Author
isri-nur-fazriyah
View
11
Download
2
Embed Size (px)
SYOK HEMORAGIK
Definisi
Syok hemoragik adalah suatu sindrom yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh yang biasanya terjadi akibat perdarahan yang masif
(hartanto, 2007).
Etiologi
Beberapa penyebab tersering pada syok hemoragik: (Udeani, 2010).
Terapi antitrombosis
Koagulopati
Perdarahan saluran pencernaan
o Varises esofagus
o Ulkus peptikum dan duodenum
o Ca gaster dan esofagus
Obstetrik/ginekologi
o Plasenta previa
o Abruptio plasenta
o Ruptur kehamilan ektopik
o Ruptur kista ovarium
Paru
o Emboli pulmonal
o Ca paru
o Penyakit paru yang berkavitas: TB, aspergillosis
Ruptur aneurisma
Perdarahan retroperitoneal
Trauma
o Laserasi
o Luka tembus pada abdomen dan toraks
o Ruptur pembuluh darah besar
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian sirkulasi dan sebagai akibatnya akan
menurunkan aliran balik vena. Sebagai hasilnya, curah jantung menurun di bawah normal
dan timbul syok.
Klasifikasi
Sistem klasifikasi syok hemoragik berdasarkan dari American College of Surgeon
Committee on Trauma dibagi menjadi 4 kelas. Sistem ini berguna untuk memastikan tanda-
tanda dinisyok hemoragik (Hartanto, 2007).
Tabel 3. Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah Berdasarkan Presentasi Penderita Semula
Parameter Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Kehilangan
darah (ml)
<750 750 - 700 700 – 1100 >1100
Kehilangan
darah (%)
<7% 7% – 30% 30% - 40% >40%
Nadi (x/menit) <100 >100 >50 >30
Tekanan darah Normal Menurun Menurun Menurun
Frekuensi
pernapasan
(x/menit)
3 – 11 11 – 30 30 – 40 >35
Produksi urin
(ml/jam)
>30 11 – 30 5 – 7 Tidak berarti
Gejala pada
saraf pusat /
status mental
Normal Cemas Cemas,
bingung
Bingung, lesu
Penggantian
cairan (hukum
3:1)
Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan
darah
Kristaloid dan
darah
Gambar 4. Perubahan konsumsi O2
Patofisiologi
Perdarahan akut menyebabkan penurunan curah jantung dan tekanan nadi. Perubahan
ini dikenali oleh baroreseptor pada arkus aorta dan atrium. Dengan berkurangnya volume
darah yang beredar, terjadi peningkatan rangsang simpatis. Reaksi ini menimbulkan
peningkatan frekuensi nadi, vasokonstriksi, dan penurunan distribusi aliran darah pada
organ-organ nonvital, seperti kulit, saluran pencernaan, dan ginjal (Udeani, 2010).
Pada perdaharan, terjadi respon-respon hormonal. Corticotropin-releasing hormone
terstimulasi secara langsung. Hal ini menyebabkan pelepasan glukokortikoid dan beta-
endorphin. Kelenjar pituitari posterior akan melepas vasopressin, menyebabkan retensi air
pada tubulus distal. Renin dilepaskan oleh kompleks juxtamedularis sebagai respon dari
penurunan MAP (Mean Arerial Pressure), sehingga meningkatkan aldosteron dan berujung
resoprsi natrium dan air. Hiperglikemia sering didapatkan pada perdarahan akut karena
glukagon dan growth hormone meningkat pada gluconeogenesis dan glikogenosis.
Peredaran katekolamin menghambat pelepasan dan aktivitas insulin secara relative
sehingga terjadi peningkatan kadar gula darah (Udeani, 2010).
Semakin memburuknya hipovolemia dan hipoksia jaringan, terjadi peningkatan
ventilasi sebagai usaha kompensasi dan dapat menjadi asidosis metabolik dari karbon
dioksida yang diproduksi (Udeani, 2010).
