Upload
others
View
21
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
2020. Vol. 6, No. 2, 119-131
119
MEDIAPSI
2020. Vol.6, No. 2, 119˗131
Keterampilan Berpikir Kritis dan Perannya terhadap Toleransi Beragama Murid
SMA
Indra Nugraha(1)
, Sri Maslihah(2)
, Ifa Hanifah Misbach(3)
((1),(2),(3)Jurusan Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia
The goal of this research was to test the idea that critical thinking skills are related to religious
tolerance, which has been understudied within existing psychological studies. To verify this
idea, we conducted a correlational survey among a sample of 400 high school students in
Bandung who were recruited based on multistage cluster sampling. The results showed as
hypothesized that critical thinking skills were significantly and positively correlated with
religious tolerance. High critical thinking skills were hence associated with high religious
tolerance and vice versa, low critical thinking skills were associated with low religious
tolerance. We also additionally examined the extent to which critical thinking skills and
religious tolerance varied depending on participants’ gender, ethnicity, and religion. We close
by explaining the theoretical and practical implications of those empirical findings, as well as
some shortcomings in this research and recommendations for further studies to overcome the
shortcomings.
Keywords: critical thinking skill, high school students, religious tolerance
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ide bahwa keterampilan berpikir kritis berhubungan
dengan toleransi beragama, yang masih jarang diinvestigasi pada studi-studi psikologi
sebelumnya. Untuk memverifikasi ide ini, kami melakukan survei korelasional dengan
melibatkan 400 murid SMA di Kota Bandung sebagai partisipan, yang diperoleh atas dasar
multistage cluster sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sesuai hipotesis yang
diajukan, keterampilan berpikir kritis berkorelasi signifikan ke arah positif dengan toleransi
beragama. Dengan demikian, tingginya keterampilan berpikir kritis berhubungan dengan
tingginya toleransi beragama dan sebaliknya, rendahnya keterampilan berpikir kritis
berhubungan dengan rendahnya toleransi beragama. Analisis tambahan dalam penelitian ini
juga menguji peran variabel demografis jenis kelamin, suku bangsa, dan agama dalam
menjelaskan keterampilan berpikir kritis dan toleransi beragama. Di bagian akhir tulisan ini,
kami menjelaskan implikasi teoritis dan praktis temuan temuan empiris tersebut, sekaligus
sejumlah kekurangan penelitian dan rekomendasi studi lanjutan untuk memperbaiki kekurangan
tersebut.
Kata kunci: keterampilan berpikir kritis, murid SMA, toleransi beragama
.
Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah bangsa plural yang
masyarakat di dalamnya memiliki latar-
belakang agama, suku, budaya, dan adat istiadat
yang berbeda-beda. Kemajemukan yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia, di satu sisi,
MEDIAPSI, 2020, Vol. 6(2), 119-131, DOI: https://doi.org/10.21776/ub.mps.2020.006.02.6
Received: 10-07-2020. Revised: 19-10-2020. Accepted: 128-11-2020. Published online: 07-12-2020
Handling Editor: Halimatus Sakdiah, UIN Antasari, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia
*Corresponding author: Indra Nugraha, Jurusan Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia.
E-mail: [email protected]
This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.
How to cite this article in accordance with the American Psychological Association (APA) 6th guidelines:
Nugraha, I., Maslihah, S., & Misbach, I. H. (2020). Keterampilan berpikir kritis dan perannya terhadap toleransi beragama
murid SMA. MEDIAPSI, 6(2), 119-131. https://doi.org/10.21776/ub.mps.2020.006.02.6
BERPIKIR KRITIS DAN TOLERANSI BERAGAMA
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 120
merupakan suatu keuntungan dan modal
kekayaan budaya (Nisvilyah & Lely, 2013).
Namun di sisi lain, kemajemukan berpotensi
memunculkan konflik sosial yang dapat
merusak kesatuan bangsa, terutama bila
kemajemukan tersebut tidak disikapi dan
dikelola secara baik (Hisyam, 2006).
Variasi agama merupakan salah satu
pemicu konflik sosial yang sangat mungkin
timbul di masyarakat yang majemuk
(Hermawati, Paskarina, & Runiawati, 2017).
Untuk mengelola perbedaan agama di
Indonesia, diperlukan adanya rasa saling
hormat serta saling toleransi antar umat
beragama (Nisa’ & Tualeka, 2017). Dengan
demikian, hal penting bagi individu atau
kelompok dalam suatu lingkungan memiliki
rasa toleransi yang tinggi agar menghindari atau
mencegah konflik-konflik yang akan muncul
karena kemajemukan.
Istilah toleransi merujuk pada usaha
menjaga hubungan baik dengan orang lain,
yang terejawantah dalam bentuk kesadaran
penuh untuk menerima segala perbedaan
(Patnani, 2020). Sementara itu, toleransi
beragama mempunyai arti perilaku saling
hormat, menerima, dan menghargai nilai-nilai,
prinsip, atau keyakinan yang dianut individu
atau kelompok lain (Wolhuter dkk., 2014).
Seseorang harus diberikan kebebasan untuk
meyakini dan memeluk agama yang dipilih dan
diyakininya (Cassanova, 2008). Nisa’ dan
Tualeka (2016) menjelaskan bahwa toleransi
sangat penting karena keberadaan toleransi
dapat menciptakan kerukunan hidup antar umat
beragama. Munculnya kesadaran antar umat
beragama yang diwujudkan dalam toleransi bisa
menekan atau meminimalisir bentrokan.
Toleransi beragama yang dilakukan dengan
penuh kesadaran akan melahirkan pandangan
bahwa agama sendiri benar dan juga agama lain
sebagaimana diyakini oleh pemeluknya (Bakar,
2016).
Perilaku toleransi beragama di Indonesia
masih terbilang rendah. Berdasarkan survei
yang dilakukan oleh Social Progress Index dari
periode 2014 - 2017, skor toleransi beragama di
Indonesia berada pada titik terendah (Herlina,
2018). Menurut temuan Komnas HAM (Satrio,
2017), dari tahun ke tahun, jumlah kasus
intoleransi di Indonesia terus meningkat. Pada
tahun 2014, kasus intoleransi tercatat
sebannyak 74. Di tahun 2015, kasus intoleransi
meningkat sebanyak 87, dan di tahun 2016
kasus tersebut terus meningkat menjadi 100.
