of 163 /163
“KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH (FPJPS)” Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE.Sy) Oleh : Fitrianingsih NIM : 106046101620 KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H / 2010 M

“KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM …

  • Author
    others

  • View
    12

  • Download
    0

Embed Size (px)

Text of “KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM …

PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH (FPJPS)”
Skripsi
Oleh :
Fitrianingsih
Munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 24 September 2010 M / 15 Syawal 1431 H. Skripsi
tersebut telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ekonomi
Syariah (SE.Sy) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Syariah)
Jakarta, 24 September 2010 M
15 Syawal 1431 H Dekan,
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
(_____________)
(_____________)
(_____________)
(_____________)
(_____________)
(_____________)
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang belaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
MSeptember HRamadhanJakarta
20102 143123,
Fitrianingsih, 106046101620, “Konsep dan Mekanisme Akad Mudharabah dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah”, Program Strata I, Program Studi Muamalat, Konsentrasi Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Perkembangan Bank Syariah saat ini telah mengalami pertumbuhan yang pesat sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Seiring dengan pertumbuhannya tersebut, resiko bisnis pun sering terjadi, termasuk resiko likuiditas. Bank Indonesia sebagai bank sentral dapat memberikan bantuan likuiditas kepada bank tersebut, kebijakan tersebut diambil dengan tujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada sektor perbankan. Bagi perbankan syariah kebijakan bantuan likuiditas tersebut dinamakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dan menggunakan pendekatan dokumen (content analisys) yaitu melakukan pengumpulan data dan informasi melalui pengujian arsip dan dokumen. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan membuat list pertanyaan yang diajukan kepada pihak Bank Indonesia (BI) yang telah ditunjuk oleh pihak BI itu sendiri yaitu Analisis Bank Madya Direktorat Perbankan Syariah. Sedangkan data sekunder diperoleh dari data yang dipublikasikan berupa laporan keuangan dan laporan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Selain membahas tentang mekanisme dan prosedural pembiayaan FPJPS, penelitian ini juga membahas mengenai kesesuaian akad mudharabah yang diterapkan dalam FPJPS dengan menggunakan analisis Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat dua hal yang kontradiktif dengan ketentuan pembiayaan mudharabah dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000, khususnya terkait dengan perhitungan imbalan FPJPS yang memberi indikasi bahwa mekanisme akad mudharabah dalam FPJPS kurang sesuai dengan prinsip syariah.
Penulis menyarankan agar Bank Indonesia sebagai otoritas yang mengeluarkan kebijakan bantuan likuiditas untuk bank syariah yakni agar melakukan pengkajian lagi secara lebih mendalam khususnya mengenai pengawasan dan birokrasi dalam pemberian FPJPS ketika suatu saat digunakan agar tidak bertentangan dengan prisip syariah.
v
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah mencurahkan rahmat, taufik, dan hidayahnya tanpa
jemu. Sesungguhnya, hanya karena kemurahan hati-Nya lah sehingga akhirnya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada junjungan Rasulullah saw beserta seluruh keluarga, sahabat, dan
juga ummatnya.
yang menghambat langkah penulis untuk merampungkan skripsi ini. Namun, berkat
bimbingan, arahan, dan motivasi dari berbagai pihak akhirnya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., sebagai Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Euis Amalia, M.Ag., sebagai Ketua Jurusan Muamalat (Ekonomi Islam)
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag., M.H., sebagai Pembimbing Akademik Penulis.
4. Dr. Hasanudin, M.Ag., dan Djaka Badranaya, M.E., sebagai Dosen Pembimbing
Skripsi penulis yang telah memberi arahan, saran, dan ilmunya hingga penulisan
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
vi
5. Segenap pihak Bank Indonesia, khususnya Bapak Dwiyanto selaku Analisis Bank
Madya DPBS dan Bapak M. Zein Ibrahim yang telah bersedia meluangkan waktu
di tengah kesibukannya untuk membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah mengajarkan ilmu yang tidak ternilai, hingga
penulis menyelesaikan studi di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap staff akademik dan staff perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
8. Orang tua tercinta H. Ruslan dan Hj. Sayu Sa’adi yang selalu membimbing dan
men-support penulis baik moril maupun materiil tanpa pernah mengeluh dan
berputus asa.
9. Saudara dan saudari penulis; Mas Yanto, Mas Heri, Mas Udi, Mas Enjir, Mba
Nelly, Mba Widi, Mba Rahmi, Mba Erly dan adikku Aty, yang turut memberikan
kontribusi dan motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat – sahabat terbaik penulis; Ikrimah, Annisa Auditasari, Evi Tamala yang
sama-sama berjuang dengan penulis dalam susah dan senang selama proses
perkuliahan hingga akhir, serta yang spesial untuk Ricka, Yovita, Ophiey, Ika,
Novita & Ratna yang selalu memberi dukungan dan mengingatkan penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman Mahasiswa jurusan Perbankan Syariah kelas B angkatan 2006,
khususnya Diyanti, Asril, Fajar, Egrie, Anya, Yanie, Ade, Giska, Arie, yang
selalu membantu dan menemani penulis selama masa perkuliahan berlangsung.
vii
12. Dan akhirnya, semua pihak yang telah turut membantu dalam penyelesaian skripsi
ini namun tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
Semoga segala kebaikan yang tulus dari semua pihak dapat diterima oleh
Allah SWT serta mendapatkan pahala yang berlipat dari-Nya.
Kiranya skripsi ini masih jauh dari sempurna. Namun kritik dan saran dari
para pembaca sangat diharapkan untuk kesempurnaannya. Besar harapan penulis agar
skripsi ini dapat bermanfaat dan memberi kontribusi bagi penulis dan masyarakat
seluruhnya.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................... 7
x
1. Pengertian FPJPS..................................................................... 38
BAB III PROFIL SINGKAT BANK INDONESIA
A. Gambaran Umum Bank Indonesia sebagai Lembaga Keuangan yang
Menaungi Kebijakan FPJPS........................................................... 47
Syariah (FPJPS)............................................................................... 56
FPJPS
MUI/IV/2000.................................................................................. 63
xi
07/DSN-MUI/IV/2000 dalam Kebijakan FPJPS
1. Penetapan Bagi Hasil oleh Bank Indonesia Sebesar 90%........ 70
2. Penggunaan Akad Mudharabah yang Pada Dasarnya Akad ini
Bersifat Amanah (yad al-amanah)............................................ 75
3. Kedudukan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
11/24/PBI/2009………………………………………………. 82
Gambar 3.1 Independensi BI dalam Skema Ketatanegaraan…………………. 55
Gambar 4.1 Kedudukan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara setelah Amandemen UUD 1945…………………………………………. 87
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Rasio Keuangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah… 48
Tabel 2.2 Penempatan pada Bank Indonesia – Bank Umum Syariah dan Unit
Usaha Syariah…………………………………………………….. 49
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan bank syariah di Indonesia secara formal baru di mulai tahun
1992 dan secara serius mulai dikembangkan pada tahun 1998 yaitu sejak mulai
berdirinya Bank Muamalat Indonesia tahun 1991 sebagai bank syariah pertama di
tanah air, yang memulai kegiatan operasinya pada bulan Mei 1992. Dan dengan
diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah
nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi.
Perbankan Indonesia sendiri dalam menjalankan fungsinya berasaskan prinsip
kehati-hatian. Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan
penyalur dana masyarakat serta bertujuan untuk menunjang pelaksanaan
pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional, kearah
peningkatan taraf hidup rakyat banyak.1 Ditinjau dari segi fungsi intermediasi
perbankan syariah menunjukkan kinerja yang mengagumkan yang hampir
mendekati angka 100 persen, dengan kata lain hampir 100 persen dana pihak
1 Ikhtisar Pebankan, Institusi Perbankan di Indonesia, Artikel diakses pada tanggal 18 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Ikhtisar+Perbankan/Lembaga+Perbankan/
ketiga yang ada di bank syariah disalurkan kembali ke masyarakat.2
Perkembangan Bank Syariah tersebut tidak bisa dilepaskan begitu saja dari peran
Bank Indonesia.
Bank Indonesia memiliki tugas utama untuk menjaga stabilitas moneter dan
stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Untuk mencapai
tujuan tersebut, Bank Indonesia mempunyai fungsi sebagai lender of the last
resort (LLR), yaitu bantuan likuiditas untuk mengatasi kesulitan pendanaan
jangka pendek karena adanya mismatch yang disebabkan oleh resiko kredit atau
resiko pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, resiko manajemen ataupun resiko
pasar. Keadaan mismatch ini dapat terlihat dari posisi bank sebagai peserta
kliring. Bagi suatu bank, kalau hak tagihnya lebih kecil dari kewajiban
membayarnya menurut dokumen yang dimasukkan proses kiliring dikatakan
mengalami kalah kliring.3
Bagi bank syariah, keadaan mismatch dalam kondisi normal dapat pula
terjadi, mengingat resiko usaha yang selalu ada, baik resiko likuiditas maupun
resiko kredit.4 Kebijakan bantuan LLR pada bank syariah ini dikenal Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah, yang untuk selanjutnya disebut FPJPS adalah
2 A. Riawan Amin, Perbankan Syariah Sebagai Solusi Perekonomian Nasional, Pidato Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Perbankan Syariah, Disampaikan dalam Sidang Senat terbuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009
3 Modul SPN 02 – Sistem Kliring di Indonesia, diakses pada tanggal 20 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/AF3FDCB9-F4BD-4278-8B40- A02633F72D5E/836/SistemKliringBankIndonesia1.pdf
4 Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 178
digunakan dalam FPJPS tersebut adalah akad mudharabah dengan penerapan
prinsip bagi hasil.
