua ini merupakan

sarana untuk memelihara realitas obyektif. Dengan bahasa realitas obyektif masa lalu

dapat diwariskan ke generasi sekarang, dan berlanjut ke masa depan. Bahasa

memungkinkan menghadirkan obyek tersebut ke dalam situasi tatap muka.35

XIV. Masyarakat sebagai Realitas Obyektif dan Subyektif

Manusia berbeda dengan binatang. Binatang telah dibekali insting oleh Tuhan,

sejak dilahirkan hingga melahirkan sampai mati. Manusia secara biologis dan sosial

terus tumbuh dan berkembang, karenanya ia terus belajar dan berkarya membangun

keberlangsungan hidupnya. Upaya menjaga eksistensi hidup inilah yang kemudian

menuntut manusia menciptakan tatanan sosial (social structure). Jadi, tatanan sosial

merupakan produk manusia yang berlangsung terus menerus, sebagai keharusan

antropologis yang berasal dari biologis manusia. Tatanan sosial itu bermula dari

eksternalisasi, yaitu : ”pencurahan kedirian manusia secara terus menerus ke dalam

dunia, baik dalam aktivitas fisis maupun mentalnya”.36

Masyarakat sebagai realitas obyektif menyiratkan adanya ”pelembagaan” di

dalamnya. Proses pelembagaan atau institusionalisasi ini diawali oleh eksternalisasi

yang dilakukan secara berulang-ulang, sehingga terlihat polanya dan dapat dipahami

bersama, yang kemudian menghasilkan habitualisasi (pembiasaan). Habitualisasi

yang telah berlangsung memunculkan pengendapan dan tradisi. Pengendapan dan

34 Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 935 Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003. hlm. 4136 Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES, 1991. hlm. 4-5

Page 20: Kontruksi Sosial Pendidikan

tradisi ini kemudian diwariskan ke generasi sesudahnya melalui bahasa. Disinilah

terdapat peranan di dalam tatanan kelembagaan, termasuk dalam kaitannya dengan

pentradisian pengalaman dan pewarisan pengalaman tersebut. Jadi, peranan

mempresentasikan tatanan kelembagaan atau lebih jelasnya; pelaksanaan peranan

adalah representasi diri sendiri. Peranan mempresentasikan suatu keseluruhan

rangkaian perilaku yeng melembaga, misalnya peranan guru/dosen dengan peran-

peran lainnya di sektor pendidikan nasional.

Masyarakat sebagai realitas obyektif juga menyiratkan keterlibatan legitimasi.

Legitimasi merupakan obyektivasi makna tingkat kedua, dan merupakan pengetahuan

yang berdimensi kognitif dan normatif, karena tidak hanya menyangkut penjelasan

tetapi juga nilai-nilai yang dianut masyarakat. Legitimasi berfungsi untuk membuat

obyektivasi yang sudah melembaga menjadi masuk akal secara subyektif.

Perlu sebuah norma umum, ”universum simbolik” yang menyediakan

legitimasi utama keteraturan pelembagaan, seperti halnya universitas. Universum

simbolik menduduki hirarki yang tinggi, metasbihkkan bahwa semua realitas adalah

bermakna bagi individu, dan individu harus melakukan sesuai makna tersebut. Agar

individu mematuhi makna itu, maka organisasi sosial diperlukan, sebagai pemelihara

”universum simbolik”. Maka, dalam kejadian ini, organisasi sosial dibuat agar sesuai

dengan universum simbolik (teori/legitimasi). Di sisi lain, manusia tidak begitu saja

menerima legitimasi. Bahkan, pada situasi tertentu universum simbolik yang lama tak

lagi dipercaya dan kemudian ditinggalkan. Kemudian manusia melalui organisasi

sosial membangun universum simbolik yang baru. Dan dalam hal ini, legitimasi/teori

dibuat untuk melegitimasi organisasi sosial. Proses ”legitimasi sebagai legitimasi

lembaga sosial” menuju ”lembaga sosial sebagai penjaga legitimasi” terus

berlangsung, dan dialektik. Dialektika ini terus terjadi, dan dialektika ini yang

berdampak pada perubahan sosial dalam masyarakat.