Kasus-kasus tersebut misalnya adalah
pelarangan terhadap kegiatan keagamaan
tertentu, vandalism terhadap rumah ibadah,
perlakuan tidak adil terhadap penganut agama
tertentu, intimidasi, dan pemaksaan keyakinan
(Satrio, 2017).
Fenomena intoleransi terhadap kelompok
agama atau etnik masih kerap terjadi di
beberapa daerah. Beberapa kasus intoleransi
dan kekerasan beragama terjadi sepanjang
tahun 2018. Menurut Rochmanudin (2018),
kasus-kasus tersebut di antaranya adalah
perusakan pura di Lumajang oleh orang tidak
dikenal, penyerangan terhadap ulama di
Lamongan, perusakan masjid di Tuban,
ancaman bom di kelenteng Kwan Tee Koen
Karawang, serangan di gereja Santa Lidwina
Sleman, persekusi terhadap biksu di Tangerang,
penganiayaan terhadap tokoh agama, dan lain-
lain.
Ironisnya, murid yang duduk di bangku
sekolah menengah atas (SMA) rentan terhadap
intoleransi beragama. Potensi keterlibatan anak-
anak muda yang duduk di bangku SMA dalam
kasus-kasus intoleran di Indonesia masih cukup
tinggi (Cholilurrohman, 2016). Penelitian yang
dilakukan oleh The Wahid Institute kepada 500
murid sekolah menengah negeri di Jabodetabek
dengan menggunakan metode kuesioner
menunjukkan bahwa responden penelitian
memiliki kecenderungan yang kuat untuk
mendukung atau melakukan tindakan intoleran
(Dja’far, 2015).
Selain itu, penelitian yang dilakukan
Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (―Survei
PPIM: Potret keberagamaan guru Indonesia‖,
NUGRAHA, MASLIHAH, & MISBACH
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 121
2018) mengungkapkan bahwa pelajar di
Indonesia saat ini telah terjangkit virus
intoleran. Penelitian tersebut dilakukan pada
rentang waktu antara 1 September sampai 7
Oktober 2017 dan dilakukan di 34 provinsi di
Indonesia dengan responden terdiri dari 1522
murid serta 337 mahamurid. Hasilnya
menunjukan bahwa murid dan mahamurid
cenderung memiliki pandangan keagamaan
yang radikal dengan persentase 58.5 persen dan
pandangan keagamaan yang intoleran dengan
prosentase 51.1 persen. Sementara itu, dari sisi
aksi, murid dan mahamurid memiliki perilaku
keagamaan yang cenderung moderat. Dukunagn
terhadap aksi radikal hanya sebesar 7.0 persen,
tetapi dukungan terhadap aksi intoleran
sebanyak 34.1 persen.
Terbentuknya toleransi merupakan
sebuah proses dan tahapan seseorang menerima
informasi dari lingkungan sosialnya (Widhayat
& Jatiningsih, 2018). Ketika seseorang berada
dalam lingkungan sosial tertentu, mereka akan
mempelajari dan mengamati secara sistematis
perilaku orang lain, sebuah proses pengamatan
yang disebut sebagai observational learning
(Greer, Dudek-Singer, & Gautreaux, 2006).
Setelah mengamati perilaku orang lain, individu
akan berasimilasi dan meniru perilaku tersebut
(Fryling, Johnston, & Hayes, 2011). Dalam
proses ini terjadi hubungan timbal balik yang
saling berkesinambungan antara kognisi,
perilaku, dan lingkungan (Widhayat &
Jatiningsih, 2018). Dalam lingkungan sosial,
individu juga akan menerima berbagai macam
informasi. Informasi ini selanjutnya diproses
secara kognitif, yang memuat proses
mengingat, menyaring, dan memilah informasi
mana yang sesuai untuk diri individu tersebut
(Greer dkk., 2006).
Keterampilan berpikir kritis diperlukan
untuk memfasilitasi individu mampu bersikap
kritis, selektif, dan evaluatif dalam menyaring
dan menggunakan informasi. Kemampuan
dalam mengevaluasi dan selanjutnya
memutuskan untuk menggunakan informasi
yang benar memerlukan keterampilan berpikir
kritis (Potter, 2010). Berpikir kritis diartikan
sebagai upaya seseorang untuk memeriksa
kebenaran dari suatu informasi dengan
menggunakan ketersediaan bukti, logika, dan
kesadaran terhadap bias yang didalamnya
memuat aspek elementary clarification, basic
support, inference, advanced clarification,
strategies, dan tactics (Ennis & Weir, 1985;
Halpern, 1998; Larsson, 2017).
Berpikir kritis sangat diperlukan dalam
proses mencerna dan memilah suatu informasi
yang diperoleh (Sulaiman & Syakarofath,
2018). Terlebih di zaman sekarang ini,
informasi bisa diakses dari banyak sumber,
seperti media sosial atau internet (Qodir,
2018). Berbagai informasi dapat diakses
dengan mudah melalui internet, dan tidak ada
jaminan bahwa informasi yang kita lihat atau
baca tersebut adalah benar adanya.
Menjamurnya sumber informasi dan
kemudahan untuk mengaksesnya di internet
membuat sumber informasi yang diperoleh bisa
menjadi kurang lengkap dan tidak kredibel
(Digdoyo, 2018).
Kemajuan teknologi dalam pertukaran
arus informasi juga kerap kali disalahgunakan
oleh oknum tertentu untuk melakukan
penyebaran berita bohong, ujaran kebencian,
dan hoax. Informasi-informasi yang tidak valid
tersebut bisa menjadi propaganda seseorang
untuk memperkeruh suasana, mengadu domba,
dan merusak tatanan kerukunan antar umat
beragama, yang mengancam toleransi. Selain
itu, ditengah kondisi sosial yang semakin
kompleks, berita hoax dapat dengan mudah
dibuat dan disebarkan ke seluruh lapisan
masyarakat tanpa memandang strata sosialnya
sehingga siapa saja dengan mudah terjebak dan
terpedaya oleh hoax (Baihaki, 2020). Hal
tersebut terjadi karena pesatnya arus informasi
dapat mendorong derasnya pertukaran
informasi yang belum terverifikasi
kebenarannya. Tidak terverifikasinya
pertukaran informasi berdampak terhadap
munculnya berbagai persoalan (Sulaiman &
Syakarofath, 2018). Ketidakmampuan
BERPIKIR KRITIS DAN TOLERANSI BERAGAMA
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 122
masyarakat untuk mengkritisi kebenaran
informasi yang diperoleh berdampak terhadap
problematika sosial yang terjadi, salah satunya
intoleransi keagamaan (Orlando, 2015).
