Klaster Industri

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1Bab SatuPendahuluan

    Peranan Industri dan Industri Logam dalam Pembangunan Ekonomi

    Sektor industri mempunyai peranan penting dalam pembangunan

    karena pertumbuhan sektor industri akan memacu dan mengangkat

    pembangunan sektor-sektor lain seperti sektor pertanian dan sektor jasa.

    Pertumbuhan industri yang pesat akan merangsang pertumbuhan sektor

    pertanian untuk menyediakan bahan-bahan baku bagi industri. Sektor

    jasa akan berkembang dengan adanya industrialisasi, dengan berdirinya

    lembaga-lembaga keuangan, lembaga-lembaga pemasaran/periklanan

    yang akan mendukung laju pertumbuhan industri. Industri sangat

    berperan dalam perkembangan struktural pada perekonomian. Tolok ukur

    dalam pengembangan industri antara lain : sumbangan sektor produksi

    (manufakturing) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah tenaga

    kerja yang terserap di sektor industri, dan sumbangan komoditi industri

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    2

    terhadap ekspor barang dan jasa.

    Kontribusi sektor industri manufaktur/ pengolahan di Indonesia

    sejak tahun 1993 mempunyai skor terbesar terhadap PDRB yaitu sebesar

    21,10 % dan tahun 2008 sumbangannya sebesar 26,79 %. Sumbangan

    terbesar pada industri manufaktur/ pengolahan adalah industri makanan

    dan minuman sebesar 2,5 %, industri tekstil barang kulit dan alas kaki

    2,1 %, industri pupuk, kimia dan barang dari karet sebesar 2,9 % dan

    sumbangan yang terkecil adalah dari industri logam sebesar 0,6%.

    Pada tahun 2010 sumbangan industri manufaktur Jawa Tengah

    terhadap PDRB mencapai angka 32,83 % atau hampir sepertiga dari

    jumlah total PDRB Jawa Tengah. Sektor industri manufaktur merupakan

    penyumbang terbesar dari PDRB di Jawa Tengah. Dalam struktur industri

    manufaktur, industri makanan, minuman dan tembakau merupakan

    penyumbang PDRB terbesar dari industri manufaktur dan diikuti oleh

    industri tekstil, barang kulit dan alas kaki serta barang kayu dan hasil

    hutan lainnya. Sedangkan untuk logam dasar besi dan baja merupakan

    penyumbang nilai terkecil dari PDRB industri manufaktur yaitu 0,29 %.

    Meskipun industri pengolahan logam di Jawa Tengah menyumbang

    prosentasi terendah terhadap PDRB ( 0,29 %), namun industri pengolahan

    logam di Jawa Tengah merupakan industri dasar yang menunjang seluruh

    kegiatan industri di Jawa Tengah. Hampir tidak ada industri yang tidak

    memerlukan logam, sehingga industri logam merupakan industri inti yang

    keberadaannya menjadi dasar pembangunan berbagai kelompok industri

    lainnya (industri berbasis agro, industri hasil hutan, industri berteknologi

    tinggi dan industri perdesaan).

  • 3Tabel 1.1

    Sub Industri Pengolahan Non Migas Menurut Produk Domestik Bruto Jawa

    Tengah Berdasar Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan

    Tahun 2008-2010 (Juta Rupiah)

    Sub Industri Manufaktur 2008 % 2009 % 2010 %

    Makanan Minuman dan Tembakau 25,438,442.55 56.98 27,019,449.53 57.46 29,027,384.45 57.31

    Tekstil, Barang Kulit & Alas Kaki 7,601,693.50 17.03 7,751,742.20 16.48 8,288,465.70 16.36

    Barang Kayu dan Hasil Hutan Lain 5,259,769.07 11.78 5,669,812.29 12.06 6,168,285.82 12.18

    Kertas dan Barang Cetakan 639,442.16 1.43 665,309.94 1.41 682,306.80 1.35

    Pupuk, Kimia & Barang dari Karet 2,620,658.33 5.87 2,691,156.87 5.72 3,053,411.09 6.03

    Semen dan Barang Lain bukan Logam 1,341,947.55 3.01 1,431,783.77 3.04 1,519,549.86 3.00

    Sub Industri Manufaktur 2008 % 2009 % 2010 %

    Logam Dasar Besi dan Baja 131,923.50 0.30 139,802.25 0.30 148,028.52 0.29

    Alat Angkut, Mesin & Peralatan 1,431,142.68 3.21 1,468,511.49 3.12 1,570,557.24 3.10

    Barang Lainnya 183,020.51 0.41 186,497.73 0.40 191,067.90 0.38

    Jumlah 44,648,039.85 100.00 47,024,066.07 100.00 50,649,057.38 100.00

    Sumber : BPS, PDRB Jawa Tengah 2010

    Pada tahun 2009 jumlah industri logam di Jawa Tengah sebanyak

    13.227 unit dan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 66.193 orang

    dengan nilai produksi sebesar Rp.124,502 milyar. Secara garis besar,

    industri logam tersebut terdiri dari industri pengecoran logam fero (besi

    dan baja) dan industri pengecoran logam non fero (alumunium, kuningan

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    4

    dan tembaga). Industri logam di Jawa Tengah tersebar di beberapa

    kabupaten, seperti: Kabupaten Tegal, Klaten, Boyolali, Purbalingga,

    Pati, Temanggung dan Semarang. Produksi industri logam Jawa Tengah

    umumnya masih belum mampu bersaing karena desain dan kualitasnya

    relatif rendah. Oleh karenanya industri logam perlu didorong dan

    ditumbuh kembangkan agar produk logam asal Jawa Tengah mempunyai

    daya saing dan akses pasar yang lebih luas (Sudrajat, 2010) .

    Pertumbuhan industri pengolahan logam di Jawa Tengah pada

    tahun 2005 sebesar 0,075 pada tahun 2006 turun menjadi 0,046, pada

    tahun 2007 meningkat pertumbuhannya menjadi 0,054 dan tahun 2008

    menurun menjadi 0.035. Pada tahun 2009 meningkat pertumbuhannya

    menjadi 0,060 dan tahun 2010 menurun menjadi 0,059.

    Tabel 1.2

    Kontribusi dan Pertumbuhan Industri Pengolahan Logam

    di Jawa Tengah Tahun 2004 2010

    Tahun Volume Pertumbuhan

    2004 107618.08 -

    2005 115669.69 0.075

    2006 120944.26 0.046

    2007 127523.18 0.054

    2008 131923.50 0.035

    2009 139802.25 0.060

    2010 148028.52 0.059

    Sumber : BPS, PDRB Jawa Tengah 2010

    Salah satu pusat pertumbuhan industri logam di Jawa tengah adalah

    di Kabupaten Klaten yaitu tepatnya Desa Tagelrejo, Desa Ngawongggo dan

  • 5Desa Batur yang berlokasi di Kecamatan Ceper. Produk yang dihasilkan

    antara lain komponen mesin, rem kereta api, pipa besi dan pagar besi.

