31
KETERLAMBATAN DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU DI RUMAH SAKIT Dr M DJAMIL PADANG Sabrina E, Taufik, Yusrizal Chan, Zailirin YZ Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK Unand/ RS Dr M Djamil Padang ABSTRAK Latar Belakang: Keterlambatan dalam memulai pengobatan tuberkulosis (TB) paru, terutama basil tahan asam (BTA) positif, dapat meningkatkan periode penularan dalam masyarakat, penyakit tambah berat, komplikasi tambah banyak dan angka kematian meningkat. Tujuan: Menentukan lamanya Keterlambatan pasien dan dokter dalam memulai pengobatan TB paru serta faktor- faktor yang mempengaruhinya. Metode: Studi cross sectional dengan menganalisis dan interview pasien TB paru kasus baru yang melanjutkan pengobatan anti-tuberkulosis di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007. Hasil: Dari 116 pasien, median usia 40 tahun, laki-laki 62,1%, 44,8% BTA positif. Keterlambatan pasien dialami oleh 75,9% dan Keterlambatan dokter 89,7%. Nilai median keterlambatan masing-masing 7,0 minggu dan 4,2 minggu. Faktor yang mempengaruhi Keterlambatan pasien adalah tingkat pendidikan rendah, gejala awal batuk, dan persepsi pasien terhadap gejalanya batuk biasa. Faktor yang mempengaruhi Keterlambatan dokter adalah sarana kesehatan pertama dikunjungi puskesmas, tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat, BTA negatif, diagnosis sarana kesehatan pertama penyakit lain dan tidak tahu, mempunyai asuransi dan jumlah sarana kesehatan yang dikunjungi ≥ 3 buah. Kesimpulan: Pada umumnya pasien mengalami keterlambatan dalam memulai pengobatan TB paru. Keterlambatan dapat terjadi oleh pasien maupun dokter. Berbagai faktor mempengaruhi keterlambatan tersebut. Kata kunci : Keterlambatan pasien, Keterlambatan dokter, faktor-keterlambatan 1

KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

  • Upload
    ledang

  • View
    260

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

KETERLAMBATAN DIAGNOSIS TUBERKULOSIS PARU

DI RUMAH SAKIT Dr M DJAMIL PADANG

Sabrina E, Taufik, Yusrizal Chan, Zailirin YZBagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK Unand/

RS Dr M Djamil PadangABSTRAK

Latar Belakang: Keterlambatan dalam memulai pengobatan tuberkulosis (TB) paru, terutama basil tahan asam (BTA) positif, dapat meningkatkan periode penularan dalam masyarakat, penyakit tambah berat, komplikasi tambah banyak dan angka kematian meningkat.Tujuan: Menentukan lamanya Keterlambatan pasien dan dokter dalam memulai pengobatan TB paru serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.Metode: Studi cross sectional dengan menganalisis dan interview pasien TB paru kasus baru yang melanjutkan pengobatan anti-tuberkulosis di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007.Hasil: Dari 116 pasien, median usia 40 tahun, laki-laki 62,1%, 44,8% BTA positif. Keterlambatan pasien dialami oleh 75,9% dan Keterlambatan dokter 89,7%. Nilai median keterlambatan masing-masing 7,0 minggu dan 4,2 minggu. Faktor yang mempengaruhi Keterlambatan pasien adalah tingkat pendidikan rendah, gejala awal batuk, dan persepsi pasien terhadap gejalanya batuk biasa. Faktor yang mempengaruhi Keterlambatan dokter adalah sarana kesehatan pertama dikunjungi puskesmas, tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat, BTA negatif, diagnosis sarana kesehatan pertama penyakit lain dan tidak tahu, mempunyai asuransi dan jumlah sarana kesehatan yang dikunjungi ≥ 3 buah.Kesimpulan: Pada umumnya pasien mengalami keterlambatan dalam memulai pengobatan TB paru. Keterlambatan dapat terjadi oleh pasien maupun dokter. Berbagai faktor mempengaruhi keterlambatan tersebut.

Kata kunci : Keterlambatan pasien, Keterlambatan dokter, faktor-keterlambatan

PENDAHULUAN

Elemen penting dalam program

penanggulangan tuberkulosis (TB)

adalah diagnosis dini dan pemberian

terapi yang cepat dan tepat. Hal ini

terutama penting pada kasus-kasus

dengan basil tahan asam (BTA)

positif, karena bila terlambat

mendiagnosis dan memberi terapi,

dapat menjadi sumber penularan dan

meningkatkan periode penularan

dalam masyarakat. Disamping itu,

dapat menyebabkan penyakit lebih

berat, komplikasi lebih banyak dan

angka kematian meningkat.1 Hal ini

umum terjadi di negara-negara

sedang berkembang, termasuk

Indonesia yang merupakan salah satu

negara dengan jumlah penderita TB

terbesar setelah India dan Cina. Pada

1

Page 2: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

tahun 2004, diperkirakan angka

prevalensi TB di Indonesia mencapai

119 per 100.000 penduduk pertahun.

Angka deteksi kasus (Case Detection

Rate/CDR) BTA positif hanya 54%,

yang berarti masih banyak kasus TB

yang belum tertangani.2

Di Poliklinik Paru RS Dr. M.

Djamil, pada tahun 1992 pasien TB

paru yang berobat sebanyak 102

kasus, jumlah ini meningkat menjadi

195 kasus pada tahun 19963. Pada

tahun 1998-2002 pasien TB paru

yang dirawat di Bangsal Paru RS Dr.

