15
KARYA ILMIAH KETIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA (Refleksi atas Hukum Fiqih) PUSTAKA ILMU DAN AMAL JAKARTA SELATAN TAHUN 2013

Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

KARYA ILMIAH

KETIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA

(Refleksi atas Hukum Fiqih)

PUSTAKA ILMU DAN AMAL

JAKARTA SELATAN

TAHUN 2013

Page 2: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

2

Isu gender akhir-akhir ini demikian marak digulirkan melalui berbagai forum diskusi maupun seminar. Perbincangan di sekitar masalah ini perlu dilakukan untuk melihat secara objektif akan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam dinamika sosial. Dalam istilah kontemporer, kaum perempuan masih berada dalam posisi subordinat, marginal dan terdiskriminasi. Keadaan ini secara nyata seringkali mengantarkan kaum perempuan pada posisi yang rentan terhadap penindasan dan kekerasan.

Oleh: HASRUL

Ketimpangan Jender dalam

Interpretasi Agama

(Refleksi atas Hukum Fiqih)

Page 3: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

3

I. PENDAHULUAN

Isu gender akhir-akhir ini demikian marak digulirkan melalui

berbagai forum diskusi maupun seminar. Perbincangan di sekitar masalah

ini perlu dilakukan untuk melihat secara objektif akan kedudukan laki-laki

dan perempuan dalam kehidupan sosial. Dalam istilah kontemporer, kaum

perempuan masih berada dalam posisi subordinat, marginal dan

terdiskriminasi. Keadaan ini secara nyata seringkali mengantarkan kaum

perempuan pada posisi yang rentan terhadap penindasan dan kekerasan.

Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia, laki-laki selalu

mendominasi perempuan dalam seluruh aspek kehidupan, baik kehidupan

beragama maupun dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Pada kondisi

tersebut, perempuan selalu tidak mendapat hak-haknya sebagaimana

yang diperoleh pihak laki-laki termasuk hak-hak kebendaan dan

pemanfaatannya. (Amir Syarifuddin, 2005: 181) Saat ini, hak-hak

perempuan dianggap telah mendapat signifikansi yang kuat di masa

modern dan khususnya di dunia Islam. Namun, secara historis perempuan

masih juga tetap tersubordinasi oleh laki-laki. Perempuan dianggap

sebagai jenis kelamin kedua sebagaimana Simon de Beavoir

menggambarkan perempuan. Teriring zaman, proses liberalisasi

perempuan telah memperoleh signifikansinya yang baru, khususnya

setelah perang dunia kedua. (Asghar Ali Engineer, 2007: 1)

Pembebasan terhadap perempuan menurut Husein Muhammad

dapat membawa dampak strategis bagi pembangunan manusia. Beliau

mengungkapkan: “banyak orang beranggapan bahwa masalah

penindasan terhadap perempuan adalah masalah yang tidak besar,

padahal masalah yang dialami dan dihadapi perempuan adalah masalah

besar karena perempuan adalah bagian dari manusia dan bagian dari

jenis manusia. Ketika perempuan dijadikan nomor dua maka ini

sebenarnya adalah masalah bagi kemanusiaan”. (Husein Muhammad,

2004, XXV)

Page 4: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

4

Perbedaan laki-laki dan perempuan masih menyimpan beberapa

masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban

dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologi antara keduanya cukup

jelas. Akan tetapi, efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan

perdebatan karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologi (seks)

melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap

perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut jender. (Nasaruddin Umar,

2010: 1) Salah satu tema utama sekaligus prinsip pokok dalam ajaran

Islam adalah persamaan antara manusia, baik antara lelaki dan

perempuan maupun antar bangsa, suku dan keturunan. Perbedaan

martabat seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Namun dalam realitasnya, ajaran agama banyak

sekali yang ditawarkan sepotong dan tidak utuh. Akibatnya yang muncul

bukan ajaran melainkan paham atau sikap yang sudah diwarnai oleh

pengaruh kultur tertentu.

