Upload
others
View
42
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor [L.]
Moench) TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum
graminicola) PADA DUA SISTEM POLA TANAM BERBEDA
(SKRIPSI)
Oleh
AGNES RATNASARI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
Agnes Ratnasari
ABSTRAK
KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor [L.]
Moench) TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum
graminicola) PADA DUA SISTEM POLA TANAM BERBEDA
Oleh
AGNES RATNASARI
Tujuan penelitian yaitu mengetahui ketahanan 15 genotipe sorgum yang ditanam
pada dua sistem tanam berbeda yaitu monokultur dan tumpangsari. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan April 2017 - Februari 2018 di Desa Sukanegara,
Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung dan di
Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian Universitas
Lampung. Percobaan ini menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dalam
split plot dengan 3 kali ulangan, Petak utama adalah sistem tanam (tumpangsari
dan monokultur) dan anak petak adalah genotipe tanaman sorgum (Numbu,
Samurai 1, GH3, UPCA, GH4, P/I WHP, GH6, Super 2, GH13, P/F 5-193-C,
Super 1, GH5, Mandau, GH7 dan Talaga Bodas). Monokultur sorgum ditanam
pada jarak 80 cm x 20 cm. Tumpangsari sorgum ubikayu dilakukan dengan cara
menanam sorgum di antara tanaman ubikayu sehingga jarak tanam sorgum tetap
80 cm x 20 cm, sedangkan jarak tanam ubikayu 80 cm x 60 cm, baik sorgum
maupun ubikayu ditanam secara bersamaan. Hasil penelitian menunjukkan
Agnes Ratnasari
bahwa sistem tanam tumpangsari lebih efektif untuk menekan intensitas penyakit
antraknosa. Pada penelitian ini intensitas penyakit antraknosa terhadap 15
genotipe sorgum yang diamati dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu tinggi,
sedang dan rendah. Genotipe Numbu, GH3, Talaga Bodas, Super 1, dan Mandau
adalah genotipe dengan intensitas penyakit terendah dibandingkan genotipe
Samurai 1, UPCA, GH4, P/I WHP, GH13, P/F 5-193-C, GH5, GH6 dan GH7 .
Genotipe Samurai 1, UPCA, GH4, P/I WHP, GH13, P/F 5-193-C, GH5, GH6 dan
GH7 adalah genotipe yang intensitas penyakitnya lebih rendah dibandingkan
genotipe Super 2. Dan genotipe Super 2 adalah genotipe dengan intensitas
penyakit antraknosa tertinggi.
Kata kunci: antraknosa, Colletotrichum graminicola, genotipe sorgum, ketahanan
dan pola tanam.
KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor [L.]
Moench) TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum
graminicola) PADA DUA SISTEM POLA TANAM BERBEDA
Oleh
AGNES RATNASARI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
pada
Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2018
Judul Skripsi
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok Mahasiswa
Jurusan
Fakultas
: KETAHANAN BEBERAPA GENOTIPESORGUM (Sorghum bicolor [L.] Moench,)
TEREADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA(Colletotrichum graminicolu) PADA DUASISTEI}I POLA TANAM BERBEDA
: Agnes Ratnasari
: 1414121009
: Agroteknologi
:Pertanian
NrP 196009291987A3n02
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Z. Ketua Jurusan Agroteknologi
Prof. Dr.Ir. Sri Yusnaini, h{.Si.NIP 196305081988112001
r. M. Syamsoel Hadi, M.Sc.NrP 1961061 3 198503 1002
1. TiarPenguji
Ketua
Sekretaris
MTNGTSAHKAN
: Ir, Efri, M.S.
: Ir. M. Syamsoel Hadi' M.Sc.
PengujiBukan Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Hasriadi Maf Akin, M.P.
Fakultas Pertanian
, , ,=, ,_. ..
1986031002
Tanggal Lulus Ujian SkriPsi:
an Sukri Banuwa, M.Si.
21 September 2018
I
tI
I
SURAT PER}IYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa skripsi saya yang
berjudul "KETAHANAII BEBERAPA GENOTIPE SORGI]M (Sorghum
bicolorp.l Moench,) TERHADAP PENYAKIT ANTRAKNOSA
(Colletotrichum graminicola'1 PADA DUA SISTEM POLA TANAM
BERBEDA" merupakan hasil karya sendiri dan bukan merupakan hasil karya
orang lain. Semua hasil yang tertuang dalam skripsi ini telah mengikuti kaidah
penulisan karya ilmiah Universitas Lampung. Apabila kemudian hari terbukti
bahwa skripsi ini merupakan hasil salinan atau dibuat oleh orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Bandar Lampung, Oktober 2018
Agnes Ratnasari1414121009
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Mekarsari, Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung
Timur pada tanggal 30 Maret 1997 yang merupakan anak ketiga dari pasangan
Bapak Transisius Santoso dan Ibu Maria Magdalena Susanti.
Pendidikan formal penulis diawali dari pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1
Mekarsari, Lampung Timur yang diselesaikan pada tahun 2008, Sekolah
Menengah Pertama Negeri 1 Pasir Sakti, Lampung Timur diselesaikan tahun
2011, Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pasir Sakti, Lampung Timur diselesaikan
pada tahun 2014.
Tahun 2014 penulis melanjutkan studi Strata 1 di Jurusan Agroteknologi Fakultas
Pertanian Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk
Perguruan Tinggi Negeri). Penulis memilih Hama Penyakit Tanaman sebagai
konsentrasi dari perkuliahan. Selama menjadi mahasiswa penulis juga aktif
dikegiatan kemahasiswaan, diantaranya PERMA AGT (Persatuan Mahasiswa
Agroteknologi) sebagai anggota bidang pengembangan minat dan bakat
(2016/2017), dan UKM-Khatolik (Unit Kegiatan Mahasiswa Khatolik) sebagai
anggota bidang pada tahun 2014/2016, penulis juga aktif menjadi anggota KMKL
(Komunitas Mahasiswa Khatolik Lampung) pada tahun 2014/2016. Selama
perkuliahan penulis pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Praktik
Pengenalan Pertanian (2017) dan Pengendalian Penyakit Tanaman (2018).
Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Harapan Jaya,
Kecamatan Way Ratai, Kabupaten Pesawaran pada tanggal 22 Januari 2018 – 2
Maret 2018. Penulis melaksanakan Praktik Umum selama 30 hari di Pusat
Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Jawa Barat pada tahun 2017.
