Upload
hathu
View
221
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KLAUSUL EKSONERASI DALAM TRANSAKSI JASA PENGIRIMAN
BARANG PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Studi Kasus Pencantuman Klausul Eksonerasi Pada Resi Pengiriman
J&T Express
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
PUTRI FIRMANDA
1113048000025
K O N S E N T R A S I H U K U M B I S N I S
P R O G R A M S T U D I I L M H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
iv
ABSTRAK
Putri Firmanda. NIM 1113048000025. KLAUSUL EKSONERASI DALAM
TRANSAKSI JASA PENGIRIMAN BARANG UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (STUDI KASUS
PENCANTUMAN KLAUSUL EKSONERASI PADA RESI PENGIRIMAN J&T
EXPRESS). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438
H/2017 M. Ix + 75 halaman + 8 halaman lampiran.
Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kedudukan klausul eksonerasi menurut
Hukum Indonesia, bentuk ganti rugi menurut Hukum yang berlaku dan bentuk ganti
rugi J&T Express atas musnahnya barang yang dikirim, dan klausul eksonerasi pada
perjanjian jasa pengiriman barang J&T Express telah memenuhi ketentuan Hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Dalam ketentuan umum Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa
pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan pada setiap dokumen dan/atau
perjanjian yang menyatakan pengalihan tanggung jawab.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian Library Research dan Field
Research yang mengkaji berbagai data dokumen terkait dengan penelitian dan
menggabungkan dengan data wawancara yang dilakukan secara langsung dengan
subjek penelitian. Metode yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif-
empiris dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach)
dan pendekatan kasus (Case Approach). Informasi didapatkan dari bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan non hukum. Adapun bahan hukum, baik
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan non hukum diuraikan
dan dihubungkan sedemikian rupa sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih
sistematis untuk menjawab pemasalahan yang telah dirumuskan.
Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
klausul eksonerasi yang diterapkan oleh perusahaan J&T Express tidak selaras
dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Ganti rugi
yang diberikan J&T Express tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan tidak
sesuai dengan Pasal 1236 KUHPerdata, Pasal 472 KUHDagang, dan Pasal 19 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Maka batal demi hukum.
Kata Kunci: Klausul Eksonerasi, Perlindungan Konsumen, Pengiriman barang
Pembimbing : 1. M. Nuzul Wibawa, S.Ag., M.H
: 2. Indra Rahmatullah, SHI. M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1978 sampai Tahun 2014
v
KATA PENGANTAR
Segala Puji dan syukur kehadirat Allah Subhana Wa Ta’alla atas segala
rahmat dan karunia-Nya, tiada kata yang terucap dengan tulus dan ikhlas yakni
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin tiada henti karena dapat terselesaikannya skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpahkan atas insan pilihan Tuhan
khatamul anbiya’i walmursalin Muhammad SAW.
Dengan setulus hati peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh
dari kata sempurna. Banyak hal yang tidak dapat dihadirkan di dalam skripsi ini oleh
peneliti karena keterbatasan pengetahuan dan waktu.
Dalam penulisan skripsi ini peneliti menyadari tanpa adanya dorongan dan
bimbingan dari semua pihak yang mendukung penelitian ini tidak akan terselesaikan.
Pada kesempatan ini, tidak lupa peneliti menyampaikan terimakasih kepada orang-
orang yang turut mempengaruhi hamba dalam mendewasakan peneliti, yang
terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum, dan
para wakil Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat SH, MH. Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin SH, M.Hum. Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta
3. M. Nuzul Wibawa, S.Ag., MH. Dosen Pembimbing I dan Indra
Rahmatullah, SHI, MH. Dosen Pembimbing II yang telah bersedia
menjadi pembimbing dalam penyusunan skripsi ini dengan penuh
kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan masukan serta
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan sehingga skripsi ini
selesai
vi
4. Orang Tua Tercinta ayahanda Agus Firman, ibunda Siswati (Almh),
ibunda Sri Ekawati, serta adik-adik penulis Lailatul Firmanda, Ahmad
Abimanyu dan Khayla Nailin Najihah berkat doa, motivasi, mendukung,
dan melimpahkan kasih sayang dengan tulus sehingga penulis dapat
menyelesaikan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi Negeri
5. Teman Dekat penulis Ari Imbargo yang selalu memberikan semangat,
motivasi, arahan, dan membantu dalam proses pengambilan data.
6. Teman diskusi Sylvia Amanda, Tary Rahma, Lidiana Sulfi, Kurnia
Sulistyorini, Topan Rohmatullah, Elia Feby Ariani, Vina Tri, M. Zulfikar
Rhomi, Khaidir Musa, Mizana Ramadhan, Ahmad Kandiaz, Rekky
Prasetyo, M.Firdaus dan Kawan-kawan seperjuangan program studi Ilmu
Hukum Angkatan 2013 yang selalu membantu, memberikan pencerahan
dan juga semangat.
7. Bapak Fendy selaku manager J&T Express kantor cabang Jepara yang
bersedia di wawancarai.
Akhirnya, atas bantuan serta jasa dari semua pihak berupa materiil dan moril
hingga detik ini penulis panjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan yang
berlipat. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca .
Jakarta, 14 September 2017
Putri Firmanda
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ........................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... iii
ABSTRAK .................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................. v
DAFTAR ISI ................................................................................................ vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 4
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah .................................... .5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................... 6
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ................................. 7
F. Metode Penelitian .............................................................. 9
G. Sistematika Penulisan ........................................................ 13
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Tinjaun Umum Hukum Perlindungan Konsumen .............. 14
1. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen .................... 14
2. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha dan Konsumen ........ 16
3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha ................ 19
viii
4. Ketentuan Pencantuman Klausul Baku .......................... 27
B. Tinjauan Umum Hukum Pengangkutan ............................. 28
1. Pengertian Hukum Pengangkutan .................................. 28
2. Jenis-Jenis Pengangkutan .............................................. 30
3. Hak dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Di Bidang Jasa
Pengangkutan ................................................................ 33
C. Tinjauan Umum Hukum Perjanjian .................................... 34
1. Pengertian Perjanjian ..................................................... 34
2. Syarat Sah Perjanjian ..................................................... 35
3. Asas-Asas Perjanjian ..................................................... 37
4. Ganti Rugi ..................................................................... 39
5. Perjanjian Pengangkutan ............................................... 41
D. Tinjauan Umum Klausul Baku dan Klausul Eksonerasi ..... 42
1. Pengertian Klausul Baku ............................................... 42
2. Keabsahan Klausul Baku ............................................... 43
3. Pengertian Klausul Eksonerasi ...................................... 46
4. Jenis-Jenis Klausul Eksonerasi ...................................... 48
5. Akibat Hukum Praktek Klausul Eksonerasi ................... 49
BAB III UMUM PERUSAHAAN J&T EXPRESS
A. Profil J&T Express ............................................................. 50
B. Sejarah J&T Express .......................................................... 51
C. Visi Misi J&T Express ....................................................... 52
ix
D. Produk J&T Express .......................................................... 52
E. Klausul Eksonerasi Dalam Transaksi Pengiriman Barang J&T
Express .............................................................................. 53
BAB IV ANALISIS KLAUSUL EKSONERASI DALAM TRANSAKSI
BISNIS JASA PENGANGKUTAN J&T EXPRESS DALAM
PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN
KONSUMEN
A. Kedudukan Klausul Eksonerasi Menurut
Hukum Indonesia ............................................................... 55
B. Ketentuan Ganti Rugi Menurut Hukum Yang Berlaku
dan Ketentuan J&T Express Tentang Ganti Rugi
Terhadap Musnahnya Barang Konsumen ........................... 58
1. Ketentuan Ganti Rugi Menurut Hukum Yang
Berlaku ......................................................................... 58
2. Ketentuan Ganti Rugi J&T Express ............................. 60
C. Analisis Penulis ................................................................. 64
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................ 70
B. Saran .................................................................................. 71
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 73
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap orang diberi kelebihan untuk merasakan keadilan yang berasal
dari Tuhan YME dengan kemampuan dan kecakapan. Dan apapun yang ada di
dunia ini semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia.
Dengan demikian, hukum tidak hanya mencari keseimbangan antara berbagai
kepentingan yang bertentangan satu sama lain, akan tetapi juga untuk
mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut dengan
“Keadilan” dan “Kepastian Hukum”.1
Menurut pendapat R. Soekardono tentang pengertian pengangkutan
sebagai berikut
“Pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat
baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang,
karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan
meninggikan manfaat serta efisiensi”.2
Pada zaman yang semakin canggih seperti sekarang ini kita dapat
menggunakan jasa pengiriman barang tidak hanya di dalam negeri, bahkan
dari dan ke luar negeri juga sudah bisa. Pengiriman barang dengan proses
1 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 21.
2 R. Soekardono, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h. 5.
2
yang cepat, baik kebutuhan perorangan dalam mengirimkan dokumen
berharga dan barang ke tujuan dengan proses yang efisien dan efektif.
Meningkatnya kebutuhan akan jasa pengiriman, sekarang ini telah
banyak perusahaan jasa pengiriman barang yang sudah berkembang di
indonesia. Salah satu perusahaan jasa pengiriman barang milik swasta yang
saat ini sedang berkembang pesat adalah PT. Global Jet Express atau yang
dikenal dengan sebutan J&T Express. Tidak sedikit macam layanan yang
dimiliki perusahan ini tetapi ada berbagai macam layanan yang ditawarkan
oleh tentunya bertujuan untuk memberikan kemudahan bagi masyarakat atau
pengguna jasa dalam pengiriman barang.