Ajaran jelas lebih luas daripada paham atau sikap. Islam yang

bersumber pada al-Quran dan sunnah sejak awal telah dipersiapkan

sesuai dengan segala umat dan zaman dengan latar belakang yang

berbeda-beda. Oleh karena itu, sebagai misal aturan tentang hubungan

laki-laki dan perempuan telah ditetapkan dan sebagaimana layaknya teks

hukum agama tidak akan mengalami perubahan. Adapun yang mengalami

perubahan hanyalah pemahaman atas teks yang tidak berubah itu sesuai

dengan konteksnya. (Amir Syarifuddin, 2005: 182)

Permasalahan wanita nampaknya akan tetap aktual dan

kontroversial. Semua ini tentunya paralel dengan pergeseran peran

perempuan yang tidak lagi terbatas ruang lingkup keluarga, tetapi seluas

ruang kehidupan modern sekarang ini. Berdasarkan kenyataan ini, maka

pembahasan mengenai perempuan menurut informasi al-Quran dan

hadis menjadi sangat penting. Tentunya dalam konteks yang bervariatif,

mulai dari asal kejadiannya, sampai kepada hak-hak dan kewajibannya,

baik di dalam maupun di luar rumah.

Page 5: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

5

Pada kenyataannya, Kedudukan perempuan dalam pandangan

ajaran Islam tidak sebagaimana diduga atau dipraktekkan sementara

masyarakat. Ajaran Islam pada hakikatnya memberikan perhatian yang

sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perempuan. Muhammad

al-Ghazali, salah seorang ulama besar Islam kontemporer berkebangsaan

Mesir, menulis: “Kalau kita mengembalikan pandangan ke masa sebelum

seribu tahun, maka kita akan menemukan perempuan menikmati

keistimewaan dalam bidang materi dan sosial yang tidak dikenal oleh

perempuan-perempuan di kelima benua. Keadaan mereka ketika itu lebih

baik dibandingkan dengan keadaan perempuan-perempuan Barat dewasa

ini, asal saja kebebasan dalam berpakaian serta pergaulan tidak dijadikan

bahan perbandingan”. (Membumikan al-Quran)

Fenomena inilah yang merangsang munculnya analisis kritis yang

mendasar dan tajam terhadap sejumlah wacana keagamaan konservatif

yang selama ini ada. Para pemikir baru yang cenderung kritis dan menilai

stagnasi dan konservatisme telah memarginalkan, mengalienasi dan

bahkan menciptakan ketertindasan kaum muslimin dalam kehidupan

modern dan global yang tidak bisa lagi dibendung. (Husein Muhammad,

2004, 79-80)

Sejumlah ilmuwan kontemporer menyakini bahwa pemahaman kita

dalam agama terhadap perempuan masih bias dan memarjinalkan. Hal ini

mereka simpulkan setelah mengkaji dan menganalisa Islam dalam

beberapa perspektif, diantaranya fiqih. Fiqih selama ini sering dipahami

sebagian besar orang sebagai doktrin keagamaan, normatif dan

keputusannya tidak boleh dikritisi. Pada sisi inilah kita harus ingat bahwa

fiqih sebenarnya merupakan interpretasi orang terhadap teks-teks suci,

yaitu al-Quran dan hadis. Interpretasi orang tentu bisa berbeda-beda

karena ada banyak hal yang turut mempengaruhinya. Oleh karena itu,

objek inilah yang akan menjadi tema dalam tulisan ini dengan judul:

“INTERPRETASI AGAMA SEBAGAI SALAH SATU SUMBER

KETIMPANGAN JENDER: Refleksi atas Hukum Fiqih”.

Page 6: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

6

II. PEMBAHASAN

A. WAWASAN JENDER DAN RUANG LINGKUP HUKUM FIQIH

Menguraikan persoalan jender dengan merujuk sumber ajaran,

dapat menimbulkan beda pendapat, apalagi memahami teks-teks

keagamaan, bahkan teks apapun dipengaruhi oleh banyak faktor. Bukan

saja tingkat pengetahuan tetapi juga latar belakang pendidikan, budaya

serta kondisi sosial masyarakat. Ini belum lagi yang diakibatkan oleh

kesalahfahaman memahami latar belakang teks dan sifat dari bahasanya.