M. Djamil Padang mencapai 52,94%

dari seluruh pasien yang dirawat.

BTA sputum positif didapat pada

30,54% pasien, dan lesi luas secara

radiologis 89,13%.4

Dari data diatas dapat dilihat

terjadi peningkatan kasus TB paru

yang berobat ke Poliklinik Paru.

Jumlah pasien yang dirawat cukup

tinggi dengan lesi luas. Penyebab

terjadinya keadaan tersebut belum

diketahui, apakah keterlambatan

berperan dalam hal ini?

Keterlambatan mendiagnosis

TB paru sudah dilaporkan baik di

negara maju maupun negara sedang

berkembang. Keterlambatan dalam

diagnosis dan pengobatan TB paru

dapat berasal dari pasien atau dari

sistem pelayanan kesehatan, terjadi

mulai pada saat pasien mulai

mengeluh adanya gejala yang

berhubungan dengan TB paru sampai

pengobatan anti tuberkulosis

diberikan.5,6 Keterlambatan ini dapat

dibagi atas dua kategori;

Keterlambatan pasien dan

keterlambatan oleh sarana

kesehatan.7

Keterlambatan pasien

(patient’s delay) yaitu bila periode

mulai dari pasien mengeluhkan

gejala yang relevan dengan TB

sampai datang pertama kali ke sarana

kesehatan melebihi satu waktu

tertentu.8 Beberapa peneliti

mendefinisikan Keterlambatan

pasien sebagai rentang waktu antara

pasien pertama mengalami keluhan

yang relevan dengan TB sampai saat

pertama kali berobat ke sarana

kesehatan.6,9,10

Periode mulai pasien pertama

konsultasi ke sarana kesehatan

sampai ditegakkan diagnosis, bila

melebihi suatu batas waktu tertentu

disebut Keterlambatan dokter

(docter’s delay).8 Beberapa peneliti

mendefinisikan Keterlambatan

dokter sebagai rentang waktu antara

2

Page 3: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

saat pasien pertama kali datang ke

sarana kesehatan sampai diagnosis

ditegakkan.6,9,10 Tidak ada kesepakatan para

ahli tentang batas waktu untuk

Keterlambatan pasien dan

Keterlambatan dokter. Dalam

berbagai penelitian, titik potong

batas waktu keterlambatan

ditentukan dengan dua cara. Cara

pertama berdasarkan kesepakatan

para ahli dengan suatu periode yang

masuk akal dengan berbagai

pertimbangan, seperti dalam

penelitian Wandwalo dkk di Mwanza

(Tanzania). Berdasarkan

pengetahuan medis beberapa dokter

dan mempertimbangkan tingkat

sosio-ekonomi pasien,

Keterlambatan pasien dihitung bila

periode mulai gejala awal sampai

kunjungan pertama ke sarana

kesehatan lebih dari 30 hari, dan

Keterlambatan dokter dihitung bila

periode kunjungan pertama ke sarana

kesehatan sampai diputuskan dapat

OAT lebih dari 10 hari.11 Cara kedua

yaitu menggunakan nilai median

keterlambatan yang didapat dalam

penelitian tersebut, seperti dalam

penelitian Chang dkk.8

Karena tidak ada kesamaan

pendapat para ahli untuk batasan

keterlambatan ini, banyak peneliti

mengambil waktu mulai dari gejala

awal sampai kunjungan pertama ke

sarana kesehatan langsung sebagai

Keterlambatan pasien, dan periode

pertama ke sarana kesehatan sampai

mendapat obat antituberkulosis

(OAT) disebut sebagai

Keterlambatan dokter/sarana

kesehatan. 1,7,9

Penelitian ini dilakukan untuk

menilai Keterlambatan pasien dan

dokter dalam memulai pengobatan

pada pasien TB paru yang berobat di

Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil

Padang. Dinilai juga faktor-faktor

yang mempengaruhi keterlambatan

tersebut.

METODE

Penelitian ini merupakan

studi cross sectional dengan

menganalisis rekam medis dan

menginterview pasien TB paru kasus

baru yang mendapat OAT di

Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil

Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31

Maret 2007, baik BTA positif

maupun negatif. Diagnosis TB paru

dapat ditegakkan oleh Poliklinik

3

Page 4: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Paru RS Dr M Djamil Padang

maupun tempat lain termasuk pasien

rawat inap dan dari rumah sakit lain.

Pemberian OAT dilanjutkan di

Poliklinik Paru RS Dr M Djamil

karena berbagai alasan. Pasien yang

masuk dalam penelitian ini berusia

15 tahun atau lebih dan menanda

tangani persetujuan penelitian.

Pasien dikeluarkan dari penelitian

bila informasi tidak adekuat,

misalnya data rekam medis tidak

cukup atau pasien sulit diwawancarai

karena sebab tertentu.

Data yang dikumpulkan dari

rekam medis pasien antara lain; jenis

kelamin, umur, alamat, tingkat

pendidikan, pekerjaan, asuransi,

tanggal pertama ke Poliklinik Paru

RS Dr M Djamil Padang. Dicatat

juga hasil BTA dan röntgen toraks

serta lama pemeriksaan, tanggal

keputusan pemberian OAT dan

sarana kesehatan yang memutuskan

pemberian OAT.

Hasil BTA sputum yang

diambil adalah hasil pemeriksaan

tertinggi dari tiga pemeriksaan yang

dilakukan. Pembacaan sediaan dahak

dilakukan oleh Laboratorium

Mikrobiologi RS Dr. M. Djamil

Padang dengan menggunakan skala

International Union Against

Tuberculosis and Lung Diseases

(IUATLD).12 Hasil röntgen toraks

dinilai luas lesi menurut kriteria

American Thorasic Society (ATS).13

Lama kedua pemeriksaan ini dinilai

dari pertama dianjurkan sampai hasil

pemeriksaan diberikan pada dokter.