Ketentuan mengenai akad mudharabah sendiri diatur dalam Fatwa Dewan
Syariah Nasional dan belum diatur secara rinci dalam hukum positif. Walaupun
ketiadaan aturan hukum secara positif dipandang sebagai suatu kelemahan, tetapi
sebagai umat Islam yang berpegang teguh kepada dalil naqli maupun dalil aqli,
penggunaan akad mudharabah tersebut tetap harus dipertanggungjawabkan, tidak
hanya terkait antara sesama manusia saja tetapi antara manusia dengan sang
pencipta. Maka, dalam menerapkan akad mudharabah, rukun dan syarat
mudharabah mutlak harus terpenuhi di setiap transaksi. Ketentuan tersebut secara
khusus terkait dengan pemenuhan rukun, penetapan syarat-syarat pihak, ketentuan
modal, ketentuan nisbah bagi hasil/keuntungan, serta aspek trustee (kepercayaan)
dalam akad tersebut, yang menjadikan akad mudharabah bersifat amanah.
Apabila salah satu rukun maupun syarat tersebut tidak terpenuhi, berakibat pada
batalnya akad mudharabah tersebut.
ketentuan yang bersifat kontradiktif antara Peraturan Bank Indonesia No:
11/24/PBI/2009 dan ketentuan akad mudharabah dalam literatur fiqh. Ketentuan
4
harus diketahui dan dinyatakan dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-
tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
Dalam perhitungan Imbalan FPJPS menyebutkan bahwa besarnya nisbah bagi
hasil akad mudharabah bagi Bank Indonesia, ditetapkan sebesar 90% (sembilan
puluhpersen). Secara tersirat menyatakan bahwa nisbah bagi hasil ditetapkan
secara langsung oleh pihak BI tanpa ada negosiasi terlebih dahulu dengan pihak
bank umum syariah. Jadi, angka besaran nisbah ini tidak muncul sebagai hasil
tawar-menawar antara shahib al-maal dengan mudharib.
Selain itu, perhitungan imbalan fasilitas FPJPS besarnya dihitung berdasarkan
nilai nominal, tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil Bank Indonesia, dan
jumlah penggunaan fasilitas tersebut.5 Perhitungan tersebut memberi indikasi
adanya keuntungan yang dipastikan bagi salah satu pihak yang merupakan hal
ribawi, karena nisbah tersebut dihitung dari nilai nominal FPJPS.
Perlu dicatat bahwa skim mudharabah ini memiliki resiko tinggi karena
pemilik modal menyerahkan seluruh modal kepada mudharib yang menjalankan
seluruh usaha dan manajemen.6 Dan ketika terjadi kerugian yang bukan
merupakan kelalaian mudharib, pemilik modal tidak berhak menuntut ganti rugi.
5 Gemala Dewi, Aspek – aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 115
6 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 173
5
Penggunaan akad mudharabah dalam kebijakan FPJPS tersebut juga sangat
beresiko tinggi, mengingat kondisi perbankan yang illiquid. Sehingga resiko
modal tidak kembali sangat besar. Selain itu, berkaca pada kegagalan Bank
Indonesia sendiri dalam perannya sebagai LLR dalam kebijakan BLBI yang
diterapkan pada krisis 1998 yang penuh dengan penyelewengan menjadi sebuah
perhatian penting. Hal tersebut dikarenakan kebijakan yang mendasari pemberian
BLBI bersifat temporer, individual, subjektif dan lemah dari segi pengawasan.7
Dengan melihat dasar itulah, penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian, memberikan gambaran apa dan bagaimana konsep dan mekanisme
akad mudharabah dalam kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS) serta kesesuaian penerapannya dengan prinsip syariah yang didasarkan
pada Fatwa Dewan Syariah. Sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul
“KONSEP DAN MEKANISME AKAD MUDHARABAH DALAM
FASILITAS PENDANAAN JANGKA PENDEK SYARIAH”.
7 Marwan Batubara, dkk., Skandal BLBI: Ramai – ramai Merampok Negara, (Jakarta: Haekal
Media Center, 2008), h. 223
6
1. Pembatasan Masalah
terhadap Bank Syariah di Indonesia sangat luas, mengingat semakin pesatnya
perkembangan Bank Syariah di Indonesia sejak berdirinya Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada tahun 1992. Untuk itu, pembahasan hanya akan dibatasi
pada kebijakan Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last
resort, analisa penerapan akad mudharabah pada kebijakan Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) berdasarkan ketentuan umum
terhadap transaksi mudharabah menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
07/DSN-MUI/IV/2000.
pokok-pokok permasalahan yang dibahas adalah sebagai berikut:
a) Bagaimana konsep dan mekanisme pembiayaan mudharabah yang
diberikan Bank Indonesia kepada Bank Syariah dalam FPJPS ?
b) Bagaimana ketentuan umum transaksi mudharabah menurut Fatwa Dewan
Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 ?
c) Apakah konsep dan mekanisme pembiayaan mudharabah dalam FPJPS
telah sesuai dengan ketentuan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
07/DSN-MUI/IV/2000 ?
7
1. Tujuan Penulisan
bertujuan sebagai berikut:
diterapkan dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
b) Untuk mengetahui ketentuan umum transaksi mudharabah berdasarkan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
c) Untuk mengetahui kesesuaian penerapan akad mudharabah dalam
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) dengan ketentuan
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
2. Manfaat Penelitian
antara lain :
a) Penulis ; penelitian ini merupakan studi awal dan menambah wawasan
tentang konsep dan mekanisme akad mudharabah dalam FPJPS serta
ketentuan akad mudharabah menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No:
07/DSN-MUI/IV/2000 dan relevansinya dengan kebijakan FPJPS.
b) Fakultas ; menambah khazanah kepustakaan Ekonomi Islam dan sebagai
sumber referensi bagi mahasiswa, staf pengajar dan lainnya.
8
masukan, saran, serta perbandingan bagi para praktisi dan akademisi
dalam penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
belum ada skripsi sebelumnya yang membahas mengenai konsep dan mekanisme
akad mudharabah dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
Skripsi sebelumnya yang membahas mengenai akad mudharabah dan kebijakan
Bank Indonesia yang terdaftar dalam pustaka skripsi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta adalah :
dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009.
“Implementasi Prinsip Mudharabah Muthalaqah dalam Sistem Pengelolaan
Produk Simpanan Qurban pada BMT Al-Fath Kedaung - Pamulang”.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Penelitian tersebut
menghasilkan fokus pembahasan mengenai implementasi akad mudharabah
al-muthlaqah yang tergambar dari prosedur dan sistem pengelolaan dana
simpanan qurban pada BMT AL-FATH IKMI. Pengelolaan dana tersebut
dilakukan dengan menggabungkan dana simpanan qurban dengan tabungan
9
dana tersebut disalurkan kembali pada masyarakat untuk usaha dalam jangka
waktu tertentu. Nisbah bagi hasil antara penabung dengan BMT AL-FATH
IKMI adalah 20% : 80%.
penelitian deskriptif. Penelitian tersebut menghasilkan fokus pembahasan
mengenai penyertaan jaminan dalam akad mudharabah. Walaupun konteks
asli secara fikih akad mudharabah ditetapkan tanpa adanya jaminan, tetapi
penyertaan jaminan tersebut berfungsi sebagai salah satu langkah untuk
melindungi dana masyarakat agar tidak hilang begitu saja akibat keteledoran
mudharib.
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005.
“Aplikasi Pembiayaan Mudharabah pada BMT Al-Mansur”. Metode analisa
data yang digunakan adalah metode deskriptif. Fokus penelitian tersebut
membahas mengenai aplikasi akad mudharabah pada operasional pembiayaan
yang dilakukan oleh BMT Al-Mansur yang notabene 99% merupakan produk
pembiayaan mudharabah. Penelitian tersebut menghasilkan bahwa kelayakan
10
Capital, Condition, Collateral), sedangkan masalah yang sering terjadi adalah
penyelewengan dana pembiayaan yang dilakukan oleh nasabah, seperti
penggunaan dana pembiayaan yang seharusnya bagi kepentingan produksi
justru digunakan untuk kepentingan konsumtif.
4. Nurlaila, 9946117151, Jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004.
“Mudharabah dalam perspektif Imam Mazhab (Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal)”. Metode penelitian yang
digunakan adalah penelitian kepustakaan atau Library Research. Fokus
penelitian tersebut menghasilkan bahwa para imam mazhab (Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal)
menghalalkan kerjasama mudharabah, karena dalam kerjasama mudharabah
ini ada azas manfaat serta sangat membantu pihak-pihak yang tidak mampu,
dengan kata lain mempererat hubungan antara si kaya dengan si miskin,
sekaligus menyatukan capital dengan labour (skill dan entrepreneurship)
yang selama ini terpisah dalam sistem konvensional.