Secara keseluruhan bagian tubuh yang lain juga akan melakukan perubahan spesifik
mengikuti kondisi tersebut. Terjadi proses autoregulasi yang luar biasa di otak dimana
pasokan aliran darah akan dipertahankan secara konstan melalui MAP. Ginjal juga
mentoleransi penuruunan aliran darah sampai 90% dalam waktu yang cepat dan pasokan
aliran darah pada saluran cerna akan turun karena mekanisme vasokonstriksi dari
splanknik. Pada kondisi tubuh seperti ini pemberian resusitasi awal dan tepat waktu bisa
mencegah kerusakan organ tubuh tertentu akibat kompensasinya dalam pertahanan tubuh.
(Udeani, 2010).
penatalaksanaan syok hemoragik
Prinsip pengelolaan dasar syok hemoragik ialah menghentikan perdarahan dan menggantikan
kehilangan volume darah (Hartanto, 2007).
Pemeriksaan jasmani
Hal penting yang harus diperiksa adalah tanda-tanda vital, produksi urin, dan tingkat
kesadaran. Pemeriksaan pasien yang lebih rinci akan menyusul bila keadaan penderita
memungkinkan (Hartanto, 2007).
Airway dan Breathing
Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran
ventilasi dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi
oksigen lebih dari 95% (Hartanto, 2007).
Circulation – kontrol perdarahan
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat,
memperoleh akses intravena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari
luka di permukaan tubuh (eksternal) biasanya dapat dikendalikan dengan tekanan
langsung pada tempat perdarahan(Hartanto, 2007).
Disability –pemeriksaan neurologi
Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,
pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motoric dan sensorik. Informasi ini
bermanfaat dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi
dan meramalkan pemulihan (Hartanto, 2007).
Exposure – pemeriksaan lengkap
Setelah mengurus prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus
ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai ke jari kaki sebagai bagian dari
mencari cedera. Pemakaian penghangat cairan, maupun cara-cara penghangatan
internal maupun eksternal sangat bermanfaat dalam mencegah hipotermia (Hartanto,
2007).
Dilatasi lambung – dekompresi
Dilatasi lambung sering terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak
dan dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tak dapat diterangkan,
biasanya berupa bradikardia dari stimulasi nervus vagus yang berlebihan. Distensi
lambung menyebabkan terapi syok menjadi sulit. Pada pasien tidak sadar, distensi
lambung membesarkan risiko aspirasi isi lambung dan dapat menjadi suatu komplikasi
yang bisa menjadi fatal. Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukkan NGT
(Hartanto, 2007).
Pemasangan kateter urin
Kateterisasi kandung kencing memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria
dan evaluasi dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Darah pada uretra atau
prostat dengan letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki
merupakan kontraindikasi mutlak bagi pemasangan kateter uretra sebelum ada
konfirmasi radiografis tentang uretra yang utuh (Hartanto, 2007).
Pengobatan dengan posisi kepala di bawah. Dengan menempatkan penderita dengan
kepala 5 inci lebih rendah daripada kaki akan sangat membantu dalam meningkatkan
alir balik vena dan dengan demikian menaikkan curah jantung. Posisi kepala di bawah
ini adalah tindakan pertama dalam pengobatan berbagai macam syok (Leksana, 2010).
Terapi awal cairan
Untuk mengetahui jumlah volume darah seseorang, biasanya digunakan patokan berat
badan.Volume darah rata-rata pada orang dewasa kira-kira 7% dari berat badan.Bila
penderita gemuk maka volume darahnya diperkirakan berdasarkan berat badan ideal.
Volume darah anak-anak dihitung 8% - 9% dari berat badan (80-90 ml/kg) (Steven, 2004).
Lebih dahulu dihitung EBV (Estimated Blood Volume) penderita.Kehilangan sampai
10% EBV dapat ditolerir dengan baik.Kehilangan 10% - 30% EBV memerlukan cairan
lebih banyak dan lebih cepat.Kehilangan lebih dari 30% - 50% EBV masih dapat ditunjang
untuk sementara dengan cairan sampai darah transfusi tersedia. Total volume cairan yang
dibutuhkan pada kehilangan lebih dari 10% EBV berkisar antara 2-4 x volume yang hilang
(Leksana, 2010).