Atas Berkat dan Karunia Tuhan Yesus
Kupersembahkan karya ini untuk kedua orangtua ku beserta keluarga
besarku yang senantiasa menyanyangi dan mendoakanku
Berikut pula saudara, sahabat, serta setiap orang yang telah hadir dalam
fase kehidupanku
Serta almamater UNILA yang kubanggakan
Semoga karya ini bermanfaat
Kita tidak dapat meraih hal besar dengan melihat siapa kita, kita dapat
melihat hal besar dengan melihat ingin menjadi apa kita
-Andrew Matthews-
Jangan mencoba menjadi orang sukses, tapi jadilah orang yang penuh nilai
-Albert Einstein-
Jangan sampai orang mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan apa-
apa, dan jika kita punya mimpi maka gapailah itu
-The Pursuit of Happynes 2006-
Aku bukanlah orang baik, itu juga bukan berarti aku orang jahat. Tapi satu
hal yang benar dariku, aku tidak pernah menyerah
-Hell boy 2004-
Jika keadaan berjalan sesuai keinginanmu itu bagus, jika tidak itu lebih
bagus karena itu kehendak Tuhan
-Senam Teri Kasam 2016-
Think Positive, smile forever, enjoy this world and do the best
-Agnes Ratnasari 2018-
xii
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa
melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya untuk melaksanakan penelitian dan
menyelesaikan skripsi ini. Pada kesempatan kali ini, penulis menyampaikan rasa
terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M.Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
2. Ibu Prof. Dr. Ir. Sri Yusnaini, M.Si., selaku Ketua Jurusan Agroteknologi
Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
3. Bapak Ir. Efri, M.S. selaku pembimbing utama yang telah membimbing dan
memberi waktu, saran, bantuan, dan motivasi serta perbaikan kepada penulis
selama melaksanakan penelitian hingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan
baik.
4. Bapak Ir. M. Syamsoel Hadi, M.Sc. selaku pembimbing kedua yang telah
memberikan ide penelitian, bimbingan, saran, nasehat serta motivasi kepada
penulis hingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P. selaku Dosen penguji/pembahas
yang telah memberikan saran, nasehat serta arahan kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
xii
6. Bapak Prof. Dr. Ir. Kukuh Setiawan , M.Sc., dan Dr. Ir. Erwin Yuliadi, M.Sc.
yang telah memberikan nasehat, saran dan bimbingan serta semangat kepada
penulis.
7. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhajir Utomo, M.Sc., selaku pembimbing akademik yang
senantiasa memberikan saran dan bimbingan arahan dan motivasi selama penulis
melaksanakan kegiatan akademik di Fakultas Pertnian.
8. Bapak Prof. Dr. Ir. Purnomo, M.S., selaku selaku Ketua Jurusan Proteksi
Tanaman.
9. Seluruh dosen mata kuliah Jurusan Agroteknologi atas semua ilmu, didikan, dan
bimbingan yang penulis peroleh selama masa studi di Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
10. Ayahanda Transisius Santoso dan Ibunda Maria Magdalena Susanti dan
Kakak ku Heronimus Bruri Krisdianto, Veronica Ernawati, dan Julika Nanang
Kosim, Adik Yohanes Irawan serta keponakan ku Allizia Putri yang senantiasa
memberikan doa, dukungan, semangat, motivasi dan kasih sayang yang tak
terhingga kepada penulis.
11. Teman-teman sesama peneliti sorgum dan ubi kayu (Anak Bapak) Tika, Gita,
Restu, Amalia, Ima, Nuy, Apika, Ngah, Ridho, Irma, Diah, Dita, Ika, Amira,
Uan Eko dan Vina atas kebersamaan, motivasi, semangat, suka duka, canda
tawa serta bantuan selama penelitian yang diberikan kepada penulis.
12. Sahabat-Sahabat PotoGehSquad (Kadesta, Alip, Adit Turiman, Bramantio)
Belgies, Meong, Deta, Binti, Charenina, Mamal, Richa, Vivi, Iis, Ayu, Asmara
Andino, Bagus, Dede, Paksi, Abang Tejo, Bekti, Ayu, Anggite, Catya, Desty,
Inul, Made, dan Kuncahyo atas persahabatan, kenangan, canda tawa saat suka
xii
dan duka serta semangat dan bantuan yang tak terhingga dari awal perkuliahan,
penelitian, olah data hingga hari ini.
13. Adik-adik kosan tercinta tempat berkeluh kesah tentang perjuangan ini Yusi,
Nurul, Nuri, Noor, Otia, Gita, dan Depi atas doa dan semangatnya serta serta
Om dan Tante Susi yang selalu memberi nasihat.
14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini,
terkhusus untuk rekan-rekan HPT 14, AGT kelas A, Mas Jen dan mbk Uum
serta dan teman-teman Agroteknologi angkatan 2014.
15. Sungai Budi Group atas bantuan fasilitas dan lahan yang digunakan untuk
penelitian.
Penulis berharap semoga Tuhan Yesus selalu membalas semua kebaikan yang telah
diberikan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bandar Lampung, Oktober 2018
Penulis
Agnes Ratnasari
xv
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... xvii
I. PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian .................................................................. 3
1.3 Kerangka Pemikiran .............................................................. 3
1.4 Hipotesis ................................................................................ 5
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 7
2.1 Tanaman Sorgum .............................................................. 7
2.2 Syarat Tumbuh Sorgum ................................................... 8
2.3 Genotipe Sorgum ............................................................. 9
2.4 Ubikayu ............................................................................ 10
2.5 Tumpangsari Sorgum dengan Ubikayu ............................ 11
2.6 Penyakit Antraknosa Pada Sorgum ................................... 12
III. BAHAN DAN METODE ........................................................... 15
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................ 15
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................... 15
3.3 Metode Penelitian ................................................................. 16
3.4 Pelaksanaan Penelitian ......................................................... 17
3.4.1 Pengolahan Tanah ..................................................... 17
3.4.2 Penanaman ................................................................. 18
3.4.3 Penjarangan .............................................................. 18
3.4.4 Penyulaman .............................................................. 18
xv
Halaman
3.4.5 Pemupukan .............................................................. 19
3.4.6 Pemeliharaan ............................................................ 19
3.4.7 Panen ........................................................................ 19
3.5 Variabel Pengamatan ........................................................... 20
3.5.1 Pengamatan di Laboratorium ................................... 20
3.5.2 Pengamatan di Lapang ............................................. 21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................... .. 23
4.1 Hasil Pengamatan ................................................................... 23
4.1.1 Identifikasi Penyakit Antraknosa pada
Tanaman Sorgum ..................................................... 23
4.1.2 Keterjadian Penyakit ................................................ 25
4.1.3 Keparahan Penyakit ................................................. 27
4.2 Pembahasan ........................................................................... 29
V. SIMPULAN DAN SARAN .............................. .......................... 34
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... . 35
LAMPIRAN .................................................................................... . 38
Tabel 6-29 data analisis ragam ........................................................... 39-63