(Nasaruddin Umar, 2010: XXIII) Sehubungan hal ini, konteks fiqih adalah

salah satu sorotan mendasar terkait jender. Secara rinci, uraian tentang

jender, fiqih dan relasi antara keduanya diuraikan dibawah ini:

a) Wawasan Jender

Kata jender berasal dari bahasa Inggris, yaitu “gender” yang berarti

jenis kelamin. Dalam Webster’s New World Dictionary, jender diartikan

sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat

dari segi nilai dan tingkah laku. Meskipun kata jender belum masuk dalam

perbendaharaan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah tersebut sudah

lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan

Wanita. Jender diartikannya sebagai interpretasi mental dan kultural

terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. (Nasaruddin

Umar, 2010: 30-31)

Dari sekilas definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender adalah

suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki

dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Dengan demikian, jender

dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-

biologis. (Nasaruddin Umar, 2010: 31) Gender bukanlah kodrat ataupun

ketentuan Tuhan. Oleh karena itu, jender berkaitan dengan proses

keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan

bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan

budaya dimana mereka berada. (Jurnal Kordinat, 2002: 29-30)

Page 7: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

7

b) Ruang Lingkup Hukum Fiqih

Kata “al-Fiqh” menurut bahasa berarti pemahaman. Adapun

menurut istilah, fiqih adalah pengetahuan tentang hukum syara’ yang

bersifat amaliah/operasional yang berhasil diusahakan dari dalil-dalil yang

terinci. Fiqih dirumuskan dari dalil-dalil yang zhanny dan terdapat campur

tangan akal pikiran manusia dalam penarikan hukumnya. Itulah sebabnya,

tingkat kekuatan hukumnya hanya sampai ke tingkatan zhan. (Satria

Effendi, 2009: 2-4)

Wahyu Allah yang bermuatan hukum syara’ itu telah berhasil

dipahami dan dirumuskan ulama mujtahid periode awal menjadi aturan

yang bersifat amali dan operasional. Hasil rumusan itu disebut fiqih yang

dikumpul dan didokumentasikan dalam bentuk karya tulis yang bernama

kitab-kitab fiqih. Kitab fiqih tersebut diteruskan oleh pengikut ulama

mujtahid kepada generasi berikutnya sampai kepada waktu kita ini dengan

hanya mengalami sedikit perubahan yang tidak bersifat substansial. Akal

dan pemikiran manusia yang memahami wahyu Allah itu terpengaruh oleh

sesuatu yang berada diluarnya, seperti situasi dan kondisi, lingkungan dan

waktu. Oleh Karen itu, apa yang dapat dihasilkan oleh pemikiran manusia

itu dapat mengalami perubahan bila faktor yang mempengaruhinya itu

telah mengalami perubahan. (Amir Syarifuddin, 2005: 170)

Bila kita perhatikan secara cermat, posisi perempuan dalam

fiqihterlihat bahwa di satu sisi fiqih menempatkan perempuan di tempat

yang mulia dan terhormat. Ia tidak perlu bekerja keras, tidak perlu

berkeliaran ke luar rumah, diperintahkan berpakaian yang hampir

menutup seluruh bagian tubuhnya dan aturan-aturan lainnya. Tidak

mudah bagi kita menilai posisi perempuan sebagaimana yang

ditempatkan oleh fiqih. Di sisi lain, terlihat batasan-batasan, pengurangan-

pengurangan dan pengecualian-pengecualian kepada perempuan

dibandingkan dengan apa yang diberikan kepada laki-laki. Hal ini oleh

sebagian orang dianggap keterbatasan posisi yang diterima oleh

perempuan. (Amir Syarifuddin, 2005: 178-179)

Page 8: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

8

c) Wacana Jender dan Fiqih

Peningkatan perempuan sudah dilaksanakan semenjak dua puluh

tahun lalu, namun hasilnya belum mencapai taraf yang diharapkan.

Diperkirakan bahwa diantara sebabnya adalah pandangan terhadap

wanita yang telah terbentuk dalam masyarakat akibat pengaruh yang

berada di lingkungannya, baik pengaruh pemahaman agama atau

kepercayaan, budaya maupun faktor lainnya.