5. Ahmad Mulyadi, 9946117164, Jurusan Perbankan Syariah, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Otoritas Bank Indonesia sebagai
Pengawas Bank Syariah”. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
11
dan pandangan hukum Islam tentang pengawasan bank syariah oleh Bank
Indonesia.
6. Cahyadin Ibnu Waqos, Jurusan perbankan Syariah, Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003.
“Konsep Bank Sentral dalam Ekonomi Islam”. Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kepustakaan atau Library Research. Fokus penelitian
tersebut menghasilkan bahwa salah satu fungsi yang utama dari Bank Sentral
adalah menjaga kepercayaan masyarakat terhadap sistem perbankan, menjaga
stabilitas harga-harga, dan sebagai bank bagi bank-bank syari’ah yang ada.
dan juga Bank Sentral Islam bertindak sebagai lender of last resort. Dimana
Bank Sentral Islam akan bertindak sebagai pusat penyedia cadangan terakhir
bagi bank-bank umum.
sebelumnya adalah :
a. Objek penelitian yang dilakukan berada di Bank Indonesia sebagai lembaga
otoritas keuangan yang menaungi kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka
Pendek Syariah (FPJPS).
b. Penelitian menggunakan ketentuan umum Fatwa Dewan Syari’ah Nasional
tentang Mudharabah No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
c. Analisa konsep dan mekanisme akad mudharabah yang dipraktekkan dalam
kebijakan FPJPS berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional tentang
Mudharabah No: 07/DSN-MUI/IV/2000.
E. Definisi Operasional
Dalam UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pengertian akad
adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang
memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan
Prinsip Syariah.
Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling
menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya kepada pihak lain untuk
diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti
setengah atau sepertiga dengan syarat – syarat yang telah ditentukan.8
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 11/24/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009. FPJPS adalah fasilitas
pembiayaan dari Bank Indonesia kepada bank syariah yang hanya dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan. FPJPS mempunyai tujuan yaitu sebagai
8 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h. 136
13
kesulitan pendanaan jangka pendek.9
Sedangkan Mekanisme adalah cara kerja suatu organisasi.11 Pemaparan teori
tersebut dalam suatu penelitian berguna untuk membantu dalam memberikan
pengarahan pada penelitian. Dengan kata lain, agar penelitian lebih terarah dan
terfokus pada teori-teori yang akan dimunculkan. Pada penelitian kali ini
bahasannya terfokus pada Konsep dan Mekanisme Akad Mudharabah dalam
FPJPS.
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
9 Gemala Dewi, Aspek – aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 114
10 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 432
11 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 570
14
alamiah.12 Penelitian ini juga merupakan penelitian deskriptif yang
dimaksudkan untuk menggali data dan informasi baik tentang proses dan
mekanisme.13 Selain itu, penelitian ini merupakan paduan dari penelitian
kepustakaan dan penelitian lapangan, karena diawali dengan telaah bahan
pustaka dan literatur.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis data yaitu data
kualitatif berupa kata-kata atau gambar bukan angka-angka, kalaupun ada
angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang14. Data kualitatif ini
merupakan data yang pada umumnya sukar diukur atau menunjukkan kualitas
tertentu.15 Menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur
analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Ada dua sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), h. 6
13 Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 35
14 Sudarwan Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif, (Bandung : CV. Pustaka Setia, 2002), h. 51.
15 Taliziduhu Ndraha, Research Teori Metodologi Administrasi, (Jakarta: PT. Bina Aksara, 1985), h. 60
15
pengumpul data. Data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara
dengan pihak Bank Indonesia yang berkompeten dan ahli mengenai konsep
dan mekanisme akad mudharabah dalam kebijakan Fasilitas Pembiayaan
Jangka Pendek pada Bank Syariah (FPJPS).
b) Sumber Data Sekunder
pengumpul data. Data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan
seperti buku-buku, majalah, artikel atau literatur lain yang relevan dengan
pembahasan dalam penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah :
a) Penelitian kepustakaan (library research)
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan dan
mempelajari data-data atau bahan-bahan dari berbagai daftar kesusastraan
yang ada. Dengan cara membaca, mempelajari, mencatat, dan merangkum
teori-teori yang ada kaitannya dengan masalah pokok pembahasan melalui
buku-buku, skripsi terdahulu, majalah, surat kabar, artikel, buletin, brosur,
16
penelitian ini.
Penulis melakukan peninjauan langsung ke lokasi, dalam hal ini Bank
Indonesia sebagai otoritas bank sentral yang mengeluarkan kebijakan
Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) dengan menerapkan
akad mudharabah, sehingga dapat melakukan observasi langsung
kegiatan-kegiatan yang terjadi disana. Penulis juga menggunakan teknik
wawancara atau interview dengan narasumber yang cakap dan
berkompeten pada bidangnya untuk memberikan keterangan dari masalah
yang sedang dibahas.
menggunakan “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”.
sebagai berikut :
dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan
17
Penulisan.
Nasional, dan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS), bab ini membahas tentang pengertian, landasan syariah,
rukun dan syarat, jenis-jenis, prinsip kontrak, skema, dan pendapat
ulama tentang mudharabah, dan tinjauan umum mengenai fatwa yang
meliputi pengertian, dasar hukum, kedudukan, dan syarat fatwa, serta
mengenai kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS) dalam literatur syariah meliputi pengertian dan konsep dasar
FPJPS, pengaturan FPJPS, karakteristik FPJPS, perkembangan
FPJPS sampai saat ini dan praktek fasilitas pendanaan likuiditas oleh
Bank Sentral di Negara lain.
BAB III Gambaran Umum Terhadap Bank Indonesia sebagai Lembaga
Otoritas yang Menaungi Kebijakan FPJPS, bab ini membahas
sekilas tentang profil singkat Bank Indonesia sebagai lembaga otoritas
jasa keuangan yang menaungi kebijakan FPJPS dan sejarah lahirnya
kebijakan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS).
BAB IV Konsep dan Mekanisme Akad Mudharabah dalam Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS), merupakan bagian
pembahasan mengenai analisa penerapan akad mudharabah dalam
18
Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000, ketentuan umum akad mudharabah
dalam kebijakan FPJPS, serta analisa penerapan akad mudharabah
berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-MUI/IV/2000 dalam kebijakan
FPJPS.
bagian permasalahan di atas yang berisi kesimpulan dan saran.
19
Mudharabah berasal dari akronim, “Ad-dhorbu fi’l ardhi”, bepergian
untuk berdagangan. Sinonim kata ini ialah qiradh, yang berasal dari kata Al-
Qardhu atau potongan, karena pemilik memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya, dan sering pula
disebut dengan kata muamalah. Menurut Imam Syafi’i, Qiradh menurut logat,
artinya seseorang pergi berdagang. Menurut istilah harta yang diserahkan
kepada seseorang supaya diperdagangkan, sedang keuntungan dibagi
(bersyarikat) antara keduanya.1
kerugian ini ditanggung sepenuhnya oleh pemilik modal. Definisi ini
1Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 13, terjemahan Kamaluddin A. Marzuki, (Bandung: Al-Ma’arif,
1987), h. 31
adalah berbentuk modal, bukan manfaat seperti penyewaan rumah.2
Menurut Nabil A. Saleh, hampir seluruh aliran hukum dalam hukum
Islam mengartikan mudharabah dalam pengertian:
"A contract between at least two parties whereby one party, called the investor
(rabb Al-mal) enturst money to the other party called the agent-manager
(mudharib) who is to trade with it in an agreed manner and then return to the
investor the principal and a preagreed share of the profit and keep for him self
what remains of such profits."3
Menurut Abdur Rahman L. Doi, mudharabah dalam terminologi hukum
adalah suatu kontrak di mana suatu kekayaan (property) atau persediaan (stock)
tertentu (Ras Al-mal) ditawarkan oleh pemiliknya atau pengurusnya (Rabb Al-
mal) kepada pihak lain untuk membentuk suatu kemitraan (joint partnership)
yang diantara kedua pihak dalam kemitraan itu akan berbagi keuntungan. Pihak
yang lain berhak untuk memperoleh keuntungan karena kerjanya mengelola
kekayaan itu. Orang ini disebut mudharib. Perjanjian ini adalah suatu contract of
co-partnership.4
2 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1196.
3 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Temprint, 1999), h. 29
4 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Temprint, 1999), h. 29
21
Mazhab Hanafi, mudharabah adalah 'Akad atas suatu syarikat dalam
keuntungan dengan modal harta dari satu pihak dan dengan pekerjaan (usaha)
dari pihak yang lain'. Mazhab Maliki, mudharabah adalah 'Suatu pemberian
modal (taukil) untuk berdagang dengan mata uang tunai yang diserahkan
(kepada pengelola) dengan mendapatkan sebagian dari keuntungan jika
diketahui jumlah dan keuntungan'. Mazhab Syafi'i, mudharabah adalah 'Suatu
akad yang memuat penyerahan modal kepada orang lain untuk
mengusahakannya dan keuntungannya dibagi antara mereka berdua'. Mazhab
Hambali, mudharabah adalah 'Penyerahan suatu modal tertentu dan jelas
jumlahnya atau semaknanya kepada orang yang mengusahakannya dengan
mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya'.5
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 07/DSN-MUI/IV/2000,
pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada
pihak lain untuk usaha yang produktif.
