Upload
nimas-dwiastuti
View
76
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Komplikasi Kronik Dm
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dari berbagai penelitian epidemiologis nsudah jelas terbukti bahwa
insidensi diabetes melitus (DM) meningkat menyeluruh di semua tempat di
dunia. Penelitian epidemiologis yag dikerjakan di Indonesia maupunn di Jakarta
menunjukkan kecenderungan serupa (Shabab, 2006). Di Negara berkembang,
Diabetes mellitus sampai sat ini masih merupakan factor yang terkait sebagai
penyebab kematian sebanyak 4- 5 kali lebih besar.Menurut estimasi data WHO
maupun IDF, prevalensi Diabetes di Indonesia pada tahun 2000 adalah sebesar
5,6 juta penduduk, tetapi pada kenyataannya ternyata didapatkan sebesar 8,2 juta.
Tentu saja hal ini sangat mencengangkan para praktisi, sehingga perlu
dilakukan upaya pencegahan secara komprehensif di setiap sektor terkait
(Permana, 2005). Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes
Melitus maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan
pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO
didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik
1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2
jam setelah makan (Kurniawan, 2010).
Peningkatan insidensi diabetes melitus yang exponensial ini tentu akan
diikuti oleh meningkatnya kemungkinan terjadinya komplikasi kronik diabetes
melitus. Berbagai penelitian prospektif jelas menunjukkan meningkatnya
penyakit akibat penyumbatan pembuluh darah, baik mikrovaskular seperti
retinopati, nefropati maupun makrovaskular seperti penyakit penyakit pembuluh
darah koroner dan juga pembuluh darah tungkai bawah, kerusakan saraf yang
dapat menyebabkan impotensi dan gangrene dengan risiko amputasi (Shabab,
2006).
1
Kalau ditinjau lebih dalam lagi, ternyata hiperglikemia ini merupakan
awal bencana bagi penderita Diabetes, hal ini terbukti dan terjadi juga pada
penderita dengan gangguan toleransi glukosa yang sudah terjadi kelainan
komplikasi vaskuler, walaupun belum diabetes. Hiperglikemia ini dihubungkan
dengan kelainan pada disfunsi endothe, sebagai cikal bakalnya terjadi mikro
maupun makroangiopati. Dengan demikian, apablia hiperglikemia terkendali dan
terkontrol dengan baik, yang ditandai dengan HbA1c yang normal dapat
menurunkan angka kejadian komplikasi pada DM (Permana, 2005).
B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui berbagai hal tentang
definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patofisiologi, gambaran klinis,
kriteria diagnosis, penatalaksanaan komplikasi kronis pada DM.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI FISIOLOGI PANKREAS
Terdapat di belakang lambung di depan vertebra lumbalis 1 dan 2 terdiri
dari sel alpha dan beta. Sel alpha menghasilkan hormon glukagon dan sel beta
menghasilkan hormon insulin. Hormon yang digunakan dalam pengobatan
diabetes adalah hormon insulin yang merupakan sebuah protein yang turut
dicernakan oleh enzim pencernaan protein. Fungsi hormon insulin adalah
mengendalikan kadar glukosa. Selain itu terdapat pulau langerhans yang
berbentuk oval yang tersebar ke seluruh tubuh pankreas dan terbanyak pada
bagian kedua pankreas. Fungsi dari pulau langerhans adalah sebagai unit sekresi
dalam pengeluaran homeostatik nutrisi, menghambat sekresi insulin glikogen dan
polipeptida pankreas serta menghambat sekresi glikogen (Ganong, 2009)
3
B. DEFINISI
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik disertai bebagai
kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai
komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah (Mansjoer,
2010).
Diabetes Mellitus adalah gangguan metabolisme secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat
(Price, 2009).
Sekelompok gangguan metabolik kronik, ditandai oleh hiperglikemia
yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak,
protein, disebabkan oleh defek sekresi insulin, sensitivitas insulin atau keduanya
dan mengakibatkan terjadinya komplikasi kronis termasuk mikrovaskular,
makrovaskular dan neuropati (Shabab, 2006).