Mengingat J&T Express bergerak di bidang jasa, maka faktor penting
yang patut diperhatikan adalah kepercayaan, di mana masyarakat
menggunakan jasa pengiriman karena mereka percaya bahwa barang yang
mereka kirim melalui J&T Express akan sampai dengan selamat ke tempat
tujuan. Hal tersebut berhubungan erat dengan tanggung jawab dalam
pemberian pelayanan jasa pengiriman barang yang baik.
Dalam melaksanakan kewajibannya untuk mengantarkan barang ke
tempat tujuan, perusahaan pengiriman barang melalui sejumlah kurirnya
berusaha memberikan pelayanan yang terbaik kepada para pengguna jasanya.
Ketika pengirim barang memberikan sejumlah uang untuk membayar biaya
ongkos kirim maka perusahaan harus melakukan kewajibannya yaitu
mengirimkan barang ke tempat tujuan.
3
Tidak selamanya dapat berjalan mulus karena kadang-kadang pihak
penerima tidak menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Ini
membuat konsumen pengguna jasa pengiriman barang tersebut merasa
dirugikan. Bentuk pelayanan yang merugikan itu adalah barang yang musnah
atau hilang. Jika terjadi hal seperti itu dalam pengiriman barang, maka pihak
perusahaan wajib bertanggung jawab kepada pengirim barang atau konsumen.
Transaksi menurut Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen menjelaskan bahwa pelaku usaha
dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen
dan/atau perjanjian yang menyatakan mengalihkan tanggung jawab,
kenyataannya pihak perusahaan perusahaan jasa pengiriman barang
memberikan jumlah ganti rugi sesuai dengan klausul baku yang terdapat pada
resi pengiriman yakni ganti rugi maksimal 10 kali biaya pengiriman jika
barang yang masuk dalam kategori bernilai tinggi, dan ganti kerugian
sejumlah harga barang yang dikirim jika harga barang tersebut di bawah 10
kali biaya pengiriman.
Klausul baku jumlah ganti rugi yang diberikan oleh perusahaan J&T
Express ternyata menerapkan ketentuan yang berpotensi bermuatan
eksonerasi. Klausul eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu
perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi
4
kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi
karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.3
Kemudian jika memang berklausul eksonerasi dan tetap diterapkan
oleh beberapa perusahaan lalu bagaimana keadilan antara konsumen atau
pengirim barang dengan perusahaan jasa pengiriman barang tersebut.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka peneliti bermaksud
untuk melakukan penelitian skripsi dengan judul “Klausul Eksonerasi Dalam
Transaksi Jasa Pengiriman Barang Perspektif Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Pencantuman
Klausul Eksonerasi Pada Resi Pengiriman J&T Express)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti mengidentifikasi masalah
yang ada sebagai berikut :
1. Kedudukan klausul eksonerasi menurut Hukum Indonesia
2. Ketentuan ganti rugi menurut Hukum yang berlaku dan ketentuan ganti
rugi yang diberikan J&T Express atas musnahnya barang yang dikirim
3. Ketentuan Hukum dan keadilan masyarakat terkait pelaksanaan klausul
eksonerasi pada perjanjian pengiriman barang
3 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, Cetakan Pertama, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2007), h. 39.
5
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dalam hal-hal yang telah dipaparkan oleh penulis didalam latar
belakang masalah, maka penulis hanya membahas mengenai kedudukan
klausul eksonerasi menurut Hukum Indonesia, ketentuan ganti rugi yang
diberikan J&T Express atas musnahnya barang yang dikirim dan menurut
Hukum yang berlaku, dan keadilan masyarakat serta ketentuan dalam
penerapan klausul eksonerasi pada perjanjian jasa pengiriman barang.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang timbul dalam
penelitian ini adalah :
a. Bagaimana kedudukan klausul eksonerasi menurut Hukum Indonesia ?
b. Bagaimana ketentuan ganti rugi menurut Hukum yang berlaku dan
bentuk ganti rugi yang diberikan J&T Express atas musnahnya barang
yang dikirim ?
c. Apakah ketentuan dalam penerapan klausul eksonerasi pada perjanjian
jasa pengiriman barang J&T Express telah memenuhi ketentuan Hukum
dan rasa keadilan masyarakat
6
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini
adalah :
a. Untuk mengetahui kedudukan klausul eksonerasi menurut Hukum
Indonesia
b. Untuk mengetahui ganti rugi menurut Hukum yang berlaku dan ganti
rugi yang diberikan J&T Express atas musnahnya barang yang
dikirim
c. Untuk mengetahui ketentuan Hukum dan rasa keadilan masyarakat
terkait pelaksanaan klausul eksonerasi pada perjanjian pengiriman
barang
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka manfaat penulisan ini
adalah :
a. Bagi Peneliti, untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam hal
kedudukan klausul eksonerasi menurut Hukum Indonesia, ganti rugi
musnahnya barang yang dikirim dan ketentuan Hukum serta rasa
keadilan masyarakat terkait klausul eksonerasi pada perjanjian
pengiriman barang
7
b. Bagi Akademisi, sebagai tambahan referensi guna mempermudah
bagi pihak yang berkepentingan yang ingin melakukan penelitian
dengan objek yang sama.
c. Bagi Pembaca, agar dapat memahami bagaimana kedudukan klausul
eksonerasi menurut Hukum Indonesia, bagaimana ketentuan ganti
rugi menurut Hukum yang berlaku dan ganti rugi yang diberikan
perusahaan jasa pengiriman barang atas musnahnya barang yang
dikirim dan apakah ketentuan dalam penerapan klausul eksonerasi
pada perjanjian jasa pengiriman barang J&T Express telah memenuhi
ketentuan Hukum dan rasa keadilan masyarakat.
4. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Dalam menjaga keaslian judul penulis ajukan dalam skripsi ini perlu
kiranya penulis melampirkan juga beberapa rujukan yang menjadi bahan
pertimbangan, antara lain :
a. Dalam skripsi yang ditulis oleh Andi Astari Rasyida, Mahasiswa
Universitas Hassanudin yang berjudul “ANALISIS HUKUM
TERHADAP KLAUSULA BAKU PADA KARTU STUDIO PASS
DI TRANS STUDIO MAKASSAR” dalam skripsi tersebut membahas
mengenai kedudukan dan keabsahan klausul baku dan aspek
perlindungan konsumen klausul baku yang terdapat pada kartu studio
pass di trans studio makassar yang jelas berbeda dengan skripsi
8
peneliti yang membahas mengenai keadilan terkait adanya
pencantuman klausul eksonerasi ganti rugi pada resi pengiriman
barang J&T Express
b. Dalam skripsi yang ditulis oleh Muhammad Syahreza, Mahasiswa
Universitas Sumatera Utara yang berjudul “PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP DEBITUR ATAS KLAUSULA
EKSONERASI YANG TERDAPAT PADA PERJANJIAN KREDIT
BANK” dalam skripsi tersebut membahas mengenai perlindungan
hukum debitur atas adanya klausul eksonerasi dalam perjanjian kredit
bank yang jelas berbeda dengan skripsi peneliti yang membahas
mengenai keadilan terkait adanya pencantuman klausul eksonerasi
ganti rugi pada resi pengiriman barang J&T Express
c. Buku Sutan Remy Sjahdeini “Kebebasan Berkontrak Dan
Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian
Kredit Bank Di Indonesia”. Buku ini membahas tentang kebebasan
berkontrak dalam perjanjian baku kredit bank di indonesia sedangkan
dalam skripsi peneliti membahas mengenai keadilan terkait adanya
pencantuman klausul eksonerasi ganti rugi pada resi pengiriman
barang J&T Express
d. Dalam jurnal yang ditulis oleh R.M. Panggabean yang berjudul
“KEABSAHAN PERJANJIAN DENGAN KLAUSULA BAKU”
Jurnal Hukum edisi khusus No.4 Vol.17 oktober jelas berbeda dengan
9
skripsi peneliti yang membahas mengenai keadilan terkait adanya
pencantuman klausul eksonerasi ganti rugi pada resi pengiriman
barang J&T Express
5. Metode Penelitian
Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data-data
yang diperlukan untuk menjawab persoalan yang dihadapi. Pada dasarnya
sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tidak lain adalah “pengetahuan” atau
lebih tepatnya “pengetahuan yang benar”, dimana pengetahuan yang benar ini
nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan
tertentu.4
Penelitian adalah kegiatan ilmiah, yang harus mempunyai metode,
sistematika, dan pemikiran yang mempelajari suatu gejala hukum. Dengan
jalan menganalisisnya, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.5
1. Jenis Penelitian
Pendekatan ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian
Kualitatif adalah penelitian yang menggunakan metode ilmiah untuk
4 Bambang sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,1997),
h. 27-28.
5 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986), h. 42.