Aktivitas perempuan pada domain publik dan penempatannya pada

jabatan-jabatan publik otoritatif, dalam buku-buku klasik masih terus

menjadi perdebatan para ahli. Argumen yang sering dikemukakan adalah

bahwa teks yang berbicara mengenai keunggulan laki-laki atas

perempuan dinyakini sebagai valid dan autentik. Fakta sosial memang

masih menunjukkan dominansi laki-laki dibandingkan perempuan dalam

struktur sosial. Akan tetapi, realitas itu dalam beberapa dasawarsa ini

tengan digugat dan digeser secara perlahan-lahan tapi pasti melalui

realitas sosial baru. Paling tidak kita dapat menyebut dua Negara

berpenduduk mayoritas muslim yang dipimpin perempuan, yaitu Benazir

Bhutto di Pakistan dan Khalida Ziya di Bangladesh. (Husein Muhammad,

2004, 79-80)

Atas dasar perkiraan di atas, pembicaran lebih lanjut diarahkan

pada aspek mana dari ajaran agama yang berpengaruh dalam

penempatan posisi wanita. Aspek ajaran dapat ditemukan dalam al-Quran

dan Hadis yang berbicara tentang wanita, sedangkan aspek pemahaman

dapat dicari dari hasil ijtihad para ulama yang tertuang dan dirumuskan

dalam hasil karya mereka yang bernama fiqih.

Dalam kitab-kitab fiqih, hampir semua sepakat bahwa perempuan

ditempatkan secara instrumental daripada substansi. Ketidakhadiran

suara perempuan dimana fiqih dirumuskan diartikan dengan ketiadaan

substansi perempuan dalam Islam. (Said Aqil Husin M., 2003: 214) Ini

tentu menjadi masalah besar dalam dunia Islam jika dibiarkan berlarut-

larut tampa ada rekonstruksi pemahaman dalam konteks ini.

Page 9: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

9

B. PERAN DAN STATUS PEREMPUAN

Persoalan-persoalan yang menyangkut perempuan benar-benar

mendapatkan perhatian yang serius dalam sumber-sumber syari’ah Islam.

Al-Quran mapun hadis menyebutkan tema perempuan ini dalam banyak

tempat. Bahkan sejumlah nama surah dalam al-Quran diambil dari nama

perempuan atau masalah perempuan. Ada yang dalam bentuk jender,

seperti surah al-Nisa’ atau nama person, seperti surah Maryam, mapun

yang menjadi persolan perempuan, seperti surah al-Thalaq, al-

Mumtahanah, al-Mujadilah, dan sebagainya.

Dalam realitas sosial-budaya, al-Quran hadir untuk berbicara pada

kenyataan ketika diturunkannya. Akan tetapi, al-Quran tidak begitu saja

mengakui dan menerima tradisi-tradisi tersebut sebagaimana adanya.

Sepanjang tradisi tersebut telah menyimpang dari prinsip

kemanusiaan, maka al-Quran melakukan kritik dan koreksi serta

mengajukan gagasan baru kearah kondisi yang lebih baik dan sejalan

dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, kesetaraan dan keadilan. (Husein

Muhammad, 2004, 79-80) Syariat Islam menanggapi ketidaksetaraan

jender yang lebih mencolok pada masa pra-Islam. Contohnya, peraturan

Islam melarang melakukan pembunuhan terhadap bayi perempuan,

menghilangkan status perempuan sebagai barang, menekankan sifat

kesepakatan, dapat menerima mahar secara langsung dan berbagai

perubahan hukum lainnya. (John L. Esposito, 2002: 310)

Untuk membangun gambaran yang lebih jelas tentang status dan

peran perempuan dalam al-Quran dan sunnah, seseorang sebaiknya

membedakan antara islam sebagai agama dan islam sebagai kultural.

Ruang lingkup keduanya dapat dlihat uraiannya sebagai berikut:

a) Islam sebagai Agama

Islam sebagai agama menunjukkan kepada aturan-aturan

berkenaan dengan kesalehan, etika dan keimanan. Aspek-aspek spiritual

Islam dipandang sebagai tugas-tugas peribadatan dan karenanya disebut

Page 10: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

10

sebagai fondasi keimanan, seperti keesaan Allah, kenabian terakhir

Muhammad, shalat, zakat, puasa dan menunaikan haji ke Makkah.