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskular dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume vaskular dengan cara
menggantikan kehilangan cairan ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Larutan ringer
laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua karena berpotensi
menyebabkan terjadinya asidosis hiperkhloremik. Kemungkinan ini bertambah besar jika
fungsi ginjal kurang baik (Leksana, 2010).
Pada saat awal, cairan hangat diberikan dengan tetesan cepat sebagai bolus. Dosis awal
adalah 1-2 liter pada dewasa dan 11 ml/kg pada anak, diberikan dalam 30-60 menit
pertama. Jumlah cairan yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada awal
evaluasi penderita. Perhitungan kasar untuk jumlah total volulme kristaloid yang secara
akut diperlukan adalah mengganti setiap millimeter darah yang hilang dengan 3 ml cairan
kristaloid, sehingga memungkinkan restitusi volume plasma yang hilang ke dalam ruang
interstitial dan intraseluler. Ini dikenal sebagai “hukum 3 untuk 1” (“3 for 1 rule”). Namun
lebih penting untuk menilai respon penderia kepada resusitasi cairan dan bukti perfusi dan
oksigenasi end-organ yang memadai, misalnya keluar urin, tingkat kesadaran dan perfusi
perifer (Leksana, 2010).
DAFTAR PUSTAKA
Leksana, Ery; 2010; Terapi Cairan dan Darah; Semarang; SMF/Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif, RSUP Dr. Kariadi / Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Hartanto, Widya W; 2007; Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif; Bandung; Bagian Farmakologi Klinik Dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Udeani; John; 2010; Hemorrhagic Shock; New York: Department of Emergency Medicine, Charles Drew University/ UCLA School of Medicine.
Steven, Parks N; 2004; Advanced Trauma Life Support (ATLS) For Doctors; Jakarta : Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI).
SYOK HIPOVOLEMIK
Definisi
Syok adalah suatu sindromklinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan metabolik
ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius
seperti, perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yang berat (syok hipovolemik), infark
miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok
septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun (syok
anafilaktik) (Dooley, 2011).
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi
yang tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Perdarahan adalah penyebab
syok yang paling umum setelah trauma, dan hampir semua penderita dengan trauma multiple ada
komponen hipovolemia (Wijaya, 2007).
Kehilangan darah dari luar yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal
yang berat merupakan dua penyebab yang paling sering pada syok hemoragik. Syok hemoragik
juga dapat merupakan akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga
dada dan rongga abdomen (Wijaya, 2007).
Patofisiologi Syok
Jalur akhir dari syok adalah kematian sel. Begitu sejumlah besar sel dari organ vital telah
mencapai stadium ini, syok menjadi ireversibel dan kematian terjadi meskipun dilakukan koreksi
penyebab yang mendasari (Isselbacher, 2012).
Mekanisme patogenetik yang menyebabkan kematian sel tidak seluruhnya dimengerti. Satu
dari denomiator yang lazim dari ketiga bentuk syok adalah curah jantung rendah. Pada pasien
dengan syok hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok obstruktif ekstrakardiak serta pada
sebagian kecil syok distributif, timbul penurunan curah jantung yang berat sehingga terjadi
penurunan perfusi organ vital. Pada awalnya, mekanisme kompensasi seperti vasokonstrikisi
dapat mempertahankan tekanan arteri pada tingkat yang mendekati normal. Bagaimanapun, jika
proses yang menyebabkan syok terus berlangsung, mekanisme kompensasi ini akhirnya gagal
dan menyebabkan manifestasi klinis sindroma syok. Jika syok tetap ada, kematian sel akan
terjadi dan menyebabkan syok ireversibel (Isselbacher, 2012).
Orang dewasa sehat dapat mengkompensasi kehilangan 10% volume darah total yang
medadak dengan menggunakan mekanisme vasokonstriksi yang diperantarai sistem simpatis.