    Klaster cor logam Ceper sudah ada sejak jaman penjajahan Belanda,

    bahkan menurut sejarah berdirinya ini sudah ada sejak jaman kerajaan

    Mataram. Pada jaman penjajahan Belanda, pelaku usaha cor logam sudah

    mengerjakan pengecoran untuk perlengkapan pabrik gula. Pada jaman

    penjajahan Jepang, para pelaku cor logam disuruh membuat granat dan

    peralatan lainnya untuk perang. Setelah kemerdekaan, klaster ini mulai

    semakin tumbuh sejak adanya campur tangan Pemerintah Pusat pada

    tahun 1973 melalui Departemen Perindustrian. Bantuan yang paling

    besar yang diberikan adalah dalam bentuk bantuan peralatan dan modal

    yang diserahkan kepada Koperasi Batur Jaya sebagai koperasi produksi.

    Keberadaan koperasi akan mendorong pelaku usaha untuk bekerjasama

    meningkatkan produksinya.

    Pada tahun 1990-an Ceper pernah dimahkotai sebagai daerah

    pengecoran logam di Indonesia karena saat itu jumlah industrinya

    mencapai lebih dari 325 industri, bahkan kapasitas terpasang mencapai

    150.000 ton atau sekitar 40% kapasitas nasional (Baharuddin, 2010).

    Teknologi pengecoran yang selama ini diandalkan adalah tungkik1) dan

    kupola1) yaitu alat peleburan tradisional berbahan bakar kokas2). Teknologi

    tersebut telah dikembangkan secara turun temurun, sehingga memiliki

    karakteristik pemanfaatan yang spesifik serta sangat sesuai dengan kultur

    masyarakat setempat. Tetapi ketika krisis ekonomi global tahun 1998

    melanda dunia dan harga bahan bakar terus melonjak, banyak pengusaha

    pengecoran terpaksa menghentikan usahanya. Disamping permasalahan

    1 Tungkik dan kupola adalah tungku pembakaran yang menggunakan bahan bakar kokas, Tung-kik lebih tradisional daripada kupola.

    2 Kokas adalah arang dari batubara

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    6

    bahan bakar kokas dan cor logam, pasokan energi listrik yang cenderung

    naik juga berdampak pada pengusaha yang beralih dari tungkik dan kupola

    ke tanur induksi yang berbahan bakar listrik.

    Pada tahun 2009 jumlah perusahaan pengecoran di Klaten ada

    sebanyak 295 usaha, dengan jumlah tenaga kerja 4.822 orang (Klaten

    Dalam Angka, 2009). Adapun daftar industri pengolahan di Klaten, dapat

    dilihat pada Tabel 1.3.

    Tabel 1.3

    Jumlah Unit Usaha Menurut Bidang Usaha Indutri Logam,

    Mesin Kimia dan Aneka Tahun 2009

    No. Bidang Usaha Industri Jumlah Usaha (Unit) Jumlah tenaga kerja (orang)01 Pengecoran logam 295 4.87202 Pandai besi 294 98503 Rekayasa Teknik Bengkel 0 004 Percetakan, penerbitan dan foto copy 0 005 Farmasi, kimia produk 0 006 Kapas Kecantikan 30 22507 Vulkanisir ban, tambal ban 0 008 Pembuatan Arang 15 60

    09 Gerabah 390 1.17510 Barang dari Bebatuan 8 3411 Tegel, Produksi dan Semen 0 012 Bata Merah 1.073 3.90013 Genteng 842 4.25814 Keramik 19 6215 Perbaikan benang/ tali temali 160 825

    Sumber : Klaten dalam Angka (2009)

  • 7Namun industri yang banyak menjadi tulang punggung warga

    setempat kini semakin terpuruk dan satu persatu gulung tikar. Pengrajin

    besi cor banyak yang menghentikan operasinya karena permintaan dari

    pelanggan menurun dan mahalnya bahan baku (untuk besi cor) dan bahan

    bakar (kokas dan batu bara) (Kompas, 14 Maret 2008). Kondisi tersebut

    memicu munculnya persaingan yang semakin tinggi diantara sesama

    pengrajin yang pada akhirnya berdampak pada rendahnya tingkat kerja

    sama dan kepercayaan antar pengusaha (DISPERINDAG, 2002).

    Menurut informasi dari PEMDA Klaten, saat ini jumlah usaha yang

    masih berproduksi secara aktif tinggal 80 unit usaha saja (25%), 144 unit

    usaha (45%) berproduksi di bawah normal dan 96 unit usaha (30%) sudah

    tutup/mati.

    Pada umumnya industri yang sudah mati menghentikan produksi

    di pabriknya sendiri karena sudah tidak efisien lagi dengan menggunakan

    dapur tungkik. Mereka yang beralih menggunakan dapur kupola pada

    umumnya masih dapat bertahan. Usaha mereka tetap jalan dengan cara

    men-subkontrakan ke industri yang sudah menggunakan dapur induksi

    (Suara Merdeka, 2008).

    Pentingnya Klaster Dalam Pertumbuhan Industri

    Pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN CHINA FREE TRADE

    AGREEMENT (ACFTA), yang dimulai 1 Januari 2010, memunculkan dua

    pandangan yaitu pandangan optimis dan pesimis. Pandangan optimis

    melihatnya sebagai peluang pasar yang besar. Pandangan yang pesimis

    mengkuatirkan bahwa industri nasional akan hancur karena pasar

    domestik akan dibanjiri dengan produk China yang terkenal murah.

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    8

    Kekuatiran tersebut cukup beralasan karena data statistik Kementrian

    Perdagangan RI akhir-akhir ini menunjukan defisit sebesar 3,6 milliar AS

    (Kompas, Senin 18 Januari 2010).

    Menurut hasil pemetaan world economic forum (2011), daya saing

    Indonesia menduduki urutan ke 46 dari 142 negara, masih di bawah

    Singapura, Malaysia, Brunei Darusalam dan Thailand. Kondisi ini tentunya

    memerlukan kerja keras untuk meningkatkan tingkat competitiveness

    Indonesia agar dapat menyirnakan anggapan yang pesimis terhadap

    masuknya Indonesia dalam ACFTA.