Jadi definisi yang representatif sebagai jalan tengah kelengkapan definisi
dari beberapa ahli maupun mazhab menurut hemat penulis, mudharabah adalah
suatu akad (kontrak) kerjasama antara pemilik modal dengan pengelola dimana
keuntungan dari usaha tersebut akan dibagi menurut kesepakatan bersama.
5 Muhamad, Tehnik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 47
22
Akad seperti ini dibolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dan seorang ahli dalam memutar uang.6 Secara
umum landasan dasar syariah mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk
melakukan usaha. Hal ini tampak dari ayat – ayat dan hadis berikut ini:
a. Al – Qur’an

“Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (QS. 73:20)
2. Firman Allah QS. al-Jumuah [62]: 10:

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. 62:10)
3. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 198:
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (QS. 2:198)
6 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1196.
1. Hadis Nabi riwayat Thabrani:
:
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Sayyidina Abas bin Abdul Muthalib jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudharabah ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya atau membeli ternak, jika menyalahi peraturan lersebut yang bersangkutan bertanggungjawab atas dana tersebut. Disampaikanlah syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah SAW, dan rasulullah pun membolehkannya.” (HR. Thabrani)
2. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah
:
( )
Dari Shalih bin Suhaib r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, "Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung unluk keperluan rumah, bukan untuk dijual". (HR. Ibnu Majah no 2280, Kitab At-Tijarat)
24
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu
Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri).
c. Ijma
Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib)
harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari
mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).7
d. Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang
untuk mengelola kebun). Selain di antara manusia, ada yang miskin dan ada
pula yang kaya. Di satu sisi, banyak orang kaya yang tidak dapat
mengusahakan hartanya. Di sisi lain, tidak sedikit orang miskin yang
mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya
mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua
7 Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan
Mudharabah (Qiradh).
memenuhi kebutuhan mereka.8
e. Kaidah Fiqh

“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
3. Rukun dan Syarat
mengatakan bahwa rukun mudharabah adalah:
a. (kedua pihak yang mengadakan persetujuan) b. (ucapan pernyataan) c. (harta sebagai modal) d. (kerja) e. (keuntungan) Untuk masing-masing rukun tersebut di atas terdapat syarat – syarat yang harus
dipenuhi:
8 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, (Bandung: Pustaka
Setia, 2001), h. 226
Yang terkait dengan orang yang melakukan transaksi haruslah orang yang
cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai wakil.
b. Ucapan pernyataan
Ucapan (sighat) yaitu penawaran dan penerimaan (ijab dan kabul) harus
diucapkan oleh kedua pihak guna menunjukkan kemauan mereka untuk
menyempurnakan kontrak. Sighat tersebut harus sesuai dengan hal – hal
berikut:
1) Secara eksplisit dan implisit menunjukkan tujuan kontrak.
2) Sighat dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat
yang diajukan dalam penawaran. Atau, salah satu pihak meninggalkan
tempat berlangsungnya negosiasi kontrak tersebut, sebelum kesepakatan
disempurnakan.
3) Kontrak boleh dilakukan secara lisan atau verbal, bisa juga secara tertulis
dan ditandatangani. Akademi Fiqih Islam dari Organisasi Konferensi
Islam (OKI) membolehkan pula pelaksanaan kontrak melalui
korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern
seperti faksimili atau komputer.9
c. Harta sebagai modal
Yang terkait dengan modal, disyaratkan:
9 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 174
27
modal tidak diserahkan oleh shahibul maal, maka perjanjian
mudharabah tidak sah.10
Jika modal itu berbentuk barang, menurut ulama tidak diperbolehkan, karena
sulit untuk menentukan keuntungannya. Demikian juga halnya dengan
utang. Utang tidak dapat dijadikan modal mudharabah. Tetapi, jika modal
tersebut berupa al-wadiah, yaitu titipan pemilik modal kepada pedagang,
maka wadiah itu boleh dijadikan modal mudharabah. Apabila sebagian
modal itu tetap dipegang oleh pemilik modal, dalam arti tidak diserahkan
seluruhnya, menurut ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i hal itu tidak
diperbolehkan. Namun, ulama Mazhab Hanbali menyatakan bahwa sebagian
modal tersebut boleh berada di tangan pemilik modal, asalkan tidak
mengganggu kelancaran usaha tersebut.11
d. Kerja
10 Sutan Remi Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, (Jakarta: PT. Temprint, 1999), h. 32
11 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 1197
28
Mengenai kerja atau jenis usaha pengelolaan ini sebagian ulama, khususnya
Syafi’i dan Maliki, mensyaratkan bahwa usaha itu hanya berupa usaha
dagang (commercial). Tetapi Abu Hanifah membolehkan usaha apa saja
selain berdagang, termasuk kegiatan kerajinan atau industri.12
Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil)
modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal
berikut:
1) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
Namun mazhab Hanbali mengizinkan partisipasi penyedia dana dalam
pekerjaan itu.
rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu
keuntungan.
3) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam
tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus
mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
4) Pengelola harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh penyedia
dana jika syarat-syarat itu tidak bertolak belakang dengan isi kontrak
mudharabah.
12 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 104
29
Keuntungan adalah tujuan akhir mudharabah. Keuntungan terikat oleh
syarat-syarat berikut:
1) Keuntungan harus dibagi untuk kedua pihak. Salah satu tidak
diperkenankan mengambil seluruh keuntungan tanpa membagi pada
pihak lain.
berkontrak dan proporsi tersebut harus dari keuntungan. Yang
dinyatakan dengan prosentase nisbah. Misalnya 60% dari keuntungan
untuk pemodal dan 40% dari keuntungan untuk pengelola. Karena itu
Mudharabah menjadi tidak sah jika keuntungannya dibagi dengan,
menentukan jumlah tertentu dari keuntungan seperti Rp 100.000,00 atau
Rp 150.000,00 atau menentukan salah satu pihak mendapat jumlah yang
tidak jelas dari keuntungan.
3) Kalau jangka waktu akad mudharabah relatif lama, tiga tahun ke atas
maka, nisbah keuntungan dapat disepakati untuk ditinjau dari waktu ke
waktu.
4) Kedua belah pihak juga harus menyepakati biaya-biaya apa saja yang
ditanggung pengelola. Kesepakatan ini penting karena biaya akan
mempengaruhi nilai keuntungan.
Terkait dengan hukum yang menyangkut keuntungan, ada tiga hal yang
menjadi pembahasan, yaitu:
1) Pengakuan Keuntungan
dalam suatu mudharabah. Menurut Akademi Fiqih Islam OKI,
“Keuntungan dapat dibayarkan (due) ketika diakui, dan dimiliki dengan
pernyataan atau revaluasi, dan hanya bisa dibayarkan pada waktu
dibagikan.”13
3) Distribusi Keuntungan
mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul maal.
Meskipun demikian kebanyakan ulama menyetujui bila kedua pihak
sepakat membagi keuntungan tanpa mengembalikan modal. Tentu saja
13 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), h. 178
31
berlangsung.
keuntungan telah dibagikan, setelah itu mengalami kerugian, sebagian
ulama berpendapat bahwa pengelola diminta untuk menutupi kerugian
tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan kepadanya.14
4. Jenis – Jenis Mudharabah
muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Transaksi yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja
sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak
dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam
pembahasan fiqih ulama Salaf ash Shalih sering kali dicontohkan dengan
ungkapan if' al ma syi'ta (lakukan sesukamu) dari shahibul maal ke mudharib
yang memberi kekuasaan sangat besar.
b. Mudharabah Muqayyadah
14 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah; Wacana Ulama dan Cendikiawan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), h. 178.
32
mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah
muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat
usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum
si shahibul maal memasuki dunia usaha.15
5. Prinsip Kontrak dan Skema Mudharabah
Prinsip Kontrak
"Nisbah adalah rukun yang khas dalam akad mudharabah, yang tidak
ada dalam akad jual beli. Nisbah ini mencerminkan imbalan yang berhak
diterima oleh kedua pihak yang bermudharabah."16 Besarnya nisbah
ditentukan berdasarkan kesepakatan masing- masing pihak yang
berkontrak. Jadi, angka besaran nisbah ini muncul sebagai hasil tawar-
menawar antara shahib al-maal dengan mudharib. Dalam pembiayaan
mudharabah (bagi hasil) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh kedua
belah pihak, yaitu: (1) nisbah bagi hasil yang disepakati; (2) tingkat keuntungan
bisnis aktual yang didapat.17
15 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, (Jakarta:
Tazkia Institute, 1999), h. 151
16 Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 194.
17 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 109
33
Ada dua faktor yang mempengaruhi bagi hasil, yaitu faktor langsung dan faktor
tidak langsung.
Faktor Langsung
Diantara faktor-faktor langsung (direct factors) yang mempengaruhi
perhitungan bagi hasil adalah invesment rate, jumlah dana yang tersedia dan
nisbah bagi hasil.
a. Invesment rate merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari
total dana. Jika bank menentukan invesment rate sebesar 80 persen, hal ini
berarti 20 persen dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas.
b. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana
dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. Dana
tersebut dapat dihitung dengan menggunakan salah satu metode yaitu rata-
rata saldo minimum bulanan dan rata-rata total saldo harian. Invesment rate
dikalikan dengan jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan,
akan menghasilkan jumlah dana aktual yang digunakan.18
c. Nisbah (profit sharing ratio)
Salah satu ciri mudharabah adalah nisbah yang harus ditentukan dan
disetujui pada awal perjanjian. Besaran nisbah bisa berbeda antara satu
pihak dengan pihak lain yang berkontrak.