Pasien diminta untuk

memperkirakan mulai gejala awal,

dengan menggunakan patokan

kejadian-kejadian monumental

sepanjang tahun, misalnya hari-hari

keagamaan, hari bersejarah baik

yang bersifat nasional maupun

pribadi, atau kejadian-kejadian alam

seperti gempa bumi dan lain-lain.

Gejala awal yaitu gejala yang relevan

dengan TB, termasuk: batuk, batuk

darah, sesak nafas, nyeri dada,

demam, penurunan berat badan, dan

lain-lain (termasuk: pembesaran

kelenjer getah bening). Persepsi

pasien dan diagnosis/keterangan

sarana kesehatan pertama dikunjungi

terhadap gejala awal diklasifikasikan

atas batuk biasa, penyakit paru,

penyakit lain dan tidak tahu.

Pada semua pasien

ditanyakan waktu dan sarana

kesehatan pertama dikunjungi,

jumlah sarana kesehatan yang

4

Page 5: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

dikunjungi sampai diagnosis

ditegakkan dan kunjungan ke

pengobatan alternatif.

Keterlambatan

Keterlambatan pasien

(patient’s delay), didefinisikan bila

periode antara pasien pertama

merasakan keluhan yang relevan

dengan TB sampai datang ke sarana

kesehatan yang pertama dikunjungi

lebih dari 3 (tiga) minggu. Batasan

waktu 3 minggu ditentukan

berdasarkan lamanya gejala utama

TB berupa batuk terus menerus dan

berdahak selama 3 (tiga) minggu

atau lebih menurut Pedoman

Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis.12

Keterlambatan dokter

(doctor’s delay), yaitu bila periode

pertama pasien ke sarana kesehatan

sampai diputuskan dapat OAT lebih

dari 1 (satu) minggu. Batasan waktu

1 (satu) minggu disamakan dengan

batasan keterlambatan di Poliklinik

Paru RS. M. Djamil Padang,

berdasarkan kesepakatan para Ahli

Paru dan dokter yang menangani

pasien TB paru di Poliklinik Paru RS

Dr. M. Djamil Padang dengan

mempertimbangkan waktu yang

dibutuhkan untuk pemeriksaan BTA

dan röntgen toraks serta faktor teknis

di RS. Dr. M. Djamil Padang.

Analisis statistik

Data diproses dan dianalisis

menggunakan SPSS versi 10.0 for

Window. Karena distribusi data tidak

normal, Tes Mann-Whitney dan

Kruskall-Wallis digunakan untuk

menentukan perbedaan median

Keterlambatan pasien dan dokter.

Untuk menentukan faktor yang

mempengaruhi terjadinya

Keterlambatan pasien dan dokter

digunakan analisis regresi logistik

multivariat dan dihitung rasio

kecenderungan/RK (odd ratio/OR)

dengan interval kepercayaan/IK 95%

(95% Convident Interval /CI). Nilai

p<0,05 dianggap bermakna secara

statistik.

HASIL

Dari tanggal 1 Oktober 2006

s/d 31 Maret 2007 tercatat 119

pasien TB paru kasus baru yang

mendapat pengobatan

antituberkulosis (OAT) di Poliklinik

Paru RS Dr. M. Djamil Padang,

dimana 116 pasien (97,5%)

dimasukkan dalam penelitian ini.

Tiga pasien tidak dapat diikutkan

5

Page 6: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

dalam penelitian karena alasan tidak

dapat diinterview dengan baik, satu

orang pasien sudah tua dan pelupa

dan dua pasien menderita gangguan

jiwa. Dari 116 pasien, usia termuda

17 tahun dan tertua 77 tahun ,

dengan nilai median 40 tahun, seperti

terlihat pada Tabel 1. Laki-laki

sebanyak 72 orang (62,1%), dengan

perbandingan antara laki-laki dan

perempuan 1,6:1. Sebagian besar

pasien berasal dari kota Padang

(94,0%), tingkat pendidikan

terbanyak adalah tingkat menengah

(53,4%). Tiga puluh dua orang

pasien (27,6%) tidak bekerja. Hanya

7,7% pasien yang tidak mempunyai

asuransi, sedangkan 55,2%

pelayanan kesehatannya dibiayai

melalui program pelayanan

kesehatan keluarga miskin (Askes

Makin).

Tabel 1. Karakteristik umum pasien TB paru yang melanjutkan pengobatandi Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007

Karakteristik umum Pasienn(%)

Umur , tahun Median (interval)

Laki-laki

AlamatPadangLuar Padang

Tingkat pendidikanRendahMenengahTinggi

PekerjaanTidak bekerjaBekerja

AsuransiTidak adaAskes/JamsostekAskes Makin

40 (17-77)*

72 (62,1)

109 (94,0)7 (6,0)

36 (31,0)62 (53,4)18 (15,5)

32 (27,6)84 (72,4)

9 (7,7)43 (37,1)64 (55,2)

6

Page 7: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Dari tabel 2 dapat dilihat

karakteristik klinis pasien. Gejala

awal ternbanyak yang dikeluhkan

pasien adalah batuk (82,8%).