    Dalam ekonomi global modern, kemakmuran ekonomi suatu negara

    akan sangat ditentukan oleh tingkat produktivitasnya. Produktivitas

    merupakan basis dari daya saing, sehingga sangat tergantung pada

    bagaimana cara bersaing suatu negara dengan negara lainnya, melalui

    operasi industri dan strategi yang dilakukan. Paradigma produktivitas telah

    mengubah sumber-sumber kemakmuran ekonomi suatu negara, yang

    dahulu sangat tergantung pada sumber daya alam yang dimiliki, sebagai

    keunggulan komparatif, menjadi sangat tergantung pada produktivitas

    sebagai keunggulan kompetitif.

    Dalam bukunya The Competitive Advantage of Nation, Porter (1998)

    menyatakan bahwa produktivitas industri dapat ditingkatkan melalui

    klasterisasi lokasi industri. Dengan perkataan lain, lokasi industri dalam

    suatu klaster dapat menciptakan produktivitas. Teori ini kemudian menjadi

    dasar sebagai teori klaster. Model diamond dari Porter (1998) seperti pada

    gambar 1.1, menggambarkan bahwa ada empat faktor utama yang saling

    berkaitan dalam klaster yang menentukan daya saing usaha yaitu: kondisi

    faktor produksi internal, kondisi permintaan sistem industri pendukung dan

    industri yang terkait, strategi dan struktur usaha dan persaingan.

  • 9

    Gambar 1.1. Diamond Model Cluster dalam buku

    The Competitive Advantages of Nations, Porter (1990)

    Model tersebut menggambarkan bahwa pendekatan klaster penting

    dalam peningkatan daya saing industri (khususnya UMKM), karena

    melalui pendekatan klaster maka akan dapat diciptakan peningkatan daya

    saing industri melalui adanya pertalian diantara industri dengan lembaga

    terkait yang ada dalam pemusatan geografis. Pendekatan klaster dapat

    memaksimalkan external economies yang muncul dari pemusatan geografis.

    Dengan lokasi yang berdekatan maka akan dapat diciptakan penguatan

    kapasitas kolektif klaster (JICA, 2004). Ada 3 (tiga) tipe klaster industri

    yang umumnya berada di negara berkembang. Pertama, dari aglomerasi

    dasar menuju bentuk distrik satelit (satelite districts), kedua, mengarah

    pada distrik pusat dan jari-jari (hub and spoke) yang dicirikan dengan

    peranan perusahaan besar sebagai lokomotif, dan ketiga, menuju kearah

    perkembangan klaster unggul yang juga dikenal dengan istilah distrik

    Italia ketiga (Third Italy) (Knorringa, 1999).

    Klaster mempunyai manfaat karena menciptakan efisiensi kolektif

    melalui kerjasama kegiatan sejenis (Schmitz, 2002). Kerjasama tersebut

    Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten

    Dalam bukunya The Competitive Advantage of Nation, Porter (1998) menyatakan bahwa produktivitas industri dapat ditingkatkan melalui klasterisasi lokasi industri. Dengan perkataan lain, lokasi industri dalam suatu klaster dapat menciptakan produktivitas. Teori ini kemudian menjadi dasar sebagai teori klaster. Model diamond dari Porter (1998) seperti pada gambar 1.1, menggambarkan bahwa ada empat faktor utama yang saling berkaitan dalam klaster yang menentukan daya saing usaha yaitu: kondisi faktor produksi internal, kondisi permintaan sistem industri pendukung dan industri yang terkait, strategi dan struktur usaha dan persaingan.

    Strategi dan struktur usaha dan pesaing

    Kondisi Permintaan

    Faktor produksi internal (input)

    Sistim industri pendukung dan Industri yang terkait

    Gambar 1.1. Diamond Model Cluster dalam buku The Competitive Advantages of Nations, Porter (1990)

    Model tersebut menggambarkan bahwa pendekatan klaster

    penting dalam peningkatan daya saing industri (khususnya UMKM), karena melalui pendekatan klaster maka akan dapat diciptakan peningkatan daya saing industri melalui adanya pertalian diantara industri dengan lembaga terkait yang ada dalam pemusatan geografis. Pendekatan klaster dapat memaksimalkan external economies yang muncul dari pemusatan geografis. Dengan lokasi yang berdekatan maka akan dapat diciptakan penguatan kapasitas kolektif klaster (JICA, 2004). Ada 3 (tiga) tipe klaster industri yang umumnya berada di negara berkembang. Pertama, dari aglomerasi dasar menuju bentuk distrik satelit (satelite districts), kedua, mengarah pada distrik pusat dan jari-

    8

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    10

    dapat terjadi misalnya dalam hal pembelian bahan baku, pemasaran,

    produk bersama, dan atau dalam memanfaatkan jasa-jasa pihak ketiga.

    Selain itu, pembentukan klaster juga bermanfaat untuk menekan biaya

    transaksi dan meningkatkan kewirausahaan karena adanya proses saling

    tukar informasi, saling membandingkan pekerjaan dan sebagainya. Suatu

    klaster yang lengkap juga akan membentuk spesialisasi produk dan rantai

    nilai (value chain) antar perusahaan dengan berbagai skala, dan antar

    industri, sehingga memiliki efek nilai tambah dan produktivitasnya

    semakin meningkat.

    Mayoritas klaster di Indonesia terdiri dari usaha mikro, kecil dan

    menengah yang memiliki ciri-ciri antara lain: memproduksi barang-

    barang untuk pasar lokal dan domestik dan menggunakan tenaga kerja

    keluarga, atau hanya pada saat-saat tertentu menggunakan tenaga kerja

    luar yang dibayar (Sandee, 2002). Sayangnya, menurut Weijland (1999),

    banyak juga klaster yang didominasi oleh industri mikro kondisinya

    sedang tidur. Beberapa klaster di Indonesia bahkan menunjukkan

    kondisi yang tidak mampu bersaing dalam ACFTA dan mengalami

    penurunan sebagai akibat persaingan dengan produk China. Diantara

    klaster yang menunjukkan penurunan tersebut adalah klaster logam di

    Jawa Tengah (DISPERINDAG, 2002).

    Klaster logam di Jawa Tengah sebenarnya masih termasuk ke dalam

    distrik satelit (DISPERINDAG, 2002) dan belum mengarah pada hub and

    spoke. Tipe ini dicirikan dengan kurangnya kerjasama dengan pihak-pihak

    eksternal dan pada umumnya mengalami kompetisi yang tidak sehat dalam

    berbisnis. Disamping itu, karena pada umumnya lebih mengarah kepada

    diversifikasi, maka sulit untuk melakukan spesialisasi dan dikembangkan

    ke arah klaster yang lebih dewasa (JICA, 2004).