Berkenaan dengan urusan religious ini, laki-laki dan perempuan adalah

sederajat dalam pandangan Allah. Bukti mengenai hal ini dapat ditemukan

dalam banyak ayat al-Quran.

b) Islam sebagai Kultural

Islam sebagai kultural menunjukan kepada ide dan praktik-praktik

kaum muslimin daalm konteks situasi dan kondisi sosial, ekonomi dan

politik. Manusia bukan hanya menyembah Tuhan, melainkan juga

berinteraksi dalam hubungan sosial.

Pada dataran kultural ini, kaum perempuan tidak diperlakukan

sama dengan kaum laki-laki. Ketidak setaraan semacam ini berkembang

secara luar biasa sebagai hasil dari otoritas patriarkal setelah wafatnya

nabi Muhammad Saw. Mereka membenarkan sistem ketidaksetaran ini

dengan merujuk kepada beberapa ayat al-Quran tertentu dan hadis.

Namun, para modernis termasuk sejumlah pemimpin politik abad ke-19

dan ke-20, birokrat pemerintahan, gerakan perempuan dan minoritas

ulama yakin bahwa banyak ayat dan hadis yang tidak mendukung klaim-

klaim kategoris semacam itu. (John L. Esposito, 2002: 310)

Menutup seluruh tubuh dan mengasingkan perempuan secara total

tampaknya tidak memiliki dasar dalam al-Quran dan hadis. Meskipun

demikian, sejumlah ayat al-Quran melegitimasi bahwa penyaksian

perempuan setengah dari laki-laki, meniadakan hak perempuan untuk

mengasuh anak setelah mencapai umur tertentu, memperkenankan

poligami dan memberikan warisan setengah dari bagian laki-laki serta

beberapa konteks lainnya. Namun, para modernis berpendapat bahwa

ketentuan tersebut harus mempertimbangkan konteks sosial dan kultural.

Ironisnya, kenyataan ini justru menjadi pembenaran bagi struktur dominasi

laki-laki dalam keluarga. Nasib perempuan bergantung di ujung struktur

kepribadian suaminya, seperti halnya nasib rakyat bergantung pada raja.

(Said Aqil Husin M., 2003: 214)

Page 11: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

11

C. TELAAH KITAB KLASIK DAN OTORITASNYA

Misi al-Quran diturunkan hanya dapat dipahami secara utuh setelah

memahami kondisi sosial budaya bangsa Arab. Bahkan sejumlah ayat

dalam al-Quran, seperti ayat-ayat jender dapat disalahpahami tampa

memahami latar belakang sosial-budaya masyarakat Arab. Lebih dari itu,

kesalahan dalam memaknai kandungannya akan berdampak besar dalam

hasil interpretasinya. Konteks inilah yang ingin dibangun oleh para

modernis yang tidak hanya terpaku pada teks, melainkan

mempertimbangkan kondisi sosial, psikologis, ekologi, budaya, dan

konteks terkait lainnya.

Sehubungan hal diatas, nampak bahwa persoalan konseptual akan

selalu muncul bilamana terdapat benturan antara ketentuan nash yang

bersifat universal dan permanen dengan nilai budaya yang bersifat lokal

dan kontemporer. Kita dihadapkan kepada pilihan rumit, yaitu haruskah

kita menerapkan ketentuan nash sekalipun harus mengorbankan stabilitas

dan integrasi nilai yang sudah mapan atau haruskah mentolerir stabilitas

dan integrasi nilai yang tidak mengacu dan tidak sejalan dengan nash.

(Nasaruddin Umar, 2010: 15) Hal inilah yang harus kita respon tekait

kitab-kitab klasik dalam relasinya dengan kondisi kontemporer sekarang.

Al-Quran dan hadis memberikan sejumlah pernyataan kepada

kaum perempuan akan posisi yang sejajar dengan laki-laki untuk berperan

dan terlibat dalam perjuagan-perjuagan sosial-politik. Pada sisi lain, fakta-

fakta sosial periode awal Islam memperlihatkan betapa banyak kaum

perempuan, para isteri nabi dan sahabat yang memiliki intelektual melebihi

kaum laki-laki. Mereka juga terlibat secara aktif dalam peran-peran sosial,

politik dan kebudayaan. Aisyah adalah isteri nabi yang cerdas, guru besar

dan pejuang, bahkan Aisyah pernah memimpin pasukan dalam perang

unta melawan khalifah Ali bin Abi Thalib. (Husein Muhammad, 2004, 185-

186) Keterlibatan Aisyah dalam peperangan itu menunjukkan partisipasi

kaum muslimah dalam bidang politik praktis sekalipun.

