Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    1/24

    Page 1of 24

    KEUANGAN NEGARA DAN PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARAAhmad Yusuf

    Ari Budiono

    Doni Katra Lubis

    Yunan Awaludin Jarir

    Mahasiswa Program D-IV Akuntansi Kurikulum Khusus Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

    ABSTRAKTulisan ini bertujuan untuk menyajikan konsep keuangan negara dan pemeriksaan keuangan negara serta

    beberapa isu terkait seperti wewenang audit BPK terhadap BUMN, kerugian keuangan negara dan publikasi

    hasil audit BPK sehubungan dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik, kewenangan audit BPK

    terhadap pajak dan biaya sengketa di pengadilan.

    Keywords: Keuangan Negara, Audit, BPK, BUMN, Kerugian Keuangan Negara

    A. PendahuluanReformasi keuangan Indonesia ditandai dengan diterbitkannya paket Undang-undang

    Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU KN), Undang-undang Nomor 1 tahun 2004

    tentang Perbedaharaan Negara dan Undang-undang No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan

    Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara. Selain itu, diterbitkan pula Undang-undang

    Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). BPK merupakan lembaga

    yang berwenang melakukan audit atau pemeriksaan keuangan negara yang meliputi audit

    keuangan, kinerja dan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDDT). Hal ini sesuai amanat

    Undang-undang Dasar 1945.

    Menariknya adalah konsep keuangan negara yang didefiniskan di UU KN memasukkan

    kekayaaan yang dipisahkan sebagai bagian dari keuangan negara. Hal ini menimbulkan

    pertanyaan apakah BPK juga akan mengaudit BUMN. Dilain sisi, BUMN mengikuti hukum

    perseroan sesuai Undang-undang Nomor 40 tahun 2007. Terkait hal itu pula, apakah kerugian

    BUMN juga termasuk dalah ranah kerugian negara yang dimaksud dalam Undang-undang

    Nomor 31 tahun 1999 stdd UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Hal-hal

    tersebut dan beberapa isu lainnya yang dirasa relevan akan dibahas di paper ini.

    B. Pembahasan

    1. Keuangan Negara

    Sebagai amanat Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, keuangan negara harus diatur dalam undang-

    undang terkait dengan pengelolaan hak dan kewajiban negara. Amanat ini dituangkan dalamUndang-Undang nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan negara. Dalam diktum menimbang

    undang-undang no 17 tahun 2003 juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan

    pemerintahan negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak dan

    kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang.Pengertian keuangan negara dalam perspektif

    Undang-undang No 17 tahun 2003 dituangkan dalam Bab I Ketentuan Umum, pasal 1 angka (1)

    yaitu:

    Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta

    segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung

    dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut

    Peraturan-peraturan yang mendasari pengelolaan keuangan negara dan apa yangdimaksudkan dengan keuangannegara adalah :

    1. Amandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945 pasal 23

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    2/24

    Page 2of 24

    2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

    3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

    4. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab

    Keuangan Negara

    Undang-undang Nomor 17/2003 merupakan undang-undang keuangan pertama yangdimiliki Indonesia untuk melaksanakan amanat pasal 23 UUD 1945 yang menyatakan bahwa

    hal-hal lain mengenai keuangan negara yang tidak diatur dalam UUD 1945 akan diatur dalam

    undang-undang tersendiri. Sebelum terbitnya Undang-undang no 17 tahun 2003, Indonesia

    masih menganut pengaturan keuangan yang diwariskan oleh penjajah Belanda yang berlaku

    berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yakni:

    1. Indische Comptabiliteitswet (ICW) tahun 1864 Stbl. 1925 No. 448 selanjutnya diubah dan

    diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955 Nomor 49, dan terakhir

    Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968;

    2.

    Indische Bedrijvenwet (IBW) tahun 1864 Stbl. 1927 No 419 jo. Stbl. 1936 No. 445; dan3. Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) tahun 1864 Stbl. 1933 No. 381;

    4. Instructie en verdere bepalingen voor de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No.

    320 terkait dengan pelaksanaan pemeriksaan pertanggungjawaban keuangan negara

    Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi obyek,

    subyek, proses, dantujuan.

    Obyek : semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

    kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara.

    Subyek : Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan

    badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara.

    Proses: seluruh rangkaian mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan

    keputusan sampai dengan pertanggunggjawaban.

    Tujuan : dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

    Lebih jelasnya mengenai ruang lingkup keuangan negara dijabarkan dalam pasal 2 yang

    memberi cakupan Keuangan Negara terdiri dari:

    a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan

    pinjaman;

    b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintaha negara dan

    membayar tagihan pihak ketiga;c. Penerimaan Negara;

    d. Pengeluaran Negara;

    e. Penerimaan Daerah;

    f. Pengeluaran Daerah;

    g. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat

    berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

    kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

    h. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas

    pemerintah dan/atau kepentingan umum;

    i.

    Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikanpemerintah.

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    3/24

    Page 3of 24

    Selain melihat definisi keuangan negara pada Undang-Undang Keuangan Negara, sebagian

    ahli juga mengaitkan bagaimana Undang-Undang Dasar 1945 mengatur tentang keuangan

    negara. Pada dasarnya UUD 1945 tidaklah secara tersurat mendefinisikan apa yang

    dimaksudkan dengan Keuangan Negara sehingga memerlukan penafsiran lebih lanjut dari para

    ahli untuk dapat memahaminya. Keuangan Negara jika dikaitkan dengan Amandemen III UUD

    1945 pengertian keuangan negara tidak hanya sebatas pada APBN tetapi juga termasuk APBD

    Daerah (Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Praktik, dan

    Kritik, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005). Ini terkait dengan

    perubahan struktur organisasi dan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di mana

    dalam Pasal 23 UUD 1945 hasil pemeriksaan keuangan oleh BPK diserahkan kepada DPR, DPD,

    DPRD sesuai dengan kewenangannya.

    Jika kita kaitkan batasan mengenai keuangan negara pada Undang-Undang Nomor 17 tahun

    2003 dengan Pasal 23 UUD 1945, maka definisi dalam UU 17/2003 menjadi kurang tepat.

    Karena Pasal 23 UUD 1945 mendefinisikan keuangan negara hanyalah sebatas APBN dan

    APBD, sedangkan menurut UU 17/2003 juga meliputi BUMN dan BUMD.

    Siklus APBN

    Bentuk pengelolaan keuangan negara yang tercantum pada UU No 17/2003

    terimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan program dan kegiatan yang tercantum dalam

    APBN dan APBD setiap tahunnya. Siklus APBN dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan

    yang berawal dari perencanaan dan penganggaran sampai dengan pertanggungjawaban

    APBN yang berulang dengan tetap dan teratur setiap tahun anggaran.

    Siklus APBN

    Sumber: Pokok-Pokok Siklus APBN di Indonesia Penyusunan Konsep Kebijakan dan Kapasitas Fiskal SebagaiLangkah Awal

    Perencanaan dan Penganggaran

    Siklus APBN diawali dengan tahapan kegiatan perencanaan kegiatan (Perencanaan) dan

    perencanaan anggaran (Penganggaran) APBN yang saling terintegrasi satu sama lain. Sebelum

    penyusunan rencana anggaran, Pemerintah BPS, dan Bank Indonesia menyiapkan asumsi dasar

    ekonomi makro yang akan digunakan sebagai acuan penyusunan kapasitas fiscal Pemerintah.

    Program yang akan dilaksanakan haruslah tercantum dalam suatu rencana kerja. Kementerian

    Negara/Lembaga (K/L) berperan untuk menyiapkan Renstra untuk rencana jangka menengah

    dan RKA-KL untuk rencana tahunan. RKA-KL haruslah mencerminkan prioritas pembangunan

    yang telah ditetapkan oleh Presiden dan mendapat persetujuan DPR. Setelah melalui

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    4/24

    Page 4of 24

    pembahasan antara K/L selaku chief of operation officer (COO) dengan Menteri Keuangan

    selaku chief financial officer (CFO) dan Menteri Perencanaan, dihasilkan Rancangan Undang-

    Undang APBN (RAPBN) yang bersama Nota Keuangan kemudian disampaikan kepada DPR

    pada bulan Agustus dengan disertai Nota Keuangan.

    Pembahasan APBN

    Pembahasan RAPBN di DPR dilakukan dari bulan Agustus Oktober. Selama proses

    pembahasan bisa saja terjadi perubahan RAPBN oleh Pemerintahn atas dasar masukan DPR

    tapi perlu diingat bahwa DPR tidak memiliki wewenang untuk mengubah dan mengusulkan

    RAPBN. Hak yang dimiliki DPR hanya sebatas menyetujui, mengajukan usulan perubahan, atau

    menolak RAPBN.

    Penetapan APBN

    Setelah melalui proses pembahasan dan mungkin saja pengubahan atas RAPBN, serta DPR

    menyetujui RAPBN tersebut kemudian tahap selanjutnya adalah proses penetapan RAPBN

    menjadi Undang-undangAPBN.

    Pelaksanaan APBN

    Tahapan pelaksanaan APBN dilakukan oleh K/L dan Bendahara Umum Negara dengan

    mengacu pada Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) sebagai alat pelaksanaan APBN. Akan

    tetapi azas anggaran yang dikenal dengan azas flexibilitas tetap berlaku. Hal ini bertujuan

    untuk menghadapi kondisi riil yang tidak selalu sama dengan asumsi yang digunakan dalam

    penyusunan anggaran.

    Setiap tengah tahun berjalan akan dilakukan revisi APBN atau APBN-Perubahan (APBN-P).

    Penyusunan PBN-P diawali dengan penyampaian realisasi anggaran semester I dan prognosis

    penerimaan dan pengeluaran semester II.

    Dalam kondisi tertentu, Pemerintah boleh saja melakukan pengeluaran yang tidak tersedia

    dalam anggaran. Pengeluaran ini nantinya akandicantumkan dalam APBN-P jika pengeluaran

    dilakukan sebelum APBN-P disusun dan dilaporkan dalam Laporan Realisasi Anggaran disertai

    penjelasan.

    Pelaporan dan Pencatatan APBN

    Pemerintah memiliki kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban berupa akuntabilitas

    keuangan dan akuntabilitas kinerja kepada masyarakat. Oleh karena itu selama proses

    pelaksanaan APBN, K/L dan BUN wajib melakukan pelaporan dan pencatatan sesuai dengan

    Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) sehingga menghasilkan Laporan Keuangan

    Pemerintah Pusat (LKPP) yang terdiri atas Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Neraca,

    Laporan Arus Kas (LAK), dan Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK). Ini merupakan

    wujud akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

    Pemeriksaan APBN dan Pertanggungjawaban APBN

    Laporan pertanggungjawaban berupa laporan keuangan seperti yang telah disebutkan di

    atas disampaikan oleh K/L kepada Presiden sebagai sebuah bentuk pertanggungjawaban dan

    juga sebagai komponen dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).

    Kementerian/Lembaga merupaka entitas pelaporan sehingga terhadap laporan keuangannya

    juga harus dilakukan pemeriksaan oleh BPK untuk diberikan opini atas kewajaran penyajian

    laporan keuangannya.

    Laporan Keuangan yang disampaikan dalam RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan

    APBN adalah laporan keuangan yang telah diaudit oleh BPK RI. Pemeriksaan dilakukan selama

    dua bulan setelah laporan keuangan selesai disusun. Laporan keuangan ini paling lambat

    diserahkan kepada DPR pada akhir bulan Juni tahun berikutnya. Laporan Keuangan dilampiri

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    5/24

    Page 5of 24

    dengan Laporan Kinerja dan Laporan keuangan BUMN dan badan lainnya, dan juga disertai

    dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab.

    Ketentuan pemeriksaan oleh BPK diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004

    tentang Pemeriksaan Tanggung Jawab dan Pengelolaan Keuangan Negara. Selain itu dalam

    UUD RI Tahun 1945, pemeriksaan atas pengelolaan pertanggungjawaban keuangan negara dan

    pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dilaksanakan oleh BPK. Dalam hal ini BPK

    memiliki kewenangan untuk melakukan tiga jenis pemeriksaan yakni:

    a. Pemeriksaan keuangan

    b. Pemeriksaan Kinerja

    c. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu.

    Siklus APBN tahun tertentu tidak hanya meliputi waktu satu tahun tetapi akan saling

    beririsan dengan APBN tahun sebelum dan sesudahnya. Contohnya, 2014, ditangani kegiatan

    atau tahapan dari siklus APBN untuk tiga tahun anggaran yang berbeda: tahapan pemeriksaan

    dan pertanggungjawaban tahun anggaran sebelumnya (2013), tahapan pelaksanaan APBN

    tahun berjalan (2014), dan tahapan perencanaan dan penganggaran serta penetapan APBNtahun anggaran berikutnya (2015) termasuk MTBF 2016 2018.

    2. Pemeriksaan Keuangan Negara

    Beberapa definisi terkait pemeriksaan keuangan negara yang teradapat pada UU nomor 15

    tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara

    a. Pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan

    secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk

    menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai

    pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

    b.

    Badan Pemeriksa Keuangan, yang selanjutnya disebut BPK, adalah Badan PemeriksaKeuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945. BPK adalah pihak yang ditugaskan untuk menjadi pelaksana

    pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

    c. Pemeriksa adalah orang yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan

    tanggung jawab keuangan negara untuk dan atas nama BPK

    d. Pejabat yang diperiksa dan/atau yang bertanggung jawab, yang selanjutnya disebut

    pejabat, adalah satu orang atau lebih yang diserahi tugas untuk mengelola keuangan

    negara.

    e. Lembagaperwakilan adalah DPR, DPD, DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota

    sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

    Pemeriksaan keuangan negara bertujuan untuk :

    Pemeriksaan atas keu negara semakin penting karena adanya tuntutan pengelolaan

    keuangan negara yg transparan & akuntabel

    meningkatkan akuntabilitas guna mewujudkan good governance

    A. Ruang lingkup pemeriksaan

    Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945, pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan

    tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur

    keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 tahun 2003

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    6/24

    Page 6of 24

    tentang Keuangan Negara. Sehubungan dengan itu, kepada BPK diberi kewenangan untuk

    melakukan 3 (tiga) jenis pemeriksaan, akni:

    1. Pemeriksaan keuangan, adalah pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat

    dan pemerintah daerah. Pemeriksaan keuangan ini dilakukan oleh BPK dalam rangka

    memberikan pernyataan opini entang tingkat kewajaran informasi yang disajikan

    dalam laporan keuangan pemerintah.

    2. Pemeriksaan kinerja, adalah pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi, serta

    pemeriksaan atas aspek efektivitas yang lazim dilakukan bagi kepentingan manajemen

    oleh aparat pengawasan intern pemerintah. Pasal 23E Undang-Undang Dasar Negara

    Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan BPK untuk melaksanakan

    pemeriksaan kinerja pengelolaan keuangan negara. Tujuan pemeriksaan ini adalah

    untuk mengidentifikasikan hal-hal yang perlu menjadi perhatian lembaga perwakilan.

    Adapun untuk pemerintah, pemeriksaan kinerja dimaksudkan agar kegiatan yang

    dibiayai dengan keuangan negara/daerah diselenggarakan secara ekonomis dan efisien

    serta memenuhi sasarannya secara efektif.

    3.

    Pemeriksaan dengan tujuan tertentu, adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan

    tujuan khusus, di luar pemeriksaan keuangan dan pemeriksaan kinerja. Termasuk

    dalam pemeriksaan tujuan tertentu ini adalah pemeriksaan atas hal-hal lain yang

    berkaitan dengan keuangan dan pemeriksaan investigatif. Pelaksanaan pemeriksaan

    sebagaimana dimaksudkan di atas didasarkan pada suatu standar pemeriksaan. Standar

    dimaksud disusun oleh BPK dengan mempertimbangkan standar di lingkungan profesi

    audit secara internasional. Sebelum standar dimaksud ditetapkan, BPK perlu

    mengkonsultasikannya dengan pihak pemerintah serta dengan organisasi profesi di

    bidang pemeriksaan.

    Hasil pemeriksaanSetelah pemeriksaan selesai dilakukan, pemeriksa harus menyusun Laporan Hasil

    Pemeriksaan (LHP). Tanggapan pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas temuan,

    kesimpulan, dan rekomendasi pemeriksa, juga dimuat atau dilampirkan pada laporan hasil

    pemeriksaan.

    Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah memuat opini.

    Laporan hasil pemeriksaan atas kinerja memuat temuan, kesimpulan, dan rekomendasi.

    Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan.

    Bila diperlukan, pemeriksa dapat menyusun laporan interim pemeriksaan. Laporan interim

    pemeriksaan diterbitkan sebelum suatu pemeriksaan selesai secara keseluruhan dengan

    tujuan untuk segera dilakukan tindakan pengamanan dan/atau pencegahan bertambahnyakerugian. laporan hasil pemeriksaan diserahkan kepada lembaga perwakilan, entitas yang

    diperiksa, pihak yang mempunyai kewenangan untuk mengatur entitas yang diperiksa, pihak

    yang bertanggung jawab untuk melakukan tindak lanjut hasil pemeriksaan, dan kepada pihak

    lain yang diberi wewenang untuk menerima laporan hasil pemeriksaan sesuai dengan

    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku

    Laporan hasil pemeriksaan harus didistribusikan tepat waktu kepada pihak yang

    berkepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dalam hal

    yang diperiksa merupakan rahasia negara maka untuk tujuan keamanan atau dilarang

    disampaikan kepada pihak-pihak tertentu atas dasar ketentuan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku, pemeriksa dapat membatasi pendistribusian laporan tersebut.1. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan oleh

    BPK kepada DPR, DPD, Presiden/gubernur/bupati/walikota(sesuai kewenangannya)

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    7/24

    Page 7of 24

    selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah

    pusat.

    2. Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan oleh

    BPK kepada DPRD, Presiden/gubernur/bupati/walikota(sesuai kewenangannya)

    selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah

    daerah.

    3. Laporan hasil pemeriksaan kinerja disampaikan kepada DPR/ DPD/ DPRD, Presiden/

    gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.

    4. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu disampaikan kepada DPR/ DPD/

    DPRD Presiden/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya.

    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat

    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (disingkat LKPP) adalah laporan pertanggung-

    jawaban pelaksanaanAnggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang terdiri dari Laporan

    Realisasi Anggaran,Neraca,Laporan Arus Kas DanCatatan Atas Laporan Keuangan yang

    disusun sesuai denganStandar Akuntansi Pemerintah. LKPP Merupakan konsolidasi laporan

    keuangan Kementerian Negara/Lembaga yang disusun dengan berdasarkan praktik terbaik

    internasional (best practice) dalam pengelolaan keuangan Negara. LKPP diterbitkan setiap

    tahun, dan pertama kali diterbitkan pada tahun 2004 sejak Indonesia merdeka sebagai bentuk

    pertanggungjawaban keuangan pemerintah. LKPP disusun olehDirektorat Akuntansi dan

    Pelaporan Keuangan Kementerian Keuangan Indonesia.

    Komponen LKPP

    Saat ini laporan keuangan pemerintah pusat disusun berdasarkan penerapan akuntansi

    basis kas menuju akrual. Pada tahun 2015 penerapan basis akrual akan diberlakukan di

    Indonesia sehingga laporan keuangan yang diberi opini olehBadan Pemeriksa

    Keuangan adalah yang berbasis akrual.

    Komponen laporan keuangan pemerintah berbasis akrual terdiri dari:

    1. Laporan Pelaksanaan Anggaran, yang terdiri dariLaporan Realisasi

    Anggaran danLaporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih

    2. Laporan Finansial, yang terdiri dariNeraca,Laporan Operasional,Laporan Perubahan

    Ekuitas danLaporan Arus Kas. Adapun Laporan Operasional (LO) disusun untuk

    melengkapi pelaporan dan siklus akuntansi berbasis akrual sehingga penyusunan LO,

    Laporan Perubahan Ekuitas dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat

    dipertanggungjawabkan.

    3. Catatan Atas Laporan Keuangan

    Laporan Realisasi Anggaran

    Laporan Realisasi Anggaran (LRA) merupakan salah satu komponen laporan keuangan

    pemerintah yang menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan pemakaian sumber daya keuangan

    yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan perbandingan antara

    anggaran dan realisasinya dalam suatu periode tertentu.

    Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih

    Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (SAL) menyajikan informasi kenaikan atau

    penurunan SAL tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan hanya disajikan

    oleh Bendahara Umum Negara dan entitas pelaporan yang menyusun laporan keuangan

    konsolidasi.

    Neraca

    http://id.wikipedia.org/wiki/APBNhttp://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/wiki/Laporan_arus_kashttp://id.wikipedia.org/wiki/Catatan_atas_laporan_keuanganhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Standar_Akuntansi_Pemerintah&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Saldo_Anggaran_Lebih&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Operasional&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Arus_Kas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Catatan_Atas_Laporan_Keuangan&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Catatan_Atas_Laporan_Keuangan&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Arus_Kas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Ekuitas&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Operasional&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Perubahan_Saldo_Anggaran_Lebih&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Laporan_Realisasi_Anggaran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/wiki/Badan_Pemeriksa_Keuanganhttp://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Direktorat_Akuntansi_dan_Pelaporan_Keuangan_Kementerian_Keuangan_Indonesia&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Standar_Akuntansi_Pemerintah&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Catatan_atas_laporan_keuanganhttp://id.wikipedia.org/wiki/Laporan_arus_kashttp://id.wikipedia.org/wiki/Neracahttp://id.wikipedia.org/wiki/APBN
  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    8/24

    Page 8of 24

    Neraca merupakan laporan keuangan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas

    pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.

    Laporan Operasional

    Laporan Operasional (LO) disusun untuk melengkapi pelaporan dari siklus akuntansi

    berbasis akrual (full accrual accounting cycle) sehingga penyusunan Laporan Operasional,

    Laporan Perubahan Ekuitas, dan Neraca mempunyai keterkaitan yang dapat

    dipertanggungjawabkan. LO menyediakan informasi mengenai seluruh kegiatan operasional

    keuangan entitas pelaporan yang tercerminkan dalam pendapatan-LO, beban, dan

    surplus/defisit operasional dari suatu entitas pelaporan yang penyajiannya disandingkan

    dengan periode sebelumnya.

    Laporan Arus Kas

    Laporan Arus Kas (LAK) adalah bagian dari laporan finansial yang menyajikan informasi

    penerimaan dan pengeluaran kas selama periode tertentu yang diklasifikasikan berdasarkan

    aktivitas operasi, investasi, pendanaan, dan transitoris. Tujuan LAK untuk memberikan

    informasi mengenai sumber, penggunaan, perubahan kas dan setara kas selama suatu periode

    akuntansi serta saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. LAK wajib disusun dan

    disajikan hanya oleh unit organisasi yang mempunyai fungsi perbendaharaan umum.

    Laporan Perubahan Ekuitas

    Laporan Perubahan Ekuitas (LPE) menyajikan informasi kenaikan atau penurunan ekuitas

    tahun pelaporan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. LPE menyediakan informasi

    mengenai perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan atau

    penurunan sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode pelaporan.

    Catatan Atas Laporan Keuangan

    Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

    Laporan Keuangan dan oleh karenanya setiap entitas pelaporan diharuskan untuk menyajikan

    Catatan atas Laporan Keuangan. CaLK meliputi penjelasan atau daftar terinci atau analisis atas

    nilai suatu pos yang disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Perubahan Saldo

    Anggaran Lebih, Neraca, Laporan Operasional, Laporan Arus Kas, dan Laporan Perubahan

    Ekuitas. Termasuk pula dalam Catatan atas Laporan Keuangan adalah penyajian informasi

    yang diharuskan dan dianjurkan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan serta

    pengungkapan-pengungkapan lainnya yang diperlukan untuk penyajian yang wajar atas

    laporan keuangan, seperti kewajiban kontinjensi dan komitmen-komitmen lainnya. CaLK

    bertujuan untuk meningkatkan transparansi laporan keuangan dan penyediaan pemahaman

    yang lebih baik atas informasi keuangan pemerintah

    Pengawasan Intern Oleh APIP

    Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan

    kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka

    memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok

    ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam

    mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.

    Dasar Hukum:

    a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

    b. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

    Jawab Keuangan Negara

    c.

    Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern

    Pemerintah

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    9/24

    Page 9of 24

    d. Permenpan Nomor 03 tahun 2008 tentang Standar Audit APIP

    e. Permenpan Nomor 04 tahun 2008 tentang Kode Etik APIP

    Perwujudan Peran APIP yang Efektif:

    Memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, kehematan, efisiensi, dan efektivitas

    pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Pemerintah

    Memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan

    penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah; dan

    Memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi

    instansi pemerintah.

    Penguatan Efektivitas Penyelenggaraan SPIP:

    Menteri/ pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas

    efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di Lingkungan masing-masing.

    Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern dilakukan:

    o pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi Pemerintah

    termasuk akuntabilitas keuangan negara

    o pembinaan penyelenggaraan SPIP

    Aparat Pengawasan Intern Pemerintah terdiri dari:

    1. BPKP

    Melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan

    tertentu yang meliputi:

    a. Kegiatan yang bersifat lintas sektoral;

    b. Kegiatan kebendaharaan umum negara

    c. Berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum

    Negara; dan

    d.

    Kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden

    3. Inspektorat Jendral : melakukan pengawasan seluruh kegiatan dalam rangka

    penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan

    APBN

    4. Inspektorat provinsi : melakukan pengawasan seluruh kegiatan satuan kerja perangkat

    daerah provinsi yang didanai dengan APBD Provinsi

    5. Inspektorat Kabupaten/Kota: melakukan pengawasan seluruh kegiatan satuan kerja

    perangkat daerah kab/kota yang didanai dengan APBD kab/kota

    Bentuk Pengawasan oleh APIP:

    Audit : adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi bukti yang dilakukan

    secara independen, obyektif dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai

    kebenaran, kecermatan, kredibilitas, efektivitas, efisiensi, dan keandalan informasi

    pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah.

    Reviu : adalah penelaahan ulang bukti-bukti suatu kegiatan untuk memastikan bahwa

    kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, standar, rencana, atau

    norma yang telah ditetapkan

    Evaluasi: adalah rangkaian kegiatan membandingkan hasil atau prestasi suatu kegiatan

    dengan standar rencana, atau norma yang telah ditetapkan, dan menentukan faktor-

    faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan suatu kegiatan dalam mencapai

    tujuan

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    10/24

    Page 10of 24

    Pemantauan: adalah proses penilaian kemajuan suatu program atau kegiatan dalam

    mencapai tujuan yang telah ditetapkan

    Kegiatan pengawasan lainnya:antara lain berupa sosialisasi mengenai pengawasan,

    pendidikan dan pelatihan pengawasan, pembimbingan dan konsultasi, pengelolaan hasil

    pengawasan, dan pemaparan hasil pengawasan.

    Tujuan Standar Audit APIP

    1. Menetapkan prinsip-prinsip dasar

    2. Menyediakan kerangka kerja

    3. Menetapkan dasar pengukuran kinerja audit

    4. Mempercepat perbaikan kegiatan operasi

    5. Mendorong auditor untuk mencapai tujuan audit

    6. Pedoman dalam pekerjaan audit

    7. Dasar penilaian keberhasilan

    Kewajiban APIP

    1.

    Menyusun Rencana Pengawasan

    2. Mengkomunikasikan dan Meminta Persetujuan Rencana Pengawasan Tahunan

    3. Mengelola Sumber Daya

    4. Menetapkan Kebijakan dan Prosedur

    5. Melakukan Koordinasi

    6. Menyampaikan Laporan Berkala

    7. Melakukan Pengendalian Kualitas dan Program Pengembangan

    8. Menindaklanjuti Pengaduan dari Masyarakat

    6. Isu isu terkait Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    a.

    Kewenangan BPK dalam mengaudit BUMN terkait Keuangan Negara

    Kewenangan BPK dalam mengaudit BUMN sesuai amanat UUD, UU Keuangan Negara, UU

    Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keungan Negara pernah diajukan uji materi

    kepada Mahkamah Konstitusi. Berikut ini merupakan petikan pokok perkara serta putusan Mk

    tersebut.

    Putusan MK nomor 62/PUU-XI/2013terkait permohonan uji materi

    UU No 17 tahun 2003 tentang keuangan Negara pasal 2

    Menurut pemohon:

    Pemohon (Forum Hukum BUMN) meminta MK mengeluarkan kekayaan negara atau daerahyang dikelola BUMN/BUMD serta kekayaan lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

    yang diberikan pemerintah. Mereka meminta agar BPK tak bisa lagi memeriksa pengelolaan

    dan tanggung jawab keuangan di BUMN dan BUMD, meminta keterangan atau dokumen terkait

    pemeriksaan, serta memberikan pendapat kepada DPR atau instansi lain terkait hasil

    pemeriksaannya. Dalam permohonannya, mereka memohon pengujian konstitisionalitas Pasal

    2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara dan Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) huruf b, Pasal

    10 ayat (1) dan ayat (3), dan Pasal 11 huruf a UU BPK. Pemohon menilai pengertian keuangan

    negara dan kekayaan negara dalam Pasal 2 huruf g dan huruf i UU Keuangan Negara

    menyebabkan disharmonisasi antara UU BUMN dan UU Perseroan Terbatas.

    Pihak pemohon memandang bahwa pengkategorian kekayaan BUMN dan BUMD sebagai

    kekayaan negara telah menimbulkan ketidakpastian dan benturan hukum. Sebab, tidak

    dibedakannya keuangan BUMN dan BUMD dengan keuangan negara tersebut telah

    mengakibatkan disparitas dan disharmoni pengertian terkait dengan definisi dan lingkup

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    11/24

    Page 11of 24

    keuangan negara. Termasuk menjadikan BUMN sebagai salah satu objek pemeriksaan BPK.

    Menurut mereka, sebagai badan hukum privat yang berbentuk perseroan, BUMN seharusnya

    tidak dikategorikan dalam cakupan pengaturan keuangan negara yang termasuk menjadi objek

    pemeriksaan BPK. Karena secara hukum BUMN tunduk kepada UU No. 40 Tahun 2007 tentang

    Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

    Akibatnya, merugikan kedudukan BUMN selaku badan hukum perdata. Sebab, tidak adaperbedaan yang tegas saat kapan menjadi badan hukum publik dan badan hukum perdata,

    yang menjadi lingkup kewenangan BPK mengaudit pengelolaan keuangan BUMN. Terlebih,

    secara regulasi, tata kelola, dan risiko BUMN/BUMD tidak diwujudkan (masuk) dalam UU

    APBN.

    Karena itu, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 2 huruf g dan i UU Keuangan Negara

    bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1), Pasal 28C ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

    dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa termasuk kekayaan yangdipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah dan frasa kekayaan pihak lain yang

    diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

    Berikut kutipan permohonan dari Alasan mengajukan uji materi dalam amar putusan MK:

    1. Pasal 2 Ayai (1) huruf B Undang undang no 19 tahun 2003 tentang BUMN menyatakan

    tujuan BUMN salah satunya adalah menghasilkan laba. Oleh karena itu, BUMNmelakukan usaha yang tentu saja menghadapi risiko.

    2. Ketentuan pasal 2 huruf g dan huruf I UU Keuangan negara, dimana definisi keuangan

    negara mencakup kekayaan lain yang dipisahkan pada perusahaan negara termasuk

    BUMN dan juga kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan fasilitas yang diberi oleh

    pemerintah.

    3. Implikasi negatifnya adalah pemohon mendapat kendala dalam melaksanakan fungsi

    terkait adanya ketidakjelasan ketentuan yang mengatur BUMN, termasuk dalam UU

    BPK pasal 6, pasal 9, dan pasal 10.

    4. Bahwa BUMN sebagai badan hukum privat tidak dikategorikan sebagai cakupan

    keuangan negara, namun hanya tunduk pada UU BUMN dan UU perseroan terbatas.

    Dengan demikian, pemohon merasa ada kerugian dengan tidak adanya jaminan kepastian

    hukum yang adil dan kesamaan dimata hukum. Menurut pemohon, dalam UU APBN tiap

    tahunnya mengatur dua hal yang terkait dengan BUMN:

    1. Dana APBN yang dialokasikan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan untuk

    menjadi modal BUMN yang harusnya bukan lagi domain dari kekayaan negara

    2. PNBP berupa bagian pemerintah atas laba BUMN (dividen) yang dinyatakan dalam

    RUPS yang menjadi bagian dari keuangan negara.

    Putusan MK:

    Dalam pertimbangan putusan MK yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi, Aswanto

    memandang, BUMN atau BUMD adalah perusahaan milik negara. Walaupun kekayaan negara

    yang diberikan kepada BUMN untuk dijadikan modal usaha BUMN atau BUMD tersebut

    kemudian dipisah dari kekayaan negara, pemisahan tersebut semata hanyalah untuk

    memudahkan pengelolaan usaha.

    Menurut Mahkamah, justru timbul ketidakpastian hukum apabila Pasal 2 huruf g dan huruf i

    dihapus karena ada ketidakjelasan status keuangan negara yang digunakan oleh BHMN

    Perseroan Terbatas dalam menyelenggarakan fungsi negara.

    Menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dilihat dari perspektif transaksi bukanlah

    transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak

    dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan

    negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara.

    Sementara objek pemeriksaan BPK yang diatur Pasal 6 ayat (1) UU BPK adalah keuangan

    negara yang dikelola oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya,Bank Indonesia, BUMN, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau

    badan lain yang mengelola keuangan negara. Norma tersebut adalah tindak lanjut Pasal 23E

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    12/24

    Page 12of 24

    ayat (1) dan Pasal 23G ayat (2) UUD 1945 yang merupakan kebijakan hukum terbuka (opened

    legal policy) yang diberikan UUD 1945 kepada pembentuk Undang-Undang sepanjang

    berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara.

    Terkait kewenangan BPK, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan

    negara dan BUMN atau BUMD juga kepanjangan negara yang sesungguhnya milik negara dan,

    tidak terdapat alasan BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Atas dasar itu, Pasal 6 ayat (1),Pasal 9 ayat (1) huruf b, dan Pasal 10 ayat (1), (3), Pasal 11 huruf a khususnya sepanjang frasa

    Badan Usaha Milik Negara UU BPK tidak beralasan menurut hukum.

    Selain itu, ada pula putusan MK terhadap uji materi terkait piutang bank BUMN. Berikut

    merupakan isi putusan MK tersebut.

    Putusan MK terkait uji materi piutang bank BUMN

    Latar belakang:Berdasarkan ketentuan Undang undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang PUPN pengurusan

    piutang Negara/Lembaga Pemerintah Non Kementerian Negara/Lembaga Negara, piutang

    Daerah, piutang BUMN, piutang BUMD, dan piutang badan usaha yang modalnya sebagian atau

    seluruhnya dimiliki oleh BUMN/BUMD dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara

    (PUPN)/Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Sesuai dengan amanat yang terdapat

    dalam pasal 8 dan pasal 12 Nomor 49 Prp. Tahun 1960, piutang instansi pemerintah dan

    badan-badan tersebut di atasinstansi wajib diserahkan piutangnya kepada PUPN.

    Penyerahan pengurusan PUPN/DJKN dilakukan setelah instansi pemerintah dan badan-badan

    tersebut di atas yang memiliki piutang melakukan upaya penagihan akan tetapi debitor belum

    melunasi hutangnya, dan instansi pemerintah dan badan badan tersebut di atas yang memiliki

    piutang dapat menyampaikan dokumen yang menunjukkan adanya dan besarnya piutang.

    Pemohon:

    Permohonan ini diajukan Direktur Utama PT Lamindo Group Syaiful yang menaungi tujuh

    perusahaan, salah satunya PT Sarana Aspalindo Padang Dkk. Para pemohon menilai

    berlakunya pasal-pasal itu menimbulkan ketidakadilan, dan ketidakpastian hukum bagi

    debitur yang mengalami kredit macet di Bank Negara Indonesia (BNI). Hal ini bertentangan

    dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

    Sejak berlakunya UU PUPN ini pemerintah (bank pemerintah, red) masih belum bisa

    melakukan pemotongan utang (hair cut) kepada debitur yang mengalami kredit macet di bank

    pemerintah karena terikat dengan kewenangan PUPN. Jika pemotongan hutang dilakukan

    berdasarkan struktur keuangan negara dinilai sebagai kerugian negara yang dianggap sebagai

    korupsi.Sementara kalau di bank swasta pemotongan utang berdasarkan aturan bisa dilakukan. Hal ini

    menimbulkan perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang dialami pemohon. Karena itu, para

    pemohon meminta MK membatalkan pasal-pasal itu dengan menyatakan tidak mempunyai

    kekuatan hukum mengikat.

    Kuasa hukum pemohon, Gradios Nyoman Tio Rae menyambut baik putusan MK ini. Dengan

    adanya putusan MK ini semua debitur bank BUMN akan mendapatkan perlakuan yang adil.

    Putusan ini memberi arahan kepada bank BUMN untuk melaksanakan tugasnya secara

    profesiomal berdasarkan RUPS.

    Keputusan MK:

    Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Pasal 4,

    Pasal 8, dan Pasal 12 ayat (1) UU No 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan PiutangNegara (PUPN). Mahkamah membatalkan frasa badan-badan negara dalam pasal-pasal itu.

    Artinya, secara tersirat MK menyatakan piutang badan usaha yang dikuasai negara (bank

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    13/24

    Page 13of 24

    BUMN) tidak perlu menyerahkan piutang (tagihan) kepada PUPN lagi.

    Menurut Ketua Majelis MK saat itu, Moh Mahfud MD, Frasa atau Badan-badan yang baik secara

    langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara dalam Pasal 8 UU PUPN bertentangan

    dengan UUD 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dalam putusannya, melalui

    Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menuturkan terdapat dua jenis piutang negara sesuai UU

    PUPN yaitu:1. piutang negara dan

    2. piutang badan yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara.

    Dalam hal ini, termasuk piutang bank-bank BUMN yang langsung atau tidak langsung

    dikuasai negara.

    Dalam pengertian ini, piutang-piutang bank BUMN yang ada dan jumlahnya telah pasti

    dilimpahkan penyelesaiannya kepada PUPN, yang tidak memiliki kebebasan melakukan

    restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut. Di sisi lain, kenyataannya debitur pada

    Bank non-BUMN mendapatkan fasilitas restrukturisasi utang termasuk pemberian hair cut

    kepada debiturnya oleh masing-masing manajemen bank yang bersangkutan.

    Mengacu Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, piutang

    negara hanyalah tagihan sejumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan/atau

    pemerintah daerah. Jadi, tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atautidak langsung dikuasai negara termasuk dalam hal ini piutang Bank BUMN.

    Pendapat ahli pemerintah, Mariam Darus, berpendapat dalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 2004

    telah terjadi perubahan pengertian tentang piutang negara yang intinya piutang badan atau

    BUMN telah dikeluarkan dari lingkup piutang negara. Menurut ahli lainnya, Darminto Hartono

    piutang BUMN yang dalam hal ini BNI adalah piutang perseroan terbatas, sehingga mekanisme

    penyelesaian dapat melakukan restrukturisasi baik dalam bentuk hair cut, konversi, maupun

    rescheduling.

    Menurut Mahkamah, penyelesaian piutang Bank BUMN masih terdapat dua aturan yang

    berlaku yakni UU PUPN dan UU Perbendaharaan Negara jo UU BUMN, UU Perseroan Terbatas,

    sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan prinsip-prinsip

    konstitusi. Hal ini menimbulkan perlakuan yang berbeda antara debitur bank BUMN dan bankswasta, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    Karena itu, piutang bank BUMN setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 2004, UU BUMN, dan serta

    UU Perseroan Terbatas bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke

    PUPN. Piutang bank-bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing

    bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat.

    Menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b PP No. 36 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP

    No 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah tidak sejalan

    dengan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT. Dengan demikian, piutang negara yang berkaitan

    dengan piutang badan-badan usaha baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara

    dalam UU No. 49 Tahun 1960 adalah beralasan menurut hukum.

    Di lain pihak, Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri

    Keuangan mengenai tagihan bank-bank BUMN. MA menyatakan bahwa tagihan bank BUMN

    bukan tagihan negara karena bank BUMN Persero tunduk pada UU No.1 Tahun 1995 tentang

    Perseroan Terbatas (PT). Fatwa Mahkamah Agung (MA) Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006

    tanggal 16 Agustus 2006. Fatwa MA tersebut menyatakan bahwa UU No. 19/2003 merupakan UU

    khusus (lex spesialis) dan Modal BUMN merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dari APBN dan

    selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan

    pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

    Jika bisa ditarik simpulan dari putusan MK menyatakan bahwa BPK tetap berwenang

    mengaudit BUMN sebagai bagian dari Keuangan Negara. Di sisi lain, piutang BUMN tidakdimasukkan sebagai piutang negara yang diperkuat dengan fatwa MA. Hal ini menunjukkan

    ada dua sudut pandang yaitu yuridis terkait wewenang BPK yang tetap dapat mengaudit BUMN

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    14/24

    Page 14of 24

    sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan dan sisi bisnis terkait putusan piutang BUMN

    yang tidak termasuk piutang negara.

    b. Kerugian BUMN terkait Keuangan Negara

    Saat ini, terdapat dua pendekatan tentang kerugian BUMN Persero dan kerugian negara,

    yaitu pendekatan hukum (legal judgement) dan pendekatan bisnis (business judgement)yang

    menghasilkan dua pengertian berbeda.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik

    Negara (UU BUMN), Badan Usaha Milik Negara atau BUMN adalah badan usaha yang seluruh

    atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang

    berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

    BUMN sendiri terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu Perusahaan Perseroan (Persero) dan

    Perusahaan Umum (Perum). Persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang

    modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen)

    sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar

    keuntungan. Sedangkan, Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak

    terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang

    dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip

    pengelolaan perusahaan.

    Terhadap BUMN yang berbentuk Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip

    yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No. 40

    Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Ini sebagaimana terdapat dalam Pasal 11

    UU BUMN jo. Pasal 3 UU BUMN beserta penjelasannya. Dengan demikian, segala peraturan

    yang berlaku terhadap perseroan terbatas berlaku juga untuk BUMN yang berbentuk Persero

    selama tidak diatur oleh UU BUMN.

    Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 1 angka 1 UUPT, perseroan terbatas merupakan

    badan hukum yang merupakan persekutuan modal. Dengan demikian Persero yang dalam

    pengaturannya merujuk pada UUPT, juga merupakan badan hukum. Dalam buku Prof. Subekti,

    S.H. 1yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata pada hal. 21 dijelaskan antara lain, badan

    hukum merupakan subyek hukum layaknya perorangan yang dapat memiliki hak-hak dan

    melakukan perbuatan-perbuatan hukum layaknya manusia. Badan hukum tersebut juga

    memiliki kekayaan sendiri, dapat bertindak dalam lalu lintas hukum dengan perantaraan

    pengurusnya, serta dapat digugat dan juga menggugat di muka Hakim. Dengan memiliki

    kekayaan sendiri, maka kekayaan badan hukum terpisah dari kekayaan pendirinya yang

    melakukan penyertaan di dalam badan hukum tersebut.

    Ini berarti bahwa berdasarkan pengertian BUMN itu sendiri dan ketentuan dalam UUPT,

    yang mana BUMN yang berbentuk Persero merupakan badan hukum, maka kekayaan Persero

    dan kekayaan negara merupakan hal yang terpisah. Dengan adanya pemisahan kekayaan, ini

    berarti kerugian yang dialami oleh BUMN tidak dapat disamakan dengan kerugian negara.

    Kerugian BUMN hanyalah akan menjadi kerugian dari BUMN itu sendiri.

    Hal tersebut juga berlaku dalam BUMN yang berbentuk Perum, yang berdasarkan Pasal 35

    UU BUMN Perum mempunyai status sebagai badan hukum sejak diundangkannya tentang

    pendirian Perum tersebut dalam Peraturan Pemerintah.

    Pasal 35 ayat (2) UU BUMN:

    Perum yang didirikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh status badan

    hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

    1Hukum online

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    15/24

    Page 15of 24

    Oleh karena Perum juga merupakan badan hukum, maka uraian di atas mengenai kekayaan

    badan hukum yang terpisah dari pendirinya juga berlaku untuk Perum. Selain itu, menteri

    sebagai salah satu organ Perum, tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai

    kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum (dengan beberapa pengecualian)

    sebagaimana terdapat dalam Pasal 39 UU BUMN:

    Pasal 39 UU BUMN:

    Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak

    bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam

    Perum, kecuali apabila Menteri:

    a. baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata

    untuk kepentingan pribadi;

    b. terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau

    c. langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum.

    Maka apabila kerugian tersebut diakibatkan oleh Perum itu sendiri, maka kerugian tersebut

    tidak dapat dibebankan kepada negara atau Menteri dan kerugian tersebut bukan merupakantanggung jawab negara atau Menteri. Dengan begitu jelas bahwa negara yang melakukan

    penyertaan dalam BUMN tidak mengalami kerugian dengan adanya kerugian dalam BUMN

    dalam menjalankan usahanya.

    Meski demikian, terdapat ketentuan yang berbeda terkait kekayaan BUMN sebagaimana

    diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Pasal

    2 huruf g UU Keuangan Negara yang menyatakan bahwa keuangan negara meliputi:

    g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat

    berharga, piutang barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

    dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

    Dalam Pasal 1 UU Keuangan Negara juga ditegaskan bahwa perusahaan negara adalahbadan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Ini berarti

    kekayaan BUMN termasuk ke dalam kekayaan negara.

    Permasalahan ini timbul setelah adanya Undang-undang Keuangan Negara dan Undang-

    Undang Dasar 1945 pasca perubahan, BUMN Persero menjadi tidak jelas karena BUMN Persero

    masuk dalam tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-undang BUMN,

    pengelolaan BUMN Persero dilakukan dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang

    Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya. Ditambah lagi dengan keluarnya Fatwa

    Mahkamah Agung No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 tentang pemisahan kekayaan BUMN dari

    kekayaan negara yang menimbulkan kontroversi dan diprotes dari banyak pihak karena

    dianggap menghalangi upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

    selama ini menunjukkan bahwa pengelolaan kekayaan BUMN Persero, tidak terdapat

    pemisahan antara status negara sebagai penyelenggara pemerintahan dengan status sebagai

    pelaku usaha (investor); investasi negara pada BUMN Persero tersebut belum diperlakukan

    sama sebagaimana halnya investasi swasta pada sebuah Perseroan Terbatas. Mengakibatkan

    permasalahan yang krusial melanda dikalangan perusahaan swasta maupun BUMN Persero

    salah satunya adalah kualifikasi kerugian keuangan negara yang tidak jelas, apakah kesalahan

    dalam pengambilan keputusan ataupun akibat resiko bisnis yang menyebabkan perusahaan

    BUMN Persero mengalami kerugian termasuk kategori kerugian keuangan negara.

    Permasalahan ini mengakibatkan sebagian direksi BUMN Persero takut mengambil keputusan

    bisnis karena mereka selalu dihadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara

    dan ancaman tindak pidana korupsi.

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    16/24

    Page 16of 24

    Dalam masalah ini, diperlukan adanya pemisahan yang jelas mengenai status negara sebagai

    pelaku usaha dengan status negara sebagai penyelenggara pemerintah. Dengan adanya

    pemisahan tersebut maka terdapat kejelasan mengenai konsep kerugian keuangan negara.

    BUMN Persero sebagai salah satu bentuk badan usaha yang tujuannya mencari untung adalah

    badan hukum yang terpisah dan memiliki tangung jawab yang terpisah pula, walaupun

    dibentuk dan modalnya berasal dari keuangan negara dan kerugian satu transaksi atau

    kerugian dalam badan hukum tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kerugian keuangan

    negara karena negara telah berfungsi sebagai badan hukum privat dan terhadap badan hukum

    tersebut berlaku juga ketentuan Undang-undang Perseroan Terbatas.

    kerugian yang terjadi di suatu BUMN Persero, belum tentu kerugian tersebut

    mengakibatkan kerugian negara melainkan kerugian tersebut bisa juga merupakan kerugian

    perusahaan (resiko bisnis) sebagai badan hukum privat. Mengenai pertanggungjawaban atas

    kerugian perusahaan tersebut seharusnya menggunakan doktrin Business Judgement Rule.

    Menurut http://legal-dictionary.thefreedictionary.com/ ,

    Business Judgement Rules is a legal principle that makes officers, directors, managers, and other agents

    of a corporation immune from liability to the corporation for loss incurred in corporate transactions that

    are within their authority and power to make when sufficient evidence demonstrates that the transactions

    were made in Good Faith.

    Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) belum

    mengatur secara rinci mengenai konsep Business Judgment Rule. Pasal 85 ayat 1 dari UUPT

    hanya menyebutkan secara umum mengenai prinsip itikad baik dan tanggung jawab dari

    direksi dalam menjalankan perseroan. Namun dalam rancangan UUPT yang baru, konsep

    Business Judgment Rule telah dipertegas dalam Pasal 95 ayat (5) dan Pasal 102 ayat (4),

    dimana anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian bila dapat

    membuktikan bahwa:

    1.

    Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan

    dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;

    3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas

    tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan

    4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

    Jadi dalam hal direksi dapat membuktikan keempat unsur diatas maka atas kerugian

    tersebut direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena kerugian itu merupakan kerugian

    akibat resiko bisnis.

    Undang-undang no 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi , yang berlaku mulaitanggal 16 Agustus 1999 dan telah direvisi dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang

    Perubahan atas UU nomor 31 Tahun 1999 dimaksudkan untuk menggantikan undang-undang

    no 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun tujuan yang diemban

    dalam pengundangan UU TP Korupsi ini adalah harapan untuk dapat memenuhi dan

    mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan hukum bagi masyarakat dalam rangka

    mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap tindak pidana korupsi yang sangat

    merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan masyarakat pada umumnya.

    Disamping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas

    sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial

    dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengancara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    17/24

    Page 17of 24

    dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian

    yang dibebankan kepada terdakwa.

    Kerugian Keuangan Negara dari Sudut UU Tipikor

    Istilah keuangan negara dalam undang-undang ini tercantum dalam pasal 2 yang berbunyi:

    (ayat 1)

    Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

    lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,

    dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan

    paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan

    paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

    dan pasal 3 yang berbunyi:

    Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

    menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau

    kedudukannya yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan

    pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20

    (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit RP.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak

    Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)

    .Dalam ayat di atas dapat dicermati lebih lanjut yaitu bahwa terdapat 3 pengertian yaitu

    kegiatan tindak pidana korupsi, pengertian keuangan negara dan perekonomian

    negara. Lebih lanjut pengertian keuangan negara disebutkan dalam bagian penjelasan umum

    undang-undang tindak pidana korupsi yaitu bahwa:

    keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang

    tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban

    yang timbul karena:

    b. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik

    tingkat pusat maupun di daerahc. berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan

    Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau

    perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara.

    Pada bagian yang sama yaitu penjelasan umum undang-undang no 31 Tahun 1999

    disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan

    perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun

    usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijaksanaan pemerintah baik di

    tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

    yang beralku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran dan kesejahteraan kepada

    seluruh kehidupan masyarakat.

    Pengertian terakhir adalah tindak pidana korupsi dimana disampaikan bahwa tindak pidana

    korupsi adalah:

    a. setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri

    atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau

    perekonomian negara.

    b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu

    korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

    karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau

    perekonomian negara.

    Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa undang-undang ini bermaksud mengantisipasi

    penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang dirasa semakin canggih dan

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    18/24

    Page 18of 24

    rumit. Oleh karenanya tindak pidana korupsi yang diatur dirumuskan seluas-luasnya sehingga

    meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

    secara melawan hukum. Dalam rumusan diatas pengertian melawan hukum dalam tindak

    pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan

    keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Sedangkan yang dimaksud dengan

    merugikan adalah sama artinya dengan menjadi rugi atau menjadi berkurang, sehingga dengan

    demikian yang dimaksud dengan unsur merugikan keuangan negara adalah sama artinya

    dengan menjadi ruginya keuangan negara atau berkurangnya keuangan negara.

    Dalam hal terjadi kerugian pada BUMN Persero, para penegak hukum dan aparat negara,

    masih berpegang pada Pasal 2 huruf g Undang-undang Keuangan Negara dan Penjelasan

    Umum Undang-undang Tipikor yang menyatakan bahwa Penyertaan Negara yang

    dipisahkan merupakan kekayaan negara, sifatnya tetap berada di wilayah hukum publik,

    sehingga kalau uang negara berkurang satu sen pun, maka bisa dianggap merugikan negara.

    Padahal kerugian dalam suatu perusahaan tidak dihitung berdasarkan kerugian dari satu

    transaksi semata melainkan sebagaimana dalam pasal 60 Undang-Undang No. 1 tahun 1995

    tentang Perseroan Terbatas, bahwa RUPS tahunan menyetujui laporan tahunan dan

    pengesahan perhitungan tahunan, jadi jelas bahwa kerugian tidak dihitung berdasarkan satu

    transaksi melainkan seluruh transaksi dalam tahun tersebut. Karena bisa saja satu transaksi

    rugi tapi transaksi lain untung dan kerugian tersebut dapat ditutupi dengan dana cadangan

    perusahaan. Dengan demikian kerugian suatu BUMN Persero belum tentu merupakan kerugian

    negara.

    Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hasan Bisri mengaku khawatir praktek manipulasi

    dan rekayasa yang dilakukan sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) pada periode 1998-

    1999 bakal terulang. Perkiraan ini timbul terutama bila uji materi terhadap Undang-Undang

    Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006

    tentang Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

    dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi.2 Menurutnya BPK sudah dengan jelas membedakan

    kerugian akibat risiko bisnis atau kesalahan managemen BUMN. 3Misalnya kerugian Garuda

    yang dipengaruhi oleh kurs rupiah. Dalam hal seperti ini maka tidak ada unsur kerugian negara

    yang dikenakan. Akan tetapi, hal ini belum memiliki payung hukum yang jelas sehingga masih

    perlu ditindaklanjuti untuk membuat payung hukum demi kepastian hukum.

    Dalam Undang-undang Perseroan Terbatas mengatur juga dalam hal pemegang saham yang

    merasa dirugikan akibat tindakan direksi, komisaris atau keputusan RUPS yang menyebabkan

    perusahaan rugi setelah direksi atau komisaris diberikan kesempatan sebagaimana ketentuan

    Business Judgment Rule, maka berdasarkan pasal 97 ayat 6 UU No. 40 tahun 2007, pemegang

    saham dapat mengajukan gugatan terhadap perseroan. Selain itu, dalam hal pemegang saham

    melihat adanya indikasi pidana dari tindakan direksi atau komisaris yang menyebabkan

    kerugian tersebut, tahap pertama yang harus dilakukan adalah tahapan sebagaimana tertuang

    dalam ketentuan Pasal 110 Undang-undang Perseroan Terbatas. Kemudian penyelesaiannya

    akan menempuh jalur pidana sebagaimana tertuang dalam ketentuan KUHP.

    c. Publikasi laporan audit BPK terkait keterbukaan informasi kepada publik

    UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memberi hak kepada

    masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai hail audit BPK. Informasi dapat diperoleh

    melalui web maupun meminta kepada Pusat Informasi dan Komunikasi (PIK) BPK.

    2Tempo

    3BUMN Track

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    19/24

    Page 19of 24

    Dalam dokumen berjudul Pemuatan Dan Batas Waktu Pemuatan Laporan Hasil

    Pemeriksaan (LHP) BPK dalam Website, dijelaskan bahwa:

    dalam rangka pelaksanaan transparansi dan untuk mendorong terlaksananya

    pemerintahan yang baik, BPK RI telah memuat dan mempublikasikan hasil pemeriksaan dalam

    website BPK RI setelah hasil pemeriksaan tersebut diserahkan kepada lembaga perwakilan.

    Sejalan dengan pasal 19 UU no. 15 tahun 2004, pasal 7 UU no. 15 tahun 2006 dan pasal 9 UU no.

    14 tahun 2008.

    Jadi, dasar hukum pemuatan dan publikasi LHP di situs BPK adalah pasal 19 UU no. 15

    tahun 2004, pasal 7 UU BPK dan pasal 9 UU no. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

    Publik. Mengenai muatan hasil pemeriksaan yang dapat atau tidak dapat disampaikan kepada

    publik, dalam dokumen yang sama dijelaskan:

    dengan demikian, BPK dapat membuat suatu aturan mengenai jangka waktu publikasi

    dalam website dengan mencontoh pada anao (the australian national audit office), termasuk

    kebijakan atau aturan menetapkan adanya hasil pemeriksaan yang masuk dalam kategori

    rahasia negara, serta yang tidak bisa disampaikan kepada publik, dengan memperhatikan

    peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Mengenai publikasi laporan audit BPK diatur lebih lanjut dalam Peraturan BPK Nomor 3

    tahun 2011 Pengelolaan Informasi Publik Pada Badan Pemeriksa Keuangan. Di Pasal 11

    peraturan ini mengatur mengenai informasi publik yang dikecualikan untuk dipublikasi

    meliputi:

    a. informasi terkait dengan proses pemeriksaan atau proses evaluasi sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b;

    b. Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dan huruf b yang

    memuat:

    1. rahasia negara;

    2.

    hasil pemeriksaan investjgatif dan pemeriksaan Fraud Forensic; dan

    3. informasi publik yang menurut Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

    dikecualikan untuk dipublikasikan;

    c. informasi publik yang dimuat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud

    pada huruf b angka 3 meliputi:

    1. informasi publik yang apabila dibuka dapat menghambat proses penegakan hukum;

    2. informasi publik yang dapat mengganggu kepentingan perlindungan atas hak kekayaan

    intelektual atau persaingan usaha tidak sehat;

    3. informasi publik yang terkait dengan strategi, intelijen, dan sistem pertahanan dan

    keamanan negara;

    4.

    informasi publik yang mengungkapkan kekayaan alam negara Indonesia;

    5. informasi publik yang apabila dibuka dapat merugikan ketahanan ekonomi

    nasional,antara lain pengawasan terhadap perbankan, asuransi, dan lembaga keuangan

    lainnya;

    6. informasi publik yang apabila dibuka dapat mengganggu hubungan luar negeri; dan

    7. informasi yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan proses pencetakan uang;

    dan/atau informasi yang menurut undang-undang tidak boleh diungkapkan;

    d. pedoman pemeriksaan yang meliputi pedoman, standar, panduan, petunjuk pelaksanaan,

    petunjuk teknis, prosedur operasional standar, dan seri panduan yang berlaku di

    lingkungan BPK;

    e.

    memorandum atau surat-surat antara BPK dengan Badan Publik lainnya atau disposisi dan

    nota dinas internal BPK yang menurut sifatnya dirahasiakan;

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    20/24

    Page 20of 24

    f. data pribadi pejabat dan pegawai di lingkungan BPK; dan

    g. informasi yang tidak boleh diungkapkan berdasarkan Undang-Undang.

    d. Kewenangan Audit BPK Sehubungan Dengan Kerahasiaan Pajak

    Latar belakang BPK mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas Undang Undang

    No. 28 Tahun 2007 tentang perubahan ketiga UU No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum

    dan Tata Cara Perpajakan karena dalam pasal tersebut ada pasal tentang prosedur yang

    membatasi BPK untuk memperoleh data dan informasi perpajakan. Pasal yang dimaksud adalah

    pasal 34 ayat 2a (huruf b) yang berbunyi dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dan ayat (2) adalah: pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri

    Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi

    Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

    Ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor

    539/KMK.04/2000 tentang Pihak Lain yang Dapat Diberikan Keterangan oleh Pajabat dan

    Tenaga Ahli yang Ditunjuk mengenai Segala Sesuatu yang Diketahui atau Diberitahukan

    Kepadanya oleh Wajib Pajak dalam Rangka Jabatan atau Pekerjaannya untuk Menjalankan

    Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan, yang ketentuannnya memuat syarat-

    syarat bagaimana pihak lain tersebut dapat meminta data Wajib Pajak, antara lain: (1) Badan

    Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP); (2)

    menyampaikan Surat Tugas yang harus menyebutkan nama Wajib Pajak dan keterangan yang

    ingin diketahui tentang Wajib Pajak yang bersangkutan; dan (3) Keterangan yang dapat

    diberitahukan adalah keterangan yang bersifat umum mengenai perpajakan yang menyangkut

    Wajib Pajak dan pelaksanaannya ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

    BPK mempunyai mandat sesuai pasal 23 E ayat 1 UUD 1945 untuk melaksanakan

    pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang diterjemahkan dalam UU

    No 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara dan

    UU No.15 tahun 2006 tentang BPK. Menurut undang-undang tersebut BPK diberikan

    kewenangan untuk mengakses data dan informasi terkait dengan pengelolaan keuangan negara.

    Sedangkan dalam pasal 34 UU No. 28/2007 ada pembatasan yaitu hanya pejabat dan tenaga ahli

    yang ditetapkan Menkeu yang boleh memberikan keterangan tersebut. BPK meminta frasa

    ditetapkan oleh Menkeu tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga BPK dapat meminta

    data/informasi kepada aparat dan pejabat pajak dimana pun terkait pemeriksaan BPK.

    Selain pembatasan prosedur, BPK menilai ada yang lebih menghambat lagi bagi BPK yaitu

    seperti yang tertera dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a. Pasal tersebut mengatur secara limitatif

    tentang jenis-jenis data/dokumen yang boleh diberikan kepada BPK. Data dan informasi yang

    ada dalam penjelasan pasal 34 ayat 2a tidak cukup memadai bagi BPK untuk melakukan audit.

    Penjelasan tersebut berisi pembatasan informasi yang bisa diberikan kepada BPK itu

    bertentangan dengan Pasal 9 UU No15 Tahun 2006 tentang BPK. Isi pasal 9 UU BPK itu adalah

    kewenangan BPK secara keseluruhan. Pasal 9 huruf a menegaskan kewenangan BPK untuk:

    ...menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan, menentukan waktu dan

    metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan. Huruf b nya adalah

    ...meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit organisasi

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik

    Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola

    keuangan negara.

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    21/24

    Page 21of 24

    Karena itu, pembatasan informasi yang boleh diberikan kepada BPK jelas-jelas

    bertentangan dengan Pasal 9 UU BPK ini. Padahal, Pasal 9 itu merupakan atribusi dari Pasal 23E

    UUD' 45 yang merupakan legal standingpemohon.

    Informasi yang Diperlukan untuk Pemeriksaan Pajak

    Pemeriksaan Penerimaan Pajak

    Penjelasan Pasal 34

    ayat 2A UU KUP

    Versi Pemerintah Versi BPK

    Identitas Wajib Pajak

    a. Nama

    b. NPWP

    c. Alamat

    d.

    Alamat kegiatan

    usaha

    e. Merek usaha:

    dan/atau

    f. Kegiatan usaha

    Dokumen yang digunakan sebagai

    dasar pencatatan, yaitu dokumen

    berupa penerimaan pajak berdasarkan

    hasil rekonsiliasi antara Ditjen

    Perbendaharaan dengan bank persepsi

    yang didukung dengan:

    a. Surat Setoran Pajak (SSP)

    b. Surat Setoran Bea Perolehan Hak

    atas Tanah dan Bangunan

    (SSBPHTB)

    c. Surat Tanda Terima Setoran (STTS)

    d. Surat Setoran Pabean, Cukai dan

    Pajak (SSPCP)

    e. Bukti Pemindahbukuan

    Dokumen minimal yang harus

    diperoleh:

    a. Laporan Penerimaan

    Pajak oleh DJP

    b.

    Surat Setoran Pajak (SSP)

    sebagai bukti transaksi

    penerimaan pajak.

    c. Akses data penerimaan

    pajak pada sistem

    informasi komputer

    Hasil Putusan Judicial Review adalah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memutuskan

    untuk menolak gugatan "judicial review" BPK karena dianggap tidak memiliki kedudukan

    hukum atau "legal standing" sehubungan tidak ada kewenangan konstitusional BPK yang

    dirugikan.

    e. Kewenangan Audit BPK Sehubungan Biaya Perkara

    Untuk memahami terminologi biaya perkara dapat kita rujuk pada (pasal 121 ayat (4) HIR

    / pasal 145 (4) RBg, yang menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan biaya perkara adalah

    biaya yang terlebih dahulu harus dibayar oleh penggugat ketika memasukan gugatan perkaraperdata, sesuai dengan asas tidak ada biaya, tidak ada perkara; Biaya perkara pada saat

    putusan akhir dibebankan kepada pihak yang kalah

    Pasca perseteruan antara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA) RI

    puncaknya BPK melaporkan Mahkamah Agung (MA) ke Kepolisian tgl 13 September 2007

    karena pencegahan terhadap pemeriksaan biaya perkara thn 2005-2006. Menurut MA biaya

    perkara bukan merupakan keuangan Negara melainkan uang titipan pihak ke-3 (pihak yang

    berperkara) sehingga cukup dipertanggungjawabkan secara intern (kepada para pihak)

    sehingga tidak termasuk dalam obyek audit oleh BPK, ditambah lagi belum ada aturan yang

    mengatur teknis terkait pemeriksaan dan pengelolaan dana pihak-3 (Biaya Perkara) dimaksud

    pada saat itu, sehingga bukan merupakan obyek pemeriksaan BPK. Sedangkan BPKberpendapat bahwa Biaya Perkara merupakan lingkup keuangan Negara sehingga merupakan

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    22/24

    Page 22of 24

    obyek pemerikasaan (UU No. 15 Thn 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

    Jawab Keuangan Negara Psl 3 menyebutkan bahwa

    Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh BPK meliputi

    seluruh unsur keuangan negara

    unsur keuangan Negara yang dimaksud merujuk pada pengertian keuangan Negara dalam

    UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 2 yang menyatakan,ruang lingkup keuangan negara termasuk kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam

    rangka penyelesaian tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.

    Pemungutan biaya perkara yang dilakukan MA kepada pihak berperkara adalah atas nama

    negara, sehingga harus dianggap sebagai lingkup keuangan Negara. Oleh karena itu sesuai

    dengan Pasal 24 ayat 2 UU No.15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Tanggung Jawab

    Keuangan Negara yang pada intinya menyatakan bahwa

    Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalangi dan atau menggagalkan pemeriksaan

    diancam dengan pidana dan atau denda

    atas dasar inilah kemudian BPK beranggapan MA tidak kooperatif dan bahkan mencegah

    dilakukannya pemeriksaan atas biaya perkara dimaksud.Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2008 yang ditandatangani oleh Presiden

    tanggal 23 Juli 2008 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

    berlaku Pada MA dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya sebagai pelaksanaan dari UU

    No. 20 tahun 2007 tentang PNBP, sekaligus menjadi dasar (payung hukum) pemungutan PNBP

    yang berasal dari biaya perkara. PP ini terdiri dari 4 pasal dilengkapi dengan lampiran berupa

    rincian jenis dan tarif PNBP atas biaya perkara.

    Macam Biaya Perkara

    Yang dimaksud dengan biaya perkara menurut pasal 121 HIR dan 145 R.Bg adalah :

    1. Biaya Kepaniteraan(Griffier Kosten)/Hak-hak kepaniteraan yang merupakan pungutan

    sebagai pelayanan/jasa pengadilan yang disetor ke kas Negara, jenis dan tarifnya telahdiatur dalam PP No. 53 Thn 2008, yang secara umum dikelompokan dalam 5 jenis (pasal 1)

    yaitu :

    a. Hak Kepaniteraan Mahkamah Agung

    b. Hak Kepaniteraan Peradilan Umum

    c. Hak Kepaniteraan Peradilan Agama

    d. Hak Kepaniteraan Tata Usaha Negara

    e. Hak Kepaniteraan lainnya.

    2. Ongkos/Biaya Proses, biaya yang merupakan biaya pelaksanaan peradilan yang

    digunakan untuk penyelesaian perkara perdata pada Pengadilan diluar biaya yang

    disebut pada point 1 (hak-hak kepaniteraan yang merupakan PNBP)

    C. SimpulanKeuangan negara dan pemeriksaan keuangan negara merupakan dua hal yang saling terkait.

    Pemeriksaan merupakan langkah dalam siklus anggaran dimana anggaran merupakan bagian

    dari keuangan negara. Kewenangan audit berada di tangan BPK termasuk kepada BUMN sesuai

    dengan amanat peraturan perundang-undangan dan diperkuat dengan putusan MK. Namun, di

    lain pihak MK juga memutus pada uji materi tentang piutang BUMN yang dipisahkan dari

    piutang negara. Hal ini berarti masih ada dua sudut pandang dalam menilai posisi BUMN

    terhadap keuangan negara yaitu sisi yuridis dan ekonomi/ bisnis. Hal yang sama juga berlaku

    saat membahas mengenai kerugian BUMN. Sudut pandang yuridis dan bisnis menghasilkanpendapat yang berbeda beda pula.

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    23/24

    Page 23of 24

    Diperlukan suatu formulasi hukum yang baru bagi penegak hukum, khususnya hukum

    pidana korupsi di Indonesia berkaitan dengan aspek kerugian negara. Penerapan asas-asas

    hukum pidana korupsi yang demikian mengaburkan dan tidak membedakan bentuk kerugian

    negara seperti dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak

    pidana korupsi merupakan penyimpangan hukum. Sebagai bukti terpisahnya negara sebagai

    badan hukum publik dengan keuangannya dalam bentuk saham dalam PERSERO, akan jelas

    terlihat bilamana PERSERO tersebut mengalami kerugian dan dinyatakan pailit maka

    pernyataan pailit tersebut tidak mengakibatkan negara pailit juga. Perlu juga dilakukan

    pemisahan antara negara berdasarkan peranan dan statusnya sebagai badan hukum publik

    dan badan hukum perdata.

    LHP BPK dapat dipublikasikan sesuai dengan UU tentang Keterbukaan Informsi Publik

    tetapi dengan batasan-batasan tertentu.

    Ada area yang masih diperdebatkan sehubungan kewenangan audit BPK yang diantaranya

    adalah pajak dan biaya perkara di pengadilan.

    D.

    Daftar PustakaAmandemen ketiga Undang-undang Dasar 1945

    Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

    Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbedaharaan Negara

    Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

    Jawab Keungan Negara

    Undang-undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

    Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroaan Terbatas

    Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

    Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentangPemberantasan Korupsi

    Peraturan BPK RI Nomor 01 Tahun 2007 Tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

    Peraturan BPK RI Nomor 3 tahun 2011 Pengelolaan Informasi Publik Pada Badan Pemeriksa

    Keuangan.

    Direktorat Penyusunan APBN, Direktorat Jenderal Anggaran. 2014. Pokok-Pokok Siklus

    APBN Di Indonesia Penyusunan Konsep Kebijakan dan Kapasitas Fiskal Sebagai

    Langkah Awal. Jakarta

    Tim Penyusun Modul Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPKAP).

    2012. Modul Keuangan Negara. 2012.

    Soepomo. Pemahaman Keuangan Negara. http://sikad.bpk.go.id/nw_detail.php?n_id=31Diakses 22 Oktober 2014

    SIKAD BPK. Suatu Tinjauan Yuridis : Kerugian Negara Vs Kerugian Persero.

    http://sikad.BPK.go.id/nw_detail.php?n_id=54 Diakses 21 Oktober 2014

    Hukum Online. Apakah Kerugian BUMN Merupakan Kerugian Negara?.

    http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50650f6510f7d/apakah-kerugian-

    bumn-merupakan-kerugian-negara? Diakses 21 Oktober 2014

    ---. Publikasi Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK Atas Audit Bank BUMN/BUMD Versus

    Rahasia Bank.

    http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt4c33e1f043510/node/lt4a0a533e

    31979/publikasi-laporan-hasil-pemeriksaan-(lhp)-bpk-atas-audit-bank-bumn_bumd-versus-rahasia-bank- Diakses 21 Oktober 2014

  • 8/10/2019 Keuangan Negara dan Pemeriksaan Keuangan Negara

    24/24

    Business Judgment Rule. http://legal-

    dictionary.thefreedictionary.com/Business+Judgment+Rule Diakses 21 Oktober 2014

    Gatot S Piartono Supiartono. Pemeriksaan Atas Keuangan Negara.

    http://kpu.go.id/dmdocuments/BPK1.pdf diakses pada tanggal 21 Oktober 2014

    Sulaiman, Alfin, S.H., M.H. . 2011. Definisi Keuangan Negara Menurut Konstitusi dan Undang-

    undang. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e666e195d202/definisi-

    keuangan-negara-menurut-konstitusi-dan-undang-undang , diakses 21 Oktober 2014

    Pengawasan Intern Oleh APIP. http://stdln.blogspot.com/2011/07/pengawasan-intern-

    oleh-apip_1229.html. diakses 24 Oktober 2014

    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.

    http://id.wikipedia.org/wiki/Laporan_Keuangan_Pemerintah_Pusat diakses 24

    Oktober 2014

    Apa yang disebut sebagai Biaya Perkara. http://anisauditor.blogspot.com/2011/12/apa-

    yang-disebut-sebagai-biaya.html diakses 25 Oktober 2014

    Memupus Polemik Keuangan Negara.

    http://bumntrack.co.id/?ForceFlash=true#/blog/Laporan-Khusus-Memupus-

    Polemik-Kerugian-Negara.html diakses 25 Oktober 2014

    Martha Thertina dan Rr Ariyani. BPK Khawatir Manipulasi BUMN Terulang.

    http://www.tempo.co/read/news/2013/09/05/087510492/BPK-Khawatir-

    Manipulasi-BUMN-Terulang diakses 25 Oktober 2014

    http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

    http://www.bppk.kemenkeu.go.id/