Akan tetapi, jika 20 sampai 25 persen volume darah hilang dengan cepat, mekanisme
kompensasi biasanya mulai gagal dan terjadi sindroma klinis syok. Curah jantung menurun dan
terdapat hipotensi meskipun terjadi vasokonstriksi menyeluruh. Pengaturan aliran darah lokal
mempertahankan perfusi jantung dan otak sampai pada kematian sel jika mekanisme ini juga
gagal. Vasokonstriksi yang dimulai sebagai mekanisme kompensasi pada syok mungkin menjadi
berlebihan pada beberapa jaringan dan menyebabkan lesi destruktif seperti nekrosis iskemik
intestinal atau jari-jari. Faktor depresan miokard telah diidentifikasi pada anjing dengan syok
hemoragik tetapi faktor ini tidak dikaitkan secara jelas dengan gangguan fungsi miokard klinis.
Akhirnya, jika syok terus berlanjut, kerusakan organ akhir terjadi yang mencetuskan sindroma
distres respirasi dewasa, gagal ginjal akut, koagulasi intravaskuler diseminata, dan gagal
multiorgan yang menyebabkan kematian (Isselbacher, 2012).
Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh darah rata-rata dan menurunkan
aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah jantung. Curah
jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa
organ: (Wijaya, 2007).
Mikrosirkulasi
Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan
tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi
jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi
untuk pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi tetapi kedua sel organ itu
tidak mampu menyimpan cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan
ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk
waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan arterial rata-
rata (mean arterial pressure/MAP) jatuhhingga <60 mmHg, maka aliran ke organ akan
turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu (Wijaya, 2007).
Neuroendokrin
Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor
tubuh. Kedua reseptor tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang mengatur perfusi
serta substrak lain (Wijaya, 2007).
Kardiovaskular
Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan ventrikel dan
kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung,
penentu utama dalam perfusi jaringan adalah hasil kali volume sekuncup dan frekuensi
jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya
menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat
namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah
jantung (Wijaya, 2007).
Gastrointestinal
Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi
endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatif yang mati di dalam usus. Hal ini
memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki
nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung (Wijaya, 2007).
Ginjal
Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi. Frekuensi terjadinya
sangat jarang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi kini
adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang
nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara fisiologi, ginjal
mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankan garam dan air. Pada saat aliran darah di
ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi
glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab
terhadap menurunnya produksi (Wijaya, 2007).
Penatalaksanaan
Segera berikan pertolongan pertama sesuai dengan prinsip resusitasi ABC. Jalan nafas (A =
air way) harus bebas kalau perlu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Pernafasan (B =
breathing) harus terjamin, kalau perlu dengan memberikan ventilasi buatan dan pemberian
oksigen 100%. Defisit volume peredaran darah (C = circulation) pada syok hipovolemik sejati
atau hipovolemia relatif (syok septik, syok neurogenik, dan syok anafilaktik) harus diatasi
dengan pemberian cairan intravena dan bila perlu pemberian obat-obatan inotropik untuk
mempertahankan fungsi jantung atau obat vasokonstriktor untuk mengatasi vasodilatasi perifer.
Manajemen cairan adalah penting dan kekeliruan manajemen dapat berakibat fatal. Untuk
mempertahankan keseimbangan cairan maka input cairan harus sama untuk mengganti cairan
yang hilang. Cairan itu termasuk air dan elektrolit. Tujuan terapi cairan bukan untuk
kesempurnaan keseimbangan cairan, tetapi penyelamatan jiwa dengan menurunkan angka
mortalitas (WIjaya, 2007).
Larutan parenteral pada syok hipovolemik diklasifikasi berupa cairan kristaloid, koloid,
dan darah. Cairan kristaloid cukup baik untuk terapi syok hipovolemik.Resusitasi cairan yang
adekuat dapat menormalisasikan tekanan darah pada pasien kombustio 18-24 jam sesudah cedera
luka bakar (Wolak, 2007).