Masyarakat sebagai kenyataan subyektif menyiratkan bahwa realitas obyektif

ditafsirkan secara subyektif oleh individu. Dalam proses penafsiran itulah berlangsung

internalisasi. Internalisasi adalah proses yang dialami manusia untuk ’mengambil alih’

dunia yang sedang dihuni sesamanya.37 Internalisasi berlangsung seumur hidup 37 Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 16

Page 21: Kontruksi Sosial Pendidikan

melibatkan sosialisasi, baik primer maupun sekunder. Internalisasi adalah proses

penerimaan definisi situasi yang disampaikan orang lain tentang dunia institusional.

Dengan diterimanya definisi-definisi tersebut, maka individu, seperti halnya dosen

dan para mahasiswa pun bahkan hanya mampu mamahami definisi orang lain, namun

demikian lebih dari itu, mereka turut pula mengkonstruksi definisi tersebut bersama-

sama. Dalam proses mengkonstruksi inilah, individu berperan aktif sebagai

pembentuk, pemelihara, sekaligus perubah masyarakat (social change).

XV. Konseptualisasi Metodologi Sosiologi Berger

Menurut Hanneman Samuel, metodologi Sosiologis Berger mengacu pada tiga

poin penting dalam kerangka teori Berger, yang berkaitan dengan arti penting makna

yang dimiliki aktor sosial, yakni:

1. Semua manusia memiliki makna dan berusaha untuk hidup dalam suatu dunia

yang bermakna ;

2. Makna manusia pada dasarnya bukan hanya dapat dipahami oleh dirinya

sendiri, tetapi juga dapat dipahami oleh orang lain ;

3. Terhadap makna, beberapa kategorisasi dapat dilakukan, yaitu: Pertama,

makna dapat digolongkan menjadi makna yang secara langsung dapat

digunakan dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya; dan makna yang tidak

segera tersedia secara ’at-hand’ bagi individu untuk keperluan praktis

membimbing tindakan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, makna dapat

dibedakan menjadi makna hasil tafsiran orang awam, dan makna hasil tafsiran

ilmuwan sosial. Ketiga, makna dapat dibedakan menjadi makna yang

diperoleh melalui interaksi tatap muka, dan makna yang diperoleh tidak dalam

interaksi, misalnya melalui media massa cetak maupun elektronik.

Sosiolog menekuni dan memahami makna pada level interaksi sosial. Karena

itu, Peter L. Berger menjadikan interaksi sosial sebagai ”subject matter” sosiologi.

Interaksi dalam dunia pendidikan ini melibatkan hubungan individu dengan

masyarakat dan lingkungannya. Individu adalah acting subject, makhluk hidup yang

senantiasa bertindak dalam kehidupan sehari-harinya. Tindakan individu dilandaskan

pada makna-makna subyektif yang dimiliki aktor tentang tujuan yang hendak

dicapainya, cara atau sarana untuk mencapai tujuan, dan situasi serta kondisi yang

Page 22: Kontruksi Sosial Pendidikan

melingkupi pada sebelum dan/atau saat tindakan itu dilaksanakan. Dalam demokrasi

Pancasila, kebebasan individu tidak bersifat mutlak, tetapi harus diselaraskan dengan

tanggung jawab sosial. Di dalam kebebasan ini, harus selalu melekat tanggung jawab

terhadap kepentingan umum (public interest) dan kepentingan-kepentingan bersama

(common interests).38

Demokrasi Pancasila adalah berdasarkan paham kekeluargaan dan

kegotongroyongan yang bertujuan demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat,

dimana melekat unsur-unsur berkesadaran religius dan menolak atheisme, mencintai

kebenaran berlandaskan budi pekerti yang luhur, berkepribadian Indonesia, dalam arti

menuju keseimbangan antara individu dan masyarakat, antara manusia dengan

Tuhannya, secara lahir dan batin. Hakekatnya, masyarakat merupakan satu kesatuan

yang bersifat kompleks, dimana terdiri atas relasi-relasi antar manusia yang relatif

besar dan berpola.39

Interaksi sosial sebagai persoalan utama, “subject matter”, adalah interaksi

sosial dengan dimensi horisontal dan vertikal. Horisontal tidak hanya bermakna

interaksi antar individu dengan individu lainnya, namun meliputi kelompok dan

struktur sosial masyarakat. Karena itu faktor sosial kultural, ekonomi, dan politik

tidak mungkin terabaikan. Perjalanan sosial manusia tidak lepas dari masa lalu dan

masa mendatang, sehingga aspek sejarah atau aspek vertikal menjadi penting. Hal ini

tidak berarti menghilangkan sosiologi sebagai disiplin ilmiah dan menyatu dengan

ilmu sejarah, namun sosiologi meminjam data-data rekam jejak sejarah untuk

meningkatkan pemahamannya tentang realitas modern masa kini.