Untuk mencegah perilaku intolerasi
keagamaan tersebut, perlu adanya kemampuan
seseorang dalam menafsirkan, menyimpulkan,
menganalisis, mengevaluasi, serta mencari
informasi yang valid dan relevan terkait
informasi-informasi yang masih simpang siur
atau berita hoax (Mathson & Lorenzen, 2008).
Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan
bagian dari aspek-aspek keterampilan berpikir
kritis (Ennis & Weir, 1985).
Oleh sebab itu, keterampilan berpikir
kritis harus dilatih dan dikembangkan kepada
murid. Urgensi berpikir kritis ini berlandaskan
pada argumentasi bahwa orang yang memiliki
pemikiran kritis dapat lebih toleran dalam
menghargai perbedaan ras, etnik, dan agama
(Davies, 2015). Dengan mengajarkan atau
mengembangkan keterampilan berpikir kritis di
sekolah, pendidik dapat mengajarkan dan
meningkatkan toleransi kepada peserta didik.
Toleransi tentunya snagat diperlukan di setiap
masyarakat yang memiliki keragaman budaya,
suku, dan agama (Ernst & Monroe, 2004).
Sebagai generasi penerus bangsa, murid perlu
memiliki toleransi yang tinggi. Mereka harus
dapat mengaplikasikan bentuk toleransi
beragama dalam kehidupan bermasyarakat,
seperti tidak membedakan ketika menolong,
menjenguk teman yang berbeda keyakinan
ketika sakit, bergotong royong, dan tidak
mengejek ibadah satu dengan yang lain
(Rahmawati dkk., 2016).
Penelitian mengenai keterkaitan
keterampilan berpikir kritis dengan toleransi
beragama belum pernah peneliti temukan
sebelumnya, baik di Indonesia atau di luar
negeri. Dengan demikian, penelitian ini
diharapkan bisa menjadi topik baru dan gerbang
pembuka bagi penelitian selanjutnya. Selain itu,
pesatnya arus pertukaran informasi yang
semakin mudah dan sulit terbendung di tengah
masyarakat yang multikultural membuat kedua
isu tersebut, yaitu berpikir kritis dan toleransi,
menjadi menarik untuk dibahas di zaman
sekarang. Mengacu pada latar belakang ini,
peneliti tertarik melakukan penelitian dengan
tujuan menguji peran berpikir kritis terhadap
toleransi beragama pada murid SMA di Kota
Bandung. Hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah bahwa keterampilan
berpikir kritis berkorelasi ke arah positif dengan
toleransi beragama, dimana semakin tinggi
keterampilan berpikir kritis maka semakin
tinggi juga toleransi beragama. Sebaliknya,
semakin rendah keterampilan berpikir kritis
maka semakin rendah juga toleransi beragama.
Metode
Partisipan dan desain penelitian
Partisipan atau subjek dalam penelitian
ini adalah 400 murid dari beberapa sekolah
SMA di Kota Bandung. Sebagaimana bisa
dilihat pada Tabel 1, mayoritas responden
berusia 17 tahun, beretnis Sunda, dan
beragama Islam.
Tabel 1. Data Demografis Partisipan
Karakteristik Frekuensi Persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki 166 41.5%
Perempuan 234 58.5%
Usia
15 Tahun 24 6%
16 Tahun 130 32.5%
17 Tahun 180 45%
18 Tahun 61 15.3%
19 Tahun 5 1.3%
Suku Bangsa
Sunda 250 62.5%
Jawa 32 8%
Batak 27 6.8%
Tionghoa 35 8.8%
Melayu 6 1.5%
lainnya 50 12.5%
Agama
Islam 290 72.5%
Kristen 76 19%
Katolik 32 8%
Hindu 1 0.3%
Budha 1 0.3%
Teknik sampling yang digunakan untuk
merekrut partisipan adalah multistages cluster
NUGRAHA, MASLIHAH, & MISBACH
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 123
random sampling, yaitu teknik yang digunakan
untuk mengambil sampel dari pembagian
populasi menjadi kelompok, kemudian dipilih
secara acak sebagai wakil dari populasi.
Multistages cluster random sampling
merupakan salah bentuk dari probability
sampling, sebagai teknik pengambilan sampel
yang menjamin semua anggota populasi
memiliki probabilitas yang sama untuk bisa
terseleksi sebagai anggota sampel (Creswell,
2015).
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kuantitatif korelasional
dengan mengukur keterampilan berpikir kritis
sebagai variabel independen (X) dan toleransi
beragama sebagai variabel dependen (Y).
Prosedur dan pengukuran
Sejumlah tahapan ditempuh dalam
penelitian ini. Pertama adalah melakukan
persiapan penelitian, kedua adalah mengambil
data sesuai target, dan ketiga adalah
menganalisis data yang diperoleh. Dalam tahap
persiapan, peneliti menentukan rumusan
masalah penelitian, yang dilanjutkan dengan
mereview pustaka untuk mengggali dan
menemukan landasan teori dan temuan-temuan
empiris berkaitan dengan hubungan antara
variabel dalam penelitian ini. Selanjutnya
peneliti menentukan desain dan metode
penelitian yang tepat sesuai dengan topik
penelitian. Tahap berikutnya dilanjutkan
dengan membuat dan menyusun instrumen
penelitian, melakukan expert judgemnet, dan
melakukan uji coba (try out) kepada 360
responden murid SMA. Langkah ini bertujuan
memperoleh informasi mengenai sejauh mana
instumen dalam penelitian ini secara
psikometris valid dan reliabel.
Pada tahap pengambilan data, peneliti
menggunakan metode kuesioner yang
disebarkan secara online dengan link online
form melalui media sosial, dan secara offline
dengan mendatangi sekolah-sekolah, kemudian
menyebarkannya di dalam kelas secara paper-
and-pencil. Tahap ketiga, peneliti memberikan
kesimpulan dengan mengacu pada deskripsi dan
analisis data sesuai dengan teori yang diajukan.
Instrumen yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari dua skala pengukuran.
Instrumen yang digunakan untuk mengukur
keterampilan berpikir kritis didasarkan pada
Critical Thinking Scale (CTS) yang
dikembangkan berdasarkan teori Ennis (1985).