Sebagian besar (70,7%) pasien

menganggap keluhan tersebut

sebagai batuk biasa, tetapi 42,4%

sarana kesehatan pertama yang

dikunjungi sudah menduga adanya

kelainan paru. Sarana kesehatan

pertama yang terbanyak dikunjungi

adalah puskesmas (44,8%), IGD

hanya 16,4%. Hasil pemeriksaan

BTA terbanyak adalah BTA positif

(47,4%), dan secara radiologi

ditemukan lesi luas 94,0%. Sebanyak

46,6% mengunjungi sarana

kesehatan 3 atau lebih sebelum

diagnosis ditegakkan karena berbagai

alasan, 34,5% mengunjungi

pengobatan alternatif disamping

sarana kesehatan.

Nilai median Keterlambatan

pasien dan dokter berturut-turut 7,0

minggu dan 4,2 minggu (Tabel 3).

Nilai median keterlambatan pasien

lebih lama dibandingkan nilai

median keterlambatan dokter (1,7 :

1).

7

Page 8: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Tabel 2. Karakteristik klinis pasien TB paru yang melanjutkan pengobatandi Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007

Karakteristik umum Pasienn(%)

Gejala awalBatukSelain batuk

Persepsi pasienBatuk biasaPenyakit paruPenyakit lainTidak tahu

Jenis Sarkes IPuskesmasRumah sakitPraktek swasta

Diagnosis/keterangan Sarkes IBatuk biasaPenyakit paruPenyakit lainTidak tahu

Tipe pasienRawat inapRawat jalan

Kunjungan ke unit gawat daruratYaTidak

Hasil pemeriksaan BTANegatifPositifTidak diperiksa

Hasil pemeriksaan Röntgen toraksLesi minimalLesi luas

Jumlah Sarkes yang dikunjungi sampai diagnosis ditegakkan < 3 buah ≥ 3 buah

Kunjungan ke pengobatan alternatifYaTidak

96 (82,8)20 (17,2)

82 (70,7)4 (3,4)

21 (18,1)9 (7,8)

52 (44,8)38 (32,8)26 (22,4)

28 (24,2)49 (42,2)21 (18,1)18 (15,5)

91 (78,4)25 (21,6)

19 (16,4)97 (83,6)

52 (44,8)55 (47,4)9 (7,8)

7 (6,0)109 (94,0)

62 (53,4)54 (46,6)

40 (34,5)76 (65,5)

8

Page 9: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Tabel 3. Keterlambatan pasien dan dokter pada pasien TB paru yang melanjutkan

pengobatan di Poliklinik Paru RS Dr. M. Djamil Padang

mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007

n (%) Median(mg)

Keterlambatan pasienKeterlambatan dokter

88 (75,9)

104 (89,7)

7,0 (1,0-49,1)

4,2(0,1-51,0)

Distribusi kumulatif

Keterlambatan pasien dan dokter

diperlihatkan pada Grafik 12. Lebih

kurang 29,5% pasien sudah datang

ke sarana kesehatan yang pertama

untuk meminta pertolongan dalam

waktu < 4 minggu dan 77,3% dalam

waktu < 16 minggu. Sebanyak 42,2%

pasien sudah terdiagnosis oleh dokter

dalam waktu < 4 minggu sejak

pertama datang kesarana kesehatan

dan 77,6% dalam waktu <12 minggu.

0

20

40

60

80

100

120

< 4 < 8 < 12 < 16 < 20 < 24 < 28 ≥ 28

Minggu

Pers

enta

se (%

)

Keterlambatan pasien Keterlambatan dokter

Grafik 1. Distribusi kumulatif Keterlambatan pasien dan dokter pada pasien TB paruyang melanjutkan pengobatan di Poliklinik Paru RS Dr M Djamil Padang

mulai 1 Oktober 2006 s/d 31 Maret 2007

9

Page 10: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Pada Gambar 1 dapat dilihat

berbagai faktor yang mempengaruhi

Keterlambatan pasien dan dokter.

OD = Odds Ratio, CI = Convidence IntervalCetak tebal dan miring = bermakna secara statistik dengan analisis regresi

logistik multivariat, p<0,05

Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlambatan pasien dan dokter

10

GEJALA PERTAMA YANG DIALAMI

KUNJUNGAN PERTAMA KE SARANA KESEHATAN

DIAGNOSIS TUBERKULOSIS

KETE

RLAM

BATA

N

PASI

ENKE

TERL

AMBA

TAN

D

OKT

ER3

1

Lebih lama pada OR 95% CI

PerempuanUmur 24 tahunTinggal di PadangPendidikan rendah 2,7 1,3 – 5,6Tidak bekerjaPunya asuransiKeluhan batuk saja 3,1