Page 12: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

12

Dihadapkan pada realitas sosial yang berkembang saat ini,

tampaknya konservatisme wacana keagamaan dalam banyak hal telah

ditinggalkan. Maka pemikiran ke arah merumuskan kembali wacana

keagamaan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak dan

niscaya. Tanpa ini, agama akan teraliensi dari kehidupan sosial yang terus

berkembang dan mengalami perubahan yang tidak mungkin dapat

dipertahankan.

Upaya ke arah reinterpretasi dan redefinisi di atas mensyaratkan

sejumlah langkah metodologis agar teks-teks keagamaan tersebut

menjadi hidup dan memiliki relevansi dengan ruang kontemporer saat ini.

Beberapa hal yang perlu menjadi dasar bagi langka reinterpretasi

tersebut, (Husein Muhammad, 2004, 185-186) yaitu:

1) Menjadikan tujuan-tujuan syari’ah sebagai basis utama

penafsiran/takwil,

2) Melakukan analisis terhadap aspek sosio-historis,

3) Malakukan analisis bahasa dan konteksnya,

4) Melakukan aspek kausalitas dalam teks, dan

5) Melakukan analisis kritis terhadap sumber-sumber transmisi hadis.

Selain itu, reinterpretasi yang akan dilakukan haruslah berangkat

dengan niat yang benar, tidak bermaksud untuk menciptakan

ketidakadilan baru, atau menempatkan posisi wanita lebih tinggi dibanding

pria, melainkan untuk menciptakan kesetaraan relasi jender antara pria

dan wanita yang sejalan dengan ajaran Islam yang fundamental.

D. BIAS JENDER DALAM PEMAHAMAN TEKS

Kebenaran dan kebaikan yang disampaikan al-Quran bersifat

universal dan abadi, akan tetapi proses verbalisasinya berkaitan erat

dengan kondisi masyarakat Arab pada masa turunnya. Dalam nada yang

lebih berani, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa al-Quran diturunkan dalam

bahasa Arab dan disesuaikan dengan gaya retorika mereka agar dapat

dipahami. (Jurnal Mumtaz, 2011: 63)

Page 13: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

13

Sebagaimana bahasa lainnya, bahasa Arab tersusun dalam sistem

simbolik. Sistem tersebut disandarkan pada kehidupan masyarakat Arab

yang secara langsung berkaitan erat dengan pola kehidupan

masyarakatnya. Ini mengindikasikan bahwa teks al-Quran adalah rekaman

atas kondisi sosial yang berlangsung selama dua puluh tiga tahun masa

kerasulan nabi Muhammad Saw. Dengan demikian, kecenderungan untuk

memahami al-Quran secara tekstual akan mengesankan adanya ayat-ayat

yang kontradiktif antara satu dengan lainnya.

Supremasi teks atas spirit tekstualisasi mengandung potensi besar

bagi munculnya tafsir agama yang bias. Ayat tentang waris misalnya,

pada saat turunnya mengandung spirit pemberdayaan perempuan secara

ekonomi. Mereka yang tadinya diwariskan, lalu berubah menjadi mampu

mewarisi atau memperoleh warisan dan akhirnya mampu pula

mewariskan atau memberikan warisan. Dari trasnfoRmasi ini dapat

ditangkap bahwa bagian anak perempuan separoh dari laki-laki

mengandung tekanan pesan bahwa separoh adalah jaminan minimal yang

bisa diterima perempuan. (Jurnal Mumtaz, 2011: 63) Pada ayat yang

sama bahkan disebutkan bahwa bagian perempuan (ibu) adalah sama

dengan laki-laki (ayah).