Perdarahan yang banyak (syok hemoragik) akan menyebabkan gangguan pada fungsi
kardiovaskuler. Syok hipovolemik karena perdarahan merupakan akibat lanjut. Pada keadaan
demikian, memperbaiki keadaan umum dengan mengatasi syok yang terjadi dapat dilakukan
dengan pemberian cairan elektrolit, plasma, atau darah. Untuk perbaikan sirkulasi, langkah
utamanya adalah mengupayakan aliran vena yang memadai. Mulailah dengan memberikan infus
Saline atau Ringer Laktat isotonis. Sebelumnya, ambil darah 20 ml untuk pemeriksaan
laboratorium rutin, golongan darah, dan bila perlu Cross test.Jika hemoglobin rendah maka
cairan pengganti yang terbaik adalah tranfusi darah. Terapi awal pasien hipotensif adalah cairan
resusitasi dengan memakai 2 liter larutan isotonis Ringer Laktat. Namun, Ringer Laktat tidak
selalu merupakan cairan terbaik untuk resusitasi (Wolak, 2007).
Keuntungan cairan kristaloid antara lain mudah tersedia, murah, mudah dipakai, tidak
menyebabkan reaksi alergi, dan sedikit efek samping. Kelebihan cairan kristaloid pada
pemberian dapat berlanjut dengan edema seluruh tubuh sehingga pemakaian berlebih perlu
dicegah. Larutan NaCl isotonis dianjurkan untuk penanganan awal syok hipovolemik dengan
hiponatremik, hipokhloremia atau alkalosis metabolik. Larutan RL adalah larutan isotonis yang
paling mirip dengan cairan ekstraseluler. RL dapat diberikan dengan aman dalam jumlah besar
kepada pasien dengan kondisi seperti hipovolemia dengan asidosis metabolik, kombustio, dan
sindroma syok. NaCl 0,45% dalam larutan Dextrose 5% digunakan sebagai cairan sementara
untuk mengganti kehilangan cairan insensibel. Ringer asetat memiliki profil serupa dengan
Ringer Laktat (Wolak, 2007).
Tempat metabolisme laktat terutama adalah hati dan sebagian kecil pada ginjal, sedangkan
asetat dimetabolisme pada hampir seluruh jaringan tubuh dengan otot sebagai tempat terpenting.
Penggunaan Ringer Asetat sebagai cairan resusitasi patut diberikan pada pasien dengan
gangguan fungsi hati berat seperti sirosis hati dan asidosis laktat. Adanya laktat dalam larutan
Ringer Laktat membahayakan pasien sakit berat karena dikonversi dalam hati menjadi
bikarbonat. Secara sederhana, tujuan dari terapi cairan dibagi atas resusitasi untuk
menggantikehilangan cairan akut dan rumatan mengganti kebutuhan harian (Wolak, 2007).
Penanganan di UGD terdapat tiga objektif yang ingin dicapai di UGD pada pasien syok
hipovolemik seperti berikut: (1) memaksimalkan pemberian oksigen-lengkap dengan
memastikan pemberian ventilasi yang adekuat, meningkatkan saturasi oksigen ke dalam darah
dan mengembalikan aliran darah, (2) mengontrol perdarahan lanjut, dan (3) pemberian resusitasi
cairan. Selain itu, desposisi pasien haruslah ditentukan secara cepat dan tepat (Isselbacher, 2012).
Pemantauan dilakukan terus menerus terhadap pernapasan, denyut nadi, tekanan darah,
suhu badan dan kesadaran (isselbacher, 2012).
Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah
menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernafasan dan diberikan
resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intravena atau cara lain yang memungkinkan seperti
pemasangan kateter CVP (centralvenous pressure) atau jalur intraarterial. Cairan yang diberikan
adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau
dengan cairan garam seimbang seperti Ringer’s laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar.
Tak ada bukti medis tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik.
Pemberian 2-4 L dalam 20-30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik.
9Isselbacher, 2012).
Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan tekanan
pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter
Swan-Ganz. Bila hemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum
teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin ≤ 10 g/dL perlu
penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan
agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross-match (uji silang), bila sangat darurat maka
dapat digunakan Packed red cells tipe darah yang sesuai atau O-negatif (Isselbacher, 2012).
Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotropik
dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan
kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin
infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30
mcg/kg dalam 3 -5 menit dilanjutkan 60 mcg/kg dalam 1 jam dalam dekstros 5% dapat
membantu meningkatkan MAP (Isselbacher, 2012).