18 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002), h. 106
34
a. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah
1) Shahibul Maal dan Mudharib akan melakukan share baik dalam
pendapatan maupun biaya. Pendapatan yang dibagihasilkan merupakan
pendapatan yang diterima setelah dikurangi biaya-biaya;
2) Jika semua biaya ditanggung bank, hal ini disebut revenue
sharing.
b. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting). Bagi hasil secara tidak
langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktivitas yang diterapkan,
terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya.
Terkait dengan cara menentukan nisbah bagi hasil yang merupakan
aspek yang disepakati bersama antara dua belah pihak yang melakukan
transaksi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a. Data usaha;19
b. Kemampuan angsuran;20
c. Hasil usaha yang dijalankan atau tingkat return aktual bisnis;21
d. Tingkat return yang diharapkan;22
19 Dilihat dari keterangan perusahaan.
20 Dilihat dari Cash Flow.
21 Dilihat dari Laporan Keuangan.
35
Penentuan nisbah bagi hasil pada produk pendanaan di Bank Syariah
biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: jenis produk simpanan,
perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Pertama-tama
dihitung besarnya tingkat pendapatan investasi yang dapat dibagikan kepada
nasabah. Ekspektasi pendapatan ini dihitung oleh bank syariah dengan melihat
performa kegiatan ekonomi di sektor-sektor yang menjadi tujuan investasi,
misalnya di sektor properti, perdagangan, pertanian, telekomunikasi atau sektor
transportasi. Setiap sektor ekonomi memiliki karakteristik dan performa yang
berbeda-beda, sehingga akan memberikan return investasi yang berbeda-beda
juga.
mencerminkan kinerja dari sektoral tersebut untuk menghitung
ekspektasi/proyeksi return investasi. Termasuk juga indikator historis (track
record) dari aktivitas investasi bank syariah yang telah dilakukan, yang
tercermin dari nilai rata-rata dari seluruh jenis pembiayaan iB yang selama ini
telah diberikan ke sektor riil. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat
22 Dengan pembiayaan yang diberikan tersebut bisa meningkatkan return atau tidak.
36
akan dibagikan kepada nasabah.23
6. Kerugian dan Berakhirnya Akad Mudharabah
23 Menghitung Bagi Hasil iB, diakses pada tanggal 25 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/D6B8DE61-4B67-4C34-BCB3- 4959A394CE1C/17636/Menghitung_Bagi_Hasil_iB.pdf
24 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, (Jakarta: Tazkia Institute, 1999), h. 153
dalam membayar cicilan pokok senilai pembiayaan yang telah diterimanya
atau jumlah seluruh cicilan lebih kecil dari pembiayaan yang telah
diterimanya. Kerugian ditanggung oleh pemilik modal, kecuali akibat:
a. Nasabah melanggar syarat yang telah disepakati;
b. Nasabah lalai dalam menjalankan modalnya;25
Pemilik modal tidak boleh mensyaratkan kepada mudharib untuk
menanggung kerugian yang akan terjadi, karena ia adalah orang yang
mendapatkan amanah (amin) sedangkan orang yang mendapatkan amanah tidak
menanggung atas suatu kerugian. Dan apabila terjadi kesepakatan yang
demikian, maka akad qiradh menjadi rusak (fasid) karena menyalahi aturan
dalam qiradh.26
Akad mudharabah dinyatakan berakhir atau batal dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Masing-masing pihak menyatakan batal, atau pekerja dilarang untuk
bertindak hukum terhadap modal yang diberikan, atau pemilik modal
menarik modalnya.
b. Salah seorang yang berakad meninggal dunia.
25 Muhammad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil dan Profit Margin pada Bank Syariah,
(Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 74
26 Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer, (Surabaya: Penerbit Pustaka Progressif, 2004), h. 98
38
c. Salah seorang yang berakad gila, karena orang gila tidak cakap lagi
bertindak hukum.
d. Pemilik modal murtad (keluar dari agama Islam), menurut Imam Abu
Hanifah, akad mudharabah batal.27
e. Modal habis ditangan pemilik modal sebelum dikelola oleh mudharib.
B. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
1. Pengertian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
FPJPS adalah fasilitas pembiayaan dari Bank Indonesia kepada bank
syariah yang hanya dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan. FPJPS
mempunyai tujuan sebagai penyediaan plafond pendanaan yang hanya dapat
digunakan untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek. Kesulitan
jangka pendek adalah keadaan yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk
yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana masuk yang lebih kecil
dibandingkan dengan arus dana keluar. FPJPS hanya dapat diberikan maksimum
sebesar kewajiban yang tidak dapat diselesaikan oleh bank syariah pada saat
penyelesaian akhir.28
27 Abdul Azis Dahlan, et.al., Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 4, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996), h. 1198.
28 Wirdyaningsih, et.al., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2005), h. 152
39
Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim
keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LLR).
LLR atau lender of the last resort inilah yang menjadi konsep dasar dari
penetapan FPJPS. Konsep dasar FPJPS ini merupakan konsep LLR (Lender of
The Last Resort).
Lender of the last resort (LLR) dapat didefinisikan sebagai fasilitas
likuiditas yang diberikan secara diskresioner kepada suatu lembaga keuangan
(atau pasar secara keseluruhan) oleh bank sentral sebagai respon terhadap suatu
gejolak yang mengganggu, yang menimbulkan peningkatan permintaan yang
berlebihan terhadap likuiditas yang tidak dapat dipenuhi dari sumber alternatif
(Freixas et al., 1999). Konsep LLR bermula pada awal abad ke 19 oleh Henry
Thornton (1802) yang mengemukakan elemen-elemen dasar praktik bank sentral
yang baik dalam kaitannya dengan pemberian pinjaman darurat. Kemudian,
Walter Bagehot (1873), yang lebih dikenal sebagai peletak teori LLR modern
mengembangkan karya Thornton (meskipun sama sekali tidak merujuk
namanya). Bagehot mengemukakan tiga prinsip pemberian LLR yakni: (i) beri
pinjaman jika didukung dengan agunan yang memadai (hanya untuk bank
solven); (ii) beri pinjaman dengan suku bunga pinalti (hanya untuk bank
illikuid); dan (iii) umumkan kesediaan untuk meminjamkan tanpa batas (untuk
meyakinkan kredibilitas).29
Undang30, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas LLR baik untuk kondisi
normal maupun untuk mencegah krisis sistemik. Sesuai pasal 11 ayat 1 dan 2
Undang-Undang tersebut LLR untuk kondisi normal diberikan kepada Bank
untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek dalam bentuk kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90
(sembilan puluh) hari yang wajib dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi
dan mudah dicairkan yang nilai minimalnya sebesar jumlah kredit atau
pembiayaan yang diterimanya.
Pengaturan mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah
(FPJPS) tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/24/PBI/2009
Pengganti Peraturan Bank Indonesia No. 7/23/PBI/2005 tentang perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia No. 5/3/PBI/2003 tentang Fasilitas Pembiayaan
jangka Pendek bagi Bank Syariah.
29 Sukarela Batunanggar, Jaring Pengaman Keuangan : Kajian Literatur dan Praktiknya di
Indonesia, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, diakses pada 18 Februari 2010 dari http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/E9161ADE-FA45-47E6-B8DC-540D9FC6BBD4/8042/03jpk.pdf
30 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2004
Karakteristik FPJPS sebagai berikut :
a. Merupakan pelaksanaan fungsi Bank Indonesia sebagai The Lender of Last
Resort;
b. Diberikannya FPJPS bagi bank syariah atau unit usaha syariah Bank
Konvensional yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek karena
system kliring dan/atau karena pemakaian fasilitas pendanaan dalam rangka
Real Time Gross Settlement (RTGTS) Bank Indonesia;
c. Bank syariah atau unit usaha syariah Bank Konvensional pemohon harus
memenuhi tingkat kesehatan secara keseluruhan “Cukup Sehat” (CS)
sekurang-kurangnya dalam 3 (tiga) bulan terakhir dan “Sehat” (S) dalam
permodalan;
d. Bersifat likuid dengan kualitas agunan yang tinggi, mudah dicairkan dan
tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan tercatat di bank Indonesia;
e. Agunan yang dapat dijaminkan berupa Sertifikat Wadiah Bank Indonesia
(SWBI) dan surat berharga lainnya atau tagihan lainnya;
f. Besarnya imbalan FPJPS yang dihitung berdasarkan nilai nominal investasi,
tingkat realisasi imbalan, nisbah bagi hasil Bank Indonesia, dan jumlah
penggunaan fasilitas tersebut.
alasan karena apabila saldo negatif tersebut tidak dapat ditutup sampai
42
dengan pukul 09.00 WIB hari kerja berikutnya, maka bank tersebut dapat
dikenakan sanksi penghentian sementara dari kliring local Bank Indonesia.