Dari beberapa definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa DM adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan hormonal (dalam hal ini hormon
insulin yang diproduksi oleh pankreas) dan melibatkan metabolisme karbohidrat
dimana seseorang tidak dapat memproduksi cukup insulin atau tidak
menggunakan insulin yang diproduksi dengan baik.
C. EPIDEMIOLOGI
Menurut laporan UKPDS, Komplikasi kronis paling utama adalah
Penyakit kardiovaskuler dan strone, Diabeteic foot, Retinopati, serta nefropati
diabetika. Dengan demikian sebetulnya kematian pada Diabetes terjadi tidak
secara Iangsung akibat hiperglikemianya, tetapi berhubungan dengan komplikasi
yang terjadi. Apabila dibandingkan dengan orang normal, maka penderita DM 5
x Iebih besar untuk timbul gangren, 17 x Iebih besar untuk menderita kelainan
ginjal dan 25 x Iebih besar untuk terjadinya kebutaan. Selain komplikas-
komplikasi yang disebutkan di atas, penderita DM juga memiliki risiko penyakit
4
kardio-sebrovaskular seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung yang jauh
Iebih tinggi daripada populasi normal. OIeh sebab itu penderita diabetes perlu
diobati agar dapat terhindar dan berbagai komplikasi yang menyebabkan angka
harapan hidup menurun. Kadar gula darah yang tinggi dan terus menerus dapat
menyebabkan suatu keadaan gangguan pada berbagai organ tubuh. Akibat
keracunan yang menetap ini, timbul perubahan-perubahan pada organ-organ
tubuh sehingga timbul berbagai komplikasi. Jadi komplikasi umumnya timbul
pada semua penderita baik dalam derajat ringan atau berat setelah penyakit
berjalan 10-15 tahun (Kurniawan, 2010).
D. ETIOLOGI DIABETES MELLITUS
DM ada dua jenis, yakni DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada DM tipe 1
pankreas menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan
insulin, sedangkan DM tipe 2, pancreas tetap menghasilkan insulin, namun
kadarnya lebih tinggi dan tubuh kebal/menolak (resistant) terhadap hormon
insulin yang dihasilkan pancreas. DM tipe 2 ini dapat menyerang anak-anak
remaja, tetapi lebih banyak menyerang orang di atas usia 30 tahun. Menurut
kriteria diagnostik PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2006,
seseorang dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar gula darah puasa >
126 mg/dL dan tes sewaktu >200 mg/dL (Tjokroprawiro, 2007).
Penderita kencing manis umumnya menampakkan tanda dan gejala
dibawah ini:
1. Jumlah urine banyak (Polyuria)
2. Cepat merasa haus (Polydipsia)
3. Sering merasa lapar atau banyak makan (Polyphagia)
4. Urine mengandung gula (Glycosuria)
5. Kehilangan berat badan yang tidak jelas sebabnya
6. Kesemutan/mati rasa pada ujung syaraf ditelapak tangan & kaki
7. Cepat lelah dan lemah setiap waktu
5
8. Mengalami rabun penglihatan secara tiba-tiba
9. Apabila luka/tergores (korengan) lambat penyembuhannya
10. Mudah terkena infeksi terutama pada kulit.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit diabetes melitus terdiri dari:
1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah
a. Genetik
b. Ras dan etnis
c. Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram atau
riwayat pernah menderita DM gestasional (DMG)
d. Riwayat lahir dengan berat badan rendah
e. Usia
2. Faktor resiko yang dapat dirubah
a. Umur
b. Berat badan lebih (IMT > 23 kg/m2).
c. Kurangnya aktivitas fisik.
d. Hipertensi (> 140/90 mmHg)
e. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL)
Diet tak sehat (unhealthy diet). (Tjokroprawiro, 2007)
6
(PERKENI, 2006).