1,5 – 6,8Persepsi batuk biasa 2,8

1,4 – 5,9Kunjungan ke pengobatan alternatif

Lebih lama pada OR 95% CI

Faktor Sarana kesehatanSarkes I Puskesmas 2,5

1,7 – 3,5Rawat inapTidak ada kunjungan ke IGD 4,6

1,3 – 16,5BTA negatif 3,8 1,2 – 12,1Tidak ada penjelasan sarkes I 100 -

Faktor pasienLaki-lakiPunya asuransi 6,9

2,1 – 22,4

Page 11: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

PEMBAHASAN

Keterlambatan pasien

Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis

merekomendasikan orang yang batuk

3 minggu atau lebih harus diperiksa

BTA sputum untuk diagnosis dini

dan pengobatan TB. Keterlambatan

dalam meminta pertolongan dan

keterlambatan dalam mendiagnosis

TB digunakan untuk menilai

efisiensi penemuan kasus dalam

masyarakat dan memperkirakan

periode infektif seseorang sebelum

mendapat terapi.12

Keterlambatan dalam

diagnosis dan pengobatan TB dapat

terjadi pada sejumlah titik, mulai saat

timbul gejala sampai terapi anti

tuberkulosis dimulai. Keterlambatan

ini dapat disebabkan oleh pasien

maupun oleh sarana kesehatan.7

Penelitian ini

memperlihatkan median

Keterlambatan pasien adalah 7,0

minggu, dengan interval 1,0 – 49,1

minggu. Hasil yang didapat dalam

penelitian ini hampir sama dengan

yang didapat di Ethiopia yaitu 8,6

minggu.14 Tetapi lebih panjang

dibandingkan dengan penelitian yang

dilakukan di Jakarta 4 minggu,5

Thailand Selatan 4,4 minggu,15

Ghana 4 minggu,1 New York 3,6

minggu.7 Tetapi jauh lebih pendek

dibanding penelitian di Mwanza

yang mencapai 17,1 minggu.11

Perbedaan ini kemungkinan timbul

berhubungan dengan perbedaan

perhitungan keterlambatan dan

perbedaan metoda estimasi mulai

gejala awal. Sebagian besar peneliti

menggunakan saat awal pasien

mengeluh gejala sampai datang ke

sarana kesehatan pertama

dikunjungi, sebagai Keterlambatan

pasien.1,5,7,14,15 Untuk memperkirakan

mulai gejala awal, peneliti

menggunakan kejadian-kejadian

monumental sepanjang tahun,

misalnya hari-hari keagamaan, hari

bersejarah baik yang bersifat

nasional maupun pribadi, atau

kejadian-kejadian alam seperti

gempa bumi dan lain-lain. Meskipun

sudah menggunakan kejadian-

kejadian monumental sebagai tolak

ukur dan menginterview pasien

dengan hati-hati, estimasi mulai

gejala awal kemungkinan dapat salah

karena kesalahan mengingat dan

perbedaan persepsi masing-masing

pasien terhadap keluhan yang

dirasakannya. Tetapi dapat juga

11

Page 12: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

menunjukkan perbedaan yang

sebenarnya dalam hal keterlambatan

untuk diagnosis dan pengobatan TB.

Dari 116 orang yang diteliti,

88 orang (75,9%) mengalami

Keterlambatan pasien. Hasil ini lebih

sedikit dibanding yang didapat

Wandwalo dkk di Mwanza

(84,8%),11 lebih banyak dibanding

penelitian Chang dkk di Sarawak

(42,4%).8 Perbedaan ini

kemungkinan timbul karena

perbedaan batasan Keterlambatan

pasien yang di pakai. Wandwalo dkk

dan Chang dkk sama-sama

menggunakan waktu 30 hari (4,3

minggu) sebagai batasan

keterlambatan namun dengan alasan

yang berbeda. Tetapi bila dilihat

batas waktu yang digunakan

Wandwalo dkk yang lebih lama 1,3

minggu dibanding batasan dalam

penelitian ini, terlihat bahwa lebih

banyak pasien TB di Mwanza yang

mengalami Keterlambatan pasien.

Penyebab lain perbedaan ini adalah

subyek penelitian. Subyek penelitian

Chang dkk terbatas pada pasien TB

paru BTA positif, sedangkan dalam

penelitian ini dimasukkan pasien TB

paru BTA positif dan negatif.

Hanya 29,5% pasien yang

mengunjungi sarana kesehatan

pertama dalam waktu < 4 minggu,

dan hampir 80% dalam waktu < 16

minggu sejak mengalami gejala

awal. Sangat berbeda dengan yang

didapat Lönnroth dkk di Ho Chi

Minh dimana 60% pasien sudah

datang ke sarana kesehatan pertama

dalam waktu < 4 minggu.16 Di Kuala

Lumpur, sebagian besar (80%)

pasien sudah datang ke sarana

kesehatan pertama dalam waktu < 4

minggu.9

Berbagai faktor

mempengaruhi terjadinya

Keterlambatan pasien dalam

penelitian ini. Pendidikan yang

rendah mempunyai kecendrungan

untuk mengalami Keterlambatan

pasien (p=0,02). Hal ini sama dengan

hasil penelitian di Gambia dimana

pendidikan mempengaruhi

Keterlambatan pasien, tetapi

Lienhardt dkk hanya membedakan

sekolah dan tidak sekolah.17 Dalam

penelitian ini, peneliti memasukkan

tidak sekolah kedalam kriteria

pendidikan rendah. Godfey-Fausset

dkk mendapatkan hubungan yang

kuat antara tingkat pendidikan

dengan tingkat pengetahuan pasien

12

Page 13: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

dengan keluhan batuk untuk

memulai pengobatan TB.18

Pasien yang mengeluh batuk

mempunyai rasio kecenderungan

untuk terlambat meminta

pertolongan sarana kesehatan

dibanding keluhan selain batuk

(p=0,005). Keluhan lain dalam

penelitian ini termasuk batuk darah,

sesak nafas, nyeri dada, demam, dan

pembesaran kelenjer getah bening.

Keluhan-keluhan ini membawa

pasien cepat datang ke sarana

kesehatan. Leung dkk di Hongkong

mendapatkan pasien tanpa keluhan

batuk darah mempunyai resiko untuk

terlambat datang ke sarana kesehatan

dibanding pasien dengan keluhan

batuk darah (p=0,0001).19 Sedangkan

keluhan batuk sering dianggap batuk

biasa yang dapat sembuh sendiri atau

karena pengaruh rokok atau debu.