Rumus perhitungan besarnya imbalan FPJPS adalah sebagai berikut :
X = P x R x k x t/360
Keterangan :
P = Jumlah nominal FPJPS
R = Realisasi tingkat imbalan sebelum didistribusikan pada bulan terakhir
atas deposito mudharabah 1 bulan bank penerima FPJPS dalam hal deposito
mudharobah 3 bulan tidak tersedia.
k = Nisbah bagi hasil Bank Indonesia.
t = Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS.
5. Perkembangan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS)
sampai saat ini
Sebagai sebuah negara yang perekonomiannya terbuka, Indonesia tak
luput dari imbas krisis keuangan yang berawal dari Amerika Serikat, yang
menerpa negara-negara lainnya, dan kemudian meluas menjadi krisis ekonomi
secara global yang dirasakan sejak semester kedua tahun 2008. International
Monetary Fund (IMF) memperkirakan terjadinya perlambatan pertumbuhan
ekonomi dunia dari 3,9% pada 2008 menjadi 2,2% pada tahun 2009.
Perlambatan ini tentu saja mempengaruhi kinerja ekspor nasional, yang pada
43
akhirnya berdampak kepada laju pertumbuhan ekonomi nasional. Kasus yang
masih hangat di benak kita akibat krisis global tersebut adalah pemberian FPJP
(Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek) bagi Bank Century.
Eksposure pembiayaan perbankan syariah yang masih lebih diarahkan
kepada aktivitas perekonomian domestik, sehingga belum memiliki tingkat
integritas yang tinggi dengan sistem keuangan global dan belum memiliki
tingkat sofistikasi yang tinggi adalah dua faktor yang “menyelamatkan” bank
syariah dari dampak langsung guncangan ekonomi global.31
Eksposure pembiayaan perbankan syariah tersebut yang menjadi salah
satu indikator yang menjadi alasan belum digunakannya Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah (FPJPS) oleh Bank Syariah hingga saat ini, bahkan
ketika terjadi krisis finansial global.
Indikator lain yang menjadi alasan belum digunakannya Fasilitas
Pendanaan Jangka Pendek Syariah (FPJPS) adalah pertumbuhan Bank Syariah
di Indonesia yang cukup baik, yang tergambar dalam Tabel Rasio32 Keuangan
Bank Syariah dan Bank Umum Syariah serta Penempatan pada Bank Indonesia
31 Bank Syariah: Lebih Tahan Krisis Global, diakses pada tanggal 20 Mei 2010 dari
http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/2FA608A9-DDFE-4551-884D- D0B9D5965572/17639/Perbankan_Syariah_Lebih_Tahan_Krisis_Global.pdf
32 Dalam mengadakan interpretasi dan analisa laporan finansiil suatu perusahaan, seorang penganalisa finansiil memerlukan adanya ukuran atau “yard-stick” tertentu. Ukuran yang sering digunakan dalam analisa finansiil adalah “rasio”. Pengertian rasio itu sebenarnya hanyalah alat yang dinyatakan dalam “arithmetical terms” yang dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara dua macam data finansiil.
Syariah.33
Dari tabel tersebut, dapat diketahui Bank Umum Syariah memiliki posisi
modal yang baik, yang dilihat dari rasio CAR (Capital Adiquacy Ratio) yang
melebihi angka 8%.
Selain itu dari Financing to Deposit Ratio (FDR) sebagai perbandingan
antara pembiayaan yang diberikan oleh bank dengan dana pihak ketiga yang
berhasil dikerahkan oleh bank, menunjukkan bahwa tingkat likuiditas bank
syariah di Indonesia cukup likuid yang ditandai dengan nilai FDR tidak melebihi
angka 110%. Karena berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/5/BPPP
besarnya Financing to Deposit Ratio tidak boleh melebihi 110%.34
33 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005),
h. 54.
34 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 55.
47
Menaungi Kebijakan
:: Lembaga Negara yang Independen
Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. dimulai ketika sebuah
undang-undang baru, yaitu UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, dinyatakan
berlaku pada tanggal 17 Mei 1999 dan sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Republik Indonesia No. 6/ 2009. Undang-undang ini memberikan status
dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah
dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-
undang ini.
Bank Indonesia mempunyai otonomi penuh dalam merumuskan dan
melaksanakan setiap tugas dan wewenangnya sebagaimana ditentukan dalam
undang-undang tersebut. Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan
1Status dan Kedudukan Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
http://www.bi.go.id/web/id/Tentang+BI/Fungsi+Bank+Indonesia/Status+dan+Kedudukan/
tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau
mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.
Status dan kedudukan yang khusus tersebut diperlukan agar Bank Indonesia
dapat melaksanakan peran dan fungsinya sebagai otoritas moneter secara lebih
efektif dan efisien.
:: Sebagai Badan Hukum
Status Bank Indonesia baik sebagai badan hukum publik maupun badan hukum
perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik Bank
Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan
pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai
dengan tugas dan wewenangnya. Sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia
dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.
2. Dewan Gubernur Bank Indonesia2
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Bank Indonesia dipimpin oleh
Dewan Gubernur. Dewan ini terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin,
dibantu oleh seorang Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan sekurang-
kurangnya empat atau sebanyak-banyaknya tujuh Deputi Gubernur. Masa jabatan
2 Dewan Gubernur Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
49
Gubernur dan Deputi Gubernur selama 5 tahun dan dapat diangkat kembali dalam
jabatan yang sama untuk sebanyak-banyaknya 1 kali masa jabatan berikutnya.
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan
diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Calon Deputi Gubernur
diusulkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Gubernur Bank Indonesia.
(vide Pasal 41 UU No.3 Tahun 2004 yang mengubah UU No.23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia). Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia tidak dapat
diberhentikan oleh Presiden, kecuali bila mengundurkan diri, terbukti melakukan
tindak pidana kejahatan, tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
dinyatakan pailit atau tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur, atau
berhalangan tetap.
:: Pengambilan Keputusan
Gubernur diselenggarakan sekurang-kurangnya sekali dalam sebulan untuk
menetapkan kebijakan umum di bidang moneter, serta sekurang-kurangnya sekali
dalam seminggu untuk melakukan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan moneter
atau menetapkan kebijakan lain yang bersifat prinsipil dan strategis. Pengambilan
keputusan dilakukan dalam Rapat Dewan Gubernur, atas dasar prinsip
musyawarah demi mufakat. Apabila mufakat tidak tercapai, Gubernur
menetapkan keputusan akhir.
:: Misi
moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk pembangunan
nasional jangka panjang yang berkesinambungan.
:: Visi
Menjadi lembaga bank sentral yang dapat dipercaya (kredibel) secara nasional
maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai strategis yang dimiliki serta
pencapaian inflasi yang rendah dan stabil.
:: Nilai-Nilai Strategis
Kompak)
Untuk mewujudkan Misi, Visi dan Nilai-nilai Strategis tersebut, Bank Indonesia
menetapkan sasaran strategis jangka menengah panjang, yaitu :
1. Terpeliharanya Kestabilan Moneter
3. Terpeliharanya kondisi keuangan Bank Indonesia yang sehat dan akuntabel
4. Meningkatkan efektifitas dan efisiensi manajemen moneter
3 Misi, Visi dan Sasaran Strategis Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
51
5. Memelihara SSK : (i) melalui efektifitas pengaturan dan pengawasan bank,
surveillance sektor keuangan, dan manajemen krisis serta (ii) mendorong
fungsi intermediasi
7. Meningkatkan kapabilitas organisasi, SDM dan sistem informasi
8. Memperkuat institusi melalui good governance, efektivitas komunikasi dan
kerangka hukum
4. Tujuan dan Tugas Bank Indonesia4
:: Tujuan Tunggal
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan
tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai
rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap
barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain.
Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua
tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang
harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan
4 Tujuan dan Tugas Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
52
demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat
diukur dengan mudah.
:: Tiga Pilar Utama
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang
merupakan tiga bidang tugasnya, yaitu:
a. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
b. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran.
c. Mengatur dan mengawasi bank.
Ketiga bidang tugas tersebut perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan
memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
5. Sekilas Perjalanan Sejarah Bank Indonesia5
1828: De Javasche Bank didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bank
sirkulasi yang bertugas mencetak dan mengedarkan uang.
1953: Undang-Undang Pokok Bank Indonesia menetapkan pendirian Bank
Indonesia untuk menggantikan fungsi De Javasche Bank sebagai bank sentral,
dengan tiga tugas utama di bidang moneter, perbankan, dan system pembayaran.
Di samping itu, Bank Indonesia diberi tugas penting lain dalam hubungannya
5 Sekilas Perjalanan Sejarah Bank Indonesia, diakses pada tanggal 30 Juni 2010 dari
dengan pemerintah dan melanjutkan fungsi bank komersial yang dilakukan De
Javasche Bank sebelumnya.
Indonesia sebagai bank sentral, terpisah dari bank-bank lain yang melakukan
fungsi komersial. Selain tiga tugas pokok bank sentral, Bank Indonesia juga
bertugas membantu Pemerintah sebagai agen pembangunan mendorong
kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna
meningkatkan taraf hidup rakyat.
1999: Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia, sesuai dengan UU No. 23/1999
yang menetapkan tujuan tunggal Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.
penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia,
termasuk penguatan governance.