  • 11

    Perkembangan klaster pada umumnya, termasuk klaster logam,

    tidak terlepas dari adanya tahapan-tahapan pengembangan yang memiliki

    kecenderungan untuk berulang dalam siklusnya. Tahapan perkembangan

    klaster dimulai dari embrio/aglomerasi, tumbuh, dewasa dan kemudian berujung pada

    transformasi yang bisa berupa pembentukan klaster baru ataupun penurunan.

    Gambar 1.2. Tahapan Perkembangan KlasterSumber: Waelbroek-Rocha dalam Anderson, (2004)

    Dari pengalaman Rocha dalam Anderson (2004), tahap awal

    perkembangan klaster dimulai dengan adanya unit-unit usaha yang

    beraglomerasi akibat dari pemanfaatkan keuntungan pemusatan usaha,

    yaitu keuntungan kolektif dari infrastruktur, pengumpulan pekerja, image

    lokasi, pemasaran dan penyediaan input. Tahap ini disebut sebagai tahap

    aglomerasi usaha. Dengan adanya kedekatan tempat usaha, masing-masing

    usaha yang memiliki keterkaitan komponen produksinya akan memulai

    hubungan komplementer satu sama lain. Tahapan ini dikenal sebagai awal

    mulai tumbuhnya klaster sesungguhnya, karena adanya indikasi pertalian

    usaha satu sama lain.

    Pertalian usaha ini terus berkembang dan menghubungkan

    Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten

    mengarah kepada diversifikasi, maka sulit untuk melakukan spesialisasi dan dikembangkan ke arah klaster yang lebih dewasa (JICA, 2004).

    Perkembangan klaster pada umumnya, termasuk klaster logam, tidak terlepas dari adanya tahapan-tahapan pengembangan yang memiliki kecenderungan untuk berulang dalam siklusnya. Tahapan perkembangan klaster dimulai dari embrio/aglomerasi, tumbuh, dewasa dan kemudian berujung pada transformasi yang bisa berupa pembentukan klaster baru ataupun penurunan.

    Gambar 1.2. Tahapan Perkembangan Klaster

    Sumber: Waelbroek-Rocha (dalam Anderson, 2004) Dari pengalaman Rocha dalam Anderson (2004), tahap awal

    perkembangan klaster dimulai dengan adanya unit-unit usaha yang beraglomerasi akibat dari pemanfaatkan keuntungan pemusatan usaha, yaitu keuntungan kolektif dari infrastruktur, pengumpulan pekerja, image lokasi, pemasaran dan penyediaan input. Tahap ini disebut sebagai tahap aglomerasi usaha. Dengan adanya kedekatan tempat usaha, masing-masing usaha yang memiliki keterkaitan komponen produksinya akan memulai hubungan komplementer satu sama lain. Tahapan ini dikenal sebagai awal mulai tumbuhnya klaster sesungguhnya, karena adanya indikasi pertalian usaha satu sama lain.

    Pertalian usaha ini terus berkembang dan menghubungkan keseluruhan unit-unit usaha dalam satu wilayah klaster. Tahapan ini dikenal sebagai tahap pembangunan atau pengembangan klaster usaha.

    10

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    12

    keseluruhan unit-unit usaha dalam satu wilayah klaster. Tahapan ini

    dikenal sebagai tahap pembangunan atau pengembangan klaster usaha.

    Pertalian usaha yang menguntungkan selanjutnya mendorong timbulnya

    unit-unit usaha baru pada wilayah klaster tersebut, yang selanjutnya

    semakin melengkapi unit-unit usaha yang ada. Tahapan ini dikenal sebagai

    tahap perkembangan klaster yang sudah matang. Pada tahap ini juga mulai

    ditandai dengan kejenuhan usaha yang ada.

    Apabila kondisi permintaan tidak bertambah, dapat menyebabkan

    degradasi unit-unit yang ada sehingga akhirnya usaha kelompok-kelompok

    kecil di dalam klaster terjadi pemisahan kelompok terspesialisasi dan

    membentuk kelompok klaster baru dengan produk yang lebih khusus.

    Kondisi seperti ini disebut tahapan transformasi dan selanjutnya kelompok

    kecil pertalian usaha ini dapat kembali pada tahap awal pembentukan klaster.

    Faktor Faktor yang Berpengaruh dan Keberadaan Modal Sosial Dalam

    Pengembangan Klaster

    Pembentukan klaster dianggap penting karena seringkali usaha

    yang dilakukan secara individu tidak efektif dibandingkan dengan usaha

    kelompok seperti halnya dalam klaster. Faktor yang mempengaruhi

    pengembangan klaster antara lain adalah : 1) kemampuan memenuhi

    kebutuhan pasar, 2) interaksi dalam kelompok untuk kerjasama produksi,

    3) institusi bersama, dan 4) kemauan investasi (FPESD,2005). Mudrajad

    Kuncoro dan Supomo (2003) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi

    perkembangan klaster adalah keaktifan berpromosi, teknologi, jumlah

    tenaga kerja, umur. Djamhari (2006) menyebutkan bahwa faktor-faktor

  • 13

    yang mempengaruhi daya hidup klaster adalah inovasi teknologi, modal

    sumber daya manusia dan kewirausahaan, infrastruktur fisik, keberadaan

    perusahaan besar, akses ke pembiayaan usaha, layanan jasa spesialis, akses

    terhadap pasar dan informasi pasar, akses terhadap pendukung bisnis,

    persaingan, komunikasi, kepemimpinan, serta jejaring kemitraan.

    Jejaring kemitraan dilandasi oleh rasa saling melengkapi, saling

    memperkuat, dan saling membutuhkan, yang dikenal sebagai modal sosial.

    Modal sosial dibentuk oleh faktor perilaku: kemauan dan kebiasaan untuk

    bekerjasama, berkelompok, dan kemauan berkomitmen pada tujuan

    bersama jangka panjang (Sri Lestari, 2006). Modal sosial merupakan

    variabel yang signifikan untuk UKM dan klaster secara mikro karena

    dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas perusahaan, berdasarkan

    kepercayaan, kredibilitas, reputasi dan pertukaran informasi secara

    pribadi yang dapat berkontribusi bagi UKM.

    Dalam siklus perkembangan klaster, masing-masing tahapan akan

    dipengaruhi oleh berbagai faktor. Ada 7 faktor yang mempengaruhi

    perkembangan klaster. Salah satu faktor yang mempengaruhi

    perkembangan klaster tersebut adalah aspek modal sosial (Andersoon,

    2004). Studi JICA (2004) juga menegaskan bahwa keberadaan modal sosial

    yang berupa kepercayaan timbal balik diantara anggota-anggota klaster

    akan memberikan pengaruh pada keempat kuadran model Berlian Porter.