E. KOMPLIKASI KRONIK DM
Seperti telah diungkapkan, hiperglikemia merupakan peran sentral terjadi
komplikasi pada DM. Pada keadaan hiperglikemia, akan terjadi peningkatan jalur
polyol, peningkatan pembentukan Protein Glikasi non enzimakti serta
peningkatan proses glikosilasi itu sendiri, yang menyebabkan peningkatan stress
oksidatif dan pada akhirnya menyebabkan komplikasi baik vaskulopati,
7
retinopati, neuropati ataupun nefropati diabetika. Komplikasi kronis ini berkaitan
dengan gangguan vaskular, yaitu:
1. Komplikasi Mikrovaskular
a. Nefropati
Diabetes mellitus tipe 2, merupakan penyebab nefropati paling banyak,
sebagi penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang
spesifik pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga
molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis.
Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang
progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( >
0.5 gr/24 jam), terdapat retino pati dan hipertensi. Dengan demikian upaya
preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan kontrol tekanan
darah (Permana, 2005).
b. Retinopati
Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya
ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah
pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu
Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif
merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan
retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah
kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal
retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan
pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan
kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan
penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat (Permana, 2005).
8
2. Komplikasi Makrovaskular
Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya
arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada
diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih
serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian
akibat penyakit kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali
dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada
hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang baik. Tetapi telah terbukti
secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko
mortalitas kardiovaskular, di mana peninggian kadar insulin menyebabkan
risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL
akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat.
Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan
penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular.
a. Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor
risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita
diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau
angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat
dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan)
yang timbul saat beraktifiras atau emosi dan akan mereda setelah
beristirahat atau mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius
adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak
mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala mi dapat tidak
timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti.
b. Stroke
Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada
penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita
diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius
9
untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna
dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa:
- Pusing, sinkop
- Hemiplegia: parsial atau total
- Afasia sensorik dan motorik
- Keadaan pseudo-dementia
c. Penyakit pembuluh darah
Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis,
yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada
pembuluh darah koronaria, maka akan meningkatkan risiko terjadi infark
miokar, dan pada akhirnuya terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi
2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini
akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia,
obes, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes
lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya
mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh
darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase
IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang
disertai infeksi merupakan factor utama terjadinya proses gangrene
diabetik. Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi,
sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun kematian.
3. Neuropati
Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada
penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. Manifestasi klinis
dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian
neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf
dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah
serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan
dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol,
10
penurunan pembentukan myoinositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga
menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi
axonal (Shabab, 2006).
F. PATOGENESIS TERJADINYA KOMPLIKASI KRONIK
Adanya pertumbuhan sel dan juga kematian sel yang tidak normal
merupakan dasar terjadinya komplikasi kronik diabetes melitus. Perubahan dasar
atau disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot
polos pembuluh darah, maupun pada sel mesengial ginjal, semuanya
menyebabkan perubahan pertumbuhan pada sel, yang kemudian akan
menyebabkan terjadinya komplikasi vaskular diabetes.
Pada retinopati diabetik proliferatif , didapatkan hilangnya sel perisit dan
terjadi pembentukan mikroaneurisma. Disamping itu juga terjadi penyumbatan
dan hambatan kapiler. Semua kelainan tersebut akan menyebabkan kelainan
mikrovaskular berupa lokus iskemik. Sel retina kemudian merespons dengan
meningkatkan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGHF = Vascular
Endothelial Growth Factor) dan selanjutnya memacu neovaskularisasi pada
pembuluh darah (Sudoyo, 2009).
Pada neuropati jaringan saraf, terjadi penimbunan sorbitol dan fruktosa
serta penurunan kadar mioinositol yang menimbulkan neuropati. Perubahan
biokimia dalam jaringan saraf akan mengganggu kegiatan metabolik sel-sel
schwann dan menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan
berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul nyeri,
parestesia, berkurangnya sensasi getar dan propioseptik, dan gangguan motorik
yang disertai hilangnya refleks refleks tendon dalam, kelemahan otot dan atrofi.