Pada penelitian Demissie dkk, 69,7%

pasien menganggap batuk yang

dirasakannya akan sembuh sendiri.14

Persepsi pasien terhadap

gejala awal yang dirasakannya

mempengaruhi terjadinya

Keterlambatan pasien ini. Pasien

yang merasa keluhan yang

dirasakannya merupakan batuk

mempunyai rsiko untuk mengalami

keterlambatan (p=0,007). Sebagian

besar pasien (75%) menganggap

keluhan yang dirasakannya hanya

batuk biasa, hanya 3,1% yang

menganggap ada kelaianan di saluran

nafas, tetapi tak seorangpun yang

berfikir menderita TB. Kurangnya

pengetahuan pasien tentang TB

merupakan alasan terbanyak (40%)

yang disampaikan oleh pasien di

India Selatan yang mengalami

keterlambatan.20

Keterlambatan dokter

Median Keterlambatan dokter

adalah 4,2 minggu. Hasil yang

didapat hampir sama dengan

penelitian di Jakarta 4 minggu5 dan

Ho Chi Minh 4,3 minggu.16 Tetapi

lebih panjang dari New York dan

Mwanza 2,1 minggu.7,11 Dan jika

dibandingkan dengan penelitian di

Kuala Lumpur 7 minggu,9 Ghana 8

minggu1 dan Gambia 8,3 minggu,17

terlihat hasil yang didapat dalam

penelitian ini lebih pendek. Pada

beberapa penelitian menyebutkan

periode ini sebagai Keterlambatan

dokter atau sarana kesehatan.

Keterlambatan dokter ditemukan

baik di negara dengan prevalensi TB

yang rendah maupun tinggi. Di

13

Page 14: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

negara dengan prevalensi rendah,

diagnosis TB sering tidak

dipertimbangkan dan beberapa

infrastruktur untuk penanggulangan

TB tidak terintegrasi dengan baik.

Prevalensi dan insiden TB yang

rendah juga menyebabkan kurang

terlatihnya tenaga medis dalam

mendiagnosis dan menatalaksana

TB, sehingga meningkatkan resiko

terjadinya keterlambatan dokter.

Sedangkan pada negara dengan

prevalensi TB tinggi, keterlambatan

sering terjadi dengan berbagai

alasan.7,16

Keterlambatan pasien

dibanding dengan Keterlambatan

dokter adalah 1,9:1, berbanding

terbalik dengan yang didapat di

Ghana yaitu 1:2.1 Hal ini

kemungkinan disebabkan persepsi

tenaga kesehatan sudah jauh lebih

baik dibanding pasien sendiri. Ini

dapat dilihat pada Grafik 3, persepsi

pasien terhadap gejala yang

dirasakan sebagai batuk biasa

mencapai 70,7% tetapi tidak satupun

pasien yang berfikir menderita TB.

Dibandingkan dengan

keterangan/diagnosis dari sarana

kesehatan yang pertama dikunjungi

ternyata hanya 24,2% yang menduga

batuk biasa, sedangkan 42,2% sarana

kesehatan menjelaskan bahwa pasien

menderita penyakit paru, termasuk

24,1% sudah memperkirakan TB.

Keterlambatan dokter dialami

oleh 89,7% pasien dalam penelitian

ini. Wandwalo dkk mendapatkan

66,2% pasien mengalami

Keterlambatan dokter > 10 hari.11

Hasil ini jauh lebih tinggi dibanding

yang didapat oleh Rajeswari dkk di

India Selatan (26,6%) dalam waktu

1 minggu.20 Hanya 42,4% yang

sudah terdiagnosis dalam waktu < 4

minggu, hampir 70% dalam waktu <

8 minggu dan lebih dari 90% dalam

waktu < 20 minggu (Grafik 1). Steen

dkk mendapatkan hasil yang hampir

sama dalam < 4 minggu yaitu 38%,

tetapi dalam waktu < 8 minggu

hanya 59% pasien yang terdiagnosis,

dan hampir 90% tercapai dalam

waktu < 28 minggu.21

Faktor yang mempengaruhi

Keterlambatan dokter dari segi

sarana kesehatan adalah jenis sarana

kesehatan pertama dikunjungi adalah

puskesmas, tidak ada kunjungan ke

unit gawat darurat, hasil pemeriksaan

BTA negatif dan diagnosis sarana

kesehatan pertama dikunjungi batuk

biasa. Sedangkan dari segi pasien,

14

Page 15: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Keterlambatan dokter dipengaruhi

oleh faktor ada asuransi dan jumlah

sarana kesehatan yang dikunjungi

pasien sampai tegak diagnosis 3

buah.

Pasien yang memilih

puskesmas sebagai sarana kesehatan

pertama dikunjungi mempunyai

resiko untuk mengalami

Keterlambatan dokter dibanding

kunjungan ke rumah sakit (p=0,01).

Dalam penelitian ini kunjungan

pertama ke rumah sakit termasuk ke

unit gawat darurat, Poliklinik Paru

dan poliklinik lainnya di RS Dr. M.

Djamil Padang dan rumah sakit

lainnya. Umumnya dilakukan

pemeriksaan BTA sputum dan

röntgen toraks.

Resiko kecenderungan untuk

terjadi keterlambatan pada pasien

yang tidak berkunjung ke unit gawat

darurat 4,59 kali dibanding yang

berkunjung ke unit gawat darurat

(p=0,02). Hasil ini sama dengan yang

didapat oleh Paynter dkk di London

dimana pasien yang berkunjung ke

unit gawat darurat mempunyai resiko

yang jauh lebih kecil untuk terjadi

Keterlambatan dokter dibanding

yang berkunjung pertama ke klinik

(p=0,0001).22 Hal ini kemungkinan

disebabkan karena pasien yang

datang ke unit gawat darurat dengan

kondisi penyakit yang sudah berat

atau dengan keluhan batuk darah. Di

unit gawat darurat pemeriksaan

röntgen toraks segera dilakukan,

sehingga kelainan paru secara

radiologis cepat terdeteksi dan

kecurigaan kearah TB lebih cepat.