Reliabilitas Cronbach apha untuk instrumen ini
adalah α = .85 (contoh aitem: ―Saya cenderung
mempertimbangkan dampak terlebih dahulu
sebelum menyebarkan suatu berita‖). Pengisian
kuesioner keterampilan berpikir kritis dilakukan
oleh respoden dengan memilih dan memberikan
tanda ceklis pada salah satu dari lima pilihan
skala, yang bervariasi dari 1 (Sangat Tidak
Mencerminkan Saya) sampai dengan 5 (Sangat
Mencerminkan Saya).
Instrumen yang digunakan untuk
mengukur toleransi agama didasarkan pada
Religious Tolerance Scale (RTS) yang
dikembangkan berdasarkan teori Broer,
Muynck, Potgieter, Wolhuter, & Van der Walt
(2014). Reliabilitas untuk instrumen ini adalah
α = .78 (contoh aitem: ―Tidak masalah bagi
saya mengucapkan selamat hari raya pada
teman yang agamanya berbeda dari saya‖).
Pengisian kuesioner toleransi agama dilakukan
oleh respoden dengan memilih dan memberikan
tanda ceklis pada salah satu dari lima pilihan
skala, yang bervariasi dari 1 (Sangat Tidak
Setuju) sampai dengan 5 (Sangat Setuju).
Hasil
Teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Pearson roduct
moment untuk mengetahui hubungan
keterampilan berpikir kritis (X) dengan
toleransi agama (Y). Sebelum melakukan uji
kolerasi, peneliti melakukan transformasi data
dari data ordinal menjadi interval menggunakan
Rash model melalui aplikasi Winstep (Boone,
2016). Setelah data interval didapatkan, peneliti
menggunakan aplikasi SPSS untuk menguji
hipotesis penelitian.
BERPIKIR KRITIS DAN TOLERANSI BERAGAMA
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 124
Tabel 2 di bawah ini menampilkan nilai
korelasi antara keterampilan berpikir kritis dan
toleransi beragama. Sebagaimana bisa dicermati
pada Tabel 1, mendukung Hipotesis yang
ditetapkan, keterampilan berpikir kritis
berkorelasi signifikan ke arah positif dengan
toleransi beragama. Artinya, semakin tinggi
keterampilan kritis maka semakin tinggi juga
toleransi beragama. Berlaku sebaliknya,
semakin rendah keterampilan berpikir kritis
maka semakin rendah juga toleransi beragama.
Tabel 2. Korelasi antara Berpikir Kritis dan Toleransi
Beragama (N = 400)
Variabel (1) (2)
(1) Keterampilan berpikir kritis .39**
(2) Toleransi beragama
Keterangan: **p < .01.
Tabel 2. Perbedaan Keterampilan Berpikir Kritis dan Toleransi
Beragama Berdasarkan Jenis Kelamin, Suku, dan Agama
Demografi Berpikir kritis
Toleransi
beragama
M p M p
Jenis Kelamin
Laki-laki 119 .070
96 .866
Perempuan 118 94
Suku Bangsa
Sunda 117
.012
95
< .001
Jawa 122 93
Batak 117 97
Tionghoa 122 95
Melayu 137 93
lainnya 117
Agama 99
Islam 118
.941
99
< .001
Kristen 118 99
Katolik 119 102
Hindu 111 97
Budha 127 94
Keterangan: M = skor rata-rata, p = signifkansi.
Analisis tambahan dalam penelitian ini
menguji pengaruh variabel demografis jenis
kelamin, suku, dan agama terhadap
keterampilan berpikir kritis dan toleransi
beragama. Hasil analisis tambahan ini bisa
dicermati dalam Tabel 2 di atas.
Sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 2,
variabel demografi suku bangsa berpengaruh
secara signifikan terhadap keterampilan
berpikir kritis maupun toleransi beragama. Jenis
kelamin tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kedua variabel. Terakhir, variabel
demografi agama berpengaruh signifikan
terhadap toleransi beragama, tetapi tidak
berpengaruh signifikan terhadap keterampilan
berpikir kritis.
Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara keterampilan berpikir kritis
dengan toleransi beragama pada murid SMA di
Kota Bandung. Hasil analisis uji hipotesis
menunjukan bahwa keterampilan berpikir kritis
memiliki hubungan yang signifikan dengan
toleransi beragama. Temuan ini sesuai dengan
teori yang dikemukakan oleh Davies (2015),
yang melaporkan bahwa murid dengan
keterampilan berpikir kritis yang tinggi
bersikap lebih toleran terhadap perbedaan yang
dimiliki individu lain, baik perbedaan atas dasar
etnik, ras, maupun agama.
Hasil dalam penelitian ini menegaskan
pentingnya mengembangkan keterampilan
berpikir kritis di kalangan anak SMA,
mengingat perannya dalam meningkatkan
toleransi beragama. Salah satu hal yang
berkontribusi dalam mengembangkan
keterampilan berpikir kritis tersebut
dimungkinkan adalah penerapan kurikulum
2013 di Kota Bandung. Salah satu aspek yang
dikembangkan dalam kurikulum tersebut adalah
meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang
dimiliki murid (Hayati, 2018). Kurikulum
tersebut juga mengharuskan guru untuk
meningkatkan keterampilan berpikir kritis
murid melalui pembelajaran yang
memfasilitasi murid secara langsung untuk
berlatih keterampilan berpikir kritis
(Kurniawati, Zubaidah, & Mahanal, 2016).
Bentuk pembelajaran ini dilakukan dengan
membiasakan murid SMA untuk bertanya dan
berpendapat, bersikap dan berperilaku
NUGRAHA, MASLIHAH, & MISBACH
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 125
kooperatif, serta berfokus pada pemecahan
masalah (Hashemi, 2011; Istianah, 2013;
Lassig, 2009). Pengembangan keterampilan
berpikir kritis memerlukan peran pihak sekolah
untuk mampu membangun dan
mengembangkan keterampilan berpikir kritis
yang dimiliki murid SMA. Dalam hal ini, guru
harus bisa membuat metode pembelajaran yang
dapat membuat siswa aktif dan menstimulus
keterampilan berpikir kritis mereka.
Implikasinya, penerapan kurikulum 2013 akan
semakin tepat dalam mengembangkan
keterampilan berpikir ini. Selain itu, tingkat
keterampilan berpikir kritis juga berkaitan
dengan hasil demografis dalam penelitian ini.