Undang (PerPPU) No.2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya
menjaga stabilitas sistem keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk
meningkatkan ketahanan perbankan nasional dalam menghadapi krisis global
melalui peningkatan akses perbankan terhadap Fasilitas Pembiayaan Jangka
Pendek dari Bank Indonesia.
Berdasarkan UU Perbankan yang diubah, yang ditindaklanjuti dengan Surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR dan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR, maka pengawasan umum
terhadap Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia, sama seperti Bank
Konvensional pada umumnya. Bank Indonesia bertindak mengawasi bank syariah
selaku pemegang otoritas dan pengawas bank. Di samping itu, secara internal
bank syariah diawasi pula oleh Dewan Komisaris, Dewan Pengawas, atau
Pengawas Bank yang bersangkutan.6
Berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 menunjukkan komitmen Bank Indonesia
dalam pengakuan dan pengembangan akan keberadaan bank syariah dan bank
konvensional di tanah air. Tidak lama setelah itu, Bank Indonesia membentuk
komite pengarah, komite ahli, dan komite kerja pengembangan perbankan
syariah. Komite-komite inilah yang merumuskan Cetak Biru pengembangan
perbankan syariah di Indonesia sampai pada tahun 2011 yang kemudian menjadi
program kerja di Biro Perbankan Syariah yang sekarang menjadi Direktorat
Perbankan Syariah.7 Adapun tahapan dalam realisasi Blue Print BI 2002-2011
adalah:
6 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), h. 57 7 Miftakhussurur, Kebijakan Perbankan Bank Indonesia dalam Upaya Meningkatkan Aset
Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Islam Vol. 1, No. 2, Juni 2007, h. 50-51
55
yang sehat dan berkelanjutan.
b. Tahap kedua (2004-2008), dalam tahap ini, fokus sasaran yang ingin dicapai
adalah memperkuat struktur industri perbankan syariah.
c. Tahap ketiga (2008-2011), pada tahap ini, semua stakeholder perbankan
syariah harus berupaya untuk meningkatkan standar kinerja keuangan dan
kualitas pelayanan bank syariah setingkat dengan bank-bank syariah
internasional.
Presiden UU UU
Keterangan Gambar/Skema :8 Kedudukan Bank Indonesia adalah sebagai Badan Negara setingkat kementrian, Bank Indonesia dipimpin oleh seorang pejabat setingkat Menteri yang disebut Gubernur BI. Hubungan Presiden (pemerintah) dengan Bank Indonesia adalah hubungan koordinatif dan bukan merupakan hubungan sub- ordinatif yang bersifat komando. Bank Indonesia bersifat independen dalam menetapkan kebijakan moneter. Bank Indonesia berada di luar struktur cabinet pemerintahan (Presiden) dan bersifat mandiri, namun secara teoritis tetap merupakan bagian dalam lingkup kerja lembaga eksekutif. Garis putus-putus dari Presiden ke BI dalam gambar tersebut menunjukkan tidak adanya garis komando langsung (no chain of command) dari kedua lembaga tersebut, melainkan hanya hubungan kooordinatif dalam kebijakan keuangan Negara yang menyangkut moneter. Jadi, dalam perspektif Hukum Tata Negara, secara structural terlihat tidak berdiri sendiri tetapi tetap dalam lingkup kerja eksekutif, namun sebenarnya BI berwenang sepenuhnya melaksanakan kebijakan moneter. Dengan demikian BI tetap dikatakan sebagai Bank Sentral yang independen (otonom secara structural khusus dalam fungsi kebijakan moneter). Gubernur BI bukan bagian dari cabinet pemerintah, namun wajib hadir dalam rapat kabinet bila diminta dalam pembahasan yang berakitan dengan kebijakan perekonomian yang menyangkut moneter. Harus ditegaskan bahwa kekuasaan eksekutif (presiden) dalam bidang moneter telah di delegasikan otoritasnya kepada institusi Bank Sentral. Dalam hal ketentuan normatif perundang-undangan, kedudukan PBI (Peraturan BI) tidak sejajar dengan PP, sebagai konsekuensi tidak sejajarnya kedudukan Gubernur BI dan Presiden. PBI dapat lahir dari UU maupun PP.
B. SEJARAH LAHIRNYA KEBIJAKAN FASILITAS PENDANAAN
JANGKA PENDEK SYARIAH (FPJPS)
dalam PBI No: 5/3/PBI/2003 dengan istilah Fasilitas Pembiayaan Jangka Pendek
8 Hendra Nurtjahjo, dkk., Eksistensi Bank Sentral dalam Konstitusi Berbagai Negara,
(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002), h. 90
57
Bagi Bank Syariah. Alasan dari penetapan kebijakan tersebut adalah bahwa dalam
menjalankan kegiatan usahanya bank syariah dapat menghadapi resiko kesulitan
pendanaan jangka pendek disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih
kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dan bahwa untuk mengatasi kesulitan
pendanaan jangka pendek tersebut, Bank Indonesia sebagai the lender of last
resort dapat memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah yang dijamin dengan
agunan berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Selain itu, kebijakan FPJPS juga
ditetapkan setelah berkaca pada krisis perbankan pada tahun 1997-1998 yang
melanda Indonesia dan khususnya berdampak pada beberapa bank yang kollaps
dan akhirnya harus di likuiditas.
Sebelum terjadinya krisis perbankan pada tahun 1997, berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Bank Indonesia No. 13 Tahun 1968 untuk menghadapi bank-
bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek akibat terjadinya
mismatch dalam pengelolaan dana maupun untuk kesulitan permodalan, Bank
Indonesia dapat menyediakan bantuan berupa Kredit Likuiditas Darurat. Pasal 32
ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 menyebutkan bahwa Bank
Indonesia dapat pula memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapinya dalam keadaan darurat.
Selanjutnya, dalam penjelasan umum undang-undang tersebut, disebutkan bahwa
sebagai Lender of The Last Resort Bank Indonesia dapat memberikan kredit
58
dihadapinya dalam keadaan darurat.
Setelah terjadi krisis, pemerintah dan Bank Indonesia mengalami
kekhawatiran apabila fungsi Lender of The Last Resort tersebut digunakan untuk
menanggulangi kesulitan keuangan yang sistemik. Oleh karena itu, perumusan
Lender of The Last Resort dalam pembaharuan undang-undang Bank Indonesia,
yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 dalam Pasal 11 menjadi amat terbatas.
Ketentuan Pasal 11 ini mengatur sebagai berikut.
Ayat (1): Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip Syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh)
hari kepada bank untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang
bersangkutan.
Ayat (2): Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima
dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang nilainya
minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diterimanya.
Ayat (3): Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia.
Setelah beberapa waktu berjalan, pemerintah menyadari bahwa ketentuan
pasal 11 tersebut dapat mengulang kembali kondisi krisis karena tidak cukup
tersedianya fungsi Lender of The Last Resort yang dapat merespon situasi krisis,
59
diberikan pembiayaan darurat oleh Bank Indonesia yang dananya menjadi beban
pemerintah.9 Oleh karena itu, dalam amandemen Undang-Undang Bank
Indonesia No. 3 Tahun 2004, ketentuan pasal 11 tersebut dilengkapi dengan ayat
(4) dan (5) sebagai berikut.
Ayat (4) : Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keuangan yang
berdampak sistemik dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan
sistem keuangan, Bank Indonesia dapat memberikan fasilitas pembiayaan darurat
yang pendanaannya menjadi beban pemerintah.
Ayat (5) : Ketentuan dan tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan
keuangan yang berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan
sumber pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
diatur dalam Undang-Undang tersendiri yang ditetapkan selambat-lambatnya
akhir tahun 2004.
Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2
Tahun 2008 tanggal 13 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia, dilakukan perubahan pada
9 Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 71
60
Pasal 11 ayat (2) yang menghilangkan kata-kata dan mudah dicairkan, dan pada
Pasal 11 ayat (5) yang menghilangkan kata-kata yang ditetapkan selambat-
lambatnya akhir tahun 2004.10
Dengan demikian, seluruh bunyi Pasal 11 Ayat (2) menjadi: ”Pelaksanaan
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang
berkualitas tinggi yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan
yang diterimanya”. Dan seluruh bunyi Pasal 11 ayat (5) menjadi : ”Ketentuan dan
tata cara pengambilan keputusan mengenai kesulitan keuangan bank yang
berdampak sistemik, pemberian fasilitas pembiayaan darurat, dan sumber
pendanaan yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diatur
dalam Undang-Undang tersendiri”.11
Latar belakang perubahan tersebut dikemukakan dalam Penjelasan Umum
Perpu No. 2 Tahun 2008 tersebut, yaitu: ”Adanya krisis keuangan akhir-akhir ini
di Amerika Serikat yang merupakan krisis terbesar sejak krisis tahun 1929 telah
memaksa pemerintah Amerika Serikat memberikan dana talangan atau bantuan
likuiditas kepada industri keuangan yang bermasalah sebesar USD 700 miliar.
Krisis keuangan ini dipicu dari masalah pembiayaan kredit properti (subprime
10 Kusumaningtuti SS., Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 72 11 Undang-Undang Jaring Pengaman Keuangan yang dimaksud Pasal 11 ayat (5) hingga tahun
2008 ini belum terbentuk sehingga kata-kata yang ditetapkan selambat-lambatnya akhir tahun 2004 tidak sesuai lagi dan perlu dihilangkan.