    Sejalan dengan pengaruh modal sosial pada ke empat kuadran

    Berlian Porter tersebut, maka modal sosial akan mengalami dinamika

    seiring dengan kondisi ekonomi yang mempengaruhi setiap tahapan

    perkembangan klaster. Untuk melihat peranan modal sosial pada tahapan

    awal perkembangan klaster sampai dengan pada tahapan transformasi

    dibutuhkan penelitian pada klaster yang sudah lama tumbuh dan saat ini

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    14

    mengalami penurunan. Sesuai dengan kondisi di Provinsi Jawa Tengah,

    banyak klaster logam yang berdasarkan sejarahnya sudah tumbuh cukup

    lama dan saat ini, karena permasalahan ekonomi berupa kesulitan bahan

    baku, pasar maupun kondisi perekonomian, klaster logam banyak yang

    mengalami penurunan ataupun menuju ke arah transformasi.

    Modal sosial klaster merupakan ikatan internal dan menjembatani

    pihak berkepentingan (stakeholders) eksternal. Modal sosial pada dasarnya

    terkait erat dengan hubungan antara individu, norma dan kepercayaan

    yang memudahkan koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan.

    Bentuk dari keberadaan modal sosial tersebut adalah adanya kepercayaan,

    networking, relasi sosial dan relasi ekonomi. Relasi sosial akan memungkinkan

    para wirausaha dapat melakukan, memelihara dan memperluas akses

    terhadap sumber-sumber ekonomi serta menggunakan sumber ekonomi

    tersebut untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengembangan modal

    sosial merupakan salah satu alternatif dalam menyiasati pemenuhan

    kebutuhan sehari-hari (Masdin, 2002). Saling ketidak percayaan didalam

    klaster akan memecah keberadaan klaster sehingga akan mencegah proses

    pembentukan modal sosial.

    Ada tiga aliran tentang pemikiran modal sosial yang berbeda,

    yaitu 1) Bourdieu (1986) dengan marxisme lebih menitik beratkan pada

    soal ketimpangan akses terhadap sumber daya dan dipertahankannya

    kekuasaan,2) Coleman (1988) lebih menekankan gagasannya pada individu

    yang bertindak secara rasional dalam rangka mengejar kepentingannya

    sendiri,3)Putman(1993) mewarisi dan mengembangkan gagasannya

    tentang asosiasi aktivitas warga sebagai dasar bagi integrasi sosial dan

    kemakmuran.

    Konsep modal sosial pertama kali dikemukaan oleh Coleman dalam

  • 15

    Portes, (2000) yang mendefinisikan modal sosial sebagai aspek dari struktur

    hubungan antar individu yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-

    nilai baru. Sedangkan Putnam (1993) menyebutkan bahwa modal sosial

    sama seperti modal fisik dan modal manusia, yang dapat menjembatani

    terciptanya kerjasama dalam komunitas yang saling menguntungkan.

    Aspek-aspek modal sosial adalah kepercayaan (trust), norma (norm) dan

    jaringan (network). Keberadaan aspek-aspek modal sosial yang baik akan

    dapat meningkatkan efisiensi dari masyarakat.

    Modal sosial memiliki kontribusi penting dalam pembangunan,

    khususnya pembangunan yang berkelanjutan. Pada awal proses

    pembangunan berkelanjutan, faktor-faktor yang dipertimbangkan

    baru terbatas pada natural capital, physical atau produced capital dan human

    capital. Kemudian disadari bahwa keberadaan ketiga capital tersebut baru

    menjelaskan kondisi keseluruhan proses pertumbuhan ekonomi secara

    parsial. Satu mata rantai yang dianggap hilang (the missing link) adalah social

    capital (Grootaert, 1997).

    Istilah capital atau modal selama ini lebih banyak dikenal dalam

    kegiatan ekonomi. Pengertian ini membawa bias dalam pemaknaan modal

    sosial. Dalam pengertian yang mendasar, menurut kalangan ekonomi,

    modal sosial berperan dalam mekanisme alokasi sumber daya. Modal sosial

    menjadi dasar bagi orang yang bekerjasama untuk suatu tujuan bersama

    dalam kelompok atau organisasi (Syahyuti, 2008). Contoh manfaat

    ekonomi dari keberadaan modal sosial di dalam klaster diantaranya adalah

    adanya tindakan kolektif untuk memperluas pasar, membuat design baru,

    pengadaan bahan baku, pendanaan, pengembangan fasilitas R&D, yang

    akhirnya secara menyeluruh akan mengurangi biaya transaksi. Modal

    sosial sifatnya tidak statis tetapi dinamis.

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    16

    Keberadaan modal sosial yang tinggi akan berdampak pada

    keuntungan jangka panjang. Misalnya dalam hal trust, kehidupan

    ekonomi sangat bergantung pada ikatan moral kepercayaan sosial yang

    akan memperlancar transaksi, memberdayakan kreatifitas perorangan

    dan menjadi alasan bagi perlunya aksi kolektif. Ia merupakan ikatan tidak

    terucap dan tidak tertulis.

    Pada masyarakat yang memiliki modal sosial tinggi, antara lain dapat

    dilihat dari rendahnya angka kriminal dan sedikitnya jumlah kebijakan

    formal. Namun jika modal sosial rendah, dan sosial norms-nya sedikit, maka

    kerjasama antar orang hanya dapat berlangsung di bawah sistem hukum

    dan regulasi yang bersifat formal. Modal sosial yang tinggi hanya akan

    tercipta bila ada sikap resiprositas yang tinggi. Artinya interaksi bukan

    semata-mata hanya sebagai suatu pertukaran yang penuh perhitungan tapi

    kombinasi antara sifat altruis jangka pendek dengan harapan keuntungan

    dalam jangka panjang (Syahyuti, 2008). Modal sosial barulah bernilai

    ekonomi kalau dapat membantu individu dalam kelompok, misalnya,

    untuk mengakses sumber-sumber keuangan, mendapatkan informasi,

    menemukan pekerjaan, merintis usaha dan meminimalkan biaya transaksi

    (Tonkiss, 2000).

    Komponen-komponen modal sosial seharusnya dimanfaatkan

    secara maksimal oleh individu pelaku usaha di dalam klaster, sebagai

    contoh jaringan sosial dimanfaatkan oleh individu pelaku usaha untuk

    mendapatkan pasar, pengetahuan, kerjasama dan bantuan alat, modal

    dan lainnya. Sedangkan kepercayaan dimanfaatkan oleh individu untuk

    membangun komitmen dengan pihak lain dalam rangka mempertahankan

    kerjasama yang sudah terjalin.

    Ada 2 (dua) pendapat tentang dimana posisi modal sosial. Menurut

  • 17

    pendapat pertama, modal sosial melekat pada jaringan hubungan sosial. Hal

    ini terlihat dari kepemilikan informasi, rasa percaya, saling mendukung.

    Sementara pendapat lain meyakini bahwa modal sosial juga dapat dilihat

    sebagai karakteristik (traits) yang melekat (embedded) pada diri individu

    yang terlibat dalam interaksi sosial. Dengan kata lain, modal sosial tidak

    berada dalam jaringan namun pada individu-individunya. Oleh karena

    itu dalam penelitian ini akan dilihat modal sosial pada jaringan klaster

    dalam berbagai tahapan perkembangan klaster, serta bagaimana individu-

    individu memanfaatkan modal sosial tersebut untuk pengembangan

    usahanya.

    Bazan dan Schmitz (1997) di Brazil membuktikan bahwa keberadaan

    modal sosial sangat berpengaruh pada performa ekonomi masyarakat

    Brazil. Bagi Schmitz, dengan pendekatan historis, hubungan antara modal

    sosial dengan performa ekonomi bukanlah hubungan satu arah. Ada

    tidaknya modal sosial dipengaruhi oleh struktur sosial dalam masyarakat

    yang dapat berpengaruh positif maupun negatif. Schmitz menegaskan

    bahwa modal sosial tidak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi

    tetapi dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada di masyarakat.

    Menurut Hasbullah (2006), keberadaan dan dinamika modal sosial

    dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksernal. Faktor eksternal

    yang paling banyak berpengaruh adalah intervensi pemerintah, meskipun

    banyak pihak menyatakan bahwa tidak mudah mempromosikan ikatan

    modal sosial melalui intervensi kebijakan. Namun demikian, Field

    (2003), menegaskan bahwa kebijakan eksternal (pemerintah) tetap masih

    diperlukan untuk merancang dukungan dari modal sosial. Beberapa

    contoh kebijakan dan program di Inggris, sebagai contoh, juga berwujud

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    18

    dalam bentuk dukungan terhadap sektor usaha.

    Dalam hubungannya dengan perkembangan klaster, Isham, Kelly

    dan Ramaswany (2002), menegaskan bahwa peranan fungsi kunci dari

    hubungan modal sosial disebabkan (sebagian besar) oleh kemampuan

    negara untuk mengelola sumber daya, gagasan dan informasi dari lembaga

    formal diluar komunitas. Disamping dipengaruhi oleh faktor internal

    dan eksternal, peranan modal sosial dalam klaster juga dipengaruhi oleh

    dinamika perkembangan klaster itu sendiri.

    Perumusan Masalah

    Dalam pandangan tentang modal sosial ada tiga aliran dimana modal

    sosial dapat dimanfatkan yaitu 1)Modal sosial dapat dimanfaatkan untuk

    penguasaan sumber daya dan untuk mempertahankan kekuasaan,2)

    di sisi lain modal sosial dapat dimanfaatkan individu untuk mengejar

    kepentingan individunya,3) dan modal sosial dapat dimanfaatkan oleh

    asosiasi suatu kelompok untuk kemakmuran

    Apabila dilihat dari sisi peranannya modal sosial sangat berpengaruh

    pada performa ekonomi masyarakat. Namun seperti apa yang diungkapkan

    oleh Schmitz, hubungan antara modal sosial dengan performa ekonomi

    bukanlah hubungan satu arah. Ada tidaknya modal sosial dipengaruhi oleh

    struktur sosial dalam masyarakat yang dapat berpengaruh positif maupun

    negatif. Schmitz menegaskan bahwa modal sosial tidak dipengaruhi oleh

    perkembangan ekonomi tetapi dipengaruhi oleh struktur sosial yang ada

    di masyarakat.

    Keberadaan dan dinamika modal sosial dipengaruhi oleh faktor

  • 19

    internal dan faktor ekternal. Faktor eksternal yang paling banyak

    berpengaruh adalah intervensi pemerintah. Disamping dipengaruhi oleh

    faktor internal dan eksternal, peranan modal sosial dalam klaster juga

    dipengaruhi oleh dinamika perkembangan klaster itu sendiri.

    Pendapat tentang peranan dan pemanfaatan modal sosial menjadi

    suatu perdebatan, hal ini dikarenakan variabel yang digunakan dalam

    penelitian, tempat / lokasi dan pendekatan penelitian yang berbeda

    dimana perilaku masyarakat maupun perilaku organisasinya berbeda pula.

    Berdasarkan pada berbagai pendapat tentang modal sosial dan

    pendapat tentang keberadaan dari modal sosial yang dipengaruhi oleh

    dinamika perkembangangan klaster, seperti yang terjadi pada klaster cor

    logam, maka peneliti ingin meneliti tentang peranan dan pemanfaatan

    modal sosial dalam pengembangan klaster, yang merupakan studi pada

    klaster cor logam di Ceper, Kabupaten Klaten-Jawa Tengah. Agar penelitian

    ini terfokus, maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian sebagai

    berikut :

    1. Bagaimanakah kondisi klaster cor logam di Ceper Kabupaten Klaten?

    2. Bagaimana keberadaan modal sosial pada klaster cor logam di Ceper,

    Kabupaten Klaten?

    3. Bagaimana pembentukan modal sosial, baik melalui lembaga formal

    maupun non formal dalam perkembangan klaster cor logam Ceper-

    Klaten ?

    4. Bagaimana pemanfaatan modal sosial oleh individu pengusaha cor

    logam Ceper-Klaten bagi pengembangan usahanya?

    5. Bagaimana upaya yang dilakukan bagi peningkatan modal sosial di

    klaster cor logam Ceper Klaten ?

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    20

    Alasan Pemilihan Lokasi Penelitian

    Mendasarkan pada latar belakang penelitian tersebut, maka alasan

    pemilihan klaster cor logam Ceper sebagai lokasi penelitian Peranan

    dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster Studi pada

    Klaster Cor Logam Ceper - Klaten Jawa Tengah dengan pertimbangan

    bahwa industri cor logam di Ceper merupakan industri logam tertua di

    Jawa Tengah yang sudah ada sejak jaman kerajaan Mataram, diteruskan

    masa penjajahan Hindia Belanda sampai saat ini. Sebagaimana Porter

    yang mendifinisikan klaster sebagai kelompok usaha sejenis dengan lokasi

    berdekatan secara administrasi dan didukung oleh multi stakeholder

    maka industri Ceper dengan kelengkapan value chain-nya dari pemasok,

    produsen, pembeli, pusat pendidikan, koperasi dan lain-lain sesuai dengan

    konsep klaster Porter.

    Dilihat dari sejarah perkembangannya klaster cor logam Ceper

    mengalami daur hidup klaster mulai dari awal pertumbuhan/embrio,

    tumbuh, dan dewasa, penurunan dan transformasi, sehingga menarik untuk

    dilakukan penelitian tentang perkembangan klaster. Berdasarkan sejarah

    perkembangan klaster tersebut, dapat disimpulkan bahwa perusahaan

    cor logam Ceper sebagaian besar didominasi oleh sistem kekeluargaan

    yang diwariskan secara turun temurun. Hal tersebut menjadikan nilai

    kebersamaan dan kepercayaan diantara pelaku usaha yang merupakan

    instrumen modal sosial relatif cukup tinggi. Namun klaster tersebut selain

    pernah mengalami tumbuh menuju dewasa juga mengalami masa-masa

    transformasi. Untuk itulah maka perlu dilakukan penelitian tentang

    Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

  • 21

    dengan Studi Kasus Klaster Cor Logam Ceper Klaten Jawa Tengah.

    Tujuan Penelitian

    Harapan peneliti adalah dengan melihat aspek modal sosial pada

    klaster cor logam, peneliti dapat merumuskan teori tentang peranan

    dan pemanfaatan modal sosial sepanjang kehidupan klaster cor logam.

    Penelitian ini mengacu kepada penelitian sebelumnya tentang modal

    sosial pada kasus industri sepatu di Brazil (Bazan and Schmitz, 1997)

    yang menyatakan bahwa unsur lembaga yang berfungsi mendorong

    ekonomi klaster justru melemahkan keberadaan social capital itu sendiri,

    karena ekspor naik mengakibatkan pertentangan yang berdampak pada

    penurunan social capital. Schmitz menjelaskan pula bahwa social capital lebih

    banyak dipengaruhi oleh struktur sosial baik internal maupun eksternal.

    Sejalan dengan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan

    untuk:

    1. Mempelajari kondisi klaster cor logam Ceper dari awal pertumbuhan/

    embrio, tumbuh dan dewasa, penurunan dan transformasi.

    2. Menggambarkan kondisi dan keberadaan modal sosial di klaster cor

    logam Ceper pada masa perkembangan klaster, terdiri dari tahapan

    awal pembentukan/embrio, tahapan tumbuh dan dewasa serta tahapan

    penurunan dan transformasi.

    3. Merumuskan kerangka teoritis tentang peranan modal sosial dalam

    perkembangan klaster.

    4. Melakukan analisis terhadap proses pembentukan modal sosial, baik

    melalui lembaga formal maupun non formal dalam perkembangan

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    22

    klaster cor logam.

    5. Melakukan analisis terhadap pemanfaatan modal sosial oleh individu

    pengusaha dalam pengembangan usahanya.

    6. Melakukan analisis terhadap upaya yang harus dilakukan bagi

    peningkatan modal sosial.

    Kerangka Pemikiran

    Dalam merumuskan teori yang berhubungan dengan peranan modal

    sosial dan pemanfaatan modal sosial perlu melihat dua sub konsep yaitu

    peran modal sosial dan pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan

    klaster.

    Dalam peranannya modal sosial tidak lepas dari perkembangan

    klaster, sehingga dalam setiap tahapan pertumbuhan klaster, yang dimulai

    dari tahapan awal pertumbuhan/embrio, tahapan tumbuh dan dewasa serta

    tahapan penurunan dan transformasi perlu dianalisa tentang bagaimana

    perkembangan klaster tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi

    perkembangan baik dari sisi peluang karena potensi ekonomi, fasilitasi

    pemerintah, pertumbuhan ekonomi maupun perkembangan teknologi.

    Demikian pula pada setiap tahapan tersebut yang juga mencerminkan

    dinamika perkembangan klaster perlu juga diketahui tentang bagaimana

    kondisi dari modal sosial, khususnya proses pembentukan modal sosial,

    bentuk modal sosial yang terjadi, jaringan sosial yang terjadi sampai

    bagaimana pengaruh pemerintah, ekonomi makro dan teknologi

    mempengaruhi dalam pengembangan modal sosial. Untuk mengetahui

    tentang pemanfaatan modal sosial dalam pengembangan usaha perlu

    dilihat dari 3 (tiga) aspek yaitu bagaimana pembentukan modal sosial,

  • 23

    pemanfaatan modal sosial dan upaya upaya untuk meningkatkan modal

    sosial.

    Pembentukan modal sosial di dalam klaster cor logam Ceper

    ditelusuri melalui kelembagaan formal maupun informal. Pembentukan

    melalui kelembagaan formal seperti halnya koperasi, pola kerja sama,

    sub kontrak maupun pola kemitraan plasma-inti. Sedangkan melalui

    kelembagaan non formal pembentukan modal sosial diciptakan melalui

    keluarga (misalnya perusahaan keluarga) maupun pertemuan sosial.

    Modal sosial seperti halnya pengertian modal lainnya yaitu sebagai

    sarana untuk pengembangan usaha. Bentuk modal sosial yang digunakan

    dalam pengembangan usaha diantaranya seperti jaringan, kepercayaan,

    ketaatan terhadap norma, kepedulian terhadap sesama maupun kepedulian

    terhadap organisasi/ lembaga.

    Dalam jaringan dimanfaatkan untuk pengembangan usaha, perlu

    dilihat bentuk-bentuk dari jaringan yang ada, bagaimana jaringan tersebut

    dibentuk maupun dipelihara secara baik. Modal sosial kepercayaan, perlu

    dilihat bagaimana kepercayaan terhadap sesama pelaku, kepercayaan

    terhadap organisasi, kepercayaan terhadap pemerintah selama dalam

    perkembangan klaster cor logam Ceper. Demikian pula perlu ditelusuri

    bagaimana ketaatan terhadap norma agama maupun adat istiadat serta

    kepedulian terhadap sesama dan keterlibatan dalam organisasi yang

    digunakan dalam kegiatan untuk pengembangan usaha dari para individu

    pengusaha di dalam klaster.

    Proses pembentukan modal sosial dan pemanfaatannya untuk

    pengembangan klaster cor logam Ceper perlu dieksploitir bagaimana

    usaha-usaha yang dilakukan dalam peningkatan modal sosial, baik melalui

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    24

    kelembagaan formal maupun non formal, melalui fasilitasi pemerintah

    serta faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi seperti halnya faktor

    pertumbuhan ekonomi maupun perubahan teknologi. Kerangka pemikiran

    tersebut secara sistimatis dapat dilihat pada gambar 1.3.

    Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran

    Sistematika Penulisan

    Desertasi ini ditulis dalam 10 (sepuluh) bab, dimana secara

    ringkas dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I, berisikan ulasan singkat

    Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial Pada Klaster Logam Ceper Klaten

    PeranandanPemanfaatan

    ModalSosialPadaPerkembanganKlaster

    Gambar 1.3. Kerangka Pemikiran

    Sistematika Penulisan

    Desertasi ini ditulis dalam 10 (sepuluh) bab, dimana secara ringkas dapat diuraikan sebagai berikut : Bab I, berisikan ulasan singkat perkembangan industri logam nasional maupun Jawa Tengah, tentang daya saing Indonesia ditengah persaingan ACFTA dan pentingnya

    UpayaPeningkatanModalSosial

    PeranModalSosial

    Pemanfaatan ModalSosial

    KelembagaanFormaldanNon

    FormalFasilitasi

    Pemerintah

    KondisiygmempengaruhiModalSosial

    KondisiModalSosial

    TemuanTeoriPerananModalSosialdanPemanfaatanModalSosial

    PembentukanModalSosial

    PemanfaatanModalSosialKondisiBisnis

    danTeknologiKlaster

    KelembagaanFormal

    KelembagaanNonFormal

    Jaringan

    Kepercayaan

    Ketaatanthdnorma

    KepedulianThdSesama

    KeterlibatanDlmOrganisasi

    Tahapanawalpertumbuhan(Embrio)

    TahapanTumbuhdanDewasa

    TahapanpenurunanDanTransformasi

    22

  • 25

    perkembangan industri logam nasional maupun Jawa Tengah, tentang daya

    saing Indonesia ditengah persaingan ACFTA dan pentingnya peningkatan

    produktivitas untuk meningkatkan daya saing melalui pendekatan

    pengembangan klaster. Dalam bab ini juga diuraikan tentang peranan dari

    keberadaan modal sosial dalam pengembangan klaster, khususnya klaster

    cor logam Ceper, yang semua ini merupakan latar belakang pentingnya

    melihat peranan dan pemanfaatan modal sosial pada pengembangan

    klaster. Tentang rumusan masalah, tujuan penelitian dan juga kerangka

    penelitian termasuk dalam bab ini.

    Dalam Bab II, berisi kajian teoritis klaster dan teori modal sosial.

    Kajian teori klaster dimulai dari beberapa pengertian klaster, aktivitas

    yang terjadi didalam klaster serta perkembangan dari klaster dan tipologi

    dari pengembangan klaster. Sedang kajian teori modal sosial dimulai dari

    beberapa pengertian modal sosial secara lebih menyeluruh sampai pada

    peranan modal dalam perkembangan klaster. Kajian teori ini diharapkan

    sebagai dasar atau landasan teori dalam menganalisis peranan dan

    pemanfaatan modal sosial pada suatu klaster.

    Bab III tentang metodologi penelitian, berisikan pendekatan

    penelitian perkembangan (development research) yang bersifat lintas seksional

    (cross sectional) yang digunakan dalam penelitian dan juga tahapan-tahapan

    dalam pelaksanaan penelitian, yang dimulai dari persiapan, pengumpulan

    data sampai pada tahapan analisa data, dan akhirnya hasil penelitian

    disampaikan dalam bentuk diskripsi naratif (narrative description).

    Dalam Bab IV berisikan tentang profil klaster cor logam Ceper,

    mulai dari uraian letak geografis, bahan baku yang digunakan dan jenis

    industri sampai dengan pengembangan teknologi yang digunakan. Dalam

    bab ini juga di uraikan pihak-pihak yang terkait serta permasalahan-

    Pendahuluan

  • Peranan dan Pemanfaatan Modal Sosial dalam Pengembangan Klaster

    26

    permasalahan yang ada di dalam klaster.

    Adapun Bab V tentang perkembangan klaster cor logam, berisikan

    perkembangan Klaster cor logam dimulai dari pertumbuhan/embrio

    klaster, tahap tumbuh dan dewasa serta penurunan dan transformasi. Pada

    tahap awal klaster tumbuh, perkembangan klaster dipilahkan menjadi

    3 (tiga) yaitu jaman kolonial Belanda, jaman pendudukan Jepang dan

    jaman kemerdekaan, dimana pada masing-masing perubahan jaman dan

    perubahan peluang ekonomi telah menyebabkan perkembangan klaster

    cor logam. Dalam tahap klaster tumbuh dan dewasa diuraikan bagaimana

    klaster memulai mengembangkan network ke luar, yang pada mulanya

    difasilitasi pemerintah. Klaster mengalami penurunan dan transformasi

    yang diakibatkan adanya krisis ekonomi pada akhir 1990an. Dalam bab ini

    pula diuraikan tentang perkembangan teknologi klaster cor logam Ceper.

    Bab VI berisi uraian tentang perkembangan modal sosial yang hidup

    dalam klaster cor logam Ceper. Untuk melihat perkembangan modal sosial

    yang terjadi dipilah menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu tahap klaster awal

    pertumbuhan/embrio, tahap tumbuh dan dewasa serta tahap penurunan

    dan transformasi. Pada perkembangan setiap tahapan tidak lepas dari

    masalah budaya yang hidup, hubungan kekeluargaan antar pengusaha

    dan relasi pengusaha dengan pihak-pihak di luar klaster seperti halnya

    pemerintah dan para pabrikan diluar klaster. Demikian pula faktor-

    faktor eksternal lainnya seperti peraturan-peraturan pemerintah maupun

    kondisi ekonomi yang terjadi.

    Bab VII berisikan tentang pembentukan modal sosial baik melalui

    lembaga formal, seperti halnya koperasi, pola sub kontrak serta kemitraan

    dan pembentukan modal sosial melalui lembaga non formal, seperti

    halnya melalui hubungan keluarga maupun melalui pertemuan sosial.

  • Sedang Bab VIII berisi tentang pemanfaatan modal sosial oleh individu

    pengusaha dalam pengembangan usahanya. Dalam bab ini diuraikan

    bagaimana individu memanfaatkan modal sosial, diantaranya membangun

    jaringan, membangun kepercayaan baik terhadap sesama pelaku usaha,

    konsumen maupun penyedia bahan baku, serta meningkatkan ketaatan

    terhadap norma, kepedulian terhadap sesama, keterlibatan dalam organisasi,

    yang semuanya ini dalam rangka pengembangan usahanya.

    Adapun Bab IX berisi tentang upaya peningkatan modal sosial, baik

    yang dilakukan melalui kelembagaan formal maupun informal, melalui

    fasilitasi pemerintah maupun faktor kondisi eksternal seperti pertumbuhan

    ekonomi maupun perubahan teknologi.

    Bab X berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan atas penulisan

    desertasi, implikasi teori, implikasi kebijakan kontribusi dan saran penelitian

    selanjutnya.