Analisis tambahan dalam penelitian ini
menemukan bahwa keterampilan berpikir kritis
berbeda secara signfiikan dilihat dari segi suku
bangsa. Temuan ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Bustami (2016) yang
melaporkan bahwa perbedaan nilai-nilai
karakter pada setiap suku bangsa
mempengaruhi perbedaan keterampilan berpikir
kritis pada setiap individu. Implikasinya, tenaga
pendidik (guru) perlu untuk menanamkan nilai-
nilai karakter pada setiap suku bangsa melalui
berbagai strategi pembelajaran inovatif dan
kooperatif. Salah satu strategi pembelajaran
yang dapat diterapkan adalah tipe Jigsaw,
Reading, Questioning, Answering (JiRQA)
(Maasawet, 2010).
Variabel jenis kelamin tidak berpengaruh
terhadap tingkat keterampilan berpikir kritis
murid SMA di Kota Bandung. Hasil ini sesuai
dengan penelitian-penelitian sebelumnya
(Afsahi, 2017; Bagheri & Ghanizadeh, 2016;
Heong dkk., 2011; Pambudiono, Zubaidah, &
Mahanal, 2013; Reese, Lee, Cohen, & Puckett,
2001) yang menunjukkan bahwa tingkat
berpikir kritis laki-laki tidak berbeda secara
signifikan dibandingkan dengan tingkat berpikir
kritis perempuan.
Kemampuan berpikir kritis yang sama
pada laki-laki maupun perempuan dapat
disebabkan oleh pengalaman belajar yang sama,
dalam artian mereka sama-sama mendapatkan
materi yang sesuai dengan kurikulum 2013.
Selama proses pembelajaran, semua murid baik
laki-laki maupun perempuan dikondisikan
untuk saling bekerja sama mengembangkan
kemampuan berpikirnya (Pambudiono dkk.,
2013). Dengan demikian, semua murid
memiliki peluang yang sama dalam
pengembangan kemampuan berpikir kritis dan
peningkatan hasil belajarnya.
Keterampilan berpikir kritis merupakan
keterampilan hidup yang penting pada saat ini
dan perlu dikembangkan pada murid SMA
(Kurniawati dkk., 2016). Penelitian terdahulu
menyebutkan bahwa keterampilan berpikir
kritis memudahkan murid untuk membedakan
antara fakta dan opini, mengidentifikasi
informasi yang relevan, memecahkan masalah,
mampu menyimpulkan informasi yang telah
dianalisis, membedakan ide atau gagasan secara
jelas, beragumen dengan baik, mampu
mengkonstruksi penjelasan, mampu
berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks
menjadi lebih jelas (Newmann & Wehlage,
1990; Woolfolk, 2008; Widodo & Kadarwati,
2013). Hal-hal tersebut menjadikan murid SMA
menjadi individu yang educated people bukan
ordiniary people dalam memandang perbedaan
agama (Casram, 2016).
Lebih lanjut, Casram (2016) menjelaskan
bahwa educated people berkecenderungan lebih
rasional dan bukannya intuitif serta simbolik
dalam meresapi ajaran agama. Mereka
menunjukkan toleransi lebih besar dalam
menyikapi dan berperilaku terhadap agama lain
dan pemeluknya. Secara kontras, ordiniary
people lebih mengandalkan symbol-simbol dan
intuisi, dan bukannya rasio atau nalar dalam
memahami ajaran agama. Ordinary people lebih
emosional dalam memahami perbeddaan agama
dan, sebagai dampak ikutannya, menunjukkan
toleransi rendah terhadap agama dan pemeluk
agama lain (Casram, 2016). Argumentasi ini
bermakna bahwa individu yang memiliki
keterampilan berpikir kritis lebih terbuka dan
toleran terhadap pandangan atau agama yang
berbeda.
BERPIKIR KRITIS DAN TOLERANSI BERAGAMA
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 126
Tingginya keterampilan berpikir kritis
yang dimiliki murid SMA di Kota Bandung
membuat nilai toleransi agama mereka juga
menjadi tinggi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa toleransi agama murid
SMA di Kota Bandung berada dalam kategori
tinggi. Mendukung teori yang dikemukakan
oleh ilmuwan sebelumnya (Âsiek, 2019),
keterampilan berpikir kritis pada murid bisa
berkontribusi pada pengembangan toleransi. Ini
terjadi karena berpikir kritis membutuhkan
keahlian dalam mendengarkan orang lain,
memiliki sikap terbuka dalam dialog dan
diskusi, mengembangkan empati, mengevaluasi
peristiwa dan fakta dari berbagai sudut
pandang. Sikap-sikap demikian rupa ini bisa
menumbuhkan kesadaran akan perbedaan yang
dimiliki individu lain.
Penelitian ini juga mengungkap adanya
perbedaan tingkat toleransi beragama
berdasarkan varibel demografi agama. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Kasmo, Usman, Taha,
Salleh, dan Alias (2015) yang menunjukkan
adanya perbedaan respon tingkat toleransi
berdasarkan agama responden. Casram (2016)
menjelaskan bahwa perbedaan tersebut
mungkin bersumber dari eksklusivisme, sebuah
pandangan yang menganggap bahwa ajaran
yang paling benar hanya lah ajaran agama sendiri,
sedangkan agama lain adalah keliru.
Eksklusivisme tidak selamanya salah. Hal ini
bisa terjadi jika eksklusivisme tersebut tidak
diikuti dengan sikap merendahkan agama lain
(Merino, 2010). Kombinasi ini mencerminkan
pandangan bahwa meskipun agama sendiri
diyakini benar, keberadaan agama lain harus
tetap dihargai (Bakar, 2016).
Selain agama, suku bangsa juga
berpengaruh signifikan terhadap toleransi
beragama. Hasil ini selaras dengan penelitian
Damisma dkk. (2018) yang melaporkan bahwa
suku bangsa memengaruhi tingkat toleransi
agama yang dimiliki individu. Latar belakang
individu dapat memberi pengaruh pada
penilaian individu terhadap sesuatu yang
berbeda dari dirinya (Wang & Froese,
2020). Suku bangsa merupakan hal yang
diwariskan dari keluarga asal dan erat kaitannya
dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini
adalah keluarga. Dalam lingkungan keluarga,
orang tua memainkan peran yang sangat
penting dalam membantu perkembangan
toleransi pada anak. Pola asuh dan pengetahuan
tentang agama yang didapat dari orang tua juga
bisa mempengaruhi tingkat toleransi agama
seseorang (Suleeman, 2018). Anak-anak yang
dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
harmonis, penuh cinta, dan rasa saling hormat
akan menjadikan mereka memiliki sikap
toleransi kepada orang lain (Redse, 2007).