Tabel Data Hasil Analisis Tanah ........................................................ 64
Tabel Data Curah Hujan..................................................................... 65
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Pengaruh perlakuan pola tanam terhadap keterjadian penyakit
Antraknosa .................................................................................. 25
2. Pengaruh perlakuan genotipe terhadap keterjadian penyakit
Antraknosa ................................................................................. 26
3. Pengaruh perlakuan pola tanam terhadap keparahan penyakit
Antraknosa .................................................................................. 27
4. Pengaruh perlakuan genotipe terhadap keparahan penyakit
Antraknosa ................................................................................. 28
5. Data intensitas keterjadian penyakit antraknosa (minggu 1) ...... 39
6. Analisis ragam keterjadian penyakit antraknosa (minggu 1) ...... 40
7. Data intensitas keterjadian penyakit antraknosa (minggu 2) ..... 41
8. Analisis ragam keterjadian penyakit antraknosa (minggu 2) ...... 42
9. Data intensitas keterjadian penyakit antraknosa (minggu 3) ..... 43
10. Analisis ragam keterjadian penyakit antraknosa (minggu 3) ...... 44
11. Data intensitas peterjadian penyakit antraknosa (minggu 4) ..... 45
12. Analisis ragam keterjadian penyakit antraknosa (minggu 4) ...... 46
13. Data intensitas keterjadian penyakit antraknosa (minggu 5) ..... 47
14. Analisis ragam keterjadian penyakit antraknosa (minggu 5) ...... 48
15. Data intensitas keterjadian penyakit antraknosa (minggu 6) ..... 49
16. Analisis ragam keterjadian penyakit antraknosa (minggu 6) ...... 50
Halaman
17. Data intensitas keparahan penyakit antraknosa (minggu 1)....... 51
18. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa (minggu 2) ....... 52
19. Data intensitas keparahan penyakit antraknosa (minggu 2)....... 53
20. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa (minggu 2) ....... 54
21. Data intensitas keparahan penyakit antraknosa (minggu 3)....... 55
22. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa (minggu 3) ....... 56
23. Data intensitas keparahan penyakit antraknosa (minggu 4)....... 57
24. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa (minggu 4) ....... 58
25. Data intensitas keparahan penyakit antraknosa (minggu 5)....... 59
26. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa (minggu 5) ....... 60
27. Data intensitas keparahan penyakit antraknosa (minggu 6)....... 61
28. Analisis ragam keparahan penyakit antraknosa (minggu 6) ...... 62
29. Data Hasil Analisis Tanah ......................................................... 64
30. Data Curah Hujan ....................................................................... 65
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Gejala penyakit antraknosa pada daun tanaman sorgum ............... 23
2. Biakan murni antraknosa hasil isolasi umur 5 hari ......................... 24
3. Colletotrichum graminicola hasil isolasi bagian daun tanaman
sorgum pada perbesaran 40x ........................................................... 24
4. Biakan murni antraknosa hasil isolasi umur 5 hari dan biakan
murni antraknosa menurut Tsedaley, 2016 . ................................. 29
5. Colletotrichum graminicola hasil isolasi bagian daun tanaman
sorgum pada perbesaran 40x, Colletotrichum graminicola
menurut Frederiksen, 1986. .............................................................. 29
6. Denah Petak Percobaan .................................................................... 63
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap konsumsi beras sebagai
makanan pokok telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Beras telah
menjadi pemasok utama karbohidrat bagi mayoritas bahkan hampir seluruh
masyarakat Indonesia. Ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap beras telah
menjadi masalah berkelanjutan. Persepsi masyarakat bahwa jika belum
mengkonsumsi beras (nasi) maka dikatakan belum makan meskipun perut telah
diisi dengan makanan lain. Persepsi yang mendarah daging ini menjadi suatu
konsep pemikiran yang menyimpang. Pemerintah bersama para ilmuwan kini
berupaya keras mencari sumber-sumber bahan pangan baru mengingat besarnya
ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap satu macam sumber karbohidrat
saja (Hendy, 2007).
Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) merupakan tanaman serealia yang
potensial untuk digunakan sebagai substitusi beras karena kandungan gizinya
setara (Sirappa, 2003). Sorgum mempunyai potensi penting sebagai sumber
karbohidrat bahan pangan, pakan, dan komoditi industri. Namun, sebagaimana
tanaman lain ketika dibudidayakan yang memiki berbagai macam gangguan
2
penyakit. Penyakit antraknosa adalah salah satu faktor penghambat rendahnya
produksi sorgum. Infeksi yang disebabkan patogen pada tanaman sorgum dapat
menyebabkan kehilangan hasil sampai 30-50% (Loughman et al., 2004). Menurut
Soenartiningsih et al., (2013) intensitas penyakit antraknosa dapat menurunkan
hasil sebesar 50 – 100% tergantung pada kerentanan kultivar dan tingkat
keparahan epidemis (Harris et al., 1964).
Salah satu penyakit utama yang telah dilaporkan menyerang pertanaman sorgum
adalah antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum graminicola. Busuk
merah atau antraknosa yang sering disebut sebagai bercak daun merah dan hawar
semai, selalu terdapat di daerah atau negara penanaman sorgum. Penyakit ini
menyebabkan terjadinya gejala merah pada daun. Gejala penyakit pada daun
biasanya baru timbul setelah tanaman berumur 5 minggu.
Patogen sangat bervariasi dan isolat yang berbeda (ras) menunjukkan kemampuan
yang berbeda untuk menyerang plasma nutfah sorgum atau genotipe yang
berbeda. Spora Colletotrichum dapat menyebar melalui angin atau percikan air
hujan dan jika spora jatuh atau menempel pada inang yang cocok, dan didukung
oleh kondisi lingkungan sesuai, maka jamur akan berkembang dengan cepat.
Salah satu alternatif pengendalian penyakit yang aman, murah dan dapat
dikombinasikan adalah cara pengendalian secara bercocok tanam melalui
penerapan pola tanam dengan keanekaragaman genotipe dalam suatu lahan
yang diharapkan mampu menekan penyakit dan mengurangi intensitas kerusakan
yang ditimbulkan oleh penyakit-penyakit penting tanaman sorgum.
3
Hal ini merupakan cara ideal karena mudah digunakan, murah dan ramah
terhadap lingkungan.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh
perbedaan genotipe sorgum terhadap perkembangan intensitas serangan penyakit
antraknosa pada tanaman sorgum yang ditanam secara monokultur dan
tumpangsari dengan ubikayu.
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah :
1. mengetahui pengaruh sistem pola tanam terhadap intensitas penyakit
antraknosa pada tanaman sorgum,
2. mengetahui pengaruh genotipe terhadap intensitas penyakit antraknosa pada
tanaman sorgum, dan
3. mengetahui interaksi antara sistem tanam dan genotipe terhadap intensitas
penyakit antraknosa pada tanaman sorgum.
1.3 Kerangka Pemikiran
Penyakit utama di Indonesia yang telah dilaporkan menyerang pertanaman
sorgum adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum
graminicola. Intensitas penyakit antraknosa tergolong tinggi yaitu 50 – 100%,
(Soenartiningsih et al., 2013). Upaya pengendalian penyakit antraknosa telah
banyak dilakukan diberbagai negara, salah satunya adalah penggunaan genotipe-
4
genotipe tahan, penanaman yang tidak terlalu rapat dan mengadakan pergiliran
tanaman serta mengadakan sistem pola tanam yang tepat (Tenrirawe, 2013).