Pada nefropati diabetik, faktor metabolik diawali dengan hiperglikemia,
glukosa dapat bereaksi secara proses non enzimatik dengan asam amino bebas
menghasilkan AGE’s (advance glycosilation end-products). Peningkatan AGE’s
akan menimbulkan kerusakan pada glomerulus ginjal. Terjadi juga akselerasi
11
jalur poliol, dan aktivasi protein kinase C. Pada alur poliol (polyol pathway)
terjadi peningkatan sorbitol dalam jaringan akibat meningkatnya reduksi glukosa
oleh aktivitas enzim aldose reduktase. Peningkatan sorbitol akan mengakibatkan
berkurangnya kadar inositol yang menyebabkan gangguan osmolaritas membran
basal.terjadi peningkatan tekanan gromelurar, dan disertai meningkatnya matriks
ekstraselular akan menyebabkan terjadinya penebalan membran basal, ekspansi
mesangial dan, hipertrofi glomerular. Semua itu akan menyebabkan
berkurangnya area filtrasi dan kemudian mengarah ke glomerosklerosis (Price,
2005).
Pada sistem vaskular dapat terjadinya plak aterosklerosis kemudian
berlanjut pada penyumbatan pembuluh darah dan akan memacu terjadinya
sindrom koroner akut dan CVA. Gabungan dari gangguan biokimia akibat dari
insufisiensi insulin dapat menyebabkan gangguan vaskular. Gangguan- gangguan
ini akibat dari: 1. Penimbunan sorbitol dalam intima vaskular, 2.
Hiperlipoproteinemia, 3. Kelainan pembekuan pembuluh darah (Price, 2005).
Patogenesis terjadinya kelainan vaskular pada diabetes melitus meliputi
imbalans metabolik maupun hormonal. Pertumbuhan sel otot polos pembuluh
darah maupun sel mesangial keduanya distimulasi oleh sitokin. Kedua macam sel
tersebut juga berespon terhadap substansi vasoaktif dalam darah. Jaringan
kardiovaskuler, demikian juga jaringan lain yang rentan terhadap komplikasi
kronik diabetes (jaringan syaraf, sel endotel pembuluh darah, sel retina, lensa)
mempunyai kemampuan memasukkan glukosa dalam sel tanpa memerlukan
insulin (insulin dependent) namun pada keadaan hiperglikemia sel akan
kebanjiran glukosa yang disebut hiperglisolia. Hiperglisolia kronik akan
mengubah homeostasis biokimiawi sel yang kemudian berpotensi untuk
terjadinya perubahan dasar komplikasi kronik diabetes, yang meliputi beberapa
jalur biokimiawi (Sudoyo, 2009).
Hiperglisolia akan meningkatkan diasilgliserol (DAG), selanjutnya
meningkatkan protein Kinase C beta, yang akan berpengaruh menurunkan
12
aktivitas fibrinolisis. Semua kelainan tersebut akan mengarah proses angiopati
diabetik. PKC juga akan berpengaruh pada kegagalan pengaturan fungsi
trombosit. Keadaan ini juga akan menambah kemungkinan terjadinya
prokoagulasi pada penyandang DM (Sudoyo, 2009).
G. DIAGNOSIS DINI
1. Retinopati
Diagnosis dini retinopati dapat diketahui melalui pemeriksaan retina secara
rutin. Dianjurkan untuk memeriksakan retina mata pada kesempatan pertama
pertemuan dengan penyandang DM dan kemudian setiap tahun atau lebih
cepat lagi kalau diperlukan sesuai dengan keadaan retinanya. Terdapat tiga
stadium yaitu non proliferatif, preproliferatif, proliferatif. Disebut non
proliferatif apabila hanya ditemukan perubahan mikrovaskular dalam retina.
Penyumbatan kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi, iskemia
tersebut akan merang sang pembentukan pembuluh drah baru
(neovaskularisasi). Terdapat beberapa cara pemeriksaan retina:
Dengan menggunakan oftalmoskop standart, slit lamp, fotografi retina.