Anak-anak akan mengobservasi sikap dan
perilaku orang tua mereka ketika bereaksi
terhadap individu di luar kelompoknya. Jika
orangtua menunjukkan sikap toleran maka
anak-anak mereka cenderung menjadi toleran,
begitupun sebaliknya (Sumadi, Yetti, Yufiarti,
& Wuryani, 2019).
Sementara itu, jenis kelamin ditemukan
tidak berperan signifikan dalam mempengaruhi
tingkat toleransi beragama. Temuan ini berbeda
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan
oleh Maimanah (2013), yang melaporkan
bahwa perempuan memiliki tingkat toleransi
yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan
memiliki sifat dasar atau basic instink yang
terbentuk dari pengalamannya. Pengalaman-
pengalaman tersebut membentuk kemampuan
wanita dalam memikirkan ―Aku-Lain‖ atau
memposisikan diri di posisi orang lain, yang
membuat mereka tidak egosentris, tidak suka
mendominasi, penuh kasih sayang, menyukai
perdamaian, dan bersikap toleran (Maimanah,
2013).
Penelitian ini mengandung sejumlah
kekurangan, yang bisa disempurnakan dalam
studi-studi lanjutan. Kelemahan pertama
berkaitan dengan nilai korelasi antara
keterampilan berpikir kritis dan toleransi
beragama yang berkategori cukup, yaitu sebesar
.39. Nilai kuadrat koefisien korelasi ini adalah
.15. Artinya, prosentase kemampuan
keterampilan berpikit kritis dalam menjelaskan
NUGRAHA, MASLIHAH, & MISBACH
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 127
variansi toleransi beragama adalah sebesar
15%. Implikasinya, selain keterampilan berpikir
kritis, toleransi agama dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor lain. Studi lanjutan dengan
demikian bisa melibatkan atau mengukur
faktor-faktor tersebut, misalnya
fundamentalisme, identitas sosial, lingkungan
keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan
masyarakat (Bukhori, 2010; Muhid & Fadeli,
2018).
Kelemahan kedua berkaitan dengan
kurang meratanya jumlah demografi suku
bangsa. Hal ini berdampak pada sulitnya
peneliti dalam mendeskripsikan secara lebih
mendalam dan lebih bervariasi keterampilan
berpikir kritis maupun toleransi beragama atas
dasar kategorisasi suku bangsa. Untuk
menutupi kekurangan ini, studi lanjutan bisa
menerapkan mixed method dengan
mengkombinasikan metode kuantitatif dan
kualitatif. Hal ini memungkinkan peneliti untuk
menemukan temuan baru dan mendapatkan
informasi yang lebih mendalam dibandingkan
dengan metode kuantitatif semata.
Daftar Pustaka
Afsahi, S. E. dan A. (2017). The relationship
between mother tongue, age, gender and
critical thinking level. Journal of Applied
Linguistics and Language Research, 4(1),
116–124. Diakses dari
http://jallr.com/~jallrir/index.php/JALLR/a
rticle/view/479/pdf479
Âsik. EV. H. (2019). Critical thinking
disposition levels of the religious culture
and ethics teacher candidates (The sample
of Manisa Celal Bayar University, Faculty
of Theology Last Year Students). Journal
of International Social Research, 12(62),
942–967.
https://doi.org/10.17719/jisr.2019.3109
Bagheri, F., & Ghanizadeh, A. (2016). Critical
thinking and gender differences in
academic self-regulation in higher
education. Journal of Applied Linguistics
and Language Research, 3(3), 133–145.
Diakses dari
http://www.jallr.com/index.php/JALLR/art
icle/view/304
Baihaki, E. S. (2020). Islam dalam merespons
era digital: Tantangan menjaga
komunikasi umat beragama di Indonesia.
Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, 3(2),
185–208.
https://doi.org/10.20414/sangkep.v2i2.p-
ISSN
Bakar, A. (2016). Argumen Al-Quran tentang
eksklusivisme, inklusivisme dan
pluralisme. Toleransi, 8(1), 43–60.
https://doi.org/10.24014/trs.v8i1.2470
Boone, W. J. (2016). Rasch analysis for
instrument development: Why, when, and
how?. CBE—Life Sciences
Education, 15(4), rm4.
https://doi.org/10.1187/cbe.16-04-0148
Broer, N. A., Muynck, B., Potgieter, F. J.,
Wolhuter, C. C., & Van der Walt, J. L.
(2014). Measuring religious tolerance
among fnal year education students.
International Journal of Religious
Freedom, 7(1/2), 77–96. Diakses dari
https://www.researchgate.net/publication/3
33540202_Measuring_religious_tolerance
_among_final_year_education_students_T
he_birth_of_a_questionnaire
Bukhori, B. (2010). Prasangka terhadap
pemeluk agama lain dalam perspektif teori
belajar sosial dari Albert Bandura. Jurnal
Psikologi, 3(1), 29-36.
Bustami, Y. (2016). Potensi nilai-nilai karakter
mahasiswa multietnis dalam
mempengaruhi keterampilan berpikir kritis
pada pembelajaran biologi. Jurnal Biologi
dan Pembelajarannya, 3(1), 3–7.
https://doi.org/10.29407/jbp.v3i1.441
Casram, C. (2016). Membangun sikap toleransi
beragama dalam masyarakat plural.
Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan
Sosial Budaya, 1(2),187–198.
https://doi.org/10.15575/jw.v1i2.588
BERPIKIR KRITIS DAN TOLERANSI BERAGAMA
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 128
Cassanova, J. (2008). Public religions in the
modern world. Chicago: Chicago
University Press.
Cholilurrohman, M. (2016). Perbedaan
toleransi antarumat beragama pada
remaja di sma negeri, sma yayasan agama
dan sma asrama (pondok pesantren) di
Kabupaten Pati (Skipsi, Jurusan Psikologi,
Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Semarang, Semarang, Indonesia).
Diakses dari
http://lib.unnes.ac.id/28673/1/1511412049.
Creswell W. J. (2013). Research design
pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan
mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damisma, B. P., Pitoewas, B., & Nurmalisa, Y.
(2018). Pengaruh pola komunikasi antar
suku terhadap pembentukan sikap
toleransi peserta didik. Jurnal Kultur
Demokrasi, 7(3), 1-15. Diakses dari
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JK
D/article/view/16430/11803
Davies, M. (2015). A model of critical thinking
in higher education. In M. B. Paulsen
(ed.), Higher education: Handbook of
theory and research (pp. 41-92). New
York, Dordrecht, London: Springer,
https://doi.org/10.1007/978-3-319-
12835-1_2
Digdoyo, E. (2018). Kajian isu toleransi
beragama, budaya, dan tanggung jawab
sosial media. Jurnal Pancasila Dan
Kewarganegaraan, 3(1), 42–59.
https://doi.org/10.24269/jpk.v3.n1.2018.pp
42-59
Dja’far M. A. (2015). Intoleransi kaum pelajar.