Genotipe tanaman berpengaruh terhadap keparahan penyakit. Setiap genotipe
tanaman memiliki perbedaan ketahanan terhadap serangan penyakit. Penggunaan
genotipe sorgum yang unggul ternyata belum cukup untuk memenuhi kebutuhan
sifat yang selalu berubah, seperti sifat ketahanan penyakit, timbulnya biotipe baru
yang berbeda antarlokasi yang berbeda. Perubahan lingkungan yang dinamis
menghendaki genotipe tertentu cocok dengan agroekosistem yang spesifik.
Upaya untuk mendapatkan genotipe tahan yang stabil adalah dengan melakukan
pengujian ketahanan tanaman secara kontinu. Keragaman genetik plasma nuftah
sorgum telah merupakan modal utama dalam pembentukan atau perbaikan
genotipe unggul yang dikehendaki. Sampai saat ini masih banyak plasma nuftah
sorgum yang belum dievaluasi ketahananya terhadap cekaman biotik seperti hama
dan penyakit utama (Rais et al., 2001). Plasma nuftah yang terkumpul perlu
dievaluasi untuk menyaring gen-gen yang tanggap terhadap penyakit antarknosa
pada sorgum.
Setiap genotipe memiliki perbedaan terhadap ketahanan terhadap penyakit. Sifat
ketahanan yang dimiliki oleh tanaman bukan hanya merupakan sifat asli atau
turunan dari tetuanya, tetapi juga karna keadaan lingkungan yang menyebabkan
tanaman menjadi tahan. Machmud (1989) telah menguji ketahanan beberapa
genotipe kacang tanah introduksi terhadap penyakit layu bakteri. Hasilnya
5
menunjukan adanya perbedaan tingkat ketahanan, dari agak tahan dan tahan
sampai agak rentan dan rentan dari berbagai genotipe kacang tanah yang berbeda.
Selain genotipe, pengaturan pola tanam dapat berpengaruh terhadap keparahan
suatu penyakit, hasil penelitian Dirmawati (2005) pengaturan pola tanam dengan
cara tumpangsari mampu mengendalikan penyakit pustul kedelai di lapangan dan
menurunkan keparahan penyakit berturut-turut adalah 44%- 54% untuk musim
kemarau dan 45% - 49% untuk musim penghujan. Keparahan penyakit pustul
pada cara tanam monokultur kedelai lebih berat dibandingkan dengan cara
tumpangsari jagung-kedelai terpadu dengan aplikasi agensia hayati.
Berdarsarkan informasi tersebut diketahui bahwa penggunaan genotipe yang tepat
dan sistem pola tanam yang tepat akan mengurangi intensitas penyakit pada
tanaman. Sehingga dalam penelitian ini digunakan genotipe sorgum yang berbeda
yang ditanam secara monokultur dan tumpangsari dengan ubikayu untuk mengkaji
apakah genotipe dan sistem pola tanam mampu menekan intensitas penyakit
antraknosa pada tanaman sorgum.
1.4 Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Sistem pola tanam berpengaruh terhadap intensitas penyakit antraknosa pada
tanaman sorgum,
6
2. genotipe berpengaruh terhadap intensitas penyakit antraknosa pada tanaman
sorgum dan
3. terdapat pengaruh interaksi antara sistem pola tanam dan genotipe terhadap
intensitas penyakit antraknosa pada tanaman sorgum
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Sorgum
Sorgum merupakan tanaman serelia yang bukan asli dari Indonesia, melainkan
dari Eithopia dan Sudan di Afrika. Di Indonesia sorgum punya beberapa nama
seperti gandrung, jagung pari, dan jagung canthel. Tanaman sorgum merupakan
tanaman graminae yang memiliki taksonomi sebagai berikut (Martin, 1970) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Liliopsida
Ordo : Cyperales
Family : Poaceae
Genus : Sorghum
Species : Sorghum bicolor (L.) Moench
Tanaman sorgum merupakan tanaman berkeping satu. Kemampuanya menyerap
air tanah cukup intensif karena memiliki akar serabut yang banyak. Morfologi
sorgum terdiri dari komponen tinggi tanaman, umur berbunga dan masak, malai,
biji dan daun. Tinggi tanaman sorgum bervariasi dari 40 sampai 600 cm. Bunga
sorgum yang berbentuk malai terdapat pada ujung batang dan memiliki tangkai
yang panjang. Umumnya bunga akan tumbuh sekitar 60 - 70 hari setelah masa
8
tanam. Malai buah sorgum ada yang berbentuk padat, setengah padat, terbuka,
atau rembyak. Bagian dari malai yang dijadikan bahan baku sapu adalah cabang
malai. Malai yang berisi biji umumnya masak setelah tanaman berumur 90 - 120
hari. Daun pada tanaman sorgum dilapisi oleh sejenis lilin yang cukup tebal dan
berwarna putih yang berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air
dari dalam tubuh tanaman, sehingga tanaman ini resisten terhadap cekaman
kekeringan (Rismunandar, 1989).
2.2 Syarat Tumbuh Sorgum
Tanaman sorgum dapat berproduksi walaupun dibudidayakan dilahan yang
kurang subur, air yang terbatas dan masukkan (input) yang rendah, bahkan dilahan
yang berpasirpun sorgum dapat dibudidayakan. Namun apabila ditanam pada
daerah yang berketinggian diatas 500 m dpl tanaman sorgum akan terhambat
pertumbuhannya dan memiliki umur yang panjang.
Selain persyaratan diatas sebaiknya sorgum jangan ditanam di tanah Podzolik
Merah Kuning (PMK) yang masam, namun untuk memperoleh pertumbuhan dan
produksi yang optimal perlu dipilih tanah ringan atau mengandung pasir dan
bahan organik yang cukup (Yanuwar, 2002).
Sorgum dapat bertahan pada kondisi panas lebih baik dibandingkan tanaman
lainnya seperti jagung, namun suhu yang terlalu tinggi dapat menurunkan
produksi biji. Curah hujan yang diperlukan berkisar 375 - 425 mm/musim tanam
dan tanaman sorgum dapat beradaptasi dengan baik pada tanah yang sering
tergenang air pada saat turun hujan apabila sistem perakarannya sudah kuat.
9
Laimeheriwa (1990), menyebutkan sorgum berproduksi baik pada lingkungan
yang curah hujannya terbatas atau tidak teratur. Tanaman ini mampu beradaptasi
dengan baik pada tanah yang sedikit masam hingga sedikit basa .