10
mengungkapkan suatu fenomena dengan cara mendeskripsikan data dan
fakta melalui kata-kata secara menyeluruh terhadap subjek penelitian.6
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Normatif-Empiris
dimana melihat sisi implementasi ketentuan hukum normatif (Undang-
Undang) pada setiap peristiwa Hukum tertentu yang terjadi dalam suatu
masyarakat dan disertai dengan pengetahuan yang didasarkan atas
berbagai fakta yang diperoleh dari hasil penelitian dengan subjek yang
terkait dengan penelitian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam menyelesaikan penelitian ini,
dengan menggunakan cara penelitian kepustakaan (Library Research) dan
penelitian lapangan (Field Research), yaitu suatu metode pengumpulan
dengan cara membaca atau merangkai buku-buku peraturan perundang-
undangan dan sumber kepustakaan lainnya serta ditambah dengan data
wawancara yang berhubungan dengan objek penelitian.7
4. Pendekatan Masalah
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan konseptual
6 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Penerbit Rosdakarya), h. 15
7 Tim Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta, Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM), 2012
11
(Conseptual Approach), pedekatan kasus (Case Approach), adalah
menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang berkaitan dengan
perumusan masalah yang sedang diteliti. Adapun Undang-Undang yang
digunakan penulis yaitu: Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang, dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Serta menelaah kasus, observasi langsung dan wawancara yang
berkaitan dengan perumusan masalah yang sedang diteliti dengan
perusahaan J&T Express
5. Sumber Data
Berkaitan dengan data yang digunakan, bahan Hukum yang
digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan Hukum primer, sekunder,
dan tersier.
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan Hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat berupa perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata, dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.8
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan Hukum yang erat kaitannya
dengan bahan Hukum primer dan dapat membantu menganalisa,
memahami, dan menjelaskan bahan Hukum primer. Bahan Hukum
yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini adalah teori atau
8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.IV (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2010), h. 141.
12
pendapat sajana Hukum, hasil karya dari kalangan ahli Hukum,
skripsi, tesis, artikel ilmiah, jurnal, makalah, penelusuran internet, dan
sebagainya
c. Bahan Non-Hukum (tersier), yaitu bahan Hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan atau bahan hukum primer dan sekunder,
misalnya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia, dan
lain-lain
6. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis normatif kualitatif, Yaitu dengan menganalisis ketentuan
dalam perundang-undangan, buku-buku serta konsep-konsep yang
berkaitan dengan skripsi ini.
7. Metode Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan dengan metode kualitatif yakni
memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis
rujukan dalam setiap literatur dan bahan Hukum yang disebutkan di atas.
8. Metode Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman
Penelitian Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh
13
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2012.9
6. Sistematika Penulisan
Bab I : Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar
belakang masalah, pembatasan, dan rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, kerangka
konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II : Pada bab ini akan membahas tinjauan umum tentang
Perusahaan J&T Express
Bab III : Pada bab ini kan membahas tinjauan umum tentang Hukum
Perlindungan Konsumen
Bab IV : Pada bab ini akan membahas analisis hasil penelitian
mengenai klausul eksonerasi dalam transaksi bisnis
pengangkutan J&T Express perspektif undang-undang
perlindungan konsumen.
Bab V : Pada bab ini berisi kesimpulan dan saran-saran yang dapat
diberikan oleh peneliti
9 Tim Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta, Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM), 2012
14
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Hukum Perlindungan Konsumen
1. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Pengertian perlindungan konsumen menurut Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 atau yang biasa disebut Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK):
“Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada
konsumen”.
Asas perlindungan konsumen dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 yaitu:
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya
dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha
secara keseluruhan.
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
15
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti
materiil dan spiritual.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen
dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/jasa yang
dikonsumsi dan digunakan.
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Tujuan perlindungan konsumen telah diatur dalam Pasal 3 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri
2. Mengangkat harkat martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi
16
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.1
2. Hak dan Kewajiban
Penjelasan mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku
usaha sudah diatur masing-masing pada Undang-Undang Perlindungan
Konsumen sebagai berikut:
Hak Konsumen telah diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 yakni:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa
1 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra aditya bakti, 2013), h. 228 .
17
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa
yang digunakan
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,
apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan
perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban Konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1999 yakni:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati
18
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.2
Hak Pelaku Usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 yakni:
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang
beritikad tidak baik
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian
hukum sengketa konsumen
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan
5. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Kewajiban Pelaku Usaha pula sudah diatur dalam Pasal 7 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999:
1. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya
2 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra aditya bakti, 2013), h. 229.
19
2. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,
perbaikan dan pemeliharaan
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
4. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau
jasa yang berlaku
5. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan
6. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan
7. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.
3. Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ada beberapa perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha dalam
berbisnis yang tentunya telah diatur undang-undang perlindungan
20
konsumen dalam beberapa pasal. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 yang berisi sebagai berikut:
1) Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket
barang tersebut
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan,
gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam
label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa
tersebut
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
21
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang
memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat
pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut
ketentuan harus di pasang/dibuat
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan
barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau
bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar atas barang dimaksud.
3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan
yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar.
4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)
dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib
menariknya dari peredaran.
Kemudian Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang
berisi:
22
1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan
suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,
harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu,
karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru
c. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu,
ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
d. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang
mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu
h. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau
jasa lain
j. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak
berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
23
2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
untuk diperdagangkan.
3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang
melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa
tersebut.
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang berisi:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau
menyesatkan mengenai:
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa
b. Kegunaan suatu barang dan/atau jasa
c. Kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa
d. Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan
e. Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang berisi:
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara
obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan :
a. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu
24
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak
mengandung cacat tersembunyi
c. Tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untuk menjual barang lain
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang
cukup dengan maksud menjual barang yang lain
e. Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah
cukup dengan maksud menjual jasa yang lain
f. Menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan
obral.
Pasal selanjutnya yakni Pasal 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 yang berisi:
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus
dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak
bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang
ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang berisi:
1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan
pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma
25
dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau
mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan,
dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian
hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang berisi:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara
undian, dilarang untuk :
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan
b. Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa
c. Memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan
d. Mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang berisi:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang
melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.8 Tahun
1999 yang berisi:
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui
pesanan dilarang untuk:
26
a. Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian
sesuai dengan yang dijanjikan
b. Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Kemudian yang terakhir Pasal 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 yang berisi:
1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan
dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu
penerimaan barang dan/atau jasa
b. Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa
c. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai
barang dan/atau jasa
d. Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau
jasa
e. Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang
berwenang atau persetujuan yang bersangkutan
f. Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.
2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang
telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
27
4. Ketentuan Pencantuman Klausul Baku
Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen telah menerangkan mengenai ketentuan
pencantuman klausul baku sebagai berikut ini:
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh
konsumen secara angsuran
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa
28
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dilakukan sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya
2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini
Menyatakan bahwa konsumen memberikan kuasa kepada pelaku
usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.3
B. Hukum Pengangkutan
1. Pengertian Hukum Pengangkutan
Menurut arti kata, angkut berarti mengangkut dan membawa,
memuat atau mengirimkan.4 Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik
3 Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia,2010), h. 78-79.
29
antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri
untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari suatu
tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim
mengikatkan diri untuk membayar angkutan.5
Menurut pendapat R. Soekardono tentang pengertian pengangkutan
sebagai berikut:
Pengangkutan pada intinya berisikan perpindahan tempat
baik mengenai benda maupun mengenai orang, karena
perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan
meninggikan manfaat serta efisiensi. Adapun proses dari
pengangkutan itu merupakan gerakan dari tempat asal dari
mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana
angkutan itu diakhiri.6
Pengangkutan Menurut pendapat Subekti:
“Pengangkutan adalah suatu penjanjian dimana satu pihak
menyanggupi untuk dengan aman membawa orang atau
barang dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan pihak lain
menyanggupi akan membayar ongkosnya”.7
Sedangkan Abdulkadir Muhammad mengatakan bahwa:
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 45.
5 Zainal Asikin, Hukum Dagang, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 153.
6 Soekardono R, Hukum Dagang Indonesia, (Jakarta: CV Rajawali, 1981), h. 5.
7 R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT Internasional, 1985), h. 1.
30
“Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau
penumpang kedalam pengangkutan, membawa barang atau
penumpang dari tempat pemuatan ke tempat tujuan dan
menurunkan barang atau penumpang dari alat pengangkutan
ke tempat yang ditentukan”.8
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsur-
unsur pengangkutan sebagai berikut:
1. Ada sesuatu yang diangkut
2. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan
3. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut
2. Jenis-Jenis Hukum Pengangkutan
Istilah menyelenggarakan pengangkutan berarti pengangkutan itu
dapat dilakukan sendiri oleh pengangkut atau dilakukan oleh orang lain
atas perintahnya. Pembagian jenis-jenis pengangkutan pada umunya
didasarkan pada jenis alat angkut yang dipergunakan dan keadaan
geografis yang menjadi wilayah tempat berlangsungnya kegiatan
pengangkutan.
Menurut H.M.N Purwosutjipto dalam bukunya Pengertian Pokok
Hukum Dagang Indonesia, jenis-jenis pengangkutan terdiri dari
8 Abdulkadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,(Jakarta: Cipta
Aditya Bahkti,1991), h.19.
31
pengangkutan darat, pengangkutan laut, pengangkutan udara, dan
pengangkutan perairan darat.9 Secara umum, pengangkutan terbagi atas 3
(tiga jenis), yakni:10
a. Pengangkutan Darat
Pengangkutan darat adalah pemindahan orang dan atau barang
dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan. Jenis-
jenis alat pengangkutan darat, antara lain dengan kendaraan bermotor di
atas jalan raya dan dengan kendaraan kereta api dan listrik di atas rel.
Adapun dalam pengangkutan darat ini diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 Tentang Perkeretaapian.11
b. Pengangkutan Laut
Pengangkutan laut tidak dijumpai pengertiannya di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Ruang lingkup angkutan
laut jauh berbeda dari ruang lingkup angkutan darat. Ruang lingkup
angkutan laut meluas melampaui batas negara.
Menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
Tentang Pelayaran menyebutkan bahwa:
9 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid III, (Jakarta:
Djambatan, 1984), h. 2-3.
10 Hasnil Basri, Hukum Pengangkutan, (Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas Hukum
USU, 2002), h. 22-27.
11 Zainal Asikin, Hukum Dagang, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2014), h. 155.
32
“Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut
dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang
dengan menggunakan kapal”
Pengangkutan laut diatur dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2008 tentang pelayaran.
c. Pengangkutan Udara
Menurut Pasal 1 butir 13 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penerbangan menjelaskan bahwa:
“Angkutan Udara adalah setiap kegiatan dengan
menggunakan pesawat terbang untuk mengangkut
penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan
atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain
atau beberapa bandar udara”
Ada dua objek pengangkutan yaitu:
1. Pengangkutan barang adalah perjanjian antara pengangkut dan
pengirim untuk mengangkut atau barang milik pengirim ke
tempat tujuan dengan selamat, dengan membayar biaya
pengangkut.
2. Pengangkutan orang atau penumpang adalah suatu perjanjian
yang dilakukan antara pengangkut dengan penumpang (orang)
untuk membawa penumpang ke tempat tujuannya dengan
selamat, dengan membayar biaya pengangkutan.12
12 Zainal Asikin, Hukum Dagang, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), h. 169.
33
3. Hak Dan Tanggung Jawab Pelaku Usaha Di Bidang Jasa
Pengangkutan
Hak Pelaku Usaha di bidang jasa pengangkutan atau yang disebut
Pegangkut adalah sebagai berikut:13
1. Pihak pengangkut berhak menerima biaya pengangkutan.
2. Pemberitahuan dari pengirim mengenai sifat, macam dan harga barang
yang akan diangkut, yang disebutkan dalam Pasal 469, 470 ayat (2), 479
ayat (1) KUHD.
3. Penyerahan surat-surat yang diperlukan dalam rangka mengangkut
barang yang diserahkan oleh pengirim kepada pengangkut berdasarkan
Pasal 478 ayat (1) KUHD.
Apabila pihak pelaku usaha di bidang jasa pengangkutan tidak
melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya, maka pihak pengangkut
harus bertanggung jawab. Artinya pihak pengangkut harus memikul semua
akibat yang timbul dari perbuatan penyelenggaraan pengangkutan baik
karena kesengajaan ataupun kelalaian pihak pengangkut.
Bentuk nyata dari tanggung jawab pengangkut yaitu dengan
memberikan ganti rugi atas biaya dan kerugian yang diderita pihak
pengirim. Namun hal tersebut tidak berlaku mutlak. Ada beberapa batasan-
batasan dalam pemberian ganti rugi tersebut, antara lain:
13 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3, (Jakarta:
Djambatan,1981), h. 22.
34
1. Kerugian itu merupakan kerugian yang dapat diperkirakan secara layak
pada saat timbulnya kerugian.
2. Kerugian itu harus merupakan akibat yang langsung dari tidak
terlaksananya perbuatan dari perjanjian pengangkutan.
Dalam perjanjian pengangkutan juga terdapat hal-hal yang bukan
menjadi tanggung jawab pihak pengangkut. Artinya, apabila timbul
kerugian, maka pihak pengangkut bebas dari pembayaran ganti rugi.
Beberapa hal yang tidak menjadi tanggung jawab pengangkut adalah:
1. Keadaan memaksa (Overmach)
2. Cacat pada barang atau penumpang sendiri
3. Kesalahan atau kelalaian pengiriman atau ekspeditur
4. Keterlambatan barang ditempat tujuan, yang disebabkan karena keadaan
memaksa; dalam hal ini barang tidak musnah atau rusak.14
C. Hukum Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Secara umum pengertian perjanjian dalam pasal 1313 KUHPerdata
adalah suatu perbuatan secara tertulis atau lisan yang dibuat dua pihak atau
14 H.M.N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3, (Jakarta:
Djambatan,1981), h. 35.
35
lebih dimana masing-masing berjanji untuk mentaati apa yang tersebut
dalam kesepakatan bersama.15
Adapula pengertian perjanjian menurut R. Subekti ialah:
“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”.16
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya suatu perjanjian terdapat dalam pasal 1320
KUHPerdata, yaitu:
1. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Maksud dari kata sepakat adalah kedua belah pihak setuju
mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian
2. Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
Cakap melakukan perbuatan hukum adalah setiap orang yang
sudah dewasa dan sehat pikirannya. Ketentuan sudah dewasa menurut
KUHPerdata yakni, dewasa adalah 21 tahun bagi laki-laki dan 19 tahun
bagi wanita.
15 R. Soetojo Prawiro Hamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan, (Surabaya: Bina
Ilmu,1978), h. 84.
16 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermedia,1990), h. 13.
36
3. Adanya suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi
(pokok perjanjian). Artinya apa yang diperjanjikan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban kedua belah pihak. Prestasi ini terdiri dari
perbuatan positif dan negatif, yang terdiri dari:
a. memberikan sesuatu
b. berbuat sesuatu, dan
c. tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata).
4. Adanya sebab yang halal
Sebab yang dimaksud adalah isi dari perjanjian tersebut atau
tujuan dari para pihak mengadakan sebuah perjanjian, yaitu memiliki
dasar yang sah dan patut atau pantas. Halal adalah tidak bertentangan
dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Terpenuhinya
atau tidaknya syarat sebab yang halal, ditentukan oleh isi atau objek
perjanjian.17
Dua syarat yang pertama dan kedua dinamakan syarat-syarat
subjektif dari suatu perjanjian, karena kedua syarat tersebut mengenai
orang-orangnya atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat objektif, karena mengenai
objek dari perjanjian. Apabila kedua syarat ini tidak terpenuhi maka suatu
17 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas,Pokok-Pokok Hukum Bisnis, (Jakarta: Salemba
Empat, 2014), h. 26.
37
perjanjian akan batal demi hukum, artinya suatu perjanjian yang dibuat
dianggap tidak pernah ada.18
3. Asas-Asas Perjanjian
Asas hukum merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau
merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat dalam
dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan
perundangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat
diketemukan dengan mencari sifat-sifat hukum dan peraturan yang konkrit
tersebut.19
Dalam hukum perjanjian terdapat empat asas perjanjian, yakni:
1. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan
kebebasan bagi para pihak untuk membuat atau tidak membuat
perjanjian dan pelaksanaan serta persyaratan dalam menentukan bentuk
perjanjian yang tertulis dan lisan.20
Asas kebebasan berkontrak adalah
suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian,
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun,
18 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung: Alumni, 1994), h. 23-24.
19 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), (Bandung: Alumni, 1994), h.
33.
20 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontak Innominaat Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Sinar Grafika, 2004), h. 9.
38
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya, dan
d. Menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau
e. lisan.21
Asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
2. Asas Konsensualisme
Arti asas konsensualisme ialah bahwa perjanjian itu terjadi (lahir)
setelah tercapainya kesepakatan di antara para pihak. Hal ini sesuai dalam
ketentuan pasal 1320 (1) KUHPerdata. Di dalam asas ini terkandung
kehendak para pihak untuk slaing mengikatkan diri dan menimbulkan
kepercayaan di antara para pihak terhadap pemenuhan perjanjian
Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 ayat
(1) KUHPerdata –kesepakatan- di mana menurut asas ini perjanjian itu
telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat.22
3. Asas Daya Mengikat Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat perjanjian, terikat untuk memenuhi
perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang
21 Salim H.S, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003), h. 9.
39
harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Dalam rumusan Pasal 1338 (1) KUHPerdata
menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa undang-undang melihat
posisi para pihak dalam kontrak sejajar dengan pembuat undang-undang
dan undang-undang sendiri mengakuinya.23
4. Asas Itikad Baik
Ketentuan tentang asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 (3)
KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Pengertian dari Pasal 1338 (3) KUHPerdata ini maksudnya
perjanjian harus dilaksanakan menurut kejujuran, kepatutan, dan
keadilan.24
4. Ganti Rugi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari ganti rugi adalah
menukar atau memberi ganti dan menanggung sesuatu yang dia anggap
mendatangkan rugi. Dalam Undang-Undang menyebut rugi, yakni
23 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 127. 24 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
(Jakarta: Kencana, 2010), h. 135.
40
merupakan kerugian yang nyata yang dapat diduga tak diperkirakan pada
saat perikatan atau diadakan, yang timbul sebagai akibat ingkar janji.
Menurut Salim H.S, sebab timbulnya ganti rugi, yaitu: ganti rugi
karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena
wanprestasi diatur dalam Buku III KUHPerdata, yang dimulai dari Pasal
1244 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1252 KUHPerdata.
Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk
ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan
kesalahan kepada pihak yang dirugikan, dan ganti rugi karena wanprestasi
adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebakan kepada debitur yang tidak
memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditur dan debitur.
Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan bahwa penggantian biaya,
rugi, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai
diwajibkan apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi
perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan
atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu
yang telah dilampaukannya.25
25 Endang Purwaningsih, Hukum Bisnis, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), h. 69-70.
41
5. Perjanjian Pengangkutan
Perjanjian pengangkutan adalah sebuah persetujuan dimana pihak
pengangkut yang mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan
penumpang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat tujuan tertentu
dengan selamat dan penumpang atau pemilik barang mengikatkan diri
untuk membayar biaya pengangkutan.26
Perjanjian pengangkutan pada umumnya bersifat lisan (tidak
tertulis), tetapi selalu didukung oleh dokumen pengangkut. Dokumen
pengangkutan berfungsi sebagai bukti sudah terjadi perjanjian
pengangkutan dan wajib dilaksanakan oleh para pihak yang mengadakan
perjanjian. Dokumen pengangkutan barang lazim disebut surat muatan,
sedangkan dokumen pengangkutan penumpang disebut karcis
pengangkutan.
Perjanjian pengangkutan juga dapat dibuat tertulis yang disebut
perjanjian carter (Charter Party), seperti carter pesawat udara untuk
mengangkut jemaah haji dan carter kapal untuk mengangkut barang
dagangan. Ada beberapa alasan yang menyebabkan para pihak
menginginkan perjanjian pengangkutan dilakukan secara tertulis, yaitu:27
26 Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, (Bandung: Penerbit ITB,
1990), h. 46.
27 Suwardjoko Warpani, Merencanakan Sistem Pengangkutan, (Bandung: Penerbit ITB,
1990), h. 3.
42
a. Kedua belah pihak ingin memperoleh kepastian mengenai hak dan
kewajiban masing-masing.
b. Kejelasan rincian mengenai objek, tujuan, dan beban risiko para pihak.
c. Kepastian dan kejelasan cara pembayaran dan penyerahan barang.
d. Menghindari berbagai macam tafsiran arti kata dan isi perjanjian,
e. Kepastian mengenai waktu, tempat dan alasan apa perjanjian berakhir.
f. Menghindari konflik pelaksanaan perjanjian akibat ketidakjelasan
maksud yang dikehendaki para pihak.
D. Klausul Baku dan Klausul Eksonerasi
1. Pengertian Klausul Baku
Klausul Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat
yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian
yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Pengertian perjanjian baku menurut Sutan Remy Sjahdeini
ialah “Perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya
sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada
dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan”.28
28 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia”, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
h. 66.
43
Sesuai penjelasan mengenai pengertian di atas yang belum
dibakukan hanyalah beberapa hal saja misalnya, yang menyangkut jenis,
harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang
spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan
bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya. 29
2. Keabsahan Klausul Baku
Mengenai keabsahan berlakunya perjanjian baku atau perjanjian
standar yang menjadi masalah hukum, para sarjana hukum terbelah
pendiriannya. Beberapa pendapat sarjana hukum Belanda berpendapat
sebagai berikut:30
Sluijter mengemukakan tentang keabsahan perjanjian baku
“Perjanjian baku bukan perjanjian, sebab kedudukan
pengusaha itu (yang berhadapan dengan konsumen) adalah
seperti pembentukan undang-undang swasta (legio
particuliere wetgever)”.
Sedangkan Pitlo menyatakan bahwa Perjanjian baku sebagai
perjanjian paksa. Dalam barisan sarjana hukum yang mendukung
perjanjian baku diantaranya ada Stein dan Asser-Rutten. Stein berpendapat:
29 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia”, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
h. 66.
30 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangan di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1981), h. 105 dan 106.
44
Perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan
fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van wil en
vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para
pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Bila debitur
menerima dokumen perjanjian tersebut, berarti ia secara
sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.
Sedangkan Asser-Rutten mengatakan:
Setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung
jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya. Jika ada orang
yang membubuhkan tanda tan formulir perjanjian baku, tanda
tangan itu membangkitkan kepercayaan bahwa yang
bertandatangan mengetahui dan menghendaki isi formulir yang
ditandatangani. Tidak mungkin seseorang menandatangani apa
yang tidak diketahui isinya.
Perdebatan di kalangan sarjana hukum Belanda mengenai
keabsahan berlakunya perjanjian atau syarat-syarat baku tertentu akan
sampai kepada dimuatnya pasal khusus mengenai syarat-syarat baku dari
suatu perjanjian dalam Nieuw Nederlands Burgerlijk Wetboek mulai
berlaku pada tanggal 1 Januari 1992. Pasal khusus tersebut terdapat pada
Pasal 214 (6.5.1.2) Boek 6 (Algemeen gedeelte vann het
verbintenissenrecht), Titel 5 (Overeenkomsten in het algemeen).31
Keabsahan Perjanjian baku menurut Sutan Remy Sjahdeini bahwa:
31 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia”, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
h. 69.
45
Keabsahan perjanjian baku tidak perlu lagi dipersoalkan oleh
karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan
kenyataan yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku
secara meluas dalam dunia bisnis sejak lebih dari 80 tahun
lamanya.
Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir
dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak dapat
berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku
dibutuhkan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat.
Namun sekalipun kebsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu
dipermasalahkan, tetapi sebenarnya yang masih perlu di permasalahkan
adalah apakah perjanjian itu tidak bersifat sangat “berat sebelah” dan tidak
mengandung “klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi
pihak lainnya”, sehingga perjanjian tersebut menjadi sebuah perjanjian
yang menindas dan tidak adil.
Yang dimaksud Sutan Remy Sjahdeini dengan “berat sebelah”
adalah bahwa perjanjian itu hanya atau terutama mencantunkan hak-hak
salah satu pihak saja (yaitu pihak yang mempersiapkan perjanjian baku
tersebut) tanpa mencantumkan apa yang menjadi kewajiban-kewajiban
pihaknya dan sebaliknya hanya atau terutama menyebutkan kewajiban-
kewajiban pihak lainnya sedangkan apa yang menjadikan hak-hak pihak
lainnya itu tidak disebutkan.Tidak jarang kita jumpai perjanjian (baku)
yang demikian ini.
46
Jadi menurut Sutan Remy Sjahdeini, keabsahan berlakunya
perjanjian baku itu tidak perlu dipersoalkan tetapi perlu diatur aturan-
aturan dasarnya sebagai aturan-aturan mainnya agar klausul-klausul atau
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian baku itu, baik sebagian maupun
seluruhnya, mengikat pihak lainnya.32
3. Pengertian Klausul Eksonerasi
Menyangkut masalah klausul yang secara tidak wajar dianggap
memberatkan konsumen saat ini sudah banyak negara yang memiliki
ketentuan undang-undang secara khusus yang mengatur mengenai klausul
yang memberatkan tersebut. Banyak munculnya klausul yang dianggap
memberatkan di antara klausul-klausul yang terdapat pada perjanjian baku
adalah yang disebut klausul eksemsi.33
Mariam Darus Badrulzaman menggunakan istilah klausula
eksonerasi untuk istilah klausul eksemsi, yang beliau gunakan sebagai
terjemahan dari istilah exoneratie clausule yang dipakai dalam bahasa
belanda.34
32 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia”, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
h. 70 -71.
33 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), h. 72.
34 Mariam Darus Badzulzaman, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangannya Di Indonesia,
(Bandung: Alumni, 1981), h. 109.
47
Sutan Remy Sjahdeini lebih memilih menggunakan istilah klausul
eksemsi sebagai terjemahan dari exemption clause yang dipakai di dalam
pustaka-pustaka hukum inggris atau klausul ekskulpatori sebagai
terjemahan dari exculpatory clause yang dipakai dalam pustaka-pustaka
hukum Amerika Serikat, daripada istilah Belanda dengan mneerjemahkan
exoneratie clausule menjadi klausul eksonerasi.
Pengambilalihan istilah yang dipakai dalam bahasa inggris ini
sejalan dengan Pedoman Umum Pembentukan Istilah sebagaimana
menurut keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia No. 0389/U/1988, pada tanggal 11 Agustus 1988. Menurut
pedoman tersebut bahwa demi keseragaman, sumber rujukan yang
diutamakan ialah istilah Inggris yang pemakaiannya sudah internasional,
yaitu yang dianggap dilazimkan oleh para ahli dalma bidangnya.35
Definisi klausul eksemsi menurut Sutan Remy Sjahdeini adalah:
“Klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi
tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak
lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan
semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di
dalam perjanjian tersebut”
Berbeda dengan klausul force majeure yang merupakan klausul
yang membebaskan debitur untuk bertanggung jawab atas kewajiban yang
35 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), h. 73.
48
ditentukan baginya tetapi tidak dipenuhi oleh debitur tersebut. Klausul
force majeure ini tidak dapat dikatakan sebagi klausul eksonerasi karena
pembebasan tanggung jawab debitur yang demikian itu memang
dibenarkan undang-undang.
Sekalipun klausul force majeure tidak dicantumkan di dalam
perjanjian, namun debitur yang bersangkutan tetap dibebaskan dari
tanggung jawab atas tidak dipenuhinya kewajiban debitur tersebut karena
ketentuan undang-undang memang menentukan demikian.36
4. Jenis-Jenis Klausul Eksonerasi
Klausul eksonerasi atau klausul eksemsi ini dapat muncul dalam
berbagai jenis, seperti:
1. Pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh
pihanya apabila terjadi ingkar janji (wanprestasi)
2. Berbentuk pembatasan jumlah ganti rugi yang dapat dituntut
3. Berbetuk pembatasan waktu bagi orang yang dirugikan untuk dapat
mengajukan gugatan atau ganti rugi
36 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), h.
75-76.