Sesegera mungkin rujukan pada ahli mata
(Sudoyo, 2009)
2. Nefropati
Kelainan dimulai dengan ditemukannya mikroalbuminuria, dan kemudian
berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut dengan penurunan
fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal yang
memerlukan pengelolaan dan pengobatan substitusi. Pemeriksaan untuk
mencari mikroalbuminuria seyogyanya selalu dilakukan pada saat diagnosis
DM ditegakkan dan diulang setiap tahun. Penyandang DM dengan laju filtrasi
glomerulus atau bersihan kreatinin <30 mL/menit seyogyanya dipersiapkan
untuk terapi berupa dialisis maupun transplantasi ginjal (Sunaryanto, 2010).
13
3. Penyakit Jantung Koroner
Kewaspadaan harus ditingkatkan terutama untuk mereka yang mempunyai
resiko tinggi terjadinya kelainan aterosklerosis seperti mereka yang
mempunyai riwayat keluarga penyakit pembuluh darah koroner ataupun
riwayat keluarga DM yang kuat. Jika ada ketidaknyamanan pada daerah dada,
harus segera dilanjutkan dengan pemerikaaan penjaring yang teliti untuk
mencari adanya penyakit pembuluh darah koroner, paling sedikit dengan
pemeriksaan EKG saat istrihat kemudian dilanjutkan pemeriksaan EKG
dengan beban. Rasa nyeri mungkin tidak nyata karena terdapat neuropati DM.
4. Penyakit Pembuluh Darah Perifer
Mengelola berbagai faktor resiko terkait terjadinya kaki diabetes dan ulkus
diabetes merupakan hal penting dalam usaha pencegahan terjadinya kaki
diabetes. Adanya perubahan bentuk kaki (callus, kapalan, dll), neuropati dan
adanya penurunan aliran darah ke kaki merupakan hal yang harus selalu
dicari. Penyuluhan para penyandang DM mengenai diabetes melitus pada
umumnya dan perawatan kaki pada khususnya perlu digalakkan. Pemeriksaan
kaki lengkap berkala setiap tahun merupakan hal yang perlu dikerjakan untuk
mencegah terjadinya kaki diabetes/ulkus/gangren.
(Sudoyo, 2009)
H. PENATALAKSANAAN
1. Retinopati Diabetik
Tujuan utama pengobatan retinopati diabetik adalah untuk mencegah
kebutaan permanen. Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam
mencegah terjadinya retinopati diabetik atau memburuknya retinopati diabetik
yang sudah ada. Metode pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik saat
ini meliputi:
Kontrol glukosa darah
14
Kontrol tekanan darah
Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan
Fotokoagulasi dengan laser
Vitrektomi untuk perdarahan vitreus atau ablasio retina.
Penyandang DM tanpa retinopati saat ditegakkan diagnosis DM perlu
kewaspadaan, karena 5%-10% akan mengalami retinopati nonproliferatif
setelah 1 tahun, dan akan beralih ke stadium proliferatif dalam waktu 4 tahun.
2. Nefropati
Tata laksana nefropati diabetik tergantung pada tingkatan apakah
masih normoalbuminuria, mikrolabuminuria, atau sudah makroalbuminuria.
Tetapi pada prinsipnya tatalaksana non farmakologis nefropati diabetik
adalah:
a. Edukasi.
Hal ini dilakukan untuk mencapai perubahan prilaku, melalui pemahaman
tentang penyakit DM, makna dan perlunya pemantauan dari pengendalian
DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis,
hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi, dll.
b. Perencanaan makan.
Perencanaan makan pada penderita DM dengan komplikasi penyakit ginjal
diabetik disesuaikan dengan penatalaksanaan diet pada penderita gagal
ginjal kronis. Perencanaan diet yang diberikan adalah diet tinggi kalori,
rendah protein dan rendah garam. Dalam upaya mengurangi progresivitas
nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu
penelitian klinik selama 4 tahun pada penderita DM Tipe I diberi diet
mengandung protein 0,9 gr/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan resiko
terjadinya penyakit gagal ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76
%. Pada umumnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung
protein sebanyak 0,8 gr/kgBB/hari yaitu sekitar 10 % dari kebutuhan kalori
pada penderita dengan nefropati overt, akan tetapi bila LFG telah mulai
15
menurun, maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gr/kgBB/hari
mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya.