Wahidinstitute.org. Diakses dari
http://www.wahidinstitute.org/wi-
id/indeks-opini/280-intoleransi-kaum-
pelajar.html
Ennis, R.H. and Weir, E. (1985). The Ennis-
Weir critical thinking essay test. Pacific
Grove, CA: Midwest Publications.
Ernst, J., & Monroe, M. (2004). The effects of
environment-based education on students’
critical thinking skills and disposition
toward critical thinking. Environmental
Education Research, 10(4), 507–522.
https://doi.org/10.1080/135046204200029
1038
Fryling, M. J., Johnston, C., & Hayes, L. J.
(2011). Understanding observational
learning: An interbehavioral approach. The
Analysis of Verbal Behavior, 27(1), 191-
203. https://doi.org/10.1007/BF03393102
Greer, R. D., Dudek-Singer, J., & Gautreaux,
G. (2006). Observational learning.
International Journal of Psychology,
41(6), 486–499.
https://doi.org/10.1080/002075905004924
35
Halpern, D. F. (1998). Teaching critical
thinking for transfer across domains.
American Psychologist, 53(4), 449–455.
https://doi.org/10.1037//0003-
066x.53.4.449
Hashemi, S. A. (2011). The use of critical
thinking in social science textbooks of
high school: A field study of fars province
in Iran. International Journal of
Instruction, 4(1), 63–78. Diakses dari
https://eric.ed.gov/?id=ED522910
Hayati, C. (2018). Penerapan kemampuan
berpikir kritis dalam pembelajaran menulis
teks anekdot berorientasi sense of humor
melalui media karikatur pada siswa Smk
Kelas X. Wistara: Jurnal Pendidikan
Bahasa dan Sastra, 1(2), 199-209. Diakses
dari
https://www.journal.unpas.ac.id/index.php/
wistara/article/view/2310
Heong, Y. M., Othman, W. B., Yunos, J. B. M.,
Kiong, T. T., Hassan, R. Bin, & Mohamad,
M. M. B. (2011). The level of marzano
higher order thinking skillsamong
technical education students. International
Journal of Social Science and Humanity,
1(2), 121–125.
https://doi.org/10.7763/ijssh.2011.v1.20
Herlina, L. (2018). Disintegrasi sosial dalam
konten media sosial facebook. TEMALI :
NUGRAHA, MASLIHAH, & MISBACH
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 129
Jurnal Pembangunan Sosial, 1(2), 232–
258. https://doi.org/10.15575/jt.v1i2.3046
Hermawati, R., Paskarina, C., & Runiawati, N.
(2017). Toleransi antar umat beragama di
Kota Bandung. Indonesian Journal of
Anthropology, 1(2), 105-124.
https://doi.org/10.24198/umbara.v1i2.1034
1
Hisyam, M. (2006). Budaya kewarganegaraan
komunitas Islam di daerah rentan konflik.
Jakarta: LIPI Press.
Istianah, E. (2013). Meningkatkan kemampuan
berpikir kritis dan kreatif matematik
dengan pendekatan model eliciting
activities (meas) pada siswa sma. Infinity
Journal, 2(1), 43.
https://doi.org/10.22460/infinity.v2i1.23
Kasmo, M. A., Usman, A. H., Taha, M., Salleh,
A. R., & Alias, J. (2015). Religious
tolerance in Malaysia: A comparative
study between the different religious
groups. Review of European Studies, 7(3),
184–191.
https://doi.org/10.5539/res.v7n3p184
Kurniawati, Z. L., Zubaidah, S., & Mahanal, S.
(2016). Model pembelajaran remap cs
(Reading concept map cooperative script )
untuk pemberdayaan keterampilan berpikir
kreatif. Proceeding Biology Education
Conference, 13(1), 399–403. Diakses dari
https://jurnal.uns.ac.id/prosbi/article/view/
5760
Larsson, K. (2017). Understanding and teaching
critical thinking—A new approach.
International Journal of Educational
Research, 84, 32–42.
https://doi.org/10.1016/j.ijer.2017.05.004
Lassig, C. J. (2009). Promoting creativity in
education: From policy to practice – An
Australian perspective. Proceedings the
7th ACM Conference on Creativity and
Cognition: Everyday Creativity, 229-238.
The Association for Computing
Machinary, University of California:
Berkeley, USA.
https://doi.org/10.1145/1640233.1640269
Maasawet, E. T. (2010). Pengaruh strategi
pembelajaran kooperatif snowballing pada
sekolah multietnis terhadap kemampuan
berpikir kritis sains biologi siswa smp
Samarinda. BIOEDUKASI (Jurnal
Pendidikan Biologi), 1(1), 1-11.
https://doi.org/10.24127/bioedukasi.v1i1.1
81
Maimanah, M. (2013). Wanita dan toleransi
beragama (Analisis
psikologis). Mu'adalah; Jurnal Studi
Gender dan Anak, 1(1), 51-58.
https://dx.doi.org/10.18592/jsga.v1i1.666
Mathson, S. M., & Lorenzen, M. G. (2008). We
won't be fooled again: Teaching critical
thinking via evaluation of hoax and
historical revisionist websites in a library
credit course. College & Undergraduate
Libraries, 15(1-2), 211-230.
https://doi.org/10.1080/106913108021772
26
Merino, S. M. (2010). Religious diversity in a
―Christian nation‖: The effects of
theological exclusivity and interreligious
contact on the acceptance of religious
diversity. Journal for the Scientific Study
of Religion, 49(2), 231–246.
https://doi.org/10.1111/j.1468-
5906.2010.01506.x
Muhid, A., & Fadeli, M. I. (2018). Korelasi
antara prasangka sosial dan toleransi
beragama pada mahasiswa aktivis
organisasi kemahasiswaan di perguruan
tinggi umum. Al Qodiri: Jurnal
Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, 15(2),
124-136.
https://doi.org/10.1234/al%20qodiri.v15i2.
3191
Newmann, F. M., & Wehlage, G. G. (1993).
Five standards of authentic
instruction. Educational Leadership, 50, 8-
8. Diakses dari
https://eric.ed.gov/?id=EJ461121
Nisa’, A. K., & Tualeka, M. W. N. (2017).
Kajian kritis tentang toleransi beragama
dalam Islam. Al-Hikmah, 2(2), 1-12.
BERPIKIR KRITIS DAN TOLERANSI BERAGAMA
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 130
Diakses dari http://journal.um-
surabaya.ac.id/index.php/Ah/article/view/1
104
Nisvilyah, & Lely. (2013). Toleransi antarumat
beragama dalam memperkokoh persatuan
dan kesatuan bangsa (Studi kasus umat
Islam dan Kristen Dusun Segaran
Kecamatan Dlanggu Kabupaten
Mojokerto). Kajian Moral Dan
Kewarganegaraan, 2(1), 382–396.
Diakses dari
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.
php/jurnal-pendidikan-
kewarganegaraa/article/view/2657
Orlando V.H. (2015). Konstruksi sosial atas
sikap dan cara hidup bertoleransi antar
umat beragama. Jurnal Mahasiswa
Sosiologi, 2(4), 1-21. Diakses dari
http://jmsos.studentjournal.ub.ac.id/index.
php/jmsos/article/view/93/112
Pambudiono, A., Zubaidah, S., & Mahanal, S.
(2013). Perbedaan kemampuan berpikir
dan hasil belajar biologi siswa kelas X
SMA Negeri 7 Malang berdasarkan jender
dengan penerapan strategi jigsaw. Jurnal
Pendidikan Hayati, 1(1). 1–10. Diakses
dari
https://www.researchgate.net/publication/3
22467313_PERBEDAAN_KEMAMPUA
N_BERPIKIR_DAN_HASIL_BELAJAR_
BIOLOGI_SISWA_KELAS_X_SMA_NE
GERI_7_MALANG_BERDASARKAN_J
ENDER_DENGAN_PENERAPAN_STR
ATEGI_JIGSAW
Patnani, M. (2020). Pengajaran nilai toleransi
usia 4-6 tahun. Jurnal Psikologi Ulayat,
1(1), 131–138.
https://doi.org/10.24854/jpu28
Potter, M. Lane. (2010). From search to
research: Developing critical thinking
through web research skills© 2010.
Washington: Microsoft Corporation.
Qodir, Z. (2018). Kaum muda, intoleransi, dan
radikalisme agama. Jurnal Studi Pemuda,
5(1), 429.
https://doi.org/10.22146/studipemudaugm.
37127
Rahmawati, I., Hidayat, A., & Rahayu, S.
(2016). Analisis keterampilan berpikir
kritis siswa SMP Pada materi gaya dan
penerapannya. Pros. Semnas Pend. IPA
Pascasarjana UM, 1, 1112–1119. Diakses
dari http://pasca.um.ac.id/wp-
content/uploads/2017/02/Ika-Rahmawati-
1112-1119.pdf
Redse, A. (2007). Freedom of religion,
religious tolerance, and the future of
Christian mission in the light of Samuel P.
Huntington's thesis on the clash of
civilizations and the remaking of the world
order. Norwegian Journal of
Missiology, 61(4), 259-278. Diakses dari
https://journals.mf.no/ntm/article/view/417
2
Reese, H. W., Lee, L. J., Cohen, S. H., &
Puckett, J. M. (2001). Effects intellectual
variables, ages, and gender on divergent
thinking in adulthood. International
Journal of Behavioral Development, 25(6),
491–500.
https://doi.org/10.1080/016502500420004
83
Rochmanudin. (2018, Februari19). Kasus
intoleransi dan kekerasan beragama
sepanjang 2018. Idntimes.com Diambil
dari
https://www.idntimes.com/news/indone
sia/rochmanudin-wijaya/linimasa-kasus-
intoleransi-dan-kekerasan-beragama-
sepanjang-2
Satrio, F. A. (2017, Januari 11). Komnas HAM:
Kasus intoleransi terus meningkat.
TimesIndonesia.co.id. Diakses dari
https://www.timesindonesia.co.id/read/ne
ws/140290/komnas-ham-kasus-
intoleransi-terus-meningkat
Sulaiman, A., & Syakarofath, N. A. (2018).
Berpikir kritis: Mendorong introduksi dan
reformulasi konsep dalam psikologi Islam.
Buletin Psikologi, 26(2), 86-96..
https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.3
8660
NUGRAHA, MASLIHAH, & MISBACH
MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 131
Suleeman, E. (2018). Religious tolerance values
among students of Christian senior high
schools. KnE Social Sciences, 215-229.
https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.2913
Sumadi, T., Yetti, E., Yufiarti, Y., & Wuryani,
W. (2019). Transformation of tolerance
values (in religion) in early childhood
education. Jurnal Pendidikan Usia
Dini, 13(2), 386-400.
https://doi.org/10.21009/JPUD.132.13
Survei PPIM: Potret keberagamaan guru
Indonesia. (2018, Oktober 18).
ConveyIndonesia.com. Diakses dari
https://conveyindonesia.com/survei-ppim-
potret-keberagamaan-guru-di-indonesia/
Wang, X., & Froese, P. (2020). Attitudes
toward religion and believers in China:
How education increases tolerance of
individual religious differences and
intolerance of religious influence in
politics. Religion & Education, 47(1), 98-
117.
https://doi.org/10.1080/15507394.2019.16
26211
Widhayat, W., & Jatiningsih, O. (2018). (2018).
Sikap toleransi antarumat beragama pada
siswa Sma Muhammadiyah 4 Porong.
Kajian Moral dan Kewarganegaraan,
6(2), 596–610. Diakses dari
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.
php/jurnal-pendidikan-
kewarganegaraa/article/view/24925/22832
Widodo, T & Kadarwati, S. (2013). High order
thinking berbasis pemecahan masalah
untuk meningkatkan hasil belajar
berorientasi pembentukan karakter murid.
Cakrawala Pendidikan. 32(1), 161-171.
https://doi.org/10.21831/cp.v5i1.1269
Wolhuter, C. C., Van der Walt, J. L., Potgieter,
F. J., De Muynck, B., & Broer, N. A.
(2014). Measuring religious tolerance
among final year education students-the
birth of a questionnaire. International
Journal for Religious Freedom, 7(1-2), 77-
96. Diakses dari
https://repository.nwu.ac.za/bitstream/hand
le/10394/20717/Screen-
enduser_IJRF_Vol7-
1BroerMeasuringreligious.pdf?sequence=
1
Woolfolk, A. 2008. Educational psychology
active earning edition (10th
ed.). London,
UK: Pearson Education, Inc.