Daftar Pustaka
Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, Heathcote EJ. 2011. Sherlock’s diseases of the liver and
biliary system. 12th Edition. UK: Wiley Blackwell Publishing.1
Wijaya IP.2007. Syok hipovolemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi Keempat. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL. 2012. Harrison:
prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. EGC.
ENSEFALOPATI
DEFINISIEnsefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan fungsi otak
menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi
kortikal umum yang memiliki karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga
beberapa hari), secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal,
halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas psikomotor (secara umum
meingkat, akan tetapi dapat menurun). Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan
perubahan umum pada fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa
agitasi hiperalert hingga koma (Lewis, 2012).
ETIOLOGI
Secara klinis, diagnosis ensefalopati digunakan untuk menggambarkan disfungsi otak
difuse yang disebabkan oleh gangguan faktor sistemik, metabolik, atau toksik.(8) Etiologi
ensefalopati pada anak meliputi penyebab infeksi, toksis (misalnya karbon monoksida, obat,
timah hitam), metabolik dan iskemik (DiCarlo, 2004).
PATOFISIOLOGI
Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari normal, dan iskemia merujuk
pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi untuk mempertahankan fungsi normalnya.
Penyebab terjadinya keadaan hipoksia dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di dalam kandungan
dan setelah dilahirkan. Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari : (DiCarlo, 2004).
1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama anestesi,
penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon monoksida
2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan komplikasi
anestesi spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus gravid
3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya tetani
uterus yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan
4) Pemisahan plasenta premature
5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau
pembentukan simpul pada tali pusat
6) vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain
7) insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca maturitas.
Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari : (DiCarlo, 2004).
1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke tingkat
kritis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik
2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel sel vital,
akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang berlebihan atau
kehilangan darah yang masif.
3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan yang
adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak
4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk penyakit
jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.
Janin yang mengalami hipoksik iskemik kronis dapat mengalami retardasi
pertumbuhan intrauteri tanpa tanda tanda tradisional gawat janin (misalnya bradikardi).
Velosimetri bentuk gelombang umbilikalis melalui Doppler (memperlihatkan kenaikan
tahanan vascular janin) dan kordosintesis (memperlihatkan hipoksia janin) dapat
mengidentifikasi bayi hipoksik kronis. Selanjutnya kontraksi uterus mengurangi oksigen
umbilikalis, menekan kardiovaskular janin dan sistem saraf pusat, menghasilkan skor
APGAR rendah dan hipoksia pasca lahir dalam kamar bersalin (DiCarlo, 2004).
Keadaan dimana terjadi penurunan aliran darah uteroplasenter atau keadaan yang
mengganggu proses respirasi spontan sehingga menyebabkan hipoksia perinatal,
asidosis laktat dan jika cukup berat maka akan menurunkan cardiac output atau
menyebabkan cardiac arrest, dan iskemia (Gowen, 2007).
Respons awal sirkulasi janin adalah menambah shunt melalui duktus venosus,
duktus arteriosus, dan foramen ovale dengan rumatan perfusi sementara ke otak, jantung
dan adrenal lebih diutamakan daripada paru (karena adanya vasokonstriksi pulmonal),
hati, ginjal dan usus. Hipoksi intrauteri yang lama dapat menyebabkan terjadinya LPV,
dan hyperplasia otot polos arteriol, membuat bayi cenderung mangalami hipertensi
pulmonal. Apabila kegawatan janin menyebabkan janin terengah engah maka akan
menyebabkan kandungan cairan amnion (mekonium, skuama rambut, lanugo)
teraspirasi ke dalam trakea atau paru paru (DiCarlo, 2004).
Kombinasi berkurangnya persediaan oksigen untuk otak yang menyebabkan
hipoksia dan kurangnya atau tidak adanya aliran darah yang menyebabkan iskemia
dapat menyebabkan berkurangnya glukosa untuk metabolisme dan akumulasi laktat
yang menghasilkan asidosis pada jaringan lokal. Setelah terjadi reperfusi, hipoksia
iskemik juga dapat menimbulkan komplikasi nekrosis sel dan edema endotel vaskular,
menurunkan aliran darah pembuluh darah distal (Gowen, 2007).