Jenis protein sendiri juga berperan dalam terjadinya dislipidemia.
Pemberian diet rendah protein ini harus diseimbangkan dengan pemberian
diet tinggi kalori, yaitu rata-rata 40-50 Kal/24 jam. Penderita DM sendiri
cenderung mengalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi
dengan diet dan obat bila diperlukan. Dislipidemia diatasi dengan statin
dengan target LDL kolesterol < 100mg/dl pada penderita DM dan < 70
mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskuler.
3. Latihan Jasmani.
Dilakukan teratur 3-4 kali seminggu, selama kurang lebih 30 menit.
Latihan jasmani dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki
sensitifitas terhadap insulin, tapi tetap harus disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani penderita. Contoh latihan jasmani yang dimaksud
adalah jalan, sepeda santai, joging, berenang. Prinsipnya CRIPE
(Continous, Rhytmical, Interval, Progressive, Endurance).
Intervensi Farmakologis yang perlu dilakukan adalah :
1. Pengendalian DM
Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun) dengan melibatkan
ribuan penderita telah menunjukkan bahwa pengendalian kadar gula darah
secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya
penyulit kardiovaskuler, baik pada DM tipe I maupun tipe II. Oleh karena
itu, perlu sekali diupayakan agar terapi ini dilaksanakan sesegera mungkin.
Diabetes terkendali yang dimaksud adalah pengendalian secara intensif
kadar gula darah, lipid dan kadar HbAlc sehingga mencapai kadar yang
diharapkan. Selain itu pengendalian status gizi dan tekanan darah juga
perlu diperhatikan (Sunaryanto, 2010).
2. Pengendalian Tekanan Darah
16
Pengendalian tekanan darah merupakan hal yang penting dalam
pencegahan dan terapi nefropati diabetik. Pengendalian tekanan darah juga
telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap
ginjal, renoproteksi maupun terhadap organ kardiovaskuler. Makin rendah
tekanan darah yang dicapai, makin baik pula renoproteksi. Banyak panduan
yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian
tekanan darah pada penderita diabetes. Pada penderita diabetes dan
kelainan ginjal, target tekanan darah yang dianjurkan oleh American
Diabetes Association dan National Heart, Lung, and Blood Institute adalah
< 130/80 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berat ≥ 1 gr/24 jam,
maka target lebih rendah yaitu < 125/75 mmHg. Pengelolaan tekanan darah
dilakukan dengan dua cara, yaitu non-farmakologis dan famakologis.
Terapi non-farmakologis adalah melalui modifikasi gaya hidup antara lain
menurunkan berat badan, meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan
merokok, serta mengurangi konsumsi garam. Harus diingat bahwa untuk
mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi
berbagai jenis obat dengan berbagai efek samping dan harga obat yang
kadang sulit dijangkau penderita. Hal terpenting yang perlu diperhatikan
adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan apapun jenis obat yag
dicapai. Akan tetapi karena Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE-I) dan Angiotensin Reseptor blocker (ARB), dikenal mempunyai
efek antiprotein uric maupun renoproteksi yang baik, maka selalu disukai
pemakaian obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada
penderita DM. Pada penderita hipertensi dengan mikroalbuminuria atau
makroalbuminuria, ACE inhibitor dan ARB merupakan terapi utama yang
paling dianjurkan. Jika salah satu tidak dapat diterima atau memberikan
hasil yang kurang maksimal maka dapat dianjurkan penggunaan Non
Dihydropyridine Calcium–Channel Blockers (NDCCBs) (Sunaryanto,
2010).