49
Dalam hal yang terakhir ini mengenai batas waktu sering kali lebih
pendek dari batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang bagi
seseorang yang dapat mengajukan gugatan atau ganti rugi.37
5. Akibat Hukum Praktek Klausul Eksonerasi
Akibat hukum praktek klausul eksonerasi diatur dalam Pasal 18
ayat (3) maka klausul tersebut batal demi hukum dan dan diatur dalam
Pasal 62 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yakni pelaku usaha
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Dan dapat
dijatuhkan hukuman tambahan berupa:
a. Pembayaran ganti rugi
b. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya
kerugian konsumen
c. Pencabutan izin usaha.
37 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia”, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993),
h. 76.
50
BAB III
TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN J&T EXPRESS
A. Profil J&T Express
J&T adalah perusahaan express yang berbasis perkembangan sistem
Information Technology atau yang biasa disebut IT. J&T menggabungkan
pasar express antarkota, domestic, internasional dan bisnis e-komersial.
Pendiri J&T Express adalah Mantan CEO OPPO Indonesia, Mr. Jet Lee
beserta Pendiri OPPO Internasional Mr. Tony Chen. J&T menggunakan
sistem IT yang termutakhir untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas
pelayanan kepada pelanggan.
J&T menyediakan layanan penjemputan paket ditempat dan
pengiriman yang cepat kepada pelanggan, pada saat yang sama juga
mendukung perkembangan bisnis e-komersial. Pada awalnya J&T berfokus ke
pasar express Indonesia dan tentunya perlahan memperluas sampai negera
asia tenggara. J&T menggunakan “Easy Life” sebagai slogan perusahaan.
Nilai inti J&T adalah: integritas, berbagi, layanan dan tanggung jawab.
Dengan mengejar kesempurnaan J&T menciptakan perusahaan express
berbasis teknologi internet yang menonjol di Asia Tenggara.1
1 Data hasil wawancara dengan Bapak Fendy manager J&T Express Jepara, 13 Juni 2017.
51
B. Sejarah J&T Express
Awal didirikannya perusahaan J&T Express pada tanggal 20 Agustus
2015 di Jakarta. Tepat pada hari itu PT Global Jet Express meresmikan kantor
pusatnya di Pluit, Jakarta Utara. Diresmikan oleh Jet Lee selaku CEO J&T
Express menandakan dimulainya jam kerja tim J&T Express di Indonesia.
Turut dihadiri oleh segenap Direksi dan staff, kantor pusat di dominasi dengan
dekorasi warna merah dan putih sesuai warna korporat
Kemeriahan berlanjut diperayaan grand opening yang berlangsung di
Nang Xiang resto di Hotel Sultan Jakarta. Acara tersebut dihadiri oleh
Direksi, Staff, Regional Manager, serta beberapa tamu kehormatan dari
partner J&T Express. Untuk pertama kalinya J&T Dance yang merupakan
simbol semangat dan kebersamaan internal untuk selalu bersemangat dan
menjunjung tinggi rasa solidaritas antar sesama keluarga J&T Express
ditampilkan.
Hadir sebagai perusahaan baru di Indonesia, J&T Express siap
melayani indonesia untuk mendapatkan pelayanan kiriman paket yang cepat,
nyaman, dan terpercaya. Meskipun merupakan pemain baru di bidang
pengiriman barang. J&T Express optimis dapat menjadi perusahaan
pengiriman barang yang menjadi pilihan pertama masyarakat Indonesia
dengan mengandalkan inovasi teknologi pada sistem pengiriman, pelayanan
52
yang mengutamakan tanggung jawab sebagai komitmen, serta harga yang
terjangkau tentunya dengan kualitas premium.2
C. Visi Misi J&T Express
Visi Perusahaan J&T Express: Membangun sebuah perusahaan express
yang berbasis pengembangan teknologi internet dengan jangkauan sampai ke
Asia Tenggara. Kami menjunjung tinggi budaya perusahaan dengan melalui 4
(empat) nilai inti yaitu: integritas, pelayanan, kebersamaan, dan tanggung
jawab.
Misi Perusahaan J&T Express: J&T menggunakan IT sistem terkini
untuk mengembangkan efisiensi dan kualitas service terbaik kepada
pelanggan. Kami menyediakan jasa jemput barang dan kecepatan dalam
mengantar barang pelangga dalam waktu yang bersamaan. Kami juga
mendukung perkembangan bisnis e-commerce.3
D. Produk J&T Express
Produk yang disediakan J&T Express untuk jasa pengiriman barang
hanya ada satu macam produk saja, yang mana tidak ada harga yang lebih
murah atau lebih mahal untuk estimasi waktu pengiriman barang.
2 Diakses pada Jumat. 4 Agustus 2017 dari http://jet.co.id/news/show/peresmian-j&t-express
Pukul 20.50
3 Data hasil wawancara dengan Bapak Fendy manager J&T Express Jepara, 13 Juni 2017.
53
E. Klausul Eksonerasi Dalam Transaksi Pengiriman Barang J&T Express
Transaksi pengiriman barang dilakukan ketika konsumen sebagai
pengirim ingin mengirimkan barangnya ke tempat yang dituju dengan
menggunakan jasa pengiriman barang dalam hal ini J&T Express. Kemudian
konsumen ditanyakan mengenai tujuan pengiriman, jenis barang dan
terkadang konsumen ditawarkan dan/atau tidak ditawarkan untuk
mengasuransikan barang yang dikirim. Maksudnya J&T Express tidak
mewajibkan konsumennya untuk mengasuransikan barang yang akan dikirim.
J&T Express akan mengukur berat atau dimensi barang tersebut
kemudian konsumen membayar sejumlah uang sebagai ongkos kirim. Struk
atau resi kemudian diberikan oleh J&T Express kepada pengirim sebagai
bukti pengiriman sekaligus pernyataan bahwa konsumen telah menyetujui
Standard Operasional Prosedure (SOP) pengiriman barang J&T Express.
Dalam proses pengiriman barang J&T Express terkadang terjadi kerusakan
atau musnahnya barang yang dikirim ini berarti konsumen merasa dirugikan
dan menuntut ganti rugi. Bentuk ganti rugi J&T Express telah dimuat dalam
klausul baku yang terdapat pada resi pengiriman J&T Express pada Poin 8
yang menjelaskan:
Apabila terjadi kerusakan atau kehilangan yang dikarenakan
oleh kelalaian dari J&T Express, pengirim berhak untuk
mengajukan klaim. Untuk barang yang tidak diasuransikan,
biaya penggantian maksimal 10x lipat dari ongkos kirim.
Penggantian untuk barang yang diasuransikan akan dilakukan
54
berdasarkan harga barang yang diasuransikan. Apabila
barang rusak sebagian, maka penggantian akan disesuaikan
dengan kehilangan yang terjadi.
Klausul tersebut berpotensi bermuatan eksonerasi apabila barang yang
dikirim adalah barang mahal atau barang yang bernilai ekonomi tinggi karena
J&T Express ingin lepas tanggung jawab dan dianggap tidak adil dalam
pemberian ganti rugi J&T Express yang tidak selaras dengan ketentuan ganti
rugi menurut Hukum yang berlaku. Dalam ketentuan klausul baku J&T
Express juga tidak selaras dengan ketentuan pencantuman klausul baku
menurut Undang-Undang.
55
BAB IV
ANALISIS KLAUSUL EKSONERASI DALAM TRANSAKSI JASA
PENGANGKUTAN J&T EXPRESS PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Kedudukan Klausul Eksonerasi Menurut Hukum Indonesia
Pada umumnya perjanjian dibuat melalui proses negosiasi antara para
pihak pembuat perjanjian. Namun sekarang ini kecenderungan makin terlihat
dari banyaknya perjanjian di dalam transaksi bisnis yang terjadi tanpa melalui
proses negosisasi. Melainkan dengan cara dimana salah satu pihak telah
menyiapkan perjanjian dengan berbagai syarat-syarat yang kemudian
disodorkan ke pihak lainnya untuk disetujui. Perjanjian ini dikenal dengan
nama Standart Contract atau Perjanjian Baku.
Dalam perjanjian baku sering munculnya klausul-klausul yang
memberatkan yang kemudian menjadi permasalahan, maka Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memberikan aturan mengenai ketentuan pecantuman
klausul baku yang terdapat pada Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 sebagai berikut:
1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha
56
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan
kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan
e. segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli
oleh konsumen secara angsuran
f. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang
atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen
g. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek
jual beli jasa
h. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan
yang dilakukan sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya
2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti.
57
3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan
dengan Undang-undang ini
Klausul eksonerasi merupakan klausul yang secara tidak wajar
dianggap memberatkan. Pada saat ini pula indonesia belum mengatur secara
khusus mengenai klausul yang memberatkan atau klausul eksonerasi tersebut.
Walaupun tidak diatur secara jelas mengenai klausul eksonerasi dalam hukum
indonesia, tetapi jika melihat rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 terlihat rumusan didominasi oleh pelarangan klausul
eksonerasi walaupun undang-undang tidak menyebutkan dengan jelas istilah
eksonerasi di dalamnya.
Hal tersebut dapat dilihat dari uraian poin-poin yang terdapat pada ayat
(1) Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 jika dikaitkan dengan
pengertian klausul eksonerasi yakni klausul yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap
gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan
58
semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian
tersebut.1
Salah satu contoh kasus yang peneliti temukan terkait penerapan
klausul eksonerasi terdapat pada klausul ganti rugi perusahaan J&T Express
yang mana merupakan perusahaan jasa pengiriman barang yag sedang pesat di
Indonesia.