61
mortage) yang dilakukan kurang hati-hati. Dampak krisis keuangan ini berimbas
pada berbagai negara termasuk Indonesia karena sistem global saling
interdepensi. Pemerintah Indonesia sudah, tengah dan akan terus melakukan
berbagai langkah antisipasif dan mengambil langkah-langkah responsif dalam
membendung dampak krisis keuangan Amerika Serikat sehingga stabilitas
keuangan tetap terpelihara”.
Hal tersebut pulalah yang menjadi dasar untuk mengatur kembali ketentuan
mengenai Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek bagi Bank Umum Syariah melalui
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009. Latar belakang penetapan
Peraturan Bank Indonesia tersebut dikemukakan dalam Penjelasan Umum
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/24/PBI/2009, yaitu: ”Salah satu pengaruh
dari krisis keuangan global tersebut adalah meningkatnya potensi keraguan
masyarakat terhadap sistem perbankan termasuk perbankan syariah yang ditandai
antara lain dengan meningkatnya kepanikan masyarakat dalam menyikapi krisis.
Sementara itu, kepercayaan masyarakat merupakan salah satu prasyarat utama
yang diperlukan untuk menciptakan sistem perbankan yang stabil. Dengan
memperhatikan hal-hal tersebut di atas diperlukan langkah-langkah tertentu dalam
mengantisipasi terjadinya risiko likuiditas dan upaya untuk menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan syariah.”
62
antara lain mengenai persyaratan dan tata cara permohonan Fasilitas Pendanaan
Jangka Pendek Syariah (FPJPS) bagi Bank Umum Syariah termasuk pengaturan
pelunasan dan eksekusi agunan serta pengawasannya.12
12 http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/pbi_112409.htm diakses pada tanggal 25
A. Ketentuan Umum Akad Mudharabah Berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-
MUI/IV/2000
2. Shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek
(usaha), sedangkan pengusaha bertindak sebagai mudharib atau pengelola
usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kedua belah pihak.
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati
bersama dan sesuai dengan syariah; dan shahibul maal (pemilik dana) tidak
ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak
untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai
bukan piutang.
6. Shahibul maal menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali
jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, dan
menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun
agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, shahibul maal dapat meminta
jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan
apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam akad. Hal ini disebut dengan istilah jaminan
khianat, diperbolehkan oleh ulama mazhab Maliki dan Islamic Fiqh Academy,
begitu juga dengan jaminan dari pihak ketiga.1
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian
keuntungan diatur oleh shahibul maal dengan memperhatikan fatwa DSN.
9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10. Dalam hal penyandang dana tidak melakukan kewajiban atau melakukan
pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau
biaya yang telah dikeluarkan.
• Rukun dan Syarat Pembiayaan2
2. Pernyataan ijab dan kabul dengan memperhatikan:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan
kontrak (akad).
b. Penerimaan dan penawaran dilakukan pada saat kontrak.
1Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 352
2 Zainul Arifin, Produk Bank Syariah, (Jakarta: Pelatihan Dasar Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2007), h. 39
65
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau asset yang diberikan oleh shahibul maal
kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat:
a. Harus diketahui jumlah dan jenisnya
b. Dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika dalam bentuk asset,
harus dinilai pada waktu akad
c. Tidak berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik
secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari
modal, dengan syarat yang harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan untuk
satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan
dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk
prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah
harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan
dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib) sebagai perimbangan modal yang
disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan:
66
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan
penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian
rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu
keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah Islam dalam tindakannya
yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan
yang berlaku dalam aktifitas itu.
• Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan
1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan kontrak sebuah kejadian di
masa depan yang belum terjadi.
3. Pada dasarnya dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya
akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. Jika memang modal
tersebut habis bukan karena kelalaian pihak mudharib, maka ia tidak memiliki
tanggung jawab untuk menggantinya. Karena pada hakekatnya, mudharib
merupakan wakil/pengganti dari pemilik dana dalam mengelola modal
tersebut, mudharib tidak berkewajiban mengganti jika bukan karena
kelalaian.3
3 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi
Syariah, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 352
67
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
B. Ketentuan Umum Akad Mudharabah dalam Kebijakan FPJPS
Dalam Bab II (Persyaratan dan Tata Cara Permohonan FPJPS) PBI No.
11/24/PBI/2009, Pasal 3 disebutkan bahwa ”FPJPS yang diterima oleh Bank
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berdasarkan akad Mudharabah”.
Akad mudharabah tersebut dijelaskan berdasarkan Bab I (Ketentuan Umum) PBI
No. 11/24/PBI/2009, bahwa mudharabah adalah perjanjian antara pemilik dana
dengan pengelola dana untuk memelihara likuiditas Bank.
1. Pemenuhan rukun dan syarat mudharabah dalam FPJPS:
a. Yang bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana) adalah Bank
Indonesia.4
Syariah, yang selanjutnya disebut Bank, yang mengalami kesulitan
pendanaan jangka pendek.5
4 Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009
5 Kesulitan pendanaan jangka pendek adalah suatu kondisi yang dialami Bank yaitu arus dana masuk lebih kecil dibandingkan denga arus dana ke luar yang dapat menimbulkan tidak terpenuhinya kewajiban GWM dalam mata uang rupiah pada Bank.
68
c. Pernyataan ijab dan kabul di nyatakan dalam pasal 10 ayat (2) PBI No.
11/24/PBI/2009;
dengan Bank penerima FPJPS”.
d. Modal yang diberikan dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 2 ayat (4),
dan Pasal 10 ayat (4) PBI No. 11/24/PBI/2009, yang masing-masing
disebutkan;
Pasal 2 ayat (3); ”Plafon FPJPS diberikan berdasarkan perkiraan jumlah
likuiditas sampai Bank memenuhi GWM dalam mata uang rupiah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku”.
Pasal 2 ayat (4); ”Pencairan FPJPS dilakukan sebesar kebutuhan Bank
untuk memenuhi kewajiban GWM dalam mata uang rupiah”.6
Pasal 10 ayat (4); ”Realisasi pemberian FPJPS oleh Bank Indonesia
dilakukan melalui rekening giro rupiah Bank yang bersangkutan pada
Bank Indonesia”.
PBI No. 11/24/PBI/2009;
6 Persentase giro wajib minimum (GWM) di Bank Indonesia dalam Rupiah ditetapkan sebesar
5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah; Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005), h. 56
69
(1) Bank Indonesia memperoleh imbalan atas setiap FPJPS yang diterima
oleh Bank.
dihitung berdasarkan jumlah pokok FPJPS, tingkat realisasi imbalan,
nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia dan jumlah hari kalender
penggunaan FPJPS.
persen).
f. Kegiatan usaha oleh pengelola tertuang dalam Pasal 1 ayat (2) PBI No.
11/24/PBI/2009;
pembayaran”.
a. Pembiayaan mudharabah dalam FPJPS tersebut disyaratkan ada
penyertaan jaminan/agunan di dalamnya. Yang tertuang secara jelas dalam
Bab II (Persyaratan dan Tata Cara Permohonan FPJPS) Pasal 4 PBI No.
11/24/PBI/2009;
”FPJPS wajib dijamin oleh Bank dengan agunan yang berkualitas tinggi
yang nilainya memadai sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia ini”.
Yang untuk selanjutnya mengenai agunan pembiayaan mudharabah dalam
FPJPS secara terperinci diatur dalam pasal 5, pasal 6, pasal 7, dan pasal 8
PBI No. 11/24/PBI/2009.
yang tertuang dalam Pasal 12 PBI No. 11/24/PBI/2009;
(1) Jangka waktu setiap FPJPS paling lama 14 (empat belas) hari.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang
secara berturut-turut dengan jangka waktu FPJPS keseluruhan paling
lama 90 (sembilan puluh) hari.
C. Analisa Penerapan Akad Mudharabah Berdasarkan Fatwa No: 07/DSN-
MUI/IV/2000 dalam Kebijakan FPJPS.
Salah satu ketentuan dalam Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Syariah yang
menjadi perhatian adalah terkait dengan penetapan Bagi Hasil oleh Bank
Indonesia selaku pemilik modal (shahibul maal). Dalam pasal 15 ayat (3)
disebutkan “Besarnya nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen)”.
Dengan menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut:7
X = P x R x k x t/360
7 Surat Edaran Bank Indonesia Tentang Tata Cara Pemberian FPJPS Bagi Bank Syariah No.
6/9/DPM.
71
Dimana:
P = Jumlah nominal FPJPS
R = Realisasi tingkat imbalan sebelum didistribusikan pada bulan terakhir atas
deposito mudharabah 3 (tiga) bulan atau deposito mudharabah 1 (satu) bulan
dari Bank Syariah atau UUS penerima FPJPS dalam hal deposito mudharabah
tiga (tiga) bulan tidak tersedia.
k = Nisbah bagi hasil bagi Bank Indonesia
t = Jumlah hari kalender penggunaan FPJPS
Contoh 1 perhitungan imbalan:
= Rp.50.000.000
Contoh 2 perhitungan imbalan :
Dalam hal pengajuan FPJPS pada hari