Sesuai dengan hasil penelitian Leung

ECC dkk di Hong Kong, nilai

median Keterlambatan dokter akan

lebih pendek bila röntgen toraks

segera dilakukan saat pasien datang

pertama kali ke sarana kesehatan (2,1

minggu vs 4,4 minggu; p=0,0001).19

Keterlambatan dokter juga

meningkat pada pasien dengan BTA

negatif (p=0,04). Hasil ini sama

dengan yang didapatkan Sherman

dkk di New York. Hal ini disebabkan

karena pada pasien dengan BTA

negatif dan röntgen toraks tidak

mendukung untuk TB, diberi

antibiotik spektrum luas selama 2

minggu, kemudian baru dinilai. Bila

röntgen toraks perbaikan maka

dianggap sebagai pneumonia biasa.

Sedangkan röntgen toraks menetap

atau mengalami perburukan, pasien

didiagnosis sebagai TB paru. Hal ini

sesuai dengan Pedoman Nasional

15

Page 16: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Penanggulangan Tuberkulosis.12

Hasil ini memperlihatkan bahwa

BTA sputum negatif merupakan titik

lemah diagnosis TB terutama dengan

lesi minimal, untuk itu diperlukan

metode baru untuk diagnosis TB

secara cepat seperti BACTEC,

polymerase chain reaction (PCR),

atau pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi antara lain uji

immunochromatographic

tuberculosis (ICT), Mycodot, dan

IgG TB.23

Jika diagnosis/keterangan

sarana kesehatan pertama dikunjungi

tidak tahu, 100% pasien mengalami

Keterlambatan dokter. Hasil ini

memperlihatkan masih rendahnya

kecurigaan sarana kesehatan

terhadap TB dan gagal mengambil

tindakan yang tepat untuk

pemeriksaan maupun merujuk pasien

ke sarana kesehatan yang lebih

tinggi. Pasien memerlukan

kunjungan berulang ke sarana

kesehatan atau pindah ke sarana

kesehatan lain karena gejala

menetap.9 Dari interview didapat

58,6% pasien kontrol ulang ke sarana

kesehatan yang pertama

dikunjunginya (median 2,5 kali;

interval 1-13) dan 46,5% pasien

mengunjungi srana kesehatan 3 atau

lebih sampai diagnosis ditegakkan.

Makin banyak sarana kesehatan yang

dikunjungi, makin panjang waktu

yang dibutuhkan sampai diagnosis

ditegakkan dan dimulai terapi OAT,

sehingga memperpanjang

Keterlambatan dokter. Selain

kurangnya kecurigaan sarana

kesehatan terhadap TB, hal ini

disebabkan juga pasien merasa tidak

puas dengan keterangan sarana

kesehatan sehingga mencari opini

kedua untuk mengetahui sebab

keluhan yang dirasakannya. Satu

orang pasien mengaku tidak percaya

menderita TB, sehingga

mengunjungi lebih dari 2 sarana

kesehatan sampai akhirnya dirawat

di Bangsal Paru RS. M. Djamil dan

didiagnosis sebagai TB.

Pasien yang mempunyai

asuransi baik Askes/Jamsostek

maupun Askes Masyarakat Miskin

mempunyai resiko untuk terjadi

Keterlambatan dokter 6,9 kali

dibanding yang tidak punya asuransi.

Hasil ini berbeda dengan yang

didapatkan di Thailand Selatan,

dimana pasien yang tidak

mempunyai asuransi justru

mempunyai resiko untuk mengalami

16

Page 17: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

Keterlambatan dokter sebanyak 1,31

kali dibanding yang punya asuransi

(IK 95% 0,94 – 1,84 ; p< 0,05).15 Hal

ini kemungkinan disebabkan karena

pasien yang punya asuransi, harus

mengikuti prosedur tertentu untuk

sampai berobat ke rumah sakit,

pemeriksaan BTA sputum dan

röntgen toraks harus dilakukan di

rumah sakit dan pada waktu tertentu.

Sedangkan pasien yang membayar

tunai dapat melakukan pemeriksaan

dimana saja dan kapan saja, bahkan

sore hari. Selain itu pasien

Askes/Jamsostek terbatas waktu

pemeriksaannya karena harus masuk

kerja, sedangkan pasien yang tanpa

asuransi umumnya tidak terikat

dengan pekerjaan dan biasanya

menjalankan pemeriksaan cepat

untuk menghemat waktu.

Untuk mengurangi

Keterlambatan dokter, tenaga

kesehatan harus lebih peka terhadap

gejala dan tanda TB paru.

Mekanisme rujukan dari sarana

kesehatan yang lebih rendah ke

sarana kesehatan yang mempunyai

kemampuan diagnostik TB lebih

diperkuat. Usaha untuk memperbaiki

kemampuan diagnostik dan

kepedulian terhadap TB dari seluruh

dokter, terutama dokter umum, harus

terus ditingkatkan.

KESIMPULAN

Pada umumnya pasien

mengalami keterlambatan dalam

memulai pengobatan TB paru.