“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya

seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu

mempunyai anak”. (Q.S. al-Nisa [4]: 11 )

Analisa diatas memberikan harapan baru dalam menafsirkan ulang

teks-teks keagamaan sesuai dengan kondisi kekinian. Tindakan ini

tentunya bukan berarti harus berbeda dengan sebelumnya, melainkan

tetap berpatokan pada pijakan yang telah ada. Seperti dalam sejarah

bahwa Islam pernah memiliki lebih dari seratus mazhab. Tumbuh

suburnya mazhab tersebut menunjukkan adanya spirit kebebasan berfikir

dan usaha-usaha untuk menafsirkan al-Quran untuk mengembangkan

sistem hukum Islam sangatlah dihargai oleh pemegang otoritas

keagamaan di masa itu. (Asghar Ali Engineer, 2007: 26)

Page 14: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

14

III. ANALISIS

Perbedaan laki-laki dan perempuan tidak cukup hanya dikaji secara

biologis tetpi memerlukan pengkajian secara non-bilogis. Kajian yang

terakhir inilah disebut studi jender, yaitu suatu upaya untuk memahami

interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin.

Peran jender tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan

identitas dan berbagai karakteristik yang diasumsikan masyarakat kepada

laki-laki dan perempuan. Terlepas dari hal ini, wacana jender sebagai isu

kontemporer perlu dianalisa lebih jauh lagi dan dilihat dari beberapa

perspektif yang relevan. Kajian ini memunculkan fenomena menarik ketika

fiqih oleh kalangan pemikir baru dicoba untuk dilakukan rekonstruksi

berdasarkan analisis konteks kontemporer.

Proses-proses fiqih dalam perspektif ini diharapkan dapat

menghasilakan prosuk hokum dimana manusia sebagai subjek hokum

ditempatkan pada posisi yang tidak saling mensubordnasi,

mendeskriminasi atau memarjinalkan satu atas yang lain atas dasar

apapun. Upaya ke arah perubahan ini dirasakan sebagai kebutuhan yang

sangat mendesak dan strategis bagi perwujudan hubungan-hubungan

kemanusiaan yang lebih adil.

Pendekatan fiqih dalam konteks jender sesungguhnya merupakan

konsekuensi logis dari pertanggungjawaban ketauhidan Islam. Afirmasi

prinsip ini tidak hanya dapat dipahami sebagai hubungan personal

manusia dengan Tuhan yang Maha Absolut, melainkan juga diwujudkan

dalan relasi interaktif kehidupan manusia. Pada saat kita menyakini bahwa

Tuhan adalah satu-satunya pemegang otoritas mutlak atas alam semesta,

maka pada saat yang sama seharusnya menjadi kenyakinan kita pula

untuk memandang ciptaan Tuhan dengan setara, terlepas dari simbol-

simbol budaya yang menyertainya. Perbedaan-perbedaan yang diciptakan

Tuhan tidak seharusnya menjadi dasar pembedaan-pembedaan pada

wilayah-wilayah sosial, ekonomi, budaya dan seterusnya.

Page 15: Ketimpangan Jender Dalam Interpretasi Agama [Refleksi Atas Hukum Fiqih] PDF

[KETEIMPANGAN JENDER DALAM INTERPRETASI AGAMA]

Refleksi atas Hukum Fiqih

15

DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawar, Said Aqil Husin. “Al-Quran: Membangun Tradisi Kesalehan

Hakiki”, Cet. III Jakarta: Ciputat Press, 2003

Departemen Agama RI. “Mushaf al-Quran Terjemah”, Jakarta: al-Huda,

2002

Effendi, Satria. “Ushul Fiqh”, Cet. III, Jakarta: Kencana, 2009

Engineer, Asghar Ali. “Pembebasan Perempuan”, Cet. II, Yogyakarta:

LKIS, 2007

Esposito, John L. “Ensiklopedi Oxpord: Dunia Islam Modern”, Penerjemah:

Eva Y.N., dkk., Editor: Ahmad Baiquni, dkk., Cet. II, Bandung:

Mizan, 2002

Jurnal Kordinat, Volume III, No. 1, April 2002, Jakarta: KOPERTAIS, 2002

Jurnal Mumtaz, Volume II, No. 1, 2011, Jakarta: IPTIQ, 2011

Muhammad, Husein. “Islam Agama Ramah Perempaun: Pembelaan Kiai

Pesantren”, Cet. I, Yogyakarta: Fehmina Institute dan LKIS, 2004

Syarifuddin, Amir. “Meretas Kebekuan Ijtihad: Isu-isu Penting Hukum

Islam Kontemporer di Indonesia”, Cet. V, Jakarta: Ciputat Press,

2005

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Quran”,

Cet. II, Jakarta: Dian Rakyat, 2010