* Hendra Manurung, Lecturer at Faculty of Communications, President University,

Kota Jababeka, Cikarang Baru, Bekasi. HP. 021-32602874, Kantor. 021-8910 9762-

63 (Tlp), 021-89109768 (Faks)

38 Hendra Manurung, “Memahami Kebebasan Pers Nasional (Tinjauan : Kejahatan Berkelompok Terhadap Insan Pers)”, Jurnal Studi Kepolisian : Memahami Tindakan Anarkis ?, PTIK, Edisi 066, Mei – Agustus 2008. hlm. 4539 Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993). hlm. 3

Page 23: Kontruksi Sosial Pendidikan

Daftar Pustaka

Agger, Ben, Teori Sosial Kritis: Kritik, Penerapan, dan Implikasinya,

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.

Basrowi dan Sukidin, Metode Penelitian Perspektif Mikro: Grounded theory,

Fenomenologi, Etnometodologi, Etnografi, Dramaturgi, Interaksi Simbolik,

Hermeneutik, Konstruksi Sosial, Analisis Wacana, dan Metodologi Refleksi,

Surabaya: Insan Cendekia, 2002.

Ba Yunus, Ilyas dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat

Kontemporer, Jakarta: Mizan, 1988.

Berger, Peter L, Langit Suci; Agama sebagai Realitas Sosial, Jakarta: LP3ES,

1991.

Page 24: Kontruksi Sosial Pendidikan

____________, dan Thomas Luckmann, Tafsir Sosial atas Kenyataan;

Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Jakarta: LP3ES, 1990.

Campbell, Tom, Tujuh Teori Sosial: Sketsa, Penilaian, Perbandingan,

Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Teks Media, Yogyakarta: LKiS, 2003.

Goodman, Douglas J. dan George Ritzer, Teori Sosiologi Modern , Edisi ke-6,

Jakarta: Kencana, 2004

Hardiman, Fransisco Budi, Kritik Ideologi: menyingkap kepentingan

Pengetahuan bersama Jurgen Habermas, Yogyakarta: Penerbit Buku Baik,

2004.

J. Drost, SJ, Dari Kurikulum Berbasis Kompetensi sampai Manajemen

Berbasis Sekolah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.

Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu

Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 2003.

Poloma. Margaret M, Sosiologi Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2003.

Ritzer, George, Sosiologi; Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta,

1985

Soeprapto, H.R. Riyadi, Interaksionisme Simbolik: Perspektif Sosiologi

Modern, Yogyakarta: Averroes Press dan Pustaka Pelajar, 2002

Zeitlin, Irving M, Memahami Kembali Sosiologi, Kritik Terhadap Sosiologi

Kontemporer, Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 1995.

Jurnal, Majalah, dll

Jurnal Gerbang, No.14, Vol.V. Februari-April 2003, Menafsirkan

Hermeneutika, Ahmad Zainul Hamdi (Redaktur Pelaksana).

Page 25: Kontruksi Sosial Pendidikan

Hanneman Samuel, Perspektif Sosiologis Peter Berger, Pusat Antar

Universitas Bidang Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia (1993).

Happy Susanto, Menggagas “Sosiologi Profetik”, Jurnal Pemikiran Islam

Vol.1, No.2, Juni 2003, International Institute of Islamic Thought Indonesia.

Hendra Manurung, “Memahami Kebebasan Pers Nasional (Tinjauan :

Kejahatan Berkelompok Terhadap Insan Pers)”, PTIK, Jurnal Studi

Kepolisian : Memahami Tindakan Anarkis ?, Edisi 066, Mei – Agustus 2008.