Keterlambatan dapat terjadi oleh

pasien maupun dokter. Faktor yang

mempengaruhi Keterlambatan pasien

adalah tingkat pendidikan rendah,

gejala awal batuk, dan persepsi

pasien terhadap gejala yang

dialaminya hanya batuk biasa. Faktor

yang mempengaruhi Keterlambatan

dokter dari segi sarana kesehatannya

adalah jenis sarana kesehatan

pertama dikunjungi adalah

puskesmas, tidak ada kunjungan ke

unit gawat darurat, hasil pemeriksaan

BTA negatif, dan diagnosis sarana

kesehatan pertama dikunjungi tidak

tahu. Sedangkan dari segi pasien

adalah faktor mempunyai asuransi

dan jumlah sarana kesehatan yang

dikunjungi sampai tegak diagnosis

3 buah

DAFTAR KEPUSTAKAAN

17

Page 18: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

1. Lawn SD, Afful B, Acheampong JW. Pulmonary tuberculosis: diagnostic delay in Ghanaian adults. Int J Tuberc Lung Dis, 1998; 2(8): 635-640.

2. Surkenas Litbang Depkes RI. Survei Prevalensi Tuberkulosis (SPTBC) 2004.

3. Taufik. Pelaksanaan penanggulangan TB paru dalam rangka menyongsong Strategi DOTS di RSUP Dr. M. Djamil Padang, dibacakan dalam pertemuan Strategi DOTS di rumah sakit, Yogyakarta: 2006.

4. Sabrina, Yusrizal, Taufik. Profil penderita TB paru yang dirawat di Bangsal Paru RS Dr. M. Djamil Padang tahun 1998-2002. Dalam: Taufik, Zailirin, Yusrizal, Medison I, Mirna, Zarfiardy, editor. Makalah Lengkap Konker X PDPI. Padang 2004; 258-279.

5. Aditama TY. Beberapa aspek dalam proses penemuan penderita tuberkulosis paru; tesis (1988).

6. Aditama TY. Tuberkulosis: diagnosis, terapi dan masalahnya. Edisi ke 5. Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta 2005.

7. Sherman LF, Fujiwara PI, Cook SV, Bazerman LB, Frieden TR. Patient and health care system delays in the diagnosis and treatment of tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis, 1999; 3(12): 1088-1095.

8. Chang CT, Esterman A. Diagnostic delay among pulmonary tubeculosis patients

in Sarawak, Malaysia: a cross-sectional study. Rural and Remote Health (Online) 2007; 667.

9. Liam CK, Tang BG. Delay in the diagnosis and treatment of pulmonary tuberculosis in patients attending a university teaching hospital. Int J Tuberc Lung Dis, 1997;1(4): 326-332.

10. Long NH, Johansson E, Lönnroth K, Eriksson B, Winkvist A, Diwan VK. Longer delays in tuberculosis diagnosis among women in Vietnam. Int J Tuberc Lung Dis 1999; 3(5): 388-393.

11. Wandwalo ER, Mørkve O. Delay in tuberculosis case-finding and treatment in Mwanza, Tanzania. Int J Tuberc Lung Dis 2000; 4(2): 133-138.

12. Pedoman nasional penaggulangan tuberkulosis. Cetakan ke 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 2005

13. Dufault P. The diagnosis and treatment of pulmonary tuberculosis. 2nd ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1957. p.150.

14. Demissie M, Lindtjorn B, Berhane Y. Patient and health care service delay in the diagnosis of pulmonary tuberculosis in Ethiopia. BMC Public Health 2002, 2: 23.

15. Rojpibulstit M, Kanjanakiritamrong J, Chongsuvivatwong V. Patient and health system delays in the

18

Page 19: KETERLAMBATAN DALAM MEMULAI PENGOBATAN PASIEN

diagnosis of tuberculosis in Southern Thailand after helath care reform. Int Tuberc Lung Dis 2006; 10(4): 422-428.

16. Lönnroth K, Thuong LM, Linh PD, Diwan VK. Delay and discontinuity – a survey of TB patient’s search of a diagnosis in a diversified health care system. Int J Tuberc Lung Dis, 1999; 3(11): 992-1000.

17. Lienhardt C, Rowley J, Manneh K, Lahai G, Needham D, Miligan P, et al. Factors affecting time delay to treatment in a tuberculosis control programme in a sub-Saharan African country: the experience of The Gambia. Int J Tuberc Lung Dis 2001; 5(3): 233-239.

18. Godfrey-Fausset P, Kaunda H, Kamanga J, et al. Why do patient with cough delay seeking care at Lusaka urban health centres? A health systems research approach. Int J Tuberc Lung Dis 2002; 6(9): 796-805.

19. Leung ECC, Leung CC, Tam CM. Delayed presentation and treatment of newly diagnosed pulmonary tuberculosis patients in Hong Kong. Hong Kong Med J 2007; 13: 221-227.

20. Leung ECC, Leung CC, Tam CM. Delayed presentation and treatment of newly diagnosed pulmonary tuberculosis patients in Hong Kong. Hong Kong Med J 2007; 13: 221-227.

21. Steen TW, Mazonde GN. Pulmonary tuberculosis in Kweneng Distric, Bostwana: delays in diagnosis in 212 smear-positive patients. Int J

Tuberc Lung Dis 1998; 2(8): 627-634.

22. Paynter S, Hayward A, Wilkinson P, Lozewicz S, Coker R. Patient and health service delays in initiating treatment for patient with pulmonarytuberculosis: retrospective cohort study. Int J Tuberc Lung Dis 2004; 6(2): 180-185.

23. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Indah Offset Citra Grafika, 2006.

19