GEJALA KLINIS
Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus memiliki karakteristik edema
serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia basalis, sedangkan pada neonatus
preterm, memiliki karakteristik periventrikular leukomalasia. Kedua lesi dapat
menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan kuadriplegi atau diplegi spastika.(20)
Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik
mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup bulan
memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas iskemia
parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik), status
marmoratus ganglia basalis, dan PIV. Bayi cukup bulan, lebih sering dari pada bayi
preter, memperlihatkan infark korteks setempat atau multifocal yang menghasilkan
kejang kejang setempat (fokal) dan hemiplegia. Perangsangan asam amino dapat
memainkan peranan penting dalam pathogenesis asfiksia jejas otak (DiCarlo, 2004).
Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik sangat bermacam
macam bergantung pada beratnya cedera yang ditimbulkan. Pucat, sianosis, apnea,
frekuensi denyut jantung lambat dan tidak memberikan respons terhadap rangsangan
merupakan beberapa tanda umum terjadinya ensefalopati hipoksik iskemik. Neonatus
dengan ensefalopati hipoksik iskemik derajat keparahan 3 biasanya hipotonus,
walaupun awalnya terlihat hipertonus dan kewaspadaan yang meningkat sesaat setelah
dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral, fungsi otak menurun, depresi
kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang otak menyebabkan apneu. Seiring
berkembangnya edema serebri, akan terjadi kejang yang dimulai saat 12-24 jam setelah
lahir. Neonatus juga tidak memiliki tanda respirasi spontan, hipotonus, dan menurun
atau tidak adanya reflek tendon (Gowen, 2007).
Tabel . Gejala klinis ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus
Tanda Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3Tingkat kesadaran
Hiperalert Letargik Stupor
Tonus otot Normal Hipotonus FlaksidRefleks tendon/ klonus
Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada
Reflek moro Kuat Lemah Tidak adaPupil Midriasis Miosis Anisokor, reflek
cahaya minimalKejang Tidak ada Ada DesereberasiEEG Normal Perubahan voltase
rendah hingga aktifitas kejang
Banyak supresi hingga isoelektrik
Durasi <24jam jika ada kemajuan lain mungkin tetap normal
24jam -14 hari Hari-minggu
(Gowen, 2007)
PENATALAKSANAAN
Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada keadaan dasar yang
menyebabkannya, kematian dan ketidakmampuan kadang kadang dapat dicegah melalui
pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan memberikan oksigen atau pernafasan
buatan dan koreksi disfungsi multiorgan terkait (DiCarlo, 2004).
Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi batang
otak yang berat. Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang mungkin berat dan
kejang ini refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi. Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB,
iv) dapat digunakan selama kejang akut, sedangkan untuk mensupresi kejang secara
terus menerus mungkin memerlukan dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital
atau 20mg/kgBB fenitoin. Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat
dari ensefalopati hipoksik iskemik, kejang pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia
dapat juga disebabkan oleh hipokalsemi atau hipoglikemia.(6) Pada keadaan hipoksik
iskemik terjadi turunnya suhu berkisar 20C. Terapi hipotermia lebih bermaksud pada
resusitasi dibandingkan dnegan neuroprotektor. Pada bayi dengan respon minimal pada
resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat berisi air dingin berkisar 23-300C, dan
didiamkan hinggan ia menangis (DiCarlo, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
DiCarlo JV, Frankel LR. 2004. Neurologic Stabilization. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB. (eds.) Nelson TextBook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia: Saunders An Imprint of
Elsevier Science.
Lewis SL. 2012. Encephalopaty dalam Emergency Neurology. USA: Spingerlink.
Gowen CW.2007. Assessment of the Mother, Fetus and Newborn. In: Kliegman RM, Marcdante
KJ, Jenson HB, Behrman RE. (eds.) Essential of Pediatrics. 5th ed. Philadelphia: Saunders
An Imprint of Elsevier Science.