B. Ketentuan Ganti Rugi Menurut Hukum Yang Berlaku Dan Ketentuan
Ganti Rugi J&T Express Terhadap Musnahnya Barang Konsumen
1. Ketentuan Ganti Rugi Menurut Hukum Yang Berlaku
Berdasarkan ketentuan ganti rugi menurut hukum yang berlaku di
Indonesia dijelaskan dalam Pasal 1236 KUHPerdata yang berbunyi:
“Debitur wajib memberi ganti rugi, kerugian, dan bunga
kepada kreditur bila ia menjadikan dirinya tidak mampu
untuk menyerahkan barang itu atau tidak merawatnya
dengan sebaik-baiknya untuk menyelamatkannya”.
Kemudian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 19 ayat (1) dan (2) menyatakan :
1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas
kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat
1 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), h.
75.
59
mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan
2) Ganti rugi yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara
nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan
yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) juga mengantur
pada Pasal 472 yang menyatakan:
Ganti rugi yang harus dibayar oleh pengangkut karena
tidak menyerahkan seluruhnya atau sebagian dari barang-
barang, dihitung menurut nilai barang yang macam dan
sifatnya sama di tempat tujuan, pada waktu barang itu
seharusnya diserahkan, dikurangi dengan apa yang
dihemat untuk bea, biaya dan biaya angkutan kareana
tidak adanya penyerahan.
Bila muatan selebihnya dengan ketentuan tujuan yang
sama, sebagai akibat sebab untuk hal mana pengangkutan
tidak bertanggung jawab, tidak mencapai tujuannya,
maka ganti ruginya dihitung menurut nilai barang yang
macam dan sifatnya sama di tempat dan pada waktu
barang itu didatangkan.
60
2. Ketentuan Ganti Rugi Oleh J&T Express
Dalam proses pengiriman barang yang dilakukan oleh perusahaan
J&T Express sebagai perusahaan jasa pengiriman barang kadang kala
terjadi kerusakan atau musnahnya barang yang dikirim, sebagai akibat
tersebut timbullah kerugian yang dialami oleh konsumen. Dari peristiwa
tersebut tentunya J&T Express memiliki ketentuan ganti rugi terkait
musnahnya barang yang dikirim.
Bapak Fendy Manager J&T Express menjelaskan mengenai
ketentuan ganti rugi perusahaan J&T Express sebagai berikut: bahwa
Perusahaan J&T hanya akan mengganti kerugian barang yang tidak
diasuransikan maksimal 10 kali ongkos kirim selebihnya perusahaan akan
menolak karena customer tidak mengasuransikan barang tersebut. Dan
untuk barang yang diasuransikan perusahaan akan mengganti kerugian
maksimal 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
Bapak Fendy mengatakan untuk mengembalikan kepercayaan
konsumen selain ketentuan perusahaan J&T ada kebijakan dari pihak
kantor cabang dan agen terkait penggantian biaya kerugian yang dialami
konsumen yang mengirimkan barangnya tidak menggunakan asuransi
yakni dengan negosiasi terlebih dahulu kemudian untuk barang yang
bernilai 3 (tiga) juta keatas akan tetap diberikan ganti rugi beberapa
61
persennya saja, dan untuk harga barang yang bernilai ratusan ribu kantor
atau Drop Point tersebut yang nanti akan mengganti penuh.2
Berlandaskan pada teori kepastian hukum (Legal Certainty) dan
teori keadilan, menurut Utrecht: hukum bertugas menjamin adanya
kepastian hukum dalam pergaulan masyarakat. Ada dua macam kepastian
hukum:
a. Kepastian oleh karena hukum:
Contohnya: kepastian hukum yang diadakan oleh karena hukum
adalah “daluarsa” Pasal 1945 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Menjamin kepastian ini menjadi tugas daripada hukum.
b. Kepastian dalam atau dari hukum:
Kepastian dalam hukum tercapai apabila hukum itu, sebanyak3-
banyaknya hukum undang-undang, dalam undang-undang tersebut tidak
ada ketentuan-ketentuan yang bertentangan undang-undang itu dibuat
berdasarkan hukum yang sungguh-sungguh dalam undang-undang
tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara
berlain-lainan.
2 Hasil wawancara pribadi dengan Bapak Fendy Manager J&T Express Di Jepara, 13 Juli
2017
3 Mudjiono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1991), h.
21.
62
Dengan memperhatikan pendapat-pendapat para sarjana hukum
tersebut di atas, maka pada pokoknya dapat ditarik kesimpulan bahwa
tujuan itu adalah dua, yakni:“harus menjamin keadilan dan wajib
membawa kefaedahan dalam masyarakat”.
Teori keadilan Ethisce Theori: menurut teori ini tujuan hukum
hanya ditempatkan pada perwujudan keadilan4 yang semaksimal mungkin
dalam tata tertib masyarakat, dalam Rhetorica. Menurut Hans Kelsen
bahwa semua peraturan umum adalah “adil” jika benar-benar diterapkan
kepada semua kasus yang menurut isinya, peraturan ini harus ditetapkan.
Suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan kepada suatu
kasus dan tidak diterapkan kepada kasus lain yang sama.5
Keadilan telah diuraikan oleh Aristoteles dalam “Rhetorica”.
Bangsa Romawi menterjemahkannya dengan: ius suum cuique tribuere
keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan
bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.6
Aristoteles membedakan dua macam keadilan, yaitu keadilan „distributif‟
4 Mujar Ibnu Syarif dan Kamarusdiana. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Jakarta cet-1, 2009), h. 11.
5 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, cet-2, 2009), h. 8.
6 Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, cet-26 1996), h. 11.
63
dan keadilan „kumulatif‟.7 Keadilan distributif, yakni keadilan yang
memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya.
Artinya keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat
bagian yang sama banyaknya atau bukan persamaanya, melainkan
kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Sedangkan
keadilan kumulatif, yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang
sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan. Artinya, hukum
menuntut adanya suatu persamaan dalam memperoleh prestasi atau suatu
hal tanpa memperhitungkan jasa peseorangan.8
Keadilan adalah sesuatu yang sukar didefinisikan, tetapi bisa
dirasakan dan merupakan unsur yang tidak harus ada dan dapat dipisahkan
dari hukum sebagai perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya
keteraturan (kepastian) dan ketertiban dalam masyarakat.9 Keadilan
berasal dari Tuhan YME dan setiap orang diberi kemampuan, kecakapan
untuk meraba dan merasakan keadilan itu. Dan segala apa yang ada di
dunia ini semestinya menimbulkan dasar-dasar keadilan pada manusia.
Dengan demikian, hukum tidak hanya mecarikan keseimbangan
antara berbagai kepentingan yang bertentangan satu sama lain, akan tetapi
7 C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2011), h. 38.
8 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, cet-2, 2011), h. 81.
9Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum: Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 2000), h. 52- 53.
64
juga untuk mendapatkan keseimbangan antara tuntutan keadilan tersebut
dengan “keadilan” dan “kepastian hukum”.10
Menurut Gustav Radbuch tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian,
dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan
yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara
historis, pada awalnya menurut Gustav Radbuch tujuan kepastian hukum
menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan hukum yang lain.
Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut
di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasikan praktek-praktek yang
tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan
membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada
masa itu. Gustav Radbuch pun akhirnya meralat teorinya tersebut di atas
dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi di atas tujuan
hukum yang lain.11
C. Analisis Penulis
Klausul baku J&T Express yang menyatakan bahwa akan mengganti
kerugian barang senilai maksimal 10 kali ongkos kirim atas kerusakan atau
kehilangan barang customer tidak diperbolehkan karena apabila yang dikirim
10 Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h. 21.
11 Mohamad Aunurrohim, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di Indonesia”,
Perspektif Global, Universitas Negeri Yogykarta, 2015
65
barang mahal atau bernilai ekonomi tinggi maka klausul tersebut berpotensi
bermuatan eksonerasi yang mana tidak selaras dengan ketentuan pencantuman
klausul baku yang terdapat pada Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 yang menjelaskan bahwa dalam setiap dokumen atau
perjanjian pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang
menyatakan pengalihan tanggung jawab.
Dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
dijelaskan bahwa setiap klausul baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha
pada dokumen atau perjanjian melanggar ketentuan pada Pasal 18 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 maka batal demi hukum. Dengan
demikian klausul J&T Express tersebut menjadi tidak berlaku. Standart
contract tersebut juga tidak tunduk pada hukum perjanjian Pasal 1320
KUHPerdata tentang syarat sah perjanjian dan Pasal 1338 (3) tentang
ketentuan asas itikad baik dalam perjanjian karena perjanjian dilaksanakan
tidak dengan kepatutan dan keadilan.
Sesuai dengan penjelasan diatas J&T Express sebagai pelaku usaha
tidak diperbolehkan mencantumkan klausul baku mengenai ganti rugi untuk
melepas tanggung jawabnya begitu saja akibat kelalaianya. Allah juga
mengharamkan orang beriman untuk memakan, memanfaatkan, menggunakan
(segala bentuk bisnis jual beli) harta orang lain secara licik atau batil. Seperti
yang dijelaskan dalam Q.s. An-Nisa’ (29):
66
A
r
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian
memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil,
kecuali dengan perdagangan yang kalian saling ridha. Dan janganlah
kalian membunuh diri-diri kalian, sesungguhnya Allah itu Maha Kasih
Sayang kepada kalian”.
Klausul baku ganti rugi J&T Express tersebut menjadi bersifat tidak
baku karena jika konsumen menuntut haknya mengenai jumlah ganti kerugian
masih dapat dinegosiasikan.
J&T Express sebagai jasa pengiriman barang yang diberikan amanat
untuk mengirimakan barang konsumen ke tempat tujuan seharusnya dilakukan
dengan sebaik-baiknya dan jika J&T Express tidak dapat mengantarkan
barang konsumen ke tempat tujuan dengan selamat maka J&T Express harus
seharusnya memberikan ganti kerugian dengan adil. Seperti yang dijelaskan
dalam Q.s. An-Nisa’ (58):
A
r
t
67
Artinya: Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di
antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.
Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu.
Sungguh, Allah Maha Mendengar. Maha Melihat.
Pemberian ganti rugi oleh J&T Express dirasa tidak adil dan tiak
memiliki kepastian hukum mengenai jumlah yang akan diberikan J&T
Express terhadap barang konsumen yang rusak atau hilang baik barang yang
dikirim diasuransikan maupun tidak diasuransikan. Bentuk ganti kerugian
yang adil yakni sesuai dengan harga barang yang dikirim ketentuan ganti rugi
tersebut dijelaskan dalam Pasal 1236 KUHPerdata, Pasal 19 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, dan
Pasal 472 KUHDagang.
Berdasarkan penjelasan tersebut penulis dapat menyimpulkan
bahwa Frasa “Untuk barang yang tidak diasuransikan, biaya penggantian
maksimal 10x lipat dari ongkos kirim” penerapan klausul yang telah
dijelaskan sebelumnya tidak selaras dengan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen pada Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 karena J&T Express hanya ingin mendapatkan untung saja atau dapat
biaya jasa pengiriman tetapi tidak mau tanggung jawab perihal ganti rugi.
Kemudian agar tidak bersifat bermuatan eksonerasi maka J&T Express harus
68
ketat tentang objek apa yang dikirim dan disesuaikan dengan nilai asuransi.
Contoh seperti asuransi mobil.
Adapun yang dimaksud dengan ketat di sini adalah Pelaku Usaha
yakni J&T Express harus mendapat keterangan yang jelas dan pasti dari
konsumen perihal barang yang akan dikirim, yakni:
1. J&T Express sebagai pelaku usaha wajib mengingatkan konsumen jika
barang yang akan dikirim merupakan barang mahal atau bernilai
ekonomi tinggi harus diasuransikan dan asuransi harus sesuai dengan
nilai barang atau nilai lain yang disepakati konsumen dan pelaku usaha.
2. Dalam hal konsumen tidak mengasuransikan barang yang akan
dikirimnya maka konsumen harus menandatangani penyataan akan
menanggung resiko jika barang mahal tersebut rusak atau musnah
akibat kelalaian pelaku usaha.
3. Pernyataan konsumen ini menjadi penting untuk diterapkan dalam
transaksi jasa pengiriman barang karena:
a. Agar klausul poin 8 SOP tersebut tidak memuat unsur eksonerasi
b. Untuk menghindari konsumen yang mengingkari dirinya pernah
diingatkan oleh pelaku usaha agar mengasuransikan barang mahal
atau barang yang bernilai ekonomi tinggi yang akan dikirim
Kalau J&T Express tidak ketat tentang objek apa yang dikirim dan
tidak disesuaikan dengan nilai asuransi maka transaksi pengiriman barang di
J&T Express tidak selaras dengan Pasal 1320 ayat (4) KUHPer tentang sebab
69
yang halal dan Pasal 1337 KUHPer yang berbunyi “Suatu sebab adalah
terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum”.
Klausul diatas tersebut menyepakati sesuatu yang dilarang Undang-
Undang yakni Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
70
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan
pada bab sebelumnya mengenai pokok permasalahnya yang diajukan oleh
penulis, maka terhadap tema masalah Klausul Eksonerasi Dalam Transaksi
Bisnis Jasa Pengiriman Barang Perspektif Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (Studi Kasus Pencantuman Klausul
Eksonerasi Pada Resi Pengiriman J&T Express) dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Kedudukan klausul eksonerasi menurut hukum indonesia tidak diatur
secara khusus tetapi jika melihat rumusan Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Perlindungan Konsumen rumusan tersebut didominasi oleh
pelarangan klausul eksonerasi, walaupun Undang-Undang tidak
menyebutkan istilah eksonerasi didalamnya.
2. Ketentuan ganti rugi J&T Express tidak selaras dengan ketentuan ganti rugi
menurut Hukum yang berlaku pada Pasal 1236 KUHPerdata, Pasal 19 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen dan Pasal 472 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Ketentuan ganti rugi J&T Express yang tertuang dalam klausul baku di resi
71
pengiriman barang pada prakteknya tidak bersifat baku dan masih bisa
dinegosiasikan mengenai jumlah ganti kerugian.
3. Penerapan klausul ganti rugi J&T Express tidak selaras dengan Undang-
Undang Pasal 18 ayat (1) huruf a karena berpotensi bermuatan unsur
eksonerasi karena pelaku usaha tidak ketat dalam memberikan syarat objek
barang yang dikirim sementara ganti rugi hanya tentang ongkos kirim.
Klausul ganti rugi J&T Express tidak adil dan tidak adanya kepastian
hukum dalam pemberian jumlah ganti rugi
B. SARAN
1. Kepada Pemerintah berdasarkan pada penjelasan penulis pada BAB III
belum ada regulasi yang mengatur secara khusus perihal klausul
eksonerasi, dengan hal itu penulis menyarankan agar pemerintah membuat
regulasi yang mengatur secara khusus mengenai klausul eksonerasi karena
klausul ini sangat memberatkan konsumen. Selain itu pemerintah harus
lebih ketat menyeleksi isi klausul baku yang dibuat oleh perusahaan.
Pemerintah juga harus lebih mengawasi praktek transaksi jasa pengiriman
barang.
2. Kepada masyarakat agar lebih teliti dengan perjanjian yang diberikan oleh
produsen, mewaspadai resiko-resiko yang dapat terjadi, mengetahui apa
saja hak yang seharusnya dimiliki masyarakat sebagai konsumen. Seperti
halnya sebelum mengirimkan barangnya menggunakan jasa pengiriman
72
harus mengetahui perihal yang penulis jelaskan. Jangan mudah terpengaruh
dengan biaya asuransi yang murah karena dengan menggunakan asuransi
tersebut belum tentu akan memberikan suatu keadilan dalam pemberian
ganti rugi.
73
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Apeldoorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, cet-26 1996
Asikin, Zainal, Hukum Dagang, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014
Asikin, Zainal Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Badrulzaman, Mariam, Darus, Aneka Hukum Bisnis, Bandung: Alumni, 1994
Badrulzaman, Mariam, Darus, Perjanjian Baku (Standard) Perkembangan di
Indonesia, Bandung: Alumni, 1981
Basri, Hasnil, Hukum Pengangkutan, Medan: Kelompok Studi Hukum Fakultas
Hukum USU, 2002
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
II, Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis, Bandung: PT. Citra aditya bakti, 2013
Hamidjojo, Soetojo, R, Prawiro, dan Marthalena Pohan, Hukum Perikatan,
Surabaya: Bina Ilmu,1978
Hartono, Sri, Rejeki, Pengangkutan dan Hukum Pengangkutan Darat, (Semarang:
Penerbit UNDIP, 1980
Hernoko, Agus, Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Jakarta: Kencana, 2010
H,S, Salim, Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak), Jakarta:
Sinar Grafika, 2003
H,S, Salim, Perkembangan Hukum Kontak Innominaat Di Indonesia, Jakarta:
Penerbit Sinar Grafika, 2004
Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika cet-2 2009
Kansil C.S.T dan Christine S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2011
74
Kusumaatmadja Mochtar dan Arief Sidharta, Pengantaar Ilmu Hukum: Suatu
Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung:
Alumni, 2000
Marzuki, Peter, Mahmud, Penelitian Hukum, Cet.IV Jakarta; Kencana Prenada
Media Group, 2010
Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Bandung: Alumni,
1994
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, Cetakan Pertama, Jakarta:
Rajawali Pers, 2007
Mudjiono, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,
1991
Muhammad, Abdulkadir, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, dan Udara,Jakarta:
Cipta Aditya Bahkti,1991
Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Penerbit Rosdakarya
Purwaningsih, Endang, Hukum Bisnis, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010
Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 3,
Jakarta: Djambatan,1981
Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 1984
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT Grasindo, 2006
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003
Silondae Arus Akbar dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Jakarta:
Salemba Empat, 2014
Soekardono, R, Hukum Dagang Indonesia, Jakarta: CV Rajawali, 1981
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,1986
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermedia,1990
75
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Internasional, 1985
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1997
Syarif Mujar Ibnu dan Kamarusdiana, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Jakarta cet-1, 2009
Tim Penyusun FSH, Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Pusat Peningkatan dan
Jaminan Mutu (PPJM), 2017
Warpani, Suwardjoko, Merencanakan Sistem Pengangkutan, Bandung: Penerbit
ITB,1990
Wiradipradja, E, Saefullah, Tanggung Jawab Pengangkut Dalam Hukum
Pengangkutan Udara Internasional Dan Nasional, Yogyakarta: Liberty,
1989
Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Jurnal:
Aunurrohim Mohomad, “Keadilan, Kepastian, dan Kemanfaatan Hukum di
Indonesia”, Perspektif Global, Universitas Negeri Yogykarta, 2015
Internet:
http://jet.co.id/news/show/peresmian-j&t-express