17
3. Penyakit Jantung Koroner
Berdasarkan rekomendasi ADA (America Diabetes Association),
penatalaksanaan terhadap semua pasien DM terutama ditujukan terhadap
penurunan resiko kardiovaskular secara komperhensif. Rekomendasi ADA
tentang target yang harus dicapai dalam penatalaksanaan diabetes melitus
dalam upaya menurunkan resiko kardiovaskular adalah :
No Parameter Target yang harus dicapai
1 Kontrol glikemik :
- A1C
-Kadar gula darah preprandial
-Kadar gula darah postprandial
< 7%
90-130 mg/dl
<180 mg/dl
2 Tekanan darah <130/80 mmHg
3 Lipid:
LDL
Trigliserida
HDL
<100 mg/dl
<150 mg/dl
>40 mg/dl
(Kurniawan, 2010)
4. Neuropati
Penanganan pertama adalah mendiagnosa sedini mungkin, kedua dengan
kendali glikemik dan perawatan kaki sebaik baiknya, ketiga dengan
pengendalian keluhan neuropati/nyeri neuropati. Perawatan kaki dapat
dilakukan dengan cara menghindari trauma kult seperti sepatu yang sempit,
cegah trauma berulang,serta menjaga kebersihan kulit. Pengendalian glukosa
darah merupakan langkah pertama yang harus dilakukan dan kemudian
monitor HbA1c secara berkala. Disamping itu pengendalian faktor metabolik
lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid juga perlu dilakukan. Untuk
memperbaiki neuropati diabetik dapat diberikan obat obat sebagai berikut:
Golongan aldose reductase inhibitor yang berfungsi menghambat
penimbunan sorbitol dan fruktosa.
18
Alpha Lipoic Acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan
radikal hidroksil, superoksida, dan peroksil serta membentuk kembali
glutation.
Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs
Alfa tokoferol, asam alfa lipoik, asam aksorbat merupakan zat yang
dikatakan dapat mengurangi efek negatif stress oksidatif dan inflamasi
pada penyandang DM.
NSAID ibuprofen untuk mengurangi rasa nyeri.
(Shabab, 2006)
BAB III
KESIMPULAN
19
Komplikasi diabetes jangka panjang dapat dibagi menjadi tiga tipe:
mikrovaskular, makrovaskular, dan neuropati perifer. Insidensi diabetes makin
meningkat diseluruh Negara, pada kenyataannya juga meningkatkan morbiditas dan
mortalitas akibat diabetes. Gangguan metabolisme pada penderita DM sangat
berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, sehingga menimbulkan
komplikasi akut maupun kronik. Deteksi dini penderita baru DM merupakan upaya
pencegahan meningkatnya komplikasi DM. Komplikasi diabetik dapat dikurangi atau
dicegah jika pengobatan diabetes cukup efektif untuk membawa kadar glukosa ke
dalam kisaran normal.
DM adalah penyakit menahun yang akan diderita seumur hidup, sehingga
yang berperan dalam pengelolaannya tidak hanya tim medis dan paramedis tetapi
lebih penting lagi ke ikut sertaan pasien sendiri dan keluarganya.
DAFTAR PUSTAKA
Ganong, W. F. (2009). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta, EGC
20
Kurniawan, I. (2010). Diabetes Melitus Tipe 2 pada Usia Lanjut. Majalah
Kedokteran Indonesia, Volum: 60, Nomor: 12
Mansjoer, A. (2010). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. (2006). Konsensus Pengelelolaan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta
Permana, H. (2005). Komplikasi Kronik dan Penyakit Penyerta Pada Diabetes.
Department of Internal Medicine Padjadjaran University Medical School
Price, S. A. (2005). Patofisiologi kedokteran edisi 6. Jakarta, EGC
Shahab, Alwi. (2006). Diagnosis dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus.
http://dokter-alwi.com/diabetes.html (20 Agustus 2009).
Sudoyo, A. W.dkk. (2009). Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi
Keempat. Jakarta, Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Sunaryanto, A. (2010). Penatalaksanaan Penderita dengan Diabetik Nefropathi.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar
Tjokoprawiro, A. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Sutomo Surabaya.
Surabaya: Airlangga University Press
21