2.3 Genotipe Sorgum
Berdasarkan bentuk malai dan tipe sorgum diklasifikasikan kedalam 5 ras yaitu
ras Bicolor, Guenia, Caudatum, Kafir, dan Durra. Ras Durra yang umumnya
berbiji putih merupakan tipe paling banyak dibudidayakan sebagai sorgum biji
(grain sorgum) dan digunakan sebagai sumber bahan pangan. Diantara ras
Bicolor terdapat genotipe yang memiliki batang dengan kadar gula tinggi disebut
sebagai sorgum manis (sweet sorghum) yakni biasanya digunakan
sebagai bahan baku bioetanol. Sorgum terdiri dari empat jenis yaitu sorgum
manis (sweet sorghum), sorgum biji (grain sorghum), sorgum sapu (broom
sorghum) dan sorgum rumput (grass sorghum), sedangkan ras-ras lain pada
umumnya digunakan sebagai biomasa dan pakan ternak (Jayanegara, 2011).
Beberapa genotipe sorgum yang telah dikenal di Indonesia adalah Malang 26,
Birdproof, Katengu, Pretoria, Darsa, dan Cempaka. Genotipe genotipe yang
dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor diantaranya adalah
genotipe UPCA-S1, UPCA-S2, No.46, No.6C, dan No.7C. Balai penelitian
tanaman serealia Indonesia pada tahun 2001 telah melepas dua genotipe sorgum
unggul baru yaitu Kawali dan Numbu yang berasal dari India. Potensi hasil kedua
genotipe tersebut masing-masing 4,67 ton/ha dan 5,05 ton/ha dengan rata-rata
hasil 0,3 ton/ha dan berumur 90 hari.
10
Genotipe Numbu beradaptasi baik pada lahan kering masam, dengan
hasil 5 t/ha, tahan terhadap penyakit karat dan bercak daun. Genotipe Kawali
dicirikan oleh tanaman yang pendek (135 cm) dan malai yang agak tertutup,
sehingga kurang disenangi oleh burung. Kedua genotipe ini mempunyai umur
dalam, berkisar antara 100-110 hari (Singgih dan Muslimah, 2002).
Kebanyakan genotipe sorgum manis memiliki bobot biji per malai dan hasil
gabah yang rendah. Beberapa hibrida mempunyai hasil gabah dan kadar
gula tinggi. Tiga genotipe hibrida sorgum manis telah dihasilkan oleh Badan
Litbang Pertanian dengan nama Numbu, Super-1, dan Super-2. Genotipe Numbu
diarahkan untuk pangan, namun tidak menutup kemungkinan batangnya
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol karena produksi biomas. Genotipe
Super-1 dan Super-2 diarahkan untuk produksi bioetanol, namun genotipe Super-
1 juga dapat dimanfaatkan untuk pangan dan pakan karena bijinya putih
(Pabendon, 2016).
Perbedaan genotipe sorgum akan mempengaruhi masing-masing genotipe sorgum.
Pertumbuhan dan hasil pada tanaman sorgum sangat ditentukan oleh genetiknya.
Tanaman sorgum akan memiliki tampilan tanaman yang berbeda yang ditentukan
oleh gen yang terdapat dalam setiap benih tanaman sorgum yang genotipenya
berbeda. Dari adanya perbedaan tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
hasil tanaman sorgum dengan perlakuan yang sama (Rahmawati, 2013).
2.4 Ubikayu
Di Indonesia, ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan komoditas strategis
11
sebagai sumber pendapatan bagi petani yang memiliki arti dan peran dalam
peningkatan kesejahteraan petani. Ubikayu merupakan sumber pangan utama
karbohidrat setelah padi dan jagung. Menurut Hilman et al., (2004), ubikayu
dalam perekonomian nasional terus menurun karena dianggap bukan komoditas
prioritas sehingga luas areal panen ubikayu terus berkurang dan produktivitas
ubikayu tidak meningkat secara nyata. Untuk meningkatkan produktivitas dapat
dilakukan dengan penambahan areal panen, yaitu dengan cara tumpangsari
dengan tanaman pangan lain.
Tanaman ubikayu masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-18. Tepatnya pada
tahun 1852, didatangkan plasma nutfah ubikayu dari Suriname untuk dikoleksikan
di Kebun Raya Bogor. Di Indonesia, ubikayu dijadikan makanan pokok nomor
tiga setelah padi dan jagung. Penyebaran tanaman ubikayu meluas ke semua
provinsi di Indonesia. Ubikayu saat ini telah digarap sebagai komoditas
agroindustri, seperti produk tepung tapioka, industri fermentasi, dan berbagai
industri makanan. Pasar potensial tepung tapioka antara lain Jepang dan Amerika
Serikat. Tiap tahun kedua negara tersebut mengimpor ± 1 juta ton produk tepung,
terdiri atas 750.000 ton tepung tapioka dan 250.000 ton tepung lainnya (Rukmana,
2002).
2.5 Tumpangsari Sorgum dengan Ubikayu
Tanaman ubikayu dapat dibudidayakan secara monokultur dan tumpangsari.
Budidaya tanaman secara tumpangsari dapat memaksimalkan efisiensi
penggunaan lahan (produktifitas) dan efisiensi pemanfaatan cahaya (Hamim et al.,
2012). Kamal (2011) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan
12
kanopi ubikayu yang relatif lambat pada fase awal pertumbuhanya menyebabkan
ruang tumbuh antara tanaman ubikayu dapat ditanami dengan tanaman palawija.
Pengembangan sorgum secara tumpangsari akan mengoptimalsisasi penggunaan
lahan. Sebaliknya, pengembangan sorgum secara monokultur dapat meningkatkan
kompetisi penggunaan lahan (Hamim et al., 2012). Pola pertanaman tumpangsari
dapat digunakan pada tanaman yang memiliki jarak tanam yang lebar pada
tanaman utama yang ditumpangsarikan, sehingga tanaman sela dapat ditanam
pada jarak antara tanaman utama tersebut.
Hamim et al., (2012) dan Kamal (2011) melaporkan bahwa sorgum dapat ditanam
secara tumpangsari dengan ubikayu. Salah satu keunggulan sistem tumpangsari
sorgum dan ubikayu adalah produktifitas lahan per satuan lahan akan meningkat
karena produksi tanaman pokok ubikayu tetap dan mendapat tambahan produksi
sorgum, sehingga diharapkan akan menghasilkan produksi ganda yang
mendukung sektor pangan, industri, peternakan yang pada akhirnya akan
meningkatkan pendapatan petani. Dengan demikian sistem pola pertanaman
tumpangsari ubikayu dan sorgum merupakan alternatif pengembangan sorgum
pada wilayah yang didominasi pertanaman ubikayu, khususnya daerah Lampung.
2.6 Penyakit Antraknosa pada Sorgum
Gejala penyakit antraknosa pada infeksi pertama muncul pada daun sebagai
bintik-bintik kecil, lingkaran atau elips berwarna cokelat kemerahan dan
mengalami pelukaan sampai 5 mm. Bintik ini kemudian membesar dan menyatu
sehingga daun mengalami nekrosis. Pengembangan infeksi pertama di bawah
13
daun lalu menyebar ke bagian atas daun dan batang, jika terjadi infeksi lebih awal
maka tanaman dapat mengalami kematian lebih cepat. Pada genotipe atau galur
yang peka, penyakit ini juga dapat menyebabkan tanaman menjadi kerdil atau
juga dapat menyebabkan benih mengalami damping off (Anonymus, 2006).
Penyakit antraknosa pada sorghum disebabkan oleh Colletrotichum graminicola.
Hasil identifikasi ternyata Colletotrichum graminicola yang diisolasi mempunyai
ciri-ciri konidiophor berbentuk oval atau silinder dan konidianya mempunyai
ukuran 4,3 – 5,1 x 17,8 –22,6 um, menurut Frederiksen (1986) bahwa, bentuk
dan ukuran yang demikian menunjukkan kharakteristik dari jenis
Colletotrichum. Colletotrichum termasuk familia: Polystigmataceae, Ordo:
Graminicola haeriales dan Kelas Pyrenomycetes (Singh, 1998).
Penyakit antraknosa menyebabkan terjadinya kehilangan hasil mencapai 50%,
jamur ini mampu bertahan hidup selain pada tanaman sorgum juga tanaman
inang yang lain atau pada jaringan tanaman yang telah mati. Colletotrichum
graminicola dapat disebarkan oleh angin dan percikan air hujan jika menempel
pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat. Periode inkubasi
Colletotrichum antara 5– 7 hari setelah terinfeksi, suhu optimum untuk
pertumbuhan jamur antara 24 – 30o C dengan kelembaban relatif tinggi 80–90%
(Kronstad, 2000).
Kehilangan hasil untuk sebagian besar busuk batang sulit untuk memastikan,
busuk batang dan akar dapat menjadi masalah yang cukup besar dalam produksi
sorgum. Tingkat kerusakan tanaman sangat dipengaruhi oleh tanah dan faktor
14
lingkungan. Kondisi pertumbuhan yang merugikan seperti kekeringan yang
berlebihan, atau tanaman tergenang karena drainase yang kurang baik sangat
membantu perkembangan penyakit ini.
15
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2017 - Februari 2018 di Desa
Sukanegara, Kecamatan Tanjung Bintang, Kabupaten Lampung Selatan,
Lampung dan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tanaman Fakultas Pertanian
Universitas Lampung. Berdasarkan data curah hujan bulanan daerah Pelabuhan
Panjang dan sekitarnya bahwa curah hujan bulan April 158,9 mm, Mei 201,0 mm,
Juni 51,9 mm dan Juli 39,3 mm (terlampir).
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 15 benih sorgum genotipe
UPCA, GH13, GH6, Numbu, P/I WHP, Samurai 1, Super 1, Super 2, GH4, GH3,
P/F 5-193-C, GH5, Mandau, Talaga Bodas, dan GH7 yang berasal dari koleksi
Laboratorium Benih Fakultas Pertanian Universitas Lampung, ubikayu varietas
Kasetsart (UJ5), media PSA, alkohol 70%, pupuk KCl, Urea dan TSP.
Alat - alat yang digunakan adalah alat pengolah tanah, golok, ember, tali plastik,
label sampel, alat tulis, cawan petri, bor gabus, jarum ose, plastic wrap, LAF
16
(laminator air flow), autoklaf, tabung Erlenmeyer, mikroskop stereo, kaca
preparat, cover glass, pipet tetes, dan pinset.
3.3 Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan menggunakan rancangan split plot, yaitu :
Faktor utama (Pola Tanam ) : (Monokultur)
(Tumpangsari)
Sub plot (Genotipe) : Numbu , Samurai 1, GH3, UPCA , GH4
P/IWHP, GH6, Super 2, GH13, P/F5-193-C,
Super , GH5, Mandau, GH7, Talaga Bodas
Dari dua faktor diperoleh tiga puluh kombinasi perlakuan sebagai berikut :
Numbu + Monokultur GH13 + Monokultur
Samurai 1+ Monokultur P/F 5-193-C + Monokultur
GH3 + Monokultur Super 1+ Monokultur
UPCA + Monokultur GH5 + Monokultur
GH4 + Monokultur Mandau + Monokultur
P/I WHP + Monokultur GH7 + Monokultur
GH6 + Monokultur Talaga Bodas + Monokultur
Super 2 + Monokultur
Numbu + Tumpangsari GH13 + Tumpangsari
Samurai 1 + Tumpangsari P/F 5-193-C+ Tumpangsari
GH3 + Tumpangsari Super 1+ Tumpangsari
UPCA + Tumpangsari GH5 + Tumpangsari
17
GH4 + Tumpangsari Mandau + Tumpangsari
P/I WHP + Tumpangsari GH7 + Tumpangsari
GH6 + Tumpangsari Talaga Bodas + Tumpangsari
Super 2 + Tumpangsari
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 90 satuan petak
percobaan. Sampel ditentukan pada setiap satuan percobaan. Untuk setiap satuan
percobaan sampel tanaman terdiri dari 10 tanaman.
Dari data yang diperoleh homogenitas ragam dianalisis dengan menggunakan uji
Bartlett dan aditivitas data diuji dengan uji Tukey. Jika kedua asumsi memenuhi
syarat dilanjutkan analisis ragam. Untuk mengetahui perbedaan nilai tengah diuji
dengan menggunakan uji BNJ (Beda Nyata Jujur) pada taraf 5%.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Pengolahan Tanah
Sebelum dilakukan pengolahan tanah, dilakukan pengambilan sampel tanah
secara komposit untuk menentukan kandungan hara dalam tanah (data hasil
analisis tanah terlampir). Pengolahan tanah dilakukan dengan membersihkan
lahan dari sisa sisa tanaman sebelumnya, kemudian lahan dibajak dua kali setelah
itu tanah diratakan, kemudian antara petak dan ulangan dipisah dengan parit
dengan jarak 1 meter.
18
3.4.2 Penanaman
Penanaman dilakukan setelah lahan dibajak dua kali sehingga keadaan lahan
sudah siap tanam. Petak lahan yang digunakan untuk penanaman sorgum yang
ditumpangsari dengan ubikayu berukuran adalah 5x4 meter. Penanaman tanaman
sorgum dilakukan dengan cara ditugal, dengan setiap lubang tanam sebanyak 3-5
benih sorgum lalu ditutup dengan tanah, untuk tanaman ubikayu ditanam dengan
cara menancapkan bibit stek sedalam sepertiga stek dengan arah mata tunas
menghadap ke atas. Ukuran stek yang digunakan adalah 25 cm. Monokultur
sorgum ditanam pada jarak 80 cm x 20 cm. Tumpangsari sorgum ubikayu
dilakukan dengan cara menanam sorgum di antara tanaman ubikayu sedemikian
rupa sehingga jarak tanam sorgum tetap 80 cm x 20 cm, sedangkan jarak tanam
ubikayu 80 cm x 60 cm, baik sorgum maupun ubikayu ditanam secara bersamaan.
3.4.3 Penjarangan
Penjarangan tanaman sorgum dilakukan sehingga hanya tersisa maksimal tiga
tanaman per lubang. Tanaman dipilih yang mampu tumbuh dan berkembang
dengan baik. Penjarangan dilakukan pada saat umur 2 MST sebelum dilakukan
pemupukan.
3.4.4 Penyulaman
Penyulaman bertujuan untuk mengganti benih dan tanaman yang tidak tumbuh.
Hal ini dilakukan dengan cara menanam kembali benih sorgum pada lubang
19
tanam yang benih sebelumnya tidak tumbuh dan melakukan transplanting.
Penyulaman dilakukan paling lambat yaitu dua minggu setelah
waktu penanaman.
3.4.5 Pemupukan
Pemupukan tanaman sorgum menggunakan pupuk Urea, TSP, KCl dengan dosis
masing masing yaitu Urea 200 kg/ha, TSP 150 kg/ha, KCl 200 kg/ha.
Pemupukan dilakukan dengan cara larik diantara dua tanaman. Pemupukan
dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pemupukan awal pada tanaman sorgum dan
ubikayu dilakukan 4 MST dengan pemberian ½ dosis pupuk Urea dan ½ dosis
KCl dan seluruh dosis pupuk TSP. Pemupukan kedua tanaman sorgum dilakuan 8
MST dengan pemupukan masing-masing ½ dosis untuk pupuk Urea dan KCl.
3.4.6 Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman sorgum berupa penyiangan gulma dan pembubunan.
Penyiangan gulma dilakukan secara manual agar tidak melukai perakaran
tanaman, dan pembubunan dilakukan dengan dengan menggemburkan tanah di
sekitar tanaman. Kemudian menimbun tanah tersebut pada pangkal batang
tanaman sorgum sehingga membentuk guludan kecil.
3.4.7 Panen
Panen sorgum dan ubikayu dilakukan pada waktu yang berbeda. Panen sorgum
dilakukan ketika biji mencapai fase masak fisiologis. Sedangkan panen ubikayu
dilakukan pada 51 MST.
20
3.5 Variabel Pengamatan
Pengamatan dilakukan untuk memastikan penyebab penyakit antraknosa pada
tanaman sorgum dan keterjadian penyakit serta keparahan penyakit. Pengamatan
tersebut meliputi :
3.5.1 Pengamatan di laboratorium
Pengamatan di labroratorium bertujuan untuk memastikan penyebab penyakit
antraknosa pada tanaman sorgum dengan Postulat Koch.
Bagian daun tanaman sorgum yang bergejala antraknosa diisolasi di laboratorium.
Isolasi dilakukan dengan memotong batas antara bagian daun yang sakit dan sehat
selebar ± 2 x 2 mm, potongan daun dengan menggunakan pinset diambil satu
persatu dan dicelupkan beberapa detik pada larutan alkohol 70 % untuk sterilisasi
permukaan kemudian segera diangkat dan ditaruh ke dalam aquades steril sekitar
15 menit agar alkohol di permukaan daun larut dalam air. Setelah itu potongan
daun diambil dengan pinset steril dan ditempatkan ke dalam cawan petri yang
berisi kertas saring yang sudah disterilkan. Potongan daun dibiarkan selama ± 30
menit agar air di permukaan potongan daun terserap semua oleh kertas saring.
Selanjutnya potongan daun ditanam atau ditaruh pada permukaan media PSA
steril dalam cawan. Setelah media PSA dalam petri sudah diberi
potongan sampel yang terinfeksi patogen kemudian diinkubasikan selama ± 7
hari didalam inkubator.
Jamur yang tumbuh dari potongan daun pada media PSA diamati setiap hari. Pada
saat pertumbuhan hifa sudah mencapai 2 –3 cm diambil untuk mendapatkan
21
biakan murni. Biakan murni dibiarkan tumbuh beberapa hari sampai koloninya
memenuhi seluruh permukaan cawan petri. Pada umur biakan 4-7 hari, kemudian
diamati dengan mikroskop dengan mengambil bagian permukaan koloni dengan
jarum ose dan ditempatkan pada permukaan objek gelas yang telah diberi setetes
gliserin, kemudian diidentifikasi dan di foto konidianya.
3.5.2 Pengamatan di lapang
Pengamatan dilakukan terhadap keterjadian dan keparahan penyakit.
1. Keterjadian Penyakit
Pengamatan keterjadian penyakit pada sorgum dilakukan terhadap jumlah
sampel penelitian, nilai keterjadian penyakit dihitung menggunakan rumus
sebagai berikut (Ginting, 2013) :
KP = 𝑛
𝑁 x 100%
Keterangan :
KP = Keterjadian Penyakit
n = Jumlah tanaman terserang
N = Jumlah tanaman yang diamati
2. Keparahan Penyakit
Keparahan Penyakit (Disease Severity) dihitung berdasarkan pengamatan
gejala penyakit pada sampel tanaman sorgum. Keparahan penyakit dihitung
dengan rumus berikut (Ginting, 2013) :
KP = ∑𝑛 𝑥 𝑣
𝑁 𝑥 𝑍 x 100%
Keterangan :
22
KP = Keparahan Penyakit
n = Jumlah bagian tanaman yang memiliki kategori kerusakan yang sama
v = Skor kerusakan dari tiap kategori serangan
N = Jumlah tanaman yang diamati
Z = Skor kerusakan tertinggi
Nilai kategori serangan (skor) didasarkan pada skala kerusakan tanaman yang
terserang penyakit. Nilai kategori serangan (skor) sebagai berikut :
0 = Tidak ada serangan
1 = 0 – 10% Permukaan tanaman atau bagian tanaman bergejala
2 = < 10 – 25% Permukaan tanaman atau bagian tanaman bergejala
3 = >25 – 45% Permukaan tanaman atau bagian tanaman bergejala
4 = > 45 – 75% Permukaan tanaman atau bagian tanaman bergejala
5 = >75% Permukaan tanaman atau bagian tanaman bergejala
Data yang diperoleh dianalisis ragam dan dilanjutkan dengan Uji BNJ pada taraf
5%.
34
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan tiga hal sebagai berikut:
1. Sistem pola tanam berpengaruh nyata terhadap intensitas penyakit, sistem
tanam tumpangsari lebih efektif untuk menekan intensitas penyakit
antraknosa.
2. Genotipe berpengaruh nyata terhadap intensitas penyakit, genotipe Numbu,
GH3, Talaga Bodas, Super 1, dan Mandau paling efektif dibandingkan
genotipe Samurai 1, UPCA, GH4, P/I WHP, GH13, P/F 5-193-C, GH5, GH6
dan GH7 dan Super 2 dalam menekan intensitas penyakit antraknosa.
3. Interaksi antara sistem pola tanam dan genotipe sorgum tidak berpengaruh
nyata terhadap intensitas penyakit antraknosa yang disebabkan oleh
Colletotrichum graminicola.
5.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka disarankan untuk
melakukan penanaman sorgum pada saat musim penghujan serta dilakukan
pengukuran kelembaban udara dibawah kanopi tanaman sorgum dan ubikayu.
35
DAFTAR PUSTAKA
Agrios, G. N. 2005. Ilmu Penyakit Tumbuhan (Terjemahan Munzir Busnia).
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 952 hlm.
Anonymus. 2006. Sorghum anthracnose disease. http://www.
Sorghumanthracnose.org/ disease ( Diakses pada tanggal 18 November
2017).
Corryanti dan D. Novitasari 2015. Pemuliaan Tanaman Dan Ketahanan Penyakit
Pada Sengon. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemulian Tanaman
Hutan. Yogyakarta.
Dirmawati, S. R. 2005. Penurunan Intensitas Penyakit Pustul Bakteri Kedelai
Melalui Strategi Cara Tanam Tumpangsari dan Penggunaan Agensia Hayati.
Jurnal AGRIJATI 1(1): 7 – 8.
Frederiksen, R. A. 1986. Compendium of Sorghum disease. Published by The
American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota. USA. 82 p.
Ginting, C. 2013. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Lembaga Penelitian Universitas
Lampung. Bandar Lampung. 132 hlm.
Hamim, H., R. Larasati dan M. Kamal. 2012. Analisis komponen hasil sorgum
yang ditanam dengan tumpangsari dengan ubi kayu dan waktu tanam
berbeda. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERIHORTI-
PERIPI-HIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang
Berkelanjutan. p. 91-94. Bogor, 1 - 2 Mei 2012.
Harris, H. B., B. J. Johnson., J.W Dobson., and E. S Luttrell. 1964. Evaluation of
anthracnose on grain sorghum. Crop Science (4): 460 – 462.
Hendy. 2007. Formulasi Instan Berbasis Singkong (Manihot esculenta Crantz)
Sebagai Pangan Pokok Alternatif. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian
Bogor. Bogor.
Hilman, Y., A. Kasno, dan N. Saleh. 2004. Kacang-kacangan dan Umbiumbian:
Kontribusi terhadap Ketahanan Pangan dan Perkembangan Teknologinya.
Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Bogor.
36
Jayanegara, C. M. 2011. Pengaruh Pemberian Mikoriza Vesikular Arbuskular
(MVA) dan Berbagai Dosis Pupuk Kompos terhadap Pertumbuhan dan
Hasil Tanaman Sorgum (Shorgum bicolor L. Moench). Skripsi. Fakultas
Pertanian. Universitas Pembangunan Nasional. Yogyakarta.
Kamal, M. 2011. Kajian Sinergi Pemanfaatan Cahaya dan Nitrogen Dalam
Produksi Tanaman Pangan. Pidato ilmiah dalam rangka pengukuhan guru
besar dalam bidang ilmu tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung
di Bandar Lamapung tanggal 23 Februari 2011. Penerbit Universitas
Lampung, Bandar Lampung . 68 hlm.
Kronstad, J. W. 2000. Fungal Pathology. Klower Academic Publishers,
Nederlands. Pp. 112 – 120.
Laimeheriwa, J. 1990. Teknologi budidaya sorgum. Departemen Pertanian. Balai
Informasi Pertanian. Irian Jaya.
Loughman R, G., T. D. Wright. 2004. Fusarium head blight of cereals and stalk
rot of maize, millet and sorghum and their identification. Farmnote (78): 1 –
3.
Machmud, M. 1989. Resistensi varietas dan plasma nuftah kacang tanah terhadap
penyakit layu (Pseudomonas solanacearum). Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Hlm 471 – 482.
Martin, J. H. 1970. History and Classification of Sorghum. Dalam Sorghum
Production and Utilization : Major Feed and Food Crops in Agriculture and
Food Series. Editor: Joseph S. Wall and William M.R. Wesrtport, CT: Avi
Pub. 1 – 27.
Nirwanto, H. 2010. Teori Dan Aplikasi Ketahanan Populasi Tanaman Terhadap
Epidemic Penyakit. UPN “Veteran”. Jawa Timur.
Pabendon, M. B., S. B. Santoso, dan N. Argosubekti. 2016. Prospek Sorgum
Manis Sebagai Bahan Baku Etanol. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 15
hlm.
Rahmawati, A. 2013. Respons Beberapa Genotipe Sorghum (Sorghum bicolor (L)
Moench) Terhadap Sistem Tumpang Sari Ubi Kayu ( Manihot esculenta
Crantz). Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Rais, S. A., T. S. Silitonga, S. G. Budiarti, N. Zuraida, dan M. Sudjadi. 2001.
Evaluasi ketahanan plasma nuftah tanaman pangan terhadap cekaman
beberapa faktor biotik (hama dan penyakit). Prosiding Seminar Hasil
Penelitian Rintisan dan Bioteknologi Tanaman. Hlm 163 – 174.
37
Rismunandar. 1989. Sorghum Tanaman Serba Guna. Sinarbaru. Bandung. 62
hlm.
Rukmana, R. 2002. Usaha Tani Ubi Kayu. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 109
hlm.
Semangun, H. 2000. Penyakit-Penyakit Penting Tanaman Pangan di Indonesia.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Singh, R. S. 1998. Plant Disease. Oxford Ibh Publishing Co. PVT. LTD, New
Delhi, India p.14 – 16.
Singgih, S. dan H. Muslimah. 2002. Evaluasi Daya Hasil Galur Sorgum. Risalah
Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Balai Penelitian Tanaman Jagung
dan Serealia Lain. Maros, Sulawesi Selatan.
Sirappa, M. P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum Di Indonesia Sebagai
Komoditas Alternatif Untuk Pangan, Pakan, Dan Industri. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian 22 (4): 133 – 144.
Soenartiningsih, Fatmawati, dan A. M. Adna. 2013. Identifikasi Beberapa
Penyakit Utama pada Tanaman Sorgum dan Jagung di Sulawesi Selatan.
Jurnal Balai Penelitian Tanaman Serelia 1(1): 420 – 428.
Tenrirawe, A., J. Tandlabang., A. M. Adna., M.S.Pabagge., Soenartiningsih, dan
A.Haris., 2013. Pengelolaan Hama Pada Tanaman Sorgum. Sorgum Inovasi
Teknologi dan Pengembangan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Hlm 222 – 241.
Tsedaley, B. G. Adugna., and F. Lemessa. 2016. Plant Pathology Journal
“Distribution and Important of Sorghum Anthracnose (Colletotrichum
sublineolum) in Southwestern and Western Eithopia 15(3): 75 – 85.
Yanuwar, W. 2002. Aktivitas Antioksidan dan Imunomodulator Serealia Non-
Beras. Institut Pertanian